klasifikasi opioid

8
1 KLASIFIKASI OPIOID Yang termasuk golongan opioid ialah : obat yang berasal dari opium-morfin senyawa semisintetik morfin senyawa sintetik yang berefek seperti morfin. (2) Didalam klinik opioid dapat digolongkan menjadi lemah (kodein) dan kuat (morfin). Akan tetapi pembagian ini sebetulnya lebih banyak didasarkan pada efikasi relatifnya, dan bukannya pada potensinya. Opioid kuat mempunyai rentang efikasi yang lebih luas, dan dapat menyembuhkan nyeri yang berat lebih banyak dibandingkan dengan opioid lemah. Penggolongan opioid lain adalah opioid natural (morfin, kodein, pavaperin, dan tebain), semisintetik (heroin, dihidro morfin/morfinon, derivate tebain) dan sintetik (petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil dan remifentanil). Sedangkan berdasarkan kerjanya pada reseptor opioid maka obat-obat Opioid dapat digolongkan menjadi : 1.Agonis opoid Merupakan obat opioid yang menyerupai morfin yang dapat mengaktifkan , dan mungkin pada reseptor k contoh : morfin, m reseptor, terutama pada reseptor papaveretum, petidin (meperidin, demerol), fentanil, alfentanil, sufentanil, remifentanil, kodein, alfaprodin. 2.Antagonis opioid Merupakan obat opioid yang tidak memiliki aktivitas agonis pada semua reseptor dan pada saat bersamaan mencegah agonis merangsang reseptor, contoh : nalokson. 3.Agonis-antagonis (campuran) opioid Merupakan obat opioid dengan kerja campuran, yaitu yang bekerja sebagai agonis pada beberapa reseptor dan sebagai antagonis atau agonis lemah pada reseptor lain, contoh pentazosin, nabulfin, butarfanol, bufrenorfin. (4)

Upload: shinta-wulandhari

Post on 27-Oct-2015

99 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Klasifikasi opioid

TRANSCRIPT

Page 1: Klasifikasi Opioid

1

KLASIFIKASI OPIOIDYang termasuk golongan opioid ialah :

obat yang berasal dari opium-morfin senyawa semisintetik morfin senyawa sintetik yang berefek seperti morfin.(2)

Didalam klinik opioid dapat digolongkan menjadi lemah (kodein) dan kuat (morfin). Akan tetapi pembagian ini sebetulnya lebih banyak didasarkan pada efikasi relatifnya, dan bukannya pada potensinya. Opioid kuat mempunyai rentang efikasi yang lebih luas, dan dapat menyembuhkan nyeri yang berat lebih banyak dibandingkan dengan opioid lemah. Penggolongan opioid lain adalah opioid natural (morfin, kodein, pavaperin, dan tebain), semisintetik (heroin, dihidro morfin/morfinon, derivate tebain) dan sintetik (petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil dan remifentanil). Sedangkan berdasarkan kerjanya pada reseptor opioid maka obat-obat Opioid dapat digolongkan menjadi :

1.Agonis opoid

Merupakan obat opioid yang menyerupai morfin yang dapat mengaktifkan , dan mungkin pada reseptor k contoh : morfin, m reseptor, terutama pada reseptor papaveretum, petidin (meperidin, demerol), fentanil, alfentanil, sufentanil, remifentanil, kodein, alfaprodin.

2.Antagonis opioid

Merupakan obat opioid yang tidak memiliki aktivitas agonis pada semua reseptor dan pada saat bersamaan mencegah agonis merangsang reseptor, contoh : nalokson.

3.Agonis-antagonis (campuran) opioid

Merupakan obat opioid dengan kerja campuran, yaitu yang bekerja sebagai agonis pada beberapa reseptor dan sebagai antagonis atau agonis lemah pada reseptor lain, contoh pentazosin, nabulfin, butarfanol, bufrenorfin.(4)

2. Morfin

Morfin adalah hasil olahan dari opium/candu mentah. Morfin merupaakan alkaloida utama dari opium ( C17H19NO3 ) . Morfin rasanya pahit, berbentuk tepung halus berwarna putih atau dalam bentuk cairan berwarna. Pemakaiannya dengan cara dihisap dan disuntikkan.

Page 2: Klasifikasi Opioid

2

Gambar 3 : sediaan morfin

3. Heroin (putaw)

Heroin mempunyai kekuatan yang dua kali lebih kuat dari morfin dan merupakan jenis opiat yang paling sering disalahgunakan orang di Indonesia pada akhir – akhir ini . Heroin, yang secara farmakologis mirip dengan morfin menyebabkan orang menjadi mengantuk dan perubahan mood yang tidak menentu. Walaupun pembuatan, penjualan dan pemilikan heroin adalah ilegal, tetapi diusahakan heroin tetap tersedia bagi pasien dengan penyakit kanker terminal karena efek analgesik dan euforik-nya yang baik.

Gambar 4 : sediaan heroin

4. Kodein

Codein termasuk garam / turunan dari opium / candu. Efek codein lebih lemah daripada heroin, dan potensinya untuk menimbulkan ketergantungaan rendah. Biasanya dijual dalam bentuk pil atau cairan jernih. Cara pemakaiannya ditelan dan disuntikkan.

Gambar 5 : sediaan kodein

Page 3: Klasifikasi Opioid

3

5. Demerol

Nama lain dari Demerol adalah pethidina. Pemakaiannya dapat ditelan atau dengan suntikan. Demerol dijual dalam bentuk pil dan cairan tidak berwarna.

Gambar 6 : sediaan Demerol

FARMAKOKINETIK

A. Absorpsi : Kebanyakan analgesik opioid diabsorpsi dengan baik pada pemberian subkutan dan intramuskular yang sama baiknya dengan absorpsi dari permukaan mukosa hidung atau mulut dan saluran cerna. Selain itu, absorpsi transdermal fentanil menjadi cara pemberian yang penting. Akan tetapi, walaupun absorpsi melalui saluran cerna mungkin cepat, ketersediaan hayati dari beberapa senyawa yang dilakukan dengan cara ini mungkin berkurang karena metabolisme first-pass yang jelas dengan glukoronidasi dalam hati. Oleh karena itu diperlukan dosis oral yang jauh lebih tinggi untuk memperoleh efek terapi daripada dosis yang diperlukan bila digunakan cara pemberian parenteral. Karena jumlah enzim yang dapat memberikan respons pada reaksi ini sangat bervariasi pada individu – individu yang berlainan, maka dosis oral yang efektif dari suatu senyawa mungkin sulit ditentukan. Kodein dan oksikodon mempunyai rasio potensi oral : parenteral yang tinggi karena konjugasinya dicegah oleh gugusan metil pada gugusan hidroksil aromatik.

B. Distribusi : ambilan opioid oleh berbagai organ dan jaringan adalah merupakan fungsi faktor fisiologik dan kimia. Meskipun semua opioid terikat pada protein – protein plasma dengan berbagai tingkat afinitas, senyawa – senyawa ini dengan cepat meninggalkan darah dan terlokalisasi dengan konsentrasi tertinggi di jaringan – jaringan yang perfusinya tinggi seperti di paru, hati, ginjal, dan limpa. Walupun konsentrasi obat di otot rangka dapat sangat rendah, jaringan ini merupakan tempat simpanan utama untuk obat karena masanya yang lebih besar. Walaupun demikian, akumulasi dalam jaringan lemak juga penting, terutama pada pemakaian dosis tinggi opioid yang sangat lipofilik, yang lambat dimetabolisme seperti pada fentanil. Kadar opioid – opioid dalam otak biasanya relatif rendah dibanding dengan diorgan – organ tubuh lain karena adanya sawar darah otak. Namun demikian , sawar darah otak lebih mudah dilewati oleh senyawa – senyawa hidroksil aromatik yang disubstitusi pada atom C3, seperti pada heroin dan kodein. Tampaknya lebih banyak kesulitan untuk memperoleh kadar dengan senyawa – senyawa amfoter (misalnya obat – obat yang mempunyai sifat – sifat asam dan basa) seperti morfin.

Page 4: Klasifikasi Opioid

4

sawar ini pada neonatus masih belum sempurna. Penggunaan analgesik opioid untuk analgesia obstetri dapat menimbulkan depresi pernapasan pada bayi baru lahir.

C. Metabolisme : sebagian besar opioid – opioid dikonversi menjadi metaboit – metabolit polar, sehingga mudah disekresi oleh ginjal. Senyawa yang mempunyai gugusan hidroksil bebas seperti morfin dan levorfanol dengan mudah dikonjugasi dengan asam glukoronat. Senyawa – senyawa bentuk ester (seperti meperidin dan heroin) lebih cepat dihidrolisis oleh esterase yang umum terdapat dalam jaringan. Heroin (diasetilmorfin) dihidrolisis menjadi monoasetilmorfin dan akhirnya jadi morfin, yang kemudian di konjugasi dengan asam glukoronat. Metabolit yang dikonjugasi dengan glukoronat ini bersifat polar diperkirakan tidak aktif, tetapi penemuan terakhir menunjukkan bahwa morfin-6-glukoronid mempunyai sifat – sifat analgesik yang yang mungkin lebih besar dari morfin sendiri. Akumulasi metabolit aktif ini dapat dijumpai pada pasien – pasien gagal ginjal serta dapat memperpanjang dan lebih kuat efek analgesiknya meskipun yang masuk ke SSP tebatas. Opioid juga mengalami N-dimetilasi oleh hati, tetapi ini hanya sebagian kecil saja. Akumulasi metabolit meperidin, normeperidin, dapat ditemukan pada pasien – pasien fungsi ginjal yang menurun atau pasien yang menerima obat dalam dosis yang jauh lebih tinggi. Dalam konsentrasi yang cukup tinggi, metabolit dapat menimbulkan kejang terutama pada anak.

D. Ekskresi : Metabolit polar opioid diekskresi terutama melalui ginjal. Sebagian kecil opioid diekskresi dalam bentuk tidak berubah. Konjugasi glukoronid juga diekskresi kedalam empedu, tetapi sirkulasi enterohepatik hanya merupakan bagian kecil dari proses ekskresi.(1,4)

MEKANISME KERJA

Reseptor opioid sebenarnya tersebar luas diseluruh jaringan system saraf pusat, tetapi lebih terkonsentrasi di otak tengah yaitu di sistem limbic, thalamus, hipothalamus corpus striatum, system aktivasi retikuler dan di korda spinalis yaitu substantia gelatinosa dan dijumpai pula di pleksus saraf usus. Molekul opioid dan polipeptida endogen (metenkefalin, beta-endorfin, dinorfin) berinteraksi dengan reseptor morfin dan menghasilkan efek. Reseptor tempat terikatnya opioid disel otak disebut reseptor opioid (keterangan tentang reseptor opioit telah dijelaskan sebelumnya).Suatu opioid mungkin dapat berinteraksi dengan semua jenis reseptor akan tetapi dengan afinitas yang berbeda, dan dapat bekerja sebagai agonis, antagonis, dan campuran. Opioid mempunyai persamaan dalam hal pengaruhnya pada reseptor, karena itu efeknya pada berbagai organ tubuh juga mirip. Perbedaan yang ada menyangkut kuantitas, afinitas pada reseptor dan tentu juga kinetik obat yang bersangkutan.(4)

Secara umum, efek obat-obat narkotik/opioid antaralain:

A. Efek sentral

Menurunkan persepsi nyeri dengan stimulasi (pacuan) pada reseptor opioid (efekanalgesi). Pada dosis terapik normal, tidak mempengaruhi sensasi lain. Mengurangi aktivitas mental (efek sedative). Menghilangkan konflik dan kecemasan (efek transqualizer). Meningkatkan suasana hati (efek euforia), walaupun sejumlah pasien merasakan sebaliknya (efek

disforia). Menghambat pusat respirasi dan batuk (efek depresi respirasi dan antitusif) Pada awalnya menimbulkan mual-muntah (efek emetik), tapi pada akhirnya menghambat pusat

emetik (efek antiemetik) Menyebabkan miosis (efek miotik) Memicu pelepasan hormon anti deuretik (efek anti deuretik)

Page 5: Klasifikasi Opioid

5

Menunjukkan perkembangan toleransi dan dependensi dengan pemberian dosis yang berkepanjangan.(2)

B. Efek Perifer

Menunda pengosongan lambung dengan kontriksi piloru. Mengurangi motilitas gastrointestinal dan menaikkan tonus (konstipasi spastik). Kontraksi sfingter saluran empedu. Menaikkan tonus otot kandung kencing. Menurunkan tonus vaskuler dan menaikkan resiko reaksi ortostastik. Menaikkan insidensi reaksi kulit, urtikaria dan rasa gatal karena pelepasan histamin, dan memicu

bronkospasme pada pasien asma.(2)

Opioid Semisintetik

Opioid semisintetik berasal dari molekul morphine yang kemudian dimodifikasi secara relatif sederhana. Sebagai contoh, substitusi sebuah gugus methyl dengan sebuah gugus hydroxyl pada karbon 3 dapat menghasilkan senyawa methylmorphine (codeine). Penggantian gugus asetyl pada karbon 3 dan 6 akan menghasilkan senyawa diacetylmorphine (heroin). Thebaine memiliki aktivitas analgesik yang tidak signifikan namun senyawa ini merupakan prekursor untuk senyawa etorphine (potensi analgesiknya > 1000 kali lipat dari morphine).

Opioid Sintetik

Opioid sintetik mengandung inti phenanthrene dari morphine namun inti tersebut disintesis dengan menggunakan alat, tidak berasal dari modifikasi morphine. Derivat morphine (levorphanol), derivat methadone, derivat benzomorphan (petazocaine), dan derivat phenylpiperidine (meperidine, fentanyl) merupakan contoh kelompok snyawa opioid sintetik. Ada kemiripan antara berat molekul (236 hingga 326) dan pK derivat phenylpiperidine dengan anestetik lokal amide.

Page 6: Klasifikasi Opioid

6

Fentanyl, sulfentanyl, alfentanil, dan remifentanil merupakan jenis opioid semisintetik yang sering digunakan dalam anestesia umum pada pembedahan jantung. Ada perbedaan farmakokinetika dan farmakodinamika di antara semua obat-obatan tersebut. Perbedaan utama tersebut terletak pada potensi dan laju ekuilibrasi antara plasma dan efek obat (biophase).