farmakologi opioid pd ra

Upload: muraliidrismadjid

Post on 02-Jun-2018

239 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • 8/11/2019 Farmakologi Opioid Pd RA

    1/37

    1

    Universitas Indonesia

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Bidang anestesi erat kaitanya dengan penatalaksanaan nyeri. Pasien dengan

    nyeri yang dihadapi oleh seorang anestesiologis yaitu mulai dari pasien di kamar

    operasi yang mengalami nyeri saat pembedahan, nyeri pasca bedah (nyeri akut)

    dan nyeri kronik yang penatalaksanaannnya cukup sulit. Penatalaksaan nyeri akut

    yang tidak baik dapat menyebabkan nyeri kronis yang penatalaksanaannya lebih

    sulit.

    Perkembangan penanganan nyeri tidak terlepas dari perkembangan

    mengenai pemahaman terjadinya nyeri, perkembangan pengetahuan farmakologi

    agen- agen yang dapat mengatasi nyeri dan perkembangan teknik teknik

    anestesai. Mekanisme transmisi nyeri pada tahun 1645 dikemukakan oleh

    Descrates. Ia mengemukakan bahwa impuls nyeri perifer ditransmisikan secara

    langsung dari perifer ke otak oleh sistem hard-wired tanpa melalui perantara

    modulasi apapun. Teori ini digunakan hingga akhirnya pada tahun 1965 Melzackdan Wall mengemukakan teorinya yaitu gate-control teory yang menyatakan

    nyeri dapat dimodulasi atau gated pada sejumlah titik pada jalur nyeri.

    Penelitian selanjutnya menunjukan kornu dorsalis (lamina II) korda spinalis

    sebagai tempat penting dalam modulasi dan penatalaksanaan nyeri akut dan kronis

    memakai pengetahuan ini untuk menghasilkan efek yang memuaskan. 1

    Opioid yang sudah diketahui sejak lama sebagai penghilang nyeri telah

    mengalami perkembangan pesat dalam penggunaannya seiring dengan semakin

    deketahuinya mengenai mekanisme kerjanya. Sejak dikembangkannya teknik

    anestesia regional yang menggunakan anestetik lokal didapatkan keuntungan

    bahwa untuk mendapatkan analgesia tidak selalu dengan anestesia umum. Pada

    awal 1900, Mata mengkombinasikan morfin dan kokain untuk injeksi

    subarachnoid. Morfin ditambahkan sebagai usaha untuk memperpanjang kokain

    dan menghasilkan sedasi. Hal ini tidak pernah dilakukan hingga pada tahun 1970

    setelah dikemukakan mengenai reseptor opiat di korda spinalis penggunaan opioid

  • 8/11/2019 Farmakologi Opioid Pd RA

    2/37

    2

    Universitas Indonesia

    neuroaksial kembali menjadi rutin penggunannnya sebagai bagian anestesia

    regional modern. 2

    Transmisi nyeri di sistem saraf sentral dan perifer meliputi rangkaiankompleks neurotransmiter dan jalur yang tidak mudah diblok oleh satu jenis obat

    atau teknik. Pengetahuan ini dapat membantu anestesiologis dalam tindakan

    anestesia regional berupa: 1

    Pemilihan ajuvan untuk anestetik lokal untuk mempercepat mula kerja,

    memperpanjang efek, mengurangi dosis total yang diperlukan.

    Agen yang dipakai dapat meningkatkan analgesia postoperatif tanpa

    memperpanjang efek samping anestesi lokal. Agen yang digunakan terutama bekerja pada tempat perifer tanpa efek

    sentral sehingga analgesia tercapai optimal sementara efek samping sistem

    saraf pusat minimal.

  • 8/11/2019 Farmakologi Opioid Pd RA

    3/37

    3

    Universitas Indonesia

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    I. SEJARAH

    Sejarah penggunaan medis opium dan morfin berawal ketika manusia

    primitif saat mencoba berbagai tanaman untuk dipastikan dapat dimakan

    menemukan beberapa dari yang dicoba dapat menghilangkan nyeri. Opium

    berasal dari bahasa Yunani opos yang berarti jus . Efek farmakologi opium

    didokumentasikan 500 tahun yang lalu dengan bangsa Sumeria menyebutkanpopy pada farmakopeia mereka dan menyebutnya HU GIL yang berarti

    tanaman kesenangan. Ebers Papyrus, ditulis pada tahun 1552 SM, menjelaskan

    formula Mesir kuno yang diantaranya mengandung opium. Scribonius Largus

    dalam Compotiones Medicamentorum (40 M) menjelaskam metode mendapatkan

    opium dan menyebutkan bahwa opium berasal dari kapsul bibit yang belum

    matang dari tanaman popy. Sertuner mengisolasi unsur aktif dari opium pada

    tahun 1805. Ia menyebutkan penemuannnya principium Somniferum . Pada tahun1817 ia menamakan morfin mengacu pada Morpheus, dewa mimpi Yunani.

    Opium mengandung lebih dari 20 alkaloid yang berbeda. 3 Penemuan alkaloid

    lainnya menyusul yaitu kodein ditemukan tahun 1832, papaverin pada tahun 1848,

    dan penemuan opioid endogen pada tahun 1970. 3,4

    Opioid merupakan obat pilihan untuk kebanyakan sindrom nyeri, tetapi obat

    ini berkaitan dengan toleransi dan ketergantungan. Penelitian dilakukan untuk

    menemukan opioid yang efektif yang tidak berpotensi terhadap ketergantungan. 4

    Selain efek opioid yang menguntungkan, efek samping toksik dan potensi adiktif

    obat ini telah lama diketahui. Analgesik opioid sintesis tanpa efek samping

    dikembangkan, tetapi banyak opioid sintesis menyebabkan efek samping sama

    seperti opioid alami. Penelitian mencari agonis opioid baru menghasilkan sintesis

    antagonis opioid dan bentuk dengan gabungan sifat agonis/ antagonis yang

    memperluas pilihan terapi dan sebagai alat penting mempelajari mekanisme aksi

    opioid.3

  • 8/11/2019 Farmakologi Opioid Pd RA

    4/37

    4

    Universitas Indonesia

    Sejarah penggunaan opioid sebagai analgesia regional bermula pada tahun

    1973, Pert dan Snyder, Terrenius, dan Simon, dkk secara terpisah, dan pada

    kisaran waktu yang sama mengidentifikasikan reseptor opiat di SSP termasuk

    korda spinalis. Pada tahun 1974-1975, Goldstein dan Hughes, dkk mengisolasikan

    peptida mirip opioid endogen dari kelenjar talamus dan jaringan otak yang

    disekresikan tubuh saat adanya njury atau stres fisik yang panjang. Pada tahun

    1977, Yaksh dan Rudy mendemonstrasikan pemberian secara spinal narkotik

    dosis rendah pada hewan yang tidak teranestesi menghasilkan analgesia selektif

    yang kuat disebabkan aksi spinal langsung. Pada tahun 1979, Wang, dkk

    menangani nyeri yang sulit diatasi yang disebabkan keganasan dengan morfin

    intratekal. Pada tahun 1979, Behar, dkk dan Magora, dkk memperkenalkan

    pemberian morfin epidural untuk meringankan nyeri akut dan kronis dan

    mendemonstrasikan adanya morfin pada cairan serebrospinal setelah injeksi

    epidural. 5,6

    II. STRUKTUR KIMIA

    Opiat yaitu setiap agen yang berasal dari opium (alkaloid). Opioid yaitu

    setiap substansi baik endogen maupun eksogen dengan sifat seperti morfin.

    Morfin adalah opioid prototipik dan merupakan standar yang menjadi

    perbandingan semua opioid. 4 Morfin dapat disintesa tetapi lebih mudah

    didapatkan dari opium. 7 Morfin dan derivatnya berefek seperti substansi natural

    yaitu peptida opioid endogen. 4

    Alkaloid opium dapat dibagi menjadi 2 kelas kimia yaitu phenanthren dan

    benzilisoquinolin. Alkaloid phenantren utama yang berasal dari opium yaitu

    morfin, kodein, thebain. Alkaloid benzilisoquinalin utama yang berasal dari

    opium memiliki aktivitas opioid yang kurang. 7 Termasuk dalam golongan ini

    papaverin (vasodilator, tidak bersifat analgesik) dan noskapin. 4,7

    Ketiga cincin nukleus phenantren mengandung 14 atom karbon. Cincin

    piperidin keempat mengandung nitrogen amin tertier dan muncul pada setiap

    agonis opioid. Pada PH 7,4, nitrogen amin tertier sangat terionisasi membuat

  • 8/11/2019 Farmakologi Opioid Pd RA

    5/37

    5

    Universitas Indonesia

    molekul ini larut air. Hubungan yang sangat erat muncul antara struktur

    stereokimia dan potensi opioid, dengan isomer levorotatori merupakan bentuk

    yang paling aktif. 7

    Morfin terdiri dari 5 sistem cincin. Struktur pentasiklik membentuk bentuk

    T dengan cincin piperidin membentuk satu balok melintang dan cincin

    aromatik terhidroksilasi terletak pada axis vertikal. Modifikasi pada kelompok

    fungsional pada rangka menghasilkan opioid semisintetik, diasetilmorfin,

    hidromorfon, oxymorphon, hydrocodone dan oxycodon. Opioid sintetik dibuat

    dengan reduksi jumlah cincin yang menyatu pada struktur phenanthren. 4

    III. KLASIFIKASI OPIOID

    Terdapat 3 skema dalam klasifikasi opioid yaitu berdasarkan aksi intrinsik

    pada reseptor, berdasarkan afinitas terhadap reseptor opioid, berdasarkan

    bagaimana pembuatan opioid. Berdasarkan aksi intrinsik pada reseptor, opioid

    diklasifikasikan sebagai agonis (morfin, kodein, metadon, fentanyl, dll), agonis

    parsial (buphrenorphin), agonis/antagonis (butorphanol, nalbuphin, pentazocin,dezocin) dan antagonis (naloxon, naltrexon, cholecystokinin). 4

    Berdasarkan afinitasnya terhadap reseptor opioid yaitu opioid lemah

    (kodein, propoxyphen) dan opioid kuat. Berdasarkan pembuatan yaitu opioid

    alami (morfin, kodein), semisintetik, sintetik. 4 Kelompok opioid sintetik yaitu

    derivat morfin (levorphanol), derivat metadon, derivat benzomorphan

    (pentazocin), derivat phenilpiperidin (meperidin, fentanyl). 7

    IV. OPIOID ENDOGEN

    Adalah neurotransmiter yang terlibat pada modulasi stimulus nyeri di SSP,

    sebagai ligan endogen natural bagi berbagai tipe reseptor opiat dan pada peran

    biologisnya menyerupai efek morfin. 5

  • 8/11/2019 Farmakologi Opioid Pd RA

    6/37

    6

    Universitas Indonesia

    Terdapat tiga famili peptida opioid yang berbeda secara genetik. (1) beta

    endorphin yang hanya terbatas distribusinya pada korda spinalis; (2) enkefalin

    yang merupakan pentapeptida yang teridentifikasi pertama kali di otak, tetapi juga

    berlokasi di korda terutama di area lumbosakral; (3) kelompok dinorfin yang

    banyak pada daerah servikal. 5

    V. RESEPTOR OPIOID

    Keberadaan reseptor opioid pertama kali dihipotesakan pada tahun 1954.

    Menggunakan studi ikatan reseptor dan kloning, Martin dkk menunjukan adanya

    tiga tipe reseptor utama dan penamaannya berdasarkan obat yang digunakan pada

    studinya yaitu atau reseptor morfin, atau reseptor SKF -10047 dan atau

    reseptor ketocyclazocine. Adanya reseptor (deferens) diperkenalkan oleh Lord,

    dkk. Reseptor N/OFQ (ORL-1/ opioid receptor-like-1 ) dikloning pada tahun

    1994. Digambarkan pula subtipe reseptor yaitu ( 1,2), ( 1,2), dan reseptor

    ( 1, 2, 3).4

    Reseptor opioid terdistribusi di sistem saraf pusat (SSP), dan perifer.Reseptor terdistribusi sepanjang neuroaksis dengan kepadatan tertinggi di

    nukleus kaudatus. Reseptor ini juga terdapat pada neokorteks, thalamus, nukleus

    akumbens, hipokampus, amigdala, dan lapisan superfisial kornu dorsalis korda

    spinalis. Tempat ikatan ligan reseptor spinal terutama berlokasi di presinap dari

    ujung/ akhir nosiseptor aferen primer. Reseptor terutama dikenal dengan sifat

    analgesik dan adiksi obat opioid. Morfin menghasilkan ikatan yang lebih kuat 50

    kali terhadap reseptor dibandingkan dengan . Reseptor mengontrol berbagai

    fungsi fisiologis termasuk nosisepsi, respirasi, kardiovaskular, transit usus,

    feeding , belajar dan memori, aktivitas lokomotor, termoregulasi, sekresi hormon,

    fungsi imun. 4

    Reseptor lebih terbatas distribusinya di SSP, yaitu pada bulbus olfaktori,

    kaudatus, putamen, neokorteks, nukleus akumbens, thalamus, hipotalamus, batang

    otak. Reseptor ini terlibat dalam analgesia, integrasi motorik, fungsi kognitif,

  • 8/11/2019 Farmakologi Opioid Pd RA

    7/37

    7

    Universitas Indonesia

    perilaku pengendalian mood , motilitas gastrointestinal, olfaksi dan respirasi.

    Aktivasi reseptor menghasilkan analgesia spinal tanpa disertai depresi nafas. 4

    Reseptor meliputi regulasi nosisepsi, diuresis, feeding , fungsi imun, fungsineuroendokrin, dan kemungkinan termoregulasi. Diuresis akibat inhibisi

    pelepasan hormon antidiuretik. Pemberian agonis pada korda spinalis

    menghasilkan fasilitasi dan inhibisi respon nosiseptif yang dipicu serabut C.

    Aktivasi reseptor menyebabkan analg esia spinal, disforia, sedasi tanpa disertai

    depresi nafas. 4

    Tabel 2.1 Reseptor Opioid dan Efek Klinisnya 4

    Reseptor Efek

    MuMu 1 Analgesia supraspinalMu 2 Analgesia spinal, depresi nafas, melambatkan transit gaster,

    Pruritus, nausea, vomitus, kebanyakan efek kardiovaskular,Ketergantungan fisik, euphoria

    KappaK1 Analgesia spinal, diuresis, sedasi, miosisK2 Potensi lemah untuk ketergantunganK3 Analgesia supraspinalDelta Modulasi aktifitas reseptor mu, analgesia spinalSigma Tidak bersifat analgesia, disforia, hipertonia, stimulasi

    respirasi dan vasomotor, midriasis __________________________________________________________________

  • 8/11/2019 Farmakologi Opioid Pd RA

    8/37

    8

    Universitas Indonesia

    Gambar 2.1. Reseptor opioid. Reseptor opioid ditemukan di membran sel pada

    sistem saraf (neuron) dan dengan distribusi unik dan memiliki efek yang berbeda. 8

    VI. MEKANISME AKSI

    Pemberian opioid secara neuroaksial telah banyak dilakukan baik secara

    intratekal atau epidural. Opioid lipofilik (paling umum fentanyl) diberikan sebagai

    tambahan pada anestetik lokal untuk menambah efikasi anestesia spinal,

    sedangkan opioid hidrofilik (paling umum morfin) diberikan pada ruang intratekal

    atau epidural untuk memberikan analgesia postoperatif. Opioid umum diberikan

    pada ruang epidural sebagai agen tunggal untuk analgesia postoperatif atau untuk

    menambah efikasi infusan anestetik lokal epidural kontinus sebagai usaha untuk

    mengurangi kebutuhan anestetik lokal dan efek sampingnya. Alasan pemberian

    opioid pada anestesia neuroaksial yaitu untuk menghasilkan analgesia yang

    dimediasi selektif secara spinal dengan berinteraksinya dengan reseptor opioid di

    kornu dorsalis korda spinalis, dan selanjutnya meminimalisasi efek supraspinal

    yang dibatasi dosis ( misal depresi pernapasan, sedasi, dan nausea) yang terjadi

    ketika opioid diberikan secara sistemik mencapai tempat reseptor opioid di batang

    otak. 9

    VI. 1 SPINAL OPIOID

    Secara spesifik reseptor opioid terletak terutama di dalam subtansia

    grisea dari substansia gelatinosa. Opioid intratekal secara selektif memblok

    http://2.bp.blogspot.com/-3b3VyZWltCA/TZg8Z0QYB7I/AAAAAAAAAIQ/fJCAO_oimqo/s1600/opioid+receptors.jpg
  • 8/11/2019 Farmakologi Opioid Pd RA

    9/37

    9

    Universitas Indonesia

    transmisi stimulus nosiseptif aferen dari serabut A dan C dengan berikatan

    dengan reseptor opioid presinap dan postsinap tanpa mempengaruhi akson-

    akson akar dorsalis ataupun somatosensory evoked potential . Pada presinap,

    memberikan efek pelepasan adenosine spinal yang merupakan mediator

    penting spesifik untuk analgesia yang dimediasi secara spinal. Pada ikatan

    di presinap juga terjadi penghambatan influx Ca 2+ dan penghambatan

    pelepasan glutamate dan neuropeptida (seperti substansi P) dari akhir aferen

    primer. Pada postsinap, opioid meningkatkan konduktansi K +,

    hiperpolarisasi keatas saraf- saraf second order tanpa efek pada

    somatosensory atau motor evoked potential .9,10

    a. b.

    Gambar 2.2.a. Kornu dorsalis. Hubungan antara serat sensoris aferen dan neuronkorda spinalis ditunjukan dalam kornu dorsalis.

    Gambar 2.2.b. Reseptor opioid. Daerah di korda spinalis dan otak dimana

    reseptor opioid tipe ditemukan meliputi subs tansia gelatinosa, formasi retikular,

    hipotalamus, thalamus dan korteks. Daerah ini tumpang tindih dengan daerah

    tempat persepsi nyeri. Daerah tempat persepsi nyeri ditunjukan dengan warna

    abu-abu, sedangkan reseptor opioid ditunjukan dengan warna biru. 11

    Kontras dengan anestesi lokal pada spinal yang memblok konduksi

    nyeri pada membran akson serabut dan jalur saraf, opioid untuk efektif

    harus mencapai reseptor spesifiknya yang berlokasi di saraf-saraf korda

    spinalis. Aksi spinal opioid sangat berkaitan dengan konsep interaksi obat-

    reseptor dan anatomofisiologi berbagai sistem reseptor opiat dan populasi

    peptid endogen.5

    http://www.georgiapainphysicians.com/downloads/m1_slides/12.%20opioid%20receptors.jpghttp://www.georgiapainphysicians.com/downloads/m1_slides/5.%20Dorsal%20horn.jpghttp://www.georgiapainphysicians.com/downloads/m1_slides/12.%20opioid%20receptors.jpghttp://www.georgiapainphysicians.com/downloads/m1_slides/5.%20Dorsal%20horn.jpg
  • 8/11/2019 Farmakologi Opioid Pd RA

    10/37

  • 8/11/2019 Farmakologi Opioid Pd RA

    11/37

    11

    Universitas Indonesia

    Gambar 2.4. Mekanisme aksi analgesi opiod. 13

    Analgesia spinal didapatkan melalui difusi meningen spinal kedalam

    cairan serebrospinal (CSS). Begitu terdapat didalam CSS opioid berinteraksi

    dengan reseptor opioid spinal yang berlokasi di Lamina II kornu dorsalis

    korda spinalis dan menghasilkan antinosisepsi melalui reduksi pelepasan

    neurotransmitter aferen presinap dan hiperpolarisasi neuron-neuron kornu

    dorsalis postsinap.6,10

    VI.3 PERINEURAL OPIOID

    Terdapat sedikit bukti akan keuntungan penambahan opioid pada

    anestetik lokal pada blok saraf perifer. Saat inflamasi, reseptor opioid

    terdapat pada serabut saraf perifer dan sel imun. Opioid endogen dilepaskan

    dari sel ini dan mengimbangi peningkatan status nosiseptif yang disebabkaninflamasi. Reseptor opioid yang ditemukan pada serabut aferen primer

    berasal dari ganglion akar dorsalis ke tempat inflamasi. Ketika reseptor

    opioid melakukan transport di dalam akson, reseptor tersebut tidak mudah

    dicapai oleh agonis opioid. 1

    Studi yang dilakukan Christoph Stein, dkk di Berlin menunjukan

    kemampuan sistem imun untuk menghantarkan opioid endogen dan

    http://1.bp.blogspot.com/-cF0jPvDF55w/TZg8s9w7_BI/AAAAAAAAAIY/OuzTjMEitxo/s1600/opioid+mechanism.jpg
  • 8/11/2019 Farmakologi Opioid Pd RA

    12/37

    12

    Universitas Indonesia

    kemampuan inflamasi menstimulasi pergerakan reseptor opioid ke tempat

    injury yang memungkinkan terjadinya antinosisept if. Ternyata

    perubahan ini tidak terjadi segera setelah injury dan dapat mencapai

    hingga 96 jam. 1,3

    VII. FARMAKOKINETIK

    Farmakokinetik adalah studi mengenai nasib obat dalam tubuh (apa yang

    tubuh lakukan terhadap obat), termasuk absorpsi, distribusi, biotransformasi/

    metabolism, eliminasi. Golongan opioid memiliki farmakodinamik yang mirip

    tetapi sifat kinetik yang sangat berbeda. 4

    Absorpsi

    Absorbsi mengacu pada kecepatan dan jumlah obat yang dipindahkan dari

    tempat pemberian. Proses ini dipengaruhi oleh bentuk dan ukuran molekul obat,

    konstanta ionisasi, kelarutan dalam lemak, dan sifat psikokimia membran yang

    harus dilewati. 4

    Pada anestesia regional pemberian opioid melalui intratekal atau epidural.

    Pemberian opioid melalui jalur ini memberikan keuntungan berupa dihasilkannya

    analgesia dengan dosis yang relatif rendah. 4 Sebagai perbandingan, morfin yang

    diberikan secara epidural yaitu sebesar 10% dan intratekal sebesar 1% dari dosis

    parenteral. 17

    Mekanisme analgesia yang dihasilkan morfin secara epidural adalah

    bimodal dan sinergistik. Saat 20 menit pertama, morfin yang diabsorbsi melalui

    pembuluh darah mengaktivasi sistem penghambatan menurun kemudian begitu

    konsentrasi morfin dalam cairan serebrospinal meningkat terjadi pengaktivan

    reseptor korda spinalis. 4

    Distribusi

    Agar opioid yang diberikan lewat epidural menghasilkan analgesia spinal,

    opioid harus keluar dari rongga epidural untuk mencapai tempat aksinya di kornu

  • 8/11/2019 Farmakologi Opioid Pd RA

    13/37

    13

    Universitas Indonesia

    dorsalis korda spinalis. Dua struktur penting yang menentukan distribusi dari

    rongga epidural ke intratekal yaitu lemak epidural dan pleksus venosus epidural.

    Opioid sangat lipofilik (fentanyl dan sulfentanil) sangat terdistribusi di dalam

    lemak epidural yang menyebabkan tidak tersedia untuk terdistribusi ke rongga

    intratekal. Lapisan dalam duramater mengandung jaringan kaya kapiler yang

    mengalir ke pleksus venosus epidural. Obat yang berdifusi kedalam jaringan

    epidural (misal lemak epidural dan duramater) berpotensi terabsorbsi dan

    dibersihkan dari rongga epidural melalui kapiler menuju pleksus venosus

    epidural. 9

    Suatu studi menunjukan adanya hubungan linier yang kuat antara

    peningkatan kelarutan dalam lemak dengan mean residence time di rongga

    epidural dan terminal elimination half life . Perbedaan dalam kelarutan dalam

    lemak ditentukan oleh perbedaan dalam seberapa besar opioid terpecah/ terpartisi

    di dalam lemak epidural. Konsentrasi opioid di lemak epidural menunjukan

    hubungan linier dengan kelarutan dalam lemak. Fentanyl dan sulfentanil lebih

    lama terdapat dalam rongga epidural karena peningkatan proses sekuestrasi di

    dalam lemak epidural menyebabkan distribusi kembali yang lama ke rongga

    epidural menghasilkan peningkatan mean residence di rongga epidural dan

    lipofilik opioid memiliki konsetrasi yang rendah di CSS. 9

    Pada pemberian spinal besarnya ambilan opioid intratekal dari CSS ke

    dalam jaringan neuronal korda spinalis dan batang otak juga ditentukan terutama

    oleh kelarutan dalam lipid. Korda spinalis terdiri dari substansia grisea yang

    dikelilingi substansia alba. Substansia alba terutama terdiri dari membran akson

    yang dilapisi lapisan-lapisan myelin kaya lemak. Sifat psikokimia berbagai opioidmenentukan bioavailibilitas untuk mencapai reseptor opioid. Opioid lipofilik akan

    lebih terdistribusi di dalam substansia alba. Studi pada binatang dengan radiolabel

    terhadap morfin, dihidromorfon dan fentanyl yang diberikan ke CSS ventrikel

    lateral kelinci menunjukan morfin dan hidromorfon berpenetrasi lebih dalam pada

    jaringan SSP dibandingkan fentanyl. Lebih penting lagi, morfin dan hidromorfon

    lebih terdistribusi di dalam substansia grisea sedangkan fentanyl lebih

    terakumulasi di substansia alba. 9

  • 8/11/2019 Farmakologi Opioid Pd RA

    14/37

    14

    Universitas Indonesia

    Volume of distribution di korda spinalis (V cord ) mewakili opioid di ruang

    ekstraselular yang tidak terikat, bebas berdifusi. V cord meningkat pada opioid yang

    tidak spesifik terikat dengan kompartemen jaringan (myelin) karena opioid yang

    terikat tidak tersedia untuk reseptor opiod. Karena kelarutan dalam lemak

    merupakan faktor yang mempengaruhi seberapa besarnya terjadi ikatan sehingga

    Vcord berbanding lurus dengan koefisien partitisi dengan morfin memiliki V cord

    paling kecil dan sulfentanil memiliki V cord paling besar. Opioid lipofilik yang

    diberikan secara intratekal ataupun epidural menunjukan terbatasnya aksi spinal

    selektif. 9

    Tabel 2. 2. Sifat Psikokimia Opioid untuk Anestesia Spinal dan Epidural

    %Ikatan protein pKa %Terionisasi (pada pH 7,4)Koefision Partitisi

    (Kelarutan dalam lemak)

    Morfin 35 7.9 76 1.4

    Alfentanil 92 6.5 11 128

    Fentanyl 84 8.4 91 8600

    Sulfentanil 93 8 80 1778

    Opioid hidrofilik yang diberikan secara epidural, setelah terjadi penetrasi

    membran duramater dan memasuki CSS akan bertahan di CSS untuk

    menghasilkan analgesia spinal dan menyebar ke arah rostal di dalam CSS untuk

    beraksi di batang otak. Opioid yang diberikan pada rongga epidural akan

    mengalami difusi ke dalam jaringan sekitarnya termasuk lemak epidural dan vena-

    vena. Opioid yang masuk ke dalam lemak tidak lagi dapat berikatan dengan

    reseptor opioid sehingga tidak dapat memberikan efek analgesia. 10

    Setelah masuk sirkulasi, opioid terdistribusi di dalam tubuh. Distribusi

    terjadi dalam 2 fase: fase awal dan fase kedua. Pada fase awal obat terdistribusi ke

    jaringan kaya perfusi seperti jantung, hepar, ginjal, otak. Pada fase kedua terjadi

    difusi lambat ke daerah dengan perfusi yang lebih kurang seperti otot, lemak,

    rongga perut, kulit. 4

    Volume of distribution adalah jumlah obat didistribusikan di dalam tubuh

    (perhitungannya adalah jumlah obat di plasma dibagi oleh konsentrasi plasma).

  • 8/11/2019 Farmakologi Opioid Pd RA

    15/37

    15

    Universitas Indonesia

    Distribusi menentukan mula kerja. Obat yang mudah berdifusi yang aksinya pada

    organ yang mudah terdifusi akan menghasilkan mula kerja yang sangat cepat.

    Obat tidak terionisasi dan tidak terikat adalah mudah terdifusi dan obat ini

    meninggalkan sirkulasi untuk terdistribusi. 4

    Obat sangat terikat protein adalah terdifusi lemah dan memiliki volume of

    distribution yang kecil. Obat tidak larut lemak lemah terdifusi dan juga memiliki

    volume of distribution yang kecil, dan sebaliknya. Pengukuran kekuatan asam

    (pKa) menentukan sifat terionisasi atau tidak terionisasi pada pH tertentu. Potensi

    opioid tergantung sifatnya yang tidak terikat, tidak terionisasi dari opioid yang

    larut lemak dalam berdifusi melewati membran untuk mencapai reseptor. Hal ini

    menjelaskan potensi yang lebih besar dari fentanyl dan sulfentanil dibandingkan

    dengan morfin. 4

    Tabel 2.3. Perbandingan potensi Opioid 14

    Agonis opioid dan perbandingan potensinya

    Obat Potensi Relatif

    Morfin 1

    Meperidin 0.1

    Fentanyl 75-125

    Sufentanil 500-1000

    Alfentanil 10-25

    Remifentanil 250

    Potensi atau efek analgesia dapat dikoreksi dengan mengatur dosis akhir.

    Efek klinis opioid sangat lipofilik ditentukan oleh volume of distribution

    (koefisien partisi jaringan:darah). Semakin besar volume of distribution , semakin

    kecil konsentrasi obat dalam plasma. 4

  • 8/11/2019 Farmakologi Opioid Pd RA

    16/37

    16

    Universitas Indonesia

    Metabolisme

    Opioid terkonjugasi di hepar dengan asam glukoronat untuk membentuk

    glukoronida opioid yang akan diekskresikan lewat ginjal. Beberapa opioid alamidan semisintetik dimetabolisme oleh sitokrom P 450 . Derivat phenilpiperidin

    mengalami metabolisme oksidatif. Demetilasi N sebuah jalur minor untuk

    metabolism opioid. 4

    Ekskresi

    Ginjal membuang kebanyakan metabolit polar dan sebagian kecil

    diekskresikan dalam bentuk yang tidak berubah. Konjugat glukoronid juga

    diekskresikan lewat empedu dan mengalami sirkulasi enterohepatik. 4

    Gambar 6. Model farmakokinetik pemberian obat spinal.15

    INJECTION

    ELIMINATION

    epiduralfat

    epiduralspace

    meninges cerebralCSF

    spinalCSF

    epidural venous

    draina espinal

    cordbrain

    centralcompartment

    systemicdistribution

    systemicdistribution

  • 8/11/2019 Farmakologi Opioid Pd RA

    17/37

    17

    Universitas Indonesia

    VIII. FARMAKODINAMIK

    Sifat psikokimia berbagai opioid tidak hanya menentukan mekanisme

    primer (spinal Vs supraspinal) tetapi juga potensinya, mula kerja, durasi kerja danefek samping. Perbedaan utama yang mempengaruhi potensi, lama kerja analgesia

    dan efek samping ditentukan oleh kecepatan redistribusi ke tempat opioid

    dibatang otak dan mekanisme suatu opioid mencapai tempat di batang otak. 9

    ANALGESIA

    Efek analgesi opioid menyerupai aksi opioid endogen. Opioid yang sering

    digunakan menghasilkan analgesia dengan berikatan deng an reseptor .

    Penggunaan klinis agonis terbatas karena tidak dapat menembus sawar darah

    otak. Efek analgesi morfin akibat dihambatnya transmisi keatas informasi

    nosiseptif dari kornu dorsalis korda spinalis dan diaktifkannya jalur

    penghambatan kebawah. Aksi opioid pada sistem limbik mengubah respon

    emosional terhadap nyeri sehingga membuat nyeri tersebut dapat ditoleransi.

    Agonis opioid memiliki efek analgesik perifer. 4

    Beberapa opioid (meperidin, metadon, ketobemidon dandekstropropoksifen) memiliki efek antihiperalgesik dan antialodinik dengan

    sifatnya sebagai antagonis N-metil-D-aspartat (NMDA). Studi preklinik

    menunjukan antagonis reseptor NMDA mencegah munculnya toleransi terhadap

    morfin. 4

    Analgesia opioid regional adalah kondisi yang didapatkan ketika sejumlah

    kecil narkotik eksogen atau ligan opioid endogen diberikan kedalam ruang

    intratekal atau epidural. Efeknya reversibel dan langsung ditujukan pada neuron-

    neuron korda spinalis di Lamina Rexe I-II dan V kornu dorsalis yang diketahui

    kaya akan tempat ikatan opioid. Pada nyeri kanker, pemberian opioid secara

    spinal dapat sebagai penanganan yang agresif pada pain emergencies yang

    tidak dapat dikontrol secara cepat dengan modalitas penanganan nyeri kanker

    lainnya. 5,6

  • 8/11/2019 Farmakologi Opioid Pd RA

    18/37

    18

    Universitas Indonesia

    Profil analgesi opioid yang diberikan secara neuroaksial terutama tergantung

    pada derajat lipofilisitas dan hidrofilisitas agen opioid. Mula kerja analgesia

    berkaitan dengan lipofilisitas. Faktor yang menentukan durasi aksi opioid spinal

    yaitu lipofilisitas, afinitas terhadap reseptor, aktivitas agonis instrinstik opioid,

    kecepatan terlepasnya dari tempat ikatan di korda spinalis, dan berpindahnya

    opioid melalui sirkulasi di korda spinalis. Opioid hidrofilik seperti morfin dan

    hidromorfon menghasilkan durasi analgesi yang lebih panjang dibandingkan

    dengan opioid lipofilik seperti fentanyl atau sulfentanil. Injeksi intratekal tungal

    opioid hidrofilik seperti morfin memberikan analgesia postoperatif selama 12-18

    jam. 4

    Opioid epidural menghasilkan analgesia tidak didominasi melalui

    mekanisme spinal. Diduga opioid lipofilik (terutama jika diberikan secara

    kontinus infusan) akan menghasilkan analgesia terutama oleh pengambilan

    sistemik dan redistribusi opioid lipofilik ke reseptor opioid di batang otak.

    Sedangkan jelas bahwa tempat utama aksi analgesik opioid hirofilik yaitu secara

    selektif pada spinal. 4

    Karena dosis yang lebih tinggi diperlukan pada pemberian opioid epiduraluntuk menghasilkan analgesia, terjadi efek samping sistemik yang sedikit lebih

    besar pada rute pemberian ini. Dosis equianalgesic opioid antara epidural dan

    spinal yaitu 10:1. 6

    DEPRESI NAFAS

    Semua agonis menghasilkan depresi nafas tergantung dosis. Mekanisme

    terjadinya depresi nafas dengan menurunkan respon pusat pernafasan di batang

    otak terhadap karbondioksida. . Terjadi pula depresi pusat nafas di pons dan

    medulla yang terlibat dalam regulasi irama respirasi. Terdapat peningkatan CO 2

    sisa dan pergeseran ke kanan kurva respon CO 2.4

    Karakteristik depresi nafas yang disebabkan agonis reseptor yaitu

    menurunnya laju nafas. Nyeri merupakan antagonis yang efektif terhadap efek

    depresi nafas akibat opioid. Agonis reseptor menghasilkan efek depresi nafas

  • 8/11/2019 Farmakologi Opioid Pd RA

    19/37

    19

    Universitas Indonesia

    yang lebih ringan meskipun diberikan dalam dosis besar. Opioid antagonis dan

    agonis opioid parsial digunakan untuk mengembalikan efek depresi nafas. 4

    Pada pemberian opioid intratekal dan epidural, risiko depresi nafastergantung dosis. 9,10 Depresi nafas juga terjadi meskipun dengan dosis yang lebih

    kecil pada kondisi yang jarang. Insidens depresi nafas pada opioid kurang dari 1%

    tergantung rute pemberian obat. Insiden depresi nafas pada pemberian opioid

    epidural dilaporkan 0,1% - 0,9%. Insiden depresi nafas pada pemberian opioid

    epidural (jika dosis yang digunakan tepat) baik injeksi tunggal ataupun infusan

    kontinus tidak lebih tinggi dibanding yang terjadi pada pemberian opioid

    sistemik. 10

    Obat lipofilik seperti fentanyl tidak terlalu menyebar setelah pemberian

    intratekal, tetapi obat hidrofilik seperti morfin dapat menyebar kearah rostral dan

    dapat menyebabkan depresi nafas tertunda. Hal ini juga terjadi setelah pemberian

    epidural. 4 Pada pemberian epidural, opioid lipofilik relatif cepat pembersihannya

    di cairan serebrospinal (CSS) sehingga mengurangi berkembangnya depresi nafas

    tertunda. 10

    Lamanya waktu menetap di CSS merupakan mekanisme penyebaran sefalad

    ke batang otak melalui migrasi CSS dan risiko depresi nafas tertunda. 9 Faktor-

    faktor yang mengkontribusi terjadinya terjadinya depresi nafas setelah pemberian

    opioid intratekal: keadaan opioid- nave , pemberian bersama dengan opioid atau

    sedatif sistemik, meningkatnya umur, obstructive sleep apnea . Faktor yang

    meningkatkan risiko terjadi depresi nafas pada pemberian opioid epidural yaitu

    pembedahan toraks, adanya komorbid, meningkatnya umur, keadaan opioid- nave ,

    dan pemberian bersama dengan opioid atau sedatif sistemik. 10

    PRURITUS

    Pruritus akibat pemberian opioid intratekal dan epidural akibat migrasi ke

    sefalad dari obat dan interaksinya dengan reseptor opioid di nukleus trigeminal

    yang berlokasi di superfisial dari medulla, berkaitan dengan aktivasi itch-

    center . Gatal tidak berkaitan dengan histamin ataupun absorpsi sistemik obat.

    Pruritus yang dihasilkan tidak berkaitan dengan pelepasan histamin perifer.

  • 8/11/2019 Farmakologi Opioid Pd RA

    20/37

    20

    Universitas Indonesia

    Kejadiannya pada pemberian opioid intratekal dilaporkan dari berbagai tempat

    berkisar dari 20% - 100% pada berbagai studi dan tergantung dosis sedangkan

    pada pemberian opioid epidural sebesar 60 % dibandingkan dengan pemberian

    opioid secara sistemik yaitu 15% - 18%. Tidak jelas apakah pruritus akibat

    pemberian opioid epidural tergantung dosis. 10

    MUAL MUNTAH

    Kejadian mual terjadi pada kisaran 20% - 40 % pada pasien yang

    mendapatkan opioid intratekal, 20%-50% setelah pemberian dosis tunggal opioid

    epidural, dan 45%- 80% pada pemberian opioid epidural infusan kontinus.

    Terjadinya mual muntah setelah pemberian opioid epidural tergantung dosis. 10

    Mual terjadi biasanya dalam waktu 4 jam setelah injeksi intratekal.

    Mekanisme terjadinya mual akibat migrasi obat ke sefalad dan interaksinya

    dengan reseptor opioid di area postrema dan chemotactic trigger zone pada

    medulla. 10

    Terdapat pula komponen vestibular untuk terjadinya nausea. Terhambatnya

    transit gaster juga berpengaruh terhadap terjadinya mual akibat opioid.4

    RETENSI URIN

    Kejadian retensi urin pada intratekal opioid lebih sering terjadi

    dibandingkan intravena opioid pada dosis yang sama. Retensi urin akibat opioid

    intratekal tidak tergantung dosis, dan lebih sering kejadiannya pada penggunaan

    morfin. Mekanisme terjadinya berkaitan dengan inhibisi persarafan sistem saraf

    parasimpatik sakralis yang diinduksi oleh reseptor opioid sehingga menghasilkan

    relaksasi detrusor dan peningkatan kapasitas buli. Pada opioid epidural, kejadian

    retensi urin akibat aktivasi reseptor opioid spinal dan terjadi mekanisme yang

    sama seperti yang terjadi pada opioid intratekal. Kejadiannya pada opioid epidural

    70%-80% jauh lebih tinggi dibandingkan dengan opioid sistemik yaitu 18% dan

    tampaknya kejadiannya tidak tergantung dosis. 10

  • 8/11/2019 Farmakologi Opioid Pd RA

    21/37

    21

    Universitas Indonesia

    SEDASI

    Merupakan efek samping yang terjadi tergantung dosis pada semua opioid

    yang diberikan intratekal. Tidak ada data mengenai perbedaan tingkat sedasiakibat pemberian opioid dari rute intratekal, epidural, ataupun intravena, namun

    tampaknya kejadiannya umumnya berkaitan dengan rute pemberian. Insiden

    sedasi lebih tinggi pada sulfentanil dibandingkan opioid lainnya. 10

    PERUBAHAN M OOD

    Opioid menghasilkan euforia, damai, lega/puas. Euforia dimediasi reseptor

    . Aktifasi reseptor menyebabkan disforia. Jalur dopaminergik terutama yang

    melibatkan nukleus akumbens berperan pada efek obat yang memberikan rasa

    nyaman. Efek agonis opioid pada ikatannya dengan dan member ketenangan

    sedangkan pada ikatannya dengan sebaliknya. Konsentrasi tinggi reseptor opioid

    dan saraf noradrenergik yang terdapat pada lokus ceruleus berperan pada perasaan

    panik, waspada, takut dan cemas. Opioid endogen maupun eksogen menghambat

    aktifitas neural di lokus ceruleus. Pada dosis tinggi opioid menyebakan tidur

    terlihat pada pergantian gelombang cepat menjadi gelombang lambat pada

    elektroensefalogram. 4

    ANTITUSIF

    Efek ini akibat depresi pusat batuk di medulla. 4

    MIOSIS

    Miosis akibat stimulasi nucleus Edinger-Westphal dari saraf okulomotor. 4

    KONVULSI

    Konvulsi terjadi karena stimulasi saraf-saraf terutama di sel piramidal

    hipokampus. Metabolit morfin -3- glukoronida berperan pada munculnya

    gambaran spiking dan epileptiform pada EEG. Normeperidin (metabolit

    meperidin) dan norpropoxyphene (metabolit propoxyphene) diketahui

    menyebabkan eksitasi SSP. 4

  • 8/11/2019 Farmakologi Opioid Pd RA

    22/37

    22

    Universitas Indonesia

    KEKAKUAN OTOT

    Diduga mekanisme terjadinya kekakuan otot terjadi karena mekanisme

    sentral yang berlokasi di striatum dimana diketahui kaya akan tempat ikatanopioid. Dosis tinggi dan injeksi cepat opioid intravena terkenal dapat

    menyebabkan kekakuan otot terutama pada populasi tua (>60 tahun). Kekakuan

    otot striatal digambarkan sebagai peningkatan tonus otot yang semakin

    berkembang. Hal ini terutama melibatkan otot toraks, abomen sehingga disebut

    wooden che st yang menggangu ventilasi. 4

    SISTEM KARDIOVASKULAR

    Opioid menyebabkan bradikardia yang tergantung dosis dengan

    meningkatkan stimulasi vagal yang dimediasi secara sentral. Meperidine

    menghasilkan takikardia karena strukturnya yang mirip dengan atropine. Morfin

    dan beberapa opioid lainnya (meperidin dan kodein) memprovokasi pelepasan

    histamin yang menjadi penyebab utama dalam terjadinya hipotensi. Nalokson

    tidak menghambat pelepasan histamin yang disebabkan opioid. 4

    TRAKTUS GASTROINTESTINAL

    Meskipun opioid dalam dosis kecil dapat menurunkan motilitas gaster dan

    memperpanjang waktu pengosongan gaster. Efek gastrointestinal opioid terutama

    dimediasi oleh reseptor dan di usus. Opioid menyebabkan kontriksi pada

    sphincter oddi dan meningkatkan tekanan duktus biliaris komunis. 4

    Depresi nafas tertunda diduga disebabkan sirkulasi enteroenterosistemik

    opioid. Puncak kedua dapat dilihat pada grafik konsentrasi-waktu dalam plasma

    pada studi farmakokinetik opioid yang lebih larut lemak. Hal ini diduga karena

    absorbsi opioid pertama dimurnikan oleh asam lambung kemudian diabsorbsi

    dari usus halus. 4

    KULIT

    Morfin dalam dosis terapetik menyebabkan dilatasi pembuluh darah kulit.

    Hal ini merupakan bagian pelepasan histamin dan penurunan resistensi vaskular

  • 8/11/2019 Farmakologi Opioid Pd RA

    23/37

    23

    Universitas Indonesia

    perifer. Kulit daerah muka, leher, dan dada bagian atas menjadi kemerahan.

    Morfin dan meperidin merangsang pelepasan histamin yang menyebabkan

    urtikaria di tempat penyuntikannya. Ini tidak diatasi dengan nalokson.

    Oxymorphone, metadon, fentanyl dan sulfentanil tidak berkaitan dengan plepasan

    histamin. 4

    Pruritus efek samping penggunaan opioid dan paling sering pada

    penggunaan opioid intratekal. Efek ini muncul dimediasi oleh neuron kornu

    dorsalis dan diatasi oleh nalokson. 4

    SISTEM IMUN

    Morfin mengubah sejumlah sel-sel imunokompeten matang yang terlibat

    dalam respon imun dimediasi-sel dan humoral. Individu yang terpapar terapi

    opioid untuk manajemen nyeri atau mereka dengan pemeliharaan dengan metadon

    tidak menunjukan penekanan sistem imun. Pada pencandu heroin terjadi

    perubahan dan gangguan sistem imun dan menunjukan prevalensi penyakit infeksi

    yang tinggi dibandingkan dengan yang tidak tercandu. 4

    TOLERANSI

    Merupakan fenomena dimana paparan terhadap obat menyebabkan

    pengurangan efek atau kebutuhan akan dosis obat yang lebih tinggi untuk

    mempertahankan efek. Toleransi dapat alami (genetik) atau didapat. Terdapat 3

    tipe toleransi yang didapat, yaitu farmakokinetik, farmakodinamik dan learned .

    Toleransi farmakokinetik akibat perubahan pada metabolisme dan distribusi obat

    setelah pemberian yang berulang-ulang (misal induksi enzim). Toleransi

    farmakodinamik berasal dari perubahan adaptif (misal perubahan pada densitas

    reseptor yang diinduksi obat). Toleransi learned adalah hasil mekanisme

    kompensasi yang dipelajari ( learned ).4

    Toleransi jangka pendek kemungkinan melibatkan fosforilasi reseptor dan

    melalui protein kinase C. Toleransi jangka panjang akibat peningkatan aktifitas

    adenilat siklase, suatu counter regulation untuk menurunkan kadar cyclic AMP

    yang terlihat s etelah pemberian opioid akut. Pada toleransi opioid decoupling

  • 8/11/2019 Farmakologi Opioid Pd RA

    24/37

    24

    Universitas Indonesia

    fungsional dari reseptor opioid akibat mekanisme seluler yang diatur protein G

    terjadi sehingga menyebabkan regulasi menurun ( down regulation ) opioid

    endogen dan/atau reseptor opioid dan perubahan tingkah laku. Antagonis NMDA

    dapat memblok toleransi antinosiseptif terhadap morfin 4

    ADIKSI DAN KETERGANTUNGAN FISIK

    World health Organization mendefinisikan adiksi sebagai state, psychic

    and sometimes also physical, resulting from the interactions between a living

    organism and a drug, characterized by a behavioral and other responses that

    always include a compulsion to take the drug on continuous or periodic basis in

    order to experience its psychic effects, and sometimes to avoid the discomfort ofits absence . Ketergantungan fisik didefinisikan sebagai potensi untuk terjadinya

    sindrom penghentian obat ( abstinence ) atau lepas obat ( withdrawl ) setelah

    pengurangan, penghentian dosis obat mendadak atau pemberian obat antagonis

    atau agonis-antagonis. 4

    Sistem dopamin mesolimbik berperan pada efek rewarddari obat yang

    menyebabkan penyalahgunaan seperti opioid dan opioid endogen berperan pada

    mekanisme adaptif yang menyertai. Agonis opioid pada reseptor dan bersifat

    rewarding (menyenangkan), sedangkan agonis pada reseptor aversive

    (efek tidak mengenakan). Sistem mesolimbik dopaminergik yang berasal dari area

    tegmental ventral midbrain memberikan efek menyenangkan pada penggunaan

    opioid. Pelepasan dopamin di nukleus akumbens berasal dari kontrol tonik sistem

    opioid yang berlawanan yaitu aktivitas reseptor (dan kemungkinan reseptor )

    yang berasal dari area tegmental ventral yang meningkatkan dan aktivitas reseptor

    (berasal dari nukleus akumbens) yang m enurunkan aktivitas basal sistem

    reward mesolimbik. 4

  • 8/11/2019 Farmakologi Opioid Pd RA

    25/37

    25

    Universitas Indonesia

    IX. AGEN OPIOID YANG DIGUNAKAN SECARA NEUROAKSIAL

    Opioid yang boleh diberikan secara neuroaksial harus bebas bahan

    pengawet. Opioid lain selain morfin dapat digunakan intratekal atau epidural yaitufentanyl, sulfentanil, meperidin, metadon, hydromorfon. 5,10 Remifentanil tidak

    dapat diberikan intratekal karena disiapkannya dengan glisin dimana dapat

    menyebabkan paralisis motor temporer. 4 Meperidin merupakan satu-satunya

    opioid yang memiliki sifat anestetik lokal pada dosis klinis. Meperidin tidak

    seperti opioid lain dapat digunakan tunggal untuk menghasilkan analgesia pada

    pembedahan. 18

    Keuntungan opioid intratekal terletak pada tidak adanya blok simpatik danhipotensi postural, cenderung lebih mudahnya ambulasi pada pasien, dan

    terhindarnya kolaps kardiovaskular atau konvulsi dimana hal ini merupakan

    komplikasi mayor blok anestesi lokal. Pemberian opioid spinal juga dapat

    memberikan efek analgesia, sama seperti obat anestesi lokal, tanpa menggangu

    fungsi motorik. 6,10,16

    Analgesia pada neuroaksial opioid tergantung dosis dan spesifik untuk nyeri

    viseral dibandingkan somatik. 7 Meskipun opioid intraspinal tunggal dapat

    menghasilkan analgesia yang baik, banyak pasien mengalami efek samping yang

    tergantung dosis yang signifikan, terutama dengan opioid larut lemak. Ketika

    larutan anestesi lokal dikombinasikan dengan opioid terjadi sinergi yang

    signifikan. 16

    Efek samping pada neuroaksial opioid dapat dimediasi secara sistemik atau

    sentral. Karena ruang epidural sangat kaya vaskularisasi, setiap obat yang melalui

    rute ini memasuki sirkulasi sitemik. Efek samping paling sering pada opioid

    neuroaksial berupa pruritus, nausea, vomitus, somnolen, retensi urin, dan depresi

    nafas. Efek samping sistemik pada pemberian opioid epidural pada dosis yang

    cukup besar sama seperti pemberian intravena. 4,6

  • 8/11/2019 Farmakologi Opioid Pd RA

    26/37

    26

    Universitas Indonesia

    A. MORFIN

    Gambar 2.6. struktur kimia morfin

    Merupakan agonis reseptor . Bentuk levo isomer merupakan bentuk

    yang aktif secara dan farmakologi. Pka morfin pada pH fisiologis 7,9.

    Relatif larut air dan sangat tidak larut dalam lemak karena adanya kelompok

    OH - hidrofilik. Kelemahan larut dalam lemak membatasi perpindahannya

    menembus membran dan merupakan hambatan untuk memasuki sistemsaraf pusat. 4

    FARMAKOKINETIK

    Morfin terikat dengan protein di dalam plasma sebesar 20%-40%,

    yaitu pada albumin dan gamma globulin. Elimination half-life rata-rata

    berkisar dari 1,4 hingga 3,4 jam. Volume of distribution rata-rata berkisar

    dari 2,1 hingga 4,0 L/kg.4

    Ini dipengaruhi status hemodinamik pasien, perubahan pada ikatan ikatan protein plasma, dan variasi aliran darah

    jaringan. Morfin merupakan hidofilik opioid dengan volume of distribution

    yang kecil dan clearance yang lambat dari korda spinalis. 4,10

    Berdasarkan studi manusia terminal elimination half life pada

    pemberian morfin intratekal dilaporkan 90 menit dengan kisaran 60-140

    menit. Ini menghasilkan morfin tereliminasi tuntas dari CSS lumbal sekitar

    6-12 jam. Bagaimanapun durasi analgesia dan juga inhibisi respon ventilasi

  • 8/11/2019 Farmakologi Opioid Pd RA

    27/37

    27

    Universitas Indonesia

    terhadap hipoksia tetap bertahan setelah konsentrasi dalam CSS dan plasma

    diharapkan dapat diabaikan. Hal ini dapat sebagian dijelaskan dengan

    perbedaan antar individu yang besar pada farmakokinetik CSS. Morfin

    bertahan di reseptor opioid di korda spinalis dan batang otak lebih lama

    dibandingkan di CSS menunjukan perbedaan antara farmakokinetik CSS

    dan farmakokinetik tempat-efek. 9

    Morfin dapat diberikan intratekal, epidural, intraventrikel. Kadar

    morfin dalam plasma setelah pemberian intratekal terlalu rendah dalam

    memberikan efek klinis yang signifikan tetapi menghasilkan kadar morfin

    dalam CSS beberapa kali lebih besar dibandingkan rute sistemik. 4

    Morfin memberikan analgesia spinal yang sangat selektif. Penetrasi

    korda spinalis yang yang lambat dan durasi yang panjang di dalam cairan

    serebrospinal akibat hidrofilitasnya serta lambatnya clearance dari korda

    spinalis dan kecilnya V cord menyebabkan onset yang lambat (>30 menit) dan

    durasi aksi yang panjang (6 jam atau lebih), dan risiko depresi nafas

    tertunda (12-18 jam) akibat penyebaran ke atas (rostral) di dalam cairan

    serebrospinal.4,6,10

    Bukan sifat morfin memiliki ketersediaan yang lebih besar untuk

    terdistribusi ke sefalad di dalam CSS dibandingkan dengan opioid lipofilik.

    Yang paling utama dalam penyebaran obat adalah pergerakan CSS itu

    sendiri. Korda spinalis bergerak ke kaudal di dalam kanalis vertebralis pada

    awal siklus kardiak bersamaan dengan aliran pulsatil darah kedalam SSP.

    Peristiwa ini disertai pergerakan cepat CSS pada arah kaudal di bawah

    permukaan dorsal korda spinalis. Kemudian pada siklus kardiak, CSS

    bergerak sepanjang permukaaan ventral korda spinalis dengan aliran pasti

    pada arah sefalad. Sehingga morfin dapat mencapai tempat di batang otak

    karena rendahnya bersihan dari CSS dengan lebih banyak obat yang tersedia

    untuk terbawa oleh aliran CSS ke sefalad. 9

    Pemberian morfin secara epidural cepat diabsorbsi ke dalam sirkulasi

    sistemik menghasilkan kadar plasma yang signifikan. Setelah administrasi

  • 8/11/2019 Farmakologi Opioid Pd RA

    28/37

    28

    Universitas Indonesia

    intravena morfin cepat terdistribusi ke dalam jaringan dan organ kaya

    perfusi seperti paru, ginjal, hati, lien. Morfin dan metabolitnya yang sangat

    polar morfin-3-glukoronid (M3G) dan M6G menembus sawar darah otak

    dalam jumlah kecil. Kadar morfin dalam CSS setelah administrasi sistemik

    adalah 4%-6%. 4

    Metabolisme morfin yaitu dengan dengan glukoronidasi dan hepar

    merupakan tempat utama untuk biotransformasi. Sekitar 90% dari morfin

    yang diinjeksikan dikonversi menjadi metabolitnya terutama (45%-55%)

    M3G dan M6G (10%-15%). Metabolit lainnya yaitu morfin-3, 6-

    diglukuronid, morfin-3-ethereal sulfat, normorfin, normorfin-6-glukoronid,

    normorfin-3-glukoronid dan kodein. 4

    M3G sangat kecil afinitasnya dengan reseptor sehingga tidak

    memiliki potensi analgesik. Agen ini diketahui sebagai antagonis analgesi

    dan depresi nafas yang disebabkan morfin dan M6G. Diduga juga M3G

    mempengaruhi timbulnya toleransi morfin. 4

    M6G memiliki afinitas tinggi terhadap reseptor dibandingkan

    terhadap reseptor dan . M6G dapat terakumulasi pada pasien dengan

    insufisiensi ginjal dan hal ini merupakan faktor yang menyebabkan

    perpanjangan efek setelah administrasi opioid. Peningkatan M6G ini

    menyebabkan peningkatan pada konsentrasinya dalam CSS. Di dalam CSS,

    M6G 45-100 kali lebih poten dibanding morfin untuk efek analgesiknya dan

    10 kali lebih poten untuk efek depresi nafasnya. 4

    Normorfin sedikit dihasilkan dan secara farmakologi aktif. Agen ini

    neurotoksik, analog terhadap normeperidin. 4

    Dalam 10 menit setelah morfin terdapat dalam plasma , 96-98% obat

    dibersihkan dari plasma. Ekskresi morfin terutama di ginjal. Sirkulasi

    enterohepatik dan bentuk glukoronidanya menyebabkan ditemukannya

    morfin dalam jumlah kecil di feses dan urin beberapa hari setelah dosis

    terakhir. 4

  • 8/11/2019 Farmakologi Opioid Pd RA

    29/37

    29

    Universitas Indonesia

    FARMAKODINAMIK

    Dosis epidural tunggal morfin terutama efektif untuk analgesia

    postoperatif yang panjang. Dosis morfin epidural perlu dikurangi pada pasien tua. Analgesia antara morfin dan hidromorfon secara epidural lumbal

    sama. 10

    Beberapa kejadian depresi nafas yang secara klinis signifikan

    dilaporkan pada dosis kurang dari 0,4 mg pada pemberian morfin intratekal.

    Morfin khas terjadi depresi nafas tertunda terjadi 6 sampai 12 jam setelah

    pemberian tetapi juga telah dilaporkan hingga 19 jam setelah injeksi

    intratekal. Depresi nafas signifikan secara klinis tidak pernah dilaporkansetelah 19 jam setelah injeksi intratekal. 10

    Kejadian pruritus pada pasien yang mendapatkan morfin intratekal

    lebih tinggi dibandingkan yang mendapatkan fentanyl. Kejadian pruritus

    sedang sampai berat pada hari pertama postoperatif pada pemberian secara

    epidural berkurang pada penggunaan hidromorfon. 10

    Efek mual lebih sering terjadi pada penggunaan opioid intratekal yangmenggunakan morfin. Mekanisme terjadinya mual akibat migrasi obat ke

    sefalad dan interaksinya dengan reseptor opioid di area postrema. 10

    Untuk pasien toleran opioid, pemberian dosis yang lebih tinggi dapat

    diterima. Pada individu opioid- nave , dosis kurang dari 0,3 mg mungkin

    ideal. Alhashemi et al mendomonstrasikan bahwa morfin intrarekal 250 mcg

    adalah dosis optimal untuk menghasilkan analgesia postoperatif yang

    signifikan tanpa penundaan ekstubasi trakea setelah pembedahan coronary

    artery bypass graft .10

    Extended-Release Epidural Morphine (EREM)

    Mengandung sistem penghantaran berbasis lipid yang dirancang

    menghasilkan bebas nyeri selama 48 jam tanpa diperlukannya kateter

    epidural yang dipertahankan. Tidak adanya kateter epidural memberi

    keuntungan terutama pada pasien yang mendapat terapi antikoagulan.10

  • 8/11/2019 Farmakologi Opioid Pd RA

    30/37

    30

    Universitas Indonesia

    EREM disetujui oleh U.S Food and Drug Administration pada dosis

    10-20 mg. Perhatian pada pasien lebih tua membutuhkan dosis yang lebih

    rendah dibandingkan usia muda. EREM tidak direkomendasikan pada

    pasien di atas 65 tahun dengan dosis melebihi 15 mg. Efek samping sama

    seperti analgesik opioid epidural lainnya. 10

    B. SULFENTANIL

    Merupakan agonis reseptor yang paling poten. Sulfentanil 5 -10 kali

    lebih poten dibanding fentanyl dan 1000 kali lebih poten dibanding morfin.

    Afinitas terhadap reseptor opioid 30 kali lebih besar dibanding fentanyl.

    Lebih dari 90% terikat protein. 4

    FARMAKOKINETIK

    Merupakan opioid lipofilik. Kelarutannya dalam lemak lebih besar

    dibanding fentanyl dan alfentanil. Sulfentanil menembus sawar darah otak

    dan CSS dengan cepat sehingga mempunyai mula kerja yang cepat. Volume

    of distribution, distribution half life dan elimination half life diantara

    fentanyl dan alfentanil. 4,10

    Efek analgesik sangat cepat karena cepatnya redistribusi ke lemak dan

    otot skelet. Singkatnya elimination half-life disebabkan kecilnya volume of

    distribution dan tingginya mobilisasi hepatik. Sulfentanil dimetabolisme di

    hepar. Hasil N-dealkilasi tidak aktif dan hasil o-demetilasi (metilsulfentanil)

    aktif. Ekskresi metabolitnya melalui urin. 4

    Studi klinis menyebutkan pemberian sulfentanyl intratekal

    menghasilkan analgesia spinal selektif . Tetapi studi laboratoris

    menyebutkan bahwa pengambilan ( uptake ) sistemik yang dilanjukan dengan

    analgesia supraspinal mungkin merupakan mekanisme aksi yang dominan.

    Studi sulfentanil intratekal dengan dosis 12.5, 25, 50 mcg, ketiganya

    menghasilkan ambang analgesik yang sama. Konsentrasi sulfentanil plasma

    dari ketiga dosis ini melebihi konsentrasi efektif minimum yang dapat

  • 8/11/2019 Farmakologi Opioid Pd RA

    31/37

    31

    Universitas Indonesia

    menghasilkan analgesia sistemik yang efektif. Ketiga dosis tersebut

    menyebabkan depresi nafas yang signifikan, puncaknya pada 90-120 menit,

    sejajar dengan lamanya waktu puncak efek analgesia dan konsentrasi

    sulfentanil plasma maksimal. Karena depresi nafas merupakan efek

    supraspinal, hal ini menunjukan sebagian analgesia faktanya dimediasi

    supraspinal. Besarnya V cord dan cepatnya bersihan menuju sirkulasi sitemik

    dengan kadar plasma puncak 30-60 menit menunjukan dasar farmakokinetik

    untuk beberapa laporan kasus depresi nafas awal. 9,10

    Karena kelarutan dalam lemak yang ekstrem dari sulfentanil, agen ini

    memiliki volume of distribution yang sangat besar di korda spinalis dengan

    clearance yang cepat menuju vaskularisasi korda spinalis dan rongga

    epidural pada model babi. Penemuan laboratorium ini menunjukan bahwa

    terdapat sulfentanil spinal yang sangat sedikit untuk berinteraksi dengan

    reseptor opioid di korda spinalis dikarenakan sekuestrasi di substansia alba

    larut lemak dan redistribusi sistemik. Karena alasan tersebut terdapat sedikit

    penggunaan sulfentanil secara spinal untuk mendapatkan analgesia spinal

    selektif. 10

    FARMAKODINAMIK

    Opioid lipofilik memiliki profil klinis yang lebih disukai berupa onset

    yang cepat (menit), durasi yang sedang (1-4 jam), dan sedikit risiko depresi

    nafas tertunda. Depresi nafas biasanya terjadi dalam menit sampai jam

    untuk opioid lipofilik (fentanyl, sulfentanil) dengan depresi nafas awal

    (menit) tidak pernah dilaporkan pada opioid hidrofilik seperti morfin. 10

    C. FENTANYL

    Merupakan agonis opioid dengan afinitas tinggi terhadap r esptor .

    Sebagai analgesik, fentanyl sekitar 75-100 kali lebih poten dibanding

    morfin. 4 Fentanyl kurang larut dalam lemak dibanding sulfentanil. 6

  • 8/11/2019 Farmakologi Opioid Pd RA

    32/37

    32

    Universitas Indonesia

    FARMAKOKINETIK

    Fentanyl sangat larut lemak dan cepat menembus sawar darah otak.

    Keseimbangan kadar plasma dengan CSS dalam 5 menit, memiliki mulakerja cepat (30 detik) dan durasi aksi yang pendek akibat redistribusi ke

    lemak dan otot skelet. Terdapat penurunan konsentrasi plasma yang cepat

    menunjukan redistribusi. Pengulangan dosis atau infus kontinus

    menyebabkan simpanan dalam lemak dan otot jenuh sehingga perpanjangan

    efek akibat akumulasi sistemik dan perlambatan penurunan konsentrasi

    plasma. 4

    Fentanyl terikat protein sebesar 50%. Fentanyl terutamadimetabolisme di hepar oleh sitokrom P 450 3A4 menjadi asam phenilasetik,

    norfentanyl dan sejumlah kecil komponen aktif yaitu p-hidroksi fentanyl

    yang diekskresikan melalui empedu dan urin. Fentanyl merupakan obat

    pilihan pada pasien dengan penyakit ginjal karena semua metabolitnya tidak

    aktif. 4

    Fentanyl mempunyai volume of distribution yang besar dan

    dibuktikan dengan elimination half life yang panjang (3-4 jam). Sama

    seperti opioid yang larut lemak lainnya , half life fentanyl dipengaruhi oleh

    lama durasi pemberian yang merupakan fungsi besarnya pemecahan lemak.

    Pada kondisi steady-state , elimination half life adalah 7-12 jam. Penyakit

    hati tidak memperpanjang half life tetapi perpanjangan efek terlihat pada

    pasien tua. 4

    Fentanyl dengan kelarutan dalam lemak yang lebih kurang

    dibandingkan sulfentanil akan mempertahankan selektifitas spinal yang

    cukup saat diberikan intratekal. Data respon dosis menunjukan bahwa

    fentanyl intratekal tunggal menghasilkan analgesia dengan dosis efektif

    minimal 10 mcg pada orang dewasa. Fentanyl memiliki mula kerja cepat (5-

    10 menit) dan durasi aksi pertengahan (60-120 menit) membuat fentanyl

    ideal sebagai tambahan pada anestetik lokal untuk menambah efek pada

    anestesia spinal. Penambahan fentanyl 10-25 mcg ke anestetik lokal

  • 8/11/2019 Farmakologi Opioid Pd RA

    33/37

    33

    Universitas Indonesia

    membuat penggunaan dosis anestetik lokal yang lebih sedikit yang

    meningkatkan keberhasilan anestesia spinal dan memperlama durasi tanpa

    memperlama resolusi sensorik yang utuh dari blok secara signifikan. 6,10

    Bolus fentanyl secara epidural tunggal dapat diberikan untuk

    menghasilkan analgesia postoperatif yang cepat (onset dalam 5-10 menit)

    tetapi tidak lama (hingga 4 jam). Melarutkan dosis fentanyl epidural

    (biasanya 50-100 mcg) pada setidaknya 10 mL cairan NaCl dapat

    mempercepat mula kerja dan memperpanjang durasi analgesia,

    kemungkinan akibat peningkatan penyebaran awal dan difusi fentanyl.

    Mengkombinasikan opioid hidrofilik (morfin) dengan opioid lipofilik

    (fentanyl) pada injeksi epidural tunggal mengkombinasikan waktu mula

    kerja pendek oleh opioid lipofilik dengan durasi analgesia panjang oleh

    opioid hidrofilik. 10

    FARMAKODINAMIK

    Merupakan opioid lipofilik, mempunyai profil klinik yang disukai

    berupa onset yang cepat (menit), durasi sedang (1-4 jam). Untuk analgesia

    postoperatif secara spinal pada pasien yang tidak dirawat lebih tepat

    menggunakan opioid lipofilik seperti fentanyl. Hal ini disebabkan onset

    analgesi yang cepat dan durasi aksi yang pendek sehingga meminimalkan

    risiko depresi nafas tertunda. 10

    Data respon terhadap dosis menunjukan bahwa pemberian fentanyl

    spinal tunggal memberikan analgesia tergantung dosis dengan dosis efektif

    minimal sekitar 10 mcg. Risiko terjadinya depresi nafas awal juga

    tergantung dosis dengan risiko yang signifikan terjadi pada dosis yang lebih

    besar dari 25 mcg 10

    Depresi nafas dapat terjadi dan onsetnya jauh lebih cepat dibanding

    morfin. Karena sangat larut dalam lemak, risiko depresi nafas tertunda yang

    disebabkan penyebaran ke arah rostral dari pemberian secara intratekal ke

    pusat pernafasan di medulla sangat berkurang. 4

  • 8/11/2019 Farmakologi Opioid Pd RA

    34/37

    34

    Universitas Indonesia

    Opioid yang sangat lipofilik, short-acting seperti fentanyl dapat

    ditambahkan pada anestesi lokal untuk meningkatkan analgesia jangka

    pendek pada prosedur-prosedur yang dirawat ataupun tidak dirawat.

    Penambahan fentanyl 10 mcg pada bupivacain 0,5% (hiperbarik) secara

    signifikan meningkatkan kualitas dan durasi analgesia dengan tidak adanya

    peningkatan kelebihan apabila dosis ditingkatkan hingga 40 mcg. 10

    D. ALFENTANIL

    FARMAKOKINETIK

    Alfentanil digunakan untuk analgesia epidural dan intravenous

    patient-controlled analgesia . Potensinya 5-10 kali lebih kurang

    dibandingkan fentanyl. Memiliki mula kerja yang cepat (1-2 menit) dan

    pemutusan efek yang dapat diprediksi. Pada pH fisiologik, memiliki pKa

    yang rendah sehingga 90% dalam bentuk tidak terionisasi. Alfentanil

    memiliki volume of distribution yang kecil, kelarutan dalam lipid yang lebih

    rendah dan sedikit lebih besar dalam hal ikatan dengan protein bila

    dibandingkan dengan fentanyl. Efek analgesik pendek akibat redistribusi. 4

    Absorbsi sistemik yang lebih besar dari lemak epidural dan jaringan

    kapiler dura pada alfentanil dibandingkan fentanyl dan sulfentanil karena

    kelarutan dalam lemaknya yang lebih rendah dan lebih cepatnya pelepasan

    dari lemak epidural. 9

    Metabolisme dan eliminasi melalui hepar. Elimination half life yaitu

    70-98 menit dan meningkat pada pasien dengan sirosis. Penyakit ginjal tidak

    mempengaruhi bersihan. 4

  • 8/11/2019 Farmakologi Opioid Pd RA

    35/37

    35

    Universitas Indonesia

    BAB III

    PENUTUP

    Penanganan nyeri saat ini semakin berkembang dengan ditemukannya

    teknik anestesia regional dan setelah diketahuinya reseptor opiod yaitu di kornu

    dorsalis korda spinalis yang merupakan tempat penting dalam modulasi nyeri.

    Dengan digabungkannya anestetik lokal sebagai agen utama pada anestesia

    regional dengan opioid dapat memberikan keuntungan meminimalkan efek

    samping dari masing-masing obat. Selain itu penggabungan keduanya dapat

    memberikan efek sinergis sebagai upaya memberikan multimodal analgesia dan

    dapat mepercepat mula kerja, memperpanjang efek dan mengurangi dosis total

    anestetik lokal.

    Pemberian opioid langsung pada target reseptor di korda spinalis secara

    intratekal atau epidural dapat mengurangi efek samping opioid apabila diberikan

    secara sistemik. Perbedaan farmakologi opioid secara neuroaksial terletak pada

    sifat hidrofilik atau lipofiliknya sehingga menghasilkan mekanisme kerja, mulakerja, durasi kerja, profil efek samping yang berbeda.

  • 8/11/2019 Farmakologi Opioid Pd RA

    36/37

    36

    Universitas Indonesia

    DAFTAR REFERENSI

    1. The New York School of Regional Anesthesia (2007). Analgesic Adjuvants

    in Peripheral Nervous System 146-150 :Textbook of Regional Anesthesia

    and Acute Pain Management. China: McGraw-Hill

    2. The New York School of Regional Anesthesia (2007). Analgesic Adjuvants

    in neuroaxial Anesthesia 133-134 :Textbook of Regional Anesthesia and

    Acute Pain Management. China: McGraw-Hill

    3. Miller, Ronald D (2010). Opioids769-814 : Millers Anesthesia (7 th edition).

    Philadelphia: Churchill Livingstone.4. Waldman. Steven D ( 2007). Opioid Analgesics 939-961 :pain

    Management. Philadelphia: Saunders Elsevier.

    5. Collin, Vincent J (1993) Subarachnoid and epidural opioid analgesia

    1622-1631 : General and Regional Anesthesia 3 rd Edition.

    Pennsylvania:Lea&Febiger.

    6. Waldman. Steven D ( 2007). The Role of Spinal Opioid in the Management

    of Cancer Pain 349-351 : pain Management . Philadelphia: SaundersElsevier.

    7. Stoelting, R.K., Hiller, S.C (2006). Opioid Agonists and Antagonists 87-

    122: Pharmacology & Physiology in Anesthetic Practice (4 th edition).

    Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins.

    8. The Opioid Receptors :

    http://opioidanalgesics.blogspot.com/2011/03/opioid-receptors.html

    9.

    Wong, Cynthia A (2007). Pharmacology of Drugs for Spinal and epiduraland Analgesia 97-102: Spinal and Epidural Anesthesia.USA: McGraw-Hill.

    10. F, Scott M, B, Jane C, R, James P(2010). Regional Anesthesia Techniques

    For Acute Pain Management 723- 729 : Bonicas Management of Pain (4 th

    Edition). Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins

    11. http://www.georgiapainphysicians.com/l2_edu_pharma_mod1_slides.htm

    12. http://www.pharmacology2000.com/Central/Opioid/Opioid_obj1.htm

  • 8/11/2019 Farmakologi Opioid Pd RA

    37/37

    37

    13. http://opioidanalgesics.blogspot.com/2011/03/mechanism-of-action-of-

    opioid.html

    14. Stoelting, R.K, Miller, R.D (2007). Opioid112-121:Basics of Anesthesia (5 th

    edition). Philadelphia: Elsevier.

    15. Smith, Howard S. (2003). Spinal Analgesics 317-333 : Drugs For Pain.

    Philadelphia: Hanley&Belfus, Inc.

    16. Morgan, G.E, Mikhail, M.S, Murrat, M.J. (2006). Pain Management 396-

    398:Clinical Anesthesiology (4 th edition). USA: McGraw-Hill.

    17. Pinnock, C, Smith, T (1999). Analgesic Drugs: Fundamentals of

    Anaesthesia. London: Greewich Medical Media Ltd.

    18. Wong, Cynthia A (2007). Postoperative Neuroaxial Analgesia 325-340:Spinal and Epidural Anesthesia.USA: McGraw-Hill.

    http://opioidanalgesics.blogspot.com/2011/03/mechanism-of-action-of-opioid.htmlhttp://opioidanalgesics.blogspot.com/2011/03/mechanism-of-action-of-opioid.htmlhttp://opioidanalgesics.blogspot.com/2011/03/mechanism-of-action-of-opioid.htmlhttp://opioidanalgesics.blogspot.com/2011/03/mechanism-of-action-of-opioid.htmlhttp://opioidanalgesics.blogspot.com/2011/03/mechanism-of-action-of-opioid.htmlhttp://opioidanalgesics.blogspot.com/2011/03/mechanism-of-action-of-opioid.htmlhttp://opioidanalgesics.blogspot.com/2011/03/mechanism-of-action-of-opioid.html