analgesik opioid dan antagonisnya

32
MAKALAH FARMAKOLOGI OLEH : KELOMPOK 8 1. Sophie Amanda 08111006025 2. Wenny Ayu Lestari 08111006027 3. Zakiya Amilasariy 08111006031 4. M. Arief Akbar 081110060 5. Indrawati 081110060 6. Septalia Pratiwi 081110060 Progam Studi Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sriwijaya

Upload: wennyayulestari

Post on 22-Apr-2017

392 views

Category:

Documents


32 download

TRANSCRIPT

Page 1: Analgesik Opioid Dan Antagonisnya

MAKALAH FARMAKOLOGI

OLEH :

KELOMPOK 8

1.Sophie Amanda 08111006025

2.Wenny Ayu Lestari 08111006027

3.Zakiya Amilasariy 08111006031

4.M. Arief Akbar 081110060

5.Indrawati 081110060

6.Septalia Pratiwi 081110060

Progam Studi Farmasi

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Sriwijaya

Tahun 2012

Page 2: Analgesik Opioid Dan Antagonisnya

ANALGESIK OPIOID DAN ANTAGONISNYA

I . FARMAKOLOGI DASAR ANALGESIK – ANALGESIK OPIOID

Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti opium.

Opium yang berasal dari getah Papaver somniferum mengandung sekitar 20 jenis alkaloid

diantaranya morfin, kodein, tebain dan papaverin. Analgesik opioid terutama digunakan

untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri, meskipun juga memperlihatkan berbagai

efek farmakodinamik yang lain. Istilah analgesik narkotik dahulu sering digunakan untuk

kelompok obat ini, akan tetapi karena golongan obat ini dapat menimbulkan analgesia tanpa

menyebabkan tidur atau menurunnya kesadaran maka istilah analgesik narkotik menjadi

kurang tepat.

Opium diperoleh dari tanaman opium dengan jalan melakukan asayatan pada kulit biji

setelah bunganya dibuang. Lateks putih yang merembes keluar yang setelah dibiarkan

berubah menjadi coklat dan keras. Getah coklat yang liat inilah yang dinamakan OPIUM.

Sekarang diketahui bahwa senyawa opioid seperti heroin dan morfin memberikan

efeknya dengan meniru zat yang terbentuk secara alami dalam tubuh, yang disebut peptida

opioid endogen atau endorfin. Sekarang telah banyak diketahui tentang biologi dasar sistem

opioid endogen serta kompleksitas molekular dan biokimia, sebaran anatomi, serta

keragamannya. Berbagai fungsi sistem ini meliputi peran sensori yang paling terkenal, yang

penting dalalm menghambat respons terhadap rangsang nyeri, peran modulasi pada saluran

cerna, endokrin dan fungsi otonom; peran emosional, yang jelas teramati dalam sifat

memuaskan dan adiksi yang kuat akibat senyawa opioid; dan peran kognitif pada modulasi

belajar dan ingatan.

Yang termasuk golongan opioid adalah alkaloid opium, derivat semisintetik alkaloid

opium, senyawa sintetik dengan sifat farmakologik menyerupai morfin. Obat yang

mengantagonis efek antagonis disebut antagonus opioid. (Farmakologi dan Terapi hal. 210)

Opium berisi sekitar 20 macam alkaloid termasuk morfin, kodein, tebain dan

papaverin. Alkaloid utama dari opium adlah morfin, terdapat dalam kadar sekitar 10%.

Kodein terdapat dalam kadar kurang dari 0,5%. Sekarang penamaan opium dilarang dengan

persetujuan internasional, namun produksi opium secara gelap menyebar dan sulit

doberantas.

Page 3: Analgesik Opioid Dan Antagonisnya

STRUKTUR KIMIA

Tabel 30-1 : sifat-sifat agonis, campuran agonis-antagonis, atau antagonis dari senyawa-

senyawa opioid.

Page 4: Analgesik Opioid Dan Antagonisnya

Tabel 30-2 : beberapa sifat farmakologi senyawa-senyawa opioid

A. FARMAKOKINETIK

a.Absorbsi

Kebanyakan analgesik opioid diabsorbsi dengan baik pada pemberian subkutan dan

intramuskular yang sama baiknya dengan absorbsi dari permukaan mukosa hidung atau mulut

dan saluran cerna. Selain itu absorbsi transdermal fentanil menjadi cara pemberian yang

penting. Akan tetapi, walaupun absorbsi melalui saluran cerna mungkin cepat, ketersediaan

hayati dari beberapa senyawa yang dilakukan dengan cara ini mungkin berkurang karena

metabolisme first-pass yang jelas dengan glukoronidasi dlam hati.

Oleh karena itu diperlukan dosis oral yang jauh lebih tinggi untuk memeperoleh

efek terapi daripada dosis yang diperlukan dengan cara pemberian parenteral.

Secara umum, opioid mudah diabsorpsi dari saluran cerna; absorpsi melalui mukosa

rektum memadai, dan beberapa obat (seperti morfin, hidromorfon) tersedia dalam bentuk

Page 5: Analgesik Opioid Dan Antagonisnya

supositoria. Opioid yang lebih lipofilik juga mudah diabsorpsi melalui mukosa nasal atau

bukal (Weinberg et al. 1988). Senyawa dengan kelarutan dalam lemak terbesar juga dapat

diabsorpsi secara transdermal (Portenoy et al., 1993). Opioid mudah diabsorpsi setelah

penyuntikan subkutan dan intramuskular dan dapat berpenetrasi cukup baik ke spinalis

kordata setelah pemberian epidural atau intratekal.

Morfin dalam jumlah kecil yang diberikan secara epidural atau intratekal ke saluran

spinal dapat menghasilkan analgesia yang kuat yang dapat bertahan 12 sampain24 jam. Akan

tetapi, karena sifat hidrofilik morfin, ada penyebaran rostral obat pada cairan spinal, dan efek

samping, terutama depresi pernafasan, dapat muncul sampai 24 jam kemudian begitu opioid

mencapai pusat kendali pernapasan supraspinal.

Jika morfin dan kebanyakan opioid diberikan secara intravena, maka kerjanya cepat.

Akan tetapi, senyawa yang lebih larut dalam lemak bekerja lebih cepat daripada morfin

setelah pemberian subkutan karena perbedaan laju absorpsi dan masuknya ke SSP.

Dibandingkan dengan opioid lain yang lebih larut dalam lemak seperti kodein, heroin dan

metadon, morfin melintasi sawar darah-otak dengan laju yang jauh lebih lambat.

b. Distribusi

Ambilan opioid oleh berbagai organ dan jaringan adalah merupakan fungsi faktor

fisiologik dan kimia. Meskipun semua opioid terikat pada protein-protein plasma dengan

berbagai tingkat afinitas, senyawa-senyawa ini dengan cepat meninggalkan darah dan

terlokalisasi dengan konsentrasi tertinggi di jaringan-jaringan yang perfusinya tinggi seperti

di paru, hati, ginjal, dan limpa. Walaupun konsentrasi obat di otot rangka dapat sangat

rendah, jeringan ini merupakan tempat simpanan utama untukobat karena massanya yang

lebih besar.

Kadar opioid-opioid dalam otak biasanya relatif rendah dibanding dengan organ-

organ tubuh lain karena adanya sawar darah-otak. Sawar ini pada neonatus masih belum

sempurna. Penggunaan analgesikopioid untuk analgesia obstetri dapat menimbulkan depresi

pernapasan pada bayi baru lahir.

Page 6: Analgesik Opioid Dan Antagonisnya

c. Metabolisme

Sebagian besar opioid-opioid dikonversi menjadi metabolit-metabolit polar,

sehingga mudah di ekskresi oleh ginjal

● senyawa yang mempunyai gugusan hidroksil bebas seperti morfindan levorfanol dengan

mudah di konyugasi dengan asam glukoronat.

● senyawa-senyawa bentuk ester (seperti : meperidin dan heroin) lebih cepat dihidrolisis oleh

esterase yang umum terdapat dlam jaringan.

● Heroin (diasetilmorfin) dihidrolisis menjadi monoasetilmorfin dan akhirnya jadi morfin

yang kemudian dikonyugasi dengan asam glukoronat.

Opioid juga mengalami N-dimetilasi oleh hati, tetapi ini hanya sebagian kecil saja.

Akumulasi metabolit meperidin, normaperidin dapat ditemukan pada pasien-pasien yang

menerima obat dalam dosis yangncukup tinggi, metabolit dapat menimbulkan kejang

terutama pada anak.

d. Ekskresi

Metabolit polar opioid diekskresi terutama melalui ginjal. Sebagian kecil opioid

diekskresi dalam bentuk tidak berubah. Obat tersebut dieliminasi melalui filtrasi glomerulus,

90% ekskresi total terjadi pada hari pertama. Terjadi sirkulasi enterohepatik morfin dan

glukuronidanya, yang menyebabkan adanya sejumlah kecil morfin dalam feses dan dalam

urin selama beberapa hari setelah dosis terakhir. Konyugasi glukuronid juga diekskresi ke

dalam empedu, tetapi sirkulasi enterohepatik hanya merupakan bagian kecil dari proses

ekskresi.

B. FARMAKODINAMIK

Mekanisme Kerja

Morfin dan penggantinya berikatan secara selektif pada banyak tempat-tempat di seluruh

tubuh untuk menghasilkan efek farmakologi.

Page 7: Analgesik Opioid Dan Antagonisnya

Efek opioid pada susunan saraf pusat dan usus terutama ditimbulkan karena morfin bekerja

sebagai agonus pada reseptor . Selain itu morfin juga mempunyai afinitas yang lebih lemah

terhadap reseptor dan k.

SUSUNAN SARAF PUSAT

Efek opioid terhadap SSP berupa analgesia dan narkosis. Analgesia oleh morfin dan opioid

lain sudah timbul sebelum pasien tidur dan seringkali analgesia terjadi tanpa disertai tidur.

Morfin dosis kecil (5-10 mg) menimbulkan euforia pada pasien yang sedang menderita

nyeri, sedih dan gelisah. Sebaliknya, dosis yang sama pada orang normal seringkali

menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir atau takut disertai mual dam muntah. Morfin

menimbulkan rasa kantuk, tidak dapat berkonsentrasi, sikar berpikir, apatis, aktivitas

motorik berkurang, ketajaman penglihatan berkurang dan letargi, ekstremitas terasa berat,

badan terasa panas, muka gatal dan mulut terasa kering, depresi napas dan miosis. Miosis

yaitu koontriksi otot yang terjadi pada semua agonis opioid. Rasa nyeri berkurang, rasa lapar

hilang dan dapat timbul muntah yang tidak selalu disertai mual. Dalam lingkungan yang

tenang orang yang diberikan dosis terapi (15-20 mg) morfin akan tertidur cepat dan nyenyak

disertai mimpi, napas lambat dan miosis.

Efek farmakodinamik dari opioid lainnya yang etrjadi dalam tubuh adalah efek sedasi, yaitu

perasaan mengantuk dan mental yang berkabut, dapat terjadi beberapa gangguan kemampuan

berpikir. Dapat juga terjadi gangguan ingatan atau amnesia. Efek lainnya yaitu penekanan

refleks batuk, kemudian dapat terjadi kekakuan atau rigiditas tubuh.

EFEK-EFEK PERIFER

- Sistem kardiovaskuler

- Saluran cerna

- Saluran biliar

- Saluran kemih

- Uterus

- Neuroendokrin

- Lain-lain

Page 8: Analgesik Opioid Dan Antagonisnya

II. FARMAKOLOGI KLINIK ANALGESIK OPIOID

Penatalaksanaan nyeri penting untuk tindakan medis yang baik dan perlu

dipertimbangkan secara teliti tentang dosis yang tepat, jenis obat, dan jenis penyakit yang

akan diberi obat. Pengunaan opioid pada keadaan akut mungkin berlawanan dengan

penggunaan pada penatalaksanaan nyeri kronis, dimana faktor-faktor lain harus diperhatikan,

khususnya toleransi dan ketergantungan fisik. Adapun faktor-faktor tersebut yaitu :

▪ apakah analgesik memang diperlukan ?

▪ apakah analgesik opioid dapat mengaburkan atau mengubah tanda-tanda dan gejala-gejala

yang mendasari gangguan ?

▪ apakah efek-efek farmakologi opioid dapat memperburuk keadaan pada obat yang

digunakan ?

▪ apakah efek samping opioid dapat merupakan suatu efek merusak yang jelas ?

▪ apakah ada kemungkinan interaksi obat antara opioid dengan obat lain yang dikonsumsi

pasien ?

▪ apakah toleransi dan ketergantungan fisik tampaknya akan berkembang ?

Page 9: Analgesik Opioid Dan Antagonisnya

1. PENGGUNAAN KLINIK ANALGESIK – ANALGESIK OPIOID

A. ANALGESIA

Nyeri yang berat dan menetap biasanya dihilangkan dengan opioid yang efikasinya

lebigh tinggi, namun nyeri yang tajam dan intermiten tampaknya tidak dapat dihilangkan

dengan mudah. Harus diusahakan untuk menetukan kualitas nyeri, dan informasi ini harus

digunakan untuk memilih obat yang layak.

Nyeri yang menyertai kanker dan penyakit terminal lain harus diobati secara adekuat,

serta pertimbangan mengenai toleransi dan ketergantungan fisik harus dikesampingkan untuk

menyokong usaha membuat pasien senyaman mungkin.

Analgesik-analgesik opioid sering dugunakan sewaktu persalinan. Karena opioid-

opioid dapat melewati sawar plasenta dan masuk ke dalam tubuh janin, harus digunakan

secara hati-hati untuk memperkecil depresi pada neonatus. Bila terjadi depresi (pernapasan)

pada neonatus segera suntikkan antagonis opioid nalokson, yang akan dapat memulihkan

depresi.

Nyeri akut yang berat pada kolik renal dan biliar sering memerlukan agonis opioid

kuat yang cukup untuk menghilangkan nyeri. Walupun demikian,obat yang menginduksi

peningkatan tonus otot polos dapat menyebabkan suatu paradoksal peningkatan nyeri

sekunder terhadap spasme yang meninggi. Peningkatan dosis opioid biasanya berhasil untuk

menghilangkan nyeri.

B. EDEMA PARU AKUT

Hilangnya dispnea pada edema paru yang menyertai kegagalan ventrikel kiri dengan

pemberian suntikkan intravena morfin benar-benar merupakan hal yang luar biasa.

Mekanismenya belum jelas,tetapi mungkin meibatkan pengurangan persepsi pendeknya

napas dan ansietas yang berhubugan dengan pengurangan preload (pengurangan tonus

vena) dan afterload ( penurunan tahanan perifer).

C. BATUK

Page 10: Analgesik Opioid Dan Antagonisnya

Penekan batuk dapat diperoleh dengan dosis lebih rendah daripada yang diperlukan

untuk analgesik. Tetapi dalam tahu-tahu terakhir ini penggunaananalgesik opioid untuk

menghilangkan batuk sangat berkurang karena telah dikembangkannya beberapa

senyawa sintetik baru yang efektif serta tidak mempunyai efek analgesik amupun adiksi.

D. DIARE

Diare yang ditimbulkan oleh hampir semua penyebab dapat dikontrol dengan

analgesik opioid, tetapi diare yang berhubungan dengan infeksi pengunaan analgesik ini

tidak dianjurkan dan diganti dengan kemoterapi yang sesuai. Preparat opium (seperti

paregorik) telah lama digunakan untuk mengontrol diare, tetapi pada tahum0-tahun

terakhir ini tealh ditemukan preparat sintetik sebagai pengganti dengan efek-efek yang

lebih selektif pada saluran cerna dan sedikit atau tidak mempunyai efek pada SSP,

mislanya difenoksilat.

E. PEMAKAIAN DALAM ANASTESI

Opioid sering digunakan sebagai obat premnedikasi sebelum anastesi dan

pembedahan karena sifat-sifat sedatif, ansiolitik, dan analgesiknya. Opioid juga

digunakan intraoperatif sebagai pembantu obat anastesi lain dan morfin dalam dosis

tinggi (misalnya 1-3mg/kg morfin, atau 0,02-0,075mg/kg fentanil), yang paling sering

digunakan pada pembedahan kardiovaskular dan operasi lain yang beresiko tinggi,

dimana tujuan utamanya adalah untuk memperkecil depresi kardiovaskuler. Dalam

situasi seperti ini harus dibantu pernapasan mekanik.

Oleh karena efek langsungnya pada medula spinalis, opioid-opioid dapat juga

digunakan sebagai analgesik regional dengan pemberian kedalam ruang epidural atau

subarakhnoid kolumna spinalis. Pada permulaannya diasumsikan bahwa pemberian

opioid melalui dapat menghasilkan analgesi tanpa menggangu fungsi motorik,

otonomik, atau sensorik lain daripada nyeri. Walaupun demikian, depresi pernapasan

dapat ditemukan setelah obat disuntikkan ke dalam ruang epidural dan memerlukan

naloksan untuk pemulihan depresi pernapasan. Efek-efek lain juga sering muncul setelah

pemberian opioid melalui epidural ini.

F. CARA PEMBERIAN ALTERNATIF LAIN

Page 11: Analgesik Opioid Dan Antagonisnya

Pemberian morfin dan hidromorfon secara rektal suppositoria telah digunakan sejak

lama bila pemberian oral dan parenteral tidak diinginkan. Contoh lain adalah cara

pemberian transdermal untuk efek sistemik, seperti tempelan pada kulit untuk

mempertahankan kadar dalam darah yang stabil dan pengontrolan nyerilebih sehingga

dapt menghindari penyuntikan sistenikberulang-ulang.

Rute intranasal merupakan ryte pemberian lain yang penggunaanya terbata pada

pasien-pasien yang tidak dapat mentoleransi cara pemberian oral dan pada mereka yang

tidak praktis dengan pemberian pbat suntik parenteral secara berulang-ulang.

2. TOKSISITAS DAN EFEK-EFEK YANG TIDAK DIINGINKAN

Efek toksik langsung analgesik opioid yang merupakan perluasan efek farmakologi

yang akut termasuk efek smping depresi pernapasan, mual, muntah, dan konstipasi (Tabel 30-

4). Disamping itu harus pula dipertimbangkan hal-hal berikut ini

1. Toleransi dan ketergantungan

Ketergantungan obat jenis opioid ini ditandai dengan toleransi, sindrom putus obat

atau sindrom abstinensia yang mencerminkan ketergantungan fisik, kerinduan yang

memuncak atau ketergantungan psikologik. Campuran opoid agonis-antagonis tampaknya

labilitas adiksinya kurang daripada obat-obat agonis.

a. Toleransi

Walaupun perkembangan toleransi mulai dengan dosis pertama opioid, toleransi

umumnya tidak jelas secara klinik

sampai 2-3 minggu dengan pemberian

yang sering dalam dosis terapi biasa.

Toleransi timbul paling cepat bila

diberikan dalam dosis besar untuk

selang waktu yang singkat dan

diperkecil dengan memperpanjang

interval waktu antara dosis.

Bergantung pada senyawa dan efek yang diukur, tongkat toleransi dapt mencapai 35

kali lipat. Toleransi yang jelas biasanya berkembang terhadap efek-efek analgesik, euforia,

dan depresi pernapasan.

Page 12: Analgesik Opioid Dan Antagonisnya

Toleransi terhadap efek euforia dan pernapasan dari opioid menghilang dalam

beberapa hari setelah obat dihentikan. Toleransi terhadap efek emetik dapat menetap selama

beberapa bulan setelah penghentian obat. Kecepatan toleransi dapat berbeda-beda diantara

obat-obat analgesik opioid.

Toleransi silang merupakan karakteristik opioid yang sangat penting, yaitu pasien-

pasien yang toleransi terhadap morfin juga toleransi terhadap agonis opioid lainnya. Toleransi

juga timbul pada analgesik campuran agonis-antagonis, tetapi kurang menonjol dibandibgkan

dengan agonis. Walaupun demikian toleransi terhadap obat agonis-antagonis secara uun tidak

termasuk toleransi silang terhadap opioid agonis. Juga penting diingat bahwa toleransi tidak

timbul terhadap efek-efek antagonis campuran agonis-antagonis maupun terhadap antagonis

murni.

b. Ketergantungan fisik

Kegagalan pemberian obat terus-menerus menimbulkan suatu sindrom putus obat atau

sindrom abstinensia yang khas yang mencerminkan suatu rebound efek-efek farmakologi

akut yang berlebihan dari opioid. Tanda-tanda dan gejala-gejala putus obat terdiri dari

rinorea, lakrimasi, menguap, menggigil, bulu roma berdiri (piloereksi), hiperventilasi,

hipertermia, midriasis, nyeri otot, muntah, diare, ansietas, dan sikap bermusuhan.

Ledakan sindrom abstinensia yang bersifat sementara dapat diinduksi oleh suatu

antagonis yang mempercepat gejala putus obat pada subyek ketergantungan fisik akan opioid

dengan pemberian nalokson opioid lain.

Pada kasus campuran obat angonis-antagonis, tanda-tanda gejala putus obat dapat

diinduksi setelah pemakaian berulang-ulang pentazosin, siklazosin atau nalor yang kemudian

dihentikan secara mendadak, tetapi sindrom yang muncul berbeda dengan yang dihasilkan

oleh morfin dan agonis lain. Juga dapat timbul ansietas, hilangnya selera makan dan

menurunnya berat badan, takikardia, menggigil, menaiknya suhu badan, dan kejang-kejang.

2. Diagnosis dan pengobatan keracunan opioid

Diagnosis keracunan opioid dapat sangat sederhana misal :

Diketahui adiksi

Bekas-bekas suntikan

Dibawa kerumah skit oelh teman yang tampaknya menggunakan obat-obat

Page 13: Analgesik Opioid Dan Antagonisnya

Atau dapat sangat sulit, seperti halnya penderita koma yang riwayat masa lalunya

tidak diketahui dan tidak ada informasi lain. Cara mendiagnosisnya misalnya :

Suntikkan nalokson intravena dengan dosis 0,2-0,4 mg, secara dramatis penderita

pulih dari koma yang berarti emenunjukkan keracunan opioid, tetapi koma ini tidak

akan pulih bila disebabkan oleh depresan SSP lain.

Untuk penggunaan pada bayi, mulai dengan dosis 5-10 miktogram/kg dan bila idak

ada respon dapat dipertimbangkan pemberian dosis kedua sampai mencapai 25

mikrogram/kg.

3. Kontraindikasi dan peringatan dalam terapi

Adapun kontraindikasipenggunaan obat bini yaitu :

a. Penggunaan agonis murni bersama dengan campuran agonis-antagonis.

b. Penggunaan pada pasien dengan trauma pada kepala.

c. Penggunaan selama kehamilan.

d. Penggunaan pada pasien dengan gangguan fungsi paru.

e. Penggunaan pada pasien-pasien dengan gangguan fungsi hati dan ginjal.

f. Penggunaan pada penyakit endokrin.

3. INTERAKSI OBAT

Dalam tabel dibawah ini tertera beberapa interaksi obat

Page 14: Analgesik Opioid Dan Antagonisnya

III. OBAT – OBAT SPESIFIK

1. AGONIS KUAT

a. Fenantren

● morfin

● hidromorfon

● oksimorfon

b. Fenilheptalamin

● metadon

c. Fenilpiperidin

● meperidin

● fentanil

d. Morfinan

● levorfanol

2. AGONIS RINGAN SAMPAI SEDANG

e. Fenantren

● kodein

● oksikodon

● dihidrokodein

● hidrokodon

f. Fenilheptalamin

● propoksifen

g. Fenilpiperidin

● loperamid

● difenoksin

3. CAMPURAN AGONIS-ANTAGONIS DAN AGONIS PARSIAL

h. Fenantren

Page 15: Analgesik Opioid Dan Antagonisnya

● nalbufin

● buprenorfin

i. Morfinan

● butorfanol

j. Benzomorfan

● pentazosin

● dezosin

4. ANTUISIF

● Dekstrometorfan

● Kodein

● Levopropoksifen

ZAT ZAT TERSENDIRI

1. Morfin

Candu atau opium adalah getah yang dikeringkan dan diperoleh oleh tumbuhan

papaver samniferum. Morfin mengandung kedua kelompok alkaloida yang secara kimiawi

sangat berlainan. Morfin berkhasiat analgtis sangat kuat,lagipula memiliki banyak jenis kerja

pusat lainnya, sedatif dan hipnotis, menimbulkan euforia, menekan pernapasan dan

menghilangkan refleks batuk, yang semuanya berdasarkan susunan saraf pusat (SSP). Morfin

juga menimbulkan efek stimulasi SSP,mismiosis,eksitasi dan konvulsi. Daya stimulasi CTZ

mengakibatkan mual dan muntah muntah. Efek farifernya yang paling penting adalah

obstipasi retensi kemis dan pelepasan histamin yang menyebabkan vasodilatasi pembuluh

kulit dan gatal gatal (urticaria)

Reserpsinya diusus baik, tetapi BA nya hanya kurang lebih 25% akibat FPE besar.

Mulai kerjanya 1-2 jan dan bertahan sampai 7jam.Resorpsi dan suppositoria umumnya sedikit

lebih baik .PP-nya 35% dalam hati 70% dari morfin metabolisme melalui senyawa konjugasi

dengan asam glukoronat menjadi morfin-3-glukoronida yang tidak aktif dan hanya sebagian

kecil (3%) dari jumlah yang terbentuk morfin 6-glukoronida dengan daya kerja analgetis

Page 16: Analgesik Opioid Dan Antagonisnya

lebih kuat dari morfin sendiri. Eksresinya melalui kemih, empedu dengan siklus enterihepatis

dan tinja.

Heroin adalah turunan semi sintetik dengan daya kerja 2 kali lipat lebih kuat tetapi

mengakibatkan adiksi yang cepat dan hebat sekali.

2. Kodein

Alkaloida candu ini memmiliki yang sama dengan induknya,tetapi lebih lemah

misalnya efek analgetiknya 6-7 kali kurang kuat. Efek samping dan resiko adiksinya llebih

ringan, sehingga sering digunakan sebagai obat batuk,obat anti diare dan obat anti nyeri, yang

diperkuat melalui kombinasi dengan paracetmol/asetosal.Obsipasi dan mual dapat terjadi

terutama pada dosis lebih tinggi. Resorpso oral dan rektal baik didalam hati zat ini

didemetilasi menjadi norkodein dan morfin (10%) yang memberikan sifat analgetiknya.

Ekskresinya lewat kemih sebagai glikoronida dan 10% secara utuh. Plasma-t1/2-nya 3-4 jam.

Etilmorfin : delivat dengan khasiat analgetik dan hipnotik lebih lemah ;

penghambatannya terhadap pernapasan juga lebih ringan.Untuk menekan batuk zat

ini kurang efektif dibandingkan kodein,tetapi dahulu banyak dugunakan dalam

sediaan obat batuk.

Noskapin : alkaloida candu lain,tanpa sifat narkotik,yang lebih efektif sebagai obat

batuk.Noskapin tidak termasuk narkotika kaena tidak menimbulkan ketagihan.

3.Fentanil

Merupakan turunan dari petidin yang jarang digunakan lagi karena efek samping dan

sifat adiksinya,lagipula daya kerjanya singkat (3jam) sehingga tidak layak meredakan rasa

sakit jangka panjang.Efek analgetik agonis opiat 80 kali lebih kuat dari morfin.Mulai

kerjanya cepatyaitu dalam 2-3 menit, tetapi singkat hanya kurang lebih 30 menit. Zat ini

digunakan pada anastesi dan infark jantung.

Sufentanil : derivat dengan analgetik kurang lebih 10 kali kuat. Sifat dan efek

sampingnya sama dengan fentanil.Zat ini digunakan pada waktu anastesi dan pasca

bedah dan pada waktu habis persalinan.

4. Metadon

Page 17: Analgesik Opioid Dan Antagonisnya

Suatu campuran resemis yang memiliki daya analgetik 2 kali lebih kuat dari morfin

juga berkhasiat anestetik lokal.Umumnya metadon tidak menimbulkan euforia sehingga

banyak digunakan untuk menghindari gejala abstinensi setelah penghentian penggunaan

opioida lain.Efek sampingnya kurang hebat dibandingkan morfin,terutama efek hipnotis dan

euforianya lemah,tetapi bertahan lebih lama.Efek obstipasinya agak ringan tetapi

penggunaannya selama persalinan harus dengan hati-hati karena dapat menekan pernapasan.

Dekstromoramida : opioid sintetis yang rumusnya mirip metadon.khasiat analgetiknya

sedikit lebih kuat dibandingkan morfin.Mulai kerjanya cepat,efeknya setelah 20-30

menit dan bertahan lebih singkat,kurang lebih 3 jam.Depresi pernapasannya lebih kuat

dibandingkan morfin, pada dosis biasa dapat terjadi apnoe,begitu pula efek adiksinya.

Tidak layak untuk pengobatan nyeri kronis. Efek sedasi dak obstipasinya lebih ringan.

5.Temadol

Campuran resemis dari 2 isomer. Khasiat analgetiknya kadang sedang dan berdaya

menghambat reuptake noradrenalin dan bekerja antitussif.Zat ini tidak menekan

pernapasan,praktis tidak mempengaruhi sistem kardiovaskuler atau motilitas lambung

usus.Walaupun memiliki sifat adiksi ringan, dalam praktek ternyata resikonyya hampir

nihil,sehingga tidak termasuk daftar narkotika.Efek analgetik tremadol oral setaraf dengan

30-60 mg morfin oral,penggunaannya rektal juga parenteral untuk nyeri sedang sampai

hebat,bila kombinasi paracetamol-kodein dan NSAID kurang efektif.

Resorpsinya diusus cepat dan tuntas dengan ratarata BA 78%,PP nya 20%,plasma-

t1/2-nya 6 jam.Efek dimulai setelah 1 jam dan dapat bertahan selama 6-8 jam.Eksresi

berlangsung lewat urin, untuk 10% secara utuh.Efek sampingnya tidak terlalu serius dan

paling sering berupa termangu mangu,berkeringat,pusing,mulut kering,mual, dan munta, serta

obstipasi,gatal gatal,rash,nyeri kepala dan letih.Resiko habituasi,ketergantungan dan adiksi

dianggap ringan.

6. Nalokson

Memiliki morfin dengan gugus alil pada atom N. Zat ini dapat meniadakan semua

khasiat morfin dan opioida lainnya, terutama depresi pernafasan tanpa mengurangi

analgetiknya. Penekanan pernafasan dari obat-obat depresi SSP lain tidak ditiadakan, tetapi

Page 18: Analgesik Opioid Dan Antagonisnya

juga tidak diperkuat seperti halnya nalorfin.Secara kinetik,setelah injeksi intravena sudah

memberi efek setelah dua menit, bertahan 1-4 jam. Plasma-t1/2-nya hanya 45-90 menit, lama

kerjanya sangat singkat dari opioida, maka lazimnya perlu diulang beberapa kali. Efek

sampingnya dapat berupa tachycardia,jarang reaksi alersi dengan shock dan udema paru-

paru.Pada penangkalan efek opioida terlalu pesat dapat terjadi mual, muntah, berkeringat,

pusing, hipertensi, tremor, serangan epilepsi dan berhentinya jantung.

Nalorfin : Zat induk nalokson dengan khasiat yang sama,kecuali juga berkhasiat

analgetik lemah.Zat ini mampu meniadakan depresi pernafasan yang hebat oleh

opioida,tetapi justru memperkuat depresi yang bersifat ringan,atau akibat opioida

dengan kerja campuran dan zat-zat sentral lain. Oleh karena itu, ini hanya digunakan

pada overdose opioida, bila nalokson tidak tersedia.

Naltrekson : Derivat nalokson pula,pada mana gugus alil digantikan dengan

siklopropil.Sifatnya antagonis murni yyang tidak mengakibatkan toleransi atau

ketergantungan fisik dan psikis.Penggunaannya terutama untuk menghambat efek-

efek opioida berdasarkan pengikatan kompetitif pada reseptor opioid dan sebagai obat

anti-ketagihan heroin.Pada pecandu opioid,menimbulkan gejala abstinensi hebat

dalam waktu 5 menit,yang dpat bertahan 48 jam.

7. Pentazosin

Merupakan turunan dari morfin dimana cincin penantrendiganti oleh naftalen.Gugus-

N-alil memberikan efek antagonis terhadap opioida lainnya.Khasiatnya beragam,yakni

disamping antagonis lemah,juga merupakan antagoniis parsiil. Khasiat analgetiknya sedang

sampai kuat,kurang lebih antara kodein dan petidin.Resorpsinya diusus baik,tetapi BA-nya

hanya kurang lebih 20% akibat FPE besar.Mulai kerjanya cepat setelah 15-30 menit dan

bertahan minimal 3 jam. Efek rektalnya sama dengan pengguanaan oral.PP-nya 60%,plasma-

t1/2-nya 2-3 jam.Dalam hati zatinii diubah menjadi metabolit yang dieksresi terutama lewat

kemih.

8. Kanabis

Pucuk dengan kembang dan buah buah muda yang dikeringkan dari bentuk wanita

tumbuhan cannabis sativa.Khasiat analgetik dari THC terjadi dibatang otak,diman terletak

pula titik kerja dari opioida.Hanya mekanisme kerjanya yang berlainan,reseptor morfin tidak

memegang peranan dan nalokson tidak melawan efek analgetiknya.Disamping itu ambang

Page 19: Analgesik Opioid Dan Antagonisnya

nyeri diturunkan.efektivitas dan penggunaannya sebagai anti-emetikum pada

kanker,stimulans nafsu makan pada penderita AIDS dan obat relaksasi kejang/otot pada MS.

IV. ANTAGONIS OPIOID

Obat antagonis opioid yang murni adalah nalokson dan naltrekson yang merupakan

turunan morfin dengan gugus pengganti pada posisi N.

a. Farmakokinetik

Efikasi nalokson kecil sekali bila diberi oral dan mempunyai masa kerja yang singkat

(1-2 jam) bila diberikan secara suntikkan. Disposisi metabolik terutama berkonyigasi

dengan glukoronid, seperti aginis opioid dengan gugus hidroksil bebas. Naltrekson

diabsorbsi dengan baik pada pemberian oral, tetapi cepat melalui metabolisme first-

pass. Waktu paruhnya 10 jam, dan dosis tunggal per oral 100mg akan menghambat

efek-efek suntikan heroin sampai 48 jam.

b. Farmakodinamik

Bila diberikan tanpa adanya suatu obat agonis, antagonis hampir inert pada dosis

yang menghasilkan antagonis yang jelas pada efek-efek agonis.

Bila diberi pada subyek yang mendapat pengobatan dengan morfin, antagonis

akan lengkap dan secara dramatis akan menghilangkan semua efek opioid dalam

tempo 1-3 menit.

Bila diberikan pada individu yang mwngalami depresi akut akibat kelebihan dosis

suatu opioid, antagonis akan efektif menormalkan pernapasan, tingkat kesadaran,

ukuran pupil, aktivitas usus, dll.

c. Penggunaan klinik

Nalokson lebih disukai sebagai obat antagonis daripada obat2 agonis-antagonis

lemah terdahulu yang telah digunakan sebagai antagonis. Penggunaan utama nalkson

adalah untuk pengobatan keracunan akut opioid. Yang sangat penting adalah bahwa

masa kerja nalokson relatif singkat, karena pasien yang mengalami depresi berat yg

telah dapat dipulihkan kembali dan tampaknya normal, dapat kembali jatuh ke dalam

Page 20: Analgesik Opioid Dan Antagonisnya

koma setelah 1-2 jam. Dosis biasanya adalah 0,1-0,4 mg intravena dan bila perlu

dapat diulang.

Karena masa kerjanya yang panjang, naltrekson telah diajukan sebagai obat

“rumat” untuk program pengobatan penderita pecandu. Dosis tunggal diberikan

selang sehari sebetulnya dapat menghambat semua efek-efek dosis heroin.

V. SENSASI NYERI

RASA NYERI MERUPAKAN MEKANISME PERLINDUNGAN. Rasa nyeri

timbul bila ada kerusakan jaringan, dan dalam hal ini akan menyebabkan individu

bereaksi dengan cara memindahkan stimulus nyeri. Bahkan aktivitas ringan saja,

misalnya duduk sambil bertopang pada tulang iskhia selama jangka waktu lama dapat

menyebabkan kerusakan jaringan, sebab aliran darah yang kekulit berkurang akibat

tertekannya kulit oleh berat badan.

Bila kulit menjadi nyeri akibat iskemia, dalam keadaan bawah sadar orang

tersebut akan mengubah posisinya. Pasien yang telah kehilangan rasa sakitnya

setelah mengalami kecelakaan pada medula spinalis, tak akan mempunyai rasa nyeri

sehingga tidak akan mengubah posisinya. Akhirnya, keadaan ini akan menimbulkan

peluruhan dan deskuamasi seluruh kulit pada daerah yang tertekan.

Rasa nyeri dapat dibagi menjadi dua jenis utama, yaitu :

1. Rasa nyeri cepat

Bila diberikan stimulus, rasa nyeri cepat timbul dalam waktu kira-kira 0,1 detik. Rasa

nyeri cepat juga digambarkan dengan banyak nama pengganti, misalnya rasa nyeri

tajam, rasa nyeri tertusuk, rasa nyeri akut, dan rasa nyeri nyetrum. Jenis rasa nyeri ini

akan terasa bila sebuah jarum ditusukkan ke dalam kulit, bila kulit tersayat, bila kulit

terbakar secara akut, atau bila mendapat setruman. Rasa nyeri cepat-tajam tak akan

terasa di sebagian besar jaringan dalam dari tubuh.

2. Rasa nyeri lambat

Rasa nyeri lambat timbul setelah 1 detik atau lebih dan kemudian secara perlahan

bertambah setelah beberapa detik bahkan kadang beberapa menit. Rasa nyeri lambat

juga mempunyai banyak nama, seperti rasa nyeri terbakar lambat, nyeri pegal, nyeri

berdenyut-denyut, nyeri mual, dan nyeri kronik. Jenis rasa nyeri ini biasanya

dikaitkan dengan kerusakan jaringan. Rasa nyeri dapat berlangsung lama,

Page 21: Analgesik Opioid Dan Antagonisnya

menyakitkan dan dapat menjadi penderitaan yang tak tertahankan. Rasa nyeri ini

dapat terasa dikulit dan hampir semua jaringan dalam atau organ.

RESEPTOR NYERI

Reseptor nyeri merupakan ujung saraf bebas. Reseptor rasa nyeri yang terdapat

dikulit dan jaringan lain semuanya merupakan ujung saraf bebas. Reseptor ini

tersebar luas pada permukaan seperfisial kulitdan juga dijaringan dalam tertentu,

isalnya periosteum, dinding arteri, permukaan sendi, dan falks serta teritorium

tempurung kepala. Sebagian besar jaringan dalam lainnya hanya sedikit dipersarafi

oleh ujung syaraf rasa nyeri; namun, setiap kerusakan jarungan yang kuas dpat

bergabung sehingga pada kebanyakan daerah tersenut akan timbul tipe rasa nyeri

pegal yang lambat dan kronik.

STIMULUS YANG MERANGSANG RESEPTOR RASA NYERI

Rasa nyeri dapat dirasakan melalui berbagai jenis rangsangan. Semua ini

dikelompokkan sebagai rangsang nyeri mekanis, suhu, dan kimiawi. Pada umumnya,

nyeri cepat diperoleh melalui rangsangan jenis mekanis atau suhu, sedangkan nyeri

lambat dapat diperoleh melalui ketiga jenis tersebut.

Beberapa zat kimia yang merangsang jenis nyeri kimiawi adalah bradikidin,

serotonin, histamin, ion kalium asam, asetilkolin, dan enzim proteolitik. Selain itu,

prostaglandin dan subatansi p meningkatkan sensitivitas ujung-ujung serabut nyeri

tetapi tidak secara langsung merangsangnya. Subtansi kimia utama penting untuk

perangsangan lambat, jenis rasa nyeri yang menusuk yang terjadi setelah cedera

ringan.

Page 22: Analgesik Opioid Dan Antagonisnya

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Farmakologi dan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.

Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Gilman, Goodman. 2008. Dasar Farmakologi Terapi ; Volume 1. Jakarta : EGC.

Katzung, Bertram G. 2004. Farmakologi : Dasar dan Klinik ; Edisi 8. Jakarta : Salemba

Medika.

Katzung, Bertram G. 2002. Farmakologi : Dasar dan Klinik; Edisi 6. Jakarta : Salemba

Medika.

Staf Pengajar Departemen Farmakologi Farkultas Kedokteras Universitas Sriwijaya. 2008.

Kumpulan Kuliah Farmakologi. Jakarta : EGC.

Tjay, Tan Hoan & Rahardja Kirana. 2007. Obat-obat Penting. Jakarta : PT Elex Media

Komputindo.