analgesik opioid dan antagonisnya
TRANSCRIPT
MAKALAH FARMAKOLOGI
OLEH :
KELOMPOK 8
1.Sophie Amanda 08111006025
2.Wenny Ayu Lestari 08111006027
3.Zakiya Amilasariy 08111006031
4.M. Arief Akbar 081110060
5.Indrawati 081110060
6.Septalia Pratiwi 081110060
Progam Studi Farmasi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Sriwijaya
Tahun 2012
ANALGESIK OPIOID DAN ANTAGONISNYA
I . FARMAKOLOGI DASAR ANALGESIK – ANALGESIK OPIOID
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti opium.
Opium yang berasal dari getah Papaver somniferum mengandung sekitar 20 jenis alkaloid
diantaranya morfin, kodein, tebain dan papaverin. Analgesik opioid terutama digunakan
untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri, meskipun juga memperlihatkan berbagai
efek farmakodinamik yang lain. Istilah analgesik narkotik dahulu sering digunakan untuk
kelompok obat ini, akan tetapi karena golongan obat ini dapat menimbulkan analgesia tanpa
menyebabkan tidur atau menurunnya kesadaran maka istilah analgesik narkotik menjadi
kurang tepat.
Opium diperoleh dari tanaman opium dengan jalan melakukan asayatan pada kulit biji
setelah bunganya dibuang. Lateks putih yang merembes keluar yang setelah dibiarkan
berubah menjadi coklat dan keras. Getah coklat yang liat inilah yang dinamakan OPIUM.
Sekarang diketahui bahwa senyawa opioid seperti heroin dan morfin memberikan
efeknya dengan meniru zat yang terbentuk secara alami dalam tubuh, yang disebut peptida
opioid endogen atau endorfin. Sekarang telah banyak diketahui tentang biologi dasar sistem
opioid endogen serta kompleksitas molekular dan biokimia, sebaran anatomi, serta
keragamannya. Berbagai fungsi sistem ini meliputi peran sensori yang paling terkenal, yang
penting dalalm menghambat respons terhadap rangsang nyeri, peran modulasi pada saluran
cerna, endokrin dan fungsi otonom; peran emosional, yang jelas teramati dalam sifat
memuaskan dan adiksi yang kuat akibat senyawa opioid; dan peran kognitif pada modulasi
belajar dan ingatan.
Yang termasuk golongan opioid adalah alkaloid opium, derivat semisintetik alkaloid
opium, senyawa sintetik dengan sifat farmakologik menyerupai morfin. Obat yang
mengantagonis efek antagonis disebut antagonus opioid. (Farmakologi dan Terapi hal. 210)
Opium berisi sekitar 20 macam alkaloid termasuk morfin, kodein, tebain dan
papaverin. Alkaloid utama dari opium adlah morfin, terdapat dalam kadar sekitar 10%.
Kodein terdapat dalam kadar kurang dari 0,5%. Sekarang penamaan opium dilarang dengan
persetujuan internasional, namun produksi opium secara gelap menyebar dan sulit
doberantas.
STRUKTUR KIMIA
Tabel 30-1 : sifat-sifat agonis, campuran agonis-antagonis, atau antagonis dari senyawa-
senyawa opioid.
Tabel 30-2 : beberapa sifat farmakologi senyawa-senyawa opioid
A. FARMAKOKINETIK
a.Absorbsi
Kebanyakan analgesik opioid diabsorbsi dengan baik pada pemberian subkutan dan
intramuskular yang sama baiknya dengan absorbsi dari permukaan mukosa hidung atau mulut
dan saluran cerna. Selain itu absorbsi transdermal fentanil menjadi cara pemberian yang
penting. Akan tetapi, walaupun absorbsi melalui saluran cerna mungkin cepat, ketersediaan
hayati dari beberapa senyawa yang dilakukan dengan cara ini mungkin berkurang karena
metabolisme first-pass yang jelas dengan glukoronidasi dlam hati.
Oleh karena itu diperlukan dosis oral yang jauh lebih tinggi untuk memeperoleh
efek terapi daripada dosis yang diperlukan dengan cara pemberian parenteral.
Secara umum, opioid mudah diabsorpsi dari saluran cerna; absorpsi melalui mukosa
rektum memadai, dan beberapa obat (seperti morfin, hidromorfon) tersedia dalam bentuk
supositoria. Opioid yang lebih lipofilik juga mudah diabsorpsi melalui mukosa nasal atau
bukal (Weinberg et al. 1988). Senyawa dengan kelarutan dalam lemak terbesar juga dapat
diabsorpsi secara transdermal (Portenoy et al., 1993). Opioid mudah diabsorpsi setelah
penyuntikan subkutan dan intramuskular dan dapat berpenetrasi cukup baik ke spinalis
kordata setelah pemberian epidural atau intratekal.
Morfin dalam jumlah kecil yang diberikan secara epidural atau intratekal ke saluran
spinal dapat menghasilkan analgesia yang kuat yang dapat bertahan 12 sampain24 jam. Akan
tetapi, karena sifat hidrofilik morfin, ada penyebaran rostral obat pada cairan spinal, dan efek
samping, terutama depresi pernafasan, dapat muncul sampai 24 jam kemudian begitu opioid
mencapai pusat kendali pernapasan supraspinal.
Jika morfin dan kebanyakan opioid diberikan secara intravena, maka kerjanya cepat.
Akan tetapi, senyawa yang lebih larut dalam lemak bekerja lebih cepat daripada morfin
setelah pemberian subkutan karena perbedaan laju absorpsi dan masuknya ke SSP.
Dibandingkan dengan opioid lain yang lebih larut dalam lemak seperti kodein, heroin dan
metadon, morfin melintasi sawar darah-otak dengan laju yang jauh lebih lambat.
b. Distribusi
Ambilan opioid oleh berbagai organ dan jaringan adalah merupakan fungsi faktor
fisiologik dan kimia. Meskipun semua opioid terikat pada protein-protein plasma dengan
berbagai tingkat afinitas, senyawa-senyawa ini dengan cepat meninggalkan darah dan
terlokalisasi dengan konsentrasi tertinggi di jaringan-jaringan yang perfusinya tinggi seperti
di paru, hati, ginjal, dan limpa. Walaupun konsentrasi obat di otot rangka dapat sangat
rendah, jeringan ini merupakan tempat simpanan utama untukobat karena massanya yang
lebih besar.
Kadar opioid-opioid dalam otak biasanya relatif rendah dibanding dengan organ-
organ tubuh lain karena adanya sawar darah-otak. Sawar ini pada neonatus masih belum
sempurna. Penggunaan analgesikopioid untuk analgesia obstetri dapat menimbulkan depresi
pernapasan pada bayi baru lahir.
c. Metabolisme
Sebagian besar opioid-opioid dikonversi menjadi metabolit-metabolit polar,
sehingga mudah di ekskresi oleh ginjal
● senyawa yang mempunyai gugusan hidroksil bebas seperti morfindan levorfanol dengan
mudah di konyugasi dengan asam glukoronat.
● senyawa-senyawa bentuk ester (seperti : meperidin dan heroin) lebih cepat dihidrolisis oleh
esterase yang umum terdapat dlam jaringan.
● Heroin (diasetilmorfin) dihidrolisis menjadi monoasetilmorfin dan akhirnya jadi morfin
yang kemudian dikonyugasi dengan asam glukoronat.
Opioid juga mengalami N-dimetilasi oleh hati, tetapi ini hanya sebagian kecil saja.
Akumulasi metabolit meperidin, normaperidin dapat ditemukan pada pasien-pasien yang
menerima obat dalam dosis yangncukup tinggi, metabolit dapat menimbulkan kejang
terutama pada anak.
d. Ekskresi
Metabolit polar opioid diekskresi terutama melalui ginjal. Sebagian kecil opioid
diekskresi dalam bentuk tidak berubah. Obat tersebut dieliminasi melalui filtrasi glomerulus,
90% ekskresi total terjadi pada hari pertama. Terjadi sirkulasi enterohepatik morfin dan
glukuronidanya, yang menyebabkan adanya sejumlah kecil morfin dalam feses dan dalam
urin selama beberapa hari setelah dosis terakhir. Konyugasi glukuronid juga diekskresi ke
dalam empedu, tetapi sirkulasi enterohepatik hanya merupakan bagian kecil dari proses
ekskresi.
B. FARMAKODINAMIK
Mekanisme Kerja
Morfin dan penggantinya berikatan secara selektif pada banyak tempat-tempat di seluruh
tubuh untuk menghasilkan efek farmakologi.
Efek opioid pada susunan saraf pusat dan usus terutama ditimbulkan karena morfin bekerja
sebagai agonus pada reseptor . Selain itu morfin juga mempunyai afinitas yang lebih lemah
terhadap reseptor dan k.
SUSUNAN SARAF PUSAT
Efek opioid terhadap SSP berupa analgesia dan narkosis. Analgesia oleh morfin dan opioid
lain sudah timbul sebelum pasien tidur dan seringkali analgesia terjadi tanpa disertai tidur.
Morfin dosis kecil (5-10 mg) menimbulkan euforia pada pasien yang sedang menderita
nyeri, sedih dan gelisah. Sebaliknya, dosis yang sama pada orang normal seringkali
menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir atau takut disertai mual dam muntah. Morfin
menimbulkan rasa kantuk, tidak dapat berkonsentrasi, sikar berpikir, apatis, aktivitas
motorik berkurang, ketajaman penglihatan berkurang dan letargi, ekstremitas terasa berat,
badan terasa panas, muka gatal dan mulut terasa kering, depresi napas dan miosis. Miosis
yaitu koontriksi otot yang terjadi pada semua agonis opioid. Rasa nyeri berkurang, rasa lapar
hilang dan dapat timbul muntah yang tidak selalu disertai mual. Dalam lingkungan yang
tenang orang yang diberikan dosis terapi (15-20 mg) morfin akan tertidur cepat dan nyenyak
disertai mimpi, napas lambat dan miosis.
Efek farmakodinamik dari opioid lainnya yang etrjadi dalam tubuh adalah efek sedasi, yaitu
perasaan mengantuk dan mental yang berkabut, dapat terjadi beberapa gangguan kemampuan
berpikir. Dapat juga terjadi gangguan ingatan atau amnesia. Efek lainnya yaitu penekanan
refleks batuk, kemudian dapat terjadi kekakuan atau rigiditas tubuh.
EFEK-EFEK PERIFER
- Sistem kardiovaskuler
- Saluran cerna
- Saluran biliar
- Saluran kemih
- Uterus
- Neuroendokrin
- Lain-lain
II. FARMAKOLOGI KLINIK ANALGESIK OPIOID
Penatalaksanaan nyeri penting untuk tindakan medis yang baik dan perlu
dipertimbangkan secara teliti tentang dosis yang tepat, jenis obat, dan jenis penyakit yang
akan diberi obat. Pengunaan opioid pada keadaan akut mungkin berlawanan dengan
penggunaan pada penatalaksanaan nyeri kronis, dimana faktor-faktor lain harus diperhatikan,
khususnya toleransi dan ketergantungan fisik. Adapun faktor-faktor tersebut yaitu :
▪ apakah analgesik memang diperlukan ?
▪ apakah analgesik opioid dapat mengaburkan atau mengubah tanda-tanda dan gejala-gejala
yang mendasari gangguan ?
▪ apakah efek-efek farmakologi opioid dapat memperburuk keadaan pada obat yang
digunakan ?
▪ apakah efek samping opioid dapat merupakan suatu efek merusak yang jelas ?
▪ apakah ada kemungkinan interaksi obat antara opioid dengan obat lain yang dikonsumsi
pasien ?
▪ apakah toleransi dan ketergantungan fisik tampaknya akan berkembang ?
1. PENGGUNAAN KLINIK ANALGESIK – ANALGESIK OPIOID
A. ANALGESIA
Nyeri yang berat dan menetap biasanya dihilangkan dengan opioid yang efikasinya
lebigh tinggi, namun nyeri yang tajam dan intermiten tampaknya tidak dapat dihilangkan
dengan mudah. Harus diusahakan untuk menetukan kualitas nyeri, dan informasi ini harus
digunakan untuk memilih obat yang layak.
Nyeri yang menyertai kanker dan penyakit terminal lain harus diobati secara adekuat,
serta pertimbangan mengenai toleransi dan ketergantungan fisik harus dikesampingkan untuk
menyokong usaha membuat pasien senyaman mungkin.
Analgesik-analgesik opioid sering dugunakan sewaktu persalinan. Karena opioid-
opioid dapat melewati sawar plasenta dan masuk ke dalam tubuh janin, harus digunakan
secara hati-hati untuk memperkecil depresi pada neonatus. Bila terjadi depresi (pernapasan)
pada neonatus segera suntikkan antagonis opioid nalokson, yang akan dapat memulihkan
depresi.
Nyeri akut yang berat pada kolik renal dan biliar sering memerlukan agonis opioid
kuat yang cukup untuk menghilangkan nyeri. Walupun demikian,obat yang menginduksi
peningkatan tonus otot polos dapat menyebabkan suatu paradoksal peningkatan nyeri
sekunder terhadap spasme yang meninggi. Peningkatan dosis opioid biasanya berhasil untuk
menghilangkan nyeri.
B. EDEMA PARU AKUT
Hilangnya dispnea pada edema paru yang menyertai kegagalan ventrikel kiri dengan
pemberian suntikkan intravena morfin benar-benar merupakan hal yang luar biasa.
Mekanismenya belum jelas,tetapi mungkin meibatkan pengurangan persepsi pendeknya
napas dan ansietas yang berhubugan dengan pengurangan preload (pengurangan tonus
vena) dan afterload ( penurunan tahanan perifer).
C. BATUK
Penekan batuk dapat diperoleh dengan dosis lebih rendah daripada yang diperlukan
untuk analgesik. Tetapi dalam tahu-tahu terakhir ini penggunaananalgesik opioid untuk
menghilangkan batuk sangat berkurang karena telah dikembangkannya beberapa
senyawa sintetik baru yang efektif serta tidak mempunyai efek analgesik amupun adiksi.
D. DIARE
Diare yang ditimbulkan oleh hampir semua penyebab dapat dikontrol dengan
analgesik opioid, tetapi diare yang berhubungan dengan infeksi pengunaan analgesik ini
tidak dianjurkan dan diganti dengan kemoterapi yang sesuai. Preparat opium (seperti
paregorik) telah lama digunakan untuk mengontrol diare, tetapi pada tahum0-tahun
terakhir ini tealh ditemukan preparat sintetik sebagai pengganti dengan efek-efek yang
lebih selektif pada saluran cerna dan sedikit atau tidak mempunyai efek pada SSP,
mislanya difenoksilat.
E. PEMAKAIAN DALAM ANASTESI
Opioid sering digunakan sebagai obat premnedikasi sebelum anastesi dan
pembedahan karena sifat-sifat sedatif, ansiolitik, dan analgesiknya. Opioid juga
digunakan intraoperatif sebagai pembantu obat anastesi lain dan morfin dalam dosis
tinggi (misalnya 1-3mg/kg morfin, atau 0,02-0,075mg/kg fentanil), yang paling sering
digunakan pada pembedahan kardiovaskular dan operasi lain yang beresiko tinggi,
dimana tujuan utamanya adalah untuk memperkecil depresi kardiovaskuler. Dalam
situasi seperti ini harus dibantu pernapasan mekanik.
Oleh karena efek langsungnya pada medula spinalis, opioid-opioid dapat juga
digunakan sebagai analgesik regional dengan pemberian kedalam ruang epidural atau
subarakhnoid kolumna spinalis. Pada permulaannya diasumsikan bahwa pemberian
opioid melalui dapat menghasilkan analgesi tanpa menggangu fungsi motorik,
otonomik, atau sensorik lain daripada nyeri. Walaupun demikian, depresi pernapasan
dapat ditemukan setelah obat disuntikkan ke dalam ruang epidural dan memerlukan
naloksan untuk pemulihan depresi pernapasan. Efek-efek lain juga sering muncul setelah
pemberian opioid melalui epidural ini.
F. CARA PEMBERIAN ALTERNATIF LAIN
Pemberian morfin dan hidromorfon secara rektal suppositoria telah digunakan sejak
lama bila pemberian oral dan parenteral tidak diinginkan. Contoh lain adalah cara
pemberian transdermal untuk efek sistemik, seperti tempelan pada kulit untuk
mempertahankan kadar dalam darah yang stabil dan pengontrolan nyerilebih sehingga
dapt menghindari penyuntikan sistenikberulang-ulang.
Rute intranasal merupakan ryte pemberian lain yang penggunaanya terbata pada
pasien-pasien yang tidak dapat mentoleransi cara pemberian oral dan pada mereka yang
tidak praktis dengan pemberian pbat suntik parenteral secara berulang-ulang.
2. TOKSISITAS DAN EFEK-EFEK YANG TIDAK DIINGINKAN
Efek toksik langsung analgesik opioid yang merupakan perluasan efek farmakologi
yang akut termasuk efek smping depresi pernapasan, mual, muntah, dan konstipasi (Tabel 30-
4). Disamping itu harus pula dipertimbangkan hal-hal berikut ini
1. Toleransi dan ketergantungan
Ketergantungan obat jenis opioid ini ditandai dengan toleransi, sindrom putus obat
atau sindrom abstinensia yang mencerminkan ketergantungan fisik, kerinduan yang
memuncak atau ketergantungan psikologik. Campuran opoid agonis-antagonis tampaknya
labilitas adiksinya kurang daripada obat-obat agonis.
a. Toleransi
Walaupun perkembangan toleransi mulai dengan dosis pertama opioid, toleransi
umumnya tidak jelas secara klinik
sampai 2-3 minggu dengan pemberian
yang sering dalam dosis terapi biasa.
Toleransi timbul paling cepat bila
diberikan dalam dosis besar untuk
selang waktu yang singkat dan
diperkecil dengan memperpanjang
interval waktu antara dosis.
Bergantung pada senyawa dan efek yang diukur, tongkat toleransi dapt mencapai 35
kali lipat. Toleransi yang jelas biasanya berkembang terhadap efek-efek analgesik, euforia,
dan depresi pernapasan.
Toleransi terhadap efek euforia dan pernapasan dari opioid menghilang dalam
beberapa hari setelah obat dihentikan. Toleransi terhadap efek emetik dapat menetap selama
beberapa bulan setelah penghentian obat. Kecepatan toleransi dapat berbeda-beda diantara
obat-obat analgesik opioid.
Toleransi silang merupakan karakteristik opioid yang sangat penting, yaitu pasien-
pasien yang toleransi terhadap morfin juga toleransi terhadap agonis opioid lainnya. Toleransi
juga timbul pada analgesik campuran agonis-antagonis, tetapi kurang menonjol dibandibgkan
dengan agonis. Walaupun demikian toleransi terhadap obat agonis-antagonis secara uun tidak
termasuk toleransi silang terhadap opioid agonis. Juga penting diingat bahwa toleransi tidak
timbul terhadap efek-efek antagonis campuran agonis-antagonis maupun terhadap antagonis
murni.
b. Ketergantungan fisik
Kegagalan pemberian obat terus-menerus menimbulkan suatu sindrom putus obat atau
sindrom abstinensia yang khas yang mencerminkan suatu rebound efek-efek farmakologi
akut yang berlebihan dari opioid. Tanda-tanda dan gejala-gejala putus obat terdiri dari
rinorea, lakrimasi, menguap, menggigil, bulu roma berdiri (piloereksi), hiperventilasi,
hipertermia, midriasis, nyeri otot, muntah, diare, ansietas, dan sikap bermusuhan.
Ledakan sindrom abstinensia yang bersifat sementara dapat diinduksi oleh suatu
antagonis yang mempercepat gejala putus obat pada subyek ketergantungan fisik akan opioid
dengan pemberian nalokson opioid lain.
Pada kasus campuran obat angonis-antagonis, tanda-tanda gejala putus obat dapat
diinduksi setelah pemakaian berulang-ulang pentazosin, siklazosin atau nalor yang kemudian
dihentikan secara mendadak, tetapi sindrom yang muncul berbeda dengan yang dihasilkan
oleh morfin dan agonis lain. Juga dapat timbul ansietas, hilangnya selera makan dan
menurunnya berat badan, takikardia, menggigil, menaiknya suhu badan, dan kejang-kejang.
2. Diagnosis dan pengobatan keracunan opioid
Diagnosis keracunan opioid dapat sangat sederhana misal :
Diketahui adiksi
Bekas-bekas suntikan
Dibawa kerumah skit oelh teman yang tampaknya menggunakan obat-obat
Atau dapat sangat sulit, seperti halnya penderita koma yang riwayat masa lalunya
tidak diketahui dan tidak ada informasi lain. Cara mendiagnosisnya misalnya :
Suntikkan nalokson intravena dengan dosis 0,2-0,4 mg, secara dramatis penderita
pulih dari koma yang berarti emenunjukkan keracunan opioid, tetapi koma ini tidak
akan pulih bila disebabkan oleh depresan SSP lain.
Untuk penggunaan pada bayi, mulai dengan dosis 5-10 miktogram/kg dan bila idak
ada respon dapat dipertimbangkan pemberian dosis kedua sampai mencapai 25
mikrogram/kg.
3. Kontraindikasi dan peringatan dalam terapi
Adapun kontraindikasipenggunaan obat bini yaitu :
a. Penggunaan agonis murni bersama dengan campuran agonis-antagonis.
b. Penggunaan pada pasien dengan trauma pada kepala.
c. Penggunaan selama kehamilan.
d. Penggunaan pada pasien dengan gangguan fungsi paru.
e. Penggunaan pada pasien-pasien dengan gangguan fungsi hati dan ginjal.
f. Penggunaan pada penyakit endokrin.
3. INTERAKSI OBAT
Dalam tabel dibawah ini tertera beberapa interaksi obat
III. OBAT – OBAT SPESIFIK
1. AGONIS KUAT
a. Fenantren
● morfin
● hidromorfon
● oksimorfon
b. Fenilheptalamin
● metadon
c. Fenilpiperidin
● meperidin
● fentanil
d. Morfinan
● levorfanol
2. AGONIS RINGAN SAMPAI SEDANG
e. Fenantren
● kodein
● oksikodon
● dihidrokodein
● hidrokodon
f. Fenilheptalamin
● propoksifen
g. Fenilpiperidin
● loperamid
● difenoksin
3. CAMPURAN AGONIS-ANTAGONIS DAN AGONIS PARSIAL
h. Fenantren
● nalbufin
● buprenorfin
i. Morfinan
● butorfanol
j. Benzomorfan
● pentazosin
● dezosin
4. ANTUISIF
● Dekstrometorfan
● Kodein
● Levopropoksifen
ZAT ZAT TERSENDIRI
1. Morfin
Candu atau opium adalah getah yang dikeringkan dan diperoleh oleh tumbuhan
papaver samniferum. Morfin mengandung kedua kelompok alkaloida yang secara kimiawi
sangat berlainan. Morfin berkhasiat analgtis sangat kuat,lagipula memiliki banyak jenis kerja
pusat lainnya, sedatif dan hipnotis, menimbulkan euforia, menekan pernapasan dan
menghilangkan refleks batuk, yang semuanya berdasarkan susunan saraf pusat (SSP). Morfin
juga menimbulkan efek stimulasi SSP,mismiosis,eksitasi dan konvulsi. Daya stimulasi CTZ
mengakibatkan mual dan muntah muntah. Efek farifernya yang paling penting adalah
obstipasi retensi kemis dan pelepasan histamin yang menyebabkan vasodilatasi pembuluh
kulit dan gatal gatal (urticaria)
Reserpsinya diusus baik, tetapi BA nya hanya kurang lebih 25% akibat FPE besar.
Mulai kerjanya 1-2 jan dan bertahan sampai 7jam.Resorpsi dan suppositoria umumnya sedikit
lebih baik .PP-nya 35% dalam hati 70% dari morfin metabolisme melalui senyawa konjugasi
dengan asam glukoronat menjadi morfin-3-glukoronida yang tidak aktif dan hanya sebagian
kecil (3%) dari jumlah yang terbentuk morfin 6-glukoronida dengan daya kerja analgetis
lebih kuat dari morfin sendiri. Eksresinya melalui kemih, empedu dengan siklus enterihepatis
dan tinja.
Heroin adalah turunan semi sintetik dengan daya kerja 2 kali lipat lebih kuat tetapi
mengakibatkan adiksi yang cepat dan hebat sekali.
2. Kodein
Alkaloida candu ini memmiliki yang sama dengan induknya,tetapi lebih lemah
misalnya efek analgetiknya 6-7 kali kurang kuat. Efek samping dan resiko adiksinya llebih
ringan, sehingga sering digunakan sebagai obat batuk,obat anti diare dan obat anti nyeri, yang
diperkuat melalui kombinasi dengan paracetmol/asetosal.Obsipasi dan mual dapat terjadi
terutama pada dosis lebih tinggi. Resorpso oral dan rektal baik didalam hati zat ini
didemetilasi menjadi norkodein dan morfin (10%) yang memberikan sifat analgetiknya.
Ekskresinya lewat kemih sebagai glikoronida dan 10% secara utuh. Plasma-t1/2-nya 3-4 jam.
Etilmorfin : delivat dengan khasiat analgetik dan hipnotik lebih lemah ;
penghambatannya terhadap pernapasan juga lebih ringan.Untuk menekan batuk zat
ini kurang efektif dibandingkan kodein,tetapi dahulu banyak dugunakan dalam
sediaan obat batuk.
Noskapin : alkaloida candu lain,tanpa sifat narkotik,yang lebih efektif sebagai obat
batuk.Noskapin tidak termasuk narkotika kaena tidak menimbulkan ketagihan.
3.Fentanil
Merupakan turunan dari petidin yang jarang digunakan lagi karena efek samping dan
sifat adiksinya,lagipula daya kerjanya singkat (3jam) sehingga tidak layak meredakan rasa
sakit jangka panjang.Efek analgetik agonis opiat 80 kali lebih kuat dari morfin.Mulai
kerjanya cepatyaitu dalam 2-3 menit, tetapi singkat hanya kurang lebih 30 menit. Zat ini
digunakan pada anastesi dan infark jantung.
Sufentanil : derivat dengan analgetik kurang lebih 10 kali kuat. Sifat dan efek
sampingnya sama dengan fentanil.Zat ini digunakan pada waktu anastesi dan pasca
bedah dan pada waktu habis persalinan.
4. Metadon
Suatu campuran resemis yang memiliki daya analgetik 2 kali lebih kuat dari morfin
juga berkhasiat anestetik lokal.Umumnya metadon tidak menimbulkan euforia sehingga
banyak digunakan untuk menghindari gejala abstinensi setelah penghentian penggunaan
opioida lain.Efek sampingnya kurang hebat dibandingkan morfin,terutama efek hipnotis dan
euforianya lemah,tetapi bertahan lebih lama.Efek obstipasinya agak ringan tetapi
penggunaannya selama persalinan harus dengan hati-hati karena dapat menekan pernapasan.
Dekstromoramida : opioid sintetis yang rumusnya mirip metadon.khasiat analgetiknya
sedikit lebih kuat dibandingkan morfin.Mulai kerjanya cepat,efeknya setelah 20-30
menit dan bertahan lebih singkat,kurang lebih 3 jam.Depresi pernapasannya lebih kuat
dibandingkan morfin, pada dosis biasa dapat terjadi apnoe,begitu pula efek adiksinya.
Tidak layak untuk pengobatan nyeri kronis. Efek sedasi dak obstipasinya lebih ringan.
5.Temadol
Campuran resemis dari 2 isomer. Khasiat analgetiknya kadang sedang dan berdaya
menghambat reuptake noradrenalin dan bekerja antitussif.Zat ini tidak menekan
pernapasan,praktis tidak mempengaruhi sistem kardiovaskuler atau motilitas lambung
usus.Walaupun memiliki sifat adiksi ringan, dalam praktek ternyata resikonyya hampir
nihil,sehingga tidak termasuk daftar narkotika.Efek analgetik tremadol oral setaraf dengan
30-60 mg morfin oral,penggunaannya rektal juga parenteral untuk nyeri sedang sampai
hebat,bila kombinasi paracetamol-kodein dan NSAID kurang efektif.
Resorpsinya diusus cepat dan tuntas dengan ratarata BA 78%,PP nya 20%,plasma-
t1/2-nya 6 jam.Efek dimulai setelah 1 jam dan dapat bertahan selama 6-8 jam.Eksresi
berlangsung lewat urin, untuk 10% secara utuh.Efek sampingnya tidak terlalu serius dan
paling sering berupa termangu mangu,berkeringat,pusing,mulut kering,mual, dan munta, serta
obstipasi,gatal gatal,rash,nyeri kepala dan letih.Resiko habituasi,ketergantungan dan adiksi
dianggap ringan.
6. Nalokson
Memiliki morfin dengan gugus alil pada atom N. Zat ini dapat meniadakan semua
khasiat morfin dan opioida lainnya, terutama depresi pernafasan tanpa mengurangi
analgetiknya. Penekanan pernafasan dari obat-obat depresi SSP lain tidak ditiadakan, tetapi
juga tidak diperkuat seperti halnya nalorfin.Secara kinetik,setelah injeksi intravena sudah
memberi efek setelah dua menit, bertahan 1-4 jam. Plasma-t1/2-nya hanya 45-90 menit, lama
kerjanya sangat singkat dari opioida, maka lazimnya perlu diulang beberapa kali. Efek
sampingnya dapat berupa tachycardia,jarang reaksi alersi dengan shock dan udema paru-
paru.Pada penangkalan efek opioida terlalu pesat dapat terjadi mual, muntah, berkeringat,
pusing, hipertensi, tremor, serangan epilepsi dan berhentinya jantung.
Nalorfin : Zat induk nalokson dengan khasiat yang sama,kecuali juga berkhasiat
analgetik lemah.Zat ini mampu meniadakan depresi pernafasan yang hebat oleh
opioida,tetapi justru memperkuat depresi yang bersifat ringan,atau akibat opioida
dengan kerja campuran dan zat-zat sentral lain. Oleh karena itu, ini hanya digunakan
pada overdose opioida, bila nalokson tidak tersedia.
Naltrekson : Derivat nalokson pula,pada mana gugus alil digantikan dengan
siklopropil.Sifatnya antagonis murni yyang tidak mengakibatkan toleransi atau
ketergantungan fisik dan psikis.Penggunaannya terutama untuk menghambat efek-
efek opioida berdasarkan pengikatan kompetitif pada reseptor opioid dan sebagai obat
anti-ketagihan heroin.Pada pecandu opioid,menimbulkan gejala abstinensi hebat
dalam waktu 5 menit,yang dpat bertahan 48 jam.
7. Pentazosin
Merupakan turunan dari morfin dimana cincin penantrendiganti oleh naftalen.Gugus-
N-alil memberikan efek antagonis terhadap opioida lainnya.Khasiatnya beragam,yakni
disamping antagonis lemah,juga merupakan antagoniis parsiil. Khasiat analgetiknya sedang
sampai kuat,kurang lebih antara kodein dan petidin.Resorpsinya diusus baik,tetapi BA-nya
hanya kurang lebih 20% akibat FPE besar.Mulai kerjanya cepat setelah 15-30 menit dan
bertahan minimal 3 jam. Efek rektalnya sama dengan pengguanaan oral.PP-nya 60%,plasma-
t1/2-nya 2-3 jam.Dalam hati zatinii diubah menjadi metabolit yang dieksresi terutama lewat
kemih.
8. Kanabis
Pucuk dengan kembang dan buah buah muda yang dikeringkan dari bentuk wanita
tumbuhan cannabis sativa.Khasiat analgetik dari THC terjadi dibatang otak,diman terletak
pula titik kerja dari opioida.Hanya mekanisme kerjanya yang berlainan,reseptor morfin tidak
memegang peranan dan nalokson tidak melawan efek analgetiknya.Disamping itu ambang
nyeri diturunkan.efektivitas dan penggunaannya sebagai anti-emetikum pada
kanker,stimulans nafsu makan pada penderita AIDS dan obat relaksasi kejang/otot pada MS.
IV. ANTAGONIS OPIOID
Obat antagonis opioid yang murni adalah nalokson dan naltrekson yang merupakan
turunan morfin dengan gugus pengganti pada posisi N.
a. Farmakokinetik
Efikasi nalokson kecil sekali bila diberi oral dan mempunyai masa kerja yang singkat
(1-2 jam) bila diberikan secara suntikkan. Disposisi metabolik terutama berkonyigasi
dengan glukoronid, seperti aginis opioid dengan gugus hidroksil bebas. Naltrekson
diabsorbsi dengan baik pada pemberian oral, tetapi cepat melalui metabolisme first-
pass. Waktu paruhnya 10 jam, dan dosis tunggal per oral 100mg akan menghambat
efek-efek suntikan heroin sampai 48 jam.
b. Farmakodinamik
Bila diberikan tanpa adanya suatu obat agonis, antagonis hampir inert pada dosis
yang menghasilkan antagonis yang jelas pada efek-efek agonis.
Bila diberi pada subyek yang mendapat pengobatan dengan morfin, antagonis
akan lengkap dan secara dramatis akan menghilangkan semua efek opioid dalam
tempo 1-3 menit.
Bila diberikan pada individu yang mwngalami depresi akut akibat kelebihan dosis
suatu opioid, antagonis akan efektif menormalkan pernapasan, tingkat kesadaran,
ukuran pupil, aktivitas usus, dll.
c. Penggunaan klinik
Nalokson lebih disukai sebagai obat antagonis daripada obat2 agonis-antagonis
lemah terdahulu yang telah digunakan sebagai antagonis. Penggunaan utama nalkson
adalah untuk pengobatan keracunan akut opioid. Yang sangat penting adalah bahwa
masa kerja nalokson relatif singkat, karena pasien yang mengalami depresi berat yg
telah dapat dipulihkan kembali dan tampaknya normal, dapat kembali jatuh ke dalam
koma setelah 1-2 jam. Dosis biasanya adalah 0,1-0,4 mg intravena dan bila perlu
dapat diulang.
Karena masa kerjanya yang panjang, naltrekson telah diajukan sebagai obat
“rumat” untuk program pengobatan penderita pecandu. Dosis tunggal diberikan
selang sehari sebetulnya dapat menghambat semua efek-efek dosis heroin.
V. SENSASI NYERI
RASA NYERI MERUPAKAN MEKANISME PERLINDUNGAN. Rasa nyeri
timbul bila ada kerusakan jaringan, dan dalam hal ini akan menyebabkan individu
bereaksi dengan cara memindahkan stimulus nyeri. Bahkan aktivitas ringan saja,
misalnya duduk sambil bertopang pada tulang iskhia selama jangka waktu lama dapat
menyebabkan kerusakan jaringan, sebab aliran darah yang kekulit berkurang akibat
tertekannya kulit oleh berat badan.
Bila kulit menjadi nyeri akibat iskemia, dalam keadaan bawah sadar orang
tersebut akan mengubah posisinya. Pasien yang telah kehilangan rasa sakitnya
setelah mengalami kecelakaan pada medula spinalis, tak akan mempunyai rasa nyeri
sehingga tidak akan mengubah posisinya. Akhirnya, keadaan ini akan menimbulkan
peluruhan dan deskuamasi seluruh kulit pada daerah yang tertekan.
Rasa nyeri dapat dibagi menjadi dua jenis utama, yaitu :
1. Rasa nyeri cepat
Bila diberikan stimulus, rasa nyeri cepat timbul dalam waktu kira-kira 0,1 detik. Rasa
nyeri cepat juga digambarkan dengan banyak nama pengganti, misalnya rasa nyeri
tajam, rasa nyeri tertusuk, rasa nyeri akut, dan rasa nyeri nyetrum. Jenis rasa nyeri ini
akan terasa bila sebuah jarum ditusukkan ke dalam kulit, bila kulit tersayat, bila kulit
terbakar secara akut, atau bila mendapat setruman. Rasa nyeri cepat-tajam tak akan
terasa di sebagian besar jaringan dalam dari tubuh.
2. Rasa nyeri lambat
Rasa nyeri lambat timbul setelah 1 detik atau lebih dan kemudian secara perlahan
bertambah setelah beberapa detik bahkan kadang beberapa menit. Rasa nyeri lambat
juga mempunyai banyak nama, seperti rasa nyeri terbakar lambat, nyeri pegal, nyeri
berdenyut-denyut, nyeri mual, dan nyeri kronik. Jenis rasa nyeri ini biasanya
dikaitkan dengan kerusakan jaringan. Rasa nyeri dapat berlangsung lama,
menyakitkan dan dapat menjadi penderitaan yang tak tertahankan. Rasa nyeri ini
dapat terasa dikulit dan hampir semua jaringan dalam atau organ.
RESEPTOR NYERI
Reseptor nyeri merupakan ujung saraf bebas. Reseptor rasa nyeri yang terdapat
dikulit dan jaringan lain semuanya merupakan ujung saraf bebas. Reseptor ini
tersebar luas pada permukaan seperfisial kulitdan juga dijaringan dalam tertentu,
isalnya periosteum, dinding arteri, permukaan sendi, dan falks serta teritorium
tempurung kepala. Sebagian besar jaringan dalam lainnya hanya sedikit dipersarafi
oleh ujung syaraf rasa nyeri; namun, setiap kerusakan jarungan yang kuas dpat
bergabung sehingga pada kebanyakan daerah tersenut akan timbul tipe rasa nyeri
pegal yang lambat dan kronik.
STIMULUS YANG MERANGSANG RESEPTOR RASA NYERI
Rasa nyeri dapat dirasakan melalui berbagai jenis rangsangan. Semua ini
dikelompokkan sebagai rangsang nyeri mekanis, suhu, dan kimiawi. Pada umumnya,
nyeri cepat diperoleh melalui rangsangan jenis mekanis atau suhu, sedangkan nyeri
lambat dapat diperoleh melalui ketiga jenis tersebut.
Beberapa zat kimia yang merangsang jenis nyeri kimiawi adalah bradikidin,
serotonin, histamin, ion kalium asam, asetilkolin, dan enzim proteolitik. Selain itu,
prostaglandin dan subatansi p meningkatkan sensitivitas ujung-ujung serabut nyeri
tetapi tidak secara langsung merangsangnya. Subtansi kimia utama penting untuk
perangsangan lambat, jenis rasa nyeri yang menusuk yang terjadi setelah cedera
ringan.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Farmakologi dan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.
Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Gilman, Goodman. 2008. Dasar Farmakologi Terapi ; Volume 1. Jakarta : EGC.
Katzung, Bertram G. 2004. Farmakologi : Dasar dan Klinik ; Edisi 8. Jakarta : Salemba
Medika.
Katzung, Bertram G. 2002. Farmakologi : Dasar dan Klinik; Edisi 6. Jakarta : Salemba
Medika.
Staf Pengajar Departemen Farmakologi Farkultas Kedokteras Universitas Sriwijaya. 2008.
Kumpulan Kuliah Farmakologi. Jakarta : EGC.
Tjay, Tan Hoan & Rahardja Kirana. 2007. Obat-obat Penting. Jakarta : PT Elex Media
Komputindo.