laporan skenario 3 geriatri
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Imobilisasi merupakan salah satu masalah yang cukup besar di bidang
geriatri yang timbul sebagai akibat penyakit atau masalah psikososial yang
diderita. Di ruang rawat inap geriatri RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta pada tahun 2000 didapatkan prevalensi imobilisasi sebesar 33,6% dan
pada tahun 2001 sebesar 31,5% (Setiati dan Roosheroe, 2007).
Imobilisasi dapat menimbulkan komplikasi yang akan memperberat
kondisi pasien, memperlambat proses penyembuhan, serta dapat
menyebabkan kematian. Oleh karena itu, penting bagi para mahasiswa
kedokteran untuk memahami berbagai hal mengenai imobilisasi dan
komplikasi yang ditimbulkannya.
Berikut dipaparkan skenario yang dibahas dalam diskusi tutorial.
Mbah Suro Mogok Makan
Mbah Suro, 80 tahun dibawa ke UGD RS Moewardi karena tidak mau
makan, lemas, dan nampak gelisah. Sudah 5 hari tidak mau buang air besar.
Hampir 2 minggu, mbah Suro tiduran terus karena lemas dan batuk,
berdahak, tidak berdarah, tidak demam, tidak didapatkan nyeri dada. Dan
tidak mau dibawa berobat.
Dari pemeriksaan didapatkan kesadaran apatis, TD 120/70 mmHg, RR
30x/menit, T 360 C, HR 108x/menit. Pada pemeriksaan paru sebelah kanan
didapatkan ronkhi basah kasar, suara dasar bronkhial, dan fremitus raba
meningkat. Tampak luka pada punggung bawah berukuran 4x5 cm dengan
dasar luka kemerahan. Skor norton 9. Hasil laboratorium leukosit 7500. Foto
thorax menunjukkan kesuraman homogen pada paru sebelah kanan.
Di UGD diberikan oksigenasi, antibiotik, dan terapi cairan. Kemudian
dirawat di ruang rawat geriatri dengan medikasi dan kasur dekubitus.
Direncanakan konsul ke rehabilitasi medik.
1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hubungan faktor resiko usia 80 tahun dengan gejala klinis yang
dialami pasien?
2. Bagaimana patofisiologi dari gejala klinis yang dialami pasien pada skenario
?
3. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
pada pasien?
4. Apakah yang dimaksud dengan imobilisasi dan apa saja komplikasinya ?
5. Bagaimana patofisiologi dan komplikasi ulkus dekubitus ?
6. Bagaimana patofisiologi pneumonia dan penatalaksaannya?
7. Bagaimana patofisiologi penurunan kesadaran ?
8. Bagaimana penatalaksanaan pada pasien dalam skenario ?
C. Tujuan
1. Mahasiswa mengetahui hubungan faktor resiko usia 80 tahun dengan
gejala klinis yang dialami pasien.
2. Mahasiswa mengetahui patofisiologi dari gejala klinis yang dialami
pasien pada skenario.
3. Mahasiswa mengetahui interpretasi hasil pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang pada pasien.
4. Mahasiswa mengetahui konsep imobilisas dan komplikasinya.
5. Mahasiswa mengetahui patofisiologi, komplikasi, dan penatalaksanaa
ulkus dekubitus.
6. Mahasiswa mengetahui patofisiologi pneumonia dan penatalaksannya,
terutama yang berhubungan dengan pasien geriatri.
7. Mahasiswa mengetahui patofisiologi penurunan kesadaran.
8. Mahasiswa mengetahui penatalaksanaan yang seharusnya diberikan pada
pasien
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perubahan Fisiologis pada Lansia
Dengan makin bertambahnya usia seseorang, maka
kemungkinan terjadinya penurunan anatomik dan fungsional atas
organ-organ tubuhnya makin besar. Penurunan anatomik dan fungsional
dari organ-organ pada lansia akan mempermudah timbulnya penyakit pada
organ tersebut (Martono, 2009).
Berbagai perubahan tersebut antara lain :
1. Sistem Panca Indra
Terdapat perubahan morfologi pada panca
indra. Perubahan fungsional yang bersifat degeneratif ini,
memberi manifestasi pada morfologi berbagai organ panca indra
tersebut baik pada fungsi melihat, mendengar, keseimbangan
ataupun perasa dan perabaan. Pada keadaan yang ekstrim dapat bersifat
patologik, misalnya terjadi ekstropion/entropion, ulkus kornea,
glaucoma, dan katarak pada mata, sampai keadaan konfusio akibat
penglihatan yang terganggu. Pada telinga, dapatterjadi tuli konduksi
dan sindroma Meniere (keseimbangan).
2. Sistem gastrointestinal
Mulai dari gigi sampai anus terjadi perubahan morfologik degeneratif,
antara lain perubahan atrofik pada rahang, sehingga gigi lebih mudah
tanggal. Perubahan atrofik juga terjadi pada mukosa, kelenjar,
dan otot-otot pencernaan. Berbagai perubahan morfologik akan
meyebabkan perubahan fungsional sampai perubahan patologik,
yang meliputi gangguan mengunyah dan menelan, penurunan nafsu
makan, konstipasi, serta berbagai penyakit sistem
gastrointestinal.
3
3. Sistem respirasi
Sistem respirasi sudah mencapai kematangan pertumbuhan pada usia 20-
25 tahun, setelah itu mulai menurun fungsinya. Elastisitas paru
menurun, kekakuan dinding dada meningkat, kekuatan otot
dada menurun. Semua ini mengakibatkan turunnya rasio
ventilasi-perfusi dibagian paru yang tak bebas dan pelebaran
gradient alveolar arteri untuk oksigen. Disamping itu, pada
sistem respirasi jugaterjadi penurunan gerak silia di dinding
sistem respirasi, penurunan refleks batuk dan refleks fisiologik
lain, yang menyebabkan peningkatan kemungkinan terjadinya infeksi
akut pada saluran nafas bawah. Berbagai penurunan morfologik dan
fungsional tersebut akan mempermudah terjadinya berbagai keadaan
patologik diantaranya PPOK (penyakit paru obstruktif kronis),
penyakit infeksi paru akut/kronis, dan keganasan pada paru-bronkus.
4. Sistem persendian
Pada sinovial sendi terjadi perubahan berupa tidak ratanya permukaan
sendi, fibrilasi, dan pembentukan celah dan lekukan di
permukaan tulang rawan. Erosi tulang rawan hialin menyebabkan
eburnasi tulang dan pembentukan kista di rongga subkondra dan sumsum
tulang. Semua perubahan ini serupa dengan yang terdapat pada
osteoartrosis. Keadaan tersebut baru bisa dikatakan patologik
bila terdapat stres tambahan, misalnya bila terjadi trauma atau
pada sendi penanggung beban. Diantara penyakit sendi yang
sering terdapat pada usia lanjut adalah osteoartritis, rematoid
artritis, gout dan pseudogout, artritis monoartikuler senilis dan
rematika polimialgia.
5. Infeksi dan imunologi
Pada usia lanjut timus mengalami resorbsi. Jumlah sel T dan sel
B tidak berubah, walaupun secara kuantitatif terjadi perubahan berupa
tanggapan terhadap stimulasi artifisial. Pada usia lanjut pembentukan
autoantibodi pun meningkat sehingga insidensi penyakit autoimun
4
meningkat. Pengenalan dan penye rangan terhadap sel-sel tumor juga
menurun, menyebabkan insidensi penyakit neoplasma meningkat.
Tanggapan makrofag dan imunitas bawaan yang lain, misalnya
sel mukosa, sel kulit, silia di system respirasi, serta
pembentukan protein fase akut sehingga meningkatkan faktor
predisposisi terhadap terjadinya penyakit infeksi. Peningkatan
predisposisi pada infeksi tersebut penting pada lansia,
karena pada usia lanjut infeksi cenderung menjadi berat, bahkan
menyebabkan kematian. Infeksi saluran nafas
bawah (pneumonia dan bronkhopneumonia) serta infeksi saluran
kemih merupakan infeksi penting pada usia lanjut, yang bisa berlanjut
lebih berat. Faktor-faktor yang memperberat infeksi tersebut diantaranya
adalah imobilisasi, instrumentasi, serta iatrogenik.
6. Sistem saraf pusat dan otonom
Terjadi penurunan berat otak sekitar 10 % pada penuaan antara
umur 30 sampai 70 tahun. Disamping meningen menebal, giri
dan sulci otak berkurang kedalamannya. Akan tetapi kelainan
ini tidak menimbulkan kelainan patologik yang berarti. Pada
semua sitoplasma sel juga terjadi deposit lipofusin yang sering
disebut pigmen wear and tear . Yang bersifat patologis adalah
adanya degenerasi pigmen substansia nigara, kekusutan
neurofibriler dan pembentukan badan-badan Hirano. Keadaan
ini sesuai dengan proses terjadinya patologi pada sindrom
Parkinson dan demensia tipe Alzeimer. Pada pembuluh darah
terjadi penebalan tunika intima dan tunika media sehingga
sering terjadi gangguan vaskularisasi otak yang berakibat
terjadinya TIA, stroke, dan demensia vaskuler. Vaskularisasi
yang menurun pada daerah hipotalamus
menyebabkan terjadinya gangguan saraf otonom, disamping mungkin
sebagai akibat pengaruh berkurangnya berbagai beurotransmiter.
Penyakit metabolik seperti diabetes, hipotiroid, dan hipertiroid dapat
5
menyebabkan gangguan pada sususna saraf tepi, baik yang bersifat
otonom atau tidak.
7. Sistem kulit dan integumen
Terjadi atrofi epidermis, kelenjar keringat, folikel rambut, serta
berubahnya pigmentasi dengan akibat penipisan kulit, fragil
seperti selaput (seperti kulit ari buah salak). Warna kulit
berubah dan terjadi pigmentasi yang tidak merata. Kuku
menipis dan mudah patah, rambut rontok sampai terjadi
kebotakan. Lemak subkutan berkurang menyebabkan
berkurangnya bantalan kulit, sehingga daya tahan terhadap
tekanan dan perubahan suhu menjadi berkurang. Akibatnya
pada lansia mudah terjadi dekubitus, hipotermia. Penipisan
kulit tersebut menyebabkan kulit mudah terluka dan terjadi infeksi
kulit.
8. Otot dan tulang
Otot-otot mengalami atrofi karena berkurangnya aktivitas,
gangguan metabolik, atau denervasi saraf. Dengan
bertambahnya usia, proses berpasangan (coupling) penulangan
yaitu perusakan dan pembentukan tulang melambat, terutama
pembentukannya. Hal ini selain akibat menurunnya aktivitas tubuh,
jugaakibat penurunan hormon estrogen (pada wanita), vitamin D
(terutama orang yangkurang terkena sinar matahari) dan beberapa
hormon lain seperti kalsitonin dan parathormon. Tulang-tulang
terutama trabekulae menjadi lebih berongga-
rongga,mikroarsitektur berubah dan sering berakibat patah
tulang baik akibat benturanringan maupun spontan.
9. Badan Menyeluruh
Pada lansia terjadi penurunan tinggi badan (postur bungkuk
karena kifosis), berat badan menurun, rasio lemak atau BB
bersih meningkat, dan air tubuh total juga menurun.
6
B. Pneumonia
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal
dari bronkiolus terminalis, yang mencakup bronkiolus respiratorius, alveoli,
serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan menimbulkan gangguan
pertukaran gas setempat.
Etiologi dari pneumonia adalah :
1. Bakteri
Pneumonia bakteri biasanya didapatkan pada usia lanjut. Organsime
gram positif seperti Streptococcus pneumonia, S. aureus dan S.
pyogenesis. Bakteri gram negatif seperti Haemophilus influenza,
Klebsiella pneumonia dan P.Aeruginosa.
2. Virus
Disebabkan oleh virus influenza yang menyebar melalui transmisi
droplet. Cytomegalovirus dalam hal ini dikenal sebagai penyabab utama
pneumonia virus.
3. Jamur
Infeksi yang disebabkan jamur seperti histoplasmosis menyebar melalui
penghirupan udara yang mengandung spora dan biasanya ditemukan
pada kotoran burung, tanah serta kompos.
4. Protozoa
Menimbulkan terjadinya pneumocystis carinii pneumonia (CPC).
Biasanya menjangkiti pasien yang mengalami imunosupresi
Manifestasi klinis pneumonia berupa (1) kesulitan dan sakit pada saat
bernafas, (2) nyeri pleuritik, nafas dangkal dan mendengkur, takipnea (3)
bunyi krekels, ronkhi, egofoni di atas area yang mengalami konsolidasi, (4)
gerakan dada tidak simetris, (5) menggigil dan demam 38,8-41,1˚C, delirium
(6) batuk kental, produktif, serta (7) sputum kuning kehijauan kemudian
berubah menjadi kemerahan/berkarat.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan antara lain:
1. Sinar X, untuk mengidentifikasi distribusi struktural; dapat juga
menyatakan abses luas/infilrat, emfiema (staphylococcus); infiltrat
7
menyebar atau terlokalisasi (bakterial); atau penyebaran/perluasan
infiltrat nodul (virus).
2. GDA. Nilai tidak normal mungkin terjadi, tergantung pada luas paru
yang terlibat dan penyakit paru yang ada
3. Pemeriksaan gram/kultur sputum dan darah, diambil dengan biopsi
jarum, aspirasi transtrakheal, bronkoskopi fiberotik atau biopsi
pembukaan paru untuk mengatasi organisme penyebab
4. JDL, leukositosis biasanya ada, meski sel darah putih rendah terjadi pada
infeksi virus, kondisi tekanan imun memungkinkan berkembangnya
pneumonia bakterial
5. Pemeriksan serologi; titer virus atau legionella, aglutinin dingin
Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien pneumonia berupa
kemoterapi. Pemberian kemoterapi harus berdasarkan petunjuk penemuan
kuman penyebab infeksi (hasil kultur sputum dan tes sensitivitas kuman
terhadap antibodi). Bila penyakitnya ringan antibiotik diberikan secara oral,
sedangkan bila berat diberikan secara parenteral. Apabila terdapat penurunan
fungsi ginjal akibat proses penuaan, maka harus diingat kemungkinan
penggunaan antibiotik tertentu perlu penyesuaian dosis. Selain itu diberika
pula pengobatan umum, terapi oksigen, hidrasi (bila ringan hidrasi oral, tetapi
jika berat dehidrasi dilakukan secara parenteral), fisioterapi, serta tirah baring.
C. Mobilisasi dan Imobilisasi
Mobilisasi atau kemampuan seseorang untuk bergerak bebas
merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang harus terpenuhi.Tujuan
mobilisasi adalah memenuhi kebutuhan dasar (termasuk melakukan aktifitas
hidup sehari-hari dan aktifitas rekreasi), mempertahankan diri (melindungi
diri dari trauma), mempertahankan konsep diri, mengekspresikan emosi
dengan gerakan tangan non verbal. Mobilisasi sangat dipengaruhi oleh sistem
neuromuskular, meliputi sistem otot, skeletal, sendi, ligament, tendon,
kartilago, dan saraf. Faktor yang mempengaruhi mobilisasi antara lain (1)
8
sistem neuromuskular, (2) gaya hidup, (3) ketidakmampuan, (4) tingkat
energi, dan (5) tingkat perkembangan (Leahy dan Kizilay, 1998).
Imobilisasi didefinisikan sebagai keadaan yang tidak bergerak/tirah
baring selama tiga hari atau lebih dengan gerakan anatomik tubuh
menghilang akibat perubahan fungsi fisiologik. Berbagai faktor fisik,
psikologis, dan lingkungan dapat menyebabkan imobilisasi pada usia lanjut.
Penyebab utama imobilisasi adalahadanya rasa nyeri, lemah, kekakuan otot,
ketidakseimbangan, dan masalah psikologis. Osteoartritis merupakan
penyebab utama kekakuan pada usia lanjut. Gangguan fungsi kognitif berat
seperti pada demensia dan gangguan fungsimental seperti depresi juga
menyebabkan imobilisasi. Kekhawatiran keluarga yang berlebihan dapat
menyebabkan orang lanjut usia terus-menerus berbaring ditempat tidur baik
di rumah maupun di rumah sakit.
Tatalaksana umum pada pasien imobilisasi membutuhkan kerjasama
tim medis interdisiplin dengan partisipasi pasien, keluarga, dan pramuwedha.
Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai bahaya tirah baring lama,
pentingnya latihan bertahap dan ambulasi dini, serta mencegah
ketergantungan pasien dengan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari
sendiri, semampu pasien. Dilakukan pengkajian geriatri paripurna, perumusan
target fungsional, dan pembuatanrencana terapi yang mencakup perkiraan
waktu yang diperlukan untuk mencapai target terapi, kenali dan berikan terapi
bila terjadi infeksi, malnutrisi, anemia, gangguan cairan dan elektrolit yang
mungkin terjadi pada kasus imobilisasi, serta penyakit/kondisi penyerta
lainnya. Evaluasi seluruh obat-obatan yang dikonsumsi.Obat-obatan yang
dapat menyebabkan kelemahan atau kelelahan harus diturunkan dosisnya atau
dihentikan bila memungkinkan.Berikan nutrisi yang adekuat, asupan cairan
dan makanan yang mengandung serat, sertasuplementasi vitamin dan mineral.
Program latihan dan remobilisasi dimulai ketika kestabilan kondisi medis
terjadi meliputi latihan mobilitas di tempat tidur, latihan gerak sendi (pasif,
aktif, dan aktif dengan bantuan), latiahan penguat otot-otot (iosotonik,
isometrik, isokinetik) latihan koordinasi/keseimbangan, dan ambulasi
9
terbatas. Bila diperlukan, ajarkan cara penggunaan alat-alat bantu berdiri dan
ambulasi. Manajemen miksi dan defekasi.Pada keadaan-keadaan khusus
konsultasikan kondisi medik kepada dokter spesialis yangkompeten. Lakukan
remobilisasi segera dan bertahap pada pasien-pasien yang mengalami sakit
atau dirawat di rumah sakit dan panti wredha untuk mobilitas yang adekuat
bagi usia lanjut yang mengalami disabilitas permanen. (Carpenito, 1999)
Komplikasi pada pasien pasien imobilisasi antara lain:
1. Trombosis vena dalam
Trombosis vena dalam merupakan salah satu gangguan vaskular perifer
yang penyebabnya multifaktorial, meliputi faktor genetik dan
lingkungan. Terdapat tiga faktor yang meningkatkan risko trombosis
vena dalam yaitu karena adanya luka di vena dalam karena trauma atau
pembedahan,sirkulasi darah yang tidak baik pada vena dalam, dan
berbagai kondisi yang meningkatkan risiko pembekuan darah. Beberapa
kondisi yang dapat menyebabkan sirkulasi darah tidak baik di vena
dalam meliputi gagal jantung kongestive, imobilisasi lama, dan adanya
gumpalan darah yang telah timbul sebelumnya. Gejala trombosis vena
bervariasi, dapat berupa rasa panas, bengkak, kemerahan, dan rasa nyeri
pada tungkai.
2. Emboli paru
Emboli paru dapat menghambat aliran darah ke paru dan memicu
refleks tertentu yang dapat menyebabkan panas yang mengakibatkan
nafas berhenti secara tiba-tiba. Sebagian besar emboli paru disebabkan
oleh emboli karena trombosis vena dalam. Berkaitan dengan trombosis
vena dalam, emboli paru disebabkan oleh karena trombosis yang
biasanya berlokasi pada tungkai bawah yang pada gilirannya akan
mencapai pembuluh darah paru dan menimbulkan sumbatan yang dapat
berakibat fatal. Emboli paru akibat trombosis merupakan penyebab
kesakitan dan kematian pada pasien lanjut usia.
10
3. Kelemahan otot
Imobilisasi akan menyebabkan atrofi otot dengan penurunan ukuran
dan kekuatan otot. Penurunan kekuatan diperkirakan 1-2%
sehari.Kelemahanotot pada pasien dengan imobilisasi sering kali terjadi
berkaitan dengan penurunan fungsional, kelemahan, dan jatuh.
4. Kontraktur otot dan sendi
Pasien yang mengalami tirah baring lama berisiko mengalami
kontraktur karena sendi-sendi tidak digerakkan.Akibatnya timbul nyeri
yang menyebabkan seseorang semakin tidak mau menggerakkan sendi
yang kontraktur tersebut.
5. Osteoporosis
Osteoporosis timbul sebagai akibat ketidak seimbangan antara
reabsorpsi tulang dan pembentukan tulang. Imobilisasi meningkatkan
resabsorpsi tulang, meningkatkan kalsium serum, menghambat sekresi
PTH, dan produksi vitamin D3 aktif.Faktor utama yang menyebabkan
kehilangan massatulang pada imobilisasi adalah meningkatnya resorpsi
tulang.
6. Ulkus Dekubitus
Luka akibat tekanan merupakan komplikasi yang paling sering
terjadipada pasien usia lanjut dengan imobilisasi. Jumlah tekanan yang
dapat mempengaruhi mikro sirkulasi kulit pada usia lanjut berkisar
atara 25 mmHg. Tekanan lebih dari 25 mmHg secara terus-menerus
pada kukitatau jaringan lunak dalam waktu lama akan menyebabkan
kompresi pembuluh kapiler. Kompresi pembuluh dalam waktu lama
akan mengakibatkan trombosis intra arteri dan gumpalan fibrin yang
secara permanen mempertahankan iskemia kulit. Relief bekas tekanan
mengakibatkan pembuluh darah tidak dapat terbuka dan
akhirnyaterbentuk luka akibat tekanan.
7. Hipotensi Postural
Hipotensi postural adalah penurunan tekanan darah sebesar 20 mmHg
dari posisi berbaring ke duduk dengan salah satu gejala klinik yang
11
sering timbul adalah iskemia serebral, khususnya sinkop.Pada posisi
berdiri, secara normal 600-800 ml darah dialirkan ke bagian tubuh
inferior terutama tungkai.Penyebaran cairan tubuh tersebut
menyebabkan penurunan curah jantung sebanyak 20%, penurunan
volume sekuncup 35%, dan akselerasi frekuensi jantung sebanyak 30%.
Pada orang normal sehat, mekanisme kompensasi menyebabkan
vasokonstriksi dan peningkatan denyut jantung yang menyebabkan
tekanan darah tidak turun. Pada lansia, umumnya fungsi baroreseptor
menurun. Tirah baring total selama paling sedikit 3 minggu akan
mengganggu kemampuan seseorang untuk menyesuaikan posisi berdiri
dari berbaring pada orang sehat, hal iniakan lebih terlihat pada lansia.
8. Pneumonia dan Infeksi Saluran Kencing (ISK)
Akibat imobilisasi, retensi sputum dan aspirasi lebih mudah terjadi pada
pasien geriatri.Pada posisi berbaring otot diafragma dan interkostal
tidak berfungsi dengan baik sehingga gerakan dinding dada juga
menjadi terbatas yang menyebabkan sputum sulit keluar dan pasien
mudah terkena pneumonia.Aliran urin juga terganggu akibat tirah
baring yang kemudian menyebabkan infeksi saluran kemih.
Inkontinensia urin juga sering terjadipada usia lanjut yang mengalami
imobilisasi yang disebabkan ketidakmampuan ke toilet, berkemih yang
tidak sempurna, gangguan status mental, dan gangguan sensai kandung
kemih.
9. Gangguan nutrisi (hipoalbuminemia)
Imobilisasi akan mempengaruhi sistem metabolik dan sistem endokrin
yang akibatnya akan terjasi perubahan terhadap metabolisme zat gizi.
Salah satu yang terjadi adalah perubahan metabolisme protein. Kadar
plasma kortisol lebih tinggi pada usia lanjut yang mobilisasi sehingga
menyebabkan metabolisme menjadi katabolisme. Keadaan tidak
beraktifitas dan imobilisasi selama 7 hari akan meningkatkan ekskresi
nitrogen urin sehingga terjadi hipoproteinemia.
12
10. Konstipasi dan Skibala
Imobilisasi lama akan menurunkan waktu tinggal feses di kolon.
Semakin lama feses tinggal di usus besar, absorbsi cairan akan lebih
besar sehingga feses akan menjadi lebih keras (Craven dan Hirnle,
2000).
D. Skor Norton
Skor Norton adalah skala pengkajian dekubitus untuk memprediksi
timbulnya dekubitus pada pasien usia lanjut. Skala ini diciptakan berdasarkan
pengalaman klinik yang mencakup lima variabel yaitu kondisi fisik, kondisi
mental, aktifitas, mobilitas dan inkontinensia. Maksimum skor yang dapat
dicapai pada skala ini adalah 20. Skore lebih dari 18 berarti risiko dekubitus
masih rendah, 14-18 risiko sedang, 10-13 risiko tinggi dan kurang dari 10
termasuk kategori sangat tinggi. Validitas skala ini juga sudah diteliti oleh
beberapa studi dengan menampilkan sensivitas dan spesifikasi pada area yang
berbeda-beda. Keunggulan skala ini adalah karena sangat simpel untuk
digunakan dan tidak memerlukan waktu yang lama untuk menggunakannya.
Dengan evaluasi skor ini dapat dilihat perkembangan penderita.
Berikut disajikan tabel skor norton.
Nama Penderita Skor Tanggal
Kondisi fisik- Baik- Lumayan- Buruk - Sangat Buruk
Kesadaran- Kompos mentis- Apatis- Konfus/soporus- Stupor/koma
Aktivitas- Ambulan- Ambulan dengan bantuan- Hanya bisa duduk- Tiduran
13
Mobilitas- Bergerak bebas- Sedikit terbatas- Sangat terbatas- Tak bisa bergerak
Inkontinensia- Tidak- Kadang-kadang- Sering inkontinensia urin- Inkontinensia alvi dan urin
E. Dekubitus
Dekubitus berasal dari bahasa latin decumbree yang berarti merebahkan
diri yang didefenisikan sebagai suatu luka akibat posisi penderita yang tidak
berubah dalam jangka waktu lebih dari 6 jam (Sabandar, 2008). Potter &
Perry (2005) mengatakan dekubitus merupakan nekrosis jaringan lokal yang
cenderung terjadi ketika jaringan lunak tertekan diantara tonjolan tulang
dengan permukaan eksternal dalam jangka waktu lama. Terjadi gangguan
mikrosirkulasi jaringan lokal dan mengakibatkan hipoksia jaringan. Jaringan
memperoleh oksigen dan nutrisi serta membuang sisa metabolisme melalui
darah. Beberapa faktor yang mengganggu proses ini akan mempengaruhi
metabolisme sel dengan cara mengurangi atau menghilangkan sirkulasi
jaringan yang menyebabkan iskemi jaringan.
Faktor yang menjadi predisposisi terjadinya luka dekubitus pada pasien
yaitu:
1. Gangguan Input Sensorik
Pasien yang mengalami perubahan persepsi sensorik terhadap nyeri
dan tekanan, beresiko tinggi menggalami gangguan integritas kulit
daripada pasien yang sensasinya normal. Pasien yang mempunyai persepsi
sensorik yang utuh terhadap nyeri dan tekanan dapat mengetahui jika salah
satu bagian tubuhnya merasakan tekanan atau nyeri yang terlalu besar,
sehingga ketika pasien sadar dan berorientasi mereka dapat mengubah atau
meminta bantuan untuk mengubah posisi (Potter dan Perry, 2005).
14
2. Gangguan Fungsi Motorik
Pasien yang tidak mampu mengubah posisi secara mandiri beresiko
tinggi terhadap dekubitus. Pasien tersebut dapat merasakan tekanan tetapi
tidak mampu mengubah posisi secara mandiri untuk menghilangkan
tekanan tersebut. Hal ini meningkatkan peluang terjadinya dekubitus. Pada
pasien yang mengalami cedera medulla spinalis terdapat gangguan
motorik dan sensorik. Angka kejadian dekubitus pada pasien yang
mengalami cedera medula spinalis diperkirakan sebesar 85%, dan
komplikasi luka ataupun berkaitan dengan luka merupakan penyebab
kematian pada 8% populasi ini (Potter dan Perry, 2005).
3. Perubahan Tingkat Kesadaran
Pasien bingung, disorientasi, atau mengalami perubahan tingkat
kesadaran tidak mampu melindungi dirinya sendiri dari luka dekubitus.
Pasien bingung atau disorientasi mungkin dapat merasakan tekanan, tetapi
tidak mampu memahami bagaimana menghilangkan tekanan itu. Pasien
koma tidak dapat merasakan tekanan dan tidak mampu mengubah ke
posisi yang labih baik. Selain itu pada pasien yang mengalami perubahan
tingkat kesadaran lebih mudah menjadi binggung. Beberapa contoh adalah
pada pasien yang berada di ruang operasi dan untuk perawatan intensif
dengan pemberian sedasi (Potter dan Perry, 2005).
4. Gips, Traksi, Alat Ortotik dan Peralatan Lain
Gips dan traksi mengurangi mobilisasi pasien dan ekstermitasnya.
Pasien yang menggunakan gips beresiko tinggi terjadi dekubitus karena
adanya gaya friksi eksternal mekanik dari permukaan gips yang bergesek
pada kulit. Gaya mekanik kedua adalah tekanan yang dikeluarkan gips
pada kulit jika gips terlalu ketat dikeringkan atau ekstremitasnya bengkak.
Peralatan ortotik seperti penyangga leher digunakan pada pengobatan
pasien yang mengalami fraktur spinal servikal bagian atas. Luka dekubitus
merupakan potensi komplikasi dari alat penyangga leher ini (Potter dan
Perry, 2005).
5. Nutrisi Buruk
15
Pasien kurang nutrisi sering mengalami atrofi otot dan jaringan
subkutan yang serius. Akibat perubahan ini maka jaringan yang berfungsi
sebagai bantalan diantara kulit dan tulang menjadi semakin sedikit. Oleh
karena itu efek tekanan meningkat pada jaringan tersebut (Potter & Perry,
2005). Pasien yang mengalami malnutrisi mengalami defisiensi protein
dan keseimbangan nitrogen negatif dan tidak adekuat asupan vitamin C.
Status nutrisi buruk dapat diabaikan jika pasien mempunyai berat badan
sama dengan atau lebih dari berat badan ideal. Pasien dengan status nutrisi
buruk biasa mengalami hipoalbuminunea (level albumin serum dibawah
3g/100 ml) dan anemia (Potter dan Perry, 2005).
Albumin adalah ukuran variable yang biasa digunakan untuk
mengevaluasi status protein pasien. Pasien yang albumin serumnya
dibawah 3g/100 ml beresiko tinggi. Selain itu, level albumin rendah
dihubungkan dengan lambatnya penyembuhan luka. Walaupun kadar
albumin serum kurang tepat memperlihatkan perubahan protein viseral,
tapi albumin merupakan prediktor malnutrisi yang terbaik untuk semua
kelompok manusia (Potter dan Perry, 2005).
Level total protein juga mempunyai korelasi dengan luka dekubitus,
level total protein dibawah 5,4 g/100 ml menurunkan tekanan osmotik
koloid, yang akan menyebabkan edema interstisial dan penurunan oksigen
ke jaringan. Edema akan menurunkan toleransi kulit dan jaringan yang
berada di bawahnya terhadap tekanan, friksi, dan gaya gesek. Selain itu,
penurunan level oksigen meningkatkan kecepatan iskemi yang
menyebabkan cedera jaringan (Potter dan Perry, 2005).
Nutrisi buruk juga mengganggu keseimbangan cairan dan elektrolit.
Pada pasien yang mengalami kehilangan protein berat, hipoalbuminimea
menyebabkan perpindahan volume cairan ekstrasel kedalam jaringan
sehingga terjadi edema. Edema dapat meningkatkan resiko terjadi
dekubitus di jaringan. Suplai darah pada suplai jaringan edema menurun
dan produk sisa tetap tinggal karena terdapatnya perubahan tekanan pada
sirkulasi dan dasar kapiler (Potter dan Perry, 2005).
16
Tiga elemen yang menjadi dasar terjadinya dekubitus yaitu 91)
intensitas tekanan dan tekanan yang menutup kapiler, (2) durasi dan besarnya
tekanan, dan (3) toleransi jaringan. Dekubitus terjadi sebagai hasil hubungan
antar waktu dengan tekanan. Semakin besar tekanan dan durasinya, maka
semakin besar pula insidensinya terbentuknya luka (Potter dan Perry, 2005).
Kulit dan jaringan subkutan dapat mentoleransi beberapa tekanan. Tapi
pada tekanan eksternal terbesar dari pada tekanan dasar kapiler akan
menurunkan atau menghilangkan aliran darah ke dalam jaringan sekitarnya.
Jaringan ini menjadi hipoksia sehingga terjadi cedera iskemi. Jika tekanan ini
lebih besar dari 32 mmHg dan tidak dihilangkan dari tempat yang mengalami
hipoksia, maka pembuluh darah kolaps dan trombosis. Saat tekanan
dihilangkan sebelum titik kritis maka sirkulasi pada jaringan akan pulih
kembali melalui mekanisme fisiologis hiperemia reaktif, karena kulit
mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk mentoleransi iskemi dari
otot, maka dekubitus dimulai di tulang dengan iskemi otot yang berhubungan
dengan tekanan yang akhirnya melebar ke epidermis (Potter dan Perry, 2005).
Pembentukan dekubitus juga berhubungan dengan adanya gaya gesek
yang terjadi saat menaikkan posisi klien di atas tempat tidur. Area sakral dan
tumit merupakan area yang paling rentan. Efek tekanan juga dapat di
tingkatkan oleh distribusi berat badan yang tidak merata. Seseorang
mendapatkan tekanan konstan pada tubuh dari permukaan tempatnya berada
karena adanya gravitasi. Jika tekanan tidak terdistribusi secara merata pada
tubuh maka gradien tekanan jaringan yang mendapatkan tekanan akan
meningkat dan metabolisme sel kulit di titik tekanan mengalami gangguan
(Potter & Perry, 2005).
Salah satu cara yang paling sesuai untuk mengklasifikasikan dekubitus
adalah dengan menggunakan sistem nilai atau tahapan.
1. Derajat I: Eritema tidak pucat pada kulit utuh, lesi luka kulit yang
diperbesar. Kulit tidak berwarna, hangat, atau keras juga dapat menjadi
indikator.
17
2. Derajat II: Hilangnya sebagian ketebalan kulit meliputi epidermis dan
dermis. Luka superficial dan secara klinis terlihat seperti abrasi, lecet, atau
lubang yang dangkal.
3. Derajat III: Hilangnya seluruh ketebalan kulit meliputi jaringan subkutan
atau nekrotik yang mungkin akan melebar kebawah tapi tidak melampaui
fascia yang berada di bawahnya. Luka secara klinis terlihat seperti lubang
yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.
4. Derajat IV: Hilangnya seluruh ketebalan kulit disertai destruksi ekstensif,
nekrosis jaringan; atau kerusakan otot, tulang, atau struktur penyangga
misalnya kerusakan jaringan epidermis, dermis, subkutaneus, otot dan
kapsul sendi (Potter dan Perry, 2005).
Komplikasi sering terjadi pada luka dekubitus derajat III dan IV,
walaupun dapat terjadi pada luka yang superfisial. Menurut Sabandar (2008)
komplikasi yang dapat terjadi antara lain (1) infeksi, umumnya bersifat
multibakterial baik aerobik maupun anaerobik, (2) keterlibatan jaringan tulang
dan sendi seperti periostitis, dan osteotitis (3) septikimia, (4) anemia, dan (5)
kematian.
Menurut Potter dan Perry (2005) daerah tubuh yang sering terkena luka
dekubitus adalah
1. Pada penderita pada posisi terlentang: pada daerah belakang kepala,
daerah tulang belikat, daerah bokong dan tumit.
2. Pada penderita dengan posisi miring: daerah pinggir kepala (terutama
daun telinga), bahu, siku, daerah pangkal paha, kulit pergelangan kaki
dan bagian atas jari-jari kaki.
3. Pada penderita dengan posisi tengkurap: dahi, lengan atas, tulang iga, dan
lutut.
Tindakan yang berguna baik untuk pencegahan maupun setelah
terjadinya dekubitus adalah:
1. Meningkatkan status kesehatan penderita.
18
Meningkatkan status kesehatan dapat dilakukan dengan cara
memperbaiki dan menjaga keadaan umum penderita, misalnya anemia
diatasi, hipoalbuminemia dikoreksi, nutirisi dan hidarasi yang cukup,
vitamin (vitamin C) dan mineral (Zn) ditambahkan, mengatasi/mengobati
penyakit-penyakit yang ada pada penderita, misalnya DM.
2. Mengurangi/memeratakan faktor tekanan yang mengganggu aliran darah.
Alih posisi/alih baring/tidur selang seling, paling lama tiap dua jam.
Kekurangan pada cara ini adalah ketergantungan pada tenaga perawat
yang kadang-kadang sudah sangat kurang, dan kadang-kadang
mengganggu istirahat penderita bahkan menyakitkan.
3. Kasur khusus, untuk lebih membagi rata tekan yang terjadi pada tubuh
penderita, misalnya kasur dengan gelembung tekan udara yang naik
turun, kasur air yang temperatur airnya dapat diatur.
4. Regangan kulit dan lipatan kulit yang menyebabkan sirkulasi darah
setempat terganggu, dapat dikurangi antara lain menjaga posisi penderita,
apakah ditidurkan rata pada tempat tidurnya atau duduk dikursi. Dapat
juga menggunakan bantuan balok penyangga kedua kaki, bantal-bantal
kecil utuk menahan tubuh penderita. Di luar negeri sering digunakan
kulit domba dengan bulu yang lembut dan tebal sebagai alas tubuh
penderita (Hidayat et. al., 2009).
Bila sudah terjadi dekubitus, tentukan stadium dekubitus dan tindakan
medik menyesuaikan apa yang dihadapi.
1. Dekubitus derajat I
Dengan reaksi peradangan masih terbatas pada epidermis, kulit yang
kemerahan dibersihkan hati-hati dengan air hangat dan sabun, diberi
lotion, kemudian dimassase 2-3 kali/hari.
2. Dekubitus derajat II
Dimana sudah terjadi ulkus yang dangkal, perawatan luka harus
memperhatikan syarat-syarat aseptik dan antiseptik. Daerah bersangkutan
19
digesek dengan es dan dihembus dengan udara hangat bergantian untuk
merangsang sirkulasi. Dapat diberikan salep topikal, mungkin juga untuk
merangsang tumbuhnya jaringan muda/granulasi.
Penggantian balut dan salep ini jangan terlalu sering karena malahan
dapat merusakkan pertumbuhan jaringan yang diharapkan.
3. Dekubitus derajat III
Dengan ulkus yang sudah dalam, menggaung sampai pada bungkus otot
dan sering sudah ada infeksi.Usahakan luka selalu bersih dan eksudat
disusahakan dapat mengalir keluar. Balut jangan terlalu tebal dan
sebaliknya transparan sehingga permeabel untuk masukknya
udara/oksigen dan penguapan. Kelembaban luka dijaga tetap basah,
karena akan mempermudah regenerasi sel-sel kulit. Jika luka kotor dapat
dicuci dengan larutan NaCl fisiologis. Antibiotik sistemik mungkin
diperlukan.
4. Dekubitus derajat IV
Dengan perluasan ulkus sampai pada dasar tulang dan sering pula diserta
jaringan nekrotik. Semua langkah-langkah diatas tetap dikerjakan dan
jaringan nekrotik harus dibersihkan sebab akan menghalangi
pertumbuhgan jaringan/epitelisasi.
Beberapa preparat enzim coba diberikan untuk usaha ini, dengan tujuan
mengurangi perdarahan, dibanding tindakan bedah yang juga merupakan
alternatif lain. Setelah jaringan nekrotik dibuang dan luka bersih,
penyembuhan luka secara alami dapat diharapkan.Beberapa usaha
mempercepat adalah antara lain dengan memberikan oksigenisasi pada
daerah luka. Tindakan dengan ultrasono untuk membuka sumbatan-
sumbatan pembuluh darah dan sampai pada transplantasi kulit setempat.
Angka mortalitas dekubitus derajat IV ini dapat mencapai 40% (Hidayat
et. al., 2009).
F. Acute Confusional State (ACS)
20
ACS adalah sindrom mental organik yang ditandai oleh gangguan
kognitif global, kesadaran menurun, perubahan aktivitas psikomotor dan
gangguan siklus tidur yang terjadi akut serta berfluktuasi.
Gejala awal (prodormal) biasanya berupa perasaan kelelahan, gelisah,
cemas, kesulitan berpikir koheren insomnia, mimpi buruk, serta halusinasi
yang hilang timbul. Sesuai definisi, terdapat gangguan kognitif global yang
terdiri dari proses berpikir, memori dan persepsi. Gejala yang pertama, utama
dan terakhir adalah disorientasi waktu. Pada keadaan lebih berat dapat timbul
disoroentasi tempat dan orang. Gangguan memori terutama short term
memory.
Seringkali pasien tidak dapat membedakan halusinasi dari mimpi.
Pasien juga mengalami kesulitan memusatkan perhatian, sulit berkonsentrasi,
sehingga dapat terjadi kesulitan komunikasi. Gangguan kesadaran dapat
timbul berupa hilangnya kesadaran akan dirinya sendiri dan lingkungan.
Respon terhadap rangsangan dari luar menurun, dan tidak mampu
mengkorelasikan dengan pengalaman sebelumnya sehingga pasien tidak
mampu menangkap maknanya.
Siklus tidur juga terganggu. Pada malam hari, pasien merasa tidak dapat
tidur dan gelisah, sedangkan pada siang hari mengeluh pusing dan
mengantuk. Aktivitas psikomotor dapat meningkat (hiperaktif) seperti
agitatif, selalu terjaga (hyperalert) disertai halusinasi. Dapat pula terjadi
keadaan hipoaktif seperti hypoalert dan lunglai.
Penyakit Alzheimer, gangguan kognitif sebelumnya, pemakaian obat
neuroleptik dan narkotik, fraktur (femur) saat masuk rumah sakit serta
hipoalbuminemia dikatakan sebagai faktor predisposisi ACS. Selain itu, stress
psikologis, kurang tidur, serta kondisi overload juga memudahkan timbulnya
ACS.
Pencetus ACS dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu penyakit-
penyakit primer di otak, penyakit sistemik yang mempengaruhi otak,
intoksikasi, dan akibat putus obat. Penyakit primer di otak misalnya berbagai
neoplasma atau infeksi pada susunan saraf pusat serta penyakit pembuluh
21
darah otak (terutama hemisfer kanan) dan epilepsi. Berbagai penyakit
sistemik dapat mempengaruhi otak secara sekunder antara lain uremia pada
gagal ginjal kronik, gagal jantung, pneumonia, infeksi saluran kemih,
berbagai penyakit kolagen, gangguan keseimbangan asam-basa,
hiponatremia, hipokalemia, dan bahkan dehidrasi. Intoksikasi obat-obat
antikolinergik dan putus obat hipnotik-sedatif juga dapat mencetuskan
delirium.
Identifikasi pencetus delirium merupakan langkah awal yang harus
dikerjakan. Sangat mungkin ditemukan lebih dari satu pencetus, mengingat
multipatologi merupakan salah satu cirri pasien geriatric. Anamnesisi
merupakan modalitas yang cukup ampuh untuk menapis faktor predisposisi
tersebut. Tindakan pengobatan tentu tergantung penyebab dan kondisi klinis
pasien saat itu. Selain terapi kausal, terapi suportif seperti mencegah
polifarmasi, haloperidol (0,5 – 5,0 mg per dua kali sehari) serta penghentian
obat antikolinergik juga perlu dipertimbangkan. Pengobatan suportif lain
seperti memberikan cairan elektrolit, imbangan nutrisi, dan vitamin juga
harus diperhatikan.
G. Rehabilitasi Medik
Tujuan rehabilitasi medik secara umum adalah untuk mengurangi
resiko terjadinya kecacatan, mencegah kecacatan dan serangan berulang,
meningkatkan kemandirian pasien dan meminimalisir ketergantungan pasien
terhadap orang lain. Terapi rehabilitasi medik mencakup tiga aspek utama,
yaitu aspek medis, aspek psikososial dan aspek edukasional-vokasional.
Rehabilitasi medik yang diberikan pada pasien ulkus dekubitus
memiliki beberapa tujuan, antara lain:
1. Pemeliharaan kekuatan dan ketahanan sistem muskuloskeletal, yang
termasuk pengkondisian program latihan harian baik kontraksi otot
isometrik dan isotonik, aktivitas penguatan aerobik, nutrisi untuk
meningkatkan anabolisme protein dan pembentukan tulang.
22
2. Pemeliharaan fleksibilitas sendi yang terlibat dalam latihan rentang
gerak, posisi yang tepat dengan mengatur posisi tungkai dengan
ketergantungan minimal (misalnya meninggikan tungkai diatas dudukan
kaki) mencegah pengumpulan darah pada ekstremitas bawah.
3. Pemeliharaan sirkulasi yang adekuat. Hal ini bisa dilakukan dengan
terapi penyinaran (infra red, short wave diatermy) dan pengurutan atau
massage.
4. Pemeliharaan fungsi urinaria dan usus yang normal bergantung pada
dukungan nutrisi dan struktur lingkungan serta rutinitas-rutinitas untuk
memfasilitasi eliminasi.
5. Edukasi pasien bisa diberikan berupa edukasi bed positioning, mobilisasi
aktif untuk memelihara fungsi gerak dan meminimalisir faktor resiko
terjadinya ulkus dekubitus.
Sedangkan terapi rehabilitasi medik untuk pasien pneumonia utamanya
bertujuan untuk pemeliharaan ventilasi yang normal meliputi hiperinflasi dan
mobilisasi serta menghilangkan sekresi.
23
BAB III
PEMBAHASAN
Diskusi tutorial skenario 3 blok geriatri ini mengajak mahasiswa untuk
memikirkan permasalahan kompleks yang terjadi pada pasien geriatri sebagai
dampak dari kondisi imobilisasinya. Berdasarkan skenario diketahui bahwa ada
seorang pasien laki-laki usia 80 tahun yang diantar ke UGD RS Moewardi karena
sudah beberapa hari tampak lemas, tidak mau makan, serta sering terlihat gelisah.
Dari hasil aloanamnesis didapatkan informasi bahwa sudah 5 hari ini pasien tidak
buang air besar (BAB) dan selama 2 minggu ini pasien hanya dapat berbaring
saja. Selain itu juga diperoleh informasi bahwa pasien mengalami batuk yang
berdahak tetapi tidak berdarah, tanpa disertai demam maupun nyeri dada. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran apatis, TD 120/70 mmHg, RR 30x/menit,
suhu 36oC, HR 108x/menit, suara nafas tambahan ronki basah kasar, suara nafas
dasar bronchial, fremitus meningkat, skor Norton 9, dan ditemukan luka pada
punggung bawah berukuran 4x5 cm dengan dasar kemerahan. Sementara hasil
pemeriksaan lab menunjukkan leukosit 7500, kesuraman homogen paru kanan
pada foto thorax.
Usia pada pasien yang sudah termasuk dalam golongan pasien geriatri
memberikan dampak pada terjadinya perubahan fungsional dan morfologik sistem
organ serta penurunan dari respon imunitasnya. Perubahan morfologik berupa
atrofi rahang dan atrofi mukosa esophagus disertai dengan perubahan fungsional
berupa penurunan kepekaan terhadap rangsang bau dan sensitifitas pengecapan
terutama untuk rasa asin dan manis menyebabkan penurunan nafsu makan pada
pasien dalam skenario. Karena kondisi penurunan nafsu makan pada pasien maka
jumlah asupan untuk pemenuhan kebutuhan energi dan metabolisme dalam tubuh
juga semakin menurun, akibatnya badan pasien menjadi semakin lemas. Selain itu
penurunan intake makanan juga menyebabkan kondisi tidak BAB selama 5 hari
pada pasien, yang mana seharusnya pada intake dan kondisi normal seseorang
dapat BAB minimal 2x dalam 1 minggu.
24
Imobilisasi yang terjadi pada pasien dalam skenario dapat diketahui dari
hasil anamnesis yang mana disampaikan bahwa selama 2 minggu pasien hanya
dapat berbaring. Kondisi imobilisasi ini memiliki berbagai dampak yang dapat
semakin memperburuk kondisi klinis pasien, diantaranya: penurunan motilitas
total usus dan aktivitas motorik kolon menyebabkan terjadinya konstipasi,
penumpukan hasil sekresi dari traktus respiratorius sehingga dapat menyebabkan
peningkatan usaha refleks batuk, dan peningkatan resiko terjadinya ulkus
dekubitus akibat penekanan yang terlalu lama pada bagian tubuh tertentu. Resiko
yang tinggi terhadap terjadinya ulkus dekubitus pada pasien juga tampak dari
hasil skor Norton yang hanya mendapat 9, dimana skor <12 sudah menunjukkan
peningkatan resiko 50 kali lebih besar.
Selain sebagai mekanisme fisiologis tubuh untuk pengeluaran sekret akibat
imobilitasnya, batuk berdahak yang dialami pasien terjadi karena usaha untuk
mengeluarkan sisa-sisa peradangan akibat infeksi pneumonia yang dialaminya.
Nyeri dada yang tidak didapatkan pada gambaran klinis pasien ini menunjukkan
bahwa infeksi tidak mengenai pleura pasien dan juga menunjukkan bahwa tipe
gangguan pernafasan pada infeksi pneumonianya berupa gangguan restriktif.
Gangguan pernafasan restriktif menyebabkan penurunan kemampuan alveoli
untuk menampung O2 akibat dari penumpukan cairan yang mengurangi volume
pada alveoli, hal ini tentu semakin menurunkan saturasi O2 pada tubuh lansia yang
memang seharusnya sudah menurun akibat dari perubahan fisiologis dan
morfologik dari sistem respirasi pada penuaan. Akibat dari menurunnya kadar O2
dalam darah maka tubuh mengkompensasi dengan meningkatkan kecepatan
pernafasan yang tampak dari hasil pemeriksaan RR 30x/menit (RR normal: 16-
20x/menit), selain itu kondisi saturasi O2 yang rendah juga dapat menyebabkan
penurunan kuantitas kesadaran pasien menjadi apatis.
Pneumonia pada pasien geriatri sering menyebabkan terjadinya kondisi
dehidrasi, yang mana pasien pada skenario juga sudah mengalami dehidrasi.
Kondisi dehidrasi pada pasien tampak dari penurunan kesadaran, penurunan
tekanan darah menjadi 120/70 mmHg (TD normal: 140/80 mmHg), peningkatan
heart rate menjadi 108x/menit (HR normal: 60-100x/menit) dan fremitus raba
25
sebagai mekanisme kompensasi akibat curah jantung yang menurun, serta
penurunan suhu tubuh menjadi 36oC yang mana seharusnya pada pneumonia
dewasa muncul gejala klinis demam. Tidak terjadinya demam pada pneumonia
geriatri disebabkan oleh kondisi dehidrasi yang mengakibatkan berkurangnya
darah yang bertugas menghantarkan panas dari sentral ke perifer.
Gambaran pemeriksaan lain yang menunjukkan adanya infeksi pneumonia,
diantaranya: kesuraman homogen paru kanan pada foto thorax, suara nafas
bronkial, dan suara nafas tambahan ronkhi basah kasar yang menunjukkan
penumpukan cairan pada bronkus dan parenkim paru. Jumlah leukosit pada
pemeriksaan laboratorium yang tidak meningkat meskipun sudah terjadi infeksi
disebabkan oleh karena sudah terjadinya penurunan respon dan efektifitas
imunitas akibat dari proses penuaan.
Luka berukuran 4x5 cm dengan dasar kemerahan yang ditemukan pada
punggung bawah pasien merupakan gambaran sudah terjadinya ulkus dekubitus
derajat II. Imobilitas pasien menyebabkan terjadinya penekanan pembuluh darah
untuk jangka waktu yang cukup lama, sehingga terjadi gangguan sirkulasi diikuti
dengan kematian kulit dan jaringan setempat.
Penatalaksanaan pada pasien ini berupa oksigenasi yang bertujuan untuk
membantu meningkatkan saturasi O2 dalam tubuh pasien, pemberian antibiotik
untuk pengobatan dari infeksi pneumonia yang diderita pasien, terapi cairan untuk
memperbaiki kondisi dehidrasi pada pasien, dan medikasi serta kasur dekubitus
untuk memperbaiki kondisi dekubitusnya. Pemberian antibiotik untuk pneumonia
harus didasarkan dari hasil uji resistensi, tetapi apabila hasilnya belum keluar
dapat digunakan antibiotik spectrum luas terlebih dahulu. Sementara untuk
dekubitus derajat II belum dibutuhkan antibiotik, melainkan lebih
memprioritaskan pada perawatan dan penyembuhan luka. Selain terapi tersebut,
pasien juga perlu menjalani terapi rehabilitasi medik untuk memperbaiki kondisi
imobilitasnya.
26
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Berbagai faktor, seperti faktor fisik, psikologis, dan lingkungan dapat
menyebabkan terjadinya imobilisasi pada lansia. Pada skenario,
imobilisasi yang terjadi pada pasien disebabkan karena kondisi pneumonia
yang telah diderita dan menurunnya status kesadaran pasien.
2. Pasien geriatri dalam skenario mengalami beberapa komplikasi akibat
kondisi imobilisasi, yaitu dekubitus derajat II dan gangguan buang air
besar. Pneumonia juga diperparah karena adanya imobilisasi.
3. Selain dekubitus dan gangguan buang air besar, komplikasi yang
ditimbulkan imobilisasi dapat berupa trombosis, emboli paru, kelemahan
otot, kontaktur otot dan sendi, osteoporosis, hipotensi postural, ISK, serta
gangguan nutrisi (hipoalbuminemia).
4. Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien dalam skenario berupa
oksigenasi, hidrasi, penggunaan kasur dekubitus, dan perawatan serta
penyembuhan luka. Pada dekubitus derajat II belum dibutuhkan antibiotik.
Selain itu dijadawalkan terapi rehabilitasi medik pada pasien.
B. Saran
1. Pengkajian geriatri paripurna, perumusan target fungsional, pembuatan
rencana terapi yang mencakup perkiraan waktu yang diperlukan untuk
mencapai target terapi, dan berbagai upaya pencegahan komplikasi
lanjutan sebaiknya segera dilakukan untuk mengatasi kondisi pasien.
2. Edukasi mengenai bahaya tirah baring lama, pentingnya menjaga
kebersihan diri dan lingkungan serta latihan bertahap dan ambulasi dini
untuk mencegah komplikasi lebih lanjut perlu diberikan kepada pasien dan
keluarganya.
3. Terapi rehabilitasi medik sebaiknya diberikan secara rutin pada pasien.
27
DAFTAR PUSTAKA
Craven, RF, Hirnle CJ, (2000).Fundamentals of nursing: Concepts, process, and
practice. Edisi ke 5. California: Addison, Wesley Publishing Co.
Hidayat D, Sjaiful FD, Mochtar H, (2009). Geriatri. Edisi ke 2. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Leahy JM, Kizilay PE. (1998). Foundation of nursing practice: A nursing
approach. USA: WB Saunders Company.
Mar tono , HH (2009 ) Aspek F i s i o log ik dan Pa to log ik Ak iba t
P rose s Menua . Da l am: Martono, H.H. dan Pranarka, K. (eds).
Buku Ajar Boedhi-Darmojo Geriatri Ilmu Kesehatan Usia Lanjut. Edisi
ke-4. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Hal : 56-74.
Potter PA dan Perry A. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,
proses, dan praktik. Edisi ke 4. Jakarta: EGC
Sabandar AO (2008). Ulkus Dekubitus. http://Alfonso de Oncrotte.Ulkus
Dekubitus.mht. Diakses 10 April 2013
Setiati S dan Roosheroe AG (2006) Imobilisasi pada Usia Lanjut. Dalam: Sudoyo,
A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., dan Setiati, S. (eds).
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III, Edisi IV. Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Hal : 1388-90.
28