laporan skenario 3 geriatri

45
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Imobilisasi merupakan salah satu masalah yang cukup besar di bidang geriatri yang timbul sebagai akibat penyakit atau masalah psikososial yang diderita. Di ruang rawat inap geriatri RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta pada tahun 2000 didapatkan prevalensi imobilisasi sebesar 33,6% dan pada tahun 2001 sebesar 31,5% (Setiati dan Roosheroe, 2007). Imobilisasi dapat menimbulkan komplikasi yang akan memperberat kondisi pasien, memperlambat proses penyembuhan, serta dapat menyebabkan kematian. Oleh karena itu, penting bagi para mahasiswa kedokteran untuk memahami berbagai hal mengenai imobilisasi dan komplikasi yang ditimbulkannya. Berikut dipaparkan skenario yang dibahas dalam diskusi tutorial. Mbah Suro Mogok Makan Mbah Suro, 80 tahun dibawa ke UGD RS Moewardi karena tidak mau makan, lemas, dan nampak gelisah. Sudah 5 hari tidak mau buang air besar. Hampir 2 minggu, mbah Suro tiduran terus karena lemas dan 1

Upload: nova-sari-nur-salamah

Post on 30-Dec-2014

157 views

Category:

Documents


23 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Skenario 3 Geriatri

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Imobilisasi merupakan salah satu masalah yang cukup besar di bidang

geriatri yang timbul sebagai akibat penyakit atau masalah psikososial yang

diderita. Di ruang rawat inap geriatri RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo

Jakarta pada tahun 2000 didapatkan prevalensi imobilisasi sebesar 33,6% dan

pada tahun 2001 sebesar 31,5% (Setiati dan Roosheroe, 2007).

Imobilisasi dapat menimbulkan komplikasi yang akan memperberat

kondisi pasien, memperlambat proses penyembuhan, serta dapat

menyebabkan kematian. Oleh karena itu, penting bagi para mahasiswa

kedokteran untuk memahami berbagai hal mengenai imobilisasi dan

komplikasi yang ditimbulkannya.

Berikut dipaparkan skenario yang dibahas dalam diskusi tutorial.

Mbah Suro Mogok Makan

Mbah Suro, 80 tahun dibawa ke UGD RS Moewardi karena tidak mau

makan, lemas, dan nampak gelisah. Sudah 5 hari tidak mau buang air besar.

Hampir 2 minggu, mbah Suro tiduran terus karena lemas dan batuk,

berdahak, tidak berdarah, tidak demam, tidak didapatkan nyeri dada. Dan

tidak mau dibawa berobat.

Dari pemeriksaan didapatkan kesadaran apatis, TD 120/70 mmHg, RR

30x/menit, T 360 C, HR 108x/menit. Pada pemeriksaan paru sebelah kanan

didapatkan ronkhi basah kasar, suara dasar bronkhial, dan fremitus raba

meningkat. Tampak luka pada punggung bawah berukuran 4x5 cm dengan

dasar luka kemerahan. Skor norton 9. Hasil laboratorium leukosit 7500. Foto

thorax menunjukkan kesuraman homogen pada paru sebelah kanan.

Di UGD diberikan oksigenasi, antibiotik, dan terapi cairan. Kemudian

dirawat di ruang rawat geriatri dengan medikasi dan kasur dekubitus.

Direncanakan konsul ke rehabilitasi medik.

1

Page 2: Laporan Skenario 3 Geriatri

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana hubungan faktor resiko usia 80 tahun dengan gejala klinis yang

dialami pasien?

2. Bagaimana patofisiologi dari gejala klinis yang dialami pasien pada skenario

?

3. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang

pada pasien?

4. Apakah yang dimaksud dengan imobilisasi dan apa saja komplikasinya ?

5. Bagaimana patofisiologi dan komplikasi ulkus dekubitus ?

6. Bagaimana patofisiologi pneumonia dan penatalaksaannya?

7. Bagaimana patofisiologi penurunan kesadaran ?

8. Bagaimana penatalaksanaan pada pasien dalam skenario ?

C. Tujuan

1. Mahasiswa mengetahui hubungan faktor resiko usia 80 tahun dengan

gejala klinis yang dialami pasien.

2. Mahasiswa mengetahui patofisiologi dari gejala klinis yang dialami

pasien pada skenario.

3. Mahasiswa mengetahui interpretasi hasil pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang pada pasien.

4. Mahasiswa mengetahui konsep imobilisas dan komplikasinya.

5. Mahasiswa mengetahui patofisiologi, komplikasi, dan penatalaksanaa

ulkus dekubitus.

6. Mahasiswa mengetahui patofisiologi pneumonia dan penatalaksannya,

terutama yang berhubungan dengan pasien geriatri.

7. Mahasiswa mengetahui patofisiologi penurunan kesadaran.

8. Mahasiswa mengetahui penatalaksanaan yang seharusnya diberikan pada

pasien

2

Page 3: Laporan Skenario 3 Geriatri

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perubahan Fisiologis pada Lansia

Dengan makin bertambahnya usia seseorang, maka

kemungkinan terjadinya penurunan anatomik dan fungsional atas

organ-organ tubuhnya makin besar. Penurunan anatomik dan fungsional

dari organ-organ pada lansia akan mempermudah timbulnya penyakit pada

organ tersebut (Martono, 2009).

Berbagai perubahan tersebut antara lain :

1. Sistem Panca Indra

Terdapat perubahan morfologi pada panca

indra. Perubahan fungsional yang bersifat degeneratif  ini,

memberi manifestasi pada morfologi berbagai organ panca indra

tersebut baik pada fungsi melihat, mendengar, keseimbangan

ataupun perasa dan perabaan. Pada keadaan yang ekstrim dapat bersifat

patologik, misalnya terjadi ekstropion/entropion, ulkus kornea,

glaucoma, dan katarak pada mata, sampai keadaan konfusio akibat

penglihatan yang terganggu. Pada telinga, dapatterjadi tuli konduksi

dan sindroma Meniere (keseimbangan).

2. Sistem gastrointestinal

Mulai dari gigi sampai anus terjadi perubahan morfologik degeneratif,

antara lain perubahan atrofik pada rahang, sehingga gigi lebih mudah

tanggal. Perubahan atrofik juga terjadi pada mukosa, kelenjar,

dan otot-otot pencernaan. Berbagai perubahan morfologik akan

meyebabkan perubahan fungsional sampai  perubahan patologik,

yang meliputi gangguan mengunyah dan menelan, penurunan nafsu

makan, konstipasi, serta berbagai penyakit sistem

gastrointestinal.

3

Page 4: Laporan Skenario 3 Geriatri

3. Sistem respirasi

Sistem respirasi sudah mencapai kematangan pertumbuhan pada usia 20-

25 tahun, setelah itu mulai menurun fungsinya. Elastisitas paru

menurun, kekakuan dinding dada meningkat, kekuatan otot

dada menurun. Semua ini mengakibatkan turunnya rasio

ventilasi-perfusi dibagian paru yang tak bebas dan pelebaran

gradient alveolar arteri untuk oksigen. Disamping itu, pada

sistem respirasi jugaterjadi penurunan gerak silia di dinding

sistem respirasi, penurunan refleks batuk dan refleks fisiologik

lain, yang menyebabkan peningkatan kemungkinan terjadinya infeksi

akut pada saluran nafas bawah. Berbagai penurunan morfologik dan

fungsional tersebut akan mempermudah terjadinya berbagai keadaan

patologik diantaranya PPOK (penyakit paru obstruktif kronis),

penyakit infeksi paru akut/kronis, dan keganasan pada paru-bronkus.

4. Sistem persendian

Pada sinovial sendi terjadi perubahan berupa tidak ratanya permukaan

sendi, fibrilasi, dan pembentukan celah dan lekukan di

permukaan tulang rawan. Erosi tulang rawan hialin menyebabkan

eburnasi tulang dan pembentukan kista di rongga subkondra dan sumsum

tulang. Semua perubahan ini serupa dengan yang terdapat pada

osteoartrosis. Keadaan tersebut baru bisa dikatakan patologik

bila terdapat stres tambahan, misalnya bila terjadi trauma atau

pada sendi penanggung beban. Diantara penyakit sendi yang

sering terdapat pada usia lanjut adalah osteoartritis, rematoid

artritis, gout dan pseudogout, artritis monoartikuler senilis dan

rematika polimialgia.

5. Infeksi dan imunologi

Pada usia lanjut timus mengalami resorbsi. Jumlah sel T dan sel

B tidak  berubah, walaupun secara kuantitatif terjadi perubahan berupa

tanggapan terhadap stimulasi artifisial. Pada usia lanjut pembentukan

autoantibodi pun meningkat sehingga insidensi penyakit autoimun

4

Page 5: Laporan Skenario 3 Geriatri

meningkat. Pengenalan dan penye rangan terhadap sel-sel tumor juga

menurun, menyebabkan insidensi penyakit neoplasma meningkat.

Tanggapan makrofag dan imunitas bawaan yang lain, misalnya

sel mukosa, sel kulit, silia di system respirasi, serta

pembentukan protein fase akut sehingga meningkatkan faktor

predisposisi terhadap terjadinya penyakit infeksi. Peningkatan

predisposisi pada infeksi tersebut penting pada lansia,

karena pada usia lanjut infeksi cenderung menjadi berat, bahkan

menyebabkan kematian. Infeksi saluran nafas

bawah (pneumonia dan bronkhopneumonia) serta infeksi saluran

kemih merupakan infeksi penting pada usia lanjut, yang bisa berlanjut

lebih berat. Faktor-faktor yang memperberat infeksi tersebut diantaranya

adalah imobilisasi, instrumentasi, serta iatrogenik.

6. Sistem saraf pusat dan otonom

Terjadi penurunan berat otak sekitar 10 % pada penuaan antara

umur 30 sampai 70 tahun. Disamping meningen menebal, giri

dan sulci otak berkurang kedalamannya. Akan tetapi kelainan

ini tidak menimbulkan kelainan patologik yang berarti. Pada

semua sitoplasma sel juga terjadi deposit lipofusin yang sering

disebut pigmen wear and tear . Yang bersifat patologis adalah

adanya degenerasi pigmen substansia nigara, kekusutan

neurofibriler dan pembentukan badan-badan Hirano. Keadaan

ini sesuai dengan proses terjadinya patologi pada sindrom

Parkinson dan demensia tipe Alzeimer. Pada pembuluh darah

terjadi penebalan tunika intima dan tunika media sehingga

sering terjadi gangguan vaskularisasi otak yang berakibat

terjadinya TIA, stroke, dan demensia vaskuler. Vaskularisasi

yang menurun pada daerah hipotalamus

menyebabkan terjadinya gangguan saraf otonom, disamping mungkin

sebagai akibat pengaruh berkurangnya berbagai beurotransmiter.

Penyakit metabolik seperti diabetes, hipotiroid, dan hipertiroid dapat

5

Page 6: Laporan Skenario 3 Geriatri

menyebabkan gangguan pada sususna saraf tepi, baik yang bersifat

otonom atau tidak.

7. Sistem kulit dan integumen

Terjadi atrofi epidermis, kelenjar keringat, folikel rambut, serta

berubahnya pigmentasi dengan akibat penipisan kulit, fragil

seperti selaput (seperti kulit ari  buah salak). Warna kulit

berubah dan terjadi pigmentasi yang tidak merata.  Kuku

menipis dan mudah patah, rambut rontok sampai terjadi

kebotakan. Lemak subkutan berkurang menyebabkan

berkurangnya bantalan kulit, sehingga daya tahan terhadap

tekanan dan perubahan suhu menjadi berkurang. Akibatnya

pada lansia mudah terjadi dekubitus, hipotermia. Penipisan

kulit tersebut menyebabkan kulit mudah terluka dan terjadi infeksi

kulit.

8. Otot dan tulang

Otot-otot mengalami atrofi karena berkurangnya aktivitas,

gangguan metabolik, atau denervasi saraf. Dengan

bertambahnya usia, proses berpasangan (coupling) penulangan

yaitu perusakan dan pembentukan tulang melambat, terutama

pembentukannya. Hal ini selain akibat menurunnya aktivitas tubuh,

jugaakibat penurunan hormon estrogen (pada wanita), vitamin D

(terutama orang yangkurang terkena sinar matahari) dan beberapa

hormon lain seperti kalsitonin dan parathormon. Tulang-tulang

terutama trabekulae menjadi lebih berongga-

rongga,mikroarsitektur berubah dan sering berakibat patah

tulang baik akibat benturanringan maupun spontan.

9. Badan Menyeluruh

Pada lansia terjadi penurunan tinggi badan (postur bungkuk

karena kifosis), berat badan menurun, rasio lemak atau BB

bersih meningkat, dan air tubuh total  juga menurun.

6

Page 7: Laporan Skenario 3 Geriatri

B. Pneumonia

Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal

dari bronkiolus terminalis, yang mencakup bronkiolus respiratorius, alveoli,

serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan menimbulkan gangguan

pertukaran gas setempat.

Etiologi dari pneumonia adalah :

1. Bakteri

Pneumonia bakteri biasanya didapatkan pada usia lanjut. Organsime

gram positif seperti Streptococcus pneumonia, S. aureus dan S.

pyogenesis. Bakteri gram negatif seperti Haemophilus influenza,

Klebsiella pneumonia dan P.Aeruginosa.

2. Virus

Disebabkan oleh virus influenza yang menyebar melalui transmisi

droplet. Cytomegalovirus dalam hal ini dikenal sebagai penyabab utama

pneumonia virus.

3. Jamur

Infeksi yang disebabkan jamur seperti histoplasmosis menyebar melalui

penghirupan udara yang mengandung spora dan biasanya ditemukan

pada kotoran burung, tanah serta kompos.

4. Protozoa

Menimbulkan terjadinya pneumocystis carinii pneumonia (CPC).

Biasanya menjangkiti pasien yang mengalami imunosupresi

Manifestasi klinis pneumonia berupa (1) kesulitan dan sakit pada saat

bernafas, (2) nyeri pleuritik, nafas dangkal dan mendengkur, takipnea (3)

bunyi krekels, ronkhi, egofoni di atas area yang mengalami konsolidasi, (4)

gerakan dada tidak simetris, (5) menggigil dan demam 38,8-41,1˚C, delirium

(6) batuk kental, produktif, serta (7) sputum kuning kehijauan kemudian

berubah menjadi kemerahan/berkarat.

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan antara lain:

1. Sinar X, untuk mengidentifikasi distribusi struktural; dapat juga

menyatakan abses luas/infilrat, emfiema (staphylococcus); infiltrat

7

Page 8: Laporan Skenario 3 Geriatri

menyebar atau terlokalisasi (bakterial); atau penyebaran/perluasan

infiltrat nodul (virus).

2. GDA. Nilai tidak normal mungkin terjadi, tergantung pada luas paru

yang terlibat dan penyakit paru yang ada

3. Pemeriksaan gram/kultur sputum dan darah, diambil dengan biopsi

jarum, aspirasi transtrakheal, bronkoskopi fiberotik atau biopsi

pembukaan paru untuk mengatasi organisme penyebab

4. JDL, leukositosis biasanya ada, meski sel darah putih rendah terjadi pada

infeksi virus, kondisi tekanan imun memungkinkan berkembangnya

pneumonia bakterial

5. Pemeriksan serologi; titer virus atau legionella, aglutinin dingin

Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien pneumonia berupa

kemoterapi. Pemberian kemoterapi harus berdasarkan petunjuk penemuan

kuman penyebab infeksi (hasil kultur sputum dan tes sensitivitas kuman

terhadap antibodi). Bila penyakitnya ringan antibiotik diberikan secara oral,

sedangkan bila berat diberikan secara parenteral. Apabila terdapat penurunan

fungsi ginjal akibat proses penuaan, maka harus diingat kemungkinan

penggunaan antibiotik tertentu perlu penyesuaian dosis. Selain itu diberika

pula pengobatan umum, terapi oksigen, hidrasi (bila ringan hidrasi oral, tetapi

jika berat dehidrasi dilakukan secara parenteral), fisioterapi, serta tirah baring.

C. Mobilisasi dan Imobilisasi

Mobilisasi atau kemampuan seseorang untuk bergerak bebas

merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang harus terpenuhi.Tujuan

mobilisasi adalah memenuhi kebutuhan dasar (termasuk melakukan aktifitas

hidup sehari-hari dan aktifitas rekreasi), mempertahankan diri (melindungi

diri dari trauma), mempertahankan konsep diri, mengekspresikan emosi

dengan gerakan tangan non verbal. Mobilisasi sangat dipengaruhi oleh sistem

neuromuskular, meliputi sistem otot, skeletal, sendi, ligament, tendon,

kartilago, dan saraf. Faktor yang mempengaruhi mobilisasi antara lain (1)

8

Page 9: Laporan Skenario 3 Geriatri

sistem neuromuskular, (2) gaya hidup, (3) ketidakmampuan, (4) tingkat

energi, dan (5) tingkat perkembangan (Leahy dan Kizilay, 1998).

Imobilisasi didefinisikan sebagai keadaan yang tidak bergerak/tirah

baring selama tiga hari atau lebih dengan gerakan anatomik tubuh

menghilang akibat perubahan fungsi fisiologik. Berbagai faktor fisik,

psikologis, dan lingkungan dapat menyebabkan imobilisasi pada usia lanjut.

Penyebab utama imobilisasi adalahadanya rasa nyeri, lemah, kekakuan otot,

ketidakseimbangan, dan masalah psikologis. Osteoartritis merupakan

penyebab utama kekakuan pada usia lanjut. Gangguan fungsi kognitif berat

seperti pada demensia dan gangguan fungsimental seperti depresi juga

menyebabkan imobilisasi. Kekhawatiran keluarga yang berlebihan dapat

menyebabkan orang lanjut usia terus-menerus berbaring ditempat tidur baik

di rumah maupun di rumah sakit.

Tatalaksana umum pada pasien imobilisasi membutuhkan kerjasama

tim medis interdisiplin dengan partisipasi pasien, keluarga, dan pramuwedha.

Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai bahaya tirah baring lama,

pentingnya latihan bertahap dan ambulasi dini, serta mencegah

ketergantungan pasien dengan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari

sendiri, semampu pasien. Dilakukan pengkajian geriatri paripurna, perumusan

target fungsional, dan pembuatanrencana terapi yang mencakup perkiraan

waktu yang diperlukan untuk mencapai target terapi, kenali dan berikan terapi

bila terjadi infeksi, malnutrisi, anemia, gangguan cairan dan elektrolit yang

mungkin terjadi pada kasus imobilisasi, serta penyakit/kondisi penyerta

lainnya. Evaluasi seluruh obat-obatan yang dikonsumsi.Obat-obatan yang

dapat menyebabkan kelemahan atau kelelahan harus diturunkan dosisnya atau

dihentikan bila memungkinkan.Berikan nutrisi yang adekuat, asupan cairan

dan makanan yang mengandung serat, sertasuplementasi vitamin dan mineral.

Program latihan dan remobilisasi dimulai ketika kestabilan kondisi medis

terjadi meliputi latihan mobilitas di tempat tidur, latihan gerak sendi (pasif,

aktif, dan aktif dengan bantuan), latiahan penguat otot-otot (iosotonik,

isometrik, isokinetik) latihan koordinasi/keseimbangan, dan ambulasi

9

Page 10: Laporan Skenario 3 Geriatri

terbatas. Bila diperlukan, ajarkan cara penggunaan alat-alat bantu berdiri dan

ambulasi. Manajemen miksi dan defekasi.Pada keadaan-keadaan khusus

konsultasikan kondisi medik kepada dokter spesialis yangkompeten. Lakukan

remobilisasi segera dan bertahap pada pasien-pasien yang mengalami sakit

atau dirawat di rumah sakit dan panti wredha untuk mobilitas yang adekuat

bagi usia lanjut yang mengalami disabilitas permanen. (Carpenito, 1999)

Komplikasi pada pasien pasien imobilisasi antara lain:

1. Trombosis vena dalam

Trombosis vena dalam merupakan salah satu gangguan vaskular perifer

yang penyebabnya multifaktorial, meliputi faktor genetik dan

lingkungan. Terdapat tiga faktor yang meningkatkan risko trombosis

vena dalam yaitu karena adanya luka di vena dalam karena trauma atau

pembedahan,sirkulasi darah yang tidak baik pada vena dalam, dan

berbagai kondisi yang meningkatkan risiko pembekuan darah. Beberapa

kondisi yang dapat menyebabkan sirkulasi darah tidak baik di vena

dalam meliputi gagal jantung kongestive, imobilisasi lama, dan adanya

gumpalan darah yang telah timbul sebelumnya. Gejala trombosis vena

bervariasi, dapat berupa rasa panas, bengkak, kemerahan, dan rasa nyeri

pada tungkai.

2. Emboli paru

Emboli paru dapat menghambat aliran darah ke paru dan memicu

refleks tertentu yang dapat menyebabkan panas yang mengakibatkan

nafas berhenti secara tiba-tiba. Sebagian besar emboli paru disebabkan

oleh emboli karena trombosis vena dalam. Berkaitan dengan trombosis

vena dalam, emboli paru disebabkan oleh karena trombosis yang

biasanya berlokasi pada tungkai bawah yang pada gilirannya akan

mencapai pembuluh darah paru dan menimbulkan sumbatan yang dapat

berakibat fatal. Emboli paru akibat trombosis merupakan penyebab

kesakitan dan kematian pada pasien lanjut usia.

10

Page 11: Laporan Skenario 3 Geriatri

3. Kelemahan otot

Imobilisasi akan menyebabkan atrofi otot dengan penurunan ukuran

dan kekuatan otot. Penurunan kekuatan diperkirakan 1-2%

sehari.Kelemahanotot pada pasien dengan imobilisasi sering kali terjadi

berkaitan dengan penurunan fungsional, kelemahan, dan jatuh.

4. Kontraktur otot dan sendi

Pasien yang mengalami tirah baring lama berisiko mengalami

kontraktur karena sendi-sendi tidak digerakkan.Akibatnya timbul nyeri

yang menyebabkan seseorang semakin tidak mau menggerakkan sendi

yang kontraktur tersebut.

5. Osteoporosis

Osteoporosis timbul sebagai akibat ketidak seimbangan antara

reabsorpsi tulang dan pembentukan tulang. Imobilisasi meningkatkan

resabsorpsi tulang, meningkatkan kalsium serum, menghambat sekresi

PTH, dan produksi vitamin D3 aktif.Faktor utama yang menyebabkan

kehilangan massatulang pada imobilisasi adalah meningkatnya resorpsi

tulang.

6. Ulkus Dekubitus

Luka akibat tekanan merupakan komplikasi yang paling sering

terjadipada pasien usia lanjut dengan imobilisasi. Jumlah tekanan yang

dapat mempengaruhi mikro sirkulasi kulit pada usia lanjut berkisar

atara 25 mmHg. Tekanan lebih dari 25 mmHg secara terus-menerus

pada kukitatau jaringan lunak dalam waktu lama akan menyebabkan

kompresi pembuluh kapiler. Kompresi pembuluh dalam waktu lama

akan mengakibatkan trombosis intra arteri dan gumpalan fibrin yang

secara permanen mempertahankan iskemia kulit. Relief bekas tekanan

mengakibatkan pembuluh darah tidak dapat terbuka dan

akhirnyaterbentuk luka akibat tekanan.

7. Hipotensi Postural

Hipotensi postural adalah penurunan tekanan darah sebesar 20 mmHg

dari posisi berbaring ke duduk dengan salah satu gejala klinik yang

11

Page 12: Laporan Skenario 3 Geriatri

sering timbul adalah iskemia serebral, khususnya sinkop.Pada posisi

berdiri, secara normal 600-800 ml darah dialirkan ke bagian tubuh

inferior terutama tungkai.Penyebaran cairan tubuh tersebut

menyebabkan penurunan curah jantung sebanyak 20%, penurunan

volume sekuncup 35%, dan akselerasi frekuensi jantung sebanyak 30%.

Pada orang normal sehat, mekanisme kompensasi menyebabkan

vasokonstriksi dan peningkatan denyut jantung yang menyebabkan

tekanan darah tidak turun. Pada lansia, umumnya fungsi baroreseptor

menurun. Tirah baring total selama paling sedikit 3 minggu akan

mengganggu kemampuan seseorang untuk menyesuaikan posisi berdiri

dari berbaring pada orang sehat, hal iniakan lebih terlihat pada lansia.

8. Pneumonia dan Infeksi Saluran Kencing (ISK)

Akibat imobilisasi, retensi sputum dan aspirasi lebih mudah terjadi pada

pasien geriatri.Pada posisi berbaring otot diafragma dan interkostal

tidak berfungsi dengan baik sehingga gerakan dinding dada juga

menjadi terbatas yang menyebabkan sputum sulit keluar dan pasien

mudah terkena pneumonia.Aliran urin juga terganggu akibat tirah

baring yang kemudian menyebabkan infeksi saluran kemih.

Inkontinensia urin juga sering terjadipada usia lanjut yang mengalami

imobilisasi yang disebabkan ketidakmampuan ke toilet, berkemih yang

tidak sempurna, gangguan status mental, dan gangguan sensai kandung

kemih.

9. Gangguan nutrisi (hipoalbuminemia)

Imobilisasi akan mempengaruhi sistem metabolik dan sistem endokrin

yang akibatnya akan terjasi perubahan terhadap metabolisme zat gizi.

Salah satu yang terjadi adalah perubahan metabolisme protein. Kadar

plasma kortisol lebih tinggi pada usia lanjut yang mobilisasi sehingga

menyebabkan metabolisme menjadi katabolisme. Keadaan tidak

beraktifitas dan imobilisasi selama 7 hari akan meningkatkan ekskresi

nitrogen urin sehingga terjadi hipoproteinemia.

12

Page 13: Laporan Skenario 3 Geriatri

10. Konstipasi dan Skibala

Imobilisasi lama akan menurunkan waktu tinggal feses di kolon.

Semakin lama feses tinggal di usus besar, absorbsi cairan akan lebih

besar sehingga feses akan menjadi lebih keras (Craven dan Hirnle,

2000).

D. Skor Norton

Skor Norton adalah skala pengkajian dekubitus untuk memprediksi

timbulnya dekubitus pada pasien usia lanjut. Skala ini diciptakan berdasarkan

pengalaman klinik yang mencakup lima variabel yaitu kondisi fisik, kondisi

mental, aktifitas, mobilitas dan inkontinensia. Maksimum skor yang dapat

dicapai pada skala ini adalah 20. Skore lebih dari 18 berarti risiko dekubitus

masih rendah, 14-18 risiko sedang, 10-13 risiko tinggi dan kurang dari 10

termasuk kategori sangat tinggi. Validitas skala ini juga sudah diteliti oleh

beberapa studi dengan menampilkan sensivitas dan spesifikasi pada area yang

berbeda-beda. Keunggulan skala ini adalah karena sangat simpel untuk

digunakan dan tidak memerlukan waktu yang lama untuk menggunakannya.

Dengan evaluasi skor ini dapat dilihat perkembangan penderita.

Berikut disajikan tabel skor norton.

Nama Penderita Skor Tanggal

Kondisi fisik- Baik- Lumayan- Buruk - Sangat Buruk

Kesadaran- Kompos mentis- Apatis- Konfus/soporus- Stupor/koma

Aktivitas- Ambulan- Ambulan dengan bantuan- Hanya bisa duduk- Tiduran

13

Page 14: Laporan Skenario 3 Geriatri

Mobilitas- Bergerak bebas- Sedikit terbatas- Sangat terbatas- Tak bisa bergerak

Inkontinensia- Tidak- Kadang-kadang- Sering inkontinensia urin- Inkontinensia alvi dan urin

E. Dekubitus

Dekubitus berasal dari bahasa latin decumbree yang berarti merebahkan

diri yang didefenisikan sebagai suatu luka akibat posisi penderita yang tidak

berubah dalam jangka waktu lebih dari 6 jam (Sabandar, 2008). Potter &

Perry (2005) mengatakan dekubitus merupakan nekrosis jaringan lokal yang

cenderung terjadi ketika jaringan lunak tertekan diantara tonjolan tulang

dengan permukaan eksternal dalam jangka waktu lama. Terjadi gangguan

mikrosirkulasi jaringan lokal dan mengakibatkan hipoksia jaringan. Jaringan

memperoleh oksigen dan nutrisi serta membuang sisa metabolisme melalui

darah. Beberapa faktor yang mengganggu proses ini akan mempengaruhi

metabolisme sel dengan cara mengurangi atau menghilangkan sirkulasi

jaringan yang menyebabkan iskemi jaringan.

Faktor yang menjadi predisposisi terjadinya luka dekubitus pada pasien

yaitu:

1. Gangguan Input Sensorik

Pasien yang mengalami perubahan persepsi sensorik terhadap nyeri

dan tekanan, beresiko tinggi menggalami gangguan integritas kulit

daripada pasien yang sensasinya normal. Pasien yang mempunyai persepsi

sensorik yang utuh terhadap nyeri dan tekanan dapat mengetahui jika salah

satu bagian tubuhnya merasakan tekanan atau nyeri yang terlalu besar,

sehingga ketika pasien sadar dan berorientasi mereka dapat mengubah atau

meminta bantuan untuk mengubah posisi (Potter dan Perry, 2005).

14

Page 15: Laporan Skenario 3 Geriatri

2. Gangguan Fungsi Motorik

Pasien yang tidak mampu mengubah posisi secara mandiri beresiko

tinggi terhadap dekubitus. Pasien tersebut dapat merasakan tekanan tetapi

tidak mampu mengubah posisi secara mandiri untuk menghilangkan

tekanan tersebut. Hal ini meningkatkan peluang terjadinya dekubitus. Pada

pasien yang mengalami cedera medulla spinalis terdapat gangguan

motorik dan sensorik. Angka kejadian dekubitus pada pasien yang

mengalami cedera medula spinalis diperkirakan sebesar 85%, dan

komplikasi luka ataupun berkaitan dengan luka merupakan penyebab

kematian pada 8% populasi ini (Potter dan Perry, 2005).

3. Perubahan Tingkat Kesadaran

Pasien bingung, disorientasi, atau mengalami perubahan tingkat

kesadaran tidak mampu melindungi dirinya sendiri dari luka dekubitus.

Pasien bingung atau disorientasi mungkin dapat merasakan tekanan, tetapi

tidak mampu memahami bagaimana menghilangkan tekanan itu. Pasien

koma tidak dapat merasakan tekanan dan tidak mampu mengubah ke

posisi yang labih baik. Selain itu pada pasien yang mengalami perubahan

tingkat kesadaran lebih mudah menjadi binggung. Beberapa contoh adalah

pada pasien yang berada di ruang operasi dan untuk perawatan intensif

dengan pemberian sedasi (Potter dan Perry, 2005).

4. Gips, Traksi, Alat Ortotik dan Peralatan Lain

Gips dan traksi mengurangi mobilisasi pasien dan ekstermitasnya.

Pasien yang menggunakan gips beresiko tinggi terjadi dekubitus karena

adanya gaya friksi eksternal mekanik dari permukaan gips yang bergesek

pada kulit. Gaya mekanik kedua adalah tekanan yang dikeluarkan gips

pada kulit jika gips terlalu ketat dikeringkan atau ekstremitasnya bengkak.

Peralatan ortotik seperti penyangga leher digunakan pada pengobatan

pasien yang mengalami fraktur spinal servikal bagian atas. Luka dekubitus

merupakan potensi komplikasi dari alat penyangga leher ini (Potter dan

Perry, 2005).

5. Nutrisi Buruk

15

Page 16: Laporan Skenario 3 Geriatri

Pasien kurang nutrisi sering mengalami atrofi otot dan jaringan

subkutan yang serius. Akibat perubahan ini maka jaringan yang berfungsi

sebagai bantalan diantara kulit dan tulang menjadi semakin sedikit. Oleh

karena itu efek tekanan meningkat pada jaringan tersebut (Potter & Perry,

2005). Pasien yang mengalami malnutrisi mengalami defisiensi protein

dan keseimbangan nitrogen negatif dan tidak adekuat asupan vitamin C.

Status nutrisi buruk dapat diabaikan jika pasien mempunyai berat badan

sama dengan atau lebih dari berat badan ideal. Pasien dengan status nutrisi

buruk biasa mengalami hipoalbuminunea (level albumin serum dibawah

3g/100 ml) dan anemia (Potter dan Perry, 2005).

Albumin adalah ukuran variable yang biasa digunakan untuk

mengevaluasi status protein pasien. Pasien yang albumin serumnya

dibawah 3g/100 ml beresiko tinggi. Selain itu, level albumin rendah

dihubungkan dengan lambatnya penyembuhan luka. Walaupun kadar

albumin serum kurang tepat memperlihatkan perubahan protein viseral,

tapi albumin merupakan prediktor malnutrisi yang terbaik untuk semua

kelompok manusia (Potter dan Perry, 2005).

Level total protein juga mempunyai korelasi dengan luka dekubitus,

level total protein dibawah 5,4 g/100 ml menurunkan tekanan osmotik

koloid, yang akan menyebabkan edema interstisial dan penurunan oksigen

ke jaringan. Edema akan menurunkan toleransi kulit dan jaringan yang

berada di bawahnya terhadap tekanan, friksi, dan gaya gesek. Selain itu,

penurunan level oksigen meningkatkan kecepatan iskemi yang

menyebabkan cedera jaringan (Potter dan Perry, 2005).

Nutrisi buruk juga mengganggu keseimbangan cairan dan elektrolit.

Pada pasien yang mengalami kehilangan protein berat, hipoalbuminimea

menyebabkan perpindahan volume cairan ekstrasel kedalam jaringan

sehingga terjadi edema. Edema dapat meningkatkan resiko terjadi

dekubitus di jaringan. Suplai darah pada suplai jaringan edema menurun

dan produk sisa tetap tinggal karena terdapatnya perubahan tekanan pada

sirkulasi dan dasar kapiler (Potter dan Perry, 2005).

16

Page 17: Laporan Skenario 3 Geriatri

Tiga elemen yang menjadi dasar terjadinya dekubitus yaitu 91)

intensitas tekanan dan tekanan yang menutup kapiler, (2) durasi dan besarnya

tekanan, dan (3) toleransi jaringan. Dekubitus terjadi sebagai hasil hubungan

antar waktu dengan tekanan. Semakin besar tekanan dan durasinya, maka

semakin besar pula insidensinya terbentuknya luka (Potter dan Perry, 2005).

Kulit dan jaringan subkutan dapat mentoleransi beberapa tekanan. Tapi

pada tekanan eksternal terbesar dari pada tekanan dasar kapiler akan

menurunkan atau menghilangkan aliran darah ke dalam jaringan sekitarnya.

Jaringan ini menjadi hipoksia sehingga terjadi cedera iskemi. Jika tekanan ini

lebih besar dari 32 mmHg dan tidak dihilangkan dari tempat yang mengalami

hipoksia, maka pembuluh darah kolaps dan trombosis. Saat tekanan

dihilangkan sebelum titik kritis maka sirkulasi pada jaringan akan pulih

kembali melalui mekanisme fisiologis hiperemia reaktif, karena kulit

mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk mentoleransi iskemi dari

otot, maka dekubitus dimulai di tulang dengan iskemi otot yang berhubungan

dengan tekanan yang akhirnya melebar ke epidermis (Potter dan Perry, 2005).

Pembentukan dekubitus juga berhubungan dengan adanya gaya gesek

yang terjadi saat menaikkan posisi klien di atas tempat tidur. Area sakral dan

tumit merupakan area yang paling rentan. Efek tekanan juga dapat di

tingkatkan oleh distribusi berat badan yang tidak merata. Seseorang

mendapatkan tekanan konstan pada tubuh dari permukaan tempatnya berada

karena adanya gravitasi. Jika tekanan tidak terdistribusi secara merata pada

tubuh maka gradien tekanan jaringan yang mendapatkan tekanan akan

meningkat dan metabolisme sel kulit di titik tekanan mengalami gangguan

(Potter & Perry, 2005).

Salah satu cara yang paling sesuai untuk mengklasifikasikan dekubitus

adalah dengan menggunakan sistem nilai atau tahapan.

1. Derajat I: Eritema tidak pucat pada kulit utuh, lesi luka kulit yang

diperbesar. Kulit tidak berwarna, hangat, atau keras juga dapat menjadi

indikator.

17

Page 18: Laporan Skenario 3 Geriatri

2. Derajat II: Hilangnya sebagian ketebalan kulit meliputi epidermis dan

dermis. Luka superficial dan secara klinis terlihat seperti abrasi, lecet, atau

lubang yang dangkal.

3. Derajat III: Hilangnya seluruh ketebalan kulit meliputi jaringan subkutan

atau nekrotik yang mungkin akan melebar kebawah tapi tidak melampaui

fascia yang berada di bawahnya. Luka secara klinis terlihat seperti lubang

yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.

4. Derajat IV: Hilangnya seluruh ketebalan kulit disertai destruksi ekstensif,

nekrosis jaringan; atau kerusakan otot, tulang, atau struktur penyangga

misalnya kerusakan jaringan epidermis, dermis, subkutaneus, otot dan

kapsul sendi (Potter dan Perry, 2005).

Komplikasi sering terjadi pada luka dekubitus derajat III dan IV,

walaupun dapat terjadi pada luka yang superfisial. Menurut Sabandar (2008)

komplikasi yang dapat terjadi antara lain (1) infeksi, umumnya bersifat

multibakterial baik aerobik maupun anaerobik, (2) keterlibatan jaringan tulang

dan sendi seperti periostitis, dan osteotitis (3) septikimia, (4) anemia, dan (5)

kematian.

Menurut Potter dan Perry (2005) daerah tubuh yang sering terkena luka

dekubitus adalah

1. Pada penderita pada posisi terlentang: pada daerah belakang kepala,

daerah tulang belikat, daerah bokong dan tumit.

2. Pada penderita dengan posisi miring: daerah pinggir kepala (terutama

daun telinga), bahu, siku, daerah pangkal paha, kulit pergelangan kaki

dan bagian atas jari-jari kaki.

3. Pada penderita dengan posisi tengkurap: dahi, lengan atas, tulang iga, dan

lutut.

Tindakan yang berguna baik untuk pencegahan maupun setelah

terjadinya dekubitus adalah:

1. Meningkatkan status kesehatan penderita.

18

Page 19: Laporan Skenario 3 Geriatri

Meningkatkan status kesehatan dapat dilakukan dengan cara

memperbaiki dan menjaga keadaan umum penderita, misalnya anemia

diatasi, hipoalbuminemia dikoreksi, nutirisi dan hidarasi yang cukup,

vitamin (vitamin C) dan mineral (Zn) ditambahkan, mengatasi/mengobati

penyakit-penyakit yang ada pada penderita, misalnya DM.

2. Mengurangi/memeratakan faktor tekanan yang mengganggu aliran darah.

Alih posisi/alih baring/tidur selang seling, paling lama tiap dua jam.

Kekurangan pada cara ini adalah ketergantungan pada tenaga perawat

yang kadang-kadang sudah sangat kurang, dan kadang-kadang

mengganggu istirahat penderita bahkan menyakitkan.

3. Kasur khusus, untuk lebih membagi rata tekan yang terjadi pada tubuh

penderita, misalnya kasur dengan gelembung tekan udara yang naik

turun, kasur air yang temperatur airnya dapat diatur.

4. Regangan kulit dan lipatan kulit yang menyebabkan sirkulasi darah

setempat terganggu, dapat dikurangi antara lain menjaga posisi penderita,

apakah ditidurkan rata pada tempat tidurnya atau duduk dikursi. Dapat

juga menggunakan bantuan balok penyangga kedua kaki, bantal-bantal

kecil utuk menahan tubuh penderita. Di luar negeri sering digunakan

kulit domba dengan bulu yang lembut dan tebal sebagai alas tubuh

penderita (Hidayat et. al., 2009).

Bila sudah terjadi dekubitus, tentukan stadium dekubitus dan tindakan

medik menyesuaikan apa yang dihadapi.

1. Dekubitus derajat I

Dengan reaksi peradangan masih terbatas pada epidermis, kulit yang

kemerahan dibersihkan hati-hati dengan air hangat dan sabun, diberi

lotion, kemudian dimassase 2-3 kali/hari.

2. Dekubitus derajat II

Dimana sudah terjadi ulkus yang dangkal, perawatan luka harus

memperhatikan syarat-syarat aseptik dan antiseptik. Daerah bersangkutan

19

Page 20: Laporan Skenario 3 Geriatri

digesek dengan es dan dihembus dengan udara hangat bergantian untuk

merangsang sirkulasi. Dapat diberikan salep topikal, mungkin juga untuk

merangsang tumbuhnya jaringan muda/granulasi.

Penggantian balut dan salep ini jangan terlalu sering karena malahan

dapat merusakkan pertumbuhan jaringan yang diharapkan.

3. Dekubitus derajat III

Dengan ulkus yang sudah dalam, menggaung sampai pada bungkus otot

dan sering sudah ada infeksi.Usahakan luka selalu bersih dan eksudat

disusahakan dapat mengalir keluar. Balut jangan terlalu tebal dan

sebaliknya transparan sehingga permeabel untuk masukknya

udara/oksigen dan penguapan. Kelembaban luka dijaga tetap basah,

karena akan mempermudah regenerasi sel-sel kulit. Jika luka kotor dapat

dicuci dengan larutan NaCl fisiologis. Antibiotik sistemik mungkin

diperlukan.

4. Dekubitus derajat IV

Dengan perluasan ulkus sampai pada dasar tulang dan sering pula diserta

jaringan nekrotik. Semua langkah-langkah diatas tetap dikerjakan dan

jaringan nekrotik harus dibersihkan sebab akan menghalangi

pertumbuhgan jaringan/epitelisasi.

Beberapa preparat enzim coba diberikan untuk usaha ini, dengan tujuan

mengurangi perdarahan, dibanding tindakan bedah yang juga merupakan

alternatif lain. Setelah jaringan nekrotik dibuang dan luka bersih,

penyembuhan luka secara alami dapat diharapkan.Beberapa usaha

mempercepat adalah antara lain dengan memberikan oksigenisasi pada

daerah luka. Tindakan dengan ultrasono untuk membuka sumbatan-

sumbatan pembuluh darah dan sampai pada transplantasi kulit setempat.

Angka mortalitas dekubitus derajat IV ini dapat mencapai 40% (Hidayat

et. al., 2009).

F. Acute Confusional State (ACS)

20

Page 21: Laporan Skenario 3 Geriatri

ACS adalah sindrom mental organik yang ditandai oleh gangguan

kognitif global, kesadaran menurun, perubahan aktivitas psikomotor dan

gangguan siklus tidur yang terjadi akut serta berfluktuasi.

Gejala awal (prodormal) biasanya berupa perasaan kelelahan, gelisah,

cemas, kesulitan berpikir koheren insomnia, mimpi buruk, serta halusinasi

yang hilang timbul. Sesuai definisi, terdapat gangguan kognitif global yang

terdiri dari proses berpikir, memori dan persepsi. Gejala yang pertama, utama

dan terakhir adalah disorientasi waktu. Pada keadaan lebih berat dapat timbul

disoroentasi tempat dan orang. Gangguan memori terutama short term

memory.

Seringkali pasien tidak dapat membedakan halusinasi dari mimpi.

Pasien juga mengalami kesulitan memusatkan perhatian, sulit berkonsentrasi,

sehingga dapat terjadi kesulitan komunikasi. Gangguan kesadaran dapat

timbul berupa hilangnya kesadaran akan dirinya sendiri dan lingkungan.

Respon terhadap rangsangan dari luar menurun, dan tidak mampu

mengkorelasikan dengan pengalaman sebelumnya sehingga pasien tidak

mampu menangkap maknanya.

Siklus tidur juga terganggu. Pada malam hari, pasien merasa tidak dapat

tidur dan gelisah, sedangkan pada siang hari mengeluh pusing dan

mengantuk. Aktivitas psikomotor dapat meningkat (hiperaktif) seperti

agitatif, selalu terjaga (hyperalert) disertai halusinasi. Dapat pula terjadi

keadaan hipoaktif seperti hypoalert dan lunglai.

Penyakit Alzheimer, gangguan kognitif sebelumnya, pemakaian obat

neuroleptik dan narkotik, fraktur (femur) saat masuk rumah sakit serta

hipoalbuminemia dikatakan sebagai faktor predisposisi ACS. Selain itu, stress

psikologis, kurang tidur, serta kondisi overload juga memudahkan timbulnya

ACS.

Pencetus ACS dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu penyakit-

penyakit primer di otak, penyakit sistemik yang mempengaruhi otak,

intoksikasi, dan akibat putus obat. Penyakit primer di otak misalnya berbagai

neoplasma atau infeksi pada susunan saraf pusat serta penyakit pembuluh

21

Page 22: Laporan Skenario 3 Geriatri

darah otak (terutama hemisfer kanan) dan epilepsi. Berbagai penyakit

sistemik dapat mempengaruhi otak secara sekunder antara lain uremia pada

gagal ginjal kronik, gagal jantung, pneumonia, infeksi saluran kemih,

berbagai penyakit kolagen, gangguan keseimbangan asam-basa,

hiponatremia, hipokalemia, dan bahkan dehidrasi. Intoksikasi obat-obat

antikolinergik dan putus obat hipnotik-sedatif juga dapat mencetuskan

delirium.

Identifikasi pencetus delirium merupakan langkah awal yang harus

dikerjakan. Sangat mungkin ditemukan lebih dari satu pencetus, mengingat

multipatologi merupakan salah satu cirri pasien geriatric. Anamnesisi

merupakan modalitas yang cukup ampuh untuk menapis faktor predisposisi

tersebut. Tindakan pengobatan tentu tergantung penyebab dan kondisi klinis

pasien saat itu. Selain terapi kausal, terapi suportif seperti mencegah

polifarmasi, haloperidol (0,5 – 5,0 mg per dua kali sehari) serta penghentian

obat antikolinergik juga perlu dipertimbangkan. Pengobatan suportif lain

seperti memberikan cairan elektrolit, imbangan nutrisi, dan vitamin juga

harus diperhatikan.

G. Rehabilitasi Medik

Tujuan rehabilitasi medik secara umum adalah untuk mengurangi

resiko terjadinya kecacatan, mencegah kecacatan dan serangan berulang,

meningkatkan kemandirian pasien dan meminimalisir ketergantungan pasien

terhadap orang lain. Terapi rehabilitasi medik mencakup tiga aspek utama,

yaitu aspek medis, aspek psikososial dan aspek edukasional-vokasional.

Rehabilitasi medik yang diberikan pada pasien ulkus dekubitus

memiliki beberapa tujuan, antara lain:

1. Pemeliharaan kekuatan dan ketahanan sistem muskuloskeletal, yang

termasuk pengkondisian program latihan harian baik kontraksi otot

isometrik dan isotonik, aktivitas penguatan aerobik, nutrisi untuk

meningkatkan anabolisme protein dan pembentukan tulang.

22

Page 23: Laporan Skenario 3 Geriatri

2. Pemeliharaan fleksibilitas sendi yang terlibat dalam latihan rentang

gerak, posisi yang tepat dengan mengatur posisi tungkai dengan

ketergantungan minimal (misalnya meninggikan tungkai diatas dudukan

kaki) mencegah pengumpulan darah pada ekstremitas bawah.

3. Pemeliharaan sirkulasi yang adekuat. Hal ini bisa dilakukan dengan

terapi penyinaran (infra red, short wave diatermy) dan pengurutan atau

massage.

4. Pemeliharaan fungsi urinaria dan usus yang normal bergantung pada

dukungan nutrisi dan struktur lingkungan serta rutinitas-rutinitas untuk

memfasilitasi eliminasi.

5. Edukasi pasien bisa diberikan berupa edukasi bed positioning, mobilisasi

aktif untuk memelihara fungsi gerak dan meminimalisir faktor resiko

terjadinya ulkus dekubitus.

Sedangkan terapi rehabilitasi medik untuk pasien pneumonia utamanya

bertujuan untuk pemeliharaan ventilasi yang normal meliputi hiperinflasi dan

mobilisasi serta menghilangkan sekresi.

23

Page 24: Laporan Skenario 3 Geriatri

BAB III

PEMBAHASAN

Diskusi tutorial skenario 3 blok geriatri ini mengajak mahasiswa untuk

memikirkan permasalahan kompleks yang terjadi pada pasien geriatri sebagai

dampak dari kondisi imobilisasinya. Berdasarkan skenario diketahui bahwa ada

seorang pasien laki-laki usia 80 tahun yang diantar ke UGD RS Moewardi karena

sudah beberapa hari tampak lemas, tidak mau makan, serta sering terlihat gelisah.

Dari hasil aloanamnesis didapatkan informasi bahwa sudah 5 hari ini pasien tidak

buang air besar (BAB) dan selama 2 minggu ini pasien hanya dapat berbaring

saja. Selain itu juga diperoleh informasi bahwa pasien mengalami batuk yang

berdahak tetapi tidak berdarah, tanpa disertai demam maupun nyeri dada. Dari

pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran apatis, TD 120/70 mmHg, RR 30x/menit,

suhu 36oC, HR 108x/menit, suara nafas tambahan ronki basah kasar, suara nafas

dasar bronchial, fremitus meningkat, skor Norton 9, dan ditemukan luka pada

punggung bawah berukuran 4x5 cm dengan dasar kemerahan. Sementara hasil

pemeriksaan lab menunjukkan leukosit 7500, kesuraman homogen paru kanan

pada foto thorax.

Usia pada pasien yang sudah termasuk dalam golongan pasien geriatri

memberikan dampak pada terjadinya perubahan fungsional dan morfologik sistem

organ serta penurunan dari respon imunitasnya. Perubahan morfologik berupa

atrofi rahang dan atrofi mukosa esophagus disertai dengan perubahan fungsional

berupa penurunan kepekaan terhadap rangsang bau dan sensitifitas pengecapan

terutama untuk rasa asin dan manis menyebabkan penurunan nafsu makan pada

pasien dalam skenario. Karena kondisi penurunan nafsu makan pada pasien maka

jumlah asupan untuk pemenuhan kebutuhan energi dan metabolisme dalam tubuh

juga semakin menurun, akibatnya badan pasien menjadi semakin lemas. Selain itu

penurunan intake makanan juga menyebabkan kondisi tidak BAB selama 5 hari

pada pasien, yang mana seharusnya pada intake dan kondisi normal seseorang

dapat BAB minimal 2x dalam 1 minggu.

24

Page 25: Laporan Skenario 3 Geriatri

Imobilisasi yang terjadi pada pasien dalam skenario dapat diketahui dari

hasil anamnesis yang mana disampaikan bahwa selama 2 minggu pasien hanya

dapat berbaring. Kondisi imobilisasi ini memiliki berbagai dampak yang dapat

semakin memperburuk kondisi klinis pasien, diantaranya: penurunan motilitas

total usus dan aktivitas motorik kolon menyebabkan terjadinya konstipasi,

penumpukan hasil sekresi dari traktus respiratorius sehingga dapat menyebabkan

peningkatan usaha refleks batuk, dan peningkatan resiko terjadinya ulkus

dekubitus akibat penekanan yang terlalu lama pada bagian tubuh tertentu. Resiko

yang tinggi terhadap terjadinya ulkus dekubitus pada pasien juga tampak dari

hasil skor Norton yang hanya mendapat 9, dimana skor <12 sudah menunjukkan

peningkatan resiko 50 kali lebih besar.

Selain sebagai mekanisme fisiologis tubuh untuk pengeluaran sekret akibat

imobilitasnya, batuk berdahak yang dialami pasien terjadi karena usaha untuk

mengeluarkan sisa-sisa peradangan akibat infeksi pneumonia yang dialaminya.

Nyeri dada yang tidak didapatkan pada gambaran klinis pasien ini menunjukkan

bahwa infeksi tidak mengenai pleura pasien dan juga menunjukkan bahwa tipe

gangguan pernafasan pada infeksi pneumonianya berupa gangguan restriktif.

Gangguan pernafasan restriktif menyebabkan penurunan kemampuan alveoli

untuk menampung O2 akibat dari penumpukan cairan yang mengurangi volume

pada alveoli, hal ini tentu semakin menurunkan saturasi O2 pada tubuh lansia yang

memang seharusnya sudah menurun akibat dari perubahan fisiologis dan

morfologik dari sistem respirasi pada penuaan. Akibat dari menurunnya kadar O2

dalam darah maka tubuh mengkompensasi dengan meningkatkan kecepatan

pernafasan yang tampak dari hasil pemeriksaan RR 30x/menit (RR normal: 16-

20x/menit), selain itu kondisi saturasi O2 yang rendah juga dapat menyebabkan

penurunan kuantitas kesadaran pasien menjadi apatis.

Pneumonia pada pasien geriatri sering menyebabkan terjadinya kondisi

dehidrasi, yang mana pasien pada skenario juga sudah mengalami dehidrasi.

Kondisi dehidrasi pada pasien tampak dari penurunan kesadaran, penurunan

tekanan darah menjadi 120/70 mmHg (TD normal: 140/80 mmHg), peningkatan

heart rate menjadi 108x/menit (HR normal: 60-100x/menit) dan fremitus raba

25

Page 26: Laporan Skenario 3 Geriatri

sebagai mekanisme kompensasi akibat curah jantung yang menurun, serta

penurunan suhu tubuh menjadi 36oC yang mana seharusnya pada pneumonia

dewasa muncul gejala klinis demam. Tidak terjadinya demam pada pneumonia

geriatri disebabkan oleh kondisi dehidrasi yang mengakibatkan berkurangnya

darah yang bertugas menghantarkan panas dari sentral ke perifer.

Gambaran pemeriksaan lain yang menunjukkan adanya infeksi pneumonia,

diantaranya: kesuraman homogen paru kanan pada foto thorax, suara nafas

bronkial, dan suara nafas tambahan ronkhi basah kasar yang menunjukkan

penumpukan cairan pada bronkus dan parenkim paru. Jumlah leukosit pada

pemeriksaan laboratorium yang tidak meningkat meskipun sudah terjadi infeksi

disebabkan oleh karena sudah terjadinya penurunan respon dan efektifitas

imunitas akibat dari proses penuaan.

Luka berukuran 4x5 cm dengan dasar kemerahan yang ditemukan pada

punggung bawah pasien merupakan gambaran sudah terjadinya ulkus dekubitus

derajat II. Imobilitas pasien menyebabkan terjadinya penekanan pembuluh darah

untuk jangka waktu yang cukup lama, sehingga terjadi gangguan sirkulasi diikuti

dengan kematian kulit dan jaringan setempat.

Penatalaksanaan pada pasien ini berupa oksigenasi yang bertujuan untuk

membantu meningkatkan saturasi O2 dalam tubuh pasien, pemberian antibiotik

untuk pengobatan dari infeksi pneumonia yang diderita pasien, terapi cairan untuk

memperbaiki kondisi dehidrasi pada pasien, dan medikasi serta kasur dekubitus

untuk memperbaiki kondisi dekubitusnya. Pemberian antibiotik untuk pneumonia

harus didasarkan dari hasil uji resistensi, tetapi apabila hasilnya belum keluar

dapat digunakan antibiotik spectrum luas terlebih dahulu. Sementara untuk

dekubitus derajat II belum dibutuhkan antibiotik, melainkan lebih

memprioritaskan pada perawatan dan penyembuhan luka. Selain terapi tersebut,

pasien juga perlu menjalani terapi rehabilitasi medik untuk memperbaiki kondisi

imobilitasnya.

26

Page 27: Laporan Skenario 3 Geriatri

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Berbagai faktor, seperti faktor fisik, psikologis, dan lingkungan dapat

menyebabkan terjadinya imobilisasi pada lansia. Pada skenario,

imobilisasi yang terjadi pada pasien disebabkan karena kondisi pneumonia

yang telah diderita dan menurunnya status kesadaran pasien.

2. Pasien geriatri dalam skenario mengalami beberapa komplikasi akibat

kondisi imobilisasi, yaitu dekubitus derajat II dan gangguan buang air

besar. Pneumonia juga diperparah karena adanya imobilisasi.

3. Selain dekubitus dan gangguan buang air besar, komplikasi yang

ditimbulkan imobilisasi dapat berupa trombosis, emboli paru, kelemahan

otot, kontaktur otot dan sendi, osteoporosis, hipotensi postural, ISK, serta

gangguan nutrisi (hipoalbuminemia).

4. Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien dalam skenario berupa

oksigenasi, hidrasi, penggunaan kasur dekubitus, dan perawatan serta

penyembuhan luka. Pada dekubitus derajat II belum dibutuhkan antibiotik.

Selain itu dijadawalkan terapi rehabilitasi medik pada pasien.

B. Saran

1. Pengkajian geriatri paripurna, perumusan target fungsional, pembuatan

rencana terapi yang mencakup perkiraan waktu yang diperlukan untuk

mencapai target terapi, dan berbagai upaya pencegahan komplikasi

lanjutan sebaiknya segera dilakukan untuk mengatasi kondisi pasien.

2. Edukasi mengenai bahaya tirah baring lama, pentingnya menjaga

kebersihan diri dan lingkungan serta latihan bertahap dan ambulasi dini

untuk mencegah komplikasi lebih lanjut perlu diberikan kepada pasien dan

keluarganya.

3. Terapi rehabilitasi medik sebaiknya diberikan secara rutin pada pasien.

27

Page 28: Laporan Skenario 3 Geriatri

DAFTAR PUSTAKA

Craven, RF, Hirnle CJ, (2000).Fundamentals of nursing: Concepts, process, and

practice. Edisi ke 5. California: Addison, Wesley Publishing Co.

Hidayat D, Sjaiful FD, Mochtar H, (2009). Geriatri. Edisi ke 2. Jakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia.

Leahy JM, Kizilay PE. (1998). Foundation of nursing practice: A nursing

approach. USA: WB Saunders Company.

Mar tono , HH (2009 ) Aspek F i s i o log ik dan Pa to log ik Ak iba t

P rose s Menua . Da l am: Martono, H.H. dan Pranarka, K. (eds).

Buku Ajar Boedhi-Darmojo Geriatri Ilmu Kesehatan Usia Lanjut. Edisi

ke-4. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Hal : 56-74.

Potter PA dan Perry A. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,

proses, dan praktik. Edisi ke 4. Jakarta: EGC

Sabandar AO (2008). Ulkus Dekubitus. http://Alfonso de Oncrotte.Ulkus

Dekubitus.mht. Diakses 10 April 2013

Setiati S dan Roosheroe AG (2006) Imobilisasi pada Usia Lanjut. Dalam: Sudoyo,

A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., dan Setiati, S. (eds).

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III, Edisi IV. Jakarta : Pusat

Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. Hal : 1388-90.

28