opioid effects dan narkotika

42
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Narkotika (Menurut Undang-Undang RI Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika) adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan 1 . WHO sendiri memberikan definisi tentang narkotika sebagai berikut: "Narkotika merupakan suatu zat yang apabila dimasukkan ke dalam tubuh akan memengaruhi fungsi fisik dan/atau psikologi (kecuali makanan, air, atau oksigen)." Zat-zat narkotika atau yang berasal dari narkotika sering digunakan dalam pilihan terapi terhadap penyakit tertentu. Dari tiga golongan narkotika menurut Undang-Undang RI Nomor 22 tahun 1997 hanya golongan I dan II saja yang diperbolehkan digunakan dalam terapi. Hal ini dikarenakan golongan I memiliki potensi untuk menimbulkan ketergantungan yang sangat tinggi 1 . Sejarah penggunaan narkotika oleh manusia telah tercatat sejak zaman purbakala. Benih tanaman poppy 1

Upload: epsh4ever

Post on 26-Jun-2015

469 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Narkotika (Menurut Undang-Undang RI Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika) adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan1. WHO sendiri memberikan definisi tentang narkotika sebagai berikut: "Narkotika merupakan suatu zat yang apabila dimasukkan ke dalam

TRANSCRIPT

Page 1: Opioid Effects dan narkotika

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Narkotika (Menurut Undang-Undang RI Nomor 22 tahun 1997

tentang Narkotika) adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan

penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai

menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan1. WHO

sendiri memberikan definisi tentang narkotika sebagai berikut: "Narkotika

merupakan suatu zat yang apabila dimasukkan ke dalam tubuh akan

memengaruhi fungsi fisik dan/atau psikologi (kecuali makanan, air, atau

oksigen)."

Zat-zat narkotika atau yang berasal dari narkotika sering digunakan

dalam pilihan terapi terhadap penyakit tertentu. Dari tiga golongan narkotika

menurut Undang-Undang RI Nomor 22 tahun 1997 hanya golongan I dan II

saja yang diperbolehkan digunakan dalam terapi. Hal ini dikarenakan

golongan I memiliki potensi untuk menimbulkan ketergantungan yang sangat

tinggi 1.

Sejarah penggunaan narkotika oleh manusia telah tercatat sejak zaman

purbakala. Benih tanaman poppy (Papaver somniferum) yang getahnya

merupakan bahan dasar opium telah ditemukan di antara peninggalan zaman

batu, bahkan di Mesopotamia tanaman tersebut telah ditanam oleh bangsa

Sumeria sejak 4000 - 3000 sebelum Masehi. Data penggunaannya tercatat

dalam papyrus Ebers (1600 - 1500 sebelum Masehi) sebagai hipnotik,

analgesik, dan untuk efek konstipasi. Galen juga menyebutnya sebagai obat

untuk mengatasi nyeri. Di masa modern, awal abad 19, Serturner di Jerman

telah berhasil memisahkan morfin dari opium (bahan dasar tanaman poppy),

disusul dengan formulasi kodein oleh Robiquet pada tahun 1817. Sejak itu

penggunaannya mulai popular di kalangan masyarakat saat itu. Opium pernah

popular dan bahkan diiklankan sebagai obat pereda nyeri dan obat batuk.

1

Page 2: Opioid Effects dan narkotika

Efek ketergantungan mulai muncul/menjadi perhatian sejak tahun 1700-an,

tetapi baru menjadi masalah di Eropa sekitar tahun 1890, sejak itu dibuat

peraturan untuk membatasi penggunaannya, meskipun demikian, problemnya

makin luas menjadi masalah medis dan sosial sampai saat ini 2.

Berdasarkan data yang dihimpun Badan Narkotika Nasional, jumlah

kasus penyalahgunaan narkoba meningkat dari sebanyak 3.478 kasus pada

tahun 2000 menjadi 8.401 pada tahun 2004, atau meningkat rata-rata 28,9%

pertahun. Jumlah tersangka tindak kejahatan narkoba pun meningkat dari

4.955 orang pada tahun 2000 menjadi 11.315 kasus pada tahun 2004, atau

meningkat rata-rata 28,6% pertahun. Hasil penelitian yang telah dilakukan

oleh Puslitbang Info BNN, menyebutkan jumlah penyalahguna narkoba yang

teratur pakai dan pecandu di Indonesia tahun 2004 sekitar 3,2 juta orang

dengan kisaran 2,9 sampai 3,6 juta orang. Data dari Rumah Sakit

ketergantungan obat tahun 1999, 80% pasien berusia antara 16-24 tahun.

Angka kematian pecandu 1,5% per tahun2.

B. TUJUAN PENULISAN

1. Memperoleh informasi lebih lanjut mengenai pengaruh narkotika

terhadap susunan saraf pusat.

2. Memenuhi syarat mengikuti ujian program pendidikan profesi di bagian

Ilmu Penyakit Saraf RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.

2

Page 3: Opioid Effects dan narkotika

BAB II

PEMBAHASAN

A. Jenis-jenis Narkotika

Narkotika (Menurut Undang-Undang RI Nomor 22 tahun 1997 tentang

Narkotika) adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan

penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai

menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan1.

Narkotika dibedakan kedalam golongan-golongan 1:

1. Narkotika Golongan I : Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk

tujuan ilmu pengetahuan, dan tidak ditujukan untuk terapi serta

mempunyai potensi sangat tinggi menimbulkan ketergantungan, (Contoh :

heroin/putauw, kokain, ganja).

2. Narkotika Golongan II : Narkotika yang berkhasiat pengobatan

digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi atau

tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi

mengakibatkan ketergantungan (Contoh : morfin, petidin).

3. Narkotika Golongan III : Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan

banyak digunakan dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu

pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan

ketergantungan (Contoh : kodein). Narkotika yang sering disalahgunakan

adalah Narkotika Golongan I :

a. Opoid : morfin, herion (putauw), petidin, candu, dan lain-lain

b. Ganja atau kanabis, marihuana, hashis

c. Kokain, yaitu serbuk kokain, pasta kokain, daun koka.

Berdasarkan potensi farmakoterapetiknya, opiod analgesik dapat dibagi

menjadi 3 kelompok sebagai berikut 3:

a. Berpotensi tinggi dan bekerja berat, digunakan terbatas untuk menekan

nyeri yang hebat seperti patah tulang, kena tembak (obat penyerang), luka

bakar yang hebat, operasi/anestesi. Termasuk kelompok ini adalah morfin,

3

Page 4: Opioid Effects dan narkotika

petidin, fentanyl, heroin dan putaw. Dua yang terakhir sering digunakan

oleh para pecandu dan termasuk golongan I yang dilarang digunakan

dalam klinik.

b. Berpotensi sedang, bekerja lambat dan tahan lebih lama, digunakan

sebagai analgesik khusus untuk penyakit kronis yang tidak dapat

disembuhkan (fase terminal) seperti kanker. Juga digunakan sebagai terapi

substitusi KO pada opiod kelompok satu tersebut di atas.

c. Berpotensi ringan, digunakan sebagai;

1) Analgesik umum, misalnya propoksifen dan tramadol. Obat ini dapat

diganti dengan analgesik non narkotik yang lebih aman.

2) Obat batuk, misalnya kodein.

3) Obat diare, misalnya, imodium sebaiknya obat ini tidak dipakai lagi.

Diare non spesifik hanya memerlukan cairan oralit, sebab penyakit

akan sembuh sendiri.

B. Mekanisme Kerja

Morfin (bentuk dasar opioid) terdiri atas cincin benzen dengan gugus

phenolic hydroxyl pada posisi 3 dan sebuah gugus alkohol pada posisi 6 dan

pada atom nitrogen. Kedua gugus hidroksil dapat dirubah menjadi eter

maupun ester. Sebagai contoh, codein adalah morfin dengan O-methylated

pada posisi 3, sedangkan heroin pada posisi 3 dan 6 4.

Gambar 2.1. Struktur Morfin5

4

Page 5: Opioid Effects dan narkotika

Morfin dan penggantinya bergabung secara selektif pada banyak tempat

yang telah dikenal di seluruh tubuh untuk menghasilkan efek farmakologi.

Lokus otak yang terlibat dalam hantaran nyeri dan dalam perubahan

reaktivitas rangsangan nosiseptif (nyeri) terlibat sebagai tempat kerja utama

opoid tetapi bukan satu-satunya. Pada umumnya, tempat yang

memperlihatkan afinitas yang tinggi bagi ligand opoid eksogen seperti

morfin, juga mengandung peptida endogen dalam konsentrasi tinggi yang

mempunyai sifat seperti opoid. Walaupun ada banyak gambaran yang sama

dalam kimia dan farmakologi peptida ini, terdapat banyak perbedaan jelas

dengan memperhatikan lintasan biokimia dan sarafnya. Nama generik yang

digunakan untuk senyawa ini adalah endorfin, gabungan kata “endogen” dan

“morfin”. Tetapi istilah ini telah menyebabkan banyak kekacauan karena

hubungannya dengan salah satu prototipe peptida opioid utama, β-endorfin.

Dari semua peptida ilmiah, profil farmakologi senyawa terakhir ini tampak

paling mirip dengan morfin. Sebagai akibatnya telah diusulkan istilah

“opiopeptin” sebagai nama generik peptida opiod alamiah dan istilah endorfin

dicadangkan untuk jenis peptida yang sangat berhubungan dengan β-endorfin 3.

Peptida terkecil yang mempunyai aktivitas opioid langsung adalah 2

pentapeptida: metiotin-enkefalin (met-kefalin) dan leusin-enkefalin

(leuenkefalin). Dengan kekecualian gugusan ujung metionin atau leusin,

rangkaian asam amino enkefalin identik (tirosin, glisin, glisin, fenilalanin)

satu atau kedua dari 2 peptida ini terkandung dalam 3 protein prekursor utama

yang mempunyai jumlah asam amino serupa (antara 257 dan 265) dengan

rangkaian peptida berurutan yang berbeda 3,4.

Pro-enkefalin A yang mengandung 6 salinan met-enkefalin dan satu

salinan leu-enkefalin yang merupakan bagian dari beberapa peptida yang

lebih besar dengan aktivitas opioid yang kuat. Pro-dinorfin (atau pro-

enkefalin B), dengan pengolahan menghasilkan beberapa peptida aktif yang

mengandung leu-enkefalin sebagai suatu fragmen. Yang terkuat terlihat

sebagai peptida 17 asam amino, dinorfin; lainnya meliputi neo-endorfin,

5

Page 6: Opioid Effects dan narkotika

dinorfin F (rimorfin) dan fragmen lebih kecil tertentu dari dinorfin. Protein

prekursor ketiga, pro-opiomelanokortin (POMC) mengandung metenkefalin,

tetapi senyawa terakhir bukan salah satu produk akhir pengolahan. Fragmen

terpenting mempunyai sifat umum seperti opoid yaitu β-endorfin, suatu

peptida 31 asam amino dengan met-enkefalin sebagai ujung karboksinya.

Pengurangan apapun dalam panjang rantai β-endorfin menghasilkan

pengurangan besar dalam aktivitas opioid. Peptidan penting lain terkandung

dalam POMC tetap tanpa sifat sebagai opoid; ia meliputi hormon perangsang

melanosit (MSH) dan ACTH. Jadi sistem alamiah yang terdapat dalam tubuh

dapat melepaskan secara selektif berbagai opiopeptin dalam respon terhadap

nyeri dan stimulus lain. Morfin dan analgensik narkotika lain jelas

menyerupai kerja ligand endogen ini karena berikatan dengan reseptornya;

interaksi ini menimbulkan efek farmakologi 3,4,5.

Terdapat beberapa reseptor opioid dalam susunan saraf pusat dan

jaringan perifer. Reseptor-reseptor ini secara noramal terstimulasi oleh

peptida endogen (endorphin, enkephalin, dan dynorphin) yang diproduksi

akibat stimulus yang merugikan. Reseptor tersebut adalah 6,7:

1. Mu (μ) (agonist morphine)

Reseptor ini terutama ditemukan di batang otak dan thalamus medial.

Reseptor ini bertanggung jawab atas supraspinal analgesia, depresi

respirasi, euforia, sedasi, penurunan motilitas gastrointestinal, dan

ketergantungan.

2. Kappa (κ) (agonist ketocyclazocine)

Reseptor ini ditemukan di limbik dan area diencephalik lainnya dan

bertanggung jawab atas analgesia supraspinal, sedasi, dispneu,

ketergantungan, dysphoria, dan depresi respirasi.

3. Delta (δ) (agonist delta-alanine-delta-leucine-enkephalin)

Terdapat pada sebagian besar jaringan otak tetapi efeknya belum

diketahui secara pasti. Namun dicurigai bertanggung jawab atas efek

psikomimetik dan disforik

4. Sigma (σ) (agonist N-allylnormetazocine)

6

Page 7: Opioid Effects dan narkotika

Bertanggung jawab atas efek psikomimetik, disforia, dan depresi

terinduksi stres.

Pengikatan opoid atau tempat pengenalannya telah diidentifiksi dengan

teknik pengikatan radioligand, autoradiografik dan imunohistokimia. Densitas

tempat pengikatan yang tinggi terdapat dalam kornu dorsalis medula spinalis

dan regio subkorteks otak tertentu. Beberapa tempat pengikatan opoid otak

yang berhubungan dengan hantaran nyeri meliputi nukleus rafe magnus dan

lokus seruleus batang otak, area abu-abu periakueduktal mesensefalon serta

beberapa nukleus hipotalamus dan talamus. Pengikatan opoid pada tempat

supraspinal ini sangat meningkatkan efek pada tingkat spinal untuk

mengurangi masukan nosiseptif hingga meningkatkan ambang rangsang

nyeri. Sel medula spinalis tertentu yang mengandung transmitter peptida

senyawa P. Neuron senyawa P telah dihipotesiskan menghantarkan nyeri

serta opoid dan endorfin telah terbukti menghambat pelepasan senyawa P 3,4,7.

Tempat otak yang terlibat dalam perubahan reaktivitas terhadap nyeri

belum dikenali dengan baik. Diusulkan bahwa lintasan antara diensefalon

dan korteks frontals terlibat, karena efek analgeik narkotika menghasilkan

sejumlah kemiripan dengan yang timbul setelah lobotomi prafontalis.

Individu ini menyadari nyeri tetapi menyatakan bahwa ia tidak lagi

menyusahkan. Beberapa dukungan bagi postulat seperti itu diberikan oleh

kenyataan bahwa beberapa nukleus talamus dan hipotalamus telah ditemukan

mempunyai densitas tempat pengikatan opoid yang tinggi 3.

7

Page 8: Opioid Effects dan narkotika

Tabel 2.1. Hubungan antara reseptor dengan peptida 5

Secara umum mekanisme dari opioid adalah sebagai berikut 5:

1. Menghambat Adenilyl cyclase

2. Pada neuron post sinaps efek opioid adalah meningkatkan pengeluaran ion K+

dan menyebabkan hiperpolarisasi post sinaps .

3. Pada bagian pre sinaps mengurangi uptake Ca2+ sehingga menghambat

pelepasan neurotransmiter seperti senyawa P, acetylcholine, norepinefrin,

glutamat, dan serotonin.

4. Opioid menghasilkan efek depresan dan efek stimulan yang sangat spesifik

dengan bertindak di lokasi yang berlainan di Susunan saraf pusat. Sebagai

contoh, morfin merangsang inti vagal di medula sementara menekan pusat

pernafasan.

5. Mekanisme neuron tersering adalah inhibisi .

8

Page 9: Opioid Effects dan narkotika

Gambar 2.2. Mekanisme Kerja Opioid 5

C. Neurofisiologi Sistem Saraf Pusat

Otak manusia terdiri dari 10 juta neuron dengan milyaran interaksi

elektrokimiawi yang terus menerus berlangsung antarsel saraf yang

terstruktur dan tersistem ke dalam kelompok-kelompok fungsional.

Kelompok fungsional ini bekerja sebagai pusat koordinasi yang mengatur

semua proses kegiatan/ aktivitas psikologis dan fisiologis. Kegiatan jiwa dan

raga. Proses konotif kejiwaan yang meliputi proses yang bersumber pada

perasaan kehendak dan dorongan hati yang semuanya ini merupakan

9

Page 10: Opioid Effects dan narkotika

kompleks proses yang menggerakkan sikap dan perilaku seseorang, sesuai

dengan motivasi dan imajinasinya. Proses konatif ini berpusat pada limbic

system otak. limbic system ini menerima sinyal-sinyal neurotransmitter dari

reticular activating system (RAS) di batang otak. RAS berfungsi sebagai step

down/down biolistrik memodulasi kekuatan sinyal-sinyal yang masuk dari

alat indrawi 3,4.

Antarsel pusat koordinasi ada celah sinap. Di dalam sinap impul saraf

diteruskan dengan sinyal-sinyal molekul zat kimia yang ditransmisikan dari

ujung urat syaraf presinap ke saraf postsinap yang disebut Neurotransmitter

(NT). Pada saraf postsinap ada reseptor yang sesuai sebagai pasangan yang

menggerakkan efektor 3,4.

Mekanisme kerja opioid adalah mempengaruhi proses elektrofisiologi

membran saraf, mengubah keberadaan konstalasi neurotransamitter dan

berperan sebagai agonis atau antagonis neurotransmitter pada pasangan

reseptor sehingga kinerja sentra-sentra otak berubah secara dinamik sesuai

dangan konstalasi NT 3,5.

Keberadaan Neurotransmitter dapat mempengaruhi pada prose sintesis,

penyimpanan (storage), pelepasan (release), metabolisme (termination).

Tonus suasana hati dan organ-organ tubuh pada prinsipnya berada dalam

suatu kontinum yang dapat naik turun dari rendah menjadi lebih tinggi atau

sebaliknya. Semua sentra-sentra otak dihubangkan oleh lintas eksitasi untuk

menaikkan tonus dan lintas inhibisi untuk menurunkannya, yang bekerja

secara otomatis dalam memelihara keadaan harmoni homeostatik kejiwaan

dan keragaan. Masing-masing lintasan sinap mempunyai NT sendiri,

sehingga NT dapat dibagi menjadi 2 kelompok 3 :

1. NT Lintas eksitasi

Acetylcholin

Norepinephrine

Dopamin

Serotonin

Glutamat

10

Page 11: Opioid Effects dan narkotika

Aspartat

Histamin

2. NT lintas inhibisi

GABA

Glysin

Peptide seperti enkefalin dan endorfin

D. Pengaruh Narkotika Terhadap Susunan Saraf Pusat

Ada dua tempat kerja obat opioid yang utama, yaitu susunan saraf pusat

dan visceral. Di dalam susunan saraf pusat opoid berefek di beberapa daerah

termasuk korteks, hipokampus, thalamus, hipothalamus, nigrostriatal, sistem

mesolimbik, locus coreleus, daerah periakuaduktal, medula oblongata dan

medula spinalis. Di dalam sistem saraf visceral, opoid bekerja pada pleksus

myenterikus dan pleksus submukous yang menyebabkan efek konstipasi 8.

Penelitian awal menunjukkan bahwa opoid terikat pada reseptor

spesifik di otak, selanjutnya melalui penelitian menggunakan teknik

radioimmunoassay, receptor opoid diketahui terdapat di hampir semua area

otak, kecuali serebelum (otak kecil), kepadatannya paling tinggi di daerah:

1. Traktus spinotalamikus ventralis

2. Periaquaduktal

3. Nuklei interlaminaris thalami

4. Sistem ekstrapiramidal, terutama amigdala

Juga ditemukan di substansia gelatinosa medulla spinalis, bahkan akhir-

akhir ini juga ditemukan di sekitar terminal serabut saraf presinap Adanya

reseptor yang spesifik terhadap opoid di dalam susunan saraf pusat

menyebabkan para peneliti menduga adanya zat serupa opoid endogen yang

memang diproduksi dan terdapat di dalam tubuh. Zat tersebut ditemukan pada

tahun 1975 berupa pentapeptida yang diberi nama met-enkephalin dan leu-

enkephalin. Enkephalin ini berfungsi serupa dengan opoid 9.

1. Efek Analgesia 3,4,6

Efek analgetik morfin dan opioid lain sangat selektif dan tidak

disertai oleh hilangnya fungsi sensorik lain yaitu rasa raba, rasa getar

11

Page 12: Opioid Effects dan narkotika

(vibrasi), penglihatan dan pendengaran, bahkan persepsi stimulasi nyeri

pun tidak selalu hilang setelah pemberian morfin dosis terapi. Yang terjadi

adalah suatu perubahan reaksi terhadap stimulus nyeri itu, penderita sering

mengatakan bahwa nyeri masih ada akan tetapi ia tidak menderita lagi.

Hilangnya rasa nyeri disertai dengan rasa tenang ini diduga karena efek

analgesik morfin lebih banyak pada komponen afektif dibandingkan

dengan pengaruhnya terhadap ambang nyeri.

Opioid agonis menimbulkan analgesia akibat berikatan dengan

reseptor spesifik yang berlokasi di otak dan medula spinalis, sehingga

mempengaruhi transmisi dan modulasi nyeri. Terdapat 3 jenis reseptor

yang spesifik, yaitu reseptor μ (mu), δ (delta) dan κ (kappa). Di dalam otak

terdapat tiga jenis endogeneus peptide yang aktivitasnya seperti opoid,

yaitu enkephalin yang berikatan dengan reseptor δ, β endorfin dengan

reseptor μ dan dynorpin dengan resptor κ. Reseptor μ merupakan reseptor

untuk morfin (heroin). Ketiga jenis reseptor ini berhubungan dengan

protein G dan berpasangan dengan adenilsiklase menyebabkan penurunan

formasi siklik AMP sehingga aktivitas pelepasan neurotransmitter

terhambat.

12

Page 13: Opioid Effects dan narkotika

Gambar 2.3. Mekanisme Analgesia Opioid

Pengaruh morfin terhadap modalitas nyeri yang tidak tajam (dull

pain) dan berkesinambungan lebih nyata dibandingkan dengan pengaruh

morfin terhdap nyeri tajam dan intermiten. Dengan dosis terapi morfin

dapat meredakan nyeri kolik renal atau kolik empedu. Nyeri mendadak

yang menyertai tabes dorsalis (tabetic crise), tidak dapat dihilangkan

dengan sempurna oleh morfin. Berbeda dengan salisilat, morfin dapat

mengatasi nyeri yang berasal dari alat dalam maupun yang berasal dari

integumen, otot dan sendi.

Efek analgetik morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme. (1) morfin

meninggikan ambang rangsang nyeri. Mekanisme ini berperan penting jika

morfin diberikan sebelum terjadi stimulasi nyeri, mekanisme lain lebih

penting. (2) morfin dapat mempengaruhi emosi, artinya, morfin dapat

mengubah reaksi yang timbul di korteks serebri dari talamus. Setelah

pemberian morfin penderita masih tetap merasakan nyeri, tetapi reaksi

terhadap nyeri yaitu kuwatir, takut, reaksi menarik diri (withdrawal) tidak

13

Page 14: Opioid Effects dan narkotika

timbul, (3) morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang

rangsang nyeri meningkat.

Antara nyeri dan efek analgetik (juga efek depresi napas) morfin dan

opioid lain terdapat antagonisme, artinya nyeri merupakan antagonis

faalan bagi efek analgetik dan efek depresi napas morfin. Bila nyeri sudah

dialami beberapa waktu sebelum pemberian morfin, efek analgetik obat ini

tidak begitu besar. Sebaliknya bila stimulus nyeri ditimbulkan setelah efek

analgetik morfin mencapai maksimum, dosis morfin yang diperlukan

untuk meniadakan nyeri itu jauh lebih kecil. Penderita yang sedang

mengalami nyeri hebat dan memerlukan morfin dosis besar untuk

menghilangkan penderitaannya, dapat tahan terhadap depresi napas

morfin. Tetapi, jika nyeri itu tiba-tiba hilang, maka besar kemungkinan

timbul gejala depresi napas oleh morfin.

2. Efek Terhadap Sistem Limbik

Sistem limbik mengandung reseptor opoid dalam jumlah besar,

sistem ini antara lain berperan dalam timbulnya rasa nyeri menetap dan

kronik (dull and chronic pain) yang efektif diatasi dengan opoid.

3. Efek Terhadap Mood (Suasana Hati) 3,4,6

Penggunaan morfin pada individu sehat sering menyebabkan

disforia, juga rasa takut, gelisah, mual, dan muntah. Pada dosis terapeutik

menyebabkan letargi, kesadaran berkabut, dan kesulitan konsentrasi;

bicara pelo dan gangguan koordinasi motorik jarang dijumpai. Pada

penggunaan kronik, efek tersebut berangsur-angsur menghilang.

Morfin dosis kecil (5-10 mg) menimbulkan euforia pada penderita

yang sedang menderita nyeri, sedih, dan gelisah. Sebaliknya, dosis yang

sama pada orang normal seringkali menimbulkan disforia berupa perasaan

kuatir atau takut disertai mual dan muntah. Morfin menimbulkan pula rasa

kantuk, tidak dapat berkonsentrasi, sukar berpikir, apatis, aktivitas motorik

berkurang, letargi, ketajaman penglihatan berkurang, ekstremitas terasa

berat, badan terasa panas, muka gata; dan mulut terasa kering, depresi

napas dan miosis.

14

Page 15: Opioid Effects dan narkotika

4. Perubahan EEG 3,5,6

Pemberian morfin menyebabkan gambaran frekuensi lambat dan

voltase tinggi, yang mirip dengan gambaran EEG saat tidur atau pada

pemberian barbiturat dosis rendah. Terdapat pengurangan fase REM don

non REM deep sleep, sedangkan fase non REM light sleep dan keadaan

jaga bertambah panjang. Jenis opoid lain dapat memberikan efek berbeda,

heroin dihubungkan dengan gambaran EEG bifasik yang agaknya

berkaitan dengan kedaan euphoria. Penggunaan metadon jangka panjang

dikaitkan dengan penurunan irama alfa, beta, dan peningkatan irama theta,

tetapi relevansi klinisnya belum jelas.

5. Efek Terhadap Sistem Serotonin 6

Efek terhadap sistem serotonin ini merupakan hipotesis terhadap

efek analgesik dari morfin, karena serotonin diketahui berperan dalam

modulasi persepsi nyeri. Pada binatang, pemberian 5HT intraventrikel

(otak) mempotensiasi efek analgesik morfin, sedangkan inhibisi produksi

5HT dikaitkan dengan pengurangan efek analgesia dan berkurangnya

kemungkinan dependensi dan toleransi. Lesi nucleus raphe magnus daerah

padat 5HT menyebabkan hilangnya efek analgetik dari morfin yang dapat

dipulihkan melalui injeksi 5 HT.

6. Efek Terhadap Sistem Noradrenergik 4,6

Efek analgesik opoid juga diduga melalui pengaruhnya terhadap

sistem noradrenergik karena aktivasi sistem noradrenergik (A2)

menghambat sensasi nyeri dan memberikan efek sinergi terhadap

analgesik oleh opioid (mu reseptor).

7. Efek Terhadap Sistem Dopamin 3,4,6

Metabolisme dopamin di otak distimulasi oleh narkotika;

menyebabkan peningkatan turn over dopamin; efek ini dihambat oleh

nalokson. Selain itu zat antagonis dopamin ternyata memperkuat efek

analgesik dari morfin.

15

Page 16: Opioid Effects dan narkotika

8. Efek Terhadap Aksis Hipotalamus-Hipofisis 6

Percobaan binatang menunjukkan pengaruh morfin terhadap aksis

hipotalamus hipofisis. Injeksi morfin berulang-ulang menyebabkan

penurunan sekresi ACTH yang berhubungan dengan berkurangnya sekresi

corticotropin releasing, factor (CRF) yang menyebabkan menurunnya

aktivitas kortikoadrenal; siklus diurnal dari kortikosteroid juga terganggu.

Penggunaan kronik menurunkan fungsi korteks adrenal, tetapi lama

kelamaan timbul toleransi. Penghentian penggunaan morfin menyebabkan

efek rebound berupa peningkatan sekresi hormon secara mendadak, yang

dapat berhubungan dengan gejala abstinensi. Morfin menekan sekresi

TSH; pecandu heroin dan pengguna metadon umumnya eutiroid meskipun

dijumpai peningkatan kadar T3 dan T4, mungkin akibat peningkatan

thyroxin binding globulin.

Sekresi GH juga meningkat pada pengguna khronik, selain itu juga

menstimulasi sekresi ADH sehingga dapat menyebabkan berkurangnya

diuresis.

9. Efek Terhadap Respirasi 6

Morfin menimbulkan depresi napas secara primer dan bersinambung

berdasarkan efek langsung terhadap pusat napas di batang otak. Pada dosis

kecil morfin sudah menimbulkan depresi napas tanpa menyebabkan tidur

atau kehilangan kesadaran. Depresi pernafasan pada dosis terapeutik

disebabkan oleh efek langsung terhadap pusat respirasi di batang otak.

Efek ini maksimal dalam 7 menit setelah pemberian intravena; dalam 30

menit setelah pemberian intramuskular dan dalam 90 menit setelah

pemberian subkutan, dan kembali normal setelah 2 - 3 jam.

Dosis toksik dapat menyebabkan frekuensi napas 3-4 kali/menit dan

kematian pada keracunan morfin hampir selalu disebabkan oleh depresi

napas. Pada depresi napas, terjadi penurunan frekuensi napas, volume

semenit dan tidal exchange , akibatnya Pco2 dalam darah dan udara alveolar

meningkat dan kadar O2 dalam darah menurun.

16

Page 17: Opioid Effects dan narkotika

Morfin juga mengurangi sensitivitas kemoreseptor terhadap

peningkatan kadar C02, Kepekaan pusat napas terhadap CO2 berkurang.

Kadar CO2 5% tidak lagi menimbulkan peninggian ventilasi pulmonal hal

ini penting diperhatikan dalam penanganan kasus-kasus overdosis yang

pernafasannya semata- mata tergantung dari derajat hipoksia, ditambah

dengan usaha nafas secara sadar yang juga menurun.

Morfin dan analgesik oploid lain berguna untuk menghambat refleks

batuk. Depresi refleks batuk ini ternyata tidak berjalan sejajar dengan

depresi napas. Efek depresi napas lebih besar pada morfin dan efek depresi

batuknya lebih lemah; sedangkan efek depresi batuk kodein kuat dan efek

depresi napasnya tidak begitu kuat. Efek dionin terhadap napas mirip efek

kodein. Obat yang menekan refleks batuk tanpa disertai depresi napas

misalya noskapin.

10. Mual Dan Muntah 3,4,6

Efek emetin morfin terjadi berdasarkan stimulasi langsung pada

emetic chemoreceptor trigger zone di area postrema medula oblongata,

bukan oleh stimulasi pusat emetik sendiri. Apomorfin menstimulasi CTZ

paling kuat. Efek emetik kodein, heroin, metildihidromorfinon dan

mungkin juga dihidromorfin lebih kecil daripada efek emetik morfin. Obat

emetik lain tidak efektif setelah pemberian morfin. Derivat fenotiazin,

yang merupakan bioker dopamin dapat mengatasi mual dan muntah akibat

morfin.

Dengan dosos terapi (15mg morfin subkutan) pada penderita yang

berbaring, jarang terjadi mual dan muntah, tetapi 40% penderita berobat

jalan mengalami mual dan 15% penderita mengalami muntah. Efek mual

dan muntah akibat morfin diperkuat oleh stimulasi vestibular, sebaiknya

analgetik oploid sinetik meningkatkan sensitivitas vestibular. Obat-obat

yang bermanfaat untuk motion sickness kadang-kadang dapat menolong

mual akibat oploid pada penderita obat jalan.

17

Page 18: Opioid Effects dan narkotika

11. Miosis 3

Morfin dan kebanyakan agonis opioid yang bekerja pada reseptor µ

dan σ menyebabkan miosis. Miosis ditimbulkan akibat stimulasi pada

nukleus Edinger Westphal pada segmen otonom inti saraf okulomotor.

Miosis ini dapat dilawan oleh atropin dan skopolamin. Pada intoksikasi

morfin, pin poin pupils merupakan gejala yang khas. Dilatasi berlebihan

hanya timbul pada stadium akhir intoksikasi morfin, yaitu jika sudah ada

asfiksia. Meskipun toleransi ringan dapat terjadi akan tetapi penderita

adiksi dengan kadar oploid dalam sirkulasi yang tinggi akan selalu

mengalami miosis. Morfin dalam dosis terapi mempertinggi daya

akomodasi dan menurunkan tekanan intraokuler, baik pada orang normal

maupun pada penderita glaukoma.

12. Eksitasi 3,4,6

Morfin dan opioid lain sering menimbulkan mual dan muntah,

sedangkan delirium dan konvulsi lebih jarang timbul. Faktor yang dapat

mengubah efek eksitasi morfin ialah idiosinkrasi dan tingkat eksitasi

refleks (reflex excitory level) SSP. Beberapa individu, terutama wanita

dapat mengalami eksitasi oleh morfin, misalnya mual dan muntah yang

mendahului depresi, tetapi delirium dan konvulsi jarang timbul.

Kemungkinan timbulnya eksitasi ini lebih besar pada beberapa derivat

morfin dan alkaloid alam lain. Kodein tidak menyebabkan depresi

progresif bila dosisnya dibesarkan, tetapi justru menyebabkan eksitasi;

sedangkan heroin menimbulkan eksitasi sentral. Morfin dan obat

konvulsan sentral mengadakan sinergisme, maka morfin tidak cocok untuk

terapi konvulsi.

Pada beberapa spesies efek eksitasi morfin jauh lebih jelas. Misalnya

pada kucing morfin menimbulkan mania, midriasis, hipersalivasi, dan

hipertermia, konvulsi tonik dan klonik yang dapat berakhir dengan

kematian. Fenomen ini juga timbul pada kucing tanpa korteks serebri

(decorticated cat), maka efek ini tidak dapat disamakan dengan release

mechanism pada stadium II anestesi umum.

18

Page 19: Opioid Effects dan narkotika

E. Toksisitas dan Efek Lain Yang Tidak Diinginkan.

Secara umum Intoksikasi Opioid menunjukkan adanya perubahan

perilaku maladaptif, retardasi psikomotor, mengantuk atau koma, bicara

cadel, gangguan daya ingat dan perhatian setelah penggunaan opioid yang

belum lama. Keadaan putus opioid (tanpa/dengan delirium) terjadi setelah

penghentian opioid atau setelah pemberian suatu antagonis opioid. Dan

menunjukkan gejala-gejala mirip terkena flu 5.

Berikut ini adalah kriteria diagnostik menurut DSM-IV dari kedua

kondisi tersebut di atas.

Intoksikasi Opioid:

A. Pemakaian opioid yang belum lama

B. Perilaku maladapif atau perubahan psikologis yang bermakna secara kilnis

yang berkembang selama atau segera setelah pemakaian opioid

C. Konstriksi pupil (atau dilatasi pupil karena anoksia akibat overdosis berat)

dan satu (atau lebih) tanda berikut, yang berkembang selama, atau segera

pemakaian opioid:

(1) mengantuk atau koma

(2) bicara cadel

(3) gangguan atensi atau daya ingat

D. Gejala tidak karena kondisi media umum dan gangguan mental lain

Gejala intoksikasi akut (overdosis):

1. Kesadaran menurun, sopor - koma

2. Depresi pernafasan, frekuensi pernafasan rendah 2-4 kali semenit, dan

pernafasan mungkin bersifat Cheyene stokes

3. Pupil kecil (pin point pupil), simetris dan reaktif

4. Tampak sianotik, kulit muka kemerahan secara tidak merata

5. Tekanan darah pada awalnya baik, tetapi dapat menjadi hipotensi apabila

pernafasan memburuk danterjadi syok

6. Suhu badan rendah (hipotermia) dan kulit terasa dingin

7. Bradikardi

8. Edema paru

19

Page 20: Opioid Effects dan narkotika

9. Kejang

Kematian biasanya disebabkan oleh depresi pernafasan. Angka kematian

meningkat bila pecandu narkotik menggabungkannya dengan obat-obatan

yang menimbulkan reaksi silang seperti alkohol, tranquilizer.

- Angka kematian heroin + alkohol → 40 %

- Angka kematian heroin + tranquilizer → 30 %

Addiksi heroin menunjukkan berbagai segi:

1. Habituasi, yaitu perubahan psikis emosional sehingga penderita ketagihan akan

obat tersebut.

2. Ketergantungan fisik, yaitu kebutuhan akan obat tersebut oleh karena faal dan

biokimia badan tidak dapat berfungsi lagi tanpa obat tersebut

3. Toleransi, yaitu meningkatnya kebutuhan obat tersebut untuk mendapat efek

yang sama. Walaupun toleransi timbul pada saat pertama penggunaan opioid,

tetapi manifes setelah 2-3 minggu penggunaan opioid dosis terapi. Toleransi

akan terjadi lebih cepat bila diberikan dalam dosis tinggi dan interval

pemberian yang singkat. Toleransi silang merupakan karakteristik opioid yang

penting, dimana bila penderita telah toleran dengan morfin, dia juga akan

toleran terhadap opioid agonis lainnya, seperti metadon, meperidin dan

sebagainya.

Mekanisme terjadinya toleransi dan ketergantungan obat

Mekanisme secara pasti belum diketahui, kemungkinan oleh adaptasi seluler

yang menyebabkan perubahan aktivitas enzym, pelepasan biogenic amin tertentu

atau beberapa respon imun 7.

Nukleus locus ceruleus diduga bertanggung jawab dalam menimbulkan gejala

withdrawal. Nukleus ini kaya akan tempat reseptor opioid, alpha-adrenergic dan

reseptor lainnya. Stimulasi pada reseptor opioid dan alpha-adrenergic memberikan

respon yang sama pada intraseluler. Stimulasi reseptor oleh agonis opioid

(morfin) akan menekan aktivitas adenilsiklase pada siklik AMP 5.

Bila stimulasi ini diberikan secara terus menerus, akan terjadi adaptasi

fisiologik di dalam neuron yang membuat level normal dari adeniliklase walaupun

berikatan dengan opoid. Bila ikatan opoid ini dihentikan dengan mendadak atau

20

Page 21: Opioid Effects dan narkotika

diganti dengan obat yang bersifat antagonis opioid, maka akan terjadi peningkatan

efek adenilsilase pada siklik AMP secara mendadak dan berhubungan dengan

gejala pasien berupa gejala hiperaktivitas 7.

Gejala putus obat (gejala abstinensi atau withdrawl syndrome) terjadi bila

pecandu obat tersebut menghentikan penggunaan obat secara tiba-tiba. Gejala

biasanya timbul dalam 6-10 jam setelah pemberian obat yang terakhir dan

puncaknya pada 36-48 jam 8.

Withdrawl dapat terjadi secara spontan akibat penghentian obat secara tiba-

tiba atau dapat pula dipresipitasi dengan pemberian antagonis opioid seperti

naloxon, naltrexone. Dalam 3 menit setelah injeksi antagonis opioid, timbul gejala

withdrawl, mencapai puncaknya dalam 10-20 menit, kemudian menghilang

setelah 1 jam 9.

Gejala putus obat:

1. 6 – 12 jam , lakrimasi, rhinorrhea, bertingkat, sering menguap, gelisah

2. 12 - 24 jam, tidur gelisah, iritabel, tremor, pupil dilatasi (midriasi), anoreksia

3. 24-72 jam, semua gejala diatas intensitasnya bertambah disertai adanya

kelemahan, depresi, nausea, vornitus, diare, kram perut, nyeri pada otot dan

tulang, kedinginan dan kepanasan yang bergantian, peningkatan tekanan

darah dan denyut jantung,gerakan involunter dari lengan dan tungkai,

dehidrasi dan gangguan elektrolit

4. Selanjutnya, gejala hiperaktivitas otonom mulai berkurang secara

berangsurangsur dalam 7-10 hari, tetapi penderita masih tergantung kuat pada

obat. Beberapa gejala ringan masih dapat terdeteksi dalam 6 bulan. Pada bayi

dengan ibu pecandu obat akan terjadi keterlambatan dalam perkembangan

dan pertumbuhan yang dapat terdeteksi setelah usia 1 tahun.

Berdasarkan kriteria DSM IV keadaan putus opioid adalah:

A. Salah satu berikut ini

(1) penghentian (atau penurunan) pemakaian opioid yang telah lama dan berat

(beberapa minggu atau lebih)

(2) pemberian antagonis opioid setelah suatu periode pemakaian opioid

B. Tiga (atau lebih) berikut ini, yang berkembang dalam beberapa hari setelah

21

Page 22: Opioid Effects dan narkotika

kriteria A:

(1) mood disforik; (2) mual/muntah; (3) nyeri otot; (4) lakrimasi/rinorea

(5) dilatasi pupil, pioenksi, keringatdiai (6) diare; (7) menguap;(8) demam

(9) insomnia.

C. Gejala dalam kriteria B menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis

atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.

D. Gejala bukan karena kondisi medis umum dan gangguan mental lain.

PENATALAKSANAAN

Intoksikasi akut (over dosis) 5

1. Perbaiki dan pertahankan jalan nafas sebaik mungkin

2. Oksigenasi yang adekuat

3. Naloxone injeksi, dosis awal 0,4 – 2,0 mg IV (anak-anak 0,01 mg/kgBB)

Efek naloxane terlihat dalam 1 – 3 menit dan mencapai puncaknya pada 5-10

menit. Bila tidak ada respon naloxane 2 mg dapat diulang tiap 5 menit hingga

maksimum 10 mg. Naloxone efektif untuk memperbaiki derjat kesadaran,

depresi pernafasan, ukuran pupil. Pasien masih harus diobservasi terhadap

efek naloxone dalam 2-3 jam. Oleh karena duration of action yang pendek.

Untuk mencegah rekulensi efek opoid dapat diberikan infus naloxone 0,4-

0,8mg/jam hingga gejala minimal (menghilang).

Intoksikasi kronis

Hospitalisasi

Hospitalisasi dilakukan untuk pasien pasien adiksi zat, terutama ditujukan untuk:

1. Terapi kondisi withdrawl

2. Terapi detoksifikasi

3. Terapi rumatan (maintenance)

4. Terapi komplikasi

5. Terapi aftercare

Dengan masuknya pasien adiksi ke RS, evaluasi medis fisik perlu mendapat

prioritas. Disamping pemeriksaan urine drug screen (untuk mengetahui apakah

pasien menggunakan zat lain yang tidak diakuinya), pemeriksaan laboratorium

rutin (termasuk fungsi faal hati, ginjal, dan jantung), juga dilakukan foto thorak 9.

22

Page 23: Opioid Effects dan narkotika

Terapi detoksifikasi bertujuan agar pasien memutuskan penggunaan zatnya

dan mengembalikan kemampuan kognitifnya. Tidak ada bentuk terapi lain yang

harus dilakukan sebelum kedua tujuan tersebut berhasil dicapai.

Tujuan hospitalisasi lainnya adalah membantu pasien agar dapat

mengidentifikasi konsekwensi yang diperoleh sebagai akibat penggunaan zat dan

memahami resikonya bila terjadi relaps. Dari segi mental, hospitalisasi membatu

mengendalikan suasana perasaannya seperti depressi, paranoid, quilty feeling

karena penyesalan perbuatannya dimasa lalu, destruksi diri dan tindakkekerasan 8.

Hospitalisasi jangka pendek sangat disarankan bagi adiksi zat yang memang

harus mendapatkan perawatan karena kondisinya. Selama perawatan jangka

pendek, pasien dipersiapkan untuk mengikuti terapi rumatan. Untuk kondisi

adiksinya, pasien tidak pernah disarankan untuk perawatan jangka panjang 5.

Fermakoterapi

Terapi withdrawl opioid

1. Withdrawl opioid tidak mengancam jiwa, tetapi berhubungan dengan

gangguan fisikologis dan distress fisik yang cukup berat.

2. Kebanyakan pasien dengan gejala putus obat yang ringan hanya

membutuhkan lingkungan yang mendukung mereka tanpa memerlukan obat

3. Klonidin dapat digunakan untuk mengurangi gejala putus obat dengan

menekan perasaan gelisah, lakrimasi, rhinorrhea dan keringat berlebihan.

Dosis awal diberikan 0,1-0,2 mg tiap 8 jam. Kemudian dapat dinaikkan bila

diperlukan hingga 0,8 –1,2 mg/hari, selanjutnya dapat ditappering off setelah

10-14 hari.

4. Terapi non spesifik (simptomatik)

5. Gangguan tidur (insomnia) dapat diberikan hipnotik sedatif

6. Nyeri dapat diberikan analgetik

7. Mual dan muntah dapat diberikan golongan metoklopamide

8. Kolik dapat diberikan antispasmolitika

9. Gelisah dapat diberikan antiansietas

10. Rhinorrhea dapat diberikan golongan fenilpropanolamin

23

Page 24: Opioid Effects dan narkotika

Terapi detoksifikasi adiksi opioid 5

1. Metadon merupakan drug of choice dalam terapi detoksifikasi adiksi opioid.

Namun bila dosis metadon diturunkan, kemungkinan relaps sering terjadi.

Kendala lain adalah membutuhkan waktu lama dalam terapi detoksifikasi,

dan bila menggunakan opioid antagonis maka harus menunggu gejala

abstinensia selama 5-7 hari. Dosis metadon yang dianjurkan untuk terapi

detoksifikasi heroin (morfin) adalah 2-3 x 5-10 mg perhari peroral. Setelah 2-

3 hari stabil dosis mulai ditappering off dalam 1-3 minggu.

2. Buprenorphine dosis rendah (1,5-5 mg sublingual setiap 2-3 x seminggu)

dilaporkan lebihefektif dan efek withdrawl lebih ringan dibandingkan

metadone.

3. Terapi alternatif lain yang disarankan adalah rapid detoxification yang

mempersingkat waktu terapi deteksifikasi dan memudahkan pasien untuk

segera masuk dalam terapi opoid antagonis. Jenis teknik rapid deteksifikasi

antara lain klinidin naltrexon.

Terapi rumatan (maintenance) adiksi opioid 5

1. Metadon dan Levo alfa acetyl;methadol (LAAM) merupakan standar terapi

rumatan adiksi opioid. Metadon diberikan setiap hari, sedangkan LAAM

hanya 3 kali seminggu. Pemberian metadon dan LAAM pada terapi rumatan

sangat membantu menekan prilaku kriminal. Untuk terapi maintenance, dosis

metadon dapat ditingkatkan (biasanya 40-100 mg/hari). Untuk menjaga

pasien tetap menyenangkan dan diturunkan secara perlahan-lahan.

Terapi after care

Meliputi upaya pemantafan dalam bidang fisik, mental, keagamaan, komunikasi

interaksi sosial,edukasional, bertujuan untuk mencapai kondisi prilaku yang lebih

baik dan fungsi yang lebih baik dari seorang mantan penyalahguna zat. Peranan

keluarga pada saat ini sangat diperlukan.

24

Page 25: Opioid Effects dan narkotika

BAB III

KESIMPULAN

1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman

baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau

perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan

rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

2. Pengaruh narkotika terhadap susunan saraf pusat adalah:

a. Efek Analgesia

b. Efek Terhadap Sistem Limbik berupa sistem timbulnya rasa nyeri

menetap dan kronik (dull and chronic pain) yang efektif diatasi dengan

opoid.

c. Efek Terhadap Mood (Suasana Hati)

d. Perubahan EEG, Pemberian morfin menyebabkan gambaran frekuensi

lambat dan voltase tinggi, yang mirip dengan gambaran EEG saat tidur

atau pada pemberian barbiturat dosis rendah

e. Efek Terhadap Sistem Serotonin ini merupakan hipotesis terhadap efek

analgesik dari morfin, karena serotonin diketahui berperan dalam

modulasi persepsi nyeri

f. Efek Terhadap Sistem Noradrenergik, Efek analgesik opoid juga diduga

melalui pengaruhnya terhadap sistem noradrenergik

g. Efek Terhadap Sistem Dopamin, Metabolisme dopamin di otak

distimulasi oleh narkotika; menyebabkan peningkatan turn over dopamin

h. Efek Terhadap Aksis Hipotalamus-Hipofisis, Injeksi morfin berulang-

ulang menyebabkan penurunan sekresi ACTH serta meningkatkan GH

dan ADH.

i. Efek Terhadap Respirasi, Morfin menimbulkan depresi napas secara

primer dan bersinambung berdasarkan efek langsung terhadap pusat

napas di batang otak.

25

Page 26: Opioid Effects dan narkotika

j. Mual Dan Muntah terjadi berdasarkan stimulasi langsung pada emetic

chemoreceptor trigger zone di area postrema medula olongata, bukan

oleh stimulasi pusat emetik sendiri

k. Miosis, Miosis ditimbulkan akibat stimulasi pada nukleus Edinger

Westphal pada segmen otonom inti saraf okulomotor

l. Eksitasi, Morfin dan opioid lain sering menimbulkan mual dan muntah,

sedangkan delirium dan konvulsi lebih jarang timbul.

26

Page 27: Opioid Effects dan narkotika

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan RI, Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 tahun

1997 tentang Narkotika, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

2. Rustyawati. Beberapa Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan

Penyalahgunaan Narkoba Pada Penderita Yang Dirawat di Panti Rehabilitasi

(Studi Kasus Di Semarang Dan Sekitarnya). Epidemiology. 2005;21 : 121.

3. Betram G. Katzung. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC; 1999.

4. Goodman G dan Gilman. Pharmacological Basis of Therapeutics. Singapore:

McGraw-Hill; 1992.

5. Iskandar Japardi. Efek Neurologis Pada Penggunaan Heroin (Putauw).

Fakultas Kedokteran Bagian Bedah Universitas Sumatera Utara.[Serial

Online] [Cited 2010 Mei 14]; 1(1). Available from: URL:

http://www.usu.ac.id.

6. Sulistia G. Ganiswarna. Farmakologi dan Terapi ed 4. Jakarta: FK UI; 1995

7. Parham Gharagozlou et al. Pharmacological Profiles Of Opioid Ligands At

Kappa Opioid Receptors. BMC Pharmacology 2006, 6:3.

8. Andrea M. Trescot, Sukdeb Datta, Marion Lee, and Hans Hansen. Opioid

Pharmacology. Pain Physician. 2008; 11:S133-S153.

9. Tania M. R , GregoryW. H, Geoff St, Marc S. Intranasal Naloxone Is

A Viable Alternative To Intravenous Naloxone For Prehospital Narcotic

Overdose. Prehospital Emergency Care. 2009;13:512–515.

27