laporan pbl skenario 3 (pucat)

87
LEARNING OBJECTIVE Jenis-jenis Anemia dan Leukimia ANEMIA DEFISIENSI BESI Definisi Anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang. Etiologi Rendahnya masukan besi Kurangnya bahan makanan yang mengandung besi Gangguan absorbsi besi Kurangnya asupan daging & vit. C dan kelebihan serat Gastrektomi Pendarahan menahun Metrorhagia, hematuria, hemoptoe, kanker lambung, kanker kolon. Gejala klinis Gejala umum anemia Lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang & telinga mendenging

Upload: rafid-dragneel

Post on 30-Nov-2015

436 views

Category:

Documents


15 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

LEARNING OBJECTIVE

Jenis-jenis Anemia dan Leukimia

ANEMIA DEFISIENSI BESI

Definisi

Anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena

cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan

pembentukan hemoglobin berkurang.

Etiologi

Rendahnya masukan besi

Kurangnya bahan makanan yang mengandung besi

Gangguan absorbsi besi

Kurangnya asupan daging & vit. C dan kelebihan serat

Gastrektomi

Pendarahan menahun

Metrorhagia, hematuria, hemoptoe, kanker lambung, kanker kolon.

Gejala klinis

Gejala umum anemia

Lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang & telinga mendenging

Gejala defisiensi besi

Koilonychia (kuku sendok), atrofi papil lidah, disfagia

Gejala penyakit dasar (penyebab)

Cacing tambang : dyspepsia, parotitis, tangan kuning

Kanker kolon : perubahan kebiasaan BAB

Page 2: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

Pathogenesis

Kehilangan besi menyebabkan cadangan besi menurun. Jika cadangan besi

menurun keadaan ini disebut iron depleted state atau negative iron balance. Keadaan

ini ditandai oleh penurunan kadar ferritin serum. Peningkatan absorbsi besi dalam

usus. Apabila kekurangan besi terus-menerus maka cadangan besi akan menjadi

kosong sama sekali. Penyediaan besi untuk eritropoiesis berkurang sehingga

menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum

terjadi keadaan ini disebut iron deficient eritropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama

yang dapat dijumpai adalah peningkatan kadar free protophorphyn atau zinc

protophorphyn dalam eritrosit. Apabila jumlah besi menurun terus maka eritropoiesis

semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun akhirnya timbul

anemia hipokromik mikrositik disebut iron deficieny anemia. Pada saat ini juga

terjadi kekurangan besi pada epitel serta beberapa enzim yang dapat menimbulkan

gejala pada kuku, epitel mulut, faring serta berbagai gejala lainnya.

Pemeriksaan laboratorium

Eritrosit hipokrom mikrositik, anisopoikilositoisi, pencil cell, cigar cell,

elliptocytosis

Indeks eritrosit : MCV, MCH, MCHC menurun

Serum ferritin : menurun

Serum iron : menurun

Total iron binding capacity : naik

Hempsiderin (cadangan besi) : menurun

Free erythrocyteprotophorphyrin (FEP) : naik

Page 3: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

Terapi

Terapi kausal : terapi terhadap etiologi misalnya pengobatan cacing tambang,

pengobatan hemoroid.

Terapi preparat besi

Terapi besi oral : ferrous sulphat 2 x 300 mg.

Terapi besi parenteral : iron dextran complex, iron ferric gluconate acid

complex, iron sucrose

Terapi lain

Diet : makanan bergizi tinggi protein hewani

Vitamin C : diberikan 3 x 100 mg, untuk meningkatkan absorbsi besi

Transfusi darah

Prognosis

Prognosis baik apabila penyebab anemianya diketahui hanya karena

kekurangan besi saja serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat.

Gejala anemia dan manifestasi klinis lainnya akan membaik dengan

pemberian preparat besi.

Pada kasus anemia defisiensi besi karena perdarahan, apabila sumber

perdarahan dapat diatasi, maka prognosis anemia defisiensi besi adalah baik

terutama apabila diberikan terapi Fe yang adekuat. Tentunya penyakit dasar

sebagai sumber perdarahan kronisnya pun menentukan prognosis dari pasien.

ANEMIA HEMOLITIK

Page 4: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

Definisi:

Memendeknya masa hidup sel darah merah, baik oleh karena cacat inheren

pada eritrosit (anemia hemolitik intrakorpuskular) yang biasanya diturunkan atau

yang disebabkan oleh pengaruh luar (anemia hemolitik ekstrakorpuskular) yang

biasanya didapat.

Klasifikasi:

Pencetusnya:

Intrinsic:

- kelainan membran sel : sferositosis, ovalositosis, eliptositosis dll

- hemoglobinopati : thalassemia, hemoglobin patologis

- defisiensi enzim : defisiensi G6PD,dll

Ekstrinsic:

- anemia hemolitik imun :

Isoimun : reaksi transfuse darah, penyakit hemolitik bayi baru lahir

Autoimun : Leukimia, SLE, dll.

anemia hemolitik non-imun : obat kimia, toksik/racun.

Kejadiannya:

- Herediter = intrinsic

- Didapat = ekstrinsic

Lokasi penghancuran

Page 5: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

- Intravaskular = penghancuran disirkulasi

- Ekstravaskular = penghancuran di lien, hati dan sum-sum tulang

Gejala klinis anemia hemolitik ditandai dengan 3 proses yaitu:

1. Peningkatan laju pengrusakan sel darah merah.

2. Katabolisme Hb meningkat.

3. Peningkatan hematopoiesis, terutama eritropoiesis.

Gejala – Gejala

Berdasarkan 3 proses diatas:

- Kerusakan Eritrosit : Fragmentasi dan kontraksi sel darah merah

menyebabkan aktifitas RES meningkat sehingga terjadi hepatomegaly dan

splenomegaly

- Katabolisme Hb meningkat :

Hiperbilirubinemia menyebabkan ikterus

Urobilinuri, Hemoglobinemia

- Regenerasi / kompensasi

Darah tepi :

Retikulositosis

Normoblastemia

Sum-sum tulang

Hiperpasia eritroid

Hiperplasia sum-sum tulang belakang

Eritropoesis ekstramedular sehingga terjadi splenomegali,

hepatomegali

Diagnosis Anemia Hemolitik

Page 6: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

1) Membuktikan hemolisis: kerusakan eritrosit, katabolisme Hb, regenerasi atau

kompensasi

2) Penentuan etiologi: hemolisis didapat atau hemolisis herediter (kongenital).

Penatalaksanaan:

- Tranfusi darah periodik.

- Bila sudah berat sebaiknya dilakukan spleenoktomi, dengan indikasi penderita yang

sudah dewasa muda.

- Dilanjutkan dengan imunisasi dan pemberian “anafilaksis penicillin” untuk

pemberian jangka panjang.

ANEMIA DEFISIENSI SIANOCOBALAMIN

Defenisi

Anemia defisiensi sianocobalamin (vitamin B12) merupakan anemia

megaloblastik yang disebabkan oleh gangguan sintesis DNA akibat adanya defisiensi

vitamin B12

Etiologi

1. Asupan tidak cukup

2. Malabsorbsi :

a. Gastrektomi

b. Obat-obat yang menghalangi sekresi asam

c. Produksi faktor intrinsik menurun : anemia pernisiosa, gastrektomi total

Page 7: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

d. Gangguan dari ileum terminalis : spure tropical,spure mnon tropical,

enteritis regional, reseksi intestinum, noeplasma dan gangguan

granulomatos, sindrom imerslund (malabsorbsi kobalamin selektif)

3. Defesiensi Transcobalamin II, defect enzim congenital

Gejala Klinik

Gambaran klinis defisiensi B12 melibatkan darah, traktus gastrointestinal, dan

sistem nervorum.

1. Manifestasi hematologik

Manifestasi ini sepenuhnya selalu berakibat anemia, meskipun sangat jarang

purpura, dapat pula tampak karena trombositopeni. Keluhan anemia seperti rasa

lelah, nyeri kepala ringan, vertigo, tinitus, palpitasi, angina dan keluhan yang

berkaitan dengan kegagalan jantung kongestif. Tanda fisik dari defisiensi

kobalamin yaitu pucat, dengan kulit sedikit kekuningan begitu juga mata.

Peningkatan bilirubin berkaitan dengan tingginya pelipatan ganda sel-sel eritroid

dalam sumsum tulang. Denyut nadi cepat dan jantung mungkin membesar, pada

auskultasi biasanya terdengar bising sistolik.

2. Manifestasi gastrointestinal

Keluhan nyeri lidah, yang pada inspeksi tampak papil lidah halus dan

kemerahan. Keluhan lain yaitu anorexia dan disertai turunnya berat badan,

kemungkinan bersamaan dengan diare dan lain-lain.

3. Manifestasi gangguan neurologis

Perubahan patologi yang awal yaitu demielinasi, kemudian diikuti oleh

degenerasi aksonal dan akhirnya kematian neural. Tempat yang menderita

gangguan termasuk syaraf perifer; medulla spinalis, dimana kolumna posterior dan

Page 8: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

lateral mengalami demielinas; dan juga serebrum sendiri. Keluhan dan gejala

termasuk mati rasa dan parestesi pada ekstremitas, kelemahan dan ataksia.

Kemungkinan terjadi gangguan dari sfingter.

Patogenesis

Patogenesis tergantung dari etiologi;

1. Gastrektomi : luas dari penghasil faktor intrinsik berkurang sehingga

kemungkinan untuk absorpsi dari B12 kurang

2. Infeksi cacing pita : menyebabkan absorpsi B12 kurang sehingga terjadi

defisiensi vitamin B12

3. Defisiensi Transcobalamin II : hal ini menyebabkan B12 yang akan dibaa ke

sel-sel oleh transcobalamin II berkurang.

Keadaan-keadaan diatas kemudian berakibat pada Absorbsi serta transpor dari

B12 yang kemudian dapat menyebabkan anemia defisiensi sianocobalamin

(B12)

Diagnosis

Untuk menentukan diagnosis dari anemia defisiensi sianocobalamin ini perlu

dilakukan beberapa pemeriksaan termasuk pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang.

Pemeriksaan fisik

Pada inspeksi nampak kulit dan mata ikterus, wajah tampak pucat, lelah, pada lidah

nampak papil merah dan halus

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium :

Page 9: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

Anemia megaloblastik, MCV meningkat,

Hapusan darah tepi : khas makroovalosit

Hiperpigmentasi, retikulosit meningkat, leukopenia, trombositopenia

Aspirasi sumsum tulang : hiperplasia eritroid, sel-sel megaloblast abnormal

(maturasi inti lambat, sitoplasma normal

Terapi

Setelah diagnosis defisiensi kobaamin ditegakkan maka perlu memberikan

terapi spesifik berkaitan dengan penyakit dasar yang melatar belakangi misalnya

adanya pertumbuhan bakteri yang berlebihan dalam intestinum perlu diberi antibiotik,

sedangkan terapi utama untuk defisiensi kobalamin adalah terapi pengganti. Sebab

defek yang ada, biasanya selalu malabsorbsi, maka pasien diberi pengobatan

parenteral, terutama dalam bentuk suntikan kobalamin intramuskuler.

Awal pemberian terapi parenteral dengan kobalamin 1000 ug i.m, tiap minggu

selama delapan minggu, kemudian dilanjutkan suntikan i.m kobalamin 1000 ug tiap

bulan dari sisa hidupnya. Dapat pula diberikan terapi oral dengan kristalin B12

sejumlah 2mg perhari.

LEUKIMIA

Definisi

Leukemia adalah sekumpulan penyakit yang ditandai oleh adanya akumulasi

leukosit abnormal dalam sumsum tulang dan darah.Sel-sel abnormal ini

menyebabkan timbulnya gejala karena kegagalan sumsum tulang (yaitu anemia,

neutropenia, trombositopenia) dan infiltrasi organ (misalnya hati,limpa, kelenjar

getah bening, meningens, otak, kulit, atau testis)(5).

Page 10: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

Leukemia merupakan suatu penyakit yang dikenal dengan adanya proliferasi

neoplastik dari sel-sel organ hemopoetik, yang terjadi sebagai akibat mutasi somatik

sel bakal (stem cell) yang akan membentuk suatu klon sel leukemia (1,2,3,4).

Leukemia atau kanker darah juga didefinisikan sekelompok

penyakit neoplastik yang beragam, ditandai oleh perbanyakan secara tak normal atau

transformasi maligna dari sel-sel pembentuk darah di sumsum tulang dan jaringan

limfoid. Sel-sel normal di dalam sumsum tulang digantikan oleh sel tak normal atau

abnormal. Sel abnormal ini keluar dari sumsum dan dapat ditemukan di dalam darah

perifer atau darah tepi. Sel leukemia mempengaruhi hematopoiesis atau proses

pembentukan sel darah normal dan imunitas tubuh penderita.

Sel darah normal

Kebanyakan sel-sel darah berkembang di dalam sumsum tulang yang disebut

stem sel. Sumsum tulang adalah bagian jaringan lunak yang terletak di setiap pusat

tulang. Stem sel berkembang menjadi berbagai macam sel darah yang memiliki

fungsi yang berbeda-beda:

Sel darah putih: membantu melawan

infeksi. Sel darah putih memiliki beberapa

jenis yaitu

limfosit,monosit,basofil,neutrofil batang,

neutrofil segmen, dan eosinofil.

Sel darah merah: membantu membawa

oksigen ke seluruh tubuh

Page 11: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

Platelet: membantu pembekuan darah

sehingga tidak terjadi perdarahan

Sel darah putih, sel darah merah, dan platelet terbentu dari sel stem dimana

mereka sangat dibutuhkan oleh tubuh. Saat sel-sel tersebut menua dan rusak, sel

tersebut akan mati, dan sel baru akan menggantikan tempat mereka.

Gambar di bawah menunjukkan bagaimana sel stem berkembang menjadi

beberapa tipe sel darah putih.

Pertama, sel stem akan berkembang menjadi sel stem myeloid atau sel stem

limfosit:

Sel stem myeloid berkembang menjadi myeloid blast. Myeloid blast ini dapat

berkembang menjadi seld darah merah, platelet, atau menjadi beberapa jenis

dari sel darah putih.

Page 12: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

Sel stem limfoid akan berkembang menjadi limfoid blast. Limfoid blast ini

dapat berkembang menjadi beberapa tipe sel darah putih seperti sel B atau sel

T

Sel darah putih yang dihasilkan dari myeloid blast berbeda dari sel darah putih yang

dihasilkan limfoid blast ini.

Sel Leukemia

Pada orang dengan leukemia, sumsum tulang membuat sel darah putih yang

abnormal.Sel yang abnormal tersebut adalah sel leukemia.

Tidak seperti sel darah normal, sel leukemia tidak mati saat waktunya tiba.

Mereka malah memadati dan mendesak sel darah putih normal, sel darah merah, dan

platelet. Hal ini membuat sel darah normal kesulitan dalam menjalankan fungsi

normal mereka.

Epidemiologi

Leukemia menurut usia didapatkan data yaitu, Leukemia Limfoblastik Akut

(LLA) terbanyak pada anak-anak dan dewasa, Leukemia Granulositik Kronik

(LGK) pada semua usia, lebih sering pada orang dewasa, Leukemia Granulositik

Kronik pada semua usia tersering usia 40-60 tahun, Leukemia Limfositik Kronik

(LLK) terbanyak pada orang tua. Leukemia Mieoloblastik Akut lebih sering

ditemukan pada usia dewasa (85%) daripada anak-anak (15%). Walaupun leukemia

menyerang kedua jenis kelamin, tetapi pria terserang sedikit lebih banyak

dibandingkan wanita dengan perbandingan 2 : 1

Etiologi

Penyebab leukemia belum diketahui secara pasti. Diperkirakan leukemi tidak

disebabkan oleh penyebab tunggal, tetapi gabungan dari faktor resiko antara lain:

Page 13: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

Terinfeksi virus.

Agen virus sudah lama diidentifikasi sebagai penyebab leukemia pada hewan.

Pada tahun 1980, diisolasi virus HTLV-1( human T–cell lymphotropic virus type

1) yang menyerupai virus penyebab AIDS dari leukemia sel T manusia pada

limfosit seorang penderita limfoma kulit dan sejak saat itu diisolasi dari sampel

serum penderita leukemia sel T.

Faktor Genetik.

Pengaruh genetik maupun faktor-faktor lingkungan kelihatannya memainkan

peranan , namun jarang terdapat leukemia familial, tetapi insidensi leukemia

lebih tinggi dari saudara kandung anak-anak yang terserang , dengan insidensi

yang meningkat sampai 20% pada kembar monozigot (identik).

Kelainan Herediter.

Individu dengan kelainan kromosom, seperti Sindrom Down, kelihatannya

mempunyai insidensi leukemia akut 20 puluh kali lipat.

Faktor lingkungan.

- Radiasi. Kontak dengan radiasi ionisasi disertai manifestasi leukemia

yang timbul bertahun-tahun kemudian.

-Zat Kimia. Zat kimia misalnya : benzen, arsen, kloramfenikol, fenilbutazon,

dan agen antineoplastik dikaitkan dengan frekuensi yang meningkat khusus

nya agen-agen alkil. Kemungkinan leukemia meningkat pada penderita

yang diobati baik dengan radiasi maupun kemoterapi.

Radiasi

Orang yang terekspos radiasi yang sangat tinggi lebih memiliki kecenderungan

untuk mengidap leukemia mieloblastik akut, leukemia mielositik kronik,atau

leukemia limfoblastik akut.

→ Ledakan bom atom: telah menyebabkan radiasi yang sangat tinggi (contohnya

seperti ledakan di jepang pada perang dunia kedua). Terjadi peningkatan resiko

Page 14: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

mengidap leukemia pada orang-orang, terutama anak-anak, yang selamat dari

ledakan bom tersebut.

→ Radioterapi: radioterapi untuk kanker dan kondisi lainnya adalah sumber

eksposur radiasi tinggi lainnya. Radioterapi meningkatkan resiko leukemia.

→ X-rays: dental x-rays dan x-rays diagnostik lainnya (seperti CT-Scan)

mengekspos orang-orang terhadap level radiasi yang lebih rendah. Belum

diketahui apakah radiasi level rendah ini dapat menghubungkan leukemia dengan

anak-anak maupun orang dewasa. Peneliti sedang mempelajari apakah

melakukan banyak foto x-rays dapat meningkatkan resiko leukemia. Mereka juga

mempelajari apakah menjalani CT-Scan ketika anak-anak dapat meningkatkan

resiko leukemia.

Benzene

Terekspose benzene di tempat kerjadapat menyebabkan leukemia mieloblastik

akut. Selain itu benzene juga dapat menyebabkan leukemia mielositik kronik atau

leukemia limfoblastik akut. Benzene banyak digunakan pada industri kimia.

Benzene juga ditemukan pada asap rokok dan gasoline.

Merokok

Merokok dapat meningkatkan resiko leukemia mieloblastik akut.

Kemoterapi

Pasien kanker yang diterapi dengan beberapa tipe obat pelawan kanker kadang

akan mengidap leukemia mieloblastik akut atau leukemia limfoblastik akut.

Contohnya, diterapi dengan obat bernama alkylating agen atau topoisomerase

inhibitor dapat dihubungkan dengan kemungkinan kecil berkembangnya

leukemia akut.

Memiliki satu atau lebih faktor resiko tidak berarti seseorang akan mengidap

leukemia. Kebanyakan orang yang memiliki faktor resiko tidak pernah berkembang

menjadi leukemia.

Page 15: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

Patofisiologi

Pada keadaan normal, sel darah putih berfungsi sebagai pertahanan  kita dengan

infeksi. Sel ini secara normal berkembang sesuai dengan perintah, dapat dikontrol

sesuai dengan kebutuhan tubuh kita. Leukemia meningkatkan produksi sel darah

putih pada sumsum tulang yang lebih dari normal. Mereka terlihat berbeda dengan

sel darah normal dan tidak berfungsi seperti biasanya. Sel leukemia memblok

produksi sel  darah putih yang normal , merusak kemampuan tubuh terhadap

infeksi. Sel leukemia juga merusak produksi sel darah lain pada sumsum tulang

termasuk sel darah merah dimana sel tersebut berfungsi untuk menyuplai oksigen

pada jaringan.

Menurut Smeltzer dan Bare (2001) analisa sitogenik menghasilkan banyak

pengetahuan mengenai aberasi kromosomal yang terdapat pada pasien dengan

leukemia,. Perubahan kromosom dapat meliputi perubahan angka, yang

menambahkan atau menghilangkan seluruh kromosom, atau perubahan struktur,

yang termasuk translokasi ini, dua atau lebih kromosom mengubah bahan genetik,

dengan perkembangan gen yang berubah dianggap menyebabkan mulainya

proliferasi sel abnormal.

Leukemia terjadi jika proses pematangan dari stem sel menjadi sel darah putih

mengalami gangguan dan menghasilkan perubahan ke arah keganasan. Perubahan

tersebut seringkali melibatkan penyusunan kembali bagian dari kromosom (bahan

genetik sel yang kompleks). Penyusunan kembali kromosom (translokasi

kromosom) mengganggu pengendalian normal dari pembelahan sel, sehingga sel

membelah tak terkendali dan menjadi ganas. Pada akhirnya sel-sel ini menguasai

sumsum tulang dan menggantikan tempat dari sel-sel yang menghasilkan sel-sel

Page 16: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

darah yang normal. Kanker ini juga bisa menyusup ke dalam organ lainnya,

termasuk hati, limpa, kelenjar getah bening, ginjal dan otak.

Jika penyebab leukemia virus, virus tersebut akan masuk ke dalam tubuh

manusia jika struktur antigennya sesuai dengan struktur antigen manusia. Bila

struktur antigen individu tidak sama dengan struktur antigen virus, maka virus

tersebut ditolaknya seperti pada benda asing lain. Struktur antigen manusia

terbentuk oleh struktur antigen dari berbagai alat tubuh, terutama kulit dan selaput

lendir yang terletak di permukaan tubuh (kulit disebut juga antigen jaringan ). Oleh

WHO terhadap antigen jaringan telah ditetapkan istilah HL-A (Human Leucocyte

Lucos A). Sistem HL-A individu ini diturunkan menurut hukum genetika sehingga

adanya peranan faktor ras dan keluarga dalam etiologi leukemia tidak dapat

diabaikan.

Leukemia merupakan proliferasi dari sel pembuat darah yang bersifat sistemik

dan biasanya berakhir fatal. Leukemia dikatakan penyakit darah yang disebabkan

karena terjadinya kerusakan pada pabrik pembuat sel darah yaitu sumsum tulang.

Penyakit ini sering disebut kanker darah. Keadaan yang sebenarnya sumsum tulang

bekerja aktif membuat sel-sel darah tetapi yang dihasilkan adalah sel darah yang

tidak normal dan sel ini mendesak pertumbuhan sel darah normal.

Proses patofisiologi leukemia dimulai dari transformasi ganas sel induk

hematologis dan turunannya. Proliferasi ganas sel induk ini menghasilkan sel

leukemia dan mengakibatkan penekanan hematopoesis normal, sehingga terjadi

bone marrow hipoaktivasi, infiltrasi sel leukemia ke dalam organ, sehingga

menimbulkan organomegali, katabolisme sel meningkat, sehingga terjadi keadaan

hiperkatabolisme.

Klasifikasi

Page 17: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

Leukemia dapat diklafikasikan ke dalam :

1. Maturitas sel:

Leukemia Akut

Leukemia akut biasanya merupakan penyakit yang bersifat agresif,

dengan transformasi ganas yang menyebabkan terjadinya akumulasi

progenitor sumsum tulang dini, disebut sel blast. Gambaran klinis dominan

penyakit-penyakit ini biasanya adalah kegagalan sumsum tulang yang

disebabkan akumulasi sel blas walaupun juga terjadi infiltrasi jaringan.

Apabila tidak diobati, penyakit ini biasanya cepat bersifat fatal, tetapi, secara

paradoks, lebih mudah diobati dibandingkan leukemia kronik.

Leukemia Kronik

Leukemia kronik dibedakan dari leukemia akut berdasarkan progresinya

yang lebih lambat. Sebaliknya, leukemia kronik lebih sulit diobati.

2. Tipe-tipe sel asal

Mieloblastik (Mieloblast yang dihasilkan sumsum tulang)

Limfoblastik (limfoblast yang dihasilkan sistem limfatik)

Normalnya, sel asal (mieloblast dan limfoblast) tak ada pada darah perifer.

Maturitas sel dan tipe sel dikombinasikan untuk membentuk empat tipe utama

leukemia :

1. LEUKEMIA MIELOBLASTIK AKUT (LMA)

Page 18: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

Leukemia Mieloblastik Akut (LMA) atau dapat juga disebut leukemia

granulositik akut (LGA), mengenai sel stem hematopetik yang kelak berdiferensiasi

ke semua sel mieloid, monosit, granulosit (basofil, netrofil, eosinofil), eritrosit, dan

trombosit. Dikarakteristikan oleh produksi berlebihan dari mieloblast. Semua

kelompok usia dapat terkena insidensi meningkat sesuai dengan bertambahnya usia.

Merupakan leukemia nonlimfositik yang paling sering terjadi.

Gambaran klinis LMA, antara lain yaitu terdapat peningkatan leukosit

immature,  pembesaran pada limfe, rasa lelah, pucat, nafsu makan menurun, anemia,

ptekie, perdarahan , nyeri tulang, Infeksi,pembesaran kelenjer getah bening,limpa,hati

dan kelenjer mediastinum. Kadang-kadang juga ditemukan hipertrofi gusi ,khususnya

pada leukemia akut monoblastik dan mielomonositik.

Pada tahun 1976 tujuh ahli hematologi dari Amerika,Perancis,dan Ingris

melakukan kerjasama dan mereka mengusulkan klasifikasi baru untuk leukemia akut.

Klasifikasi itu kemudian diterima dan dikenal sebagai klasifikasi FAB ( French

American British). FAB membagi LMA menjadi 6 jenis:

M-1: Diferensiasi granulositik tanpa pematangan

M-2: Diferensiasi granulositik disertai pematangan menjadi stadium

promielositik

M-3: Diferensiasi granulositik disertai promielosit hipergranular yang

dikaitkan dengan pembekuan intra vaskular tersebar (Disseminated

intravascular coagulation).

M-4: Leukemia mielomonoblastik akut: kedua garis sel granulosit dan

monosit.

M-5a: Leukemia monoblastik akut : kurang berdiferesiasi

M-5b: Leukemia monoblastik akut : berdiferensiasi baik

M-6: Eritroblast predominan disertai diseritropoiesis berat

M-7: Leukemia megakariositik.

Page 19: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

2. LEUKEMIA GRANULOSITIK KRONIK (LMK)

Leukemia granulositik kronis (LGK), juga termasuk dalam keganasan sel stem

mieloid. Namun, lebih banyak terdapat sel normal di banding pada bentuk akut,

sehingga penyakit ini lebih ringan. Abnormalitas genetika yang dinamakan

kromosom Philadelpia ditemukan 90% sampai 95% pasien dengan LMK. LMK

jarang menyerang individu di bawah 20 tahun, namun insidensinya meningkat sesuai

pertambahan usia.

Gambaran menonjoladalah :

Adanya kromosom Philadelphia pada sel – sel darah. Ini adalah kromosom

abnormal yang ditemukan pada sel – sel sumsum tulang.

Krisis Blast. Fase yang dikarakteristik oleh proliferasi tiba-tiba dari jumlah

besar mieloblast. Temuan ini menandakan pengubahan LMK menjadi LMA.

Kematian sering terjadi dalam beberapa bulan saat sel – sel leukemia menjadi

resisten terhadap kemoterapi selama krisis blast.

3. LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT (LLA)

Leukemia Limfositik Akut (LLA) dianggap sebagai suatu proliferasi ganas

limfoblas. Paling sering terjadi pada anak-anak, dengan laki-laki lebih banyak

dibanding perempuan,dengan puncak insidensi pada usia 4 tahun. Setelah usia 15

tahun , LLA jarang terjadi. Manifestasi dari LLA adalah berupa proliferasi limfoblas

abnormal dalam sum-sum tulang dan tempat-tempat ekstramedular.

Gejala pertama biasanya terjadi karena sumsum tulang gagal menghasilkan sel

darah merah dalam jumlah yang memadai, yaitu berupa lemah dan sesak nafas,

karena anemia (sel darah merah terlalu sedikit), infeksi dan demam karena

berkurangnya jumlah sel darah putih, perdarahan karena jumlah trombosit yang

terlalu sedikit.

Page 20: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

Manifestasi klinis :

Hematopoesis normal terhambat

Penurunan jumlah leukosit

Penurunan sel darah merah

Penurunan trombosit

4. LEUKEMIA LIMFOSITIK KRONIK (LLK)

Leukemia Limfositik Kronik (LLK) ditandai dengan adanya sejumlah besar

limfosit (salah satu jenis sel darah putih) matang yang bersifat ganas dan pembesaran

kelenjar getah bening. Lebih dari 3/4 penderita berumur lebih dari 60 tahun, dan 2-3

kali lebih sering  menyerang pria. Pada awalnya penambahan jumlah limfosit matang

yang  ganas  terjadi di kelenjar getah bening. Kemudian menyebar ke hati dan  limpa,

dan kedua nya mulai membesar. Masuknya limfosit ini ke dalam sumsum tulang akan

menggeser sel-sel yang normal, sehingga terjadi anemia dan penurunan jumlah sel

darah putih dan trombosit di dalam darah. Kadar dan aktivitas antibodi (protein untuk

melawan infeksi) juga berkurang. Sistem kekebalan yang biasanya melindungi tubuh

terhadap serangan dari luar, seringkali menjadi salah arah dan menghancurkan

jaringan tubuh yang normal.

Manifestasinya adalah :

Adanya anemia

Pembesaran nodus limfa

Pembesaran organ abdomen

Jumlah eritrosi dan trombosit mungkin normal atau menurun

Terjadi  penurunan  jumlah limfosit (limfositopenia)

Manifestasi Klinis

Page 21: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

Seperti semua sel darah lainnya, sel leukemia beredar di seluruh tubuh. Gejala

leukemia bergantung pada jumlah sel leukemia dan dimana sel leukemia tersebut

terkumpul dalam tubuh. Orang dengan leukemia kronik dapat tidak memiliki gejala.

Seorang dokter sering menemukan penyakit tersebut dalam pemeriksaan darah rutin

secara tidak sengaja.

Seseorang dengan leukemia akut biasanya pergi ke dokter saat mereka merasa

sakit. Jika otak telah terkena, mereka mungkin mengalami sakit kepala, muntah,

kehilangan kontrol otot, atau kejang. Leukemia juga dapat mempengaruhi bagian

tubuh seperti saluran cerna, ginjal, paru, jantung, atau testis.

Gejala leukemia yang ditimbulkan umumnya berbeda diantara penderita,

namun demikian secara umum dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Anemia.

Penderita akan menampakkan cepat lelah, pucat dan bernafas cepat (sel darah

merah dibawah normal menyebabkan oxygen dalam tubuh kurang, akibatnya

penderita bernafas cepat sebagai kompensasi pemenuhan kekurangan oxygen dalam

tubuh).

2. Perdarahan.

Ketika Platelet (sel pembeku darah) tidak terproduksi dengan wajar karena

didominasi oleh sel darah putih, maka penderita akan mengalami perdarahan salah

satunya di jaringan kulit (banyaknya bintik merah lebar/kecil dijaringan kulit).

3. Terserang Infeksi.

Sel darah putih berperan sebagai pelindung daya tahan tubuh, terutama

melawan penyakit infeksi. Pada Penderita Leukemia, sel darah putih yang dibentuk

tidak normal (abnormal) sehingga tidak berfungsi semestinya. Akibatnya tubuh si

Page 22: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

penderita rentan terkena infeksi virus/bakteri, bahkan dengan sendirinya akan

menampakkan keluhan adanya demam, keluar cairan putih dari hidung (meler) dan

batuk.

4. Nyeri Tulang dan Persendian.

Hal ini disebabkan sebagai akibat dari sumsum tulang (bone marrow) didesak

padat oleh sel darah putih.

5. Nyeri Perut.

Nyeri perut juga merupakan salah satu indikasi gejala leukemia, dimana sel

leukemia dapat terkumpul pada organ ginjal, hati dan empedu yang menyebabkan

pembesaran pada organ-organ tubuh ini dan timbulah nyeri. Nyeri perut ini dapat

berdampak hilangnya nafsu makan penderita leukemia.

6. Pembengkakan Kelenjar Limfe.

Penderita kemungkinan besar mengalami pembengkakan pada kelenjar limfe,

baik itu yang dibawah lengan, leher, dada dan lainnya. Kelenjar limfe bertugas

menyaring darah, sel leukemia dapat terkumpul disini dan menyebabkan

pembengkakan.

7. Kesulitan Bernafas (Dyspnea).

Penderita mungkin menampakkan gejala kesulitan bernafas dan nyeri dada,

apabila terjadi hal ini maka harus segera mendapatkan pertolongan medis.

Penegakan Diagnosis

Penegakan diagnosis leukemia dilakukan secara terperinci melalui anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang sehingga dapat diperoleh data-data

yang maksimal untuk mendukung diagnosis. Terkadang diagnosis leukemia

ditemukan secara tidak sengaja saat pasien menjalani pemeriksaan kesehatan

Page 23: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

rutin.Pemeriksaan riwayat penyakit yang lebih teliti dilakukan dan pasien dapat

melaporkan riwayat leukemia atau gejala dan faktor resiko yang ada.

Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan gumpalan, atau abnormalitas lain dan

gejala dari leukemia. Pada pemeriksaan fisik biasanya akan diperiksa ada tidaknya

pembengkakan pada kelenjar getah bening, limfe, dan hati.

Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaan darah perifer pada leukemia dapat diketenukan:

Jumlah Leukosit Differential Leukosit

Akut Rendah,normal,atau tinggi Jika tinggi, maka sel blas

akan predominan, Jika

normal atau rendah

mungkin sel blast sangat

sedikit

Konik Tinggi Sel blast <10%

Penyakit Leukemia dapat dipastikan dengan beberapa pemeriksaan penunjang,

diantaranya adalah Biopsi, Pemeriksaan darah {complete blood count (CBC)}, CT

or CAT scan, magnetic resonance imaging (MRI), X-ray, Ultrasound, Spinal

tap/lumbar puncture.

Tes darah: laboratorium akan memeriksa jumlah sel-sel darah. Leukemia

menyebabkan jumlah sel-sel darah putih meningkat sangat tinggi, dan jumlah

trombosit dan hemoglobin dalam sel-sel darah merah menurun. Pemeriksaan

Page 24: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

laboratorium juga akan meneliti darah untuk mencari ada tidaknya tanda-tanda

kelainan pada hati dan/atau ginjal.

Biopsi: dokter akan mengambil sedikit jaringan sumsum tulang dari tulang

pinggul atau tulang besar lainnya. Ahli patologi kemudian akan memeriksa

sampel di bawah mikroskop, untuk mencari sel-sel kanker. Cara ini disebut

biopsi, yang merupakan cara terbaik untuk mengetahui apakah ada sel-sel

leukemia di dalam sumsum tulang.

Sitogenetik: laboratorium akan memeriksa kromosom sel dari sampel darah

tepi, sumsum tulang (bone marrow sample), atau kelenjar getah bening.

Lumbal puncture: dengan menggunakan jarum yang panjang dan tipis, dokter

perlahan-lahan akan mengambil cairan cerebrospinal (cairan yang mengisi

ruang di otak dan sumsum tulang belakang). Prosedur ini berlangsung sekitar

30 menit dan dilakukan dengan anestesi lokal. Pasien harus berbaring selama

beberapa jam setelahnya, agar tidak pusing. Laboratorium akan memeriksa

cairan apakah ada sel-sel leukemia atau tanda-tanda penyakit lainnya.

Sinar X pada dada: sinar X ini dapat menguak tanda-tanda penyakit di dada.

Tata Laksana

Leukemia Granulositik Kronik

Sebagian besar pengobatan tidak menyembuhkan penyakit, tetapi hanya

memperlambat perkembangan penyakit. Pengobatan dianggap berhasil apabila

jumlah sel darah putih dapat diturunkan sampai kurang dari 50.000/mikroliter

darah. Pengobatan yang terbaik sekalipun tidak bisa menghancurkan semua sel

leukemik.Satu-satunya kesempatan penyembuhan adalah dengan pencangkokan

sumsum tulang. Pencangkokan paling efektif jika dilakukan pada stadium awal

Page 25: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

dan kurang efektif jika dilakukan pada fase akselerasi atau krisis blast. Obat

interferon alfa bisa menormalkan kembali sumsum tulang dan menyebabkan

remisi. Hidroksiurea per-oral (ditelan) merupakan kemoterapi yang paling

banyak digunakan untuk penyakit ini. Busulfan juga efektif, tetapi karena

memiliki efek samping yang serius, maka pemakaiannya tidak boleh terlalu lama.

Terapi penyinaran untuk limpa kadang membantu mengurangi jumlah sel

leukemik. Kadang limpa harus diangkat melalui pembedahan (splenektomi)

untuk: mengurangi rasa tidak nyaman di perut, meningkatkan jumlah trombosit,

mengurangi kemungkinan dilakukannya tranfusi.

Leukemia Limfoblastik Akut :

Tujuan pengobatan adalah mencapai kesembuhan total dengan

menghancurkan sel-sel leukemik sehingga sel normal bisa tumbuh kembali di

dalam sumsum tulang. Penderita yang menjalani kemoterapi perlu dirawat di

rumah sakit selama beberapa hari atau beberapa minggu, tergantung kepada

respon yang ditunjukkan oleh sumsum tulang.

Sebelum sumsum tulang kembali berfungsi normal, penderita mungkin

memerlukan: transfusi sel darah merah untuk mengatasi anemia, transfusi

trombosit untuk mengatasi perdarahan, antibiotik untuk mengatasi infeksi.

Beberapa kombinasi dari obat kemoterapi sering digunakan dan dosisnya diulang

selama beberapa hari atau beberapa minggu. Suatu kombinasi terdiri dari

prednison per-oral (ditelan) dan dosis mingguan dari vinkristin dengan

antrasiklin atau asparaginase intravena. Untuk mengatasi sel leukemik di otak,

biasanya diberikan suntikan metotreksat langsung ke dalam cairan spinal dan

terapi penyinaran ke otak. Beberapa minggu atau beberapa bulan setelah

pengobatan awal yang intensif untuk menghancurkan sel leukemik, diberikan

pengobatan tambahan (kemoterapi konsolidasi) untuk menghancurkan sisa-sisa

sel leukemik. Pengobatan bisa berlangsung selama 2-3 tahun.

Page 26: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

Sel-sel leukemik bisa kembali muncul, seringkali di sumsum tulang, otak

atau buah zakar. Pemunculan kembali sel leukemik di sumsum tulang merupakan

masalah yang sangat serius. Penderita harus kembali menjalani kemoterapi.

Pencangkokan sumsum tulang menjanjikan kesempatan untuk sembuh pada

penderita ini. Jika sel leukemik kembali muncul di otak, maka obat kemoterapi

disuntikkan ke dalam cairan spinal sebanyak 1-2 kali/minggu. Pemunculan

kembali sel leukemik di buah zakar, biasanya diatasi dengan kemoterapi dan

terapi penyinaran.

Pengobatan Leukeumia Limfositik Kronik

Leukemia limfositik kronik berkembang dengan lambat, sehingga banyak

penderita yang tidak memerlukan pengobatan selama bertahun-tahun sampai

jumlah limfosit sangat banyak, kelenjar getah bening membesar atau terjadi

penurunan jumlah eritrosit atau trombosit. Anemia diatasi dengan transfusi darah

dan suntikan eritropoietin (obat yang merangsang pembentukan sel-sel darah

merah). Jika jumlah trombosit sangat menurun, diberikan transfusi trombosit.

Obat antikanker saja atau ditambah kortikosteroid diberikan jika jumlah

limfositnya sangat banyak. Prednison dan kortikosteroid lainnya bisa

menyebabkan perbaikan pada penderita leukemia yang sudah menyebar. Tetapi

respon ini biasanya berlangsung singkat dan setelah pemakaian jangka panjang,

kortikosteroid menyebabkan beberapa efek samping. Leukemia sel B diobati

dengan alkylating agent, yang membunuh sel kanker dengan mempengaruhi

DNAnya. Leukemia sel berambut diobati dengan interferon alfa dan pentostatin.

Pengobatan

Kemoterapi

Sebagian besar pasien leukemia menjalani kemoterapi. Jenis pengobatan

kanker ini menggunakan obat-obatan untuk membunuh sel-sel leukemia.

Page 27: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

Tergantung pada jenis leukemia, pasien bisa mendapatkan satu jenis obat atau

kombinasi dari dua obat atau lebih.

Terapi Biologi

Orang dengan jenis penyakit leukemia tertentu menjalani terapi biologi

untuk meningkatkan daya tahan alami tubuh terhadap kanker. Terapi ini

diberikan melalui suntikan di dalam pembuluh darah balik.

Bagi pasien dengan leukemia limfositik kronis, jenis terapi biologi yang

digunakan adalah antibodi monoklonal yang akan mengikatkan diri pada sel-sel

leukemia. Terapi ini memungkinkan sistem kekebalan untuk membunuh sel-sel

leukemia di dalam darah dan sumsum tulang. Bagi penderita dengan leukemia

myeloid kronis, terapi biologi yang digunakan adalah bahan alami bernama

interferon untuk memperlambat pertumbuhan sel-sel leukemia.

Terapi Radiasi

Terapi Radiasi (juga disebut sebagai radioterapi) menggunakan sinar

berenergi tinggi untuk membunuh sel-sel leukemia. Bagi sebagian besar pasien,

sebuah mesin yang besar akan mengarahkan radiasi pada limpa, otak, atau bagian

lain dalam tubuh tempat menumpuknya sel-sel leukemia ini. Beberapa pasien

mendapatkan radiasi yang diarahkan ke seluruh tubuh. (Iradiasi seluruh tubuh

biasanya diberikan sebelum transplantasi sumsum tulang.)

Transplantasi Sel Induk (Stem Cell)

Beberapa pasien leukemia menjalani transplantasi sel induk (stem cell).

Transplantasi sel induk memungkinkan pasien diobati dengan dosis obat yang

tinggi, radiasi, atau keduanya. Dosis tinggi ini akan menghancurkan sel-sel

leukemia sekaligus sel-sel darah normal dalam sumsum tulang. Kemudian,

Page 28: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

pasien akan mendapatkan sel-sel induk (stem cell) yang sehat melalui tabung

fleksibel yang dipasang di pembuluh darah balik besar di daerah dada atau leher.

Sel-sel darah yang baru akan tumbuh dari sel-sel induk (stem cell) hasil

transplantasi ini.

Setelah transplantasi sel induk (stem cell), pasien biasanya harus menginap

di rumah sakit selama beberapa minggu. Tim kesehatan akan melindungi pasien

dari infeksi sampai sel-sel induk (stem cell) hasil transplantasi mulai

menghasilkan sel-sel darah putih dalam jumlah yang memadai.

Prognosis

Ad vitam : dubia

Ad fungsionam : dubia ad malam

Ad sanationam : dubia ad malam

KASUS

Page 29: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

Skenario 3:

Seorang wanita, 51 tahun MRS dengan keluhan nyeri tulang belakang serta paha

sebelah kanan. Nyeri terus menerus dan bertambah keras, lemah badan, sering pusing,

jantung berdebar dan demam. Mulai 1 minggu terakhir kalau bangun tidur muka

bengkak. Penderita sudah sering ke dokter dengan keluhan yang sama dan sudah

minum obat anti nyeri tapi tidak ada perubahan.

A. Kata Sulit

Nyeri adalah pengalaman sensoris dan emosional yang tidak

menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial yang

akan menyebabkan kerusakan jaringan.

B. Kata Kunci

1. Perempuan 51 tahun

2. Nyeri tulang belakang serta paha sebelah kanan

3. Nyeri terus menerus dan bertambah keras

4. Lemah badan, sering pusing, jantung berdebar, dan demam

5. 1 minggu terakhir, bangun tidur muka bengkak

6. Minum obat anti nyeri tapi tidak ada perubahan

C. Pertanyaan

1. Jelaskan dan gambarkan morfologi sel darah !

2. Jelaskan proses hematopoiesis !

3. Jelaskan proses metabolisme sel darah !

4. Jelaskan patomekanisme masing-masing gejala pada skenario !

5. Mengapa obat anti nyeri yang dikonsumsi tidak memberi efek / perubahan ?

6. Jelaskan langkah-langkah diagnosis !

7. Jelaskan Differential Diagnosis (DD) dan penatalaksanaannya ?

Page 30: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

D. Jawaban

1. Morfologi sel darah:

1. Eritrosit

Bentuk : bikonkaf , tidak berinti

Volume : 9 femtoliter

Diameter : 6-8 mikrometer’

Tebal : 2 mikrometer

Fungsi : membawa o2 ke jaringan

2. Leukosit

Tidak berwarna, ada inti, bergerak secara amoebeid , dapat menembus dinding

kapiler

Jenis :

A. Granulosit

- Basofil

Jumlah : 0,01 – 0,3 %

Warna : Berwarna biru

Banyak granula sitoplasmik dengan 2 lobus

- Eosinophil

Jumlah: 1-6%

Ukuran : 12-17 mikrometer

- Neutrophil

Jumlah: 50-60%

Terdapat gambaran 3 inti aneh

Warna: Merah kebiruan

B. Agranulosit

- Limfosit

25%

- Monosit

Page 31: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

6%

Inti 1, berbentuk ginjal\

3. Trombosit

Tidak berinti, bentuk tidak teratur, tidak berwarna, mudah pecah bila benda

kasar

Ukuran : 2-3 mikrometer

2. Proses hemapoiesis :

Hemapoiesis adalah proses pembuatan darah . sebagaimana dketahui,

darah terbagi atas : Bagian yang terbentuk (formed elements). Terdiri atas sel-sel

darah merh (eritrosit), sel-sel darah putih (leukosit) dan keeping-keping darah

(trombosit) yang bentuknya dapat dilihat dengan mikoskop.

Bagian yang tidak berbentuk. Plasma yang terdiri atas molekul-molekul

air, protein-protein, lemak, karbohidrat, vitamin-vitamin , enzim-enzim dan

sebagainya yang larut dalam plasma.

Hemopoiesis adalah suatuproses kompleks yang melibatkan banyak

komponen-komponen yang saling terkait antara lain :

1. Komponen atau kompartemen yang terdiri atas sel-sel darah baik sel-sel

induk, sel-sel bakal dan sel-sel mature.

2. Komponen atau kompartemen yang disebut stroma atau lingkungan

mikrohemopoetik (LMH) atau hemopoetic micro environment.

3. Kompartemen ke 3 terdiri atas zat-zat yang dapat menstimulasi sel-sel darah

untuk berproliferasi, berdiferensiasi dan berfungsi sesuai denga tugas yang

sudah direncanakan. Komponen ini disebut hemopoetic growth factors (HGF)

atau factor pertumbuhan hemopoetic (FPH).

Kompartemen sel-sel darah

Kompartemen sel darah terdir atas:

Page 32: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

A. Sel Induk Pluriotent (PSC/ISP)

Sel-sel darah berasal dari satu sel induk pluripotent (Plurypotent Stem Cell).

Sel-sel ini jumlahnya sedikit, namun mempunyai kemampuan besar

berproliferasi berkali-kali sesuai kebutuhan. SIP dinamakan sebagai CFU-S

(colony forming unit spleen). Selanjutnya dikembangkn suatu media

pembiakan yang baik untuk in vitro dari SIP ini (Dexter Culture). Media ini

mengaitkan pentingnya LMH sehigga CFU-S dapat hidup lam dan dnamakan

Long Term Culture Initiating Cells (LTC-IC). Dalam media dexter ini

terdapat sel-sel lingkungan mikro yang menghasilkan stimulator-stimulator

pertumbuhan hemopoiesis yang disebut Hemopoietic Growth Factors (HGF)

atau juga Colony Stimulating Factors (CSF) yang dapat menstimulasi koloni-

koloni sel bakal darah untuk terus berdiferensiasi sesuai jalur turunannya.

B. Sel Bakal Terkait Tugas (SBTT) atau Comitted Progenitor Hemopoetic Cells.

Dengan stimulasi factor pertumbuhan yang berasal dari LMH yang dinamkan

factor sel induk (Stem Cell Factor = SCF), SIP dapat berdiferensiasi menjadi

sel-sel bakal darah yang terkait tugas (SBTT) yang terkait pada tugas

menurunkan turunan-turunan sel-sel darah , yaitu jalur-jalur turunan myeloid

dan makrofag disebut colony forming unit granulocyte, erythrocyte,

megakaryocyte, monocyte (CFU-GEMM) dan jalur turunan Limfosit

(Lymphoid Progenitor Cells=LPC)

SBTT yang bertugas menurunkan system granulosit, eritrosit,

monosit/makrofag dan megakariosit dalam teori perkemabangan tikus disebut

CFU-GEMM. CFU-GEMM ini distimulasi oleh GEMM-CSF untuk

berdiferensiasi menjadi CFU-G, CFU-M, CFU-Meg dan CFU-E (melalui

BFU-E =Burst Forming Unit Erythrocyte). Seterusnya CFU-G distimulasi G-

CSF , GM-CSF dapat menstimulasi CFU-G dan CFU-MK menjadi sel-sel

yang lebih tua (sel-sel matur).

C. Sel Bakal Darah Dewasa

Page 33: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

Subkompartemen ini terdiri atas golongan granulosit (eosiofil, basophil,

neutrophil) golongan-golongan monosit.makrofag, trombosit, eritrosit dan

limfosit B dan T.

3. Metabolisme sel darah :

a. Eritrosit

Untuk mengangkut hemoglobin agar berkontak erat dengan jaringan

dan agar pertukaran gas berhasil, eritrosit yang berdiameter 8 µm harus dapat

secara berulang melalui mikrosirkulasi yang diameter minimumnya 3,5 µm,

untuk mempertahankan hemoglobin dalam keadaan tereduksi (ferro) dan

untuk mempertahankan keseimbangan osmotik walaupun konsentrasi protein

(hemoglobin) tinggi di dalam sel. Perjalanan secara keseluruhan selama masa

hidupnya yang 120 hari diperkirakan sepanjang 480 km (300 mil). Untuk

memenuhi fungsinya ini, eritrosit adalah cakram bikonkaf yang fleksibel

dengan kemampuan menghasilkan energi sebagai adenosin trifosfat (ATP)

melalui jalur glikolisis anaerob (Embden-Meyerhof) dan menghasilkan

kekuatan pereduksi sebagai NADH melalui jalur ini serta sebagai

nikotinamida adenin dinukleotida fosfat tereduksi (NADPH) melalui jalur

pintas heksosa monofosfat (hexose monophosphate shunt). Metabolisme

eritrosit dapat melalui dua jalur, yaitu :

a)      Jalur Embden-Meyerhof

Dalam rangkaian reaksi biokimia ini, glukosa di metabolisme menjadi

laktat. Untuk tiap molekul glukosa yang dipakai, dihasilkan dua molekul ATP

dan dengan demikian dihasilkan dua ikatan fosfat energi tinggi. ATP

menyediakan energi tinggi untuk mempertahankan volume, bentuk, dan

kelenturan eritrosit. Eritrosit mempunyai tekanan osmotik lima kali lipat

plasma dan adanya kelemahan intrinsik membran menyebabkan pergerakan

Na+ dan K+ yang terjadi terus menerus. Diperlukan pompa natrium ATPase

membran dan pompa ini menggunakan satu molekul ATP untuk

Page 34: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

mengeluarkan 3 ion natrium dari sel dan memasukkan dua ion kalium ke

dalam sel.

Jalur Embden-Meyerhof juga menghasilkan NADH yang diperlukan

oleh enzim methemoglobin reduktase untuk mereduksi methemoglobin

(hemoglobin teroksidasi) yang tidak berfungsi, yang mengandung besi ferri

(dihasilkan oleh oksidasi sekitar 3% hemoglobin tiap hari) menjadi

hemoglobin tereduksi yang atif berfungsi 2,3-DPG yang dihasilkan pada

pintas Luebering-Rapoport (Luebering-Rapoport shunt), atau jalur samping

pada jalur ini membentuk suatu kompleks 1:1 dengan hemoglobin yang

penting dalam regulasi afinitas hemoglobin terhadap oksigen.

b)      Jalur heksosa monofosfat (pentosa fosfat)

Sekitar 5% glikolisis terjadi melalui jalur oksidatif ini, dengan

perubahan glukosa-6-fosfat menjadi 6-fosfoglukonat dan kemudian menjadi

ribulosa-5-fosfat. NADPH dihasilkan dan berkaitan dengan glutation yang

mempertahankan gugus sulfhidril (SH) tetap utuh dalam sel, termasuk SH

dalam hemoglobin dan membran eritrosit. NADPH juga digunakan oleh

methemoglobin reduktase lain untuk mempertahankan besi hemoglobin dalam

keadaan Fe2+ yang aktif secara fungsional. Pada salah satu kelainan eritriosit

diturunkan yang sering ditemukan (yaitu defisiensi glukosa-6-fosfat

dehidrogenase/G6PD), eritrosit sangat rentan terhadap stres oksidasi.

b.      Hemoglobin

Fungsi utama eritrosit adalah membawa O2 ke jaringan dan

mengembalikan karbondioksida (CO2) dari jaringan ke paru. Untuk mencapai

pertukaran gas ini, eritrosit mengandung protein khusus yaitu hemoglobin.

Tiap eritrosit mengandung sekitar 640 juta molekul hemoglobin. Tiap molekul

hemoglobin (Hb) A pada orang dewasa normal (hemoglobin yang dominan

dalam darah setelah usia 3-6 bulan) terdiri atas empat rantai polipeptida α2β2,

masing-masing dengan gugus hemenya sendiri. Berat molekul HbA adalah

68.000. Darah orang dewasa normal juga mengandung dua hemoglobin lain

Page 35: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

dalam jumlah kecil, yaitu HbF dan HbA2. Keduanya juga mengandung rantai

α, tetapi secara berurutan, dengan rantai γ dan δ, selain rantai β. Perubahan

utama dari hemoglobin fetus ke hemoglobin dewasa terjadi 3-6 bulan setelah

lahir.

Sintesis heme erutama terjadi di mitokondria melalui suatu rangkaian

reaksi biokimia yang bermula dengan kondensasi glisin dan suksinil koenzim

A oleh kerja enzim kunci yang bersifat membatasi kecepatan reaksi yaitu

asam δ-aminolevulinat (ALA) sintase. Piridoksal fosfat (vitamin B6) adalah

suatu koenzim untuk reaksi ini, yang dirangsang oleh eritropoietin. Akhirnya,

protoporfirin bergabung dengan besi dalam bentuk ferro (Fe2+) untuk

membentuk heme, masing-masing molekul heme bergabung dengan satu

rantai globin yang dibuat pada poliribosom. Suatu tetramer yang terdiri dari

empat rantai globin masing-masing dengan gugus hemenya sendiri dalam

suatu ”kantung” kemudian dibentuk untuk menyusun suatu molekul

hemoglobin.

Struktur dan fungsi membran sel darah merah:

Seperti halnya sel-sel yang lain, eritrosit pun dibatasi oleh membran

plasma yang bersifat semi permeable dan berfungsi untuk mencegah agar

koloid yang dikandungnya tetap didalam

Zat-zat gizi esensial yang berhubungan dengan anemia.

Beberapa zat gizi diperlukan dalam pembentukan sel darah merah,

yang paling penting adalah zat besi, vitamin B12 dan asam folat; tetapi tubuh

juga memerlukan sejumlah kecil vitamin C, riboflavin dan tembaga serta

keseimbangan hormon, terutama eritropoietin (hormon yang merangsang

pembentukan sel darah merah). Tanpa zat gizi dan hormon tersebut,

pembentukan sel darah merah akan berjalan lambat dan tidak mencukupi, dan

selnya bisa memiliki kelainan bentuk dan tidak mampu mengangkut oksigen

sebagaimana mestinya.

Page 36: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

a.       Besi (Fe)

Besi merupakan salah satu elemen penting dalam metabolisme tubuh,

terutama dalam pembentukan sel darah merah (eritripoiesis). Selain itu

juga terlibat dalam berbagai proses di dalam sel (intraseluler) pada

semua jaringan tubuh. Mitokondria mengandung suatu system

pengangkutan electron dari susbstrat dalam sel ke mol O2 bersamaan

dengan pembentukan ATP. Dalam system ini turut serta sejumlah

komponen besi yang memindahkan atom. Kegagalan system ini dapat

terjadi bila pemasokan (suplai) O2 ke jaringan kurang dan

mengakibatkan produksi energi berkurang. Dalam proses pembentukan

energi ini terlibat enzim sitokrom.

Hemoglobin mempunyai berat molekul 64.500 terdiri dari 4 golongan

heme yang masing-masing mengikat 1 atom besi dan dihubungkan

dengan 4 rantai polipeptid dan dapat mengikat 4 mol oksigen.

Konfigurasi ini memungkinkan pertukaran gas yang sangat sempurna.

Besi juga terlibat dalam bermacam-macam tingkatan proses metabolic

seperti reaksi hidrolisasi yang berhubungan dengan detoksifikasi obat,

sintesis steroid, DNA, metabolisme katekolamin dan pembentukan

kolagen. Bila sel mengambil besi lebih dari yang diperlukan untuk

kebutuhan metabolisme khusus maka keleebihan ini akan merangsang

sintesis feritiin dan sejumlah kecil disimpan dalam sel. Komponen besi

yang disimpan dalam feritin dan hemosiderin terutama ditemukan

dalam system retikuloendotelial (RES) ;hati, limpa dan sum-sum

tulang, tapi juga ditemukan dalam sel parenkim. Inilah sebabnya

mengapa besi di dalam serum meningkat pada penyakit hepatitis.

Jumlah besi di dalam tubuh seorang normal berkisar antara 3-5 g

tergantung dari jenis kelamin, berat badan dan hemoglobin. Besi di

dalam tubuh terdapat dalam hemoglobin sebanyak 1,5-3,0 g dan sisa

lainnya terdapat dalam plasma dan jaringan. Di dalam plasma besi

Page 37: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

terikat dengan protein yang disebut transferin sebanyak 3-4 g.

Sedangkan dalam jaringan berada dalam suatu status esensial (non-

available) dan bukan esensial (available). Disebut esensial karena tidak

dapat dipakai untuk pembentukan hemoglobin maupun keperluan

lainnya. Dalam mioglobin terdapat enzim sitokrom, katalase, dan

peroksidase dalam jumlah lebih kurang 0,3 g sedangkan yang esensial

ditemukan dalam bentuk feritin dan hemosiderin siap untuk dipakai

baik untuk pembentukan sel darah merah maupun keperluan lainnya

dalm sel retikuloendotelial hati dan sumsum tulang.

Besi diabsorbsi terutama di dalam duodenum dalam bentuk fero dan

dalam suasana asam. Absorbsi besi ini dipengaruhi oleh factor

endogen, eksogen dan usus sendiri. Faktor endogen mengatur jumlah

besi yang akan diabsorbsi dan tergantung dari jumlah cadangan besi di

dalam tubuh, aktivitas eritopoiesis dan kadar Hb. Bila cadangan besi

berkurang atau aktivitas eritropoiesis meningkat, atau kadar Hb rendah,

maka jumlah besi yang diabsorbsi akan meningkat dan sebaliknya bila

cadangan besi cukup, aktivitas eritropoiesis kurang atau Hb normal

akan mengurangi absorbsi besi.

Faktor eksogen ditentukan oleh komposisi, sumber, sifat kimia dan cara

proses makanan. Sumber hwani lebih mudah diabsorbsi daripada

sumber nabati dan vit C mempermudah absorbsi karena mereduksi besi

dari bentuk feri menjadi bentuk fero yang lebih mudah diabsorbsi.

Sebaliknya kasium, fosfor, dan asam fitat menghambat absorbsi karena

dengan besi membentuk suatu persenyawaan yang tidak larut. Faktor

usus juga berpengaruh karena asam klorida lambung mempermudah

absorbsi untuk melepaskan besi dari kompleks feri sedang secret

pancreas menghambat absorbsi besi. Pada pankreatitis dan sirosis

hepatic, absorbsi besi bertambah karena sekresi pankreas berkurang.

Page 38: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

Jumlah besi yang dibutuhkan setiap hari tergantung dari umur, jenis

kelamin dan berat badan. Laki-laki dewasa normal memerlukan 1-2 mg

besi setiap hari, sedangkan anak dalam masa pertumbuhan dan wanita

dalam masa menstruasi perlu penambahan 0,5-1 mg dari kebutuhan

normal lelaki dewasa. Wanita hamil dan yang menyusui memerlukan

rata-rata 3-4 mg besi setiap hari. Berbeda dengan mineral lainnya,

tubuh tidak dapat mengatur keseimbangan besi melalui ekskresi. Besi

dikeluarkan dari tubuh relative konstan berkisar antara 0,5-1,0 mg

setiap hari melalui rambut, kuku, keringat, air kemih, dan terbanyak

melalui deskuamasi sel epitel saluran pencernaan. Lain halnya dengan

wanita yang sedang meenstruasi setiap hari kehilangan besi 0,5-1,0 mg

atau 40-80 ml darah dan wanita yang sedang menyusui sebanyak 1,0

mg sehari. Wanita yang melahirkan dengan perdarahan normal akan

kehilangan besi 500-550mg.

b.      Vitamin B12

Vitamin B12 (kobalamin) mempunyai struktur cincin yang kompleks

(cincin corrin) dan serupa dengan cincin porfirin, yang pada cincin ini

ditambahkan ion kobalt di bagian tengahnya. Vitamin B12 disintesis

secara eksklusif oleh mikroorganisme. Dengan demikian, vitamin B12

tidak terdapat dalam tanaman kecuali bila tanaman tersebut

terkontaminasi vitamin B12 tetapi tersimpan pada binatang di dalam

hati temapat vitamin B12 ditemukan dalam bentuk metilkobalamin,

adenosilkobalamin, dan hidroksikobalamin.

Absorbsi intestinal vitamin B12 terjadi dengan perantaraan tempat-

tempat reseptor dalam ileum yang memerlukan pengikatan vitamin

B12, suatu glikoprotein yang sangat spesifik yaitu faktor intrinsik yang

disekresi sel-sel parietal pada mukosa lambung. Setelah diserap

vitamin B12 terikat dengan protein plasma, transkobalamin II untuk

Page 39: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

pengangkutan ke dalam jaringan. Vitamin B12 disimpan dalam hati

terikat dengan transkobalamin I.

Koenzim vitamin B12 yang aktif adalah metilkobalamin dan

deoksiadenosilkobalamin. Metilkobalamin merupakan koenzim dalam

konversi Homosistein menjadi metionin dan juga konversi Metil

tetrahidro folat menjadi tetrafidrofolat. Deoksiadenosilkobalamin

adalah koenzim untuk konversi metilmalonil Ko A menjadi suksinil

Ko A.

Kekurangan atau defisiensi vitamin B12 menyebabkan anemia

megaloblastik. Karena defisiensi vitamin B12 akan mengganggu

reaksi metionin sintase . anemia terjadi akibat terganggunya sintesis

DNA yang mempengaruhi pembentukan nukleus pada ertrosit yang

baru . Keadaan ini disebabkan oleh gangguan sintesis purin dan

pirimidin yang terjadi akibat defisiensi tetrahidrofolat. Homosistinuria

dan metilmalonat asiduria juga terjadi .Kelainan neurologik yang

berhubungan dengan defisiensi vitamin B12 dapat terjadi sekunder

akibat defisiensi relatif metionin.

c.       Asam folat

Nama generiknya adalah folasin . Asam folat ini terdiri dari basa

pteridin yang terikat dengan satu molekul masing-masing asam P-

aminobenzoat acid (PABA ) dan asam glutamat. Tetrahidrofolat

merupakan bentuk asam folat yang aktif. Makanan yang mengandung

asam folat akan dipecah oleh enzim-enzim usus spesifik menjadi

monoglutamil folat agar bisa diabsorbsi . kemudian oleh adanya enzim

folat reduktase sebagian besar derivat folat akan direduksi menjadi

tetrahidrofolat dala sel intestinal yang menggunakan NADPH sebagai

donor ekuivalen pereduksi.

Page 40: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

Tetrahidrofolat ini merupakan pembawa unit-unit satu karbon yang

aktif dalam berbagai reaksi oksidasi yaitu metil, metilen, metenil,

formil dan formimino.Semuanya bisa dikonversikan.

Serin merupakan sumber utama unit satu karbon dalam bentuk gugus

metilen yang secara reversible beralih kepada tetrahidrofolat hingga

terbentuk glisin dan N5, N10–metilen–H4folat yang mempunyai

peranan sentral dalam metabolisme unit satu karbon. Senyawa di atas

dapat direduksi menjadi N5–metil–H4folat yang memiliki peranan

penting dalam metilasi homosistein menjadi metionin dengan

melibatkan metilkobalamin sebagai kofaktor. Defisiensi atau

kekurangan asam folat dapat menyebabkan anemia megaloblastik

karena terganggunya sintesis DNA dan pembentukan eritrosit.

4. Patomekanisme gejala

Terjadi peningkatan osteoklas dalam tubuh sehingga meneyebabkan

proliferasi sel sel plasma yang berlebih. Hal ini menyebabkan terjadi gangguan

hematopoeisis sehingga produksi eritrosit menurun. Pasokan oksigen kejaring

(otot dan otak) menurun sehingga menyebabkan pasien merasa lemah, pucat dan

pusing.

Terjadi peningkatan osteoklas dalam tubuh sehingga meneyebabkan proliferasi

sel sel plasma yang berlebih. Sel plasma yang berlebih ini akhirnya mengaktifkan

osteoklas activating factor yang mengakibatkan terjadi destruksi tulang sehingga

pasien merasa nyeri pada tulang belakang dan paha .

Kelainan dari pada sumsum tulang menyebabkan terjadi neutropeni sehingga

pasien mudah mengalami infeksi dan terjadi demam

Page 41: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

Terjadi peningkatan osteoklas dalam tubuh sehingga meneyebabkan proliferasi

sel sel plasma yang berlebih. Hal ini menyebabkan terjadi gangguan

hematopoeisis sehingga produksi eritrosit menurun. Pasokan oksigen kejaring

(otot dan otak) menurun, terjadilah proses kompensasi dari dalam tubuh berupa

peningkatan cardiac output yang menyebabkan jantung pasien berdebar-debar

(palpitasi)

Terjadi penurunan kadar protein dalam darah menyebabakan gangguan

permeabilitas lalu terjadi ekstravasasi cairan dan cairan terperangkap di dalam

ruang intertisiel sehingga terjadi bengkak.

5. Mengapa obat anti nyeri yang dikonsumsi tidak memberikan perubahan?

Hal ini didasarkan pada mekanisme kerja obat anti nyeri (analgetik) yaitu

menghambat kerja Asetilkolin, yaitu senyawa yang mencetus timbulnya rasa

nyeri, mengakibatkan penghambatan pada saraf pusat dan saraf tepi. Namun obat

analgetik hanya menghentikan rasa nyeri tidak menghentikan penyebab nyeri

yang mengakibatkan nyeri timbul kembali dan pasien mengeluh tidak ada

perubahan.

6. Langkah-langkah diagnosis :

1. Anamnesis

Seperti anamnesis pada umumnya, anamnesis pada kasus-kasus hematology

ditujukan untuk mengeksplorasi:

a. Riwayat penyakit sekarang

b. Riwayat penyakit terdahulu

c. Riwayat gizi

d. Anamnesis mengenai lingkungan, pemaparan bahan kimia dan fisik serta

riwayat pemakaian obat.

e. Riwayat keluarga

Page 42: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara sistematik dan menyeluruh.

Perhatian khusus diberikan pada berikut:

a. Warna kulit: pucat, plethora, sianosis, ikterus, kulit telapak tangan kuning

seperti jerami.

b. Purpura: petechi dan echymosis

c. Kuku: koilonychia (kuku sendok)

d. Mata: ikterus, konjungtiva pucat, perubahan fundus

e. Mulut: ulserasi, hipertrofi gusi, perdarahan gusi, atrofi papil lidah, glossitis dan

stomatitis angularis.

f. Limfadenopati

g. Hepatomegali

h. Splenomegali

i. Nyeri tulang dan nyeri sternum

j. Hemarthrosis atau ankilosis sendi

k. Pembengkakan testis

l. Pembengkakan parotis

m. Kelainan sistem saraf.

3. Pemeriksaan Hematologik

Pemeriksaan hematologik dilakukan secara bertahap. Pemeriksaan

berikutnya dilakukan dengan memperhatikan hasil pemeriksaan terdahulu sehingga

lebih terarah dan efisien. Pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan meliputi :

a. Tes penyaring: tes ini dikerjakan pada tahap awal pada setiap kasus anemia.

Dengan pemeriksaan ini maka dapat dipastikan adanya anemi dan bentuk

morfologi anemia tersebut. Pemeriksaan ini meliputi :

i. Kadar hemoglobin

ii. Indeks eritrosit (MCV, MCH dan MCHC). Dengan perkembangan

electronic counting dibidang hematologi maka hasil Hb, WBC (darah

Page 43: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

putih) dan Plt (trombosit) serta indeks eritrosit dapat dikeahui sekaligus.

Dengan pemeriksaan yang baru ini maka juga diketahui RDW ( red cell

distribution width) yang menunjukkan tingkat anisositosis sel darah

merah.

iii. Apusan darah tepi.

b. Pemeriksaan rutin: pemeriksaan ini juga dikerjakan pada semua kasus anemia,

untuk mengetahui kelainan pada system leukosit dan trombosit. Pemeriksaan

yang harus dikerjakan adalah:

i. Laju endap darah;

ii. Hitung diferensial;

iii. Hitung retikulosit.

c. Pemeriksaan sumsum tulang; pemeriksaan ini harus dikerjakan pada sebagian

besar kasus anemia untuk mendapatkan diagnosis definitive meskipun ada

beberapa kasus yang diagnosisny tidak perlu memelukan pemeriksaan sumsum

tulang.

d. Pemeriksaan atas indikasi khusus: pemeriksaan ini baru dikerjakan jika kita

telah mempunyai dugaan diagnosis awal sehingga fungsinya adalah untuk

mengkonfirmasi dugaan diagnosis tersebut. Pemeriksaan tersebut antara lain:

i. Anemia defisiensi besi: serum iron, TIBC, saturasi transferrin, dan ferritin

serum:

ii. Anemia megaloblastik : asam folat darah/eritrosit, vitamin B12.

iii. Anemia hemolitik: hitug retikulosit, tes Coombs, elektroforesis Hb;

iv. Anemia pada leukemia akut: pemeriksaan sitokimia.

4. Pemeriksaan laboratorium nonhematologik: pemeriksaan-pemeriksaan yang perlu

dikerjakan antara lain:

Page 44: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

a. faal ginjal

b. faal endokrin

c. asam urat

d. faal hati

e. biakan kuman

f. dan lain-lain

Berbagai jenis anemia dapat disebabkan oleh penyakit sitemik, seperti gagal

ginjal kronik, penyakit hati kronik, dan hipotiroidisme. Ada juga kasus anemia yang

disebabkan oleh penyakit dasar yang disertai hiperurisemia, seperti myeloma

multiple. Pada kasus anemia yang disertai sepsis, seperti pada anemia aplastic

diperlukan kultur darah.

5. Pemeriksaan Penunjang lain

Pada beberapa kasus anemia diperlukan pemeriksaan penunjang seperti:

a. Biopsi kelenjar yang dilanjutkan dengan pemeriksaan histopatologi

b. Radiologi: torak, bone survey, USG, scanning, limfangiografi

c. Pemeriksaan sitogenetik

d. Pemeriksaan biologi molekuler (PCR = polymerase chain reaction, FISH =

fluorescence in situ hybridization, dan lain-lain)

Strategi Diagnosis Kasus Anemia

Untuk menegakkan diagnosis anemia harusditempuh 3 langkah, yaitu:

1. Langkah pertama: membuktikan adanya anemia

2. Langkah kedua: menetapkan jenis anemia yang dijumpai

3. Langkah ketiga: menentukan penyebab anemia tersebut.

Untuk dapat melaksanakan ketiga langkah tersebut dilakukan.

1. Pendekatan klinik;

Page 45: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

2. Pendekatan laboratorik;

3. Pendekatan epidemiologic.

Pendekatan klinik bergantung pada anmnesia dan pemeriksaan fisik yang baik

untuk dapat mencari adanya sindroma anemia, tanda-tanda khsa masing-masing

anemia, srta gejala penyakit dasar. Sementara itu, pendekatan laboratorik dilakukan

dengan menganalisis hasil pemeriksaan laboratorium menurut tahapan-tahapannya:

pemeriksaan penyaring, pemeriksaan rutin dan pemeriksaan khusus. Pendekatan

epidemiologic sangat penting dalam tahap penentuan etiologi. Dengan mengetahui

pola etiologi anemia di suatu daerah maka petunjuk menuju diagnosis etiologic lebih

mudah dikerjakan.

7. Differential diagnostik :

ANEMIA APLASTIK

Definisi

Anemia aplastik adalah anemia yang disertai oleh pansitopenia (atau

basitopenia) pada darah tepi yang disebabkan oleh kelainan primer pada sumsum

tulang dalam bentuk aplasia atau hipoplasia tanpa adanya infiltrasi, supresi atau

pendesakan sumsum tulang. Karena sumsum tulang pada sebagian besar kasus

bersifat hipoplastik, bukan aplastik total, maka anemia ini disebut juga anemia

hipoplastik.

Klasifikasi

Anemia aplastik dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

a. Anemia aplastik didapat (acquired aplastic anemia)

1. Karena bahan kimia atau fisik

- Bahan-bahan yang “dose dependent”

- Bahan-bahan yang “dose independent”

Page 46: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

2. Anemia aplastik/hipoplastik karena sebab-sebab lain : infeksi virus

(dengue, hepatitis), infeksi mikrobakterial, kehamilan, penyakit Simmond,

sklerosis tiroid.

3. Idiopatik

b. Familial antara lain :

- Pansitopenia konstitusional Fanconi

- Defisiensi pancreas pada anak

- Gangguan herediter pemasukan asam folat dalam sel

Epidemiologi

Anemia aplastik tergolong penyakit yang jarang dengan insiden di Negara

maju : 3-6 kasus/1 juta penduduk/tahun. Epidemiologi anemia aplastik di timur

jauh mempunyai pola yang berbeda dengan di Negara barat.

a. Di Negara Timur (Asia Tenggara dan Cina) insidensinya 2-3 kali lebih

tinggi dibandingkan dengan di Negara barat

b. Laki-laki lebih sering terkena dibandingkan dengan wanita

c. Faktor lingkungan, mungkin infeksi virus, antara lain virus hepatitis,

diduga memegang peranan penting

Etiologi

Penyebab anemia aplastik sebagian besar (50-70%) tidak di ketahui, atau

bersifat idiopatik. Kesulitan dalam mencari penyebab penyakit ini disebabkan

oleh proses penyakit yang berlangsung perlahan-lahan. Disamping itu juga

disebabkan oleh belum tersedianya model binatang percobaan yang tepat.

Sebagian besar penelususran etiologi dilakukan melalui penelitian epidemiologik.

Penyebab anemia aplastik adalah :

1. Primer

Page 47: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

Kelainan congenital :

- Fanconi

- nonFanconi

- dyskeratosis congenital

2. Sekunder

a. Akibat radiasi, bahan kimia atau obat

b. Akibat obat-obat idiosinkratik

c. Karena penyebab lain :

- Infeksi virus : hepatitis virus/virus lain

- Akibat kehamilan

Bahan kimia atau obat penyebab anemia aplastik

1. Bahan kimia

a. Hidrokarbon siklik : benzene dan trinitrotoluene

b. Insektisida : chlordane atau DDT

c. Arsen organic

2. Obat-obatan

a. Obat-obat yang “dose dependent”

- Obat sitostatika

- Preparat emas

b. Obat yang “dose independent” (idiosinkratik):

1) Khloramfenikol : 1/60.000-1/20.000 pemakaian

2) Frekuensi relative obat penyebab anemia aplastik terdiri atas :

- Khloramfenikol (61%)

- Fenilbutason (19%)

- Antikonvulsan (4%)

- Sulfonamide (3%)

- Preparat emas (3%)

- Benzene (3%)

Page 48: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

- Insektisida (4%)

- Bahan pelarut (4%)

Patofisiologi

Mekanisme terjadinya anemia aplastik diperkirakan melalui :

a. Kerusakan sel induk (seed theory)

b. Kerusakan lingkungan mikro (soil theory)

c. Mekanisme imunologik

Kerusakan induk dapat dibuktikan secara tida langsung melalui

keberhasilan trasplantasi sumsum tulang pada penderita anema aplastik, yang

berarti bahwa penggantian sel induk dapat memperbaiki proses patologik yang

terjadi. Teori kerusakan lingkungan mikro dibuktikan melalui tikus percobaan

yang diberikan radiasi, sedangkan teori imunologik ini dibuktikan secara tidak

langsung melalui keberhasilan pengobatan imunosupresif. Kelainan imunologik

diperkirakan menjadi penyebab dasar dari kerusakan sel induk atau lingkungan

mikro sumsum tulang.

Gejala Klinik

Gejala klinik anemia aplastik timbul akibat adanya anemia, leukopeia dan

trombositopenia. Gejala ini dapat berupa:

a. Sindrom anemia : gejala anemia bervariasi mulai dari ringan sampai berat

b. Gejala perdarahan : paling sering timbul dalam bentuk perdarahan kulit

petechie dan echymosis. Perdarahan mukosa dapat berupa epistaxis,

perdarahan subkonjungtiva, perdarahan gusi hematemesis/melena dan

pada wanita dapat berupa menorhagia. Perdarahan organ dalam lebih

jarang dijumpai, tetapi jika terjadi perdarahan otak sering bersifat fatal.

Page 49: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

Tergolong anemia aplastik sangat berat bila netrofil <0,2x109/L. Anemia

aplastik yang lebih ringan dari anemia aplastik berat disebut anemia

apastik tidak berat (nonsevere aplastic anemia).

Terapi

Secara garis besarnya terapi untuk anemia aplastik terdiri atas :

a. Terapi kausal

b. Terapi supertif

c. Terapi untuk memperbaiki fungsi sumsum tulang : terapi untuk

merangsang pertumbuhan sumsum tulang

d. Terapi definitif yang terdiri atas :

- Pemakaian anti-lymphocyte globuline

- Transplantasi sumsum tulang

Prognosis dan perjalanan penyakit

Prognosis dan perjalanan penyakit anemia aplastik sangat bervariasi, tetapi

tanpa pengobatan pada umumnya memberikan prognosis yang buruk. Prognosis dapat

dibagi tiga, yaitu :

a. Kasus berat dan progresif, rata-rata mati dalam 3 bulan : merupakan 10-

15% kasus

b. Penderita dengan perjalanan penyakit kronik dengan remisi dan relapse.

Meninggal dalam 1 tahun, merupakan 50% kasus

c. Penderita yang mengalami remisi sempurn atau parsial, hanya merupakan

bagian kecil penderita

MULTIPEL MYELOMA

Page 50: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

Definisi

Multipel mieloma adalah suatu kanker sel plasma dimana sel plasma imatur

dan matur yang abnormal berkembangbiak, membentuk tumor di sumsum tulang dan

menghasilkan sejumlah besar antibodi yang abnormal, yang terkumpul di dalam

darah atau air kemih.

Etiologi

Belum diketahui penyebab pasti dari multiple myeloma. Ada beberapa

penelitian yang menunjukan bahwa faktor-faktor risiko tertentu meningkatkan

kesempatan seseorang akan mengembangkan penyakit multiple myeloma,

diantaranya :

Umur diatas 65 tahun : Tumbuh menjadi lebih tua meningkatkan kesempatan

mengembangkan multiple myeloma. Kebanyakan orang-orang dengan myeloma

terdiagnosa setelah umur 65 tahun. Penyakit ini jarang pada orang-orang yang lebih

muda dari umur 35 tahun.

Ras (Bangsa) : Risiko dari multiple myeloma adalah paling tinggi diantara orang-

orang Amerika keturunan Afrika dan paling rendah diantara orang-orang Amerika

keturunan Asia. Sebab untuk perbedaan antara kelompok-kelompok ras belum

diketahui.

Jenis Kelamin : Setiap tahun di Amerika, kira-kira 11.200 pria dan 8.700 wanita

terdiagnosa dengan multiple myeloma. Tidak diketahui mengapa lebih banyak pria-

pria terdiagnosa dengan penyakit ini.

Sejarah perorangan dari monoclonal gammopathy of undetermined significance

(MGUS) : MGUS adalah kondisi yang tidak membahayakan dimana sel-sel plasma

abnormal membuat protein-protein M. Biasanya, tidak ada gejala-gejala, dan tingkat

Page 51: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

yang abnormal dari protein M ditemukan dengan tes darah. Adakalanya, orang-orang

dengan MGUS mengembangkan kanker-kanker tertentu, seperti multiple myeloma.

Tidak ada perawatan, namun orang-orang dengan MGUS memperoleh tes-tes laborat

regular (setiap 1 atau 2 tahun) untuk memeriksa peningkatan lebih lanjut pada tingkat

protein M.

Sejarah multiple myeloma keluarga : Studi-studi telah menemukan bahwa risiko

multiple myeloma seseorang mungkin lebih tinggi jika saudara dekatnya mempunyai

penyakit ini.

Banyak faktor-faktor risiko lain yang dicurigai sedang dipelajari. Para peneliti

telah mempelajari apakah terpapar pada kimia-kimia atau kuman-kuman tertentu

(terutama virus-virus), yang mempunyai perubahan-perubahan pada gen-gen tertentu,

memakan makanan-makanan tertentu, atau menjadi kegemukan (obesitas)

meningkatkan risiko mengembangkan multiple myeloma.

Patofisiologi

Limfosit B mulai di sumsum tulang dan pindah ke kelenjar getah bening. Saat

limfosit B dewasa dan menampilkan protein yang berbeda pada permukaan sel.

Ketika limfosit B diaktifkan untuk mengeluarkan antibodi, dikenal sebagai sel

plasma.

Multiple myeloma berkembang di limfosit B setelah meninggalkan bagian

dari kelenjar getah bening yang dikenal sebagai pusat germinal. Garis sel normal

paling erat hubungannya dengan sel Multipel mieloma umumnya dianggap baik

sebagai sel memori diaktifkan B atau para pendahulu untuk sel plasma, plasmablast

tersebut.

Page 52: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

Sistim kekebalan menjaga proliferasi sel B dan sekresi antibodi di bawah

kontrol ketat. Ketika kromosom dan gen yang rusak, seringkali melalui penataan

ulang, kontrol ini hilang. Seringkali, bergerak gen promotor (atau translocates) untuk

kromosom yang merangsang gen antibodi terhadap overproduksi.

Sebuah translokasi kromosom antara gen imunoglobulin rantai berat (pada

kromosom keempat belas, 14q32 lokus) dan suatu onkogen (sering 11q13, 4p16.3,

6p21, 16q23 dan 20q11) sering diamati pada pasien dengan multiple myeloma. Hal

ini menyebabkan mutasi diregulasi dari onkogen yang dianggap peristiwa awal yang

penting dalam patogenesis myeloma. Hasilnya adalah proliferasi klon sel plasma dan

ketidakstabilan genomik yang mengarah ke mutasi lebih lanjut dan translokasi. 14

kelainan kromosom yang diamati pada sekitar 50% dari semua kasus myeloma.

Penghapusan (bagian dari) ketiga belas kromosom juga diamati pada sekitar 50%

kasus. Produksi sitokin (terutama IL-6) oleh sel plasma menyebabkan banyak

kerusakan lokal mereka, seperti osteoporosis, dan menciptakan lingkungan mikro di

mana sel-sel ganas berkembang. Angiogenesis (daya tarik pembuluh darah baru)

meningkat. Antibodi yang dihasilkan disimpan dalam berbagai organ, yang

menyebabkan gagal ginjal, polineuropati dan berbagai gejala myeloma terkait

lainnya.

Manifestasi Klinis

Multipel mieloma seringkali menyebabkan nyeri tulang (terutama pada tulang

belakang atau tulang rusuk) dan pengeroposan tulang sehingga tulang mudah patah.

Nyeri tulang biasanya merupakan gejala awal, tetapi kadang penyakit ini terdiagnosis

setelah penderita mengalami :

Page 53: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

1. Anemia, karena sel plasma menggeser sel-sel normal yang menghasilkan sel

darah merah di sumsum tulang.

2. Infeksi bakteri berulang, karena antibodi yang abnormal tidak efektif melawan

infeksi.

3. Gagal ginjal, karena pecahan antibodi yang abnormal (protein Bence-Jones)

merusak ginjal.

Terkadang multipel mieloma mempengaruhi aliran darah ke kulit, jari tangan,

jari kaki dan hidung karena terjadi pengentalan darah (sindroma hiperviskositas).

Berkurangnya aliran darah ke otak bisa menyebabkan gejala neurologis berupa

kebingungan, gangguan penglihatan dan sakit kepala.

Diagnosis

Beberapa pemeriksaan darah bisa membantu dalam mendiagnosis penyakit ini:

1. Hitung jenis darah komplit, bisa menemukan adanya anmeia dan sel darah

merah yang abnormal.

2. Laju endap sel darah merah (eritrosit) biasanya tinggi.

3. Kadar kalsium tinggi, karena perubahan dalam tulang menyebabkan kalsium

masuk ke dalam aliran darah.

Tetapi kunci dari pemeriksaan diagnostik untuk penyakit ini adalah

elektroforesis protein serum dan imunoelektroforesis, yang merupakan pemeriksaan

darah untuk menemukan dan menentukan antibodi abnormal yang merupakan tanda

khas dari mieloma multipel. Antibodi ini ditemukan pada sekitar 85% penderita.

Elektroforesisi air kemih dan imunoelektroforesis juga bisa menemukan adanya

protein Bence-Jones, pada sekitar 30-40% penderita. Rontgen seringkali

menunjukkan pengeroposan tulang (osteoporosis). Biopsi sumsum tulang

Page 54: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

menunjukkan sejumlah besar sel plasma yang secara abnormal tersusun dalam

barisan dan gerombolan, sel-sel juga tampak abnormal.

Pengobatan

Pengobatan ditujukan untuk :

1. Mencegah atau mengurangi gejala dan komplikasi

2. Menghancurkan sel plasma yang abnormal

3. Memperlambat perkembangan penyakit.

Penatalaksanaan

1. Obat pereda nyeri (analgetik) yang kuat dan terapi penyinaran pada tulang

yang terkena, bisa mengurangi nyeri tulang.

2. Penderita yang memiliki protein Bence-Jones di dalam air kemihnya harus bayak

minum untuk mengencerkan air kemih dan membantu mencegah dehidrasi, yang

bisa menyebabkan terjadinya gagal ginjal.

3. Penderita harus tetap aktif karena tirah baring yang berkepanjangan bisa

mempercepat terjadinya osteoporosis dan menyebabkan tulang mudah patah.

Tetapi tidak boleh lari atau mengangkat beban berat karena tulang-tulangnya

rapuh.

4. Pada penderita yang memiliki tanda-tanda infeksi (demam, menggigil,

daerah kemerahan di kulit) diberikan antibiotik.

5. Penderita dengan anemia berat bisa menjalani transfusi darah atau mendapatkan

eritropoetin (obat untuk merangsang pembentukan sel darah merah). Kadar

kalsium darah yang tinggi bisa diobati dengan prednison dan cairan intravena, dan

kadang dengan difosfonat (obat untuk menurunkan kadar kalsium). Allopurinol

diberikan kepada penderita yang memiliki kadar asam urat tinggi.

Page 55: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

6. Kemoterapi memperlambat perkembangan penyakit dengan membunuh sel

plasma yang abnormal. Yang paling sering digunakan adalah melfalan dan

siklofosfamid. Kemoterapi juga membunuh sel yang normal, karena itu sel darah

dipantau dan dosisnya disesuaikan jika jumlah sel darah putih dan trombosit

terlalu banyak berkurang. Kortikosteroid (misalnya prednison atau deksametason)

juga diberikan sebagai bagian dari kemoterapi.

7. Kemoterapi dosis tinggi dikombinasikan dengan terapi penyinaran masih dalam

penelitian. Pengobatan kombinasi ini sangat beracun, sehingga sebelum

pengobatan sel stem harus diangkat dari darah atau sumsum tulang penderita dan

dikembalikan lagi setelah pengobatan selesai. Biasanya prosedur ini dilakukan

pada penderita yang berusia dibawah 50 tahun. Pada 60% penderita, pengobatan

dapat memperlambat perkembangan penyakit. Penderita yang memberikan respon

terhadap kemoterapi bisa bertahan sampai 2-3 tahun setelah penyakitnya

terdiagnosis. Kadang penderita yang bertahan setelah menjalani pengobatan, bisa

menderita leukemia atau jaringan fibrosa (jaringan parut) di sumsum tulang.

Komplikasi lanjut ini mungkin merupakan akibat dari kemoterapi dan seringkali

menyebabkan anemia berat dan meningkatkan kepekaan penderita terhadap

infeksi.

Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium

Anemia normositik normokrom ditemukan pada hampir 70% kasus. Jumlah

leukosit umumnya normal. Trombositopenia ditemukan pada sekitar 15% pasien yang

terdiagnosis. Adanya sel plasma pada apusan darah tepi jarang mencapai 5%, kecuali

pada pasien dengan leukemia sel plasma. Formasi Rouleaux ditemukan pada 60%

Page 56: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

pasien. Hiperkalsemiadite mukan pada 30% pasien saat didiagnosis. Sekitar

seperempat hingga setengah yang didiagnosis akan mengalami gangguan fungsi

ginjal dan 80% pasien menunjukkan proteinuria, sekitar 50% proteinuria Bence Jones

yang dikonfirmasi dengan imunoelektroforesis atau imunofiksasi.

Radiologi

1. Foto Polos X-Ray

Gambaran foto x-ray dari multipel mieloma berupa lesi multipel, berbatas

tegas, litik, punch out, dan bulat pada tengkorak, tulang belakang, dan pelvis. Lesi

terdapat dalam ukuran yang hampir sama. Lesi lokal ini umumnya berawal di rongga

medulla , mengikis tulang cancellous, dan secara progresif menghancurkan tulang

kortikal. Sebagai tambahan, tulang pada pasien mieloma, dengan sedikit

pengecualian, mengalami demineralisasi difus. Pada beberapa pasien, ditemukan

gambaran osteopenia difus pada pemeriksaan radiologi. Saat timbul gejala sekitar 80-

90% di antaranya telah mengalami kelainan tulang. Film polos memperlihatkan:

Osteoporosis umum dengan penonjolan pada trabekular tulang, terutama

tulang belakang yang disebabkan oleh keterlibatan sumsum pada jaringan mieloma.

Hilangnya densitas tulang belakang mungkin merupakan tanda radiologis satu-

satunya pada mieloma multiple. Fraktur patologis sering dijumpai.

1. Fraktur kompresi pada badan vertebra, tidak dapat dibedakan dengan

osteoprosis senilis.

2. Lesi-lesi litik “punch out” yang menyebar dengan batas yang jelas, lesi yang

berada di dekat korteks menghasilkan internal scalloping.

3. Ekspansi tulang dengan perluasan melewati korteks , menghasilkan massa

jaringan lunak.

Page 57: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

Walaupun semua tulang dapat terkena, distribusi berikut ditemukan pada suatu

penelitian yang melibatkan banyak kasus : kolumna vertebra 66%, iga 44%,

tengkorak 41%, panggul 28%, femur 24%, klavicula 10% dan scapula 10%.

CT-Scan

CT Scan menggambarkan keterlibatan tulang pada mieloma. Namun,

kegunaan modalitas ini belum banyak diteliti, dan umumnya CT Scan tidak

dibutuhkan lagi karena gambaran pada foto tulang konvensional menggambarkan

kebanyakan lesi yang CT scan dapat deteksi.

MRI

MRI potensial digunakan pada multiple mieloma karena modalitas ini baik

untuk resolusi jaringan lunak. Secara khusus, gambaran MRI pada deposit mieloma

berupa suatu intensitas bulat, sinyal rendah yang fokus di gambaran T1, yang menjadi

intensitas sinyal tinggi pada sekuensi T2.

Namun, hampir setiap tumor muskuloskeletal memiliki intensitas dan pola

menyerupai mieloma. MRI meskipun sensitif terhadap adanya penyakit namun tidak

spesifik. Pemeriksaan tambahan untuk diagnosis multiple mieloma seperti

pengukuran nilai gamma globulin dan aspirasi langsung sumsum tulang untuk

menilai plasmasitosis. Pada pasien dengan lesi ekstraosseus, MRI dapat berguna

untuk menentukan tingkat keterlibatan dan untuk mengevaluasi kompresi tulang.

DAFTAR PUSTAKA

1. Prof.Dr. I Made Bakta. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC

Page 58: Laporan PBL Skenario 3 (Pucat)

2. Robbins,dkk. 2012. Buku Ajar Patologi Volume 2 Edisi 7. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC

3. Hoffbrand,dkk. 2002. Leukimia dalam: Buku Hematologi Edisi 4. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC

4. Kurnianda J, dkk. 2007. Hematologi dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid

2 Edisi 4. Jakarta: FK UI