kerangka laporan skenario
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
i. PERMASALAHAN
Masalah yang terdapat pada skenario “Dada Terasa Terbakar” adalah:
1. Penyebab dan patogenesis, patofisiologi dari dada terasa terbakar.
2. Memahami gejala, pemeriksaan fisik, laboratorium dan pemeriksaan
penunjang lain.
3. Memahami macam-macam terapi dan prognosis.
4. Memahami komplikasi yang mungkin terjadi dari keluhan dada terasa
terbakar.
ii. PENTINGNYA MASALAH TERSEBUT DIBAHAS
Mengetahui penyebab, patofisiologi, terapi serta komplikasi dari keluhan dada
terasa terbakar.
iii. TUJUAN PEMBAHASAN
1. Memahami anatomi, fisiologi, histologi hepar dan vesia felea.
2. Memahami etiologi dan patogenesis, patofisiologi ikterus.
3. Memahami gejala, pemeriksaan fisik, laboratorium dan pemeriksaan
penunjang lain.
4. Memahami macam-macam terapi dan prognosis.
iv. SKENARIO
DADA TERASA TERBAKAR
Seorang wanita usia 48 tahun, datang berobat ke Rumah Sakit dengan
keluhan rasa panas terbakar di dada. Pasien juga merasa sering sebah, kembung,
dan bersendawa sejak 6 bulan yang lalu. Keluha disertai dengan nyeri di bagian
ulu hati. Pasie merasa nafsu makannya berkurang karena sakit kalau menelan.
Suara pasie juga menjadi serak sejak muntah-muntah. Pasien sering
mengkonsumsi obat pusing dan sangat menyukai minuman kopi. Pasien juga
memiliki riwayat sakit asma.
Dokter memriksa dengan menggunakan kuisioner kasus refluks dan pasien
diterapi dengan Ppi test. Awalnya pasien memberikan reaksi positif membaik
dengan terapi tersebut. Namun karena akhir-akhir ini pasien sering kambuh,
Dokter melakukan rujukan agar pasien dapat dilakukan pemeriksaan untuk
melihat saluran cerna bagian atas. Setelah dilakukak endoskopi, didapatkan hasil
adanya mucosal break pada esofagus pasien. Kemudian dokter memberikan
edukasi pada pasien agar sakitnya tidak kambuh lagi sehingga tidak terjadi
komplikasi lebih lanjut.
v. HIPOTESIS
Pasien menderita penyakit GERD (gastroesofageal reflux disease)
BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA
A. Langkah I: Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam skenarioDalam skenario kali ini, kami mengklarifikasi istilah-istilah berikut ini:1. Mucosal break : kerusakan tunika mukosa akibat
kenaikan asam lambung.2. PPI test : sebuah test 3. Sebah : rasa nyeri yang timbul akibat adanya
penumpukan udara di salah satu bagian tubuh.4. Endoskopi : pemeriksaan visual lumen dengan
alat endoskop.5. Reflux : arus balik suatu cairan.
B. Langkah II: Menentukan/mendefinisikan permasalahanMasalah yang terdapat pada skenario adalah:
1. Bagaimana patofisiologi keluhan yang dialami oleh pasien?
2. Apa hubungan kebiasaan pasien mengonsumsi obat pusing dan kopi
dengan keluhan pasien?
3. Bagaimana keluhan pasien dengan riwayat keluhan yang dirasakan
sejak enam bulan lalu?
4. Mengapa nafsu makan pasien menurun? Bagaimana mekanismenya?
Bagaimana mekanisme sesak dan muntah yang dialami pasien?
5. Bagaimana faktor risiko keluhan pasien?
6. Bagaimana cara penggunaan kuisioner kasus refluks dan bagaimana
interpretasi hasilnya?
7. Bagaimana pengaruh riwayat asma yang dialami pasien dengan
keluhan pasien saat ini?
8. Apa saja DD keluhan pasien?
9. Bagaimana komplikasi yang mungkin dialami oleh pasien?
10. Mengapa pasien mengalami kekambuhan setelah awalnya membaik
dengan PPI?
11. Bagaimana alur diagnosis keluhan pasien?
12. Bagaimana terapi terhadap keluhan pasien?
13. Bagaimana edukasi yang diberikan dokter agar pasien tidak kambuh?
14. Bagaimana mekanisme PPI test dan terapi lain terhadap keluhan
pasien?
15. Bagaimana indikasi dan kontraindikasi pemeriksaan endoskopi untuk
melihat mucosal break pada pasien?
16. Apa saha pemeriksaan penunjang keluhan pasien?
17. Bagaimana prognosis keluhan pasien?
C. Langkah III: Menganalisis permasalahan dan membuat pertanyaan sementara mengenai permasalahan (tersebut dalam langkah II)1. Bagaimana patofisiologi keluhan yang dialami oleh pasien?
GERD merupakan penyakit multifaktorial, di mana esofagitis dapat
terjadi sebagai akibat dari refluks kandungan lambung ke dalam
esofagus apabila:
Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara
bahan refluksat dengan mukosa esofagus.
Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus,
walaupun waktu kontak antara bahan refluksat dengan esofagus
tidak cukup lama.
Terjadi gangguan sensitivitas terhadap rangsangan isi lambung,
yang disebabkan oleh adanya modulasi persepsi neural
esofageal baik sentral maupun perifer.
Kandungan isi lambung yang menambah potensi daya rusak
bahan refluksat di antaranya adalah: asam lambung, pepsin, garam
empedu, dan enzim pankreas. Dari semua itu yang memiliki potensi
daya rusak paling tinggi adalah asam lambung. Beberapa hal yang
berperan dalam patogenesis GERD, di antaranya adalah: peranan
infeksi Helicobacter pylori, peranan kebiasaan/gaya hidup, peranan
motilitas, dan hipersensitivitas viseral.
Peranan infeksi Helicobacter pylori (H. pylori)
Peranan infeksi H. pylori dalam patogenesis GERD relatif
kecil dan kurang didukung oleh data yang ada. Namun demikian, ada
hubungan terbalik antara infeksi H. pylori dengan strain virulen
(Cag A positif) dengan kejadian esofagitis, esofagus Barrett dan
adenokarsinoma esofagus. H. pylori tidak menyebabkan atau
mencegah penyakit refluks dan eradikasi dari H. pylori tidak
meningkatkan risiko terjadinya GERD.
Peranan kebiasaan/gaya hidup
Peranan alkohol, diet serta faktor psikis tidak bermakna dalam
patogenesis GERD, namun demikian khusus untuk populasi Asia-
Pasifik ada kemungkinan mempunyai peranan lebih penting
sebagaimana ditunjukkan dalam studi epidemiologi terkini dari Jepang.
Beberapa studi observasional telah menunjukkan bahwa pengaruh
rokok dan berat badan berlebih sebagai faktor risiko terjadinya
GERD.Beberapa obat-obatan seperti bronkodilator juga dapat
mempengaruhi GERD.
Peranan motilitas
Pada pasien GERD, mekanisme predominan adalah transient
lower esophageal spinchter relaxation(TLESR). Beberapa mekanisme
lain yang berperan dalam patogenesis GERD antara lain
menurunnya bersihan esofagus, disfungsi sfingter esofagus, dan
pengosongan lambung lambat.
Hipersensitivitas viseral
Akhir-akhir ini diketahui peranan refluks non-asam/gas dalam
patogenesis GERD yang didasarkan atas hipersensitivitas viseral.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, hipersensitivitas viseral
memodulasi persepsi neural sentral dan perifer terhadap rangsangan
regangan maupun zat non-asam dari lambung.
Diagnosis Anamnesis yang cermat merupakan cara utama
untuk menegakkan diagnosis GERD. Gejala spesifik untuk GERD
adalah heartburn dan/ atau regurgitasi yang timbul setelah makan.
Meskipun demikian, harus ditekankan bahwa studi diagnostik
untuk gejala heartburn dan regurgitasi sebagian besar dilakukan pada
populasi Kaukasia. Di Asia keluhan heartburn dan regurgitasi bukan
merupakan penanda pasti untuk GERD. Namun, terdapat kesepakatan
dari para ahli bahwa kedua keluhan tersebut merupakan karakteristik
untuk GERD.
Pada RS rujukan, sebelum dilakukan pemeriksaan endoskopi
untuk menegakkan diagnosis GERD, sebaiknya dilakukan
pemeriksaan penunjang lain untuk menyingkirkan penyakit dengan
gejala yang menyerupai GERD (laboratorium, EKG, USG, foto
thoraks, dan lainnya sesuai indikasi).
Para ahli Asia-Pasifik secara aklamasi menyatakan bahwa
strategi diagnostik GERD regional, harus mempertimbangkan
adanya kemungkinan timbulnya GERD bersamaan dengan kondisi
lainnya seperti kanker lambung dan ulkus peptikum. Terkait
pemeriksaan H. pylori untuk menyingkirkan infeksi pada pasien
dengan gejala GERD di daerah dengan prevalensi tinggi untuk kanker
lambung dan ulkus peptikum, para ahli masih bertentangan pendapat.
Namun demikian, pemeriksaan tetap direkomendasikan dengan
mempertimbangkan faktor-faktor risiko termasuk komorbid, usia,
histologi lambung, riwayat keluarga, dan pilihan pasien.
2. Apa hubungan kebiasaan pasien mengonsumsi obat pusing dan
kopi dengan keluhan pasien?
Hubungan keluahan pasien dengan kebiasaan pasien adalah
karena obat pusing dan kopi megndung senyawa yang dapat
meningkatkan kejadian reflux, oleh sebab itu sebaiknya dikurangi
tingkat konsumsinya
3. Bagaimana keluhan pasien dengan riwayat keluhan yang
dirasakan sejak enam bulan lalu?
Riwayat keluhan pasien yang sudah sejak enam bulan harus
segera dikoreksi keadaannya karena dikhawatirkan bisa terjadi
keganasana yaitu barrett esophagus, yang merupakan omplikasi
dari GERD
Keluhan pasien harus segera ditangani agar reflux tidak
kambuhan, selain dikhawatirkan terjadi keganasan, reflux yang
terjadi juga akan mengurangi kualitas hidup dari pasien, akibat
gejalamual-muntah dan rasa nyeri pada ulu hati yang dirasakan
pasien.
4. Mengapa nafsu makan pasien menurun? Bagaimana
mekanismenya? Bagaimana mekanisme sesak dan muntah yang
dialami pasien?
Berat badan pasien mengalami penurunan karena pasien
kehilahan nafsu makan, hal initerjadi bisa karena rasa mual dan
muntah yang dirasakan oleh pasien akibat dari GERD itu sendiri,
sedang alas an kenapa pasien mengalami mual dan muntah akibat
dari adanya rangsang dari nervus vagus yang mempersarafi organ
vsera abdomen
5. Bagaimana faktor risiko keluhan pasien?
Faktor-faktor risiko yang mengakibatkan GERD termasuk kehamilan,
obesitas, diet lemak tinggi dan sebagainya.
a) Kehamilan dan GERD
Wanita hamil berada pada risiko GERD. Itu adalah
menemukan bahwa perubahan dalam tingkat hormon selama
kehamilan, terutama kenaikan tingkat progesteron, dapat
melemahkan LES. Selain itu, karena pertumbuhan janin
tekanan ke atas pada perut naik. Ini mungkin mendorong isi
perut ke esofagus.
b) Orang-orang yang kelebihan berat badan dan gemuk
Karena peningkatan tekanan pada LES dan perut mungkin
ada gejala GERD di individu. Ini peningkatan tekanan juga
melemahkan LES.
c) Diet tinggi lemak dan GERD
Orang-orang diet lemak tinggi juga dapat mengembangkan
GERD. Lemak di perut memakan waktu lama untuk dicerna
dan pindah ke dalam usus. Hal ini menyebabkan stagnasi
makanan di perut. Ini meningkatkan tekanan ternyata mundur
dan mungkin melemahkan LES.
d) Tembakau, alkohol dan kafein dan GERD
Merokok tembakau, alkohol, kafein mengandung produk,
seperti kopi atau cokelat, semua santai dan melemahkan LES
menuju gejala GERD.
e) Stres dan marah emosional dan GERD
Stres dan gangguan emosional adalah penyebab untuk
melemahnya LES menuju gejala GERD.
f) Pasien dengan hiatus hernia dan GERD
Pada pasien dengan hiatus hernia ada risiko GERD. Ini
adalah suatu kondisi di mana bagian perut mendorong melalui
diafragma, yang lapisan otot yang memisahkan rongga dada
dari rongga perut. Biasanya di bagian bawah esofagus melewati
sebuah lubang di diafragma ini. Pada pasien dengan hiatus
hernia lubang ini diperbesar dan bagian perut mendorong ke
dalam rongga dada.
g) Pasien dengan gastroparesis dan GERD
Pada pasien dengan gastroparesis, di mana perut
berlangsung lebih lama untuk membuang perut asam, asam
dapat meresap kembali ke dalam kerongkongan yang
menyebabkan gejala GERD.
Ini terlihat pada pasien dengan diabetes. Penderita diabetes
mempunyai gula darah tinggi yang dapat merusak syaraf yang
mengendalikan otot-otot perut dan kerongkongan.
h) Obat-obatan dan GERD
Beberapa obat dapat juga menyebabkan gejala GERD. Ini
dapat bersantai LES atau dapat meningkatkan sekresi asam
lambung. Mereka termasuk:
i. saluran kalsium Blocker (misalnya, Amlodipine, dll
Nifedipine digunakan dalam kontrol tekanan darah
tinggi)
ii. Penghilang rasa sakit atau steroid anti-inflammatory
drugs obat (NSAID seperti Ibuprofen
iii. antidepresan (inhibitor serotonin selektif reuptake SSRI
misalnya Fluoxetine, Paroxetine dll.)
iv. tricyclic antidepresan (misalnya Amitriptyline),
anticholinergics, Kortikosteron (misalnya Prednisolon)
v. bifosfonat (digunakan dalam penyakit tulang seperti
osteoporosis)
vi. nitrat (digunakan dalam perawatan sakit angina atau
dada)
i) Faktor-faktor lain yang meningkatkan risiko GERD
i. mengenakan pakaian ketat
ii. memiliki besar makanan
iii. memiliki buah jeruk (jeruk, jeruk atau jus cranberry)
iv. bawang putih
v. lada hitam dan bawang
vi. Mint perasa
vii. makanan pedas
viii. tomat berbasis makanan, seperti saus spaghetti, salsa,
cabai, dan pizza dll.
j) Kondisi penyakit yang meningkatkan risiko GERD termasuk
sklerosis sistemik, esofagus dysmotility, skleroderma,
penurunan produksi salivary dll.
6. Bagaimana cara penggunaan kuisioner kasus refluks dan
bagaimana interpretasi hasilnya?
Kuesioner GERD (GERD-Q) (Tabel 1) merupakan suatu
perangkat kuesioner yang dikembangkan untuk membantu
diagnosis GERD dan mengukur respons terhadap terapi. Kuesioner
ini dikembangkan berdasarkan data-data klinis dan informasi yang
diperoleh dari studistudi klinis berkualitas dan juga dari wawancara
kualitatif terhadap pasien untuk mengevaluasi kemudahan pengisian
kuesioner. Kuesioner GERD merupakan kombinasi kuesioner
tervalidasi yang digunakan pada penelitian DIAMOND. Tingkat
akurasi diagnosis dengan mengkombinasi beberapa kuesioner
tervalidasi akan meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas diagnosis.
Hasil:
1. Bila poin GerdQ Anda ≤ 7, kemungkinan Anda tidak menderita
GERD
2. Bila poin GerdQ Anda 8-18, kemungkinan Anda menderita
GERD
7. Bagaimana pengaruh riwayat asma yang dialami pasien dengan
keluhan pasien saat ini?
Riwayat asma yang dialami oleh pasien bisa menjadi factor
pemberat dan factor terjadinya GERD. Hal ini bisa terjadi salah
satunya akibat dari anatomis oedophagus yang hanya terdiri atas
musculus sedang trachea terdiri atas cartilage berbentuk C,
sehingga obat-obat asma yang bersifat bronchodilator akan
menyebabkan terjadinya mekanisme berlawana di saluran
pencernaan,
8. Apa saja diagnosis banding keluhan pasien?
a. Ulkus Peptikum
i. Definisi : Tukak atau ulkus di mukosa
lambung dan duodenum ok ketidakseimbangan fc
defensif dan fc agresif.
ii. patogenesis : fc agresif > fc defensive
iii. Faktor defensive : lapisan mukosa, sekresi bikarbonat
oleh sel epitel, aliran darah adekuat, regenerasi sel
cepat, prostaglandin
iv. Faktor agresif :Asam lambung, pepsin,HP,stress,
rokok, zat kimia/iritan, obat2 OAINS (asetosal dll),
Kortikosteroid (prednison dll)
v. Klasifikasi Ulkus Peptikum
Berdasarkan waktu timbulnya
Akut
Kronis
Berdasarkan letak ulkus
Esofagus, (jarang)
Gaster
Duodenum Jejunum. (jarang)
Berdasarkan bentuk dan besarnya ulkus
Bentuk bulat
Bentuk garis
Bentuk ganda (multiple ulcer).
Berdasarkan dalamnya ulkus
Mukosa
Sub mukosa
Muskularis
Serosa
b. Achalasia
Akalasia (Kardiospasme, Esophageal aperistaltis,
Megaesofagus) adalah suatu kelainan yang berhubungan
dengan saraf, yang tidak diketahui penyebabnya.
c. Gastritis (radang lapisan lambung)
Gastritis adalah peradangan pada lapisan lambung.
d. Kanker esophagus
Pada kanker kerongkongan adalah squamous sel carcinoma
dan adenocarcinoma, yang terjadi di dalam sel yang melewati
dinding pada kerongkongan. Kanker ini bisa terjadi dimana
saja di dalam kerongkongan dan bisa terlihat sebagai
penyempitan pada kerongkongan (penyempitan), sebuah
pembengkakan, daerah flat yang tidak normal (plaque), atau
jaringan yang tidak normal (fistula).
e. Ulkus Peptikum
Ulkus Peptikum adalah luka berbentuk bulat atau oval yang
terjadi karena lapisan lambung atau usus dua belas jari
(duodenum) telah termakan oleh asam lambung dan getah
pencernaan. Ulkus yang dangkal disebut erosi.
f. Esophagitis
Esophagitis terutama disebabkan oleh GERD. Tetapi dapat
pula disebabkan oleh infeksi, efek obat, terapi radiasi, penyakit
sistemik, dan trauma.
9. Bagaimana komplikasi yang mungkin dialami oleh pasien?
Esofagus barret, yaitu perubahan epitel skuamosa menjadi kolumner metaplastik.Dalam esophagus Barret, kerusakan pada lapisan esofagus – misalnya dengan refluks asam dari GERD – dapat menyebabkan perubahan abnormal pada sel-sel yang melapisi esofagus. Sel-sel normal yang melapisi esofagus rusak dan diganti dengan jenis sel tidak biasanya ditemukan di kerongkongan. Orang dengan esophagus Barrett mungkin berisiko terkena kanker kerongkongan, tetapi kebanyakan orang dengan esophagus Barret tidak mengembangkan kanker kerongkongan.
10. Mengapa pasien mengalami kekambuhan setelah awalnya
membaik dengan PPI?
Karena bisa jadi meningkatnya asam labung bukanlah akibat dari
proton pumpnya, bisa jadi pada reseptor H2 nya ataupun pada
factor factor yang lain. Sehingga pemberian PPI hanya berefek
sebentar kemudian keluhan pasien akan kembali lagi. Pengobatan
sesuai dengan etiologi perlu dilakukan karena beda etiologi beda
cara pengobatannya.
11. Bagaimana alur diagnosis keluhan pasien?
12. Bagaimana terapi terhadap keluhan pasien?
Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi
gaya hidup, terapi medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini
mulai dilakukan terapi endoskopik.Target penatalaksanaan GERD
adalah menyembuhkan lesi esophagus, menghilangkan gejala/keluhan,
mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah
timbulnya komplikasi.
Non Medikamentosa
anamnesis
kuesioner GERD
score <7
bukan gerd
score 8-18
GERD dengan tanda alarm
PPI
positif terapi 8 minggu
endoskopi dan histopatologi
negatif
GERD tanpa tanda alarm
Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari
penatalaksanaan GERD, namun bukan merupakan pengobatan primer.
Walaupun belum ada studi yang dapat memperlihatkan kemaknaannya,
namun pada dasarnya usaha ini bertujuan untuk mengurangi frekuensi
refluks serta mencegah kekambuhan.
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup, yaitu :
a) Meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari
makan sebelum tidur dengan tujuan untuk meningkatkan
bersihan asam selama tidur serta mencegah refluks asam dari
lambung ke esophagus. Makan makanan terakhir 3-4 jam
sebelum tidur
b) Berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol karena keduanya
dapat menurunkan tonus LES sehingga secara langsung
mempengaruhi sel-sel epitel
c) Mengurangi konsumsi lemak serta Mengurangi jumlah
makanan yang dimakan karena keduanya dapat menimbulkan
distensi lambung
d) Menurunkan berat badan pada pasien kegemukan
e) Menghindari pakaian ketat sehingga dapat mengurangi tekanan
intraabdomen
f) Menghindari makanan/minuman seperti coklat, teh,
peppermint, kopi dan minuman bersoda karena dapat
menstimulasi sekresi asam
g) Jika memungkinkan menghindari obat-obat yang dapat
menurunkan tonus LES seperti antikolinergik, teofilin,
diazepam, opiate, antagonis kalsium, agonis beta adrenergic,
progesterone
Medikamentosa
Terdapat berbagai tahap perkembangan terapi medikamentosa pada
penatalaksanaan GERD ini. Dimulai dengan dasar pola pikir bahwa
sampai saat ini GERD merupakan atau termasuk dalam kategori
gangguan motilitas saluran cerna bagian atas. Namun dalam
perkembangannya sampai saat ini terbukti bahwa terapi supresi asam
lebih efektif daripada pemberian obat-obat prokinetik untuk
memperbaiki gangguan motilitas.
Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up
dan step down. Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan
obat-obat yang tergolong kurang kuat dalam menekan sekresi asam
(antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik, bila gagal diberikan
obat golongan penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan masa
terapi lebih lama (penghambat pompa proton/PPI). Sedangkan pada
pendekatan step down pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah
berhasil dapat dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan dengan
menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis reseptor H2 atau
prokinetik atau bahkan antacid.
Menurut Genval Statement (1999) serta Konsensus Asia Pasifik
tentang penatalaksanaan GERD (2003) telah disepakati bahwa terapi
lini pertama untuk GERD adalah golongan PPI dan digunakan
pendekatan terapi step down.
Berikut adalah obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi
medikamentosa GERD :
Antasid
Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam
menghilangkan gejala GERD tetapi tidak menyembuhkan
lesi esofagitis. Selain sebagai buffer terhadap HCl, obat ini
dapat memperkuat tekanan sfingter esophagus bagian
bawah. Kelemahan obat golongan ini adalah rasanya
kurang menyenangkan, dapat menimbulkan diare terutama
yang mengandung magnesium serta konstipasi terutama
antasid yang mengandung aluminium, penggunaannya
sangat terbatas pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
Antagonis reseptor H2
Yang termasuk dalam golongan obat ini adalah
simetidin, ranitidine, famotidin, dan nizatidin. Sebagai
penekan sekresi asam, golongan obat ini efektif dalam
pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan
dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus.
Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis
derajat ringan sampai sedang serta tanpa komplikasi.
Obat-obatan prokinetik
Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk
pengobatan GERD karena penyakit ini lebih condong
kearah gangguan motilitas. Namun, pada prakteknya,
pengobatan GERD sangat bergantung pada penekanan
sekresi asam.
Metoklopramid
Obat ini bekerja sebagai antagonis reseptor
dopamine. Efektivitasnya rendah dalam mengurangi gejala
serta tidak berperan dalam penyembuhan lesi di esophagus
kecuali dalam kombinasi dengan antagonis reseptor H2
atau penghambat pompa proton. Karena melalui sawar
darah otak, maka dapat timbul efek terhadap susunan saraf
pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor, dan
diskinesia.
Domperidon
Golongan obat ini adalah antagonis reseptor
dopamine dengan efek samping yang lebih jarang
dibanding metoklopramid karena tidak melalui sawar darah
otak.Walaupun efektivitasnya dalam mengurangi keluhan
dan penyembuhan lesi esophageal belum banyak
dilaporkan, golongan obat ini diketahui dapat
meningkatkan tonus LES serta mempercepat pengosongan
lambung.
Cisapride
Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini
dapat mempercepat pengosongan lambung serta
meningkatkan tekanan tonus LES. Efektivitasnya dalam
menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi esophagus
lebih baik dibandingkan dengan domperidon.
Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)
Berbeda dengan antasid dan penekan sekresi asam,
obat ini tidak memiliki efek langsung terhadap asam
lambung. Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan
pertahanan mukosa esophagus, sebagai buffer terhadap HCl
di eesofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam
empedu. Golongan obat ini cukup aman diberikan karena
bekerja secara topikal (sitoproteksi).
Penghambat pompa proton (Proton Pump Inhhibitor/PPI)
Golongan obat ini merupakan drug of choice dalam
pengobatan GERD. Golongan obat-obatan ini bekerja
langsung pada pompa proton sel parietal dengan
mempengaruhi enzim H, K ATP-ase yang dianggap sebagai
tahap akhir proses pembentukan asam lambung
Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi
inisial) yang dapat dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan
(maintenance therapy) selama 4 bulan atau on-demand therapy,
tergantung dari derajat esofagitisnya.
13. Bagaimana edukasi yang diberikan dokter agar pasien tidak
kambuh?
Edukasi yang diberikan lebih kepada memperbaiki pola hidup seperti
yang sudah di sampaikan nomer 12, yaitu:
Meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta
menghindari makan sebelum tidur dengan tujuan untuk
meningkatkan bersihan asam selama tidur serta mencegah
refluks asam dari lambung ke esophagus. Makan makanan
terakhir 3-4 jam sebelum tidur
Berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol karena
keduanya dapat menurunkan tonus LES sehingga secara
langsung mempengaruhi sel-sel epitel
Mengurangi konsumsi lemak serta Mengurangi jumlah
makanan yang dimakan karena keduanya dapat
menimbulkan distensi lambung
Menurunkan berat badan pada pasien kegemukan
Menghindari pakaian ketat sehingga dapat mengurangi
tekanan intraabdomen
Menghindari makanan/minuman seperti coklat, teh,
peppermint, kopi dan minuman bersoda karena dapat
menstimulasi sekresi asam
Jika memungkinkan menghindari obat-obat yang dapat
menurunkan tonus LES seperti antikolinergik, teofilin,
diazepam, opiate, antagonis kalsium, agonis beta
adrenergic, progesterone
14. Bagaimana mekanisme PPI test dan terapi lain terhadap keluhan
pasien?
PPI test dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis pada
pasien dengan gejala tipikal dan tanpa adanya tanda bahaya atau
risiko esofagus Barrett. Tes ini dilakukan dengan memberikan PPI
dosis ganda selama 1-2 minggu tanpa didahului dengan pemeriksaan
endoskopi. Jika gejala menghilang dengan pemberian PPI dan
muncul kembali jika terapi PPI dihentikan, maka diagnosis GERD
dapat ditegakkan.
Tes dikatakan positif, apabila terjadi perbaikan klinis dalam 1
minggu sebanyak lebih dari 50%. Dalam sebuah studi metaanalisis,
PPI test dinyatakan memiliki sensitivitas sebesar 80% dan spesifitas
sebesar 74% untuk penegakan diagnosis pada pasien GERD dengan
nyeri dada non kardiak. Hal ini menggambarkan PPI testdapat
dipertimbangkan sebagai strategi yang berguna dan memiliki
kemungkinan nilai ekonomis dalam manajemen pasien nyeri dada
non kardiak tanpa tanda bahaya yang dicurigai memiliki kelainan
esofagus.
15. Bagaimana indikasi dan kontraindikasi pemeriksaan endoskopi?
a. INDIKASI ENDOSKOPI
i. Untuk menerangkan perubahan-perubahan radiologis yang
meragukan atau tidak jelas, atau untuk menentukan dengan
lebih pasti atau tepat kelainan radiologis yang didapatkan
pada esophagus, gaster, atau duodenum
ii. Pasien dengan gejala menetap (disfagia, nyeri epigastrium,
muntah-muntah) yang pada Pemeriksaan radiologis tidak
didapatkan kelainan. Bila pemeriksaan radiologis
menunjukkan atau dicurigai suatu kelainan, misalnya tukak,
keganasan atau obstruksi pada esophagus, indikasi endoskopi
yaitu memastikan lebih lanjut lesi tersebut dan untuk
membuat pemeriksaan fotografi, biopsy, atau sitologi .
iii. Perdarahan akut saluran cerna bagian atas memerlukan
pemeriksaan endoskopi secepatnya dalam waktu 24 jam
untuk mendapatkan diagnosis sumber perdarahan yang
paling tepat
iv. Pemeriksaan endoskopi yang berulang-ulang diperlukan
untuk memantau penyembuhan
v. Tukak yang jinak pada pasien-pasien dengan tukak yang
dicurgai kemungkinan adanya keganasan (deteksi dini
karsinoma lambung)
vi. Pada pasien –pasien pasca gastrektomi dengan gejala atau
keluhan-keluhan saluran cerna bagian atas diperlukan
pemeriksaan endoskopi karena intepretasi radiologis
biasanya sulit. Iregularitas dari lambung dapat dievaluasi
langsung melalui endoskopi
vii. Kasus sindrom dyspepsia dengan usia lebih dari 45 tahun
atau di bawah 45 tahun dengan tanda bahaya (muntah-
muntah hebat, denanm hematemesis, anemia, ikterus, dan
penurunan berat badan), pemakaian obat anti inflamasi non-
steroid (OAINS) dan riwayat kanker pada keluarga
viii. Prosedur terapeutik seperti polipektomi, pemasangan selang
makanan, dilatasi pada stenosis esophagus atau akalasia, dll.
b. KONTRAINDIKASI
i. Kontraindikasi Absolut
Pasien tidak kooperatif atau menolak prosedur
pemeriksaan tersebut setelah indikasinya dijelaskan
secara penuh
Renjatan berat karena perdarahan, dll
Oklusi koroner akut
Gagal jantung berat
Koma
Emfisema dan penyakit paru obstruktif berat
Trismus hebat, stenosis faring, trauma untuk
pemeriksaan laringoskopi
Pada keadaan-keadaan tersebut, pemeriksaan
endoskopi harus ditunda dulu hingga keadaan
penyakitnya membaik.
ii. Kontraindikasi Relatif
Luka korodif akut pada esophagus, aneurisma aorta,
aritmia jantung berat
Kifoskoliosis berat, divertikulum Zenker, osteofit
bear pada tulang servikal, struma besar. Pada
keadaan tersebut pemeriksaan endoskopi harus
dilakukan dengan hati-hati
Pasien gagal jantung
Penyakit infeksi akut (misal pneumonia, peritonitis,
kolesistitis) Pasien anemia berat misalnya karena
perdarahan, harus diberi transfuse darah terlebih
dahulu hingga Hb minimal 10g/dl
Toksemia pada kehamilan terutama bila disertai
infeksi berat atau kejang-kejang
Pasien pasca bedah abdomen yang baru
Gangguan kesadaran
Tumor mediastinum
16. Apa saja pemeriksaan penunjang keluhan pasien?
a. Esofagografi barium
Walaupun pemeriksaan ini tidak sensitif untuk
diagnosis GERD, namun pada keadaan tertentu pemeriksaan
ini mempunyai nilai lebih dibandingkan endoskopi, yaitu
pada kondisi stenosis esofagus dan hernia hiatal.
b. Manometri esofagus
Tes ini bermanfaat terutama untuk evaluasi pengobatan
pasienpasien NERD dan untuk tujuan penelitian.
c. Tes impedans
Metode baru ini dapat mendeteksi adanya refluks
gastroesofageal melalui perubahan resistensi terhadap aliran
listrik di antara dua elektroda, pada saat cairan dan/atau gas
bergerak di antaranya. Pemeriksaan ini terutama berguna
untuk evaluasi pada pasien NERD yang tidak membaik
dengan terapi PPI, di mana dokumentasi adanya refluks non-
asam akan merubah tatalaksana.
d. Tes Bilitec
Tes ini dapat mendeteksi adanya refluks gastroesofageal
dengan menggunakan sifat-sifat optikal bilirubin.
Pemeriksaan ini terutama untuk evaluasi pasien dengan
gejala refluks persisten, meskipun dengan paparan asam
terhadap distal esofagus dari hasil pH-metri adalah normal.
e. Tes Bernstein
Tes ini untuk mengukur sensitivitas mukosa esofagus
dengan memasang selang trans-nasal dan melakukan perfusi
bagian distal esofagus dengan HCl 0,1 N dalam waktu kurang
dari 1 jam. Tes ini bersifat pelengkap terhadap pemantauan pH
esofagus 24 jam pada pasien dengan gejala tidak khas dan
untuk keperluan penelitian.
17. Bagaimana prognosis keluhan pasien?
Prognosis dari keluhan pasien tergantung tingkat kekronisan yang
terjadi serta lama dari onset keluhan pasien jika lebih dari lima tahun
maka perlu dilakukan endoskopi dan biopsy karena dikhawatirkan
terjadi keganasan.
Tetapi apa bila onset keluhan pasien belum lama dan kepatuhan
pasien atas edukasi dari dokter maka prognosis pasien baik yang
artinya tingkat terjadinya reflux pada pasien menurun.
D. Langkah IV: Menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan pernyataan sementara mengenai permasalahan pada langkah III
E. Langkah V: Merumuskan tujuan pembelajaranTujuan pembelajaran (learning objectives) pada skenario ini adalah:1. Bagaimana mekanisme H. Pylori untuk menyebabkan keluhan seperti
pada skenario?
2. Bagaimana definisi, penyebab, faktor risiko serta patofisiologi dari
barret oesophagus?
3. Bagaimana patofisiologi keluhan pasien?4. Bagaimana hubungan jenis kelamin dan umur terhadap
keluhan pasien?5. Bagaimana faktor risiko terhadap keluhan pasien?6. Bagaimana epidemiologi keluhan pasien?7. Bagaimama mekanisme terjadinya kenaikan asam
lambung?8. Bagaimana hungungan riwayat asma dengan keluhan
pasien?9. Bagaimana indikasi serta kontraindikasi dari PPI?10. Bagaimana alur diagnosis keluhan pasien?11. Apa saja komplikasi yang mungkin dialami oleh
pasien?12. Apa saja DD dari keluhan pasien?13. Bagaimana progosis dari keluhan pasien?
F. Langkah VI: Mengumpulkan informasi baruPengumpulan informasi telah dilakukan oleh masing-
masing anggota kelompok kami dengan menggunakan sumber referensi ilmiah seperti buku, jurnal, review, dan artikel ilmiah yang berkaitan dengan skenario ini.
G. Langkah VII: Melaporkan, membahas, dan menata kembali
informasi baru yang diperoleh
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
i. SIMPULAN
ii. SARAN
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Dorland WAN (2011). Kamus saku kedokteran Dorland. Jakarta: EGC.