laporan kasus anestesi pada dm dan geriatri

51
PRESENTASI KASUS A. IDENTITAS PASIEN Nama : Ny. DLE Umur : 49 tahun 8 bulan Jenis Kelamin : Perempuan Alamat : Jalan Sukalaya III Gang H.Saadah RT.003/001, Desa Argasari, Kecamatan Cihideung, Kota Tasikmalaya Pekerjaan : Ibu rumah tangga Agama : Islam Tanggal Masuk RS : 18 Juli 2015 No. CM : 15282926 Dokter Anestesi : Dr. Andika Chandra Putri, Sp.An Dokter Bedah : Dr. Toha Sapari, Sp.B B. PERSIAPAN PRE-OPERATIF (12 Agustus 2015) 1. Anamnesis A (Alergy) Tidak ada alergi makanan, obat-obatan dan asma M (Medication) Tidak sedang menjalani pengobatan penyakit tertentu P (Past Medical History) 2

Upload: nisatriana

Post on 11-Dec-2015

132 views

Category:

Documents


36 download

DESCRIPTION

Konsiderasi anestesi pada geriatri dan diabetes melitus

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan kasus anestesi pada DM dan geriatri

PRESENTASI KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. DLE

Umur : 49 tahun 8 bulan

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jalan Sukalaya III Gang H.Saadah RT.003/001, Desa

Argasari, Kecamatan Cihideung, Kota Tasikmalaya

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Agama : Islam

Tanggal Masuk RS : 18 Juli 2015

No. CM : 15282926

Dokter Anestesi : Dr. Andika Chandra Putri, Sp.An

Dokter Bedah : Dr. Toha Sapari, Sp.B

B. PERSIAPAN PRE-OPERATIF (12 Agustus 2015)

1. Anamnesis

A (Alergy)

Tidak ada alergi makanan, obat-obatan dan asma

M (Medication)

Tidak sedang menjalani pengobatan penyakit tertentu

P (Past Medical History)

Riwayat penyakit DM sejak 2 bulan dan tidak pernah kontrol atau berobat,

tidak ada riwayat hipertensi, sakit ginjal, riwayat sakit yang sama dan tidak

ada riwayat operasi sebelumnya

L (Last Meal)

Pasien terakhir makan 8 jam pre-operasi

E (Elicit History)

Pasien datang ke RSUD Kota Tasikmalaya pada tanggal 18 Juli 2015

pukul 10.00 WIB diantar oleh keluarganya dengan keluhan nyeri disertai

2

Page 2: Laporan kasus anestesi pada DM dan geriatri

bengkak pada kaki sebelah kiri sejak 1 bulan yang lalu. Nyeri dan bengkak

disertai keluar nanah dan berbau busuk. Riwayat trauma tidak ada.

2. Pemeriksaan Fisik

Tanggal Pemeriksaan : 12 Agustus 2015

Tempat Pemeriksaan : Ruang IIIA

Vital Sign

a. Keadaan Umum : Baik

b. Kesadaran : Compos Mentis

c. Tekanan darah : 120/60 mmHg

d. Nadi : 82 x/menit

e. Respirasi : 20 x/menit

f. Suhu : 37,10C

Status Generalisata

a. Berat Badan : 53 Kg

b. Tinggi Badan : 155 Cm

Pemeriksaan Head to Toe

Kepala

a. Mata

Palpebra : tidak bengkak dan cekung

Konjungtiva : anemis (-)/(-)

Sklera : ikterik (-)/(-)

Pupil : refleks cahaya (+)/(+)

pupil isokor dextra = sinistra

b. Hidung

Deviasi septum : tidak ada

Pernapasan cuping hidung : (-)

Sekret : (-)

Mukosa hiperemis : (-)

Epistaksis : (-)/(-)

c. Telinga

Nyeri tekan tragus : (-)/(-)

3

Page 3: Laporan kasus anestesi pada DM dan geriatri

Auricula : tidak tampak kelainan

Meatus akustikus eksternus : (+)/(+)

d. Mulut

Bibir : Sianosis(-); pucat (-)

Leher

a. Pembesaran KGB : (-)/(-)

b. JVP : Tidak diperiksa

Thorak

a. Inspeksi : Bentuk dan gerak simetris kanan = kiri; retraksi

supraclavicula (-)/(-), retraksi intercostalis (-)/(-).

b. Palpasi : iktus kordis tidak teraba; Vokal Fremitus kanan = kiri

c. Perkusi : Sonor seluruh lapang paru

d. Auskultasi : VBS kanan = kiri; Wheezhing (-)/(-); Ronki (-)/(-); BJ I-II

regular, Gallop (-), Murmur (-)

Abdomen

a. Inspeksi : Bentuk cembung; retraksi epigastrium (-)

b. Auskulasi : Bising usus (+) normal

c. Palpasi : Soepel; nyeri tekan (-); defence muscular (-); hepar

membesar (-); limpa tidak teraba

d. Perkusi : Timpani

Ekstremita s

a. Ekstremitas atas : edema (-); hiperemis (-); ulkus (-); CRT <2 detik

b. Ekstremitas bawah : edema (+) tungkai bawah kiri, ulkus (+) tungkai

bawah sampai telapak kaki kiri; CRT < 2 detik

tungkai kanan, sulit dinilai pada tungkai kiri

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Hasil Pemeriksaan Laboratorium

4

Page 4: Laporan kasus anestesi pada DM dan geriatri

Tanggal 12 Agustus 2015

Jenis pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan Metode

HematologiG28 Golongan darah OG29 Rhesus +H01 Hemoglobin 11,1 P: 12-16; L: 14-18 g/dl Auto AnalyzerH14 Hematokrit 34 P: 35-45; L: 40-50 % Auto AnalyzerH15 Jml Leukosit 13.000 5.000-10.000 /mm3 Auto AnalyzerH22 Jml Trombosit 551.000 150.000-350.000 /mm3 Auto Analyzer

K arbohidrat K01 Glukosa Sewaktu 113 76-110 mg/dl GOD – PODK02 Glukosa Puasa 93 mg/dl GOD – PODK03 Glukosa 2 Jam PP 131 mg/dl GOD – POD

F aal Ginjal K04 Ureum 165 15-45 mg/dl Urease Klinetik UVK05 Keratinin 2.50 P: 0.5-0.9; L: 0.7-1.12 mg/dl Kinetic Jaffe

F aal Hati K11 SGOT 19 P: 10-31 L:10-38 U/L/37^ Kinetik UV-IFCCK12 SGPT 9 P: 9-32 L:9-40 U/L/37^ Kinetik UV-IFCCK17 Protein Total 6,38K18 Albumin 2,57K19 Globulin 3,81

ElektrolitK27 Natrium (Na+) 132 135-145 mmol/L ISEK28 Kalium (K+) 1.47 3.5-5.0 mmol/L ISEK29 Calsium (Ca2+) 3.9 0.80-1.10 mmol/L ISE

b. Hasil Radiologi

Foto thorax PA

Jantung agak membesar tanpa bendungan paru, paru aerasi baik,

tampak kalsifikasi di lobus superior kiri (Kesan: artefak atau pernah

KP)

Foto Pedis AP-Lateral dan Cruris AP-Lateral

Tidak tampak gambaran osteolitik, tidak tampak adanya kalsifikasi,

tampak sedikit osteofit pada bagian kalkaneus. (Kesan: iritatif tanpa

osteomielitis)

c. Hasil EKG

Dalam batas normal

4. Diagnosis Klinis

Ulkus diabetikum di regio cruris dan pedis sinistra

5

Page 5: Laporan kasus anestesi pada DM dan geriatri

5. Kesimpulan

Status ASA (American Society of Anesthesiologists) merupakan suatu

klasifikasi untuk menilai kebugaran fisik seseorang. Untuk pasien ini ASA

II yaitu pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang yang tidak

mengganggu aktivitas sehari-hari yaitu DM tipe II yang tidak terkontrol.

C. LAPORAN ANESTESI (DURANTE OPERATIF)

Tanggal Operasi : 13 Agustus 2015

Diagnosis pra-bedah : Ulkus diabetikum a/r cruris & pedis sinistra

Jenis Pembedahan : Necrotomy debridement

Jenis Anestesi : Regional anestesi

Rencana tindakan : Regional anestesi dengan teknik spinal

Awal anestesi : 10.00 WIB

Awal pembedahan : 10.15 WIB

Lama Pembedahan : 60 menit

Premedikasi : Tidak diberikan

Medikasi induksi : Bupivakain 15 mg (3 cc)

Loading cairan : NaCl 0,9% 700 cc untuk menyeimbangkan

cairan dalam tubuh pasien agar pasien tidak

hipotensi akibat dari efek spinal anestesi

Maintenance : O2 3 liter/menit per nasal kanul

Respirasi : Spontan, irama reguler, kedalaman cukup

Posisi : Supine atau terlentang

Cairan perioperatif

Maintenance cairan = 4:2:1

Kebutuhan basal → 10 x 4 = 40 cc

10 x 2 = 20 cc

33 x 1 = 33 cc

93 cc/jam

Defisit Cairan Puasa = Puasa (jam) x maintenance cairan

6

Page 6: Laporan kasus anestesi pada DM dan geriatri

= 8 x 93 cc/jam

= 744 cc

Insensible Water Loss (IWL) = Jenis Operasi x BB (Kg)

= 4 x 53

= 212 cc

Kebutuhan cairan 1 jam pertama

= (½ x defisit cairan puasa) + IWL + maintenance

= (½ x 744 cc) + 212 cc + 93 cc

= 677 cc

Kebutuhan cairan 1 jam kedua

= (¼ x defisit cairan puasa) + IWL + maintenance

= (¼ x 744 cc) + 212 cc + 93 cc

= 491 cc

Kebutuhan cairan 1 jam ketiga

= (¼ x defisit cairan puasa) + IWL + maintenance

= (¼ x 744 cc) + 212cc + 93 cc

= 491 cc

Kebutuhan cairan 1 jam keempat

= IWL + maintenance

= 212 cc+ 93 cc

= 305 cc

Kebutuhan cairan 1 jam kelima

= IWL + maintenance

= 212 cc+ 93 cc

= 305 cc

EBV = BB x Konstanta wanita dewasa

= 53 x 65

= 3.445 cc

Diketahui jumlah pendarahan selama operasi

berlangsung sebanyak 100 cc. Maka persentasi

pendarahan yang terjadi selama operasi adalah

7

Page 7: Laporan kasus anestesi pada DM dan geriatri

= Pendarahan (cc) / EBV x 100%

= 150 cc / 3.445 cc x 100%

= 4,35%

Jadi untuk penggantian < 15% EBV dapat diberikan

kristaloid sebagai pengganti pendarahannya dengan

perbandingan 1:3. Dalam kasus ini pasien mengalami

pendarahan sebanyak 150 cc maka pasien diberikan

cairan kristaloid sebanyak = 3 x 150 cc = 450 cc

Tindakan Anestesi Regional Dengan Spinal Anestesi.

Pasien diposisikan duduk dengan badan membungkuk agar processus

spinosus teraba untuk dilakukan spinal anestesi. Pada daerah vertebra

lumbal III sampai dengan vertebra lumbal V dibersihkan dengan antiseptik

povidon iodine + alkohol.

Untuk menentukan ruang subarachnoid di tarik garis dari SIAS (Spina Iliaca

Anterior Superior) ke vertebra lumbal dan biasanya terdapat di antara

vertebra lumbal IV dan vertebra lumbal V.

Dimasukkan obat bupivacaine 15 mg (3 cc) dengan cara ditusukan oleh

jarum spinal no.25G.

Setelah di spinal anestesi pasien diposisikan pada posisi supine atau

terlentang untuk tindakan operasi.

Memasang sensor finger oksimetri pada ibu jari tangan kanan pasien untuk

monitoring SpO2 dan SPO2 rate. Kemudian memasang manset pada lengan

kiri pasien untuk monitoring tekanan darah dikarenakan pada lengan kanan

telah terpasang infus.

Pemberian gas anestesi dengan O2 3L/menit dengan memakai nasal kanul.

Monitoring tanda vital selama operasi tiap 15 menit, kedalaman anestesi,

cairan, perdarahan, dan produksi urin.

Monitoring Vital Sign dan Saturasi PO2 selama operasi dilakukan setiap 5 menit

8

Page 8: Laporan kasus anestesi pada DM dan geriatri

Waktu

(WIB)

Nadi(x/menit)

Tekanan darah(mmHg)

Saturasi(%)

Keterangan

10.00 87 133/76 98 Awal masuk ke ruang operasi10.05 89 135/78 100 Persiapan dilakukan induksi10.10 80 129/70 100 Persiapan dilakukan pembedahan10.15 73 129/69 99

Mulai Pembedahan

10.20 76 128/69 10010.25 74 129/69 10010.30 77 120/70 9810.35 76 128/69 9910.40 72 129/69 10010.45 73 126/63 10010.50 76 126/61 10010.55 77 127/62 100 Akhir pembedahan11.00 74 128/64 100 Pasien dibawa ke ruang pemulihan

Pemberian cairan selama operasi

Waktu (WIB) Jenis Cairan Jumlah Cairan (cc)10.00-10.25 NaCl 0,9% ±250 cc10.25-11.00 Asering 400 cc

D. POST - OPERASI

Setelah pasien dinilai dengan Bromage score dan didapatkan nilai Bromage

score ≤ 2, maka pasien diperbolehkan pindah ruangan.

Infus = Asering 20 tetes/menit

Analgetik Tramadol 100 mg dan ketorolac 60 mg diberikan per-

drip dalam 500 cc Asering

Antibiotik = sesuai teman sejawat bedah

Makan dan minum sudah dapat di mulai setelah selesai operasi.

Mobilisasi dilakukan 1x24 jam setelah pembedahan

Monitoring Post-operasi di ruangan perawatan (IIIA)

Tanda vital (suhu, repsirasi, nadi, tekanan darah)

Glukosa sewaktu setelah operasi

Bromage Score

9

Page 9: Laporan kasus anestesi pada DM dan geriatri

Bromage score merupakan salah satu indikator respon motorik pasca anestesi

Nilai 0 jika terdapat gerakan penuh tungkai

Nilai 1 jika tak mampu ekstensi tungkai

Nilai 2 jika tak mampu fleksi lutut

Nilai 3 jika tak mampu fleksi pergelangan kaki

Jika nilai bromage score kurang dari sama dengan 2 pasien boleh pindah ke

ruangan.

E. FOLLOW UP PASCA OPERASI

1. Hari Pertama 24 Jam Post-Operasi (14 Agustus 2015)

Pasien dirawat di ruang IIIA

Pasien tidak puasa, diit DM tipe II

Pasien diberikan cairan infus asering 20 tetes/menit

Analgetik Ketorolac 60 mg dan Tramadol 100 mg diberikan per-drip

melalui infus

Keadaan umum : Baik

Kesadaran : Compos Mentis

Vital sign :

Tekanan darah = 120/80

Nadi = 77 x/menit

Respirasi = 19 x/menit

10

Page 10: Laporan kasus anestesi pada DM dan geriatri

Nadi = 36,9oC

Guloksa sewaktu 149 mg/dL

F. PEMBAHASAN

1. Pre-Operatif

a. Anamnesa

OS mengeluhkan nyeri disertai bengkak pada kaki sebelah kiri sejak 1

bulan yang lalu. Nyeri dan bengkak disertai keluar nanah dan berbau

busuk. Riwayat trauma tidak ada.

b. Pemeriksaan Fisik

Berat badan : 53 Kg

Tekanan darah : 120/60 mmHg

Nadi : 82 x/menit

Nafas : 20 x/menit

Suhu : 37,1oC

Kesadaran : Compos mentis

Keadaan umum : Baik

Kepala : Dalam batas normal

Leher : Dalam batas normal

Thoraks : Dalam batas normal

Abdomen : Dalam batas normal

Ekstremitas : Edema (+) tungkai bawah kiri, ulkus (+) tungkai

bawah sampai telapak kaki kiri; CRT < 2 detik

tungkai kanan, sulit dinilai pada tungkai kiri

c. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium lengkap

Pemeriksaan radiologi terdiri dari foto thorax PA dan foto pedis AP-

Lateral serta cruris AP-Lateral

Pemeriksaan EKG

d. Anestesi

11

Page 11: Laporan kasus anestesi pada DM dan geriatri

Ternilai ASA II yaitu pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai

sedang yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari.

e. Rencana Anestesi

Regional Anestesi dengan teknik spinal anestesi.

2. Durante Operatif

Teknik Anestesi : Spinal Anestesi

Obat Anestesi : Bupivacaine 15 mg

Maitenance : O2 2-3 L/menit (Nasal kanul)

Kebutuhan Cairan : 1 jam pertama sebanyak 899 cc

Teknik anestesi yang dipilih pada kasus ini adalah anestesi regional yaitu

spinal anestesi. Teknik ini dipilih dengan alasan operasi yang akan

dilakukan merupakan bedah pada bagian ekstremitas bawah. Selain itu

operasi yang akan dilakukan tidak memerlukan waktu yang lama. Obat

anestesi yang dipakai adalah Bupivacaine 15 mg dengan menggunakan

jarum spinal nomor 25G

3. Pembahasan Materi

a. Spinal Anestesi

Anestesi spinal adalah injeksi obat anestesi lokal ke dalam ruang

intratekal yang menghasilkan analgesia. Pemberian obat lokal anestesi ke

dalam ruang intratekal atau ruang subaraknoid di regio lumbal antara

vertebra L2-3, L3-4 untuk menghasilkan onset anestesi yang cepat

dengan derajat kesuksesan yang tinggi.

Contraindications to Neuraxial BlockadeAbsolute

Infection at the site of injectionPatient refusalCoagulopathy or other bleeding diathesisSevere hypovolemiaIncreased intracranial pressureSevere aortic stenosisSevere mitral stenosis

12

Page 12: Laporan kasus anestesi pada DM dan geriatri

RelativeSepsisUncooperative patient1Preexisting neurological deficitsDemyelinating lesionsStenotic valvular heart lesionsSevere spinal deformity

ControversialPrior back surgery at the site of injectionInability to communicate with patient1Complicated surgery1Prolonged operationMajor blood lossManeuvers that compromise respiration

Anestesi spinal dihasilkan oleh injeksi larutan anestesi lokal ke

dalam ruang subarakhnoid lumbal. Larutan anestesi lokal dimasukkan ke

dalam cairan serebrospinal lumbal, bekerja pada lapisan superfisial dari

korda spinalis, tetapi tempat kerja yang utama adalah serabut

preganglionik karena mereka meninggalkan korda spinal pada rami

anterior. Karena serabut sistem saraf simpatis preganglionik terblokade

dengan konsentrasi anestesi lokal yang tidak memadai untuk

mempengaruhi serabut sensoris dan motoris, tingkat denervasi sistem

saraf simpatis selama anestesi spinal meluas kira-kira sekitar dua segmen

spinal sefalad dari tingkat anestesi sensoris. Untuk alasan yang sama,

tingkat anestesi motorik rata-rata dua segmen dibawah anestesi sensorik.

Spinal anestesi mempunyai beberapa keuntungan antara lain,

perubahan metabolik dan respon endokrin akibat stress dapat dihambat,

komplikasi terhadap jantung, otak, paru dapat minimal, relaksasi otot

dapat maksimal pada daerah yang terblok sementara pasien dalam

keadaan sadar. Selain keuntungan ada juga kerugian dari cara ini yaitu

berupa komplikasi yang meliputi hipotensi, mual dan muntah, PDPH

(Post Dural Puncture Headache), nyeri pinggang dan lainnya.

13

Page 13: Laporan kasus anestesi pada DM dan geriatri

Jenis obat anestesi lokal yang ideal adalah obat dengan mula kerja

cepat, lama kerja serta tinggi blokade yang dapat diperkirakan agar sesuai

dengan perkiraan durasi operasi yang kemudian akan dilakukan.

Dosages and Actions of Commonly Used Spinal Anesthetic Agents

Drug Preparation

Doses (mg) Duration (min)

Perineum, Lower Limbs

Lower Abdomen

Upper Abdomen

Plain Epinephrine

Procaine 10% solution 75 125 200 45 60

Bupivacaine0.75% in 8.25%

dextrose4–10 12–14 12–18 90–120 100–150

Tetracaine1% solution in 10%glucose

4–8 10–12 10–16 90–120 120–240

Lidocaine 5% in 7.5%glucose

25–50 50–75 75–100 60–75 60–90

Ropivacaine0.2–1% solution 8–12 12–16 16–18 90–120 90–120

Bupivakain hidroklorida adalah obat anestesi lokal golongan amida

dengan rumus kimianya 2-piperidine karbonamida, 1 butyl (2,6-

dimethilfenil) monoklorida. Mula kerjanya lebih lambat daripada

lidokain namun lama kerja sampai delapan jam. Oleh karena lama kerja

yang panjang, maka sangat mungkin menggunakan obat anestesi lokal ini

dengan teknik satu kali suntikan. Untuk prosedur pembedahan yang lebih

lama dapat dipasang kateter dan obat diberikan kontinyu sehingga resiko

toksisitas menjadi berkurang oleh karena selang waktu pemberian obat

yang cukup lama.

Kontraindikasi bupivakain adalah penyakit susunan saraf pusat aktif,

septikemia, anemia pernisiosa dengan degenerasi subakut dari korda

spinalis, infeksi piogenik pada kulit, syok kardiogenik atau hipovolemik,

gangguan koagulasi atau sedang mendapat terapi antikoagulan. Efek

sampingnya dapat menimbulkan hipotensi, bradikardia, sakit kepala.

Juga dapat menimbulkan blokade spinal tingkat tinggi atau total sehingga

14

Page 14: Laporan kasus anestesi pada DM dan geriatri

menyebabkan depresi kardiovaskular dan pernafasan namun jarang

terjadi.

Tingkat penyerapan sistemik anestesi lokal tergantung pada dosis

total dan konsentrasi obat yang diberikan, cara pemberian, vaskularisasi,

dan ada tidaknya epinefrin dalam larutan anestesi. Konsentrasi encer

epinefrin (1:200.000 atau 5 mcg/mL) biasanya mengurangi tingkat

penyerapan dan konsentrasi puncak plasma Bupivakain Hidroklorida,

yang memungkinkan penggunaan total dosis cukup besar dan kadang

memperpanjang durasi kerja. Mula kerja Bupivakain sepat dan durasi

anestesinya cukup lama dibandingkan obat anestesi lokal lainnya.

Anestesi lokal terikat dengan protein plasma dalam berbagai derajat.

umumnya, semakin rendah konsentrasi plasma obat semakin tinggi

persentase obat terikat pada protein plasma.

Setelah injeksi Bupivakain Hidroklorida pada cauda, epidural, atau

blok saraf perifer pada manusia, tingkat puncak Bupivakain dalam darah

dicapai dalam 30 sampai 45 menit, diikuti dengan penurunan tingkat

signifikan selama tiga sampai enam jam berikutnya.

Berbagai parameter farmakokinetik anestesi lokal dapat secara

signifikan diubah oleh gangguan hati atau penyakit ginjal, penambahan

epinefrin, faktor yang mempengaruhi pH urin, aliran darah ginjal, cara

pemberian obat, dan usia pasien. Waktu paruh dari Bupivakain

Hidroklorida pada orang dewasa adalah 2,7 jam dan pada neonatus 8,1

jam. Anestesi lokal jenis amida seperti Bupivakain Hidroklorida

dimetabolisme terutama di hati melalui konjugasi dengan asam

glukuronat. Pasien dengan penyakit hati, terutama mereka dengan

penyakit hati yang berat, mungkin lebih rentan terhadap potensi

toksisitas anestesi lokal jenis amida. Pipecoloxylidine adalah metabolit

utama Bupivakain Hidroklorida. Ginjal adalah organ ekskresi utama

untuk kebanyakan anestetik lokal dan metabolitnya. Ekskresi urin

dipengaruhi oleh perfusi kemih dan faktor yang mempengaruhi pH urin.

Hanya 6% dari Bupivakain diekskresikan tidak berubah dalam urin.

15

Page 15: Laporan kasus anestesi pada DM dan geriatri

b. Anestesi pada Geriatri

Efek samping anestesi pada pasien geriatri kemungkinan terjadi lebih

besar karena adanya keterbatasan fungsi tubuh. Morbiditas dan mortalitas

meningkat sesuai dengan peningkatan usia. Rekomendasi perioperatif pada

pasien geriatri adalah menghindari obat-obat yang beresiko meningkatkan

delirium, pemberian cairan, kalori adekuat, masalah transportasi, terapi fisik

dan segera mungkin dapat melakukan aktifitas sehari hari. Pasien geriatri

membutuhkan perhatian ekstra saat penilaian perioperatif, tatalaksana

terperinci saat intraoperatif yang bervariasi dan mengetahui status penyakit

penyerta serta kewaspadaan terhadap pemberian titrasi dan dosis dari obat-

obat yang digunakan.

Sejauh ini tidak ada alat, obat dan teknik anestesi yang dikatakan terbaik

untuk pasien geriatri. Fakta dan penelitian ilmiah yang menyarankan

penggunaan anestesi regional pada pasien geriatri karena teknik yang

sederhana, aman, pemulihan cepat dan efek samping minimal dibandingkan

anestesi umum. Pada geriatri seringkali terjadi degeneratif massa otot dan

secara mikroskopik terjadi penebalan celah penghubung neuromuskular.

Arthritis, osteoporosis, kelemahan dan kekakuan ligamen, cenderung mudah

terjadi fraktur dan dislokasi sendi pada tiap gerakan dan posisi intraoperatif

sehingga menjadi penyulit anestesi epidural dan spinal.

Hubungan Usia dan Perubahan Fisiologi

1) Sistem Kardiovaskular

Penurunan elastisitas pembuluh darah karena fibrosis pada tunika media,

ini adalah proses normal dari proses penuaan. Penurunan komplain arteri

mengakibatkan peningkatan afterload, meningkatnya systolic blood pressure,

hipertrophy ventrikel kiri. Penebalan dinding ventrikel kiri ini meningkatkan

rongga dari ventrikel kiri. Beberapa kali sering terjadi. fibrosis myocardial

dan kalsifikasi pada katup Bila penyakit penyerta tidak ada, maka tekanan

darah diastolik harus tetap dipertahankan atau menurun. Fungsi Baroreseptor

ditekan. Dengan cara yang sama, sebaliknya terutama pada cardiac output

16

Page 16: Laporan kasus anestesi pada DM dan geriatri

menurun sesuai peningkatan usia, tampaknya dipertahankan dengan baik pada

individu yang sehat.

Bila tidak ada penyakit penyerta, Resting diastolic dari fungsi jantung

tampaknya tetap dipertahankan sampai usia diatas 80 tahun. Peningkatan

tonus vagal dan penurunan sensitifitas dari reseptor adrenergic memincu

terjadinya penurunan denyut jantung / heart rate. Maksimal penurunan Heart

rate sekitar 1 denyut per menit pertahun, pada umur diatas 50 tahun. Fibrosis

pada system konduksi dan hilangnya sel-sel SA node meningkatkan incidence

dari dysrhythmia, terutama Atrial Fibrilasi dan Atrial Flutter.

Pada pasien tua yang sedang dalam evaluasi untuk dilakukan

pembedahan, mempunyai insiden yang meningkat terjadinya disfungsi

diastolic, dimana hal ini dapat di ketahui dengan Dopller EKG. Tanda adanya

disfungsi diastolic dapat dilihat dari adanya Hypertensi sistemik, Penyakit

arteri caroner, Kardiomiopathy, dan penyakit katub jantung, terutama stenosis

aorta. Pasien dapat tanpa gejala atau adanya keluhan terhadap gangguan

anktifitas, dispone, batuk dan fatique.

Disfungsi diastolic mengakibatkan peningkatan yang relative besar pada

Tekanan end-diastolic ventrikel dengan sedikit perubahan volume ventrikel

kiri; kontribusi atrium terhadap pengisian ventrikel menjadi hal yang penting

dibandingkan pada pasien yang masih muda. Pembesaran atrium merupakan

predisposisi terjadinya Artrial Fibrilasi dan atrial flutter. Pasien ini

mempunyai resiko yang meningkat akan terjadinya Congestive Heart Failure.

Pengurangan Cardiac Reserve pada beberapa orang yang sudah tua

mungkin dimanisfestasikan dengan penurunan tekanan darah saat

dilakukannya induksi dari tindakan General Anesthesi. Memanjangnya waktu

sirkulasi, memperlambat onset dari obat IV tetapi mempercepat induksi

dengan obat Inhalasi. Seperti pada penderita bayi, pasien tua mempunyai

sedikit kemampuan berespon terhadap hypovolemic, Hypotensi dan Hypoksia

dengan meningkatkan hear rate jantungnya.

17

Page 17: Laporan kasus anestesi pada DM dan geriatri

2) Sistem Respirasi

Elastisitas menurun juga terjadi pada jaringan paru, Overdistensi pada

alveolar dan kolapnya beberapa jalan napas yang kecil dapat terjadi.

Penurunan luas permukaan area alveolar merupakan hal yang terjadi lebih

dahulu, dengan menurunkan efisiensi terhadap pertukaran gas. Kolapsnya

jalan napas meningkatkan Volume Residual paru (volume sisa udara pada

akhir ekspirasi maksimal) dan Clossing capacity (volume udara pada paru

dimana jalan napas kecil mulai tertutup). Bahkan pada orang normal clossing

capacity meningkatkan fungsional residual capacity (volume sisa udara pada

akhir ekspirasi normal) pada usia 45 tahun pada posisi supine dan usia 65

tahun pada posisi duduk. Ketika hal ini terjadi, beberapa jalan napas tertutup

selama pernapasan normal, yang mengakibatkan perbedaan yang tidak

sebanding antara ventilasi dengan perfusi. Efek tambahan yang terjadi pada

menyerupai empishema ini adalah perubahan menurunnya tekanan oksigen

arteri, rata-rata 0.35 mmHg / tahun. Tetapi, pada pasien tua yang akan

dilakukan operasi mempunyai range tekanan oksigen yang cukup luas.Terjadi

peningkatan dead space anatomi dan fisiologi.

Ventilasi dengan mask lebih sulit dilakukan pada pasien dengan

edentulous/ompong, sedangkan arthritis pada TMJ atau vertebra servikal,

intubasi merupakan suatu tantangan. Pada hal lain, tidak adanya gigi atas

sering bermanfaat dalam memperbaiki penglihatan terhadap pita suara saaat

dilakukan intubasi/laringoskop.

Pencegahan perioperatif termasuk hypoksia dengan melakukan

preoksigenasi lebih lama sebelum melakukan intubasi, meningkatkan

konsentrasi oksigen inspirasi selama antesthesi, sedikit meningkatkan PEEP,

dan agresif melakukan pulmonary toilet / pembersihan trachea.

Pneumonia Aspirasi sering dan potensial terjadi sebagai komplikasi saat

lakukan penyelamatan dijiwa pada penderita tua. Satu alasan kecenderungan

terjadinya hal ini adalah adanya penurunan reflek proteksi laringeal yang

progresif sesuai dengan umur. Kegagalan ventilasi di RR sering terjadi pada

pasien tua. Untuk itu, pasien-pasien dengan penyakit paru berat sebelumnya

18

Page 18: Laporan kasus anestesi pada DM dan geriatri

dan yang telah dilakukan operasi abdominal, post op pasien harus tetap

terintubasi.

Tambahan, untuk management nyeri post op harus dilakukan dengan

pertimbangan yang serius (seperti, epidural dengan lokal anesthesi dan

opioid, blok nervus interkosta).

3) Fungsi Ginjal

RBF dan masa ginjal (spt. Jumlah glumerulus dan panjang tubulus)

menurun sesuai dengan Usia. Perubahan yang mencolok terutama terjadi

kortek ginjal dimana disini akan diganti oleh lemak dan jaringan fibrosis.

Fungsi ginjal ditentukan oleh GFR dan penurunan kreatinin serum menjadi

menurun. Kadar kreatinin serum tidak berubah dikarenakan adanya

penurunan masa otot dan produksis kreatinin. Sebaliknya kadar BUN (Blood

Urea Nitrogen) perlahan meningkat (0.2 mg/dL per tahun). Gangguan

terhadap pemeliharaan natrium, dan kemampuan untuk mengkonsentrasi dan

kemampuan dilusi mempengaruhi pasien-pasien tua untuk terjadinya

dehidrasi atau kelebihan cairan (Fluid Overload).

Respon terhadap hormon antidiuretik dan aldosteron menurun.

Kemampuan untuk reabsorbsi gula menurun. Kombinasi antara penurunan

RBF dan dan penurunan masa nefron, meningkatkan resiko pasien tua untuk

terjadinya ARF pada periode post operatif. Karena menurunnya fungsi ginjal,

yang mempuyai fungsi untuk mengekskresikan obat-obatan. Menurunnya

kemampuan dalam menangani cairan dan elektrolit, membuat penanganan

atau penatalaksaan terhadap cairan harus lebih kritis/serius; pasien tua lebih

cenderung terjadi hypokalemia dan hyperkalemia. Ini merupakan Komplikasi

lebih lanjut terhadap seringnya penggunaan diuretik pada pasient tua. Pada

akhirnya elektrolit serum, Cardiac Filling Pressures, dan output urin harus

lebih sering di monitor.

4) Fungsi Metabolik dan Endokrin

Konsumsi Oksigen basal dan maksimal menurun sesuai dengan usia.

Puncaknya setelah usia 60 tahun, banyak laki-laki dan wanita mulai

kehilangan berat badannya dibandingkan usia muda. Produksi panas badan

19

Page 19: Laporan kasus anestesi pada DM dan geriatri

menurun, kehilangan panas meningkat. dan hypothalamic sebagai pusat

pengatur temperatur suhu tubuh baru akan ter-reset pada level yang terendah.

Peningkatan resistensi insulin menjadi penyebab terjadinya penurunan

yang progresif dalam kemampuan untuk mengatasi peningkatan glukosa

dalam tubuh. Respon neuroendocrine terhadap stress tampaknya

dipertahankan atau sedikit menurun dibandingkan dengan pasien tua yang

masih sehat. Penuaan dihubungkan dengan penurunan respon terhadap obat-

obat ß-adrenergik (endogenous ß – blockade). Kadar norepineprin dalam

sirkulasi dikatakan akan meningkat pada pasien-pasien tua.

5) Fungsi Gastrointestinal

Massa hati menurun pada orang tua sesuai juga terjadinya penurunan

aliran darah ke hati (Hepatic Blood Flow). Dan Fungí hati (cadangan)

menurun sesuai dengan penurunan masa dari hati. Sehingga biotransformasi

dan produksi albumin menurun. Kadar Choline esterase plasma menurun

pada laki-laki tua. pH lambung cenderung meningkat, sedangkan

pengosongan lambung memanjang. Walaupun menurut bebarapa penelitan

pada pasien-pasien tua mempunyai volume lambung yang rendah

dibandingkan dengan pasien muda.

Sistem Perubahan fisiologis normal Patofisiologi yang sering ada

Cardiovascular

Pe ↘ elastisitas arteri :

Pe ↗ afterload Pe ↗ Tek.darah sistolik Hypertropi ventrikel kiri

AtherosklerosisPenyakit Jantung koronerHypertensi essensialCongestive Heart FailureCardiac AritmiaStenosis Aorta

Pe ↘ aktifitas adrenergic :

Pe ↘ Resting HR Pe ↘ maksimal HR Pe ↘ Reflek baroreseptor

Respiratory Pe ↘ elastisitas paru :

Pe ↘ luas permukaan alveolar Pe ↗ Volume residual Pe ↗ Closing Capacity Ventilasi / perpusi yang tidak sesuai. Pe ↘ tekanan O2 atrteri

EmphisemaBronkitis kronikPneumonia

20

Page 20: Laporan kasus anestesi pada DM dan geriatri

Pe ↗ kekauan dinding dada

Pe ↘ kekuatan otot :

Pe ↘ Batuk Pe ↘ Kapasitas maksimal

pernapasanKurang respon terhadap hiperkapni dan hipoksia

Ginjal

Pe ↘ Aliran darah ginjal :

Pe ↘ Aliran plasma ginjal Pe ↗ GFR Pe ↗ Closing Capacity Ventilasi / perpusi yang tidak sesuai. Pe ↘ tekanan O2 atrteri

Nephropati DiabetikNephropati HipertensiObstruksi prostatCongestive Heart Failure

Pe ↘ Masa ginjal

Pe ↘ Fungsi tubulus :

Penangan Na yang lemah Penangan cairan yang lemah Pe ↘ Kemampuan

mengkonsentrasi Pe ↘ Kapasitas dilusi Pe ↘ Ekskresi obatPe ↘ Respon Renin-Angiotensin :

Gangguan ekskresi Kalium

6) Sistem Saraf

Masa otak menurun sesuai dengan usia; neuron yang berkurang menonjol

di kortek cerebral, terutama lobus frontal. CBF menurun sekitar 10 – 20%

sesuai dengan berkurangnya sel saraf. Ini berhubungan erat dengan

metabolisme ; autoregulasi masih baik. Neuron menurun dalam ukuran dan

kehilangan beberapa kompletisitas dari cabang-cabang dendrit dan jumlah

sinaps. Pembentukan beberapa neurontransmiter seperti dopamin dan

sejumlah reseptor berkurang. Ikatan Serotonergic, adrenergic dan γ amino-

buteric acid (GABA) juga berkurang. Jumlah sel Astrocyt dan sel mikroglia

meningkat. Degradasi sel-sel saraf perifer mengakibatkan lamanya kecepatan

konduksi dan atropi dari otot skeletal.

21

Page 21: Laporan kasus anestesi pada DM dan geriatri

Penuaan dihubungkan dengan peningkatan threshol / ambang dari hampir

semua sensorik, termasuk sentuh, sensasi temperatur, propioseptif,

pendengaran dan penglihatan. Perubahan presepsi nyeri adalah sangat

komplek dan masih belum dapat dimergerti benar. Proses Mekanisme di pusat

dan perifer seperti perubahan.

Dosis yang diperlukan diturunkan untuk anestesi lokal (Minimum

anesthetic Concentration) dan anestesi General (Minimum Alveolar

concentration). Pada pasien usia tua pemberian anesthesi epidural cenderung

menyebar ke arah cephal, tetapi dengan durasi analgetik dan blok motorik

yang pendek. Lamanya duration of action harus dipikirkan pada spinal

anesthesi. Bila tidak ada penyakit penyerta, penurunan fungsi kognitif adalah

normal, tetapi berbeda setiap orang. Memori jangka pendek yang biasanya

paling sering terganggu. Aktivitas secara fisik dan intelektual yang

berkelanjutan tampaknya mempunyai efek yang baik terhadap pemeliharaan

fungsi kognitif.

Pada pasien yang sudah tua memerlukan waktu yang lebih lama untuk

pemulihan sistem saraf pusat dari efek tindakan anesthesi umum, terutama

pada mereka yang mengalami kebingungan dan disorientasi pada preoperatif.

Ini merupakan hal penting pada pasien geriatik yang akan dilakukan tindakan

pembedahan rawat jalan, dimana faktor sosioekonomi yang merupakan faktor

utama/tertinggi yang menyebabkan pasien diharuskan dirawat dirumah.

Banyak pasien tua/geriatri mengalami bermacam-macam derajat dari

Acute confusional state, delirium atau gangguan Kognitive setelah

pembedahan. Penyebab dari Disfungsi kognitif postoperatif (POCD = Post

Operative Cognitive Dysfungsion) adalah multifaktor dan termasuk efek obat,

nyeri, demensia, hypotermia dan gangguan metabolik. Rendahnya kadar

neurotransmiter utama, seperti asetilkolin, mungkin juga memberikan

kontribusi.

Pada pasien tua terutama sensitif terhadap obat – obat bekerja sebagai

anti kolinergik yang bekerja dipusat seperti scapolamin atau atropin.

Menariknya, kejadian delirium postoperasi sepertinya terjadi pada regional

22

Page 22: Laporan kasus anestesi pada DM dan geriatri

anesthersi dan general anaesthesi. Mungkin ini jarang terjadi pada anesthesi

regional tanpa sedasi.

Beberapa pasien menderita karena prolonged atau permanent POCD

setelah pembedahan dan anesthesi. Beberapa penelitian mengatakan bahwa

POCD dapat dideteksi pada 10% - 15% pada pasien diatas usia 60 tahun

selama 3 bulan post pembedahan utama. Pada bagian yang lain seperti post

oprasi cardiac dan prosedur bedah tulang besar, emboli arteri intraoperative

dapat juga menjadi penyebab. Pada pasien tua tampaknya mempunyai resiko

terbesar terhadap terjadinya POCD dibandingkan dengan pasien rawat jalan

lainnya.

7) Sistem Muskuloskeletal

Masa otot berkurang. Pada tingkat mikroskopis neuromuscular junction

menebal. Receptor acethylcholine tampaknya juga tersebar dibeberapa

extrajunctional.Kulit mengalami atropi sesuai dengan umur dan mudah untuk

terjadinya trauma dari plester, Alas dari elektrocauter, electroda dari EKG.

Vena sering lemah dan mudah terjadi ruptur oleh karena IVFD. Adanya

Arthritis sendi mengganggu terhadap pengaturan posisi (spt. Lithotomi) atau

Anesthesi regional (spt. Subarachnoid block / Spinal anesthesi). Adanya

penyakit degenaratif pada tulang servikal dapat membatasi ekstensi leher

yang berpotensial menyebabkan kesulitan dilakukannya intubasi.

c. Anestesi Pada Pasien Diabetes Mellitus

Pada orang dewasa normal, produksi insulin sekitar 50 unit per hari dari

sel beta lengerhans pancreas. Jumlah sekresi insulin terutama tergantung

kadar glukosa didalam plasma. Insulin, merupakan hormon anabolik paling

penting yang mempunyai efek metabolik yang banyak, meliputi peningkatan

glukosa dan potassium memasuki adiposa dan sel otot; meningkatan

glikogen, protein, dan sintesis asam lemak dan penurunan glikogenolisis,

glukoneogenesis, ketogenesis, lipolisis dan katabolisme protein. Biasanya,

insulin merangsang anabolisme, dimana gangguan insulin dihubungkan

dengan katabolisme dan balans nitrogen yang negatif.

23

Page 23: Laporan kasus anestesi pada DM dan geriatri

Endocrinologic Effects of Insulin

Effects on liver

    Anabolic

    Promotes glycogenesis

    Increases synthesis of triglycerides, cholesterol, and VLDL

    Increases protein synthesis

    Promotes glycolysis

    Anticatabolic

    Inhibits glycogenolysis

    Inhibits ketogenesis

    Inhibits gluconeogenesis

Effects on muscle

    Promotes protein synthesis

    Increases amino acid transport

    Stimulates ribosomal protein synthesis

    Promotes glycogen synthesis

    Increases glucose transport

    Enhances activity of glycogen synthetase

    Inhibits activity of glycogen phosphorylase

Effects on fat

    Promotes triglyceride storage

    Induces lipoprotein lipase, making fatty acids available for absorption into fat cells

    Increases glucose transport into fat cells, thus increasing availability of - glycerol phosphate for triglyceride synthesis

    Inhibits intracellular lipolysis

Diabetes mellitus ditandai oleh kerusakan metabolisme karbohidrat yang

disebabkan oleh defisiensi insulin atau kemampuan reaksi insulin, yang

menimbulkan hiperglikemi dan glukosuria. Dignosis berdasarkan

peningkatan glukosa plasma puasa ( > 140 mg/dl ) atau glukosa darah ( 126

mg/dl ). Nilai dari beberapa laporan bahwa kadar gula darah berkiras 12 –

15% lebih rendah dari glukosa plasma, demikian juga ketika pengujian pada

whole blood, perhitungan glukosa terbaru, dan pada glukosa plasma.

24

Page 24: Laporan kasus anestesi pada DM dan geriatri

Diabetes baru-baru ini terlah diklasifikasikan kembali meliputi empat tipe

(table 36-2); DM tipe I (insulin-dependen) dan DM tipe II (noninsulin-

dependen) yang paling umum dan dikenal. Diabetik Ketoasidosis (DKA)

dihubungkan dengan DM tipe I, tetapi ada orang tertentu, dimana saat ini

dengan DKA yang secara fenotip terlihat mempunyai DM tipe II.

Selanjutnya, individu dengan diagnosa awal DM tipe II kemudian

berkembang menjadi DM tipe II.

Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus

Diagnosis (based on blood glucose level) 

  Fasting 126 mg/dL (7.0 mmol/L)

  Glucose tolerance test 200 mg/dL (11.1 mmol/L)

Classification 

  Type I Absolute insulin deficiency secondary to immune-mediated or idiopathic

  Type II Adult onset secondary to resistance/relative deficiency

  Type III Specific types of diabetes mellitus secondary to genetic defects

  Type IV GestationalPenurunan aktivitas hormon insulin mengakibatkan terjadinya katabolism

dari asam lemak bebas menjadi benda keton (acetoacetate dan β-

hydroxybutyrate), sebagian dari yang ada adalah asam lemah (lihat Bab 30).

Akumulasi dari asam organic ini mengakibatkan suatu anion-gap acidosis

metabolisme — DKA (Diabetic Keto Asidosis). DKA dapat dengan mudah

dicirikan dari Asidosis Laktat, dimana hal ini dapat terjadi pada waktu bersamaan;

Asidosis laktat dicirikan dengan peningkatan laktat plasma ( > 6 mmol/L ) dan

tidak ditemukan di urine dan keton plasma (walaupun mereka dapat terjadi secara

bersamaan dan ketosis pada kelaparan dapat terjadi asidosis laktat). Pada

peminum alcohol, ketoacidosis dapat dibedakan dengan adanya riwayat terakhir

konsumsi alkohol berat (pesta minum minuman keras yang memabukan) pada

pasien nondiabetic dengan suatu kadar glukosa darah yang sedikit meningkat.

Pada keadaan seperti itu pasien juga mempunyai peningkatan tidak sebanding

pada hydroxybutyrate dengan acetoacetate

25

Page 25: Laporan kasus anestesi pada DM dan geriatri

Infeksi merupakan penyebab yang paling umum pada DKA, dimana pada

beberapa pasien, terutama pada anak remaja, adalah manifestasi pertama dari

diabetes mellitus type I. Maifestasi klinik meliputi tachypnea (mencoba untuk

melakukan kompensasi terhadap acidosis metabolisme), sakit abdominal yang

menyerupai suatu abdomen akut, mual dan muntah, dan perubahan sensoris.

Pengobatan DKA tergantung pada koreksian pertama yang sering penting

hypovolemia, hyperglycemia, dan defisit dari kalium tubuh, dengan infuse

kontinyu suatu cariran isotonic dan kalium, dan infuse insulin.

Tujuan dari penurunan kadar glukosa pada ketoacidosis harus 75–100

mg/dL/jam atau 10%/jam. Pengobatan dapat dimulai dengan suatu pemberian

infuse 0,1 U/Kg/jam atau nilai glukosa darah kurang 60 kali 0.1 U/jam. Pada

pasien ini sering terjadi resistensi terhadap terapi insulin, dan rata-rata dibutuhkan

dosis yang lebih tinggi jika glukosa tidak menurun. Seperti glukosa yang

bergerakkan keintrasel, demikian juga kalium. Jika dikoreksi, hal ini dapat dengan

cepat mendorong kearah suatu tingkatan hypokalemia yang kritis, penggantian

yang sangat cepat pada hyperkalemi dapat menyebabkan suatu hal yang sama

dalam mengancap kehidupan. Kalium, Glukosa Darah, dan serum keton harus

dimonitor terus, minimal setiap 2 jam dan lebih baik setiap jam.

Beberapa liter dari normal saline (1–2 L pada jam pertama, yang diikuti oleh

200–500 mL/jam) yang secara khas diperlukan untuk mengoreksi dehidrasi

tersebut. Cairan RL harus dihindari ketika hati dengan cepat mengkonversi laktat

ke bikarbonat; karena menyebabkan lemahnya perfusi pada jaringan, Volume

penyebaran dari normal salin adalah sangat aman. . Ketika glukosa plasma

mencapai 250 mg/dL, Infus D5W yang ditambahkan insulin untuk mengurangi

kemungkinan terjadinya hipoglikemi dan untuk menyediakan suatu sumber

hormon insulin dan glukosa yang terus-menerus yang pada akhirnya untuk

menormalkan metabolisme intrasel. Pasien mungkin memerlukan NGT untuk

dekompresi gaster dan kateter kandung empedu untuk memonitor pengeluaran air

kencing.

26

Page 26: Laporan kasus anestesi pada DM dan geriatri

Koreksi pada asidosis berat (pH < 7,1) dengan bicarbonat sering tidak

diperlukan, seperti koreksi asidosis dengan volume yang berlebihan dan

menormalkan keadaan hiperglikeminya.

Ketoacidosis bukanlah suatu bentuk dari koma nonketotik hyperosmolar,

mungkin disebabkan hormon insulin yang cukup tersedia untuk mencegah

perubahan benda-benda keton. Sebagai gantinya, suatu diuresis hyperglycemic

mengakibatkan dehidrasi dan hyperosmolaritas. Dehidrasi berat cepat

menimbulkan gagal ginjal, asidosis laktat, dan kecenderungan membentuk

thromboses intravascular. Hyperosmolaritas, sering melebihi 360 mOsm/L, yang

mengubah keseimbangan air di cerebral, yang menyebabkan perubahan status

mental dan kejang. Hyperglycemia berat menyebabkan suatu factitious

hyponatremia: setiap peningkatan 100 mg/dL glukosa plasma menurunkan

konsentrasi sodium plasma sekitar 1,6 mEq/L. Terapi meliputi resusitasi cairan

dengan normal saline, dosis hormon insulin yang relatif kecil, dan penambahan

kalium.

Hypoglycemia pada penderita DM adalah berlebihnya hormon insulin relative

terhadap intake karbohidrat. Lebih lanjut, pada beberapa pasien tidak mampu

mengkonter dengan pengeluaran glucagon atau epinephrine terhadap terjadinya

hypoglycemia (counterregulatory failure)). Ketergantungan otak pada glukosa

sebagai suatu sumber energi membuatnya sebagai organ yang paling peka

terhadap hypoglycemia. Jika hypoglycemia tidak diobati, terjadi perubahan status

mental cepat dari lightheadedness atau kebingungan sampai terjadi kejang dan

koma yang permanen. Manfestasi sistemik dari hipoglikemi diakibatkan oleh

pengeluaran katekolamin dan meliputi diaphoresis, tachycardia, dan gelisah.

Kebanyakan dari tanda dan gejala dari hypoglycemia akan hilang/tersembunyi

oleh anesthesia umum. Walaupun kadar glukosa plasma normal adalah tidak jelas

dan tergantung pada umur dan jenis kelamin, hypoglycemia dapat secara biasanya

dianggap kurang dari 50 mg/dL. Pengobatan hypoglycemia adalah dengan

memberikan 50% glukosa intravena (setiap mililiter 50% glukosa akan menaikkan

glukosa darah kira-kira 2 mg/dL pada pasien dengan BB 70-kg).

27

Page 27: Laporan kasus anestesi pada DM dan geriatri

Pertimbangan Anestesi

1) Preoperative

Kadar Hemoglobin A1c dapat membantu mengidentifikasi pasien yang

mempunyai resiko besar terjadi hyperglycemia perioperative dan oleh karena itu

peningkatan komplikasi dan hasil yang buruk. Morbiditas Perioperative pada

pasien DM dihubungkan dengan preoperative kerusakan dari end-organ,

walaupun sepertiga sampai setengah pada pasien DM type II mungkin tidak acuh

bahwa mereka mempunyai itu. Paru-paru, Kardiovaskular, dan sistem renal

memerlukan penilaian yang ketat. Suatu Rongent thorak preoperative pada

penderita DM lebih mungkin terjadi pembesaran jantungkongesti pembuluh darah

paru, atau efusi pleura. EKG preoperatif pada pasien DM juga terjadi peningkatan

insiden abnormalitas dari segment ST dan segmen gelombang T. Myocardial

ischemia mungkin jelas terihat pada EKG di samping riwayat yang tidak

ada/negatif (silent myocardial ischemia dan infark).

Pasien DM dengan hipertensi, 50% nya menderita neuropathy otonom

diabetic (Tabel 36–3). Refleksi gangguan fungsi sisten saraf otonom meningkat

sejalan dengan peningkatan usia, DM lebih dari 10 tahun, CAD, atau blokade β-

adrenergic. Neuropathy Otonomi pada penderita DM dapat membatasi

kemampuan kerja jantung untuk melakukan kompensasi terhadap perubahan

volume intravaskuler dan dapat mempengaruhi ketidak stabilan kardiovaskuler

(seperti pada hipotensi postinduksi) dan bahkan kematian berhubungan dengan

kematian jantung yang mendadak, insidennya mungkin meningkat dengan

penggunaan angiotensin-converting enzyme inhibitors atau angiotensin receptor

blockers. Lebih lanjut, gangguan fungsi otonomik berperan terhadap perlambatan

pengosongan lambung (gastroparesis). Premedikasidengan suatu antacid dan

metoclopramide akan sangat bijaksana pada pasien DM yang gemuk dengan tanda

dari disfungsi otonom jantung. Bagaimanapun, disfungsi otonom dapat

mempengaruhi tractus gastrointestinal tanpa tanda tanda-tanda keterlibatan

jantung.

28

Page 28: Laporan kasus anestesi pada DM dan geriatri

Clinical Signs of Diabetic Autonomic Neuropathy.

Hypertension

Painless myocardial ischemia

Orthostatic hypotension

Lack of heart rate variability 1

Reduced heart rate response to atropine and propranolol

Resting tachycardia

Early satiety

Neurogenic bladder

Lack of sweating

Impotence1Normal heart rate variability during voluntary deep breathing (6 breaths/min) is greater than 10 beats/min.

Gangguan ginjal dimanifestasikan dengan proteinuria dan kemudian

peningkatan kreatinin serum. Dengan kriteria ini, pasien DM tipe I paling sering

mengalami gangguan ginjal pada usia 30 tahunan. Karena tingginya kejadian

infeksi yang dihubungkan dengan system kekebalan, perhatian yang tegas pada

tehnik aseptic harus dilakukan pada pemasangan semua kateter intravena dan

monitoring invasive.

Hiperglikemi kronik dapat memicu terjadinya glikosilasi / glycosylation pada

protein jaringan dan sindrom keterbatasan pergerakan sendi / limited-mobility

joint syndrome. Pada preoperative, Pasien DM harus selalu dievaluasi secara rutin

terhadap kemampuan pergerakan dari sendi temporomandibular dan tulang leher

untuk membantu dalam menghadapi kesulitan intubasi, dimana kejadian ini terjadi

sekitar 30% pada penderita DM tipe I.

2) Intraoperatif

Tujuan utama dari management gula darah intraoperatif adalah

menghindari terjadinya hipoglikemi. Walaupun memcoba untuk mempertahankan

kondisi euglikemi adalah hal yang kurang hati-hati, tidak dapat diterimanya

hilangnya gula darah kontrol (>180mg/dL) juga membawa suatu resiko.

Hiperglikemi telh dihubungkan dengan keadaan hiperosmolaritas,

infeksi/peradangan dan luka yang sulit sembuh. Yang lebih penting, ia dapat

29

Page 29: Laporan kasus anestesi pada DM dan geriatri

memperburuk neurologis setelah suatu episoda iskemik serebral dan hasil setelah

tindakan bedah jantung atau setelah akut miokard infark. Kecuali hiperglikemi

diobati secara agresif pada DM tipe, kontrol hasil metabolik, terutama yang

berhubungan dengan pembedahan besar atau sepsis. Pengawasan yang ketat

bermanfaat pada pasien yang akan menjalani pembedahan kardiopulmonary

bypass dengan memperbaiki kontraktilias dan pemisahan dang dengan

menurunnya infeksi dan komplikasi neurologis. Kontrol ketat pada pasien hamil

dengan DM telah memperlihatkan perbaikan hasil pada bayi. Meskipun demikian,

seperti dicatat sebelumnya, bahwa ketergantungan otak terhadap glukosa sebagai

sumber energi yang membuat hal ini menjadi penting, sehingga terjadinya

hipoglikemi harus dihindari.

Adanya beberapa regimen pada managemen perioperatif untuk pasien DM.

Yang paling sering, pasien menerima suatu fraksi (biasanya setengah) dari total

dosis insulin dosis pada bentuk insulin kerja intermediate (tabel 35-4). Untuk

menurunkan resiko terjadinya hipoglikemi, insulin diberikan setelah akses vena

terpasang dan diperiksa kadar gula darah pagi hari. Sebagai contoh, seorang

pasien yang normal mendapatkan Insulin NPH (neutral protamine Hagedorn;

intermediate-acting) dosis 30 U dan 10 U dari regular atau insulin Lispro (short-

acting) atau analog insulin setiap pagi dan setiap yang gula darahnya kurang

150mg/dL mendapatkan 15 U (setengah dari 30, setengah dari dosis normal pagi

hari) dari NPH secara subkutan atau IM sebelum pembedahan bersama dengan

infus dekstrosa 5% (1,5 mL/kg/jam). Penyerapan insulin subkutan atau IM

tergantung dari pada aliran darah dijaringan, bagaimanapun, dan selama

pembedahan dapat tidak diramalkan. Penggunaan dari jalur intravena dengan

jarum infus yang keci untuk pemberian cairan dextrose guna mencegah terjadinya

pengaruh dengan cairan intraoperatif dan obat yang lain. Tambahan dekstrosa

dapat diberikan jika pasien menjadi hipglikemik ( < 100 mg/dL ). Tetapi,

hiperglikemi intraoperatif ( > 150-180 mg/dL ) diterapi dengan cairan insuliln

reguler IV sesuai dengan skala yang ada. Satu unit insulin regular yang diberikan

pada dewasa biasanya kadar glukosa lebih rendah pada 25 – 30 mg/dL. Ini harus

30

Page 30: Laporan kasus anestesi pada DM dan geriatri

ditekankan bahwa dosis-dosis ini adalah perkiraan dan tidak berlaku bagi pasien

dalam keadaan Katabolic ( misalnya, sepsis, hyperthermia).

Dua teknik yang paling sering pada perioperatif managemen insulin pada penderita DM

  Bolus Administration Continuous Infusion

Preoperative

D5W (1.5 mL/kg/h) D5W (1 mL/kg/h)

NPH1 insulin (half usual AM dose) 

Regular insulin :

IntraoperativeRegular insulin (as per sliding scale)

Same as preoperative

Postoperative Same as intraoperative Same as preoperative1NPH, neutral protamine Hagedorn.

Suatu metode alternative untuk pemberian regular insulin adalah dengan

infuse kontinyu. Kelebihan dari tehnik ini adalah lebih seksama/tepat mengontrol

pemberian insulin daripada dapat dicapai dengan suntukan insulin NPH secara

subkutan atau IM, terutama pada kondisi yang dihubungkan dengan perfusi dikulit

dan otot yang jelek. Dua ratus dan 50 Unit regular insulin dapat ditambahkan

dalam 250ml garam fisiologis dan infuse dimulai pada dosis 0,1 U/kg/jam. Seperti

pada Fluktuasi gula darah, infuse regular insulin dapat ditambahkan dapat

disesuaikan menurut rumusan yang berikut :

Target umum untuk mempertahankan gula darah intraoperatif adalah 120 –

150 mg/dL. Walau beberapa telah diatas target dari 120 mg/dL. Kontrol yang

ketat dengan tehnik intravena kontinous mungkin lebih tepat untuk DM type I.

penambahan 20mEg KCl pada setiap 1 liter cairan harus lebih diperhatikan,

insulin menyebabkan potassium (Kalium) pindah ke intraseluler. Efek dari

penyerapan insulin oleh spuit intravena dapat diminimalkan dengan flushing jalur

sebelum dimulainya infuse. Beberapa anestesi juga menyarankan penempatan

infuse insulin pada botol gelas untuk meminimalkan penyerapan oleh plastic

31

Page 31: Laporan kasus anestesi pada DM dan geriatri

intravenous bag. Karena kebutuhan insulin setiap individu sangat bervariasi

sekali, banyak formula yang harus diperhatikan hanya sebagai guidline saja.

Jika pasien pada preoperatif sedang meminum obat hipoglicemik oral

sebagai pengganti insulin, obat dapat dilanjutkan samapi hari akan dioperasi,

tetapi padda sulfonylureas dan metformin harus dihentikan 24 – 48 jam sebelum

operasi karena mereka mempunyai half life / masa paruh yang panjang. Mereka

dapat dimulai lagi postoperatif ketika pasien sudah dapat minum per oral.

Metformin dimulai jika fungsi renal dan hepar tetap adekuat. Karena aksi kerja

yang lama, suatu infus glukosa dimulai dan gula darah terus dimonitor sebagai

insulin dengan kerja yang intermediat telah diberikan. Efek obat oral hipoglikemi

dengan lama kerja yang singkat dapat memanjang pada gangguan ginjal. Banyak

pasien-pasien ini memerlukan insulin dari luar selama masa intraoperatif dan

postoperatif. Hal ini disebabkan oleh stress menghadapi pembedahan yang

menyebabkan peningkatan dalam counterregulatory hormon (seperti,

catecholamines, glucocorticoids, growth hormone) dan mediator inflasi seperti

faktor nekrosis tumor dan interleukin. Setiap penambahan ini menjadi stress

hiperglikemi, dengan peningkatan kebutuhan insulin. Namun, beberapa DM tipe II

akan bertoleransi kecil, prosedur pembedahan yang ringan tanpa memerlukan

insulin dari luar.

Kunci untuk beberapa cara managemen adalah memantau kadar glukosa

plasma secara rutin dan menyadari adanya variasi antara pasien pasien dengan

DM bervariasi dalam kemampuan mereka untuk menghasilkan insulin

endogenous. Pasien dengan DM tipe I yang rapuh mungkin memerlukan penilaian

glukosa setiap jam, sementara pada beberapa pasien DM tipe 2 cukup setiap 2 – 3

jam. Demikian juga, kebutuhan insulin bervariasi sesuai stress pada prosedur

pembedahan tersebut. Pasien yang menerima insulin pada pagi hari tetapi tidak

menjalankan pembedahan sampai sore adalah cenderung menjadi hipoglikemi

walaupun diberikan infus dextrose. Kecuali kalau terpasang arteri line,

pengambilan spesimen darah yang banyak dan mengirimkanya ke laboratorium

memerlukan waktu dan biaya yang mahal, dan memberikan trauma pada

pembuluh darah pasien. Portable spectrophotometers dapat menilai konsentrasi

32

Page 32: Laporan kasus anestesi pada DM dan geriatri

glukosa dari setetes darah yang berasal dari ujung jari dalam semenit. Alat ini

menilai konversi warna suatu potongan glucose-oxidase-impregnated yang telah

diunjukkan ke darah pasien itu untuk suatu periode tertentu. Ketelitian mereka

tergantung pada luas besar, kepedulian dengan mana pengukuran dibuat.

Pemantauan gula di urin tidak cukup akurat untuk management Intraoperatif

(intraoperative manajement.)

Pasien yang mendapatkan NPH atau protamine zinc, insulin meningkatkan

resiko reaksi alergi terhadap protamine sulfat – termasuk syok anaphylaksis dan

kematian. Sayangnya, operasi yang memerlukan penggunaan heparin dan yang

berikutnya berlawanan dengan protamine (seperti pada Kardiopulmonal bypass)

adalah lebih sering terjadi pada penderita DM. Pada pasien ini menerima sedikit

protamin untuk test dose 1 – 5 mg selama lebih dari 5 – 10 menit sebelum

diberikan dosis reversal penuh.

3) Post-operative

Pemantauan yang ketat pada pasien DM terhadap kadar gula darahnya

harus tetap diperiksa postoperatif secara terus-menerus. Satu alasan untuk hal ini

adalah variasi individu pada onset dan lama nya kerja dari preparat insulin (Tabel

36-5). Untuk contoknya, onset kerja dari insulin reguler mungkin kurang dari 1

jam, tetapi lama kerjanya lebih dari 6 jam. Insulin NPH mempunyai ciri pada

onset kerja kurang dari 2 jam, tetapi kerjanya dapat lebih lama dari 24 jam. Alasan

lain pemantauan yang ketat adalah progresivitas dari stress hiperglikemi dalam

masa rekoveri. Jika volume laktanya besar –terkandung pada IVFD yang

diberikan intraoperatif, kadar gula cenderung meningkat 24 – 48 jam post operatif

dimana hepar merubah laktat menjadi glukosa. Pasien DM rawat jalan mungkin

diperlukan izin untuk dirawat semalam jika mual dan muntahnya tetap ada yang

berassal dari gastroparesis mencegah intake oral.

Summary of Bioavailability Characteristics of the Insulins.1

33

Page 33: Laporan kasus anestesi pada DM dan geriatri

  Insulin Type2Onset

Peak Action

Duration

Short-acting Lispro 10–20 min

30–90 min

4–6 h

Regular, Actrapid, Velosulin 15–30 min 1–3 h 5–7 h

  Semilente, Semitard 30–60 min 4–6 h 12–16 h

Intermediate-acting

Lente, Lentard, Monotard, NPH, Insulatard

2–4 h 8–10 h 18–24 h

Long-acting Ultralente, Ultratard, PZI 4–5 h 8–14 h 25–36 h

1There is considerable patient-to-patient variation.2NPH, neutral protamine Hagedorn; PZI, protamine zinc insulin

34