analgetik opioid dan non opioid.docx

30
ANALGETIK OPIOID DAN NON OPIOID Oleh : Doppy Andika 1010312047 Preseptor : dr. Emilzon Taslim, Sp.An, KAO, M.Kes BAGIAN ILMU ANESTESI DAN REANIMASI RUMAH SAKIT DR.M.DJAMIL PADANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

Upload: inezamelinda

Post on 18-Jan-2016

699 views

Category:

Documents


15 download

TRANSCRIPT

Page 1: ANALGETIK OPIOID DAN NON OPIOID.docx

ANALGETIK OPIOID DAN NON OPIOID

Oleh :

Doppy Andika 1010312047

Preseptor :

dr. Emilzon Taslim, Sp.An, KAO, M.Kes

BAGIAN ILMU ANESTESI DAN REANIMASI

RUMAH SAKIT DR.M.DJAMIL PADANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

2014

Page 2: ANALGETIK OPIOID DAN NON OPIOID.docx

BAB I

PENDAHULUAN

Analgetik adalah suatu senyawa atau obat yang dipergunakan untuk mengurangi rasa

sakit atau nyeri. Nyeri timbul akibat oleh berbagai rangsangan pada tubuh misalnya rangsangan

mekanis, kimiawi dan fisis sehingga menimbulkan kerusakan pada jaringan yang memicu

pelepasan mediator nyeri seperti bradikinin dan prostaglandin yang akhirnya mengaktivasi

reseptor nyeri di saraf perifer dan diteruskan ke otak. Secara umum analgetik dibagi dalam dua

golongan, yaitu analgetik non narkotik dan analgetik narkotik (opioid). Analgetik narkotik

(opioid) merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti opium. Meskipun mempelihatkan

berbagai efek farmakologik yang lain, golongan obat ini digunakan terutama untuk meredakan

atau menghilangkan rasa nyeri. Opioum yang berasal dari getah Papaver somniferum

mengandung sekitar 20 jenis alkaloid diantaranya morfin, kodein, tebain, papaverin. Analgetik

opioid terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan nyeri meskipun juga

memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain. Opiat atau yang dikenal sebagai

narkotik adalah bahan yang digunakan untuk menidurkan atau melegakan rasa sakit, tetapi

mempunyai potensi yang tinggi untuk menyebabkan ketagihan. Sebagian dari opiat ,seperti

candu,morfin,heroin dan kodein diperoleh dari getah buah popi yang terdapat atau berasal dari

negara-negara Timur Tengah dan Asia. Pengaruh dari berbagai obat golongan opioid sering

dibandingkan dengan morfin, dan tidak semua obat golongan opioid dipasarkan di Indonesia.

Akan tetapi dengan sediaan yang sudah ada kiranya penangganan nyeri yang membutuhkan obat

opioid dapat dilakukan. Terbatasnya peredaran obat tersebut tidak terlepas pada kekhawatiran

terjadinya penyalahgunaan obat.

Page 3: ANALGETIK OPIOID DAN NON OPIOID.docx

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANALGETIK OPIOID

A. Definisi

Opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium atau morfin.

Golongan obat ini terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri. Semua

analgesik opioid menimbulkan adiksi/ketergantungan. Dengan kata lain, opioid adalah semua zat

baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor morfin. Opioid disebut juga

sebagai analgesia narkotik yang sering digunakan dalam anastesia untuk mengendalikan nyeri

saat pembedahan dan nyeri pasca pembedahan. Opioid yang sering digunakan dalam anastesi

antara lain adalah morfin, petidin, fentanil.

B. Klasifikasi Opioid

Penggolongan opioid antara lain:

1. Opioid natural (morfin, kodein, pavaperin, dan tebain)

2. Semisintetik (heroin, dihidro morfin/morfinon, derivate tebain)

3. Sintetik (petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil dan remifentanil).

C. Mekanisme Kerja

Reseptor opioid sebenarnya tersebar luas diseluruh jaringan sistem saraf pusat, tetapi

lebih terkonsentrasi di otak tengah yaitu di sistem limbik, thalamus, hipothalamus corpus

striatum, sistem aktivasi retikuler dan di corda spinalis yaitu substantia gelatinosa dan dijumpai

Page 4: ANALGETIK OPIOID DAN NON OPIOID.docx

pula di pleksus saraf usus. Molekul opioid dan polipeptida endogen (metenkefalin, beta-endorfin,

dinorfin) berinteraksi dengan reseptor morfin dan menghasilkan efek. Suatu opioid mungkin

dapat berinteraksi dengan semua jenis reseptor akan tetapi dengan afinitas yang berbeda dan

dapat bekerja sebagai agonis, antagonis, dan campuran.

Secara umum, efek obat-obat narkotik/ opioid antara lain ;

1. Efek sentral:

a. Menurunkan persepsi nyeri dengan stimulasi (pacuan) pada reseptor opioid (efek analgesi)

b. Pada dosis terapik normal, tidak mempengaruhi sensasi lain.

c. Mengurangi aktivitas mental (efek sedative)

d. Menghilangkan kecemasan (efek transqualizer)

e. Meningkatkan suasana hati (efek euforia), walaupun sejumlah pasien merasakan sebaliknya

(efek disforia)

f. Menghambat pusat respirasi dan batuk (efek depresi respirasi dan antitusif)

g. Pada awalnya menimbulkan mual-muntah (efek emetik), tapi pada akhirnya menghambat

pusat emetik (efek antiemetik)

h. Menyebabkan miosis (efek miotik)

i. Memicu pelepasan hormon antidiuretika (efek antidiuretika)

j. Menunjukkan perkembangan toleransi dan dependensi dengan pemberian dosis yang

berkepanjangan.

2. Efek perifer:

a. Menunda pengosongan lambung dengan kontriksi pilorus

b. Mengurangi motilitas gastrointestinal dan menaikkan tonus (konstipasi spastik)

Page 5: ANALGETIK OPIOID DAN NON OPIOID.docx

c. Kontraksi sfingter saluran empedu

d. Menaikkan tonus otot kandung kencing

e. Menurunkan tonus vaskuler dan menaikkan resiko reaksi ortostastik

f. Menaikkan insidensi reaksi kulit, urtikaria dan rasa gatal karena pelepasan histamin, dan

memicu bronkospasmus pada pasien asma.

D. Obat-obat opioid yang biasa digunakan dalam anastesi antara lain:

1.   MORFIN

a. Farmakodinamik

Efek morfin terjadi pada susunan syaraf pusat dan organ yang mengandung otot polos.

Efek morfin pada sistem syaraf pusat mempunyai dua sifat yaitu depresi dan stimulasi.

Digolongkan depresi yaitu analgesia, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi alveolar. Stimulasi

termasuk stimulasi parasimpatis, miosis, mual muntah, hiperaktif reflek spinal, konvulsi dan

sekresi hormon anti diuretika (ADH).

b. Farmakokinetik

Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat menembus kulit yang luka. Morfin

juga dapat menembus mukosa. Morfin dapat diabsorsi usus, tetapi efek analgesik setelah

pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgesik yang timbul setelah pemberian

parenteral dengan dosis yang sama. Morfin dapat melewati sawar uri dan mempengaharui janin.

Eksresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam tinja dan

keringat.

Page 6: ANALGETIK OPIOID DAN NON OPIOID.docx

c. Indikasi

Morfin dan opioid lain terutama diindikasikan untuk meredakan atau menghilangkan

nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-opioid. Apabila nyerinya makin besar

dosis yang diperlukan juga semakin besar. Morfin sering digunakan untuk meredakan nyeri yang

timbul pada  infark miokard, neoplasma, kolik renal atau kolik empedu, oklusi akut pembuluh

darah perifer, pulmonal atau koroner, perikarditis akut, pleuritis dan pneumotorak spontan, nyeri

akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri pasca bedah.

d. Efek samping

Efek samping morfin (dan derivat opioid pada umumnya) meliputi depresi pernafasan,

nausea, vomitus, dizzines, mental berkabut, disforia, pruritus, konstipasi kenaikkan tekanan pada

traktus bilier, retensi urin, dan hipotensi.

e. Dosis dan sediaan

Morfin tersedia dalam tablet, injeksi, supositoria. Morfin oral dalam bentuk larutan

diberikan teratur dalam tiap 4 jam. Dosis anjuran untuk menghilangkan atau mengurangi nyeri

sedang adalah 0,1-0,2 mg/ kg BB. Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena dan dapat

diulang sesuai yang diperlukan.

Page 7: ANALGETIK OPIOID DAN NON OPIOID.docx

2. PETIDIN

a. Farmakodinamik

Meperidin (petidin) secara farmakologik bekerja sebagai agonis reseptor µ. Seperti

halnya morfin, meperidin (petidin) menimbulkan efek analgesia, sedasi, euforia, depresi nafas

dan efek sentral lainnya. Waktu paruh petidin adalah 5 jam. Efektivitasnya lebih rendah

dibanding morfin, tetapi lebih tinggi dari kodein. Durasi analgesinya pada penggunaan klinis 3-5

jam. Dibandingkan dengan morfin, meperidin lebih efektif terhadap nyeri neuropatik. 

b.Perbedaan antara petidin (meperidin) dengan morfin sebagai berikut :

1). Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang larut dalam air.

2). Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam meperidinat dan

asam normeperidinat. Normeperidin adalah metabolit yang masih aktif memiliki sifat konvulsi

dua kali lipat petidin, tetapi efek analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin

bentuk asli ditemukan dalam urin.

3).Petidin bersifat atropin menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan pandangan dan takikardia.

4). Petidin menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter oddi lebih ringan.

5).Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah yang tidak ada

hubungannya dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg i.v pada dewasa.

6). Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin.

c. Farmakokinetik

Absorbsi meperidin dengan cara pemberian apapun berlangsung baik. Akan tetapi

kecepatan absorbsi mungkin tidak teratur setelah suntikan IM. Kadar puncak dalam plasma

Page 8: ANALGETIK OPIOID DAN NON OPIOID.docx

biasanya dicapai dalam 45 menit dan kadar yang dicapai antar individu sangat bervariasi. Setelah

pemberian meperidin IV, kadarnya dalam plasma menurun secara cepat dalam 1-2 jam pertama,

kemudian penurunan berlangsung lebih lambat. Kurang lebih 60% meperidin dalam plasma

terikat protein. Metabolisme meperidin terutama dalam hati. Pada manusia meperidin mengalami

hidrolisis menjadi asam meperidinat yang kemudian sebagian mengalami konjugasi. Meperidin

dalam bentuk utuh sangat sedikit ditemukan dalam urin. Sebanyak 1/3 dari satu dosis meperidin

ditemukan dalam urin dalam bentuk derivat N-demitilasi.

Meperidin dapat menurunkan aliran darah otak, kecepatan metabolik otak, dan tekanan

intra kranial. Berbeda dengan morfin, petidin tidak menunda persalinan, akan tetapi dapat masuk

ke fetus dan menimbulkan depresi respirasi pada kelahiran.

d. Indikasi

Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa keadaan

klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih pendek daripada morfin.

Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia obstetrik dan sebagai obat preanestetik.

e. Dosis dan sediaan

Sediaan yang tersedia adalah tablet 50 dan 100 mg ; suntikan 10 mg/ml, 25 mg/ml, 50

mg/ml, 75 mg/ml, 100 mg/ml. ; larutan oral 50 mg/ml. Sebagian besar pasien tertolong dengan

dosis parenteral 100 mg. Dosis untuk bayi dan anak ; 1-1,8 mg/kg BB.

f. Efek samping

Page 9: ANALGETIK OPIOID DAN NON OPIOID.docx

Efek samping meperidin dan derivat fenilpiperidin yang ringan berupa pusing,

berkeringat, euforia, mulut kering, mual-muntah, perasaan lemah, gangguan penglihatan,

palpitasi, disforia, sinkop dan sedasi.

3. FENTANIL

a. Farmakodinamik

Turunan fenilpiperidin ini merupakan agonis opioid poten. Sebagai suatu analgesik,

fentanil 75-125 kali lebih poten dibandingkan dengan morfin. Awitan yang cepat dan lama aksi

yang singkat mencerminkan kelarutan lipid yang lebih besar dari fentanil dibandingkan dengan

morfin. Fentanil (dan opioid lain) meningkatkan aksi anestetik lokal pada blok saraf tepi.

Keadaan itu sebagian disebabkan oleh sifat anestetsi lokal yamg lemah (dosis yang tinggi

menekan hantara saraf) dan efeknya terhadap reseptor opioid pada terminal saraf tepi. Fentanil

dikombinasikan dengan droperidol untuk menimbulkan neureptanalgesia.

b.Farmakokinetik

Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hampir sama

dengan dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama kali melewatinya.

Fentanil dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilase dan hidrosilasidan, sedangkan sisa

metabolismenya dikeluarkan lewat urin.

c. Indikasi

Efek depresinya lebih lama dibandingkan efek analgesinya. Dosis 1-3 mg /kg BB

analgesianya hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya dipergunakan untuk anastesia

Page 10: ANALGETIK OPIOID DAN NON OPIOID.docx

pembedahan dan tidak untuk pasca bedah. Dosis besar 50-150 mg/kg BB digunakan untuk

induksi anastesia dan pemeliharaan anastesia dengan kombinasi bensodioazepam dan inhalasi

dosis rendah, pada bedah jantung. Sediaan yang tersedia adalah suntikan 50 mg/ml.

d.Efek samping

Efek yang tidak disukai ialah kekakuan otot punggung yang sebenarnya dapat dicegah

dengan pelumpuh otot. Dosis besar dapat mencegah peningkatan kadar gula, katekolamin

plasma, ADH, renin, aldosteron dan kortisol. 

2.2 ANALGETIKA NON OPIOID (NSAID)

Obat-obatan dalam kelompok ini memiliki target aksi pada enzim, yaitu enzim

siklooksigenase (COX). COX berperan dalam sintesis mediator nyeri, salah satunya adalah

prostaglandin. Mekanisme umum dari analgetik jenis ini adalah mengeblok pembentukan

prostaglandin dengan jalan menginhibisi enzim COX pada daerah yang terluka dengan demikian

mengurangi pembentukan mediator nyeri . Mekanismenya tidak berbeda dengan NSAID dan COX-2

inhibitors.

Efek samping yang paling umum dari golongan obat ini adalah gangguan lambung usus,

kerusakan darah, kerusakan hati dan ginjal serta reaksi alergi di kulit. Efek samping biasanya

disebabkan oleh penggunaan dalam jangka waktu lama dan dosis besar. Obat- obat Nonopioid

Analgesics ( Generic name ) Acetaminophen, Aspirin, Celecoxib, Diclofenac, Etodolac, Fenoprofen,

Flurbiprofen Ibuprofen, Indomethacin, Ketoprofen, Ketorolac, Meclofenamate, Mefanamic acid

Nabumetone, Naproxen, Oxaprozin, Oxyphenbutazone, Phenylbutazone, Piroxicam Rofecoxib,

Sulindac, Tolmetin. Deskripsi Obat Analgesik Non-opioid.

Page 11: ANALGETIK OPIOID DAN NON OPIOID.docx

a. Salicylates

Contoh obatnya: Aspirin, mempunyai kemampuan menghambat biosintesis prostaglandin.

Kerjanya menghambat enzim siklooksigenase secara ireversibel, pada dosis yang tepat,obat

ini akan menurunkan pembentukan prostaglandin maupun tromboksan A2, pada dosis yang

biasa efek sampingnya adalah gangguan lambung (intoleransi). Efek ini dapat diperkecil

dengan penyangga yang cocok (minum aspirin bersama makanan yang diikuti oleh segelas

air atau antasid).

b. p-Aminophenol Derivatives

Contoh obatnya : Acetaminophen (Tylenol) adalah metabolit dari fenasetin. Obat ini

menghambat prostaglandin yang lemah pada jaringan perifer dan tidak memiliki efek anti-

inflamasi yang bermakna. Obat ini berguna untuk nyeri ringan sampai sedang seperti nyeri

kepala, mialgia, nyeri pasca persalinan dan keadaan lain. Efek samping kadang-kadang

timbul 10 kali peningkatan ringan enzim hati. Pada dosis besar dapat menimbulkan pusing,

mudah terangsang dan disorientasi.

c. Indoles and Related Compounds

Contoh obatnya : Indomethacin (Indocin), obat ini lebih efektif daripada aspirin, merupakan

obat penghambat prostaglandin terkuat. Efek samping menimbulkan efek terhadap saluran

cerna seperti nyeri abdomen, diare, pendarahan saluran cerna, dan pancreatitis, serta

menimbulkan nyeri kepala, dan jarang terjadi kelainan hati.

d. Fenamates

Contoh obatnya : Meclofenamate (Meclomen), merupakan turunan asam fenamat,

mempunyai waktu paruh pendek, efek samping yang serupa dengan obat-obat AINS baru

Page 12: ANALGETIK OPIOID DAN NON OPIOID.docx

yang lain dan tak ada keuntungan lain yang melebihinya. Obat ini meningkatkan efek

antikoagulan oral. Dikontraindikasikan pada kehamilan.

e. Arylpropionic Acid Derivatives

Contoh obatnya : Ibuprofen (Advil), tersedia bebas dalam dosis rendah dengan berbagai

nama dagang. Obat ini dikontraindikasikan pada mereka yang menderita polip hidung,

angioedema, dan reaktivitas bronkospastik terhadap aspirin. Efek samping: gejala saluran

cerna.

f. Pyrazolone Derivatives

Contoh obatnya : Phenylbutazone (Butazolidin) untuk pengobatan artristis rmatoid, dan

berbagai kelainan otot rangka. Obat ini mempunya efek anti-inflamasi yang kuat. Tetapi

memiliki efek samping yang serius seperti agranulositosis, anemia aplastik, anemia

hemolitik, dan nekrosis tubulus ginjal. g. Oxicam Derivatives Contoh obatnya : Piroxicam

(Feldene), obat AINS dengan struktur baru. Waktu paruhnya panjang untuk pengobatan

artristis rmatoid, dan berbagai kelainan otot rangka. Efek sampingnya meliputi tinitus, nyeri

kepala, dan rash.

g. Acetic Acid Derivatives

Contoh Obatnya : Diclovenac (Volatren) : Obat ini adalah penghambat siklooksigenase yang

kuat dengan efek antiinflamasi , analgetik, dan antipiretik. Waktu paruhnya pendek,

dianjurkan untuk pengobatan arthritis rheumatoid dan berbagai kelainan otot rangka. Efek

sampingnya distress saluran cerna, perdarahan saluran cerna dan tukak lambung.

Page 13: ANALGETIK OPIOID DAN NON OPIOID.docx

h. Miscellaneous Agents

Contoh obatnya: Oxaprozin(Daypro). Obat ini mempunyai waktu paruh yang panjang. Obat

in memiliki beberapa keuntungan dan resiko yang berkaitan dengan obat AINS lain.

Contoh Obat

1.      Ketorolak

-          Diberikan secara oral, intramuskular, intravena.

-          Efek analgesia dicapai dalam 30 menit, maksimal setelah 1-2 jam.

-          Lama kerja 4-6 jam.

-          Dosis awal 10-30mg/hari dosis maks. 90mg/hari

-          30mg ketorolak=12mg morfin=100mg petidin, dapat digunakan bersama opioid.

-          Cara kerja menghambat sintesis prostaglandin di perifer tanpa mengganggu reseptor opioid di

sistem saraf pusat.

-          Tidak untuk wanita hamil, menghilangkan nyeri persalinan, wanita menyusui, usia lanjut,

anak usia <4th.

2.      Ketoprofen

-          Diberikan secara oral, kapsul, tablet 100-200 mg/hari.

-          Per-rektal 1-2 suppositoria.

-          Suntikan intarmuskuler 100-300mg/hari.

-          Intravena  per-infus dihabiskan dalam 20 menit.

Page 14: ANALGETIK OPIOID DAN NON OPIOID.docx

Efek samping golongan NSAID 

-          Gangguan saluran cerna: nyeri lambung, panas, kembung, mual-muntah, konstipasi, diare,

dispepsia, perdarahan tukak lambung, ulserasi mukosa lambung.

-          Hipersensitivitas kulit: gatal, pruritus, erupsi, urtikaria, sindroma Steven-Johnson.

-          Gangguan fungsi ginjal: penurunan aliran darah ginjal, penurunan laju filtrasi glomerulus,

retensi natrium, hiperkalemia, peningkatan ureum-kreatinin, pererenal azotemia, nekrosis papil

ginjal, nefritis, sindroma nefrotik.

-          Gangguan fungsi hepar: peningkatan SGOT, SGPT, gamma globulin, bilirubin, ikterus

hepatoseluler.

-          Gangguan sistem darah: trombositopenia, leukimia, anemia aplastik.

-          Gangguan kardiovaskuler: akibat retensi air menyebabkan edema, hipertensi, gagal jantung.

-          Gangguan respirasi: tonus bronkus meningkat, asma.

-          Keamanan belum terbukti pada wanita hamil, menyusui, proses persalinan, anak kecil,

manula.

Page 15: ANALGETIK OPIOID DAN NON OPIOID.docx

2.3 PEMBERIAN ANALGETIKA PADA PASIEN FRAKTUR

1. Pendahuluan

Muskuloskeletal adalah sistem organ yang paling luas di tubuh manusia. Ada banyak bentuk

cedera yang mungkin terjadi pada sistem organ ini. Salah satu bentuk cedera pada system

muskuloskeletal adalah fraktur. Fraktur adalah perubahan bentuk tulang dimana terbentuk

inkontinuitas pada bagian tulang yang seharusnya menyambung.

2. Pembahasan

Sebagian besar manajemen farmakologi yang dilakukan pada pasien fraktur bertujuan untuk

meredakan nyeri yang dialami oleh pasien. Nyeri pada fraktur disebabkan oleh perdarahan,

pembengkakan, pergerakan abnormal pada jaringan lunak di sekitarnya, dan pelepasan mediator-

mediator inflamasi. Nyeri yang dialami oleh pasien fraktur biasanya merupakan nyeri yang sangat

hebat, sehingga analgesik opioid, seperti morfin menjadi sebuah pilihan terakhir jika analgesik

lainnya tidak berhasil mengurangi nyeri. Obat anti-inflamasi non steroid tidak dianjurkan untuk

digunakan karena sifatnya yang menghambat COX-1 dan COX-2 akan menghambat proses

penyembuhan.1,2

Ketorolak

Ketorolak termasuk anti inflamasi non-steroid dengan sifat analgesik yang kuat dan efek

antiinflamasi sedang. Ketorolak bekerja secara selektif menghambat COX-1. Absorpsi ketorolak

berlangsung cepat, baik itu melalui oral, maupun intramuskular. Ketorolak dapat dipakai sebagai

pengganti morfin dan penggunaannya dengan analgesik opioid dapat mengurangi kebutuhan opioid

sebesar 20-50%. Dosis intramuskular ketorolak sebesar 30-60 mg, secara intravena sebesar 15-30

Page 16: ANALGETIK OPIOID DAN NON OPIOID.docx

mg, dan secara oral sebesar 5-30 mg. Ketorolak bersifat toksik pada beberapa organ, seperti hati,

lambung, dan ginjal jika digunakan dalam jangka waktu lebih dari 5 hari.3,4,5

Metadon

Metadon diberikan untuk meredakan jenis nyeri yang dapat dipengaruhi morfin. Pada dosis

yang ekuianalgetik, metadon sedikit lebih kuat daripada morfin. Efek analgetik mulai timbul 10-20

menit setelah pemberian parenteral dan 30-60 menit setelah pemberian oral. Metadon biasanya

digunakan sebagai pengganti morfin untuk mencegah timbulnya gejala putus. Gejala putus obat yang

ditimbulkan oleh metadon tidak sekuat yang ditimbulkan oleh morfin, tetapi berlangsung lebih lama.

Dosis pemberian metadon secara oral adalah 2,5-15 mg dan 2,5-10 mg untuk pemberian secara

parenteral.4,5

Selain sebagai penghilang rasa nyeri yang ada, manajemen farmakologi pada fraktur juga

bersifat profilaksis. Hal ini dilakukannya khususnya pada fraktur terbuka dan fraktur yang akan

segera dilakukan fiksasi interna. Umumnya, diberikan antibiotik cephalosporin generasi 1 dengan

dosis 1 gram pada fraktur yang akan segera difiksasi interna. Untuk fraktur terbuka, antibiotik yang

diberikan disesuaikan besar luka yang terbentuk. Jika lukanya bersih dan luasnya kurang dari 1 cm,

cephalosporin generasi pertama dengan dosis 1 gram sudah cukup. Jika lukanya lebih luas, harus

ditambahkan pemberian antibiotik khusus gram negatif. Jika lukanya tampak agak kotor, pemberian

1,5 mg gentamicin juga harus dilakukan dan jika lukanya tampak sangat kotor harus dilakukan

pemberian penicillin untuk mencegah infeksi clostridium.3

Page 17: ANALGETIK OPIOID DAN NON OPIOID.docx

Morfin

Farmakodinamik

Morfin bekerja secara agonis pada reseptor µ. Morfin menimbulkan analgesia dengan

cara berikatan pada reseptoropioid pada SSPdan medulla spinalis yang berperan pada transmisi

dan modulasi nyeri. Reseptor opioid terdapat pada saraf yang mentransmisi nyeri di medula spinalis

dan aferen primer yang merelai nyeri. Reseptor opioid membentuk g-protein coupled receptor.

Morfin yang ditangkap reseptor aferen primer akan mengurangi pelepasan neurotransmitter yang

selanjutnya akan menghambat saraf yang mentransmisi nyeri di kornu dorsalis medula spinalis.

Selain itu, morfin juga menghasilkan efek inhibisi pascasinaps melalui reseptor μ di otak. Analgesi

pada penggunaan morfin dapat timbul sebelum pasien tidur dan kadang tanpa disertai tidur.

Pemberian morfin dalam dosis kecil (5-10 mg) akan menyebabkan euforia pada pasien yang sedang

nyeri. Namun, pemberian morfin dengan dosis 15-20 mg, pasien akan tertidur cepat dan nyenyak.

Efek analgetik morfin dan opioid lain sangat selektif dan tidak disertai hilangnya fungsi sensorik lain.

Yang terjadi adalah perubahan reaksi terjadap stimulus nyeri, jadi stimulus nyeri tetap ada namun

reaksinya berbeda.3,4,5

Farmakokinetik

Pada umumnya, morfin diberikan secara oral maupun parenteral dengan efek analgetik yang

ditimbulkan pemberian oral jauh lebih rendah daripada pemberian parenteral. Kemudian, morfin

akan mengalami konyugasi dengan asam glukoronat di hati. Ekskresi morfin terutama dilakukan oleh

ginjal dan sebagian kecil morfin bebas terdapat di tinja dan keringat.3,4,5

Morfin dan opioid lain terutama diindikasikan untuk meredakan nyeri hebat yang tidak dapat diobati

dengan analgesik non-opioid. Morfin sering digunakan untuk nyeri yang menyertai

1) infark miokard

2) neoplasma

Page 18: ANALGETIK OPIOID DAN NON OPIOID.docx

3) kolik renal atau kolik empedu

4) oklusio akut pembuluh darah perifer, pulmonal, atau koroner

5) perikarditis akut, pleuritis, dan pneumotoraks spontan, dan

6) trauma misalnya luka bakar, fraktur, dan nyeri pascabedah3,4,5

Morfin bersifat adiksi yang menyangkut tiga fenomena, yaitu

1) habituasi, yaitu perubahan psikis emosional sehingga pasien ketagihan morfin

2) ketergantungan fisik, yaitu ketergantungan kerena faal dan biokimia tubuh tidak berfungsi lagi

tanpa morfin

3) adanya toleransi3,4,5

Page 19: ANALGETIK OPIOID DAN NON OPIOID.docx

BAB III

PENUTUP

1. Pengaruh dari berbagai obat golongan opioid sering dibandingkan dengan morfin, dan

tidak semua obat golongan opioid yang dipasarkan di Indonesia. Terbatasnya peredaran

obat tersebut tidak terlepas pada kekhawatiran terjadinya penyalahgunaan obat.

2. Opioid yang sering digunakan dalam anastesi antara lain adalah morfin, petidin, fentanil.

3. Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor

morfin. Opioid disebut juga sebagai analgesia narkotik yang sering digunakan dalam

anastesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri pasca pembedahan.

4. Analgetik non opioid bekerja dengan cara mengeblok pembentukan prostaglandin dengan

jalan menginhibisi enzim COX pada daerah yang terluka dengan demikian mengurangi

pembentukan mediator nyeri, dengan salah satu contoh obatnya adalah ketorolac.

5. Nyeri yang dialami oleh pasien fraktur biasanya merupakan nyeri yang sangat hebat,

sehingga analgesik opioid, seperti morfin menjadi sebuah pilihan terakhir jika analgesik

lainnya tidak berhasil mengurangi nyeri. Obat anti-inflamasi non steroid tidak dianjurkan.

Page 20: ANALGETIK OPIOID DAN NON OPIOID.docx

DAFTAR PUSTAKA

H. Sardjono, Santoso dan Hadi rosmiati D, farmakologi dan terapi, bagian farmakologi FK-UI, Jakarta, 1995 ; hal ; 189-206.

Latief. S. A, Suryadi K. A, dan Dachlan M. R, Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi II, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UI, Jakarta, Juni, 2001, hal ;77-83, 161.

Muhardi dan Susilo, Penanggulangan Nyeri Pasca Bedah, Bagian Anestiologi dan Terapi Intensif FK-UI, Jakarta 1989, hal ; 199.

Omorgui, s, Buku Saku Obat-obatan Anastesi, Edisi II, EGC, Jakarta, 1997, hal ; 203- 207.

Samekto wibowo dan Abdul gopur, farmako terapi dalam neuorologi, penerbit salemba medika ; hal : 138-143.

Sunatrio. S, ketamin vs Petidin as Analgetic for Tiva with Propofol, majalah Kedokteran Indonesia, vol : 44, nomor : 5, mei 1994, hal ; 278-279.

Weinstein SL, Buckwalter JA. Turek’s Orthopaedics Principles and Their Application. 6 th ed. Iowa: Lippincott Williams & Wilkins; 2005. p. 88-93

Brown SE. How To Speed Fracture Healing [Internet]. [cited 2012 Dec 6]. Available from: http://www.sygdoms.com/pdf/fracture/8.pdf

Bhati NS. Hip Fracture Medication [Internet]. [updated 2012 Sep 10; cited 2012 Dec 6]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/87043-medication#showall

Wilmana PF, Gan S. Analgesik-Antipiretik, Analgesik Anti-inflamasi Nonsteroid, dan Obat Gangguan Sendi Lainnya. In: Gan S, editor. Farmakologi dan Terapi. 5 th ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2007.

Furst DE, Ulrich RW.Nonsteroidal Anti-inflammatory Drugs, Disease-Modifying Antirheumatic Drugs, Nonopioid Analgesics, & Drugs Used in Gout. In: Katzung BG, editor. Basic and Clinical Pharmacology. 10th ed. Boston: McGraw-Hill; 2007