kumpulan lp r-8 - fix

Upload: merchilliea-esonavy-gyana

Post on 06-Jan-2016

44 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

hmhj

TRANSCRIPT

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Ny. A DENGAN P2002 Ab000 POST SC HARI KE-1 e.c PROM 12 JAM + USIA > 35 TAHUN + FC DI RUANG 8 OBSTETRIK RSUD Dr. SAIFUL ANWAR

MALANG

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Individu Departemen Maternitas

Oleh :

Merchilliea Eso Navy Gyana 115070200111046Kelompok 17 PSIK A 2011JURUSAN KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2015HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Ny. A DENGAN P2002 Ab000 POST SC HARI KE 1 e.c PROM 12 JAM + USIA > 35 TAHUN + FC

DI RUANG 8 OBSTETRIK RSUD Dr. SAIFUL ANWAR

MALANG

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Individu Departemen Maternitas

di RSUD Dr. SAIFUL ANWAR

MALANG

Oleh :

Merchilliea Eso Navy Gyana 115070200111046Kelompok 17 PSIK A 2011

Menyetujui,

Pembimbing Akademik,

Pembimbing Klinik, (......)

(....)

SECTIO CAESAREA

1. Definisi

Sectio caesarea adalah suatu persalinan buatan, dimana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan sayatan rahim dalam keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram (Sarwono, 2005, hal. 133).

Sectio caesarea atau bedah sesar adalah sebuah bentuk melahirkan anak dengan melakukan sebuah irisan pembedahan yang menembus abdomen seorang ibu (laparotomi) dan uterus (hiskotomi) untuk mengeluarkan satu bayi atau lebih (Dewi Y, 2007, hal. 1-2). Sehingga penulis dapat menyimpulkan bahwa sectio caesarea adalah suatu tindakan operasi yang bertujuan untuk melahirkan bayi dengan jalan pembukaan dinding perut.

2. Jenis-Jenis Sectio Caesarea a. Abdomen (sectio caesarea abdominalis)

1) Sectio caesarea transperitonealis:

a) SC klasik atau corporal (dengan insisi memanjang pada corpus uteri).

Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri kira-kira 10 cm.

Kelebihan:

Mengeluarkan janin dengan cepat.

Tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih tertarik.

Sayatan bisa diperpanjang proksimal atau distal.

Kekurangan:

Infeksi mudah menyebar secara intra abdominal karena tidak adareperitonealis yang baik.

Untuk persalinan yang berikutnya lebih sering terjadi ruptureuteri spontan.

b) SC ismika atau profundal (low servical dengan insisi pada segmenbawah rahim).

Dilakukan dengan melakukan sayatan melintang konkat pada segmenbawah rahim (low servical transversal) kira-kira 10 cm.

Kelebihan:

Penjahitan luka lebih mudah.

Penutupan luka dengan reperitonealisasi yang baik.

Tumpang tindih dari peritoneal flap baik sekali untuk menahanpenyebaran isi uterus ke rongga peritoneum.

Perdarahan tidak begitu banyak.

Kemungkinan rupture uteri spontan berkurang atau lebih kecil.

Kekurangan:

Luka dapat melebar kekiri, kanan, dan bawah sehingga dapatmenyebabkan uteri uterine pecah sehingga mengakibatkanperdarahan banyak.

Keluhan pada kandung kemih post operasi tinggi.

2) SC ekstra peritonealis yaitu tanpa membuka peritoneum parietalis dengandemikian tidak membuka cavum abdominal.

b. Vagina (section caesarea vaginalis)

Menurut sayatan pada rahim, sectio caesarea dapat dilakukan sebagaiberikut:

1) Sayatan memanjang (longitudinal).

2) Sayatan melintang (transversal).

3) Sayatan huruf T (T insicion).3. Indikasi sectio cesarea

Para ahli kandungan menganjurkan sectio caesarea apabila kelahiran melalui vagina mungkin membawa resiko pada ibu dan janin. Indikasi untuk sectsio caesarea antara lain meliputi:

a. Indikasi Medis

Ada 3 faktor penentu dalam proses persalinan yaitu :

1) Power : Yang memungkinkan dilakukan operasi caesar, misalnya daya mengejan lemah, ibu berpenyakit jantung atau penyakit menahun lain yang mempengaruhi tenaga.

2) Passanger : Diantaranya, anak terlalu besar, anak mahal dengan kelainan letak lintang, primi gravida diatas 35 tahun dengan letak sungsang, anak tertekan terlalu lama pada pintu atas panggul, dan anak menderita fetal distress syndrome (denyut jantung janin kacau dan melemah).

3) Passage : Kelainan ini merupakan panggul sempit, trauma persalinan serius pada jalan lahir atau pada anak, adanya infeksi pada jalan lahir yang diduga bisa menular ke anak, umpamanya herpes kelamin (herpes genitalis), condyloma lota (kondiloma sifilitik yang lebar dan pipih), condyloma acuminata (penyakit infeksi yang menimbulkan massa mirip kembang kol di kulit luar kelamin wanita), hepatitis B dan hepatitis C. (Dewi Y, 2007, hal. 11-12)

b. Indikasi Ibu

1) Usia : Ibu yang melahirkan untuk pertama kali pada usia sekitar 35 tahun, memiliki resiko melahirkan dengan operasi. Apalagi pada wanita dengan usia 40 tahun ke atas. Pada usia ini, biasanya seseorang memiliki penyakit yang beresiko, misalnya tekanan darah tinggi, penyakit jantung, kencing manis, dan preeklamsia. Eklampsia (keracunan kehamilan) dapat menyebabkan ibu kejang sehingga dokter memutuskan persalinan dengan sectio caesarea.

2) Tulang Panggul : Cephalopelvic diproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat menyebabkan ibu tidak melahirkan secara alami. Tulang panggul sangat menentukan mulus tidaknya proses persalinan.

3) Persalinan Sebelumnya dengan sectio caesarea : Sebenarnya, persalinan melalui bedah caesar tidak mempengaruhi persalinan selanjutnya harus berlangsung secara operasi atau tidak. Apabila memang ada indikasi yang mengharuskan dilakukanya tindakan pembedahan, seperti bayi terlalu besar, panggul terlalu sempit, atau jalan lahir yang tidak mau membuka, operasi bisa saja dilakukan.

4) Faktor Hambatan Jalan Lahir : Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang kaku sehingga tidak memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor dan kelainan bawaan pada jalan lahir, tali pusat pendek, dan ibu sulit bernafas.

5) Kelainan Kontraksi Rahim : Jika kontraksi rahim lemah dan tidak terkoordinasi (inkordinate uterine action) atau tidak elastisnya leher rahim sehingga tidak dapat melebar pada proses persalinan, menyebabkan kepala bayi tidak terdorong, tidak dapat melewati jalan lahir dengan lancar.

6) Ketuban Pecah Dini : Robeknya kantung ketuban sebelum waktunya dapat menyebabkan bayi harus segera dilahirkan. Kondisi ini membuat air ketuban merembes ke luar sehingga tinggal sedikit atau habis. Air ketuban (amnion) adalah cairan yang mengelilingi janin dalam rahim.

7) Rasa Takut Kesakitan : Umumnya, seorang wanita yang melahirkan secara alami akan mengalami proses rasa sakit, yaitu berupa rasa mulas disertai rasa sakit di pinggang dan pangkal paha yang semakin kuat dan menggigit. Kondisi tersebut karena keadaan yang pernah atau baru melahirkan merasa ketakutan, khawatir, dan cemas menjalaninya. Hal ini bisa karena alasan secara psikologis tidak tahan melahirkan dengan sakit. Kecemasan yang berlebihan juga akan mengambat proses persalinan alami yang berlangsung (Kasdu, 2003, hal. 21-26).

c. Indikasi Janin

1) Ancaman Gawat Janin (fetal distress) : Detak jantung janin melambat, normalnya detak jantung janin berkisar 120- 160. Namun dengan CTG (cardiotography) detak jantung janin melemah, lakukan segera sectio caesarea segara untuk menyelematkan janin.

2) Bayi Besar (makrosemia) 3) Letak Sungsang : Letak yang demikian dapat menyebabkan poros janin tidak sesuai dengan arah jalan lahir. Pada keadaan ini, letak kepala pada posisi yang satu dan bokong pada posisi yang lain.

4) Faktor Plasenta

a) Plasenta previa : Posisi plasenta terletak dibawah rahim dan menutupi sebagian atau selruh jalan lahir.

b) Plasenta lepas (Solution placenta) : Kondisi ini merupakan keadaan plasenta yang lepas lebih cepat dari dinding rahim sebelum waktunya. Persalinan dengan operasi dilakukan untuk menolong janin segera lahir sebelum ia mengalami kekurangan oksigen atau keracunan air ketuban. c) Plasenta accreta : Merupakan keadaan menempelnya plasenta di otot rahim. Pada umumnya dialami ibu yang mengalami persalinan yang berulang kali, ibu berusia rawan untuk hamil (di atas 35 tahun), dan ibu yang pernah operasi (operasinya meninggalkan bekas yang menyebabkan menempelnya plasenta.

5) Kelainan Tali Pusat

a) Prolapsus tali pusat (tali pusat menumbung) : keadaan penyembulan sebagian atau seluruh tali pusat. Pada keadaan ini, tali pusat berada di depan atau di samping atau tali pusat sudah berada di jalan lahir sebelum bayi.

b) Terlilit tali pusat : Lilitan tali pusat ke tubuh janin tidak selalu berbahaya. Selama tali pusat tidak terjepit atau terpelintir maka aliran oksigen dan nutrisi dari plasenta ke tubuh janin tetap aman.(Kasdu, 2003, hal. 13-18).

4. Prosedur Tindakan

a. Izin Keluarga

Pihak rumah sakit memberikan surat yang harus ditanda tangani oleh keluarga, yang isinya izin pelaksanaan operasi.

b. Pembiusan

Pembiusan dilkakukan dengan bius epidural atau spinal. Dengan cara ini ibu akan tetap sadar tetapi ibu tidak dapat melihat proses operasi karena terhalang tirai.

c. Disterilkan

Bagian perut yang akan dibedah, disterilkan sehingga diharapkan tidak ada bakteri yang masuk selama operasi.

d. Pemasangan Alat

Alat-alat pendukung seperti infus dan kateter dipasangkan. macam peralatan yang dipasang disesuaikan dengan kondisi ibu.

e. Pembedahan

Setelah semua siap, dokter akan melakukan sayatan demi sayatan sampai mencapai rahim dan kemudian selaput ketuban dipecahkan. Selanjutnya dokter akan mengangkat bayi berdasarkan letaknya.

f. Mengambil Plasenta

Setelah bayi lahir, selanjutnya dokter akan mengambil plasenta. g. Menjahit

Langkah terakhir adalah menjahit sayatan selapis demi selapis sehingga tetutup semua.

(Juditha, dkk, 2009, hal. 90-91)

5. Komplikasi

Komplikasi Sectio Caesaria Menurut Farrer (2001) adalah :

a. Nyeri pada daerah insisi,

b. Perdarahan primer sebagai akibat kegagalan mencapai homeostatis karena insisi rahim atau akibat atonia uteri yang dapat terjadi setelah pemanjangan masa persalinan,

c. Sepsis setelah pembedahan, frekuensi dari komplikasi ini lebih besar bila sectio caesaria dilaksanakan selama persalinan atau bila terdapat infeksi dalam rahim,

d. Cidera pada sekeliling struktur usus besar, kandung kemih yang lebar dan ureter,

e. Infeksi akibat luka pasca operasi,

f. Bengkak pada ekstremitas bawah,

g. Gangguan laktasi,

h. Penurunan elastisitas otot perut dan otot dasar panggul, dan

i. Potensi terjadinya penurunan kemampuan fungsional.

PREMATURE RUPTURE OF MEMBRANEDEFINISI DAN KLASIFIKASI

Ketuban pecah dini (KPD) adalah keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum persalinan. Bila KPD terjadi sebelum usia kehamilan (UK) 37 minggu maka disebut KPD pada kehamilan premature (Prawirohardjo, 2008). KPD alah selaput ketuban yang pecah sebelum terdapat / dimulainya tanda persalinan dan setelah ditunggu 1 jam belum ada tanda persalinan. (Manuaba, 2010). Berdasarkan usia kehamilan (Manjoer, 2001), dapat diklasifikasikan sebagai berikut :1. KPD pada usia kehamilan < 37 mingguKPD pada preterm ( pecahnya membrane chorio-amniotik sebelum tanda persalinan atau disebut juga PPROM (premature PRELABOUR rupture of membrane). Dengan insiden 2% kehamilan.

2. KPD pada usia kehamilan > 37 mingguKPD pada aterm ( pecahnya membrane chorio-amniotik sebelum tanda persalinan atau disebut juga PROM (premature rupture of membrane). Dengan insiden 6-19% kehamilan.

EPIDEMIOLOGI

Insiden ketuban pecah dini dilaporkan bervariasi sekitar 6 10 persen dimana sekitar 20 persen kasus terjadi sebelum memasuki masa getasi 37 minggu. Sekitar 8 10 persen ketuban pecah dini memiliki resiko infeksi intrauterine akibat interval ketuban pecah dan persalinan yang memanjang. Ketuban pecah dini berhubungan erat dengan30 44 persen persalinan pretermdimana 75 persen klien akan mengalami persalinan 1minggu lebih dini dari jadwal. (Wiknjosastro, 2007)Berdasarkan servei demografi dan kesehatan indonesia (SDKI) 2002/2003 angka kematian ibu di Indonesia masih berada pada angka 307 per 100.000 kelahiran hidup atau setiap jam nya terdapat 2 orang ibu meninggal karena bebrbagai sebab. Diantaranya 65 persen kematian terjadi akibat komplikasi dari ketuban pecah dini. (Wiknjosastro, 2007)FAKTOR RESIKOPenyebab KPD masih belum diketahui dan tidak dapat ditentukan secara pasti. Beberapa laporan menyebutkan faktor-faktor yang berhubungan erat dengan KPD, namun faktor-faktor mana yang lebih berperan sulit diketahui (Nugroho, 2011).Faktor-faktor predisposisi itu antara lain adalah:

1. Infeksi (amnionitis atau korioamnionitis).

Korioamnionitis adalah keadaan pada perempuan hamil dimana korion, amnion dan cairan ketuban terkena infeksi bakteri. Korioamnionitis merupakan komplikasi paling serius bagi ibu dan janin, bahkan dapat berlanjut menjadi sepsis (Prawirohardjo, 2008).

Membrana khorioamnionitik terdiri dari jaringan viskoelastik. Apabila jaringan ini dipacu oleh persalinan atau infeksi maka jaringan akan menipis dan sangat rentan untuk pecah disebabkan adanya aktivitas enzim kolagenolitik. Grup B streptococcus mikroorganisme yang sering menyebabkan amnionitis. Selain itu Bacteroides fragilis, Lactobacilli dan Staphylococcus epidermidis adalah bakteri-bakteri yang sering ditemukan pada cairan ketuban pada kehamilan preterm. Bakteri-bakteri tersebut dapat melepaskan mediator inflamasi yang menyebabkan kontraksi uterus. Hal ini menyebabkan adanya perubahan dan pembukaan serviks, dan pecahnya selaput ketuban (Varney, 2007).2. Riwayat ketuban pecah dini

Riwayat ketuban pecah dini sebelumnya beresiko 2-4 kali mengalami ketuban pecah dini kembali. Patogenesis terjadinya ketuban pecah dini secara singkat ialah akibat adanya penurunan kandungan kolagen dalam membrane sehingga memicu terjadinya ketuban pecah dini dan ketuban pecah dini preterm terutama pada pasien risiko tinggi (Nugroho, 2010).

Wanita yang mengalami ketuban pecah dini pada kehamilan atau menjelang persalinan maka pada kehamilan berikutnya wanita yang telah mengalami ketuban pecah dini akan lebih beresiko mengalaminya kembali antara 3-4 kali dari pada wanita yang tidak mengalami ketuban pecah dini sebelumnya, karena komposisi membran yang menjadi mudah rapuh dan kandungan kolagen yang semakin menurun pada kehamilan berikutnya. (Nugroho, 2010).3. Tekanan intra uterin

Tekanan intra uterin yang meningkat secara berlebihan (overdistensi uterus) misalnya hidramnion dan gemeli. Pada kelahiran kembar sebelum 37 minggu sering terjadi pelahiran preterm, sedangkan bila lebih dari 37 minggu lebih sering mengalami ketuban pecah dini (Nugroho, 2010).Perubahan pada volume cairan amnion diketahui berhubungan erat dengan hasil akhir kehamilan yang kurang bagus. Baik karakteristik janin maupun ibu dikaitkan dengan perubahan pada volume cairan amnion. Polihidramnion dapat terjadi akibat kelainan kongenital, diabetes mellitus, janin besar (makrosomia), kehamilan kembar, kelainan pada plasenta dan tali pusat dan penggunaan obat-obatan (misalnya propiltiourasil). Kelainan kongenital yang sering menimbulkan polihidramnion adalah defek tabung neural, obstruksi traktus gastrointestinal bagian atas, dan kelainan kromosom (trisomi 21, 18, 8, 13) komplikasi yang sering terjadi pada polihidramnion adalah malpresentasi janin, ketuban pecah dini, prolaps tali pusat, persalinan pretem dan gangguan pernafasan pada ibu (Prawirohardjo, 2008).

4. Serviks yang tidak lagi mengalami kontraksi (inkompetensia)

Serviks yang tidak lagi mengalami kontraksi (inkompetensia), didasarkan pada adanya ketidakmampuan serviks uteri untuk mempertahankan kehamilan. Inkompetensi serviks sering menyebabkan kehilangan kehamilan pada trimester kedua. Kelainan ini dapat berhubungan dengan kelainan uterus yang lain seperti septum uterus dan bikornis. Sebagian besar kasus merupakan akibat dari trauma bedah pada serviks pada konisasi, produksi eksisi loop elektrosurgical, dilatasi berlebihan serviks pada terminasi kehamilan atau laserasi obstetrik (Prawirohardjo, 2008).

5. Paritas

Paritas terbagi menjadi primipara dan multipara. Primiparitas adalah seorang wanita yang telah melahirkan bayi hidup atau mati untuk pertama kali. Multiparitas adalah wanita yang telah melahirkan bayi hidup atau mati beberapa kali (sampai 5 kali atau lebih) (Varney, 2007).

6. Kehamilan dengan janin kembar

Pada kehamilan kembar, evaluasi plasenta bukan hanya mencakup posisinya tetapi juga korionisitas kedua janin. Pada banyak kasus adalah mungkin saja menentukan apakah janin merupakan kembar monozigot atau dizigot. Selain itu, dapat juga ditentukan apakah janin terdiri dari satu atau dua amnion. Upaya membedakan ini diperlukan untuk memperbaiki resiko kehamilan. Pengawasan pada wanita hamil kembar perlu ditingkatkan untuk mengevaluasi resiko persalinan preterm. Gejala persalinan preterm harus ditinjau kembali dengan cermat setiap kali melakukan kunjungan (Nugroho, 2010).

Wanita dengan kehamilan kembar beresiko tinggi mengalami ketuban pecah dini juga preeklamsi. Hal ini biasanya disebabkan oleh peningkatan massa plasenta dan produksi hormon. Oleh karena itu, akan sangat membantu jika ibu dan keluarga dilibatkan dalam mengamati gejala yang berhubungan dengan preeklamsi dan tanda-tanda ketuban pecah (Varney, 2007).7. Usia ibu yang 20 tahun

Usia ibu yang 20 tahun, termasuk usia yang terlalu muda dengan keadaan uterus yang kurang matur untuk melahirkan sehingga rentan mengalami ketuban pecah dini. Sedangkan ibu dengan usia 35 tahun tergolong usia yang terlalu tua untuk melahirkan khususnya pada ibu primi (tua) dan beresiko tinggi mengalami ketuban pecah dini (Nugroho, 2010).

8. Defisiensi vitamin C Vitamin C diperlukan untuk pembentukan dan pemeliharaan jaringan kolagen. Selaput ketuban (yang dibentuk oleh jaringan kolagen) akan mempunyai elastisitas yang berbeda tergantung kadar vitamin C dalam darah ibu.9. Faktor tingkat sosio-ekonomi

Sosio-ekonomi yang rendah, status gizi yang kurang akan meningkatkan insiden KPD, lebih-lebih disertai dengan jumlah persalinan yang banyak, serta jarak kelahiran yang dekat.MANIFESTASI KLINIS

Gejala adalah kunci untuk diagnosis, pasien biasanya melaporkan cairan yang tiba-tiba menyembur dari vagina dan pengeluaran cairan yang berlanjutan. Gejala tambahan yang mungkin penting termasuk warna dan konsistensi cairan adalah adanya bintik-bintik dari vernix atau mekonium, pengurangan ukuran uterus, dan peningkatan keunggulan janin untuk palpasi (Saiffudin, 2011).

Menurut Mansjoer ( 2000) manifestasi ketuban pecah dini adalah:1. Keluar air krtuban warna keruh. Jernih, kuning, hijau, atau kecoklatan sedikit-sedikit atau sekaligus banyak.

2. Dapat disertai demam bila sudah terjadi infeksi

3. Janin mudah diraba

4. Pada pemeriksaan dalam selaput ketuban sudah tiadak ada, air ketuban sidah kering

5. Inspekulo: tampak air ketuban mengalir atau selaput keruban tidak ada dan air ketuban sudah kering

6. Usia kehamilan vible (>20 minggu)

7. Buyi jantung bisa tetap normal

PATOFISIOLOGI (terlampir)

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Mendiagnosa ketuban pecah dini dapat dengan berbagai cara. Pertama, dengan melakukan anamnesis yang baik dan teliti kapan mulai keluar air, jumlahnya, merembes atau tiba-tiba banyak, konsistensinya encer atau kental dan baunya. Kemudian dengan melakukan pemeriksaan fisik, sebagai berikut (Suwiyoga, 2006 ; Steer, 1999) : Semua wanita dengan keluhan keluar air pervaginam harus dilakukan pemeriksaan inspekulo steril. Pemeriksaan serviks mungkin memperlihatkan keluarnya cairan amnion dari lubang serviks. Jika meragukan apakah cairan berasal dari lubang serviks atau cairan pada forniks posterior vagina, dilakukan pemeriksaan pH dari cairan tersebut (cairan amnion akan merubah lakmus menjadi berwarna biru karena bersifat alkalis). Cairan vagina dalam keadaan normal bersifat asam. Perubahan pH dapat terjadi akibat adanya cairan amnion, adanya infeksi bahkan setelah mandi. Tes nitrazine kuning dapat menegaskan diagnosa dimana indikator pH akan berubah berwarna hitam, walaupun urine dan semen dapat memberikan hasil positif palsu. Melihat cairan yang mengering di bawah mikroskop, cairan amnion akan menunjukkan fern-like pattern (gambaran daun pakis), walaupun tes ini sedikit rumit dan tidak dilakukan secara luas. Batasi pemeriksaan dalam untuk mencegah ascending infection. Lakukan vaginal swab tingkat tinggi. Jika curiga terjadi infeksi, periksa darah lengkap, cRP, MSU dan kultur darah. Berikan antibiotika spektrum luas.

Pemeriksaan lebih lanjut seperti USG digunakan untuk melihat organ interna dan fungsinya, juga menilai aliran darah uteroplasenta. USG yang menunjukkan berkurangnya volume likuor pada keadaan ginjal bayi yang normal, tanpa adanya IUGR sangat mengarah pada terjadinya ketuban pecah dini, walaupun volume cairan yang normal tidak mengeksklusi diagnosis.

Pada masa yang akan datang, tes seperti cairan prolaktin atau alpha-fetoprotein, dan penghitungan fibronektin bayi mungkin dapat menentukan dengan lebih tepat adanya ketuban pecah diniPENATALAKSANAAN MEDIS1. Konservatif (Prawirohardjo, 2008). Rawat di rumah sakit, berikan antibiotik (ampisilin 4 x 500 mg atau eritromisin bila tidak tahan dengan ampisilin dan metronidazole 2 x 500 mg selama 7 hari). Jika umur kehamilan < 32 34 minggu, dirawat selama air ketuban masih keluar atau sampai air ketuban tidak lagi keluar. Jika usia kehamilan 32 37 minggu, belum inpartu, tidak ada infeksi, tes busa negatif berikan deksametason, observasi tanda tanda infeksi, dan kesejahteraan janin. Terminasi pada kehamilan 37 minggu. Jika usia kehamilan 32 37 mingguu, sudah inpartu, tidak ada infeksi, berikan tokolitik (salbutamol), deksametason, dan induksi sesudah 24 jam. Jika usia kehamilan 32 37 minggu, ada infeksi, berikan antibiotik dan lakukan induksi, nilai tanda tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda tanda infeksi intrauterin). Pada usia kehamilan 32 37 minggu berikan steroid untuk memacu kematangan paru janin, dan bila memungkinkan periksa kadar lesitin dan spingomielin tiap minggu. Dosis betametason 12 mg sehari dosis tunggal selama 2 hari, deksametason IM 5 mg setiap 6 jam selama 4 kali.

2. Aktif (Prawirohardjo, 2008). Kehamilan lebih dari 37 minggu induksi dengan oksitosin. Bila gagal seksio sesarea. Bila ada tanda tanda infeksi berikan dosis tinggi dan persalinan diakhiri. Bila skor pelvik < 5 lakukan pematangan serviks, kemudian induksi. Jika tidak berhasil, akhiri persalinan dengan seksio sesarea. Bila skor pelvik > 5 induksi perlasinan

KOMPLIKASI

KPD berpengaruh terhadap kehamilan dan persalinan. jarak antara pecahnya ketuban dan permulaan persalinan disebut periode laten (lag period = LP). Makin muda umur kehamilan makin memanjang LP-nya. KPD dapat menimbulkan komplikasi yang bervariasi sesuai dengan usia kehamilan, baik terhadap janin maupun terhadap ibu. Kurangnya pemahaman terhadap kontribusi dari komplikasi yang mungkin timbul dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas perinatal bertanggung jawab terhadap kontroversi dalam penatalaksanaannya (Saifudin, 2002; Manuaba, 201) :1. Terhadap janinWalaupun ibu belum menunjukkan gejala-gejala infeksi, tetapi janin sudah terkena infeksi, karena infeksi intrauterin lebih dahulu terjadi (amnionitis, vaskulitis) sebelum gejala pada ibu dirasakan. jadi akan meninggikan morbiditas dan mortalitas perinatal. Beberapa komplikasi yang berhubungan dengan KPD antara lain:

Infeksi intrauterin Tali pusat menumbung Kelahiran prematur Amniotic Band Syndrome

2. Terhadap ibu Karena jalan telah terbuka, maka dapat terjadi infeksi intrapartal, apalagi bila terlalu sering diperiksa dalam. Selain itu juga dapat dijumpai infeksi puerpuralis (nifas), peritonitis, septikemia, dan dry-labor. Ibu akan merasa lelah karena terbaring di tempat tidur, partus akan menjadi lam, maka suhu badan naik, nadi cepat dan nampaklah gejala-gejala infeksi. Hal-hal tersebut dapat meninggikan angka kematian dan morbiditas pada ibu.FETAL COMPROMISED

1. Definisi Fetal distress adalah adanya suatu kelainan pada fetus akibat gangguan oksigenasi dan atau nutrisi yang bisa bersifat akut (prolaps tali pusat), sub akut (kontraksi uterus yang terlalu kuat), atau kronik (plasenta insufisiensi).Fetal Distress(Gawat janin)adalah gangguan pada janin dapat terjadi pada masa antepartum atau intrapartum. Kegawatan janin antepartum menjadi nyata dalam bentuk retardasi pertumbuhan intrauterin. Hipoksia janin peningkatan tahanan vaskular pada pembuluh darah janin. (Nelson, Ilmu Kesehatan Anak).Keadaan janin biasanya dinilai dengan menghitung denyut jantung janin (DJJ).Dan memeriksa kemungkinan adanya mekonium didalam cairan amniom.Sering dianggap DJJ yang abnormal, terutama bila ditemukan mekonium, menandakan hipoksia dan asidosis.Akan tetapi, hal tersebut sering kali tidak benarkan.Misalnya, takikardi janin dapat disebabkan bukan hanya oleh hipoksia dan asidosis, tapi juga oleh hipotemia, sekunder dari infeksi intra uterin.Keadaan tersebut biasanya tidak berhubungan dengan hipoksia janin atau asidosis.sebaliknya, bila DJJ normal, adanya mekonium dalam cairan amnion tidak berkaitan dengan meningkatnya insidensi asidosis janin. Untuk kepentingan klinik perlu ditetapkan criteria apa yang dimaksud dengan gawat janin. Disebut gawat janin bila ditemukan bila denyut jantung janin diatas 160 / menit atau dibawah 100 / menit, denyut jantung tidak teratur , atau keluarnya mekonium yang kental pada awal persalinan.2. Klasifikasi

a. Gawat janin yang terjadi secara ilmiah Gawat janin iatrogenicGawat janin iatrogenik adalah gawat janin yang timbul akibat tindakan medik atau kelalaian penolong.Resiko dari praktek yang dilakukan telah mengungkapkan patofisiologi gawat janin iatrogenik akibat dari pengalaman pemantauan jantung janin. Posisi tidur ibu

Posisi terlentang dapat menimbulkan tekanan pada Aorta dan Vena Kava sehingga timbul Hipotensi.Oksigenisasi dapat diperbaiki dengan perubahan posisi tidur menjadi miring ke kiri atau semilateral.

Infus oksitosin

Bila kontraksi uterus menjadi hipertonik atau sangat kerap, maka relaksasi uterus terganggu, yang berarti penyaluran arus darah uterus mengalami kelainan.Hal ini disebut sebagai Hiperstimulasi.Pengawasan kontraksi harus ditujukan agar kontraksi dapat timbul seperti kontrkasi fisiologik.

Anestesi Epidural

Blokade sistem simpatik dapat mengakibatkan penurunan arus darah vena, curah jantung dan penyuluhan darah uterus.Obat anastesia epidural dapat menimbulkan kelainan pada denyut jantung janin yaitu berupa penurunan variabilitas, bahkan dapat terjadi deselerasi lambat.Diperkirakan ibat-obat tersebut mempunyai pengaruh terhadap otot jantung janin dan vasokontriksi arteri uterina.(Kapita Selekta Kedaruratan Obstetri dan Ginekkologi, 1994 : 211-213)

b. Gawat janin sebelum persalinan

Gawat janin sebelum persalinan biasanya merupakan gawat janin yangbersifat kronik berkaitan dengan fungsi plasenta yang menurun atau bayi sendiri yangsakit (Hariadi, 2004).

a. Data subyektif dan obyektif

Gerakan janin menurun. Pasien mengalami kegagalan dalam pertam bahan berat badan dan uterus tidak bertambah besar. Uterus yang lebih kecil daripadaumur kehamilan yang diperkirakan memberi kesan retardasi pertumbuhan intrauterin atau oligohidramnion. Riwayat dari satu atau lebih faktor-faktor resiko tinggi, masalah-masalah obstetri, persalinan prematur atau lahir mati dapatmemberikan kesan suatu peningkatan resiko gawat janin.

b. Faktor predisposisi

Faktor-faktor resiko tinggi meliputi penyakit hipertensi, diabetes mellitus,penyakit jantung, postmaturitas, malnutrisi ibu, anemia, dan lain-lain.

c. Data diagnostik tambahan

Pemantauan denyut jantung janin menyingkirkan gawat janin sepenjangdenyut jantung dalam batas normal, akselerasi sesuai dengan gerakan janin, tidak ada deselerasi lanjut dengan adanya kontraksi uterus.Ultrasonografi : Pengukuran diameter biparietal secara seri dapat mengungkapkanbukti dini dari retardasi pertumbuhan intrauterin. Gerakan pernafasan janin, aktifitas janin dan volume cairan ketuban memberikan penilaian tambahankesekatan janin. Oligihidramnion memberi kesan anomali janin atauretardasi pertumbuhan.

d. Penatalaksanaan

Keputusan harus didasarkan pada evaluasi kesehatan janin inutero danmaturitas janin. Bila pasien khawatir mengenai gerakan janin yang menurunpemantauan denyut jantung janin atau dimiringkan atau oksitosin challenge testsering memberika ketenangan akan kesehatan janin. Jika janin imatur dan keadaaninsufisiensi plasenta kurang tegas, dinasehatkan untuk mengadakan observasitambahan. Sekali janin matur, kejadian insufisiensi plasenta biasanya berarti bahwakelahiran dianjurkan. Persalinan dapat diinduksi jika servik dan presentasi janinmenguntungkan. Selama induksi denyut jantung janin harus dipantau secara teliti. Dilakukan sectio secaria jika terjadi gawat janin, sectio sesaria juga dipilih untuk kelahiran presentasi bokong atau jika pasien pernah megalami operasi uterus sebelumnya.

c. Gawat janin selama persalinan

Gawat janin selama persalinan menunjukkan hipoksia janin. Tanpa oksigen yang adekuat, denyut jantung janin kehilangan variabilitas dasarnya danmenunjukkan deselerasi lanjut pada kontraksi uterus. Bila hipoksia menetap,glikolisis anaerob menghasilkan asam laktat dengan pH janin yang menurun.

a. Data subyektif dan obyektif

Gerakan janin yang menurun atau berlebihan menandakan gawat janin.Tetapi biasanya tidak ada gejala-gejala subyektif. Seringkali indikator gawat janinyang pertama adalah perubahan dalam pola denyut jantung janin (bradikardia,takikardia, tidak adanya variabilitas, atau deselerasi lanjut).Hipotensi pada ibu, suhu tubuh yang meningkat atau kontraksi uterus yanghipertonik atau ketiganya secara keseluruhan dapat menyebabkan asfiksia janin.

b. Faktor-faktor etiologi

1) Insufisiensi uteroplasental akut

aktivitas uterus berlebihan.

hipotensi ibu.

solutio plasenta.

plasenta previa d/ pendarahan.

2) Kompresi tali pusat3) Insufisiensi uteroplasental kronik

penyakit hipertensi.

diabetes mellitus.

isoimunisasi Rh.

postmaturitas atau dismaturitas

4) Anestesi blok paraservikal

c. Data diagnostik tambahan

Pemantauan denyut jantung janin : pencatatan denyut jantung janin yang segeradan kontinu dalam hubungan dengan kontraksi uterus memberika suatu penilaiankesehatan janin yang sangat membantu dalam persalinan.

Indikasi-indikasi kemungkinan gawat janin adalah:

1) bradikardi : denyut jantung janin kurang dari 120 kali permenit.

2) takikardi : akselerasi denyut jantung janin yang memanjang (> 160) dapat dihubungkan dengan demam pada ibu sekunder terhadap terhadap infeksi intrauterin. Prematuritas dan atropin juga dihubungkan dengan denyut jantung dasar yang meningkat.

3) variabilitas: denyut jantung dasar yang menurun, yang berarti depresi sistem saraf otonom janin oleh mediksi ibui (atropin, skopolamin, diazepam, fenobarbital, magnesium dan analgesik narkotik).

4) pola deselerasi: Deselerasi lanjut menunjukan hipoksia janin yang disebabkan oleh insufisiensi uteroplasental. Deselerasi yang bervariasi tidak berhubungan dengan kontraksi uterus adalah lebih sering dan muncul untuk menunjukan kompresi sementara waktu saja dari pembuluh darah umbilikus. Peringatan tentang peningkatan hipoksia janin adalah deselerasi lanjut, penurunan atau tiadanya variabilitas, bradikardia yang menetap dan pola gelombang sinus.

d. Penatalaksanaan

Prinsip-prinsip umum

1) bebaskan setiap kompresi tali pusat.

2) perbaiki aliran darah uteroplasental.

3) menilai apakah persalinan dapat berlangsung normal atau terminasi kehamilan merupakan indikasi. Rencana kelahiran didasarkan pada faktor-faktor etiologi, kondisi janin, riwayat obstetri pasien, dan jalannya persalinan.

Langkah-langkah khusus :

1) posisi ibu diubah dari posisi terlentang menjadi miring, sebagai usaha untuk memperbaiki aliran darah balik, curah jantung, dan aliran darah uteroplasental. Perubahan dalam posisi juga dapat membebaskan kompresi tali pusat.

2) oksigen diberikan 6 liter/menit, sebagai usaha meningkatkan penggantian oksigen fetomaternal.

3) oksitosin dihentikan karena kontraksi uterus akan mengganggu sirkulasi darah keruang intervilli.

4) hipotensi dikoreksi dengan infus IV D5% dalam RL. Transfusi darah dapat diindikasikan pada syok hemorragik.

5) pemeriksaan pervaginan menyingkirkan prolaps tali pusat dan menentukan perjalana persalinan. Elevasi kepala janin secara lembut dapat merupakan suatu prosedur yang bermanfaat.

6) pengisapan mekoneum dari jalan nafasi bayi baru lahir mengurangi resiko asfirasi mekoneum. Segera setelah kepala bayi lahir, hidung dan mulut dibersikan dari mekoneum dengan kateter penghisap. Segera setelah kelahiran, pita suara harus dilihat dengan laringoskopi langsung sebagai usaha untuk menyingkirkan mekoneum dengan pipa endotrakeal (Melfiawati, 1994).

3. Etiologi

Adapun Penyebab dari fetal distress diantaranya :a. Ibu mengalami hipotensi atau syok yang disebabkan oleh apapun, penyakit kardiovaskuler, anemia, penyakit pernafasan, malnutrisi, asidosis dan dehidrasi.

b. Uterus mengalami kontraksi telalu kuat atau terlalu lama, degenerasi vaskuler.

c. Plasenta degenerasi vaskuler, hipoplasi plasenta.

d. Tali pusat :kompresi tali pusat.

e. Fetus : infeksi, malformasi dan lain-lain.4. Penatalaksanaan

a. Penanganan umum: Pasien dibaringkan miring ke kiri, agar sirkulasi janin dan pembawaan oksigen dari obu ke janin lebih lancer.

Berikan oksigen sebagai antisipasi terjadinya hipoksia janin.

Hentikan infuse oksitosin jika sedang diberikan infuse oksitosin, karena dapat mengakibatkan peningkatan kontraksi uterus yang berlanjut dan meningkat dengan resiko hipoksis janin.

Jika sebab dari ibu diketahui (seperti demam, obat-obatan) mulailah penanganan yang sesuai.

Jika sebab dari ibu tidak diketahui dan denyut jantung janin tetap abnormal sepanjang paling sedikit 3 kontraksi, lakukan pemeriksaan dalam untuk mencari penyebab gawat janin:

Bebaskan setiap kompresi tali pusat

Perbaiki aliran darah uteroplasenter

Menilai apakah persalinan dapat berlangsung normal atau kelahiran segera merupakan indikasi.

Rencana kelahiran (pervaginam atau perabdominam) didasarkan pada faktor-faktor etiologi, kondisi janin, riwayat obstetric pasien dan jalannya persalinan.

b. Penatalaksanaan Khusus

Posisikan ibu dalam keadaan miring untuk membebaskan kompresi aortokaval dan memperbaiki aliran darah balik, curah jantung dan aliran darah uteroplasenter. Perubahan posisi dapat membebaskan kompresi tali pusat.

Oksigen diberikan melalui masker muka 6 liter permenit sebagai usaha untuk meningkatkan pergantian oksigen fetomaternal.

Oksigen dihentikan, karena kontraksi uterus akan mengganggu curahan darah ke ruang intervilli.

Hipotensi dikoreksi dengan infus intravena dekstrose 5 % berbanding larutan laktat. Transfusi darah dapat di indikasikan pada syok hemoragik.

Pemeriksaan pervaginam menyingkirkan prolaps tali pusat dan menentukan perjalanan persalinan.

Pengisapan mekonium dari jalan napas bayi baru lahir mengurangi risiko aspirasi mekoneum. Segera setelah kepala bayi lahir, hidung dan mulut dibersihkan dari mekoneum dengan kateter pengisap. Segera setelah kelahiran, pita suara harus dilihat dengan laringoskopi langsung sebagai usaha untuk menyingkirkan mekoneum dengan pipa endotrakeal.

(Abdul, dkk.2002 )5. Identifikasi Gawat Janin

a. Periksa frekuensi bunyi jantung janin setiap 30 menit pada Kala I dan setiap 15 menit sesudah pembukaan lengkap.

b. Periksa ada / tidaknya air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan).

(Prawirohardjo, 2009).

6. Pencegahan

a. Gunakan partograf untuk memantau persalinan.

b. Anjurkan ibu sering berganti posisi selama persalinan.Ibu hamil yang berbaring terlentang dapat mengurangi aliran darah ke rahimnya.

(Prawirohardjo, 2009).

DAFTAR REFERENSIPrawirohardjo E.J. 2008, Ilmu Kebidanan, Penerbit Yayasan Bina Pustaka, Jakarta.

Manuaba I.B.G. 2010. Gawat Darurat, Obstetri Ginekologi dan Obstetri Ginekologi Sosial untuk Profesi Bidan, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, JakartaMansjoer, Arif. 2001. Kapita selekta kedokteran. Jakarta : Media AesculapiusWiknjosastro H,. ILMU KEBIDANAN. Edisi III, yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, jakarta, 2007

Saifuddin, Abdul bari. 2002. Buku acuan nasional pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. Jakarta : YBP-SP

Saifuddin, A.B., 2005. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina PustakaSarwono Prawirohardjo.

Saifuddin, A.B., 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Nugroho, Taufan. 2011, Kasus Emergency Kebidanan, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

Varney, Hellen, 2007, Midwifery, Edisi ketigaSuwiyoga IK, Budayasa AA, Soetjiningsih. Peranan Faktor Risiko Ketuban Pecah Dini terhadap Insidens Sepsis Neonatorum Dini pada Kehamilan Aterm. Cermin Dunia Kedokteran, No 151. 2006. p: 14-17Steer P, Flint C. ABC of labour care Preterm labour and prematur rupture of membrans. BMJ volume 318, April 1999. http://www.bmj.com. Akses 17 Oktober 2011.Bobak dkk. 2004. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta: EGC

Cuningham, G., 2005. Obstetri Wiliams Volume 1 Edisi 21. Jakarta : EGC.

Doengoes, Marilynn E, dkk,. 2001. Rencana perawatan maternal/bayi. Edisi 2. Holmes, D. dan Baker, P.N., 2011. Buku Ajar Ilmu Kebidanan. Jakarta : EGC.

Kasdu, D., 2003. Operasi Caesar Masalah dan Solusinya. Jakarta : Puspa Swara.

Llewellyn, D., 2001. Dasar- dasar Obstetri dan Ginekologi Edisi 6. Jakarta :Hipokrates.

Manuaba, Chandarnita, dkk,. 2008. Gawat-darurat obstetri-ginekologi & obstetri-ginekologi sosial untuk profesi bidan. Jakarta: EGC.

Silbernagl, Stefan. Teks dan Atlas berwarna, Patofisiologi. ECG,Penerbit Buku Kedokteran. 2007.

Riwayat SC sebelumnya. Panggul sempit, usia ibu terlalu muda atau tua, usia kehamilan blm cukup / lebih bulan,dll

Hambatan Mobilitas Fisik