wjbab 3 opioid agonists dan antagonists.doc
TRANSCRIPT
BOOK READING
OPIOID AGONIS DAN ANTAGONIS
(Stoelting Bab 3)
Wiji Asmoro
PPDS I Anestesiologi dan Reanimasi FK UNS Surakarta
OPIOID AGONIS DAN ANTAGONIS
Kata opium berasal dari bahasa Yunani yang berarti jus; jus atau ekstrak dari tanaman
poppy adalah sumber dari 20 alkaloid opium. Opiat adalah istilah yang digunakan untuk obat-
obatan turunan opium. Morfin diisolasi pada than 1803, kemudian kodein pada tahun 1832 dan
papaverin pada tahun 1848. Morfin dapat dibuat secara sintetis, namun pembuatannya jauh
lebih mudah bila dibuat langsung dari opium. Istilah narcotic berasal dari bahasa Yunani yang
berarti stupor dan telah lama istilah ini digunakan untuk analgetik yang potensinya mirip dengan
morfin dan potensial untuk menyebabkan ketergantungan fisik. Perkembangan obat-obatan
sintetik yang memiliki sifat seperti morfin, membuat penggunaan istilah opioid digunakan untuk
semua substansi eksogen, alamiah, dan sintetik yang secara spesifikmengikat beberapa
subpopulasi dari resseptor opioid dan memproduksi setidaknya beberapa efek agonis
menyerupai morfin. Opioid menimbulkan efek analgesia tanpa hilangnya rasa sentuhan,
proprioseptif, maupun kesadaran. Klasifikasi dari opioid meliputi apioid agonis, opioid agonis-
antagonis, dan opioid antagonis (Tabel 3.1)
HUBUNGAN AKTIVITAS STRUKTUR
Alkaloid yang terkandung dalam opium dapat dibagi menjadi dua kelompok:
phenantherene dan benzylisoquinolines. Yang termasuk dalam kelompok phenantherene
adalah morfin, kodein dan thebain (gambar 3.1). Yang termasuk dalam kelompok
benzylisoquinolines, dengan ketiadaan aktivitas opioid adalah papaverin, dan noscapin.
(gambar 3.2).
Tiga cincin dari inti phenantherene tersusun dari 14 atom karbon (gambar 3.1) Cincin ke
empat piperidin mengandung nitrogen amin tersier dan terdapat pada sebagian besar opioid
agonis. Pada pH 7,4 nitrogen amin tersier menjadi sangat terionisasi, yang membuat molekul
air menjadi terlarut. Terdapat hubungan yang erat antara struktur stereokimia dan potensi
opioid, yang dalam hal ini isomer levorotatory menjadi yang paling aktif.
Opioid Semisintetik
Opioid semisintetik dihasilkan dari modifikasi sederhana molekul morfin (gambar 3.1).
Contohnya, substitusi metil dengan hidroksil pada karbon 3 menghasilkan metilmorfin (kodein).
Substitusi asetil pada karbon 3 dan 6 menghasilkan diasetilmorfin (heroin). Thebain memiliki
aktivitas analgesi yang tidak signifikan namun berperan sebagai prekursor dari morfin (potensi
analgesi > 1.000 kali morfin).
Opioid Sintetik
Opioid sintetik mengandung inti phenantrene dari morfin yang dibuat secara sintetis,
bukan berasal dari modifikasi kimia morfin. Turunan morfin (levorphanol), turunan metadon,
turunan benzomorphan (pentazocine), dan turunan phenylpiperidine (meperidin, fentanil) adalah
contoh dari opioid sintetik. Terdapat persamaan pada berat molekul (236 sampai 326) dan pKs
pada turunan phenylpiperidine dan anestetik lokal amida.
Fentanil, sufentanil, alfentanil, dan ramifentanil adalah opioid semisintetik yang
digunakan secara luas dalam anestesia umum ataupus sebagai obat anestetik primer dengan
dosis sangat tinggi dalam pembedahan jantung. Terdapata perbedaaan-perbedaan penting
farmakokinetik dan farmakodinamik antara opioid-opioid ini (Burkle et al., 1996; Egan et al.,
1993; Shafer and Varvel, 1991). Perbedaan farmakodinamik yang utama antara obat0obat ini
adalah potensi dan nilai equilibrasi antara plasma dan tempat dari efek obat (biofase).
MEKANISME KERJA
Opioid bekerja secara agonis pada reseptor opioid stereospesifik di presinaps dan
postsinaps pada sistem saraf sentral (batang otak dan korda spinalis) dan diluar system saraf
pusat, yaitu di jaringan perifer (Pleuvry, 1993; Stein, 1993; Stein 1995). Kondisi peradangan
dengan hiperalgesia timbul terutama pada kerja antinociseptif opioid perifer. Mekanisme kerja di
perifer ini sebagian besar timbul karena aktivasi dari reseptor opioid yang primernya terletak
pada neuron aferen. Reseptor opioid yang sama, normalnya diaktivasi oleh tiga ligan reseptor
opioid peptide endogenous, yang dikenal sebagai enkephalin, endorphin, dna dinorfin. Opioid
meniru kerja dari ligan endogenous ini dengan mengikat reseptor opioid, yang mengaktivasi
sistem modulasi nyeri (antinoseptif).
Opioid dalam bentuk ion dibutuhkan untuk membentuk ikatan yang kuat dengan
reseptor opioid anionic. Hanya bentuk levorotatory dari opioid yang memiliki aktifitas agonis.
Memang secara alamiah, bentuk dari morfin adalah isomer levorotatory. Afinitas dari sebagian
besar opioid agonis terhadap reseptornya memiliki korelasi dengan potensi analgesik opioid-
opioid tersebut.
Efek dasar dari aktivasi reseptor opioid adalah penurunan neurotransmisi (Atcheson and
Lambert, 1994; de Leon-Casasola and Lema, 1996). Penurunan dari neurotransmisi ditimbulkan
sebagian besar karena inhibisi presinaptik neurotransmitter asetilkolin, dopamine, norepinefrin,
pelepasan substansi P, meskipun inhibisi postsinaptik dari aktivitas yang timbul dapat
ditemukan. Peristiwa biokimia intrasel dimediasi penempatan reseptor opioid oleh opioid agonis
yang karakteristik kejadiannya adalah meningkatnya konduktansi natrium (menimbulkan
hiperpolarisasi), inaktivasi kanal kalsium, atau keduanya, yang menimbulkan penurunan
pelepasan neurotransmitter dalam waktu yang cepat. Reseptor opioid yang memediasi inhibisi
dari adenilat siklase tidak bertanggung jawab atas efek yang timbul dengan cepat tersebut
tetapi mungkin memiliki efek lambat/tertunda, seperti reduksi adenosine monofosfat siklik
(cAMP), gen neuropeptida responsif, dan reduksi konsentrasi neuropeptida RNA messenger.
Reseptor opioid…. di ujung perifer dari neuron aferen primer dan aktivasinya dapat secara
langsung menurunkan neurotransmisi atau menghambat pelepasan neurotransmiter eksitasi,
seperti substansi P. Oleh karena itu, pemberian morfin intraartikular (3 mg) dapat
memperpanjang analgesia setelah pembedahan artroskopik lutut (Heine et.al, 1994). Depresi
transmisi kolinergik di SSP timbul akibat inhibisi yang diinduksi opioid terhadap pelepasan
asetilkolin dariujung akhir saraf yang mungkin memainkan peranan penting dalam analgesic
dan efek samping lain dari opioid agonis. Opioid tidak menyebabkan menurunnya respon dari
ujung akhir nervus aferen terhadap stimulasi yang berbahaya, opioid juga tidak merusak
konduksi impuls saraf di sepanjang nervus perifer. Hal ini dapat diasumsikan bahwa dengan
meningkatnya jumlah reseptor opioid yang ditempati secara pararel berkaitan dengan efek yang
timbul dari opioid.
RESEPTOR OPIOID
Reseptor opioid diklasifikasikan menjadi reseptor mu, delta, dan kappa (MOR, DOR,
KOR) (Atcheson and Lambert, 1994; Lambert 1998) (Tabel 3-2). Reseptor opioid ini termasuk
dalam kelompok reseptor guanine protein – coupled yang merupakan 80% bagian dari reseptor
yang telah diketahui dan termasuk juga reseptor muskarinik, adrenergic, asam gamma-
aminobutirat, dan somatostatin. Reseptor opioid telah diklon dan sekuens asam aminonya telah
disusun (Chen et al., 1993). Gen tunggal reseptor mu dan enam reseptor mu yang berbeda
telah berhasil diidentifikasi. Hal ini memperlihatkan bahwa reseptor morfin-6-glukoronida
merupakan varian dari gen reseptor mu. Kloning dari reseptor opioid membuka kemungkinan
perkembangan reseptor agonis dengan sub tipe spesifik dan memiliki selektifitas yang tinggi.
Opioid agonis yang ideal memiliki reseptor dengan spesifisitas yang tinggi, menghasilkan
respon (analgesia) yang diinginkan dan sedikit atau tidak ada reseptor yang berhubungan
dengan efek samping (hipoventilasi, mual, ketergantungan fisik).
Ketiga jenis reseptor opioid bertautan dengan protein G dan menghambat adenilat
siklase, menurunkan konduktansi kanal kalsium voltage-gate, atau membuka kanal natrium
dengan aliran yang mengarah ke dalam. Hal ini berefek pada penurunan aktivitas neuronal.
Reseptor opioid juga memodulasi signal kaskade fosfoinositida dan fosfolipase C. Pencegahan
aliran masuk ion kalsium menyebabkan supresi pelepasan neurotransmitter (substansi P) di
sistem persarafan. Hiperpolarisasi merupakan hasil dari kerja di kanal natrium yang mencegah
eksitasi atau propagasi potensial aksi. Reseptor opioid juga mengatur fungsi kanal ion yang lain
termasuk aliran eksitatorik postsinaptik yang ditimbulkan oleh reseptor N-metil-D-aspartat
(NMDA).
Mu atau reseptor morphine-preferring pada prinsipnya bertanggung jawab pada
analgesia supraspinal dan spinal. Aktivasi subpopulasi pada reseptor mu (mu1) dispekulasikan
menghasilkan analgesia, sementara reseptor mu2 bertanggung jawab atas timbulnya
hipoventilasi, bradikardi, dan ketergantungan fisik. Meskipun begitu, cloning dari reseptor mu
tidak menduung keberadaan subtype reseptor mu1 dan mu2 (Lambert, 1998). Ada kemungkinan
bahwa subtipe tersebut merupakan hasil dari modifikasi posttranslasi dari protein. Keberadaan
endorphin beta atau bahkan morfin itu sendiri sebagai ligan endogen dari reseptor mu masih
merupakan spekulasi (Kosterlitz, 1987). Endomorfin adalah peptida dengan afinitas dan
selektivitas tinggi pada reseptor mu yang ada di otak. Agonis reseptor mu eksogen meliputi
morfin, meperidin, fentanil, sufentanil, alfentanil, dan ramifentanil. Nalokson adalah antagonis
reseptor mu spesifik, terikat dengan reseptor namun tidak mengaktivasinya.
Agonis, termasuk ligan endogen dinorfin, bekerja pada reseptor kappa, menghasilkan
inhibisi pelepasan neurotransmiterlewat kanal kalsium tipe N. Karakteristik depresi pernapasan
pada aktivasi reseptor mu menjadi berkurang dengan adanya aktivasi reseptor kappa meskipun
disforia dan dieresis dapat timbul bersamaan dengan aktivasi reseptor yang terkait kanal
kalsium. Sebagai tambahan, stimulasi nyeri dengan intensitas tinggi dapat resisten terhadap
efek analgesi dari reseptor kappa. Opioid agonis-antagonis sering bekerja pada reseptor kappa.
Reseptor delta berespon pada ligan endogen enkephalins, dan reseptor opioid dapat
memodulasi aktivitas reseptor mu.
Sistem Supresi Nyeri Endogen
Hal menarik dari reseptor opioid dan endorphin adalah fungsinya sebagai sistem supresi
nyeri endogen. Reseptor opioid terletak di otak (periakuaduktal substansi grisea dari batang
otak, amigdala, korpus striatum, dan hipotalamus) dan korda spinalis (substansi gelatinosa)
yang terlibat menimbulkan persepsi nyeri, integrasi dari impuls nyeri, dan respon terhadap
nyeri. Diperkirakan bahwa endorphin menghambat pelepasan neurotransmitter eksitatori dari
saraf terminal yang membawa impuls nosiseptif. Sebagai hasilnya, terjadi hiperpolarisasi
neuron, yang menekan timbul dan keluarnya respon spontan. Analgesia diinduksi stimulasi
listrik daerah spesifik di otak atau stimulasi mekanik area perifer (akupuntur) yang
merefleksikan pelepasan dari endorfin (Pomeranz dan Chiu, 1976). Bahkan respon analgesia
dari placebo sekalipun tetap terlibat adanya pelepasan endorphin. Pada usia di atas 60 tahun,
pada pasien, terdapat penurunan sensitivitas terhadap rasa nyeri dan peningkatan respon
analgesic dari opioid (Bellville et al., 1971).
OPIOID NEUROAKSIAL
Pemberian opioid di dalam epidural atau ruang subarakhniod untuk mengatasi nyeri akut
atau kronik berdasarkan pengetahuan bahwa reseptor opioid (umumnya reseptor mu) terdapat
di substansia gelatinosa pada korda spinalis (Cousins and Mather, 1984). Analgesia yang
ditimbulkan oleh opioid neuroaksial, berbeda dengan pemberian opioid intravena atau anestesia
regional dengan anestetik lokal, opioid neuroaksial tidak berhubungan dengan system saraf
simpatik, kelemahan otot dan tulang, atau hilangnya proprioseptif. Analgesia berkaitan dengan
dosis yang diberikan (dosis epidural 5 sampai 10 kali dosis subarachnoid) dan spesifik untuk
nyeri viseral dibandingkan dengan nyeri somatik. Morfin neuroaksial dapat menurunkan
konsentrasi minimum alveolar (MAC) pada anestetik volatile, meskipun tidak semua peneliti
dapat mendemonstrasikan efek ini (Drasner et al., 1988; Licina et al., 1991; Schwieger et al.,
1992).
Analgesia yang timbul setelah pemberian opioid di epidural merefleksikan difusi obat
melintasi lapisan dura untuk mendapatkan akses ke reseptor opioid mu di korda spinalis, sama
halnya seperti absorpsi sistemik untuk menghasilkan efek yang mirip dengan analgesia yang
timbul setelah pemberian opioid intravena. Sebagai contoh, mekanisme analgesia postoperative
pada pemberian opioid lipofilik (fentanil, sufentanil) melalui epidural merupakan refleksi absorpsi
sistemik (de Leon-Casasola dan Lema, 1996). Pada kenyataannya, telah dibuktikan bahwa
pemberian opioid lipofilik epidural tidak memberikan kelebihan secara klinis dibandingkan
pemberian IV (de Leon-Casasola dan Lema, 1996). Opioid dengan kelarutan lemak yang
rendah seperti morfin menghasilkan analgesia dengan onset yang lebih lambat namun memiliki
durasi kerja yang lebih lama daripada opioid yang larut dalam lemak pada pemberian melalui
jalur neuroaksial.
Farmakokinetik
Ambilan opioid pada pemberian ke ruang epidural dapat melalui lemak epidural,
absorpsi sistemik, atau difusi melintasi dura menuju cairan serebrospinal (CSF) (Chaney, 1995).
Pemberian opioid epidural membuat konsentrasi obat dalam CSF menjadi tinggi. Penetrasi
melalui dura sangat dipengaruhi kelarutan dalam lemak, namun berat molekul juga menjadi hal
yang penting. Fentanil dan sufentanil, kelarutan dalam lemaknya kira-kira 800 dan 1600 kali
dibandingkan morfin. Setelah pemberian lewat epidural, konsentrasi fentanil dalam CSF
mencapai puncaknya dalam 20 menit dan sufentanil dalam 6 menit. Sedangkan konsentrasi
morfin dalam CSF dengan pemberian lewat epidural, mencapai puncaknya dalam waktu 1
sampai 4 jam. Kemudian, hanya sekitar 3% dari dosis morfin yang diberikan secara epidural
menembus dura untuk masuk ke CSF. (Ionescu et al., 1989).
Di ruang epidural terdapat banyak pleksus vena sehingga absorpsi vaskular dari opioid
di ruang epidural menjadi ekstensif. Setelah pemberian lewat epidural, konsentrasi fentanil
dalam darah mencapai puncaknya 5 sampai 10 menit, sedangkan konsentrasi dalam darah
pada sufentanil yang lebih larut dalam lemak lebih cepat mencapai puncaknya (Ionescu et al.,
1991). Sementara itu, konsentrasi morfin dalam darah setelah pemberian melalui epidural
mencapai puncaknya setelah 10 sampai 15 menit. Pemberian morfin, fentanil, dan sufentanil
secara epidural membuat konsentrasi opioid dalam darah kurang lebih sama dengan
konsentrasi opioid dalam darah pada pemberian secara intramuskular dengan dosis yang sama
(Chaney, 1995). Penambahan epinefrin ke ruang epidural menurunkan absorpsi sistemik dari
opioid, tetapi tidak mempengaruhi difusi morfin melintasi dura menuju CSF. Penambahan
epinefrin pada pemberian morfin intratekal meningkatkan analgesia post operasi dibandingkan
hanya dengan pemberian morfin intratekal (Goyagi dan Nishikawa, 1995). Absopsi vaskuler
setelah pemberian opioid intratekal, secara klinis tidak memiliki nilai yang berarti.
Pergerakan kearah kepala dari opioid di CSF tergantung pada kelarutannya dalam
lemak. Sebagai contoh, opioid larut lemak seperti fentanil dan sufentanil memiliki keterbatasan
migrasi kea rah kepala karena adanya ambilan ke korda spinalis, sementara itu morfin yang
kurang larut dalam lemak berada di CSF sementara sebelum pindah ke lokasi yang lebih ke
atas/ kearah kepala. Setelah pemberian morfin secara lumbal intratekal, konsentrasi di CSF
servikal dapat diketahui setalah 1 sampai 5 jam setelah penyuntikan, sementara itu, konsentrasi
CSF servikal dari opioid dengan kelarutan lemak yang tinggi dengan pemberian secara epidural
hanya sedikit atau minimal. Dasar penyebab dari pergerakan morfin kea rah kepala adalah
adanya aliran CSF yang besar. CSF naik kea rah kepala dari region lumbal, mencapai sisterna
magna dalam 1 sampai 2 jam dan mencapai ventrikel ke empat dan lateral dalam waktu 3
sampai 6 jam (Chaney, 1995). Batuk atau peregangan, namun bukan pada posisi tubuh yang
benar, dapat mempengaruhi pergerakan CSF. Eliminasi waktu paruh dari morfin di CSF sama
dengan yang ada di dalam plasma (Sjostrom et al., 1987).
Efek Samping
Efek samping dari opioid neuroaksial disebabkan oleh keberadaan obat di CSF atau di
sirkulasi sistemik (Tabel 3-3) (Chaney, 1995). Secara umum, Sebagian besar efek samping
tergantung dari dosis. Beberapa efek samping dimediasi melalui interaksi dengan reseptor
opioid spesifik, sementara yang lain bukan karena interaksi ini. Efek samping jarang ditemukan
pada pasien yang secara kronis terpapar opioid. Empat efek samping klasik pada opioid
neuroaksial adalah pruritus, mual dan muntah, retensi urin, dan depresi ventilasi.
Pruritus
Pruritus adalah efek samping yang paling umum pada opioid neuraksial. Pruritus dapat
terjadi secara menyeluruh tetapi lebih sering terlokalisir pada wajah, leher, atau dada bagian
atas. Insiden pruritus bervariasi dan seringkali info ini dapat diketahui melalui anamnesis.
Pruritus yang berat jarang ditemukan , hanya muncul pada 1% pasien. Pruritus lebih sering
muncul pada pasien kandungan, mungkin berkaitan dengan adanya interaksi estrogen dengan
reseptor opioid. Insiden terjadinya pruritus mungkin berkaitan dengan dosis obat, namun
mungkin juga tidak berkaitan. Pruritus biasanya muncul beberapa jam setelah penyuntikan dan
dapat timbul pada onset analgesia.
Meskipun opioid dapat menyebabkan lepasnya histamin dari sel mast, hal ini tampaknya
bukan merupakan mekanisme terjadinya pruritus. Alternatif lain, pruritus diinduksi oleh opioid
neuroaksial yang berada di CSF bermigrasi kearah kepala dan interaksi dengan reseptor opioid
di nucleus trigeminal. Antagonis opioid seperti nalokson efektif mengobati pruritus yang
diinduksi opioid. Secara paradoks, antihistamin dapat menjadi terapi yang efektif untuk pruritus,
dengan efek sekundernya berupa efek sedative.
Retensi Urin
Insiden dari retensi urin bervariasi dan paling sering terjadi pada pria muda. Retensi urin
dengan opioid neuroaksial lebih sering terjadi daripada setelah pemberian opioid IV atau IM
dengan dosis yang sama. Insiden dari efek samping ini tidak tergantung dosis atau berkaitan
dengan absorpsi sistemik dari opioid. Retensi urin sebagian besar berkaitan dengan interaksi
opioid dengan reseptor opioid yang berlokasi di sacrum korda spinalis. Interaksi ini memicu
inhibisi sistem outflow nervus parasimpatis sakrum yang menyebabkan relaksasi otot detrusor
dan peningkatan kapasitas maksimum kandung kemih, yang pada akhirnya menimbulkan
retensi urin. Pada manusia, morfin epidural menyebabkan relaksasi otot detrusor dalam 15
menit setelah penyuntikan yang bertahan selama 16 jam; keadaan ini dapat dengan mudah
dibalikkan dengan nalokson (Rawal et al., 1986).
Depresi Ventilasi
Efek samping yang paling serius dari opioid neuroaksial adalah depresi ventilasi, yang
dapat muncul dalam beberapa menit setelah pemberian atau mungkin dapat tertunda beberapa
jam. Insiden depresi ventilasi muncul dengan intervensi setelah dosis konvensional opioid
neuroaksial 1%, dosis ini sama dengan dosis konvensional opioid IV atau IM (Chaney, 1995).
Depresi ventilasi onset cepat, muncul dalam 2 jam setelah injeksi opioid neuroaksial.
Banyak laporan klinis yang menyebutkan bahwa depresi ventilasi melibatkan pemberian fentanil
atau sufentanil epidural. Depresi ventilasi ini kemungkinan besar disebabkan absorpsi sistemik
dari opioid larut lemak, meskipun begitu, migrasi opioid di dalam CSF kearah kepala mungkin
juga menjadi penyebab depresi ventilasi. Secara klinis, depresi ventilasi cepat setelah injeksi
morfin intratekal jarang ditemukan.
Depresi ventilasi onset lambat, muncul lebih dari 2 jam setelah pemberian opioid
neuroaksial dan merefleksikan migrasi opioid dalam CSF kearah kepala dan interaksi dengan
reseptor opioid di ventral medulla. Laporan klinis menyatakan bahwa depresi ventilasi onset
lambat melibatkan morfin (Chaney, 1995). Depresi ventilasi onset lambat muncul 6 hingga 12
jam setelah pemberian morfin epidural atau intratekal. Depresi ventilasi onset lambat tidak
pernah dilaporkan timbul 24 jam setelah injeksi morfin epidural atau intratekal.
Faktor yang meningkatkan resiko depresi ventilasi onset lambat, terutama penggunaan
opioid IV atau sedative, harus dipertimbangkan dosis opioid neuroaksial (Tabel 3-4) (Chaney,
1995). Batuk dapat mempengaruhi pergerakan CSF dan meningkatkan kemungkinan timbulnya
depresi ventilasi. Pasien kandungan tampaknya memiliki resiko depresi ventilasi yang rendah,
mungkin karena peningkatan stimulasi ventilasi oleh progesterone.
Sulit untuk mendeteksi depresi ventilasi yang disebabkan oleh opioid neuroaksial.
Hipoksemia arterial dan hiperkarbia dapt terjadi meskipun frekuensi pernapasan normal
(gambar 3-3 dan 3-4) (Bailey et al., 1993). Oksimetri denyut dapat dipercaya untuk mendeteksi
hipoksemia arterial yang disebabkan opioid dan suplementasi oksigen (2 liter/menit) merupakan
tatalaksana yang efektif (Bailey et al., 1993). Tanda klinis yang paling dapat dipercaya untuk
depresi ventilasi adalah penurunan tingkat kesadaran, yang kemungkinan disebabkan oleh
hiperkarbia (Chaney, 1995). Pemberian naloksin melalui infuse sebagai profilaksis merupakan
komponen penting dalam mengatasi depresi ventilasi (Morgan, 1989; Rawal et al., 1986).
Nalokson (0,25μg/kg/jam IV) efektif dalam mengatasi efek samping (mual dan muntah, pruritus)
yang berhubungan dengan analgesia dengan morfin yang diberikan IV (Gan et. al, 1997).
Sedasi
Sedasi yang timbul setelah pemberian opioid neuroakasial berkaitan dengan dosis dan
timbul pada semua opioid, namun paling sering timbul pada penggunaan sufentanil. Pada
opioid neuroaksial bila timbul sedasi, pertimbangkan juga timbulnya depresi ventilasi.
Perubahan status mental juga dapat timbul pada penggunaan opioid neuroaksial. Efek lain yang
timbul adalah psikosis paranoid yang dapat reversibel setelah diberi nalokson, katatonia, dan
halusinasi (Chaney, 1995).
Eksitasi SSP
Rigiditas tonus otot skeletal yang memicu aktivitas kejang, diketahui sebagai efek
samping pada pemberian opioid IV dalam dosis besar, namun respon ini jarang ditemukan
setelah pemberian opioid neuroaksial. Aktivitas mioklonus ditemukan setelah pemberian opioid
neuroaksial dan pada satu laporan, berkembang menjadi kejang jenis grand mal (Rozan et al.,
1995). Meskipun opioid dalam dosis besar menimbulkan kejang pada hewan, secara klinis
relevansi antara dosis IV atau opioid neuroaksial tidak berkaitan dengan aktivitas kejang kortikal
pada manusia (Chaney, 1995). Migrasi opioid dalam CSF kearah kranial dan interaksi dengan
reseptor nonopioid pada batang otak atau ganglia basal merupakan penjelasan yang paling
disukai untuk menjelaskan eksitasi SSP yang disebabkan oleh opioid. Opioid dapat memblok
glisin atau inhibisi yang dimediasi asam gama aminobutirat.
Reaktivasi Virus
Terdapat hubungan antara penggunaan morfin epidural pada pasien obstetri dan
reaktivasi virus herpes simpleks labialis. Reaktivasi virus herpes timbul 2 sampai 5 hari setelah
pemberian opioid epidural (Crone et al., 1990). Manifestasi dari gejala herpes labialis timbul
pada inervasi persarafan yang sama dengan infeksi primer, yang biasanya daerah wajah yang
diinervasi nervus trigeminal. Mekanisme yang mendasari timbulnya reaktivasi virus herpes
melibatkan migrasi opioid dalam CSF kearah cranial dan interaksi dengan nucleus trigeminal.
Morbiditas Neonatus
Absorpsi sistemik setelah pemberian opioid epidural membuat kadar obat dalam darah
menjadi tidak dapat diprediksi pada neonates yang baru saja dilahirkan. Secara klinis, depresi
ventilasi telah diobsevasi pada bayi baru lahir dari ibu yang menerima opioid epidural (Chaney,
1995). Kemajuan persalinan diinhibisi dan ditingkatkan oleh morfin intratekal. Setelah
pemberian fentanil atau sufentanil epidural pada ibu yang akan melahirkan, konsentrasi opioid
pada ASI sangatlah kecil.
Efek Samping Lainnya
Morfin epidural dikaitkan dengan hambatan ereksi dan ketidakmampuan ejakulasi pada
pria. Miosis, nistagmus, dan vertigo yang reversible dengan nalokson dapat timbul setelah
opioid neuroaksial, paling sering pada penggunaan morfin. Opioid neuroaksial dapat menunda
pengosongan lambung, yang menunjukkan adanya interaksi opioid dengan reseptor opioid di
korda spinalis (Kelly et al., 1997). Opioid neuroaksial, dengan menghambat proses menggigil,
dapat menyebabkan penurunan suhu tubuh. Oliguria dan retensi air dapat menyebabkan
edema perifer yang dilaporkan timbul setelah pemberian opioid neuroaksial. Retensi air
disebabkan oleh pelepasan vasopressin yang distimulasi migrasi opioid dalam CSF kearah
cranial. Opioid neuroaksial diimplikasikan sebagai kemungkinan penyebab kerusakan korda
spinalis, terutama pada penggunaan opioid yang secara tidak sengaja mengandung toksin
(Chaney, 1995). Manifestasi klinis pada pasien meliputi disfungsi saraf sensoris dan motoris,
spasme mioklonus, paresis, dan paralisis. Di lain pihak, pemberian opioid neuroaksial dalam
jangka waktu yang lama tidak disertai dengan sekuele.
AGONIS OPIOID
Agonis opioid meliputi morfin, meperidin, fentanil, sufentanil, alfentanil, dan ramifentanil
(Tabel 3-1) (Chaney, 1996). Opioid–opioid ini sering digunakan dengan anestetika inhalasi
selama anestesia umum. Penggunaan morfin, fentanil, dan sufentanil dalam dosis besar telah
digunakan sebagai obat anestetik tunggal pada pasien yang sakit kritis. Gambaran terpenting
pada penggunaan opioid secara klinis adalah variasi dosis yang tidak biasa untuk penanganan
nyeri (Auburn et al., 2002). Variasi antar individu yang berbeda-beda dengan dosis yang biasa
digunakan menyebabkan efek opioid yang didapat menjadi inadekuat atau berlebihan.
Penggantian opioid secara rotasi dapat bermanfaat ketika dosis dalam jumlah yang besar tidak
efektif juga meredam rasa nyeri.
Morfin
Morfin adalah prototipe agonis opioid yang digunakan sebagai pembanding bagi opioid
lainnya. Pada manusia, morfin menyebabkan analgesia, eforia, sedasi, dan penurunan
konsentrasi. Sensasi lain yang dirasakan adalah mual, tubuh merasa hangat, rasa berat di
ekstremitas, rasa kering di mulut, dan pruritus, terutama di daerah kutaneus sekitar hidung.
Penyebab nyeri akan terus ada, namun pemberian morfin yang dengan dosis rendah sekalipun,
akan meningkatkan ambang nyeri dan memodifikasi persepsi stimulasi rasa nyeri yang
menyebabkan tidak dirasakannya lagi rasa nyeri. Berbeda dengan analgesik non opioid,
keefektifan morfin melawan nyeri yang berasal dari viseral sama baiknya dengan nyeri yang
berasal dari otot rangka, sendi, dan struktur integument. Pada pemberian morfin, paling baik
bila analgesia telah timbul mendahului stimulus nyeri (Woolf dan Wall, 1986). Terdapat
relevansi pada pemberian opioid sebelum stimulus akut pembedahan. Selain hilangnya rasa
nyeri, morfin juga lebih membuat disforia daripada eforia.
Farmakokinetik
Morfin diabsorpsi dengan baik pada pemberian IM, dengan onset timbulnya efek setelah
15 atau 30 menit dan mencapai puncaknya dalam 45 sampai 90 menit. Durasi kerja obat sekitar
4 jam. Morfin dapat diberikan secara oral untuk tatalaksana nyeri kronik, mengetahui bahwa
absorpsi pada gastrointestinal terbatas. Morfin biasanya diberikan IV selama masa perioperatif,
sehingga mengeliminasi pengaruh yang tidak dapat diprediksi dari absorpsi obat. Efek puncak
(waktu equilibrium antara darah dan otak) pada pemberian morfin IV mengalami perlambatan
dibandingkan opioid lain seperti fentanil dan alfentanil, yang membutuhkan waktu sekitar 15
sampai 30 menit (table 3-5). Morfin, 5 mg dalam 4,5 ml salin dan dihirup sebagai aerosol dari
nebulizer, dapat bekerja pada jalur persarafan aferen pada jalan napas untuk mengatasi
dispnue yang berhubungan dengan kanker paru dan efusi pleura (Tooms dan McKenzie, 1993).
Depresi ventilasi dapat timbul pada pemberian morfin dalam bentuk aerosol (Lang dan Jedeikin,
1998). Durasi dan onset efek analgesia sama pada pemberian morfin secara IV ataupun
dengan inhalasi melalui system pengiriman obat paru yang memproduksi aerosol monodispersi
(Dershwitz et al., 2000; Thipphawong et al., 2003).
Konsentrasi morfin dalam plasma setelah injeksi IV secara cepat tidak memiliki korelasi
yang kuat dengan kerja farmakologi opioid. Ketidaksesuaian ini merefleksikan perlambatan
penetrasi dari morfin menembus sawar darah otak. Konsentrasi morfin di CSF mencapai
puncaknya 15 sampai 30 menit setelah injeksi IV dan konsentrasinya berkurang lebih lambat
daripada konsentrasi plasma (gambar 3-5) (Murphy dan Hug, 1981). Sebagai hasilnya, efek
analgesik dan depresi ventilasi dari morfin mungkin tidak dapat ditemukan selama konsentrasi
initial yang tinggi pada plasma setelah pemberian opioid IV. Efek obat yang sama tetap ada
meskipun terjadi penurunan konsentrasi morfin dalam plasma. Analgesia moderat setidaknya
0,05 μg/mL (gambar 3-6) dibutuhkan untuk menjaga kadar morfin dalam plasma (Berkowitz et
al., 1975). Pasien dengan sistem pengiriman terkontrol biasanya menyediakan analgesia
postoperatif dengan dosis total morfin berkisar antara 1,3 sampai 2,7 mg/jam (White, 1985).
Hanya sebagian kecil dari morfin yang diberikan yang sampai ke SSP. Sebagai contoh,
diperkirakan bahwa hanya <0,1% dari morfin yang diberikan IV yang masuk ke SSP pada saat
konsentrasi morfin dalam plasma mencapai puncaknya. Alasan dari rendahnya penetrasi morfin
ke SSP karena (a) kelarutannya rendah dalam lemak, (b) mengalami ionisasi derajat tinggi
pada pH fisiologis, (c) mengikat protein, dan (d) konjugasi cepat dengan asam glukoronik.
Alkalinisasi dalam darah, yang disebabkan hiperventilasi paru-paru pasien, akan meningkatkan
fraksi non ion dari morfin dan meningkatkan aliran masuk ke SSP. Kemudian, aspirasi
respiratorik, yang menurunkan fraksi non ion morfin, mengakibatkan peningkatan konsentrasi
morfin dalam plasma dan otak daripada konsentrasi morfin pada keadaan normokarbia (gambar
3-7) (Finck et al., 1977). Hal ini menimbulkan pemikiran bahwa peningkatan yang diinduksi
karbon dioksida di aliran darah otak dan peningkatan hantaran morfin ke otak lebih penting
daripada fraksi obat yang tetap ada dalam fraksi terionisasi atau fraksi yang tidak terionisasi.
Berbeda dengan SSP, morfin terakumulasi dengan cepat di ginjal, hepar, dan otot rangka.
Morfin, tidak seperti fentanil, tidak secara signifikan melalui first-pass uptake ke paru (Roerig et
al., 1987).
Metabolisme
Jalur utama metabolisme dari morfin adalah berkonjugasi dengan asam glukoronat di
hepar dan ekstrahepatik, terutama ginjal. Sekitar 75% hingga 85% dosis morfin merupakan
morfin-3-glukoronida, dan 5% hingga 10% berupa morfin-6-glukoronida (dengan rasio 9:1).
Morfin-3-glukoronida terdeteksi dalam plasma 1 menit setelah injeksi IV, dan konsentrasinya
melebihi daripada obat yang belum berubah hingga sebesar sepuluh kali lipat dalam waktu 90
menit (gambar 3-8) (Murphy dan Hug, 1981). Diperkirakan 5% morfin didemetilasi menjadi
normorfin, dan kodein dalam jumlah kecil mungkin dapat terbentuk. Metabolit morfin pada
prinsipnya dieliminasi melalui urin, dan hanya 7% hingga 10% disekresi melalui empedu.
Morfin-3-glukoronida tidak aktif secara farmakologi, sebaliknya morfin-6-glukoronida
menghasilkan analgesia dan depresi ventilasi melalui kerja agonis pada resepto mu (Vaugn dan
Connor, 2003). Pada kenyataannya, respon pernapasan terhadap karbon dioksida dihambat
oleh morfin dan morfin-6-glukoronida (gambar 3-9) (Romberg et al., 2003).
Metabolisme ginjal membuat kontribusi yang signifikan terhadap metabolism total dari
morfin, yang menjelaskan ketiadaan penurunan bersihan sistemik dari morfin pada pasien
dengan sirosis hepatis atau saat fase anhepatik pada transplantasi hati ortotopik (Sear, 1991).
Pada kenyataannya, peningkatan metabolisme ginjal dari morfin kemungkinan ketika adanya
gangguan pada metabolisme hepar.
Eliminasi morfin glukoronida mungkin terganggu pada pasien dengan gagal ginjal,
menyebabkan akumulasi metabolit dan efek depresi pernapasan yang tidak diharapkan pada
pemberian opioid dengan dosis kecil (gambar 3-10) (Chauvin et al., 1987b). Depresi ventilasi
yang memanjang (<7 hari) telah diobservasi pada pasien dengan gagal ginjal setelah
pemberian morfin (Don et al., 1973). Bentuk konjugasi glukoronida dapat diganggu oleh
monoamine oksidase inhibitor (MAO inhibitor) yang secara konsisten memperbesar efek morfin
pada pemberian kepada pasien yang menggunakan obat ini.
Waktu Paruh Eliminasi
Setelah pemberian morfin IV, eliminasi morfin-3-glukoronida menjadi lebih panjang
dibandingkan morfin (Tabel 3-5 dan gambar 3-8) (Murphy dan Hug 1981). Penurunan
konsentrasi morfin dalam plasma setelah distribusi inisial dari obat pada dasarnya berkaitan
dengan metabolisme, karena hanya sebagian kecil opioid yang tidak berubah yang
diekskresikan melalui urin. Konsentrasi morfin dalam plasma lebih tinggi pada orang tua
daripada dewasa muda (gambar 3-11) (Berkowitz et al., 1975). Pada 4 hari awal kehidupan,
bersihan morfin menurun dan waktu paruh eliminasi morfin lebih panjang dibandingkan pada
bayi yang lebih tua (Lynn dan Slattery, 1987). Hal ini konsisten dengan observasi klinis bahwa
neonatus lebih sensitif terhadap efek depresi pernapasandari morfin daripada anak yang lebih
tua. Pasien dengan gagal ginjal memperlihatkan konsentrasi morfin dan metabolit morfin pada
plasma dan CSF yang lebih tinggi daripada pasien normal, yang merefleksikan volume
distribusi (Vd) yang lebih kecil (Hanna et al., 1993). Kemungkinan terjadinya akumulasi morfin-
6-glukoronida menyebabkan perlunya perhatian pada pasien dengan disfungsi ginjal yang akan
diberi morfin. Konsentrasi morfin dalam kolostrum pada pasien yang menyusui jumlahnya
sedikit dan jumlah obat yang akan ditansfer ke neonatus melalui ASI jumlahnya tidak signifikan
(Baka et al., 2002).
Gender
Gender dapat mempengaruhi analgesia opioid namun besarnya perbedaan tergantung
dari interaksi banyak variabel termasuk opioid yang digunakan (Kest et al., 2000). Morfin
memperlihatkan potensi analgesia yang lebih besar dan hilang dalam waktu yang lebih lama
pada wanita dibandingkan pada pria (Sarton et al., 2000). Pengamatan ini konsisten dengan
konsumsi opioid postoperatif yang lebih tinggi pada pria dibandingkan wanita. Morfin
menurunkan respon pernapasan terhadap karbondioksida pada wanita, sebaliknya pada pria
tidak mengalami efek yang signifikan (Dahan et al., 1998). Morfin tidak memiliki efek pada
ambang apneik pada wanita namun menyebabkan peningkatan ambang pada pria. Pada
wanita, sensitifitas hipoksik diturunkan oleh morfin, namun tidak pada pria.
Efek Samping
Efek samping pada morfin juga ditemukan pada agonis opioid lainnya, walaupun insiden
dan besarnya efek tersebut bervariasi.
Sistem Kardiovaskuler
Pemberian morfin, meskipun dalam dosis besar (1 mg/kg IV) pada pasien posisi
terlentang dan normovolemik, tidak menyebabkan depresi miokardial secara langsung ataupun
hipotensi. Pada pasien yang sama, bila posisinya berubah dari terlentang menjadi posisi berdiri,
kemungkinan akan timbul hipotensi ortostatik dan sinkop, hal ini merefleksikan gangguan
kompensasi responsaraf simpatik pada pemberian morfin. Sebagai contoh, morfin menurunkan
sistem saraf simpatik pada vena perifer yang menyebabkan venous pooling dan kemudian
menurunkan aliran balik vena, cardiac output, dan tekanan darah (Lowenstein et al., 1972).
Morfin juga menyebabkan penurunan tekanan darah sistemik karena morfin memicu
bradikardi atau pelapasan histamine. Bradikardia yang dipicu oleh morfin, timbul sebagai hasil
dari peningkatan aktivitas nervus vagus, yang kemungkinan merefleksikan stimulasi dari
nucleus vagal di medulla. Morfin dapat juga menimbulkan efek depresan secara langsung pada
nodus sinoatrial dan bekerja memperlambat konduksi impuls jantung melalui nodus
atrioventrikular. Hal ini menjelaskan keberadaan morfin menyebabkan penurunan kerentanan
terhadap fibrilasi ventrikel. Pemberian opioid (morfin) pada medikasi preoperative atau sebelum
induksi anesthesia (fentanil) bertujuan untuk memperlambat frekuensi nadi selama terpapar
terhadap anestetik volatile degan atau tanpa stimulasi pembedahan (Cahalan et al., 1987).
Pelepasan histamine dan hipotensi yang dipicu opioid bervariasi baik insiden maupun
derajatnya. Besarnya pengaruh morrfin terhadap pelepasan histamine yang kemudia
menurunkan tekanan darah sistemik dapat diminimalisir dengan (a) membatasi infuse morfin
menjadi 5 mg/menit IV, (b) menjaga posisi pasien dalam keadaan terlentang dengan kepala
sedikit lebih rendah daripada badan, dan (c) Mengoptimalkan volume cairan intravaskuler. Pada
pemberian morfin 1 mg/kg IV lebih dari 10 menit menyebabkan peningkatan konsentrasi
histamin dalam plasma yang dikaitkan dengan penurunan tekanan darah dan resistensi
vaskuler sistemik yang signifikan (gambar 3-12 dan 3-13) (Bosow et al., 1982). Hal ini penting
untuk dikenali, karena walau bagaimanapun juga, tidak semua pasien yang mendapat infuse
morfin dalam jumlah tersebut akan menyebabkan pelepasan histamine, ditekankan bahwa
variasi individu berkaitan dengan pemberian morfin (gambar 3-12) (Bosow et al., 1982).
Berbeda dengan morfin, infus fentanil dengan dosis 50μg/kg IV selama lebih dari 10 menit tidak
menimbulkan pelepasan histamin pada semua pasien (gambar 3-12) (Bosow et al., 1982).
Sufentanil, seperti fentanil, tidak menimbulkan pelepasan histamine.
Pemberian antagonis reseptor H1 dan H2 pada pasien sebelum diberi morfin, tidak
menyebabkan perubahan pelepasan histamine yang ditimbulkan oleh morfin, namunmencegah
perubahan tekanan darah dan resistensi vaskuler sistemik (Philbin etal., 1981).
Morfin tidak membuat jantung menjadi lebih sensitif terhadap katekolamin atau faktor
predisposisi lain yang menyebabkan disaritmia jantung, selama hiperkarbia atau hipoksemia
arterial tidak timbul dari efek depresi pernapasan akibat opioid. Takikardia dan hipertensi yang
timbul selama anesthesia dengan morfin bukan merupakan efek farmakologi opioid, tetapi lebih
merupakan respon terhadap nyeri yang distimulasi oleh pembedahan yang tidak disupresi oleh
morfin. Sistem saraf simpatik dan mekanisme rennin-angiotensin berkontribusi terhadap respon
kardiovaskuler. Morfin dengan dosis besar atau agonis opioid lain dapat menurunkan
kemungkinan takikardi dan hipertensi yang timbul sebagai respons dari stimulasi nyeri, namun
sekali respons ini muncul,pemberian opioid tambahan menjadi tidak efektif lagi. Selama
anesthesia, agonis opioid yang umum diberikan adalah dengan anestetika inhalasi untuk
memastikan amnesia penuh terhadap rengsang nyeri pembedahan. Kombinasi agonis opioid
seperti morfin atau fentanil dengan nitro oksida menghasilkan depresi kardiovaskuler
(penurunan keluaran jantung dan tekanan darah sistemik ditambah dengan peningkatan
tekanan pengisian jantung), hal ini tidak akan muncul bila masing-masing obat tersebut
diberikan sendiri-sendiri (Stoelting dan Gibbs, 1973). Penurunan resistensi vaskuler dan
tekanan darah sistemik dapat timbul menyertai pemberian kombinasi opioid dan
benzodiazepine, namun efek ini tidak menyertai pemberian obat tersebut bial diberikan secara
terpisah/sendiri-sendiri (gambar 3-14) (Tomicheck et al.,1983)
Ventilasi
Semua agonis opioid menyebabkan depresi pernapasan yang tergantung dosis dan
gender yang spesifik, secara primer melalui efek agonis pada reseptor mu2 yang memicu efek
langsung depresi pada pusat pernapasan di batang otak (Atcheson dan Lambert, 1995). Karena
efek analgesik dan pernapasan dari opioid ditimbulkan oleh mekanisme yang sama, dapat
diasumsikan bahwa dosis ekuianalgesik pada semua opioid dapat menyebabkan beberapa
derajat depresi pernapasan dan pembalikkan efek depresi napas dengan menggunakan
antagonis opioid akan selalu menyebabkan pembalikkan efek analgesia. Depresi pernapasan
yang dipicu oleh opioid dikarakteristikkan dengan penurunan daya respons dari pusat
pernapasan terhadap karbondioksida yang direfleksikan dengan peningkatan PaCO2 istirahat
dan perpindahan kurva respons karbondioksida kearah kanan. Agonis opioid juga turut
mempengaruhi pusat pernapasan di pontin dan medulla yang mengatur irama pernapasan,
yang memicu terjadinya jeda waktu yang memanjang antara napas dan pernapasan periodic.
Ada kemungkinan bahwa agonis opioid menurunkan sensitivitas terhadap karbondioksida
dengan menurunkan pelepasan asetilkolin dari neuron di daerah pusat pernapasan medulla
sebagai respon terhadap hiperkarbia.Dalam hal ini, pisostigmin yang dapat meningkatkan kadar
asetilkolin di SSP, dapat melawan efek depresi pernapasan tetapi tidak melawan efek analgesia
yang dihasilkan morfin.
Depresi pernapasan yang dihasilkan oleh agonis opioid berlangsung cepat dan bertahan
selama beberapa jam, seperti yang telah ditunjukkan penurunan respons pernapasan terhadap
karbondioksida. Opioid dosis tinggi dapat menyebabkan henti napas, namun pasien masih tetap
sadar dan dapat menghirup napas sendiri bila diminta untuk melakukannya. Kematian akibat
pemakaian opioid di atas dosis yang seharusnya, hampir semuanya diakibatkan oleh depresi
pernapasan.
Manifestasi klinis, depresi pernapasan yang ditimbulkan oleh agonis opioid berupa
penurunan frekuensi pernapasan yang sering disertai dengan peningkatan volume tidal sebagai
usaha kompensasi. Ketidakcukupan dari kompensasi berupa peningkatan volume tidal ini
dibuktikan dengan peningkatan PaCO2 seperti yang telah diperkirakan sebelumnya. Banyak
faktor yang mempengaruhi durasi dan kuatnya depresi pernapasan yang ditimbulkan oleh
agonis opioid. Sebagai contoh, usia lanjut dan kejadian tidur alamiah meningkatkan efek
depresi napas pada pemberian opioid. Sebaliknya, nyeri yang ditimbulkan rangsangan
pembedahan menetralkan efek depresi pernapasan yang ditimbulkan opioid. Efek analgesik
dari opioid adalah pernapsan yang lambat, bila pernapasan tersebut menjadi cepat dan dangkal
ada kemungkinan berkaitan dengan timbulnya rasa nyeri.
Opioid menyebabkan depresi aktivitas silia di saluran napas yang tergantung dosis.
Peningkatan resistensi jalan napas setelah pemberian opioid kemungkinan berkaitan dengan
efek langsung dari otot polos bronkial dan kerja tidak langsung terhadap pelepasan histamine.
Supresi Batuk
Opioid menekan batuk dengan mempengaruhi pusat batuk di medula yang berbeda
dengan efek opioid pada pernapasan. Supresi batuk yang paling hebat timbul pada opioid yang
memiliki substitusi iang besar sekali pada posisi karbon nomor 3 (kodein). Supresi batuk
ditimbulkan oleh isomer dekstrotatori dari opioid (dekstrometorfan) yang tidak menghasilkan
efek analgesia.
Sistem Saraf
Opioid tanpa adanya hipoventilasi, menurunkan aliran darah otak dan mungkin juga
tekanan intracranial. Opioid harus digunakan dengan perhatian khusus pada pasien dengan
cedera kepala karena opioid (a) memiliki efek yang berkaitan dengan kesadaran, (b)
menyebabkan miosis, (c) depresi pernapasan yang dikaitkan dengan meningkatnya tekanan
intracranial jika PaCO2 menjadi meningkat. Lebih jauh lagi, cedera kepala dapat mengganggu
integritas dari sawar darah otak, dengan hasil meningkatkan sensitifitas terhadap opioid.
Efek dari morfin terhadap elektroensefalogram (EEG) menyerupai perubahan pada
waktu tidur. Sebagai contoh, terdapat pergantian gelombang alfa cepat dengan memperlambat
gelombang delta.Perekaman EEG dilakukan untuk mencari bukti adanya aktivitas kejang
setelah pemberian opioid dalam jumlah besar. Opioid tidak mengubah respons obat-obat yang
memblok nopuromuskular. Rigiditas otot rangka, terutama otot dada dan otot abdominal,
seringkali terjadi ketika agonis opioid diberikan secara cepat dan melalui IV (Bowdle dan Rooke,
1994). Aktivitas klonus otot rangka (mioklonus) yang timbul pada pemberian opioid dapat
menyerupai kejang grand mal, namun EEG tidak merefleksikan aktivitas kejang. Rigiditas otot
rangka mungkin berkaitan dengan kerja opioid di reseptor opioid dan melibatkan interaksi
dengan neuron dopaminergik dan responsif asam gamma- aminobutirat.
Pemberian opioid dengan IV cepat untuk induksi anesthesia, mungkin berkaitan dengan
rigiditas otot rangka di dada dan abdomen yang cukup menggangguventilasi yang adekuat dari
paru. Upaya manual untuk memompa paru dengan disertai adanya rigiditas otot rangka ini
dapat menyebabkan tekanan jalan napas yang mengganggu aliran balik vena. Sebaliknya,
terdapat bukti bahwa penyebab terbesar dari ventilasi sulit setelah induksi anesthesia dengan
sufentanil (dan mungkin opioid lain) adalah penutupan plika vokalis (Bennett et al., 1997a).
Insiden rigiditas otot rangka yang disebabkan oleh opioid (hipertonus menyeluruh dari otot
rangka) tergantung pada opioid (biasanya fentanil) dan dosis yang digunakan dan frekuensi
pemberian. Inhibisi pelepasan asam gamma aminobutirat pada striata dan peningkatan
produksi dopamine, menjelaskan terjadinya peningkatan tonus otot rangka akibat opioid.
Dilaporkan bahwa insiden ventilasi sulit setelah pemberian fentanil dengan dosis moderat
berkisar antara 84% hingga 100% (Bennett et al., 1997a).
Miosis disebabkan adanya rangsangan opioid pada komponen system saraf otonom,
yaitu nucleus Edinger-Westphal pada nervus okulomotor. Toleransi terhadap efek miosis dari
morfin tidak mencolok. Miosis dapat dilawan dengan pemberian atropin, dan walaupun telah
menjadi midriasis, kadar hipoksemia arterial masih tinggi bila tubuh masih mengandung morfin.
Sedasi
Titrasi morfin postoperative seringkali menyebabkan sedasi yang mendahului onset
analgesia (Paqueron et al., 2002). Rekomendasi untuk titrasi morfin meliputi interval yang
pendek antara bolus (5 sampai 7 menit) untuk memungkinkan evaluasi efek klinis. Sedasi
timbul pada lebih dari 60% pasien selama titrasi morfin dan mewakili alas an umum untuk tidak
melanjutkan titrasi morfin sebagai analgesia postoperatif. Asumsi bahwa tidur muncul ketika
nyeri hilang tidak akurat dan sedasi yang disebabkan oleh morfin tidak bisa dipikirkan sebagai
indikator analgesia yang tepat selama titrasi morfin intravena.
Saluran Empedu
Opioid dapat menyebabkan spasme otot polos bilier yang menyebabkan meningkatnya
tekanan intraempedu yang mungkin berkaitan dengan nyeri epigastrium atau kolik empedu.
Nyeri dapat dibingungkan dengan angina pektoralis. Nalokson akan meredam nyeri yang
disebabkan spasme bilier namun tidak meredam nyeri yang ditimbulkan dari iskemia miokardia.
Dosis analgesik yang sama pada fentanil, morfin, meperidin, dan pentazosin meningkatkan
tekanan duktus empedu 99%, 53%, 61%, dan 15% diatas kadar sebelum pemberian obat
(Radnay et al., 1980). Selama masa pembedahan, spasme sfingter Oddi yang dipicu oleh
opioid dapat terlihat secara radiologi sebagai bentuk konstriksi tajam pada bagian akhir distal
dari duktus empedu dan dapat terjadi salah interpretasi, yang diinterpretasikan sebagai batu
saluran empedu. Merupakan hal penting untuk membalik efek spasme bilier dengan
menggunakan nalokson dan menggunakan kolangiogram untuk mendapatkan interpretasi yang
benar. Glukagon, 2 mg IV, juga dapat membalik efek spasme otot polos bilier, namun tidak
seperti nalokson, glukagon tidak melawan efek analgesik dari opioid (Jones et al., 1980).
Meskipun begitu, spasme otot bilier tidak muncul pada sebagian besar pasien yang mendapat
opioid. Insiden spasme sfingter Oddi berkisar 3% pada pasien yang mendapat fentanil sebagai
tambahan pada anestetik inhalasi (Jones et al., 1981).
Kontraksi otot polos duktus pankreatikus mungkin bertanggung jawab menyebabkan
terhadap peningkatan amilase dalam plasma dan konsentrasi lipase yang dapat muncul setelah
pemberian morfin. Peningkatan ini dapat membingungkan diagnosis bila pankreatitis akut masih
menjadi kemungkinan.
Saluran Pencernaan
Opioid yang biasa digunakan seperti morfin, meperidin, dan fentanil dapat menyebabkan
spasme otot polos gastrointestinal, yang menghasilkan efek samping yang bervariasi termasuk
konstipasi, kolik empedu, dan perlambatan pengosongan lambung.
Morfin menurunkan kontraksi dorongan peristaltik pada usus kecil dan usus besar dan
meningkatkan tonus sfingter pilorus, katup ileosekal, dan sfingter anal. Perlambatan lintasan isi
usus melalui kolon menyebabkan meningkatkan penyerapan air. Sebagai hasilnya, konstipasi
sering menyertai pada terapi dengan opioid dan dapat menjadi masalah yang melemahkan
pasien pada pasien yang membutuhkan terapi opioid jangka panjang, Sedikit toleransi timbul
terhadap efek ini. Hal yang menarik bahwa opium (morfin) digunakan untuk mengobati diare
sebelum penggunaan morfin sebagai analgesia populer.
Peningkatan tekanan bilier timbul ketika kontraksi kandung empedu melawan sfingter
Oddi yang tertutup atau sempit. Aliran isi lambung masuk ke duodenum proksimal diperlambat
karena terdapat peningkatan tonus pada percabangan gastroduodenum. Dalam hal ini,
medikasi preoperatif termasuk opioid dapat memperlambat pengosongan lambung (yang
secara potensial meningkatkan resiko aspirasi) atau perlambatan absorpsi obat-obatan yang
diberikan secara oral. Seluruh efek ini dapat dibalik atau dicegah dengan pemberian antagonis
opioid yang bekerja perifer.
Mual dan Muntah
Mual dan muntah yang diinduksi oleh opioid disebabkan oleh stimulasi langsung pada
zona pemicu kemoreseptor di dasar ventrikel ke empat (gambar 41-16). Hal ini merefleksikan
peranan agonis opioid sebagai agonis dopamin parsial di reseptor dopamin pada daerah
pemicu kemoreseptor. Tentu saja apomorfin merupakan obat pembuat muntah yang hebat dan
juga opioid yang paling poten pada reseptor dopamine. Stimulasi reseptor dopamine sebagai
mekanisme terjadinya mual dan muntah yang diinduksi opioid konsisten dengan keefektifan
antiemetik dari butirofenon. Morfin juga dapat menyebabkan mual dan muntah akibat
peningkatan sekresi saluran cerna dan perlambatan aliran isi usus menuju kolon.
Morfin menekan pusat muntah di medulla (gambar 41-16). Sebagai hasilnya, mual dan
muntah pada pemberian morfin IV menjadi berkurang dibandingkan pada pemberian morfin IM,
hal ini mungkin karena pada pemberian opioid IV dapat mencapai pusat muntah dan daerah
pemicu kemoreseptor dengan sama cepatnya. Mual dan muntah jarang ditemukan pada pasien
yang diberi morfin dengan posisi terlentang, hal ini menimulkan pemikiran bahwa komponen
vestibuler memiliki kontribusi terhadap timbulny mual dan muntah yang diinduksi oleh opioid.
Sistem Genitourinaria
Morfin dapat meningkatkan tonus dan aktivitas peristaltik dari ureter. Berbeda dengan
efek yang mirip pada otot polos traktus bilier, efek yang sama pada ureter dapat dibalikkan
dengan obat antikolinergik seperti atropine. Kegawatdaruratan saluran kemih yang diinduksi
opioid disebabkan oleh augmentasi tonus otot detrusor, namun pada saat yang sama tonus dari
sfingter vesika meningkat membuat proses berkemih menjadi sulit.
Pada hewan, antidiuretik yang menyertai pemberian morfin berhubungan dengan
pelepasan arginin hormon vasopresin (hormone antidiuresis). Pada manusia, pemberian morfin
yang bertujuan untuk menghilangkan rangsangan nyeri pembedahan, tidak menyebabkan
pelepasan dari hormone ini (Philbin et al., 1976). Lebih jauh lagi, bila morfin diberikan pada
keadaan volume cairan intravaskuler yang adekuat, tidak ada perubahan dengan keluaran urin.
Perubahan Kulit
Morfin menyebabkan dilatasi pembuluh darah kulit. Kulit di wajah, leher, dan dada
bagian atas sering memerah dan hangat. Perubahan pada sirkulasi kulit ini disebabkan oleh
pelepasan histamin. Pelepasan histamin mungkin berkaitan dengan timbulnya urtikaria dan
eritema yang erring terlihat di kulit sekitar tempat penyuntikan. Sebagai tambahan, pelapasan
histamin yang diinduksi morfin mungkin menjadi penyebab eritema konjungtiva dan pruritus.
Bukti pelepasan histamine pada kulit yang terlokalisasi, terutama sepanjang vena
tempat morfin disuntikkan, tidak mewakili reaksi alergi. Secara keseluruhan, insiden terjadinya
alergi pada opioid sangat jarang terjadi, meskipun ada beberapa kasus yang terjadi yang
didokumentasikan (Bennet et al., 1986). Lebih sering, efek samping yang dapat diperkirakan
dari opioid seperti pelepasan histamine terlokalisasi, hipotensi ortostatik, mual dan muntah
disalah artikan sebagai reaksi alergi.
Plasenta
Pada plasenta tidak terdapat halangan yang nyata pada transfer opioid dari ibu ke
bayinya. Meskipun begitu, depresi dari neonatus muncul sebagai konsekuensi dari pemberian
opioid pada ibu pada saat proses kelahiran. Dalam hal ini, Pemberian morfin pada ibu dapat
menyebabkan depresi pernapasan pada neonatus yang lebih berat dari pada meperidin (Way et
al., 1965). Hal ini dapat merefleksikan imaturitas pada sawar darah otak neonatus. Penggunaan
opioid pada ibu dalam jangka waktu yang panjang menyebabkan timbulnya ketergantungan fisik
(kecanduan intrauterin) pada fetus. Pemberian nalokson pada neonatus dapat mempercepat
hilangnya sindrom yang mengancam jiwa neonatus.
Interaksi obat
Efek depresi pernapasan pada beberapa opioid dapat lebih diperbesar oleh amfetamin,
fenotiazin, MAO inhibitor, dan anti depresan trisiklik. Sebagai contoh, pasien yang diberi MAO
inhibitor dapat mengalami depresi SSP yang lebih berat dan hiperpireksia setelah pemberian
agonis opioid, terutama meperidin. Respons yang berlebihan ini dapat merefleksikan perubahan
pada frekuensi atau jalur metabolism opioid. Obat-obat simpatomimetik meningkatkan efek
analgesia opioid. Sistem saraf kolinergik terlihat menjadi modulator positif analgesia yang
diinduksi oleh opioid, di mana fisostigmin meningkatkan analgesia dan atropine melawan efek
analgesia.
Farmakodinamik Toleransi dan Ketergantungan Fisik
Farmakodinamik toleransi dan ketergantungan fisik dengan pemberian opioid secara
berulang merupakan gambaran karakteristik pada semua agonis opioid dan merupakan limitasi
mayor dari penggunaan secara klinis. Terdapat toleransi silang antara semua opioid. Toleransi
dapat muncul tanpa ketergantungan fisik, namun tidak pernah terjadi sebaliknya.
Toleransi merupakan peningkatan kebutuhan akan dosis dari agonis opioid untuk
mencapai efek analgesia yang sama seperti saat pemberian sebelumnya dengan dosis yang
lebih rendah. Toleransi didapatkan biasanya memerlukan waktu 2 sampai 3 minggu untuk
timbul dengan morfin pada dosis analgesia. Toleransi menimbulkan analgesia, eforia, sedative,
depresi pernapasan, dan efek muntah pada opioid tetapi bukan efek pada miosis dan
konstipasi. Efek agonis dari opioid adalah ketergantungan fisik (adiksi). Ketergantungan fisik
tidak timbul pada antagonis opioid dan jarang terjadi pada agonis-antagonis opioid. ketika kerja
agonis opioid menonjol, seringkali dengan penggunaan berulang, timbul hasrat ingin mengulang
(psikologis) dan kebutuhan yang berlanjut (fisiologis) terhadap obat. Ketergantungan fisik pada
morfin biasanya membutuhkan 25 hari untuk berkembang, namun dapat timbul lebih awal pada
orang-orang dengan secara emosional tidak stabil. Beberapa derajat ketergantungan fisik
muncul 48 jam dari medikasi berkelanjutan. Ketika ketergantungan fisik terbentuk, penghentian
pemberian agonis opioid menyebabkan sindrom putus obat (Tabel 3-6) (Mitra dan Sinatra,
2004). Gejala awal dari putus obat meliputi menguap, diaphoresis, mata berair, arao coryza.
Insomnia dan gelisah juga mnejadi gejala yang mencolok. Kram perut, mual, muntah, dan diare
mencapai puncaknya setelah 72 jam dan kemudian turun pada 7 sampa i10 hari ke depan.
Selama putus obat, toleransi terhadap morfin menghilang secara cepat, dan sindrom dapat
dihentikan dengan dosis sedang dari agonis opioid. Semakin lama periode abstinensia,
semakin kecil dosis agonis opioid yang digunakan.
Toleransi farmakodinamik berkaitan dengan perubahan neuroadaptif yang terjadi
setelah paparan opioid dalam jangka waktu yang lama (Mitra dan Sinatra, 2004). Perubahan ini
muncul pada tingkat reseptor opioid dan melibatkan desensitisasi reseptor. Reseptor opioid
pada permukaan membran sel menjadi terdensitisasi secara bertahap dengan diturunkannya
transkripsi dan penurunan absolute jumlah reseptor opioid (down-regulation). Hipotesis klasik
mengenai sisa toleransi farmakodinamik tidak terbukti.
Mekanisme kedua untuk menjelaskan toleransi farmakodinamik melibatkan up-
regulation dari system cAMP (cyclic adenosine monophosphate). Secara akut,
opioidmenghambat aktifitas fungsi jalur cAMP dengan memblok adenilat siklase, enzim yang
mengkatalisasi sintesis cAMP. Paparan terhadap opioid jangka panjang berkaitan dengan
kembalinya secara bertahap jalur cAMP dan berkembangnya toleransi. Peningkatan sintesis
cAMP bertanggung jawab terhadap ketergantungan fisik dan perubahan psikologis yang
berkaitan dengan putus obat. Up-regulation dari cAMP paling jelas didemonstrasikan di lokus
ceruleus dari otak. Klonidin, agonis α2-adrenergik yang menurunkan transmisi jalur simpatik di
SSP merupakan obat yang efektif menekan tanda-tanda putus obat pada orang yang secara
fisik bergantung pada opioid. Toleransi tidak berkaitan dengan induksi enzim, karena tidak
didapatkannya peningkatan dari laju metabolism pada agonis opioid.
Toleransi farmakodinamik jangka panjang dikarakteristikan oleh kekurangpekaan
terhadap opioid dapat bertahan selama beberapa bulan atau beberapa tahun pada beberapa
individu dan paling sering menunjukkan adaptasi neural yang persisten (Mitra dan Sinatra,
2004). Memperhatikan hal ini, reseptor glutamate dan N-metil-D-aspartat (NMDA) penting pada
perkembangan toleransi opioid dan peningkatan sensitivitas rasa nyeri. Paparan jangka
panjang terhadap opioid mengaktivasi reseptor NMDA melalui mekanisme second messenger
dan juga down-regulation transporter glutamate spinal. Konsentrasi glutamat yang tinggi di
sinaps dan aktivasi NMDA berkontribusi terhadap toleransi opioid dan sensitivitas nyeri yang
abnormal (pronosiseptif atau proses sensitisasi).
Perubahan Hormonal
Terapi opioid dalam jangka panjang dapat mempengaruhi aksis hipotalamus-pituitari-
adrenal dan aksis hipotalamus-pituitari-gonadal (Ballantyne dan Mao, 2003). Morfin dapat
menyebabkan penurunan progresif konsentrasi kortisol dalam plasma. Efek utama dari opioid di
aksis hipotalamus-pituitari-gonadal meliputi modulasi pelepasan hormon termasuk peningkatan
prolaktin dan penurunan LH, FSH, testosterone, dan estrogen.
Modulasi Imunitas
Terapi opioid dapat mengubah imunitas melalui efek neuroendokrin atau lewat efek
langsung dari sistem imun (Ballantyne dan Mao, 2004; Webster 1998). Paparan jangka lama
terhadap opioid tampaknya lebih sering menimbulkan penurunan sistem imun dibandingkan
paparan opioid jangka pendek, terutama pada orang yang rentan dan pemutusan obat secara
mendadak dapat memicu penurunan sistem imun. Opioid mengubah perkembangan,
diferensiasi, dan fungsi sel imun (sel progenitor sumsum tulang, makrofag, sel T). reseptor yang
berkaitan dengan opioid terdapat pada sel imun. Meskipun perhatian terhadap efek
imunosupresan dari opioid meningkat (insiden pada infeksi postoperatif), hal ini sama
pentingnya dengan mengenali nyeri itu sendiri yang dapat mengganggu fungsi imun.
Dosis Berlebih (Overdose)
Manifestasi dasar dari pemberian dosis morfin yang berlebih adalah depresi pernapasan
yang dimanifestasikan berupa frekuensi nafas yang lambat, yang dapat berkembang menjadi
henti napas. Pupil simetris dan miosis, kecuali jika terjadi hipoksemia arterial berat yang
membuat pupil menjadi midriasis. Otot rangka menjadi lemah, dan timbul obstruksi jalan napas
atas. Edema paru biasanya muncul, namun mekanisme terjadinya belum dapat diketahui.
Hipotensi dan kejang timbul jika terdapat hipoksemia arterial. Dengan adanya triad miosis,
hipoventilasi, dan koma, harus dipikirkan adanya kemungkinan opioid dengan dosis berlebih
(overdose). Tatalaksana kelebihan dosis opioid adalah dengan ventilasi mekanik pada paru-
paru pasien dengan oksigen dan pemberian antagonis opioid seperti nalokson. Tatalaksana
antagonis opioid untuk mengatasi kelebihan dosis opioid dapat menimbulkan sindrom putus
obat yang akut.
Morfin-6-Glukoronida
Durasi kerja morfin-6-glukoronida lebih panjang daripada morfin, dan ada kemungkinan
mayoritas aktivitas analgesia yang dihubungkan dengan morfin seharusnya adalah morfin-6-
glukoronida terutama dengan panjangnya masa kerja dari morfin (Hanna et al., 1990). Morfin
dan morfin-6-glukoronida mengikat reseptor opioid mu dengan afinitas yang sebanding,
mengingat potensi analgesia morfin-6-glukoronida 650 lebih tinggi daripada morfin (Paul et al.,
1989). Akumulasi morfin-6-glukoronida selama infuse morfin dalam jangka waktu lama dapat
berkontribusi menimbulkan analgesia dan depresi pernapasan. Demikian juga dengan adanya
gagal ginjal akut, efek samping yang berat dari opioid dapat timbul beberapa jam setelah
konsentrasi morfin dalam plasma mencapai puncaknya, yang merefleksikan konsentrasi puncak
morfin-6-glukoronida dalam plasma (Angst et al., 2000). Morfin-6-glukoronida tidak
menimbulkan efek klinismaupun analgesic pada pemberian bolus tunggal IV atau bolus IV yang
diikuti infuse setiap 4 jam sekali (Lotsch et al., 1999; Motamed et al., 2000). Hal ini paling
merefleksikan rendahnya permeabilitas sawar darah otak terhadap morfin-6-glukoronida dan
menegaskan bahwa pada pemberian infus jangka pendek tidak membuat konsentrasi morfin-6-
glukoronida dalam SSP cukup untuk menghasilkan efek farmakologi yang dapat terdeteksi.
Pada kondisi pemberian jangka panjang, konsentrasi morfin-6-glukoronida di SSP menjadi lebih
relevan (Lotsch et al., 1999). Meskipun demikian, pemberian morfin-6-glukoronida di atas 1 jam
dilaporkan menghasilkan analgesia yang memanjang, diperkirakan obat inimemiliki nilai sebagai
analgesik intravena untuk menghilangkan nyeri pasca operasi (Romberg et al., 2004).
Pemberian morfin-6-glukoronida intratekal menghasilkan analgesia yang mirip dengan morfin
(Grace dan Fec., 1996).
Meperidin
Meperidin adalah agonis opioid sintetik pada reseptor mu dan kappa dan diturunkan dari
fenilepiperidin (gambar 3-15). Terdapat beberapa banalog dari meperidin, termasuk fentanil,
sufentanil, alfentanil, dan ramifentanil (gambar 3-15). Meperidin membagi beberapa gambaran
struktur yang terdapat pada anestetik local termasuk amin tersier, kelompok ester dan fenil
lipofilik. Pemberian meperidin intratekal memblok kanal natrium hingga derajat yang sama
dengan lidokain. Secara struktur, meperidin sama dengan atropine dan memiliki efek
antispasmodik ringan yang mirio dengan atropine. Meskipun demikian, efek dasar farmakologi
meperidin menyerupai morfin.
Farmakokinetik
Meperidin memiliki potensi sekitar 1/10 dari morfin, dengan dosis 80 sampai 100 mg IM
setara dengna 10 mg IM morfin. Durasi kerja meperidin sekitar 2 sampai 4 jam, membuat
meperidin menjadi agonis opioid yang masa kerjanya lebih singkat dibandingkan morfin. Pada
dosis analgesik yang seimbang, meperidin menyebabkan sedasi, eforia, mual, muntah, dan
depresi pernapasan seperti yang terjadi pada morfin. Tidak seperti morfin, meperidin diabsorpsi
dengan baik di saluran gastrointestinal, meskipun demikian, hanya tingkat keefektifannya pada
konsumsi secara oral sekitar setengahnya dari pemberian IM.
Metabolisme
Metabolisme hepatik dari meperidin sangat besar, sekitar 90% obat mengalami
demetilisasi menjadi normeperidin dan hidrolisis menjadi asam meperidinik (Stone et al., 1993).
Normeperidin mengalami hidolisis menjadi asam normeperidinik. Ekskresi melalui urin adalah
jalur eliminasi utama dan tergantung dengan pH. Sebagai contoh, jika pH urin <5, sebanyak
25% dari meperidin yang diekskresi tidak mengalami perubahan. Kadar meperidin dalam urin
dapat dipikirkan sebagai kecepatan eliminasi dari meperidin. Penurunan fungsi hati dapat
menjadi predisposisi akumulasi dari normeperidin.
Normeperidin memiliki waktu paruh eliminasi 15 jam (<35 jam pada pasien dengan
gagal ginjal)dan dapat dideteksi dalam urin dalam jangka waktu 3 hari setelah pemberian
meperidin. Metabolit ini sekitar setengahnya aktif sebagai analgesic seperti meperidin. Sebagai
tambahan, normeperidin menghasilkan stimulasi SSP. Toksisitas normeperidin bermanifestasi
sebagai mioklonus dan kejang yang paling sering terjadi pada pemberian meperidin dalam
jangka waktu yang lama seperti pada pasien yang dikontrol dengan analgesia, manifestasi ini
terutama timbul pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (Stone et al., 1993). Normeperidin
juga penting pada delirium yang diinduksi meperidin (kebingungan, halusinasi), yang dapat
diobservasi pada pasien yang mendapat obat lebih dari 3 hari, hal ini berkaitan dengan
akumulasi metabolit aktif.
Waktu Paruh Elimunasi
Waktu paruh eliminasi dari meperidin adalah 3 sampai 5 jam (table 3-5). Karena
bersihan dari meperidin secara primer tergantung dengan metabolism hepar, ada kemungkinan
dosis yang besar dari opioid akan mensaturasi sistem enzim dan hasilnya adalah perpanjangan
eliminasi waktu paruh. Walaupun begitu, waktu paruh eliminasi tidak diubah oleh dosis
meperidin hingga 5 mg/kg IV. Sekitar 60% meperidin terikat dengan protein plasma. Pada
pasien tua terdapat penurunan meperidin yang terikat pada protein plasma, hal ini
menyebabkan peningkatan konsentrasi obat bebas dalam plasma dan meningkatkan sensitifitas
opioid. Peningkatan toleransi alkohol terhadap meperidin dan opioid lain dapat merefleksikan
peningkatan volume dosis (Vd), yang menyebabkan konsentrasi meperidin dalam plasma
menjadi rendah.
Penggunaan Klinis
Dasar pengunaan meperidin adalah sebagai analgesia saat pross persalinan dan pasca
operasi. Meperidin adalah satu-satunya opioid yang dipertimbangkan adekuat untuk operasi bila
diberikan secara intratekal (Cozian et al., 1986). Injeksi IM dari meperidin untuk analgesia
pasca operasi menghasilkan konsentrasi puncak dalam plasma bervariasi antara tiga hingga
lima kali sama halnya dengan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai konsentrasi puncak yang
bervariasi antara tiga hingga lima kali pada pasien (Austin et al., 1980a). Konsentrasi analgesia
minimum dalam plasma memiliki variasi yang tinggi antara pasien, bagaimanapun juga, pada
pasien yang sama, perbedaan konsentrasi sebesar 0,05 μg/mL dapat menampilkan batas
antara tidak adanya analgesia dan analgesia lengkap. Konsentrasi meperidin dalam plasma
sebesar 0,7 μg/mL diharapkan dapat memberikan analgesia pasca operasi pada 95% pasien
(Austin et al., 1980b). Pada pasien yang dikontrol sistem analgesia biasanya diberikan
analgesia pasca operasi dengan dosis total meperidin berkisar antara 12 sampai 36 mg/jam
(White, 1985). Toksisitas normeperidin digambarkan pada pasien dengan control analgesia
yang mendapatkan meperidin (Stone et al., 1993).
Meperidin mungkin efektif untuk menurunkan kejadian menggigil pasca operasi yang
diakibatkan dari peningkatan gangguan pada konsumsi oksigen metabolic. Efek anti menggigil
dari meperidin dapat merefleksikan stimulasi reseptor kappa (diperkirakan menampilkan 10%
dari aktivitas) dan penurunan ambang menggigil yang diinduksi obat (tidak timbul pada
anestetika volatil, alfentanil, klonidin, atau propofol) (gambar 3-16) (Alfonsi et al., 1998; Ikeda et
al., 1998; Kurz et al., 1997). Sebagai tambahan, meperidin adalah agonis poten pada reseptor
α2 yang dapat berkontribusi menimbulkan efek anti menggigil (Takada et al, 2002). Klonidin
bahkan lebih efektif menurunkan kejadian menggigil pasca operasi dibandingkan meperidin.
Butorfanol (reseptor kappa agonis-antagonis) memberhentukan menggigil dengan lebih efektif
daripada opioid dengan utamanya efek agonis reseptor opioid mu. Bukti adanya peranan
reseptor kappa dalam menimbulkan efek anti menggigil pada meperidin dan butorfanol adalah
kegagalan dari nalokson menghambat secara total efek yang diinduksi oleh obat ini.
Absorpsi oral dapat membuat meperidin menjadi lebih berguna daripada morfin untuk
menatalaksana berbagai jenis nyeri. Tidak seperti morfin, meperidin tidak berguna untuk
mengatasi diare dan bukan merupakan anti batuk yang efektif. Saat dilakukan bronkoskopi,
karena meperidin memiliki efek yang lemah sebagai anti batuk, membuat opioid ini menjadi
kurang berguna. Meperidin tidak digunakan pada dosis tinggi karena efek negatif inotropik
jantung ditambah pelepasan histamin pada sejumlah besar pasien (Flacke et al., 1987).
Efek Samping
Efek samping dari meperidin menyerupai morfin. Pada dosis terapeutik, meperidin
dikaitkan dengan hipotensi ortostatik. Pada kenyataannya, hipotensi yang timbul setelah
penyuntikan meperidin lebih sering terjadi daripada saat penyuntikan dengan morfi pada dosis
yang sama. Hipotensi ortostatik membuat pemikiran bahwa meperidin seperti halnya morfin
menggangu reflek kompensasi sistem saraf simpatik. Meperidin berbeda dengan morfin, jarang
menyebabkan bradikardi namun dapat meningkatkan frekuensi nadi, merefleksikan kemiripan
dengan atropin dengan kualitas sedang. Pemberian meperidin dalam dosis besar menurunkan
kontraktilitas miokardia, yang merupakan keunikan obat ini dibandingkan opioid lain.
Kemunculan delirium dan kejang kemungkinan merefleksikan akumulasi dari normepiridin, yang
memiliki efek stimulasi pada SSP.
Sindrom serotonin (ketidakstabilan otonomik dengan hipertensi, takikardi, diaphoresis,
hipertermia, perubahan perilaku termasuk kebingungan dan agitasi, dan perubahan
neuromuskuler yang bermanifestasi menjadi hiperrefleksia) timbul ketika obat yang mampu
meningkatkan serotonin diberikan. Pada kasus yang berat, koma, kejang, koagulopati, dan
asidosis metabolik dapat timbul. Pemberian meperidin pada pasien yang mendapat obat-obat
antidepresan (MAO inhibitor, fluoxetine) dapat menimbulkan sindrom ini (Tissot, 2003).
Meperidin mengganggu pernapasan dan bahkan menimbulkan depresi pernapasan
yang lebih berat dibandingkan morfin. Opioid ini dengan cepat dapat melintasi plasenta dan
konsentrasi meperidin di dalam darah tali umbilicus saat lahir dapat melebihi konsentrasi dalam
plasma ibu (Way et al., 1965). Meperidin dapat menyebabkan konstipasi dan retensi urin yang
lebih lemah daripada morfin. Pada pemberian analgesik dengan dosis yang sama, efek spasme
saluran bilier pada injeksi meperidin lebih kecil dibandingkan pada injeksi morfin tetapi
menimbulkan efek yang lebih besar daripada pemberian kodein (Radnay et al., 1980).
Meperidin tidak menyebabkan miosis tetapi lebih menyebabkan midriasis yang merefleksikan
kerjanya mirip atropin dengan derajat sedang. Mulut kering dan peningkatan frekuensi nadi
merupakan bukti lebih lanjut dari efek meperidin yang mirip dengan atropin. Gejala neurologis
yang timbul sementara, ditemukan pada pemberian meperidin intratekal dalam pembedahan
dengan anestesia (Lewis dan Perrino, 2002).
Pola gejala putus obat setelah penghentian pemberian meperidin secara mendadak
berbeda dengan morfin karena efek yang timbul hanya pada sedikit sistem saraf otonomi.
Gejala putus obat yang timbul lebih cepat dan lebih pendek durasinya dibandingkan dengan
morfin.
Fentanil
Fentanil adalah agonis opioid sintetik turunan fenilpiperidin yang secara struktur
berhubungan dengan meperidin (gambar 3-15). Sebagai anestetika, fentanil lebih poten 75
hingga 125 kali dibandingkan morfin.
Farmakokinetik
Dosis tunggal dari pemberian fentanil IV memiliki onset yang lebih cepat dan durasi
yang lebih pendek daripada morfin. Meskipun kesan klinis dari fentanil memiliki onset yang
cepat, perbedaan waktu yang nyata antara konsentrasi puncak fentanil dalam plasma dan
perlambatan puncak pada EEG. Perlambatan ini merefleksikan waktu yang berbeda untuk
mencapai efek fentanil yang sama pada darah dan otak, sekitar 6,4 menit. Potensi yang lebih
besar dan onset kerja yang lebih cepat merefleksikan kelarutan fentanil dalam lemak lebih
besar dibandingkan morfin yang memfasilitasi alirannya melintasi sawar darah otak. Durasi
kerja singkat dari dosis tunggal fentanil merefleksikan redistribusi yang cepat ke jaringan inaktif
seperti lemak dan otot rangka, yang berkaitan dengan penurunan konsentrasi obat dalam
plasma (gambar 3-17) (Hug dan Murphy, 1981). Paru-paru juga berfungsi sebagai pempat
penyimpanan inaktif yang besar dengan perkiraan 75% dari dosis inisial fentanil melewati first
pass ambilan paru (Roerig et al., 1987). Fungsi nonrespirasi dari paru ini membatasi jumlah
inisial dari obat yang sampai ke sirkulasi sistemik dan mungkin memainkan peranan penting
dalam menentukan profil farmakokinetik dari fentanil. Pada pemberian fentanil IV dengan dosis
besar atau saat pemberian infus berkelanjutan, muncul penambahan saturasi obat di jaringan
inaktif. Sebagai hasilnya, konsentrasi fentanil dalam plasma tidak turun secara cepat dan durasi
analgesia seperti halnya depresi pernapasan dapat memanjang. Bypass dari kardiopulmoner
menyebabkan efek yang secara klinis tak berarti pada farmakokinetik dari fentanil, meskipun
dihubungkan dengan adanya hemodilusi, hipotermia, aliran darah yang tidak fisiologis dan
respons inflamasi sistemik yang diinduksi bypass dari kardiopulmoner (Hudson et al., 2003).
Metabolisme
Fentanil secara eksensif dimetabolisme oleh N-demetilasi, menghasilkan norfentanil,
hidroksipropionil-fentanil, dan hidroksipropionil-norfentanil. Norfentanil secara struktur mirip
dengan normeperidin dan merupakan metabolit dasar fentanil pada manusia. Norfentanil
diekskresi di ginjal dan dapat terdeteksi di urin selama 72 jam setelah pemberian dosis tunggal
fentanil IV. Kurang dari 10% fentanil diekskresi tanpa perubahan melalui urin. Aktivitas
farmakologi dari metabolit fentanil dipercaya minimal (Peng dan Sandler, 1999). Fentanil adalah
substrat dari enzim hepatik P-450 (CYP3A) dan rentan terhadap interaksi obat yang
merefleksikan gangguan aktivitas enzim (kurang mirip dengan alfentanil) (Ibrahim et al., 2003).
Waktu Paruh Eliminasi
Meskipun kesan klinis dari fentanil memiliki durasi kerja singkat, eliminasi waktu
paruhnya lebih panjang daripada morfin (Tabel 3-5). Pemanjangan eliminasi waktu paruh
merefleksikan Vd yang lebih besar dari fentanil karena bersihan pada kedua opioid memiliki
kemiripan (Tabel 3-5). Vd fentanil yang lebih besar berkaitan dengan kelarutannya dalam lemak
yang tinggi yang membuat aliran ke jaringan menjadi lebih cepat dibandingkan dengan morfin
yang lebih tidak larut dalam lemak. Setelah pemberian bolus IV, fentanil didistribusikan secara
cepat dari plasma ke jaringan vaskular yang lebih tinggi (otak, paru, jantung). Lebih dari 80%
dosis yang diinjeksikan meninggalkan plasma dalam waktu kurang dari 5 menit. Konsentrasi
fentanil dalam plasma dijaga dengan ambilan ulang yang lambat dari jaringan inaktif, yang
dihitung untuk efek obat persisten yang pararel dengan waktu paruh eliminasi yang memanjang.
Pada hewan, waktu paruh eliminasi, Vd, dan bersihan dari fentanil tidak tergantung dari dosis
opioid antara 6,4 sampai 640 μg/kg IV (Murphy et al., 1983).
Eliminasi waktu paruh fentanil yang memanjang pada pasien yang lebih tua berkaitan
dengan penurunan bersihan opioid karena Vd tidak berubah bila dibandingkan dengan dewasa
muda (Bentley et al., 1982). Perubahan ini merefleksikan kaitan umur dengan penurunan aliran
darah hepatik, aktivitas enzim mikrosomal, atau produksi albumin, sementara fentanil terikat
sebagian besar dengan protein (79% sampai 87%). Untuk alasan ini, pemberian dosis fentanil
akan menjadi efektif untuk jangka waktu yang lama pada pasien yang lebih tua daripada pada
pasien yang lebih muda. Eliminasi waktu paruh dari fentanil yang memanjang juga terdapat
pada pasien dengan pembedahan aorta abdominalis membutuhkan penjepitan silang aorta
infrarenal (Hudson et al., 1986). Hal yang mengejutkan adalah kegagalan sirosis hepatis untuk
memperpanjang secara signifikan waktu paruh eliminasi fentanil (Haberer et al., 1982).
Waktu Paruh Context-Sensitive
Seiring dengan meningkatnya durasi pemberian fentanil dari infus berkelanjutan setiap 2
jam, waktu paruh context-sensitive dari opioid menjadi lebih besar daripada sufentanil (gambar
3-18) (Egan et al., 1993; Hughes et al., 1992). Hal ini merefleksikan saturasi fentanil pada
jaringan inaktif saat pemberian infus jangka panjang dan kembalinya opioid dari kompartemen
perifer ke plasma. Jaringan penampung fentanil ini menggantikan eliminasi fentanil yang
dilakukan metabolism hepar, sehigga dapat menurunkan konsentrasi fentanil ketika infus tidak
dilanjutkan.
Bypass Jantung Paru
Semua opioid menunjukkan penurunan konsentrasi dalam plasma pada inisiasi bypass
jantung paru (Gedney dan Ghosh, 1995). Derajat dari penurunan ini yang terbesar adalah
fentanil karena terdapat jumlah yang signifikan dari obat yang terikat pada permukaan sirkuit
bypass jantung paru. Penurunan ini mengecil pada opioid yang memiliki Vd yang besar
sehingga penambahan volume menjadi kurang penting. Dalam hal ini, konsentrasi sufentanil
dan alfentanil dalam plasma lebih stabil saat dilakukan bypass jantung paru. Eliminasi fentanil
dan alfentanil telah menunjukkan pemanjangan pada bypass jantung paru.
Penggunaan Klinis
Fentanil secara klinis diberikan pada dosis yang rentang yang lebar. Sebagai contoh,
dosis yang rendah pada fentanil, 1-2 μg/kg IVdisuntikkan untuk mendapatkan efek analgesia.
Fentanil 2 sampai 20 μg/kg IV, diberikan sebagai adjuvant pada anestetik inhalasi, dengan
tujuan untuk menumpulkan respon sirkulasi pada (a) laringoskopi direk untuk intubasi trakea,
atau (b) perubahan mendadak pada rangsangan pembedahan. Waktu penyuntikan IV pada
fentanil untuk mencegah atau mengatasi respons yang timbul harus memperhitungkan efek
waktu keseimbangan, yang pada fentanil lebih panjang bila dibandingkan dengan alfentanil dan
eamifentanil. Penyuntikan opioid seperti fentanil sebelum rangsangan nyeri pembedahan timbul
dapat menurunkan jumlah opioid yang dibutuhkan pada periode pasca operasi untuk
menghasilkan efek analgesia (Woolf dan Wall, 1986). Pemberian fentanil 1,5 atau 3 μg/kg IV 5
menit sebelum induksi anestesia dapat menurunkan dosis isofluran atau desfluran dengan 60%
N2O diperlukan untuk memblok respon sistem saraf simpatik terhadap rangsangan
pembedahan (gambar 3-19) (Daniel et al., 1998). Dosis yang besar dari fentanil, 50 sampai 150
μg/kg IV, digunakan sendiri tanpa obat yang lain untuk menghasilkan anestesia saat
pembedahan. Dosis besar dari fentanil sebagai anestetika tunggal memiliki keuntungan berupa
hemodinamik yang stabil karena (a) tidak adanya efek langsung depresi otot jantung, (b) tidak
adanya pelepasan histamin, dan (c) penekanan respons stress pada pembedahan. Kelemahan
dari penggunaan fentanil sebagai anestetika tunggal meliputi (a) kegagalan untuk mencegah
respons sistem saraf simpatik terhadap rangsangan nyeri pembedahan pada berbagai dosis,
terutama pada pasien dengan fungsi ventrikel kiri yang masih baik, (b) kemungkinan pasien
sadar, (c) depresi pernapasan pasca operasi (Hilgenberg, 1981; Sprigge et al, 1982; Wynands
et al., 1983). Pemberian fentanil intratekal (keuntungan maksimum diperoleh dengan dosis 25
μg) membuat analgesia yang digunakan saat persalinan timbul dengan cepat dengan efek
samping uang minimal (gambar 3-20) (Palmer et al., 1998).
Fentanil dapat diberikan sebagai persiapan transmukosa (fentanil transmukosa oral)
pada alat pengiriman yang dibuat dengan tujuan untuk mengalirkan 5-20 μg/kg fentanil.
Tujuannya adalah untuk menurunkan kecemasan sebelum operasi dan memfasilitasi induksi
anestesia, terutama pada anak-anak (Macaluso et al., 1996; Stanley et al., 1989). Pada anak
usia 2 sampai 8 tahun, pemberian fentanil transmukosa oral sebelum operasi, 15 sampai 20
μg/kg 45 menit sebelum induksi anestesia, dipercaya menginduksi sedasi sebelum operasi dan
memfasilitasi induksi anestesia inhalasi (Friesen dan Lockhart, 1992). Pada pasien yang sama,
yang mengalami penurunan frekuensi napas dan oksigenasi arterial dan peningkatan insiden
pasca operasi berupa mual dan muntah tidak dipengaruhi oleh pemberian profilaksis droperidol.
Pada anak-anak berusia 6 tahun atau lebih muda, pemberian fentanil 15 μg/kg transmukosa
oral sebelum operasi, dikaitkan dengan tingginya insiden yang tidak diharapkan berupa muntah
saat sebelum operasi (Epstein et al., 1996). Sebalinya laporan lain mengatakan tidak
menemukan insiden muntah atau desaturasi oksigen arterial setelah premedikasi dengan
fentanil transmukosa oral (Dsida et al., 1998). Untuk penatalaksanaan nyeri setelah operasi
ortopedi, pemberian fentanil 1 mg transmukosa oral setara dengan morfin 5 mg IV (Ashburn et
al., 1993). Pasien yang mengalami nyeri akibat kanker dapat memberikan sendiri opioid ini
sampai jumlah yang diperlukan untuk mendapatkan tingkat analgesia yang diinginkan.
Fentanil transdermal dapat memberikan dosis 75-100 μg/jam yang menyebabkan
konsentrasi puncak fentanil dalam plasma dicapai dalam waktu 18 jam yang terus stabil selama
obat tetap ditempelkan di kulit yang kemudian diikuti dengan penurunan konsentrasi obat dalam
plasma dalam beberapajam setelah tempelan dilepas, yang merefleksikan absorpsi
berkelanjutan dari gudang obat di kulit (obat tempel di kulit). Sistem fentanil transdermal
diberikan sebelum induksi anestesia dan bila diberikan 24 jam sebelumnya dapat menurunkan
jumlah opioid parenteral yang dibutuhkan untuk analgesia pasca operasi (Caplan et al., 1989).
Delirium toksik akut, ditemukan pada pasien dengan nyeri kronik karena kanker yang diterapi
dengan fentanil transdermal untuk jangka waktu yang lama (Kuzma et al., 1995). Ada
kemungkinan bahwa gagal ginjal dan akumulasi dari norfentanil memiliki andil menimbulkan
efek toksik pada penggunaan fentanil transdermal dalam jangka waktu yang panjang.
Pada anjing, efek analgesik maksimal, pernapasan, dan kardiovaskuler timbul ketika
konsentrasi fentanil dalam plasma sebesar 30 ng/mL (Arndt et al., 1984). Hal ini menjelaskan
bahwa kerja analgesik dari fentanil tidak dapat dipisahkan dari efeknya pada pernapasan dan
frekuensi nadi. Kenyataan bahwa semua efek yang dimediasi reseptor sama pada konsentrasi
fentanil dalam plasma yang sama, memberi kesan saturasi pada reseptor opioid. Bukti dari
kelebihan dosis opioid ditemukan ketika bagian atas tubuh yang dihangatkan selimut pada saat
operasi dilakukan ditempelkan fentanil pada kulitnya (Frolich et al., 2001)
Efek Samping
Efek samping dari fentanil menyerupai morfin. Depresi pernapasan yang persisten atau
rekuren pada pemberian fentanil merupakan masalah potensial pasca operasi (gambar 3-21)
(Becker et al., 1976). Puncak kedua konsentrasi dalam plasma dari fentanil dan morfin
menghubungkan sekuestrasi fentanil dalam cairan asam lambung (ion trapping).Fentanil yang
tersekuestrasi dapat diabsorpsi dari usus kecil yang lebih alkalis kembali ke sirkulasi untuk
meningkatkan konsentrasi opioid dalam plasma dan menyebabkan depresi pernapasan. Hal ini
mungkin bukan mekanisme terjadinya puncak kedua dari fentanil, karena reabsorpsi opioid dari
saluran cerna atau otot rangka ditimbulkan oleh pergerakan yang dihubungkan dengan transfer
dari ruang operasi, yang dapat menjadi pokok permasalahan bagi metabolism jalur pertama
hepatik. Penjelasan alternatif untuk puncak kedua dari fentanil adalah pembersihan opioid dari
paru-paru sebagaimana hubungan antara pernapasn dan perfusi dibangun kembali pada
periode pasca operasi.
Efek Kardiovaskuler
Dibandingkan dengan morfin, fentanil yang bahkan dalam dosis besar (50 μg/kg IV)
tidak menimbulkan pelepasan histamine (gambar 3-12) (Rosow et al., 1982). Menyebabkan
dilatasi kapasitansi pelbuluh darah vena yang menyebabkan hipotensi yang jarang terjadi.
Refleks baroreseptor sinus karotis mengontrol frekuensi nadi ditekan oleh fentanil, 10 μg/kg IV,
yang diberikan pada neonatus (gambar 3-22) (Murat et al., 1988). Oleh karena itu, perubahan
pada tekanan darah sistemik yang muncul selama anesthesia dengan fentanil, harus
dipertimbangkan secara hati-hati karena keluaran jantung secara prinsipnya pada neonatus,
tergantung pada frekuensinya. Bradikardia pada fentanil lebih mencolok daripada morfin dan
dapat kadang-kadang dapat memicu pnurunan tekanan darah dan keluaran jantung. Reaksi
alergi jarang muncul sebagai respon dari pemberian fentanil (Bennet et al., 1986). Dalam hal ini,
anafilaksis karena lateks merupakan hal yang salah yang dihubungkan dengan interpretasi
yang keliru dikelompokkanya dalam alergi fentanil (Zucker- Pinchoff dan Chandler, 1993).
Kejang
Kejang dideskripsikan mengikuti pemberian fentanil, sufentanil, dan alfentanil IV secara
cepat (Manninen, 1997). Tidak adanya bukti EEG yang menunjukkan kejang, menimbulkan
kesulitan untuk membedakan rigiditasn otot rangka yang dipicu oleh opioid atau mioklonus pada
kejang. Tentu saja perekaman EEG saat terjadinya rigiditas otot rangka, gagal menunjukkan
adanya aktivitas kejang di otak (Smith et al., 1989). Meskipun konsentrasi dalam plasma
sebesar 1,750 ng/mL setelah pemberian cepat fentanil, 150 μg/kg IV, tidak ada bukti aktivitas
kejang pada EEG (Murkin et al., 1984). Sebaliknya, opioid morfin menghasilkan bentuk
mioklonus sekunder untuk menekan neuron inhibitor yang membentuk dambaran klinis aktivitas
kejang pada ketiadaan perubahan di EEG.
Potensial yang ditimbulkan Somatosensorik dan Elektroensefalogram
Fentanil dengan dosis melebihi 30 μg/kg IV membuat perubahan pada potensial yang
ditimbulkan somatosensorik. Meskipun terdeteksi namun tidak mengganggu kegunaannya dan
interpretasi dilakukan di monitor saat anestesia berlangsung (Schubert et al., 1987). Opioid
termasuk fentanil, melemahkan pergerakan otot rangka pada dosis yang hanya sedikit berefek
pada EEG. Hal ini membuat pergerakan sebagai rspons dari insisi pembedahan pada kulit
(digunakan untuk mengukur MAC) merefleksikan kemampuan obat untuk menunjukkan reflex
yang berbahaya dan bukan merupakan pengukuran yang paling tepat untuk menentukan
kesadaran atau kehilangan kesadaran (Glass et al., 1997). Efek opioid ini mengacaukan
penggunaan analisis bispektral sebagai pengukuran dari anestetika yang adekuat ketika tidak
adanya pergerakan saat insisi kulit pembedahan dilakukan untuk menetapkan kemanjuran obat
tersebut.
Tekanan Intrakranial
Pemberian fentanil dan sufentanil pada pasien dengan trauma kepala dihubungkan
dengan peningkatan ringan ICP (6 sampai 9 mmHg) meskipun pemeliharaan PaCO2 tidak
berubah (Albanese et al., 1993; Sperry et al., 1992). Peningkatan ICP ini disertai dengan
penurunan tekanan arteri rata-rata dan tekanan perfusi serebral. Pada kenyataannya,
peningkatan ICP tidak disertai pemberian sufentanil ketika dilakukan pencegahan terhadap
perubahan pada tekanan arteri rata-rata (gambar 3-23) (Werner et al., 1995). Dapat dipahami
bahwa peningkatan ICP yang ditimbulkan oleh sufentanil (dan mungkin juga oleh fentanil)
disebabkan adanya autoregulator yang menurunkan tekanan darah sistemik yang
menyebabkan terjadinya vasodilatasi, peningkatan volume darah dan peningkatan ICP.
Meskipun demikian, peningkatan ICP yang diinduksi opioid mirip pada keberadaan autoregulasi
yang intak atau terganggu, yang membuat perlu adanya pemikiran bahwa ada mekanisme lain
selain aktivasi kaskade vasodilator (de Nadal et al., 2000)
Interaksi Obat
Konsentrasi fentanil sangat mempotensiasi efek midazolam dan menurunkan kebutuhan
dosis dari propofol. Kombinasi opioid dengan benzodiazepine menampilkan sinergisme pada
efek hipnosis dan depresi pernapasan (Bailey et al., 1990a). Pada penerapan klinis, keuntungn
dari sinergisme antara opioid dan benzodiazepine ini adalah untuk memelihara kenyamana
pasien lebih dipilih daripada kelemahannya yaitu efek depresi dari kombinasi ini. Pemberian
fentanil IV (termasuk sufentanil dan alfentanil) preinduksi dapat dikaitkan dengan reflek batuk
(Tweed dan Dakin, 2001).
Sufentanil
Sufentanil adalah analog tienil dari fentanil (gambar 3-15). Potensi analgesik dari
sufentanil lima hingga sepuluh kali dari fentanil, dengan afinitas sufentanil pada reseptor opioid
lebih besar dibandingkan dengan fentanil. Berdasarkan konsentrasi plasma yang dibutuhkan
untuk menyebabkan 50% perlambatan maksimum pada EED (EC50), sufentanil 12 kali lebih
poten dari pada fentanil (Scott et al., 1991). Perbedaan penting dari fentanil adalah pada
fentanil terdapat 1000 kali lipat perbedaan antara dosis analgesic dari sufentanil dan dosis yang
menyebabkan kejang pada hewan. Perbedaan ini 160 kali pada fentanil dan menjadi penting
ketika agonis opioid dalam jumlah besar digunakan untuk menimbulkan anestesia. Spasme otot
rangka transien dapat terjadi setelah penyuntikan sufentanil dosis besar (40 μg) intratekal yang
tidak disengaja, hal ini membuat pemikiran adanya efek iritatif pada opioid (Malinovsky et al.,
1996).
Farmakokinetik
Waktu paruh eliminasi sufentanil adalah pertengahan antara fentanil dan alfentanil
(Tabel 3-5) (Bovill et al., 1984). Dosis tunggal IV dari sufentanil memiliki waktu paruh eliminasi
yang sama pada pasien dengan atau tanpa sirosis hepatis (Chauvin et al., 1989). Pemanjangan
waktu paruh eliminasi telah diamati pada pasien berusia lebih tua yang mendapat sufentanil
pada pembedahan aorta abdominal (Hudson et al., 1989). Vd dan waktu paruh eliminasi dari
sufentanil meningkat pada pasien obesitas, yang merefleksikan kelarutan opioid ini dalam
lemak tinggi (Schwartz et al., 1991)
Jaringan dengan afinitas yang tinggi, konsisten dengan lipofilik alami sufentanil yang
dapat menembus sawar darah otak dengan penetrasi yang cepat dan onset dari efek CNS (6,2
menit mirip dengan fentanil 6,8 menit) (Scott et al., 1991). Redistribusi yang cepat untuk
jaringan inaktif mengakhiri efek dari dosis kecil, tetapi efek obat kumulatif dapat menyertai
dosis yang besar atau berulang dari sufentanil. Sufentanil secara signifikan melewati ambilan
jalur pertama paru-paru (sekitar 60%) setelah penyntikan IV secara cepat (Boer et al., 1996).
Ambilan jalur pertama paru-paru mirip dengan fentanil dan lebih besar daripada morfin (sekitar
7%) dan alfentanil (sekitar 10%).
Protein dalam jumlah besar terikat pada sufentanil (92,5%) dibandingkan dengan
fentanil (79% sampai 87%) berkontribusi pada Vd yang lebih kecil, yang merupakan
karakteristik dari sufentanil. Terikat pada α1-asam glikoprotein merupakan proporsi utama dari
total protein plasma yang terikat pada sufentanil. Jumlah α1-asam glikoprotein bervariasi, pada
orang sehat dapat bejumlah tiga kali lipat dan meningkat setelah pembedahan, yang
menghasilkan penurunan konsentrasisufentanil aktif yang tidak terikat secara farmakologi di
dalam plasma. Konsentrasi α1-asam glikoprotein pada neonatus dan bayi lebih rendah,
kemungkinan karena adanya penurunan jumlah protein yang terikat pada sufentanil pada
kelompok usia ini dibandingkan pada anak yang lebih tua atau orang tua (Meistelman et al.,
1990). Peningkatan fraksi bebas dari sufentanil pada neonatus dapat membantu meningkatkan
efek dari opioid ini. Fentanil dan turunannya menghasikan analgesia dan depresi pernapasan
pada dosis yang lebih rendah pada neonatus daripada pada orang tua (Greeley et al., 1987;
Yaser, 1987).
Metabolisme
Sufentanil secara cepat dimetabolisme oleh N-dealkilasi pada piperidin nitrogen dan
oleh O-demetilisasi. Produk dari N-dealkilasi secara farmakologi inaktif, sementara desmetil
sufentanil memiliki 10% aktivitas sufentanil. Kurang dari 1% dosis sufentanil yang diberikan,
tidak mengalami perubahan pada urin. Tentu saja, kelarutan sufentanil ysng tinggi dalam lemak
membuat reabsorpsi tubular ginjal terhadap obat bebas sama baiknya dengan peningkatan
akses ke enzim mikrosomal hepatik. Ekstraksi hepatik yang ekstensif menunjukkan bahwa
bersihan sufentanil akan menjadi sensitif terhadap perubahan aliran darah hepatik tetapi tidak
terdapat perubahan pada kapasitas metabolism otak di hati. Metabolit sufentanil diekskresi
paling banyak di urin dan feses, sekitar 30% dalam bentuk konjugat. Produksi metabolit aktif
lemah dan formasi metabolit terkonjugasi dalam jumlah banyak menjelaskan kemungkinan
pentingnya fungsi ginjal normal untuk bersihan sufentanil. Tentu saja perpanjangan depresi
ventilasi berkaitan dengan peningkatan konsentrasi sufentanil dalam plasma yang dapat dilihat
pada pasien dengan gagal ginjal kronis (Waggum et al., 1985).
Waktu Paruh Context-Sensitive
Waktu paruh context-sensitive dari sufentanil lebih pendek daripada alfentanil untuk
infus berkelanjutan dengan durasi hingga 8 jam (gambar 3-18) (Egan et al., 1993; Huges et al.,
1992). Waktu paruh context-sensitive yang lebih pendek ini dapat dijelaskan dengan besarnya
Vd dari sufentanil dibandingkan alfentanil. Setelah terminasi dari infus sufentanil, penurunan
konsentrasi obat dalam plasma dipercepat tidak hanya oleh metabolism, tetapi juga oleh
redistribusi sufentanil berkelanjutan ke kompartemen jaringan perifer. Dibandingkan dengan
alfentanil, sufentanil memiliki profil pulih yang lebih menguntungkan ketika digunakan untuk
jangka waktu yang lama. Sebaliknya, alfentanil memiliki kelebihan farmakokinetik untuk
pengobatan dari rangsangan berbahaya transien dan diskret karena memiliki waktu efek site-
equilibration yang singkat, yang memungkinkan akses obat yang cepat ke otak dan
memfasilitasi titrasi.
Penggunaan Klinis
Pada sukarelawan, dosis tunggal dari sufentanil 0,1 sampai 0,4 μg/kg IV menghasilkan
analgesia dengan masa kerja yang lebih panjang dan depresi pernapasan yang lebih kecil
dibandingkan dosis fentanil (1 sampai 4 μg/kg IV) (Bailey et al., 1990b). Dibandingkan dengan
dosis besar dari morfin atau fentanil, sufentanil 18,9 μg/kg IV, memberikan induksi anestesia
yang lebih cepat, emergensi anestesia yang lebih awal, dan ekstubasi trakea yang lebih awal
(gambar 3-24) (Sanford et al., 1986). Sufentanil menyebabkan penurunan kebutuhan oksigen
metabolic di otak, aliran darah di otak juga bisa menurun atau tidak berubah (Mayer et al.,
1990). Bradikardi yang disebabkan oleh sufentanil cukup untuk menurunkan keluaran jantung.
Depresi pernapasan dapat timbul terlambat/mengalami penundaan setelah pemberian
sufentanil (Chang dan Fish, 1985).
Meskipun sufentanil dosis besar (10 sampai 30 μg/kg IV) atau fentanil (50 sampai 150
μg/kg IV) menghasilkan efek hemodinamik yang kecil pada pasien dengan fungsi ventrikel kiri
yang baik, tekanan darah sistemik dan hormonal (katekolamin) memiliki respons terhadap
rangsangan nyeri seperti sternotomi median tidak dapat dicegah kemungkinannya (Philbin et
al., 1990). Sepertinya tidak mungkin setiap dosis sufentanil atau fentanil yang bermanfaat
secara klinis akan menghapuskan respons-respons pada semua pasien. Penggunaan dosis
besar dari opioid, termasuk sufentanil atau fentanil, untuk menghasilkan induksi anestesia IV
akan menyebabkan rigiditas dada dan otot abdomen. Rigiditas otot rangka membuat
pernapasan pada paru-paru pasien dengan tekanan positif menjadi sulit. Kesulitan pernapasan
selama rigiditas otot rangka yang diinduksi sufentanil dapat merefleksikan obstruksi pada glottis
atau struktur di atasnya, yang dapat diatasi dengan intubasi trakea (Abrams et al., 1996).
Alfentanil
Alfentanil adalah analog fentanil yang kurang poten (1/10 sampai 1/5) dan memiliki
durasi kerja yang sepertiga dari fentanil (gambar 3-15). Kelebihan yang unik dari alfentanil
dibandingkan dengan fentanil dan sufentanil adalah onset kerja yang lebih cepat (waktu efek
site-equilibration) setelah pemberian IV. Contohnya waktu efek site-equilibration untuk alfentanil
1,4 menit dibandingkan dengan fentanil 6,8 menit dan sufentanil 6,2 menit (Tabel 3-5) (Scott et
al., 1985; Scott dan Stanski, 1987; Shafer dan Varel, 1991).
Farmakokinetik
Alfentanil memiliki waktu paruh eliminasi yang pendek dibandingkan fentanil dan
sufentanil (Tabel 3-5). Sirosis hepatis, tetapi bukan penyakit kolestasis, memperpanjang waktu
paruh eliminasi alfentanil (Davis et al., 1989). Gagal ginjal tidak mengubah bersihan atau waktu
paruh alfentanil (Chauvin et al., 1987a). Eliminasi waktu paruh alfentanil lebih pendek pada
anak-anak (4 sampai 8 tahun) daripada pada orang tua, merefleksikan Vd yang lebih kecil pada
pasien-pasien yang lebih muda (Meistelman et al., 1987).
Karakteristik waktu efek site-equilibration dari alfentanil merupakan hasil dari pK yang
rendah pada opioid yang hampir 90% dari obat berada dalam bentuk tidak terionisasi pada pH
fisiologi. Fraksi yang tidak terionisasi yang siap menyebrangi sawar darah otak. Efek puncak
yang cepat dari alfentanil pada otak berguna saat opioid dibutuhkan untuk menumpulkan
respons terhadap rangsangan tunggal dan cepat seperti intubasi trakea atau tindakan blok
retrobulbar.
Vd dari alfentanil adalah empat sampai enam kali lebih kecil daripada fentanil (Tabel 3-
5) (Camu et al., 1982; Stanski and Hug, 1982). Vd yang lebih kecil ini dibandingkan dengan
fentanil merefleksikan kelarutan pada lemak yang lebih rendah dan kuatnya ikatan dengan
protein. Dibandingkan dengan kelarutan yang rendah pada lemak, penetrasi terhadap sawar
darah otak dari alfentanil ini cepat karena memiliki derajat yang tinggi dari bentuk tidak
terionisasi pada pH fisiologis. Alfentanil pada prinsipnya terikat pada α1-asam glikoprotein,
protein yang konsentrasi dalam plasmanya tidak diubah oleh penyakit hati. Karena protein yang
terikat ini mirip, tampaknya penurunan presentasi dari jaringan adipose pada anak-anak
bertanggung jawab pada waktu paruh eliminasi yang pendek.
Metabolisme
Alfentanil dimetabolisme sebagian besar oleh dua jalur yang independen, piperidin N-
dealkilasi menjadi noralfentanil dan amida N-dealkilasi menjadi N- fenilproprionamid.
Noralfentanil adalha metabolit mayor yang ditemukan di urin, dengan 0,5% dari dosis alfentanil
yang diberikan, tidak berubah saat diekskresi. Efisiensi dari metabolisme hepatik sangatlah
penting dengan bersihan mencapai 96% alfentanil dari plasma pada 60 menit setelah
pemberian.
Pemecahan bertujuan untuk mendapatkan regimen infuse yang dapat dipercaya untuk
diberikan dan mengatur konsentrasi spesifik alfentanil dalam plasma yang memiliki variasi luas
pada setiap individunya. Faktor paling signifikan yang bertanggung jawab terhadap efek
alfentanil yang tidak dapat diprediksi dan tidak diinginkan adalah variabilitas dari setiap individu
yang sepuluh kali lipat pada bersihan sistemik alfentanil, yang merefleksikan variabilitas pada
bersihan intrinsic hepar. Oleh karena itu, sepertinya variabilitas populasi dalam aktivitas P-450
3A4 (CYP 3A) (lebih banyak enzim hepatik P-450 dan isoform mayor P-450 yang bertanggung
jawab pada metabolism alfentanil dan bersihan) adalah penjelasan mekanistik tentang
variabilitas disposisi alfentanil dalam individu (Kharasch et al., 1997). Bersihan alfentanil
dipengaruhi secara nyata oleh aktivitas CYP3A dan alfentanil merupakan probe yang sensitif
dan merupakan valid untuk aktivitas CYP3A (Ibrahim et al., 2003). Perubahan pada aktivitas P-
450 bertanggung jawab pada kemampuan eritromisin untuk menghambat metabolism alfentanil
dan menyebabkan perpanjangan efek opioid (Bartkowski dan McDonnell, 1990).
Waktu Paruh Context-Sensitive
Waktu paruh context-sensitive dari alfentanil lebih lama daripada sufentanil untuk
pemberian infusdurasi 8 jam (gambar 3-18) (Egan et al., 1993; Hughes et al., 1992). Fenomena
ini dapat dijelaskan sebagian karena besarnya Vd dari sufentanil. Setelah terminasi infuse
berkelanjutan dari sufentanil, penurunan konsentrasi obat dalam plasma dipercepat tidak hanya
oleh metabolisme tetapi juga oleh redistribusi berkelanjutan dari sufentanil ke kompartemen
perifer. Sebaliknya, Vd dari alfentanil mencapai titik keseimbangan dengan cepat sehingga
distribusi perifer dari obat keluar dari plasma bukan merupakan kontributor yang signifikan pada
penurunan konsentrasi dalam plasma setelah pemutusan pemberian alfentanil infuse. Meskipun
waktu paruh eliminasi alfentanil itu pendek, tidak perlu memilih sufentanil yang lebih superior
untuk teknik sedasi ambulatory.
Penggunaan Klinis
Alfentanil memiliki onset cepat dan offset dari intensitas analgesia merefleksikan
pentingnya efek keseimbangan. Karakteristik dari alfentanil ini digunakan untuk menghasilkan
analgesia saat rangsangan yang berbahaya bersifat akut tapi transien berkaitan dengan
laringoskopi dan intubasi trakeal dan penggunaan teknik blok retrobulbar. Sebagai contoh,
pemberian alfentanil, 15 μg/kg IV, 90 menit sebelum latingoskopi direk, efektif menumpulkan
tekanan darah sistemik dan respons frekuensi nadi terhadap intubasi trakeal (gambar 3-25)
(Miller et al., 1993). Respons katekolamin pada rangsangan yang berbahaya juga ditumpulkan
oleh alfentanil, 30 μg/kg IV (gambar 3-26) (Miller et al., 1993). Alfentanil pada dosis 10 sampai
20 μg/kg IV menumpulkan sirkulatori tetapi bukan respon pelepasan katekolamin yang secara
mendadak meningkatkan konsentrasi desfluran inhalasi (Yonker-Sell et al., 1996). Alfentanil,
150 sampai 300 μg/kg IV diberikan secara cepat, menyebabkan ketidaksadaran dalam waktu
45 detik. Setelah induksi ini, upaya menjaga anesthesia dengan infuse berkelanjutan alfentanil
25 sampai 150 μg/kg IV, dikombinasikan dengan obat inhalasi (Ausems et al., 1983). Tidak
seperti opioid lain, pemberian dosis tambahan pada alfentanil terlihat menurunkan tekanan
darah sistemik yang meningkat bila ada rangsangan nyeri. Alfentanil meningkatkan tekanan
traktus bilier sama halnya dengan fentanil, namun durasinya lebih pendek daripada fentanil
(Hynyen et al., 1986). Alfentanil, dibandingkan dengan dosis poten dari fentanil dan sufentanil,
dikaitkan dengan insiden yang rendah dari mual dan muntah pada pasca operasi pada pasien
rawat jalan (gambar 3-27) (Langevin et al., 1999). Distonia akut ditemukan pada pemberian
alfentanil pada pasien Parkinson yang tidak diobati (Mets, 1991). Hal ini merefleksikan
kemampuan opioid untuk menurunkan transmisi dopaminergik sentral dan harus diperhatikan
pada pemberian opioid pada pasien Parkinson yang tidak diobati.
Ramifentanil
Ramifentanil adalah agonis opioidselektif mu dengan potensi analgesik yang setara
dengan fentanil (15 sampai 20 kali daripada alfentanil) dan waktu keseimbangan darah-otak
sama dengan alfentanil (Tabel 3-5) (Burkle et al., 1996; Egan et al., 1993; Jhaveri et al., 1997;
Rosow, 1993; Thompson dan Rowbotham, 1996). Meskipun secara kimiawi terkait dengan
keluarga fentanil yang merupkan turunan fenilpiperidin kerja pendek, struktur ramifentanil unik
karena memiliki struktur ester (Gambar 3-15). Struktur ester dari ramifentanil menyebabkan
dapat dihirolisis oleh plasma nonspesifik dan jaringan esterase untuk menginaktifkan metabolit
(Gambar 3-28) (Egan et al., 1993). Jalur yang unik dari metabolismenya memberi ramifentanil
(a) masa kerja yang pendek, (b) efek titrasi yang tepat dan cepatberkaitan dengan onset yang
cepat (mirip dengan alfentanil) dan offset, (c) efek nonkumulatif, dan (d) pemulihan yang cepat
setelah penghentian pemakaian.
Pernapasan
Setelah pemberian ramifentanil 0,5 μg/kg IV, terdapat penurunan pada lereng dan pergerakan
ke bawah pada kurva respons pernapasan karbondioksida yang mencapai titik nadir setelah
150 detik penyuntikan (gambar 3-29) (Babenco et al., 2000). Pemulihan total setelah pemberian
dosis kecil ramifentanil akan berlangsung dalam waktu 15 menit. Kombinasi dari ramifentanil
dan propofol bersifat sinergestik yang menghasilkan depresi pernapasan yang berat (Gambar
3-30) (Nieuwenhuijs et. al, 2003).
Farmakokinetik
Farmakokinetik dari ramifentanil dikarakteristikan dengan Vd yang kecil, bersihan yang
cepat, dan variabilitas individual yang rendah dibandingkan dengan obat anestetik IV lainnya.
Metabolisme ramifentanil yang cepat dan Vd yang kecil menyebabkan ramifentanil yang
terakumulasi lebih sedikit daripada opioid yang lain. Karena bersihan sistemik yang cepat,
ramifentanil memiliki keuntungan farmakokinetik pada situasi klinis yang membutuhkan
terminasi efek obat yang dapat diperkirakan. Farmakokinetik ramifentanil pada pasien obesitas
dan pasien dengan berat badan ideal menginformasikan bahwa regimen dosis harus
berdasarkan massa tubuh ideal dibandingkan total berat badan (Egan et al., 1998).
Gambaran farmakokinetik yang paling menonjol dari ramifentanil adalah bersihan yang
luar biasa sekitar 3 liter/menit, delapan kali lebih cepat daripada alfentanil. Ramifentanil memiliki
Vd yang lebih kecil daripada alfentanil. Kombinasi dari bersihan cepat dan Vd yang kecil
membuat obat memiliki efek yang unik. Pada kenyataannya, frekuensi penurunan konsentrasi
ramifentanil dalam plasma akan menjadi hampir independen saat pemberian infus (gambar 3-
18) (Burkle et al., 1996; Egan et al., 1993). Efek cepat keseimbangan berarti infus ramifentanil
akan mencapai keadaan stabil dalam plasma dan tempat efeknya. Diperkirakan bahwa
konsentrasi plasma akan mencapai keadaan stabil dalam 10 menit pada awal pemberian infus.
Hubungan antara frekuensi infus dan konsentrasi opioid pada ramifentanil kurang bervariasi
dibandingkan opioid lain. Lebih jauh lagi, bersihan cepat dari ramifentanil, dikombinasikan
dengan keseimbangan darah-otak yang cepat, menyebabkan perubahan pada frekuensi infus
akan dipararelkan oleh perubahan utama efek obat.
Berdasarkan analisis dari respon EEG, dapat disimpulkan bahwa ramifentanil 19 kali
lebih poten daripada alfentanil (EC50 untuk EEG depresi 20 ng/mL versus 376 ng/mL) (Egan et
al., 1993). Waktu efek keseimbangan, bagaimanapun mirip pada kedua opioid, yang
menyebabkan ramifentanil akan memiliki onset yang mirip dengan alfentanil (Tabel 3-5).
Sebagai contoh, setelah injeksi IV cepat, konsentrasi efek puncak dari ramifentanil akan muncul
dalam waktu 1,1 menit, dibandingkan dengan alfentanil 1,4 menit. Efeknya akan lebih transien
pada pemberian ramifentanil dibandingkan alfentanil.
Metabolisme
Ramifentanil unik di antara opioid dalam metabolismenya yang dimetabolisme oleh
plasma nonspesifik dan jaringan esterase untuk metabolit inaktif (Gambar 3-26) (Egan et al.,
1993). Metabolit dasar, asam ramifentanil, 300 sampai 4600 kali lebih tidak poten daripada
ramifentanil sebagai agonis mu dan diekskresi secara primer oleh ginjal. Metabolit inaktif
melewati ekskresi ginjal. N-dealkilasi dari ramifentanil adalah jalur metabolik minor pada
manusia. Ramifentanil tidak muncul sebagai substrat butirilkolinesterase (pseudokolinesterase),
dan bersihannya tidak dipengaruhi defisiensi kolinesterase atau antikolinergik (Burkle et al.,
1996). Sebagai tambahan, sepertinya farmakokinetik tidak akan diubah oleh gagal ginjal dan
gagal hepar karena metabolisme esterase biasanya dipertahankan pada keadaan ini (Hoke et
al., 1997). Dalam hal ini, bersihan ramifentanil tidak diubah selama fase anhepatik pada
transplantasi hati. Hipotermi bypass jantung paru menurunkan bersihan ramifentanil dengan
rata-rata 20%, kemungkinan merefleksikan efek suhu pada darah dan aktivitas jaringan
esterase. Metabolisme esterase tampaknya menjadi sistem metabolik yang dijaga dengan baik
dengan variabilitas yang kecil antara individu, yang berkontribusi pada perkiraan efek obat yang
berkaitan dengan infuse remifentanil (Rosow, 1993).
Waktu Paruh Eliminasi
99,8% remifentanil dieliminasi saat distribusi (0,9 menit) dan waktu paruh eliminasi (6,3
menit). Secara klinis, remifentanil berlaku seperti obat dengan waktu paruh eliminasi 6 menit
atau kurang.
Waktu Paruh Context-Sensitive
Waktu paruh context sensitive dari remifentanil berdiri sendiri, tidak tergantung durasi
infus dan diperkirakan sekitar 4 menit (Gambar 3-18) (Burkle et al., 1996; Egan et al., 1993;
Kapila et al., 1995). Bersihan obat yang cepat ini bertanggung jawab terhadap tidak adanya
akumulasi meskipun digunakan infus dalam jangka waktu yang panjang. Sebaliknya, waktu
paruh context sensitive (Tabel 3-5) (gambar 3-18) , Burke et al., 1996; Egan et al., 1993).
Penggunaan klinis
Penggunaan klinis remifentanil merefleksikan profil farmakokinetik yang unik dari opioid
ini, yang memungkinkan onset cepat dari efek obat, titrasi tepat untuk mendapatkan efek yang
diinginkan, kemampuan untuk menjaga konsentrasi opioid dalam plasma tercukupi untuk
menekan respons stress dan pemulihan cepat dari efek obat. Dalam kasus yang efek analgesia
yang besar dibutuhkan transient (tindakan blok retrobulbar), remifentanil dapat berguna. Onset
cepat dan durasi kerja yang pendek membuat remifentanil beguna secara selektif untuk
menekan respons sistem saraf simpatik transien saat melakukan laringoskopi dan intubasi
trakea pada pasien beresiko (Thompson et al., 1998). Remifentanil intermiten diberikan pada
pasien terkontrol anestesia, efektif dan dan dapat dipercaya pada pemberian saat persalinan
(Evron et al, 2005). Ramifentanil dapat diberikan untuk operasi yang lama, dengan waktu
pemulihan yang cepat (eilaian neurologis, tes bangun). Teknik anestesi ramifentanil dosis tinggi
dihubungkan dengan pemulihan yang lebih cepat dan resiko depresi pernapasan pasca operasi
yang lebih kecil dari pada opioid lain dengan teknik yang sama. Onset yang cepat dan offset
dari ramifentanil membuat kemungkinan untuk mengatur secara cepat level sedasi yang
diinginkan pada penapasan mekanik pasien kritis (Dahaba et al., 2004).
Anestesia dapat diinduksi dengan ramifentanil, 1 μg/kg IV pada pemberian 60 hingga 90
menit, atau dengan inisiasi bertahap infus 0,5 sampai 1 μg/kg IV dalam waktu 10 menit sebelum
pemberian hipnotik standar pada intubasi trakea (Hogue et al., 1996). Dosis obat hipnotik
mungkin perlu diturunkan sebagai kompensasi efek sinergistik dengan ramifentanil.
Ramifentanil dapat digunakan sebagai komponen analgesik pada anesthesia umum (0,25
hinggga 1,00 μg/kg IV atau 0,05 hingga 2 μg/kg/menit IV) atau teknik sedasi dengan
kemampuan yang cepat untuk pulih dari efek yang tidak diinginkan, seperti depresi pernapasan
atau sedasi yang belebihan yang diinduksi oleh opioid (Burkle et al., 1996). Ramifentanil 0,05
hingga 0,10 μg/kg/menit IV pada kombinasi dengan midazolam, 2 mg IV, membuat sedasi
yang efektif dan analgesia selama pemantauan perawatan anestesi pada pasien dewasa yang
sehat (Avramov et al., 1996). Midazolam juga membuat potensiasi dengan tergantung obat
pada efek depresi pernapasan dari remifentanil. Perubahan pada efek obat remifentanil
diperkirakan mengikuti perubahan frekuensi ifus, membuatnya mungkin dilakukan titrasi secara
tepat untuk mencapa efek yang diinginkan daripada opioid lain. Sebelum penghentian
pemberian remifentanil, opioid kerja lama diberikan untuk memasitikan analgesia tetap ada saat
pasien bangun. Pemberian remifentanil spinal dan epidural tidak direkomendasikan sebagai
cara yang aman (glisin yang bertindak sebagai neurotransmitter inhibitor) atau opioid belum
dapat ditentukan (BUrkle et al., 1996). Ramifentanil, 100 μg IV, melemahkan respons
hemodinamik secara akut pada terapi elektrokonvulsif dan tidak mengubah durasi
elektrokonvulsif yang diinduksi kejang (Recart et al., 2003).
Efek Samping
Kelebihan dari remifentanil adalah memiliki waktu pulih yang cepat yang mungkin dapt
menjadi kekurangan remifentanil juka infus diberhentikan tiba-tiba secara tidak sengaja atau
dengan sengaja. Penting untuk member opioid kerja lama pada analgesia pasca operasi bila
remifentanil diberikan untuk tujuan ini saat operasi berlangsung. Semua analog fentanil
temasuk remifentanil menginduksi aktivitas yang mirip dengan kejang (Haber dan Litman 2001).
Mual dan muntah, depresi pernapasan, dan penurunan tekanan darah sistemik ringan
dan frekuensi nadi dapat menyertai pemberian remifentanil. Depresi pernapasan yang
disebabkan remifentanil tidak diubah oleh disfungsi ginjal atau hepar. Pelepasan histamin tidak
menyertai pemberian remifentanil. Tekanan intraokular dan intracranial tidak mengalami
perubahan pada pemberian remifentanil (Guy et al., 1997; Warner et al., 1996). Remifentanil
dosis besar menurunkan aliran darah otak dan oksigen metabolic otak dibutuhkan tanpa
gangguan reaktivitas karbondioksida serebrovaskuler (Klimscha et al., 2003). Remifentanil
memperlambat drainase zat pewarna dari kandung empedu ke duodenum namun perlambatnya
lebih pendek daripada opioid lain (Fragen et al., 1999). Remifentanil dapat melewati plasenta,
namun efek pada neonatus tidak pernah terlihat (Kan et al., 1998).
Toleransi Opioid Akut
Analgesik pasca operasi membutuhkan pemberian remifentanil dengan dosis besar
pada pasein saat operasi berlangsung yang secara mengejutkan dapat berhubungan
dengatoleransi opioid akut (Gambar 3-31) (Guignard et al., 2000). Sebagai tambahan,
hiperalgesia yang timbul terlambat dapat diproduksi oleh paparan akut opioid dosis besar.
Toleransi terhadap opioid merupakan farmakodinamik dan toleransi tergantung pada dosis.
Mekanisme yang mungkin untuk toleransi melipti perubahan reseptor NMDA dan sistem
pengaturan second messenger. Dalam hal ini, antagonis reseptor NMDA seperti ketamin dan
magnesium memblok toleransi opioid. Tidak semua data mendukung perkembangan toleransi
opioid akut mengikuti anesthesia yang ditimbulkan remifentanil (Cortinez et al., 2001; Gustoff et
al., 2002).
Kodein
Kodein merupakan hasil dari substitusi metal dengan hiroksil pada karbon nomor 3 dari
morfin (Gamnar 3-1). Keberadaan metal membatasi metabolism jalur pertama hati dan dihitung
sebagai kemanjuran kodein pada pemberian oral. Wkatu paruh eliminasi kodein setelah
pemberian oral atau IM adalah 3 sampai 3,5 jam. Sekitar 10% dari kodein yang diberikan
didemetilasi di hati, yang bertanggung jawab sebagai efek analgesik dari kodein. Sisa kodein
yang lain didemetilasi menjadi norkodein inaktif yang dikonjugasi atau diekskresi tanpa
perubahan oleh ginjal. Kodein merupakan obat batuk yang efektif pada dosis 15 mg. Analgesia
maksimal, 60 mg kodein dapat dicapai setara dengan pemberian aspirin 650 mg. Pada
pemberian IM, 120 mg kodein sama dengan efek analgesic 10 mg morfin. Lebih sering, kodein
termasuk medikasi sebagai obat batuk atau dikombinasi dengan analgetik bukan opioid sebagai
tatalaksana nyeri ringan atau moderat. Kecenderungan timbulnya keteergantungan fisik pada
kodein lebih kecil daripada morfin dan timbul jarang sekali pada pemberian sebagai analgesik
oral. Kodein menghasilkan sedasi minimal, mual, muntah, dan konstipasi. Pusing dapat timbul
pada pasien rawat jalan. Meskipun diberikan dosis besar, kodein sepertinya tidak menyebabkan
henti napas. Pemeberian kodein IV tidak direkomendasikan karena dapat muncul hipotensi
yang diinduksi histamin.
Hidromorfin
Hidromorfin adalah tutunan morfin yang lima kali lebih poten daripada morfin tetapi
memiliki durasi kerja yang lebih pendek. Opioid ini lebih menyebabkan sedasi dan kurang
menimbulkan eforia daripada morfin. Karena eliminasi dan redistribusinya cepat, pemberian oral
setiap 4 jam diperlukan untuk menjaga konsentrsi yang adekuat dalam plasma untuk
menimbulkan analgesia. Hidromorfin adalah analgesia alternative selain morfin untuk
tatalaksana nyeri yang berat yang memiliki respons moderat terhadap opioid (Angst et al.,
2001). Obat ini memiliki durasi kerja medium dan kelarutan dalam air yang tinggi
memungkinkan pemberian lewat transmukosa hidung (Coda et al., 2003). Penggunaan dan
efek samping hidromorfin sama dengan morfin.
Oksimorfin
Oksimorfin adalah hasil dari penambahan gugus hidoksil pada hidromorfin. Memiliki
potensi 10 kali lipat morfin dan dapat menyebabkan mual dan muntah. Kemungkinan
ketergantungan fisik besar. Pemberian oral (pelepasan intermediet) membuat tercpainya
konsentrasi maksimum plasma dalam 0,5 jam dengan onset cepat efek analgesia (Gimbel dan
Ahdieh, 2004).
Oksikodon
Pemberian oral dengan penundaan pelepasan (OxyContin@, Percocet@, Percodan@)
membuat konsentrasi dalam plasma stabil pada tatalaksana nyeri sedang hingga berat.
Potensial penyalahgunaan termasuk merusakkan (membuat menjadi bubuk) untuk pemberian
IV atau intranasal untuk mendapatkan efek opioid yang cepat dan lebih kuat.
Hidrokodon
Hidrokodon tersedia dalam sediaan oral (Vicodan@) sebagai tatalaksana untuk nyeri
yang berat. Potensial penyalahgunaan tinggi pada pasien yang ditatalaksana dengan
hidrokodon.
Metadon
Metadon adalah agonis opioid sintetik yang menghasilkan analgesia pada sindrom nyeri
kronik dan efektifitasnya yang tinggi pada pemberian oral (Gambar 3-32). Absorpsi yang efisien
melalui oral, onset kerja yang cepat, dan durasi kerja yangpanjang dari metadon membuatnya
menarik untuk menekan gejala putus obat pada orang dengan ketergantungan fisik seperti pada
pecandu heroin.
Gejala Putus Obat Opioid
Metadon dapat menggantikan kecanduan morfin dengan dosis seperempatnya. Gejala
putus obat opioid yang dikontrol dengan metadon menjadi lebih ringan dan tidak akut. Metadon
20 mn IV menghasilkan analgesia pasca operasi selama >24 jam, merefleksikan perpanjangan
eliminasi waktu paruh (35 jam). Obat ini dimetabolisme di hati menjadi substansi inaktif yang
diekskresi melaui urin dan empedu dengan jumlah sedikit obat yang tidak diubah.
Efek samping dari metadon (depresi pernapasan, miosis, konstipasi, spasme saluran
bilier) menyerupai morfin. Efek sedatif dan eforia lebih kecil dibandingkan dengan morfin.
Metadon lebih sedikit menyebabkan miosis daripada morfin, dan kecanduan menyebabkan
toleransi penuh terhadap kerja ini.
Tatalaksana Nyeri Kronis
Metadon digunakan sebagai formulasi alternative pelepasan lambat pada tatalaksana
nyeri kronis karena memiliki potensial penyalahgunaan yang rendah. Sebagai tambahan,
antagonis reseptor NMDA dapat berguna pada tatalaksana nyeri neuropati dan meminimalkan
timbulnya toleransi. Kekurangan yang mendasar pada penggunaan metadon untuk tatalaksana
nyeri kronis adalah efek yang memanjang waktu paruh yang tidak dapat diperkirakan. Ketika
metadon diberikan lebih dari sekali perhari, seperti yang biasa diberikan pad tatalaksana
sindrom nyeri kronis, obat akan terakumulasi dan dihubugnkan dengan depresi pernapasan
(Fishman et al., 2002). Untuk alasan ini, formulasi lepas lambat (osikodon) lebih dipilih daripada
metadon untuk tatalaksana pasien rawat jalan pasca operasi (Wilson, 2002)
Propoksifen
Secara struktur, propoksifen mirip dengan metadon dan terikat pada reseptor opioid
yang direfleksikan sebagai antagonis efek farmakologis dari nalokson (Gambar 3-33). Dosis
oral 90 hingga 120 mg dari propoksifen menghasilkan analgesia dan efek SSP yang mirip
dengan efek yang ditimbulkan 60 mg kodein dan 650 mg aspirin. Satu-satunya penggunaan
klinis dari propoksifen adalah pada tatalaksana nyeri ringan sampai sedang yang tidak dapat
dihilangkan dengan aspirin. Propoksifen tidak memiliki efek antipiretik atau anti inflamasi, dan
efek anti batuk yang tidak signifikan.
Propoksifen diabsorpsi seluruhnya seelah pemberian oral, tetapi karena metabolism
jalur pertama hati yang ekstensif (demetilasi menjadi norpropoksifen); efek sistemiknya
menurun drastis. Waktu paruh eliminasi setelah pemberian oral berlangsung selama 14,5 jam.
Efek smaping yang paling umum terjadi adalah vertigo, sedasi, mual, dan muntah. Propoksifen
potensinya sepertiga dari kodein dalam mendepresi pernapasan. Dosis berlebih, dipersulit
dengan adanya kejang dan depresi pernapasan.
Penghentian mendadak pada penggunaan propoksifen kronis menyebabkan sindrom
putus obat yang ringan. Insiden penyalahgunaan propoksifen mirip dengan kodein. Pemberian
obat melalui IV menimbulkan kerusakan berat pada vena dan membatasi penyalahgunaan obat
dengan cara ini. Pemberian propoksifen dikombinasikan dengan alkohol dan depresan SSP lain
akan menghasilkan depresi pernapasan yang berat.
Tramadol
Tramadol adalah analgesik yang bekerja secara sentral dan memiliki afinitas moderat
terhadap reseptor mu dan lemah terhadap kappa dan delta, namun 5 sampai 10 kali kurang
poten dibandingkan morfin sebagai analgesik. (Budd dan Landlord, 1999). Sebagai tambahan
terhadap efek agonis opioid mu, tramadol meningkatkan fungsi dari penghambatan jalur spinal
desending dengan menginhibisi ambilan neuronal dari norepinefrin dan 5-hidroksitriptamin
(serotonin) seperti stimulasi presinaptik dari pelepasan 5-hidroksitriptamin. Pada sukarelawan,
kerja antagonis nalokson hanya 30% dari efek tramadol (Collart et al., 1993)
Tramadol adalah camuran rasemik dari dua enantiomer, salah satunya
bertanggungjawab menginhibisi ambilan norepinefrin, sementara yang lain bertanggungjawab
menginhibisi ambilan ulang 5-hidroksitriptamin dan memfasilitasi pelepasannya, ditambah kerja
obat ini pada reseptor mu. Dalam hal ini, tramadol dapat menjadi pengecualian dari argument
yang menyatakan bahwa campuran chiral seharusnya ditinggalkan ketika teknologi telah
menyediakan satu isomer murni (Calvey, 1992). Sebagai contoh, analgesia yang dihasilkan
oleh tramadol tanpa adanya depresi pernapasan dan potensial yang rendah terjadinya toleransi,
ketergantungan ,dan penyalahgunaan akan menghasilkan komplemen dan interaksi sinergestik
antinosireseptor dari dua enentiomer. Tramadol dimetabolisme oleh sistem enzim hepatik P-450
menjadi metabolit O-desmetiltramadol, yang juga menghasilkan efek analgesik stereoselektif
yang ringan.
Tramadol 3 mg/kg secara oral, IM, atau IV efektif untuk menatalaksana nyeri sedang
hingga berat. Penurunan yang bermakna pada menggigil pasca operasi ditemukan pada pasien
yang diterapi dan efek depresi napas juga minimal (Nieuwenhujis et al., 2001). Tramadol
mengosongkan lambung dengan lambat meskipun efeknya kecil dibandingkan dengan opioid
lain (Crighton et al., 1998). Tramadol berguna untuk tatalaksana nyeri kronik karena tidak
menyebabkan toleransi atau kecanduan dan tidak berhubungan dengan toksisitas organ mayor
atau efek sedative yang signifikan. Obat ini berguna pada pasien yang tidak toleran terhadap
NSAID. Kekurangan dari tramadol adalah interaksinya dengan antikoagulan Coumadin (tidak
semua lapuran menyebutkan interaksi ini) dan timbulnya kejang yang diinduksi oleh obat
(hindari penggunaannya pada pasien dengan epilepsy atau pada pasien yang sebelumnya
diterapi dengan obat yang menurunkan ambang kejang seperti antidepresan) (Budd dan
Langford, 1999; Khan et al., 1997). Kekurangan lain pada penggunaan perioperatif adalah
penggunaan obatini sebagai analgesik adalah tingginya insiden yang berkaitan dengan mual
dan muntah. Ondansetron dapat mengganggu komponen analgesik dari tramadol yang
berkaitan dengan efek pada ambilan ulang dan pelepasn 5- hidroksitriptamin.
Heroin
Heroin (diasetilmorfin) adalah opioid sintetik yang dihasilkan dari asetilasi morfin. Pada
pemberian parenteral, kerja heroin sangat berbeda dengan morfin. Sebagai contoh, terdapat
penetrasi cepat oleh heroin ke dalam otak, heroin ini dihidrolisasi menjadi metabolit aktif
monoasetilmorfin dan morfin. Cara masuk yang cepat dan unik ke dalam SSP ini disebabkan
kelarutan heroin dalam lemak dan struktur kimia dari heroin. Dibandingkan dengan morfin,
heroin parenteral memiliki (a) onset yang lebih cepat, (b) tidak memiliki efek mual, (c) memiliki
potensial yang lebih besar menimbulkan ketergantungan fisik. Pengaruh yang besar terhadap
ketergantungan fisik menyebabkan heroin tidak lagi legal di Amerika Serikat (Angell, 1984;
Mondzac, 1984).
AGONIS-ANTAGONIS OPIOID
Agonis- antagonis opioid termasuk, namun tidak terbatas pada pentazisin, butorfanol,
nalbufin,buprenorfin, nalorfin, bremazosin, dan dezosin (Gambar 3-34). Obat ini terikat pada
reseptor mu, menghasilkan respons terbatas (agonis parsial) atau tidak ada efek (antagonis
kompetitif). Sebagai tambahan, obat ini sering menimbulkan kerja agonis parsial pada reseptor
lain, termasuk reseptor kappa dan delta. Bagian antagonis dari obat ini dapat menurunkan kerja
dari agonis opioid. Efek samping ini mirip pada agonis opioid dan obat ini dapat menyebabkan
reaksi disforik. Keuntungan dari agonis-antagonis opioid adalah kemampuan menghasilkan
analgesia dengan depresi pernapasan yang terbatas dan berpotensi rendah menimbuklan
ketergantungan fisik. Lebih jauh lagi, obat ini memiliki efek ceiling yang dapat meningkatkan
dosis tanpa respons tambahan. Efek ceiling pada depresi pernapasan sering disertai
olehkemampuan menurunkan kebutuhan anestetik. Secara umum, obat agonis-antagonis harus
diberikan pada pasien yang tidak dapat mentoleransi agonis murni.
Pentazosin
Pentazosin adalah turunan benzomorfan yang memiliki kerja agonis opioid yang sama
lemahnya dengan kerja antagonis. Hal ini benar untuk menimbulkan efek agonis pada reseptor
delta dan kappa. Aktivitas antaginis opioid lemah, potensinya hanya seperlima dari nalorfin.
Meskipun begitu, efek antagonis dari pentazosin cukup untuk mengatasi gejala putus obat pada
pasien yang biasanya diberikan opioid. Efek agonis pentazosin diantagoniskan oleh nalokson.
Ketergantungan fisik terhadap pentazosin dapat didemonstrasikan dengan diatasinya gejala
putus obat oleh nalokson.
Farmakokinetik
Pentazosin diabsopsi dengan baik pada pemberian oral atau parenteral. Metabolisme
jalur pertama hepatic cukup besar, dengan hanya 20% dosis oral yang masuk ke sirkulasi.
Metabolisme pentazosin timbul dari oksidasi gugus terminal metal, dan menghasilkan
glukoronida terkonjugasi inaktif yang diekskresi ke urin. Perkiraan 5% hingga 25% dari dosis
pentazosin yang diberikan, diekskresi tanpa perubahan di urin, dan < 2% diekskresi di empedu.
Waktu paruh eliminasi sekitar 2 sampai 3 jam.
Penggunaan Klinis
Pentazosin 10 hingga 30 mg IV atau 50 mg oral, digunakan paling banyak untuk
mengatasi nyeri yang moderat. Dosis oral 50 mg setara dengan potensi analgesik 60 mg
kodein. Pentazosin berguna pada tatalaksana nyeri kronik saat ada resiko tinggi menyebabkan
ketergantungan fisik. PEnempatan obat di ruang epidural menyebabkan onset cepat analgesia
yang memiliki durasi yang lebih pendek dibandingkan morfin.
Efek Samping
Efek samping yang sering pada pentazosin adalah sedasi, yang diikuti diaphoresis dan
pusing. Sedasi timbul setelah pemberian pentazosin epidural, kemungkinan merefleksikan
aktivasi reseptor kappa. Mual dan muntah lebih jarang terjadi dibandingkan morfin. Disforia,
termasuk ketakuan akan kematian dikaitkan dengan tingginya dosis pentazosin. Tendensi
terjadinya disforia membatasi liabilitas ketergantungan fisik dari pentazosin. Pentazosin
memproduksi peningkatan konsentrasi katekolamin dalam plasma, yang dapat meningkatkan
frekuensi nadi, tekanan darah sistemik, tekanan darah arteri pulmoner, dan tekanan diastolic
akhir ventrikel kiri. Pentazosin, 20 sampai 30 mg IM, menghasilkan analgesia, sedasi, dan
depresi pernapasan sama dengan 10 mg morfin. Peningkatan dosis IM di atas 30 mg tidak
menimbulkam peningkatan propionate pada respons ini. Peningkatan tekanan pada saluran
bilier timbul lebih kecil dibandingkan morfin, meperidin, atau fentanil pada dosis yang ekivalen
(Radnay et al., 1980). Pentazosin melewati plasenta dan dapat menyebabkan depresi fetus.
Berbeda dengan morfin, miosis tidak timbul pada pembeian pentazosin.
Butorfanol
Butorfanol adalah opioid agonis-antagonis yang mirip dengan pentazosin. Dibandingkan
dengan pentazosin, efek agonisnya 20 kali lebih besar, sementara efek antagonisnya 10
sampai 30 kali lebih besar. Terdapat spekulasi bahwa butorfanol memiliki (a) afinitas yang
rendah pada reseptor mu untuk menghasilkan efek antagonis, (b) afinitas moderat pada
reseptor kappa menghasilkan analgesia dan efk anti menggigil, dan (c) afinitas minimal pada
reseptor sigma, sehingga insiden disforia menjadi rendah.
Butorfanol diabsorpsi dengan cepat dan hampir sempurna pada pemberian IM. Pad
pasien pasca operasi, 2 sampai 3 mg IM menghasilkan analgesia dan depresi pernapasan yang
mirip dengan 10 mg morfin. Butorfanol intra nasal digunakan untuk menatalaksana nyeri pasca
operasi dan nyeri migraine. Penggunaan butorfanol pada saat operas dibatasi, sama dengan
pentazosin. Waktu paruh eliminasi butorfanol adalah 2,5 sampai 3,5 jam. Metabolisme
butorfanol pada dasarnya membuat hidroksibutorfanol yang inaktif, yang dieliminasi sebagian
besar di empedu dan sebagian kecil diekskresi melalui urin.
Efek Samping
Efek samping yang sering pada butorfanol meliputi sedasi, mual, dan diaphoresis.
Disforia, dilaporkan sering terjadi pada penggunaan agonis-antagonis opioid lain, menjadi
jarang setelah penggunaan butorfanol. Depresi pernapasan mirip dengan yang dihasilkan
morfin pada dosis yang sama. Seperti pentazosin, dosis analgesik dari butorfanol meningkatkan
tekanan darah sistemik, tekanan darah arteri pulmoner, dan keluaran jantung. Mirip dengan
pentazosin, efek dari butorfanol pada sistem bilier dan pencernaan lebih ringan daripada yang
dihasilkan morfin. Mungkin sulit untuk menggunakan agonis opioid seefektif analgesik pada
butorfanol atau agonis opioid lain untuk medikasi preoperatif. Gejala putus obat dapat muncul
setelah penghentian terapi kronik dengan butorfanol, namun gejala yang timbul tidak berat.
Nalbufin
Nalbufin adalah opioid agonis antagonis yang berhubungan secara kimiawai dengan
oksimorfon dan nalokson. Terdapat potensi analgesik yang seimbang dengan morfin, dan
sebagai antagonis, potensinya seperempat kali dari nalorfin. Nalbufin dimetabolisme di hati dan
eliminasi waktu paru sekitar 3 sampai 6 jam. Nalokson membalikkan efek agonis dari nalbufin.
Nalbufin, 10 mg IM, menghasilkan analgesia dengan onset dari efek yang timbul dan durasi
kerja yang mirip dengan morfin. Depresi pernapasan mirip dengan morfin, sampai 30 mg IM
nalbumin, setelah itu tidak muncul depresi ventilasi yang lebih berat lagi (efek ceiling) (Gal et
al., 1982). Sedasi merupakan efek samping yang paling sering terjadi, muncul pada sepertiga
pasien yang diterapi dengan nalbufin. Insiden dari disforia lebih sedikit daripada pentazosin
atau butorfanol tetapi secara kualitatatif sma dan frekuensinya meningkat seiring peningkatan
dosis nalbufin. Berbeda dengan pentazosin dan butorfanol, nalbufin tidak meningkatkan
tekanan darah sistemik, tekanan darah arteri pulmoner, frekuensi nadi, dan tekanan pengisian
arteri. Untuk alasan ini, nalbufin dapat berguna untuk menghasilkan sedasi dan analgesia pada
pasien dengan penyakit jantung, saat dilakukan kateterisasi jantung. Penghentian nalbufin tiba-
tiba setelah pemberian kronik menyebabkan timbulnya gejala putus obat yang lebih ringan
dibandingkan morfin dan lebih berat dibandingkan pentazosin. Potensial penyalahgunaan
nalbufin rendah.
Efek antagonis dari nalbufin dispekulasikan muncul pada reseptor mu. Sebagai hasilnya,
penggunaan nalbufin sebagai obat yang mirip dengan morfin pada anesthesia setelah medikasi
preoperative tidak menghsilkan efek analgesia yang adekuat. Sepertinya, kekurangan agonis
opioid untuk menghasilkan analgesia dapat dibantu dengan pemberian nalbufin yang
sebelumnya telah diberikan dan tidak adekuat dalam mengontrol nyeri pasca operasi.
Sebaliknya, efek antagonis dari nalbufin pada reseptor mu dapat menjadi keuntungan pada
periode pasca operatif untuk membalik efek depresi pernapasan dari agonis opioid sementara
masih menjaga efek analgesia (Bailey et al., 1987). Bukti hipoventilasi rekuren sering muncul 2
sampai 3 jam setelah pemberian nalbufin untuk melawan efek fentanil.
Buprenorfin
Buprenorfin adalah opioid agonis-antagonis yang diturunkan dari opium alkaloid thebain.
Potensi analgesiknya besar, dengan 0,3 mg IM setara dengan 10 mg morfin. Setelah
pemberian IM, onset effek buprenorfin timbul dalam waktu 30 menit, dan durasi kerjanya
setidaknya 8 jam. Dapat diperkirakan bahwa afinitas buprenorfin pada reseptor mu 50 kali lebih
besar daripada morfin, dan disosiasi lambat dari teresporini menyebakan pemabjangan durasi
kerja dan resietensi terhadap efek antagonis dari nalokson. Setelah pemebrian IM, hampir dua
pertiga dari obat muncul dalam bentuk yang tidak berubah di empedu dan sisanya diekskresi di
urin sebagai metabolit inaktif.
Buprenorfin efektif dalam menghilangkan nyeri sdang hingga berat seperti pada pasca
opersi dan dikaitkan dengan kanker, kolik renalis, dan infark miokardial. Bila ditempatkan di
ruang epidural, kelarutan yang tinggi dalm lemak (lima kali lebih larut daripada morfin) dan
afinitas terhadap reseptor opioid membatsi penyebarab kearah cranial dan sepertinya terjadi
perlambatan timbulnya depresi pernapasan (Lanz et al., 1984). Efek antagonis buprnorfin
merefleksikan kemampuan obat ini melepaskan agonis opioid dari reseptor mu.
Efek Samping
Efek samping buprenorfin meliputi efek tenggelam, mual, muntah, dan depresi
pernapasan dengan kekuatan yang sama besar dengan efek samping yang ditimbulkan morfin
tetapi dapat memanjang dan resisten terhadap efek antagonis dari nalokson. Edema paru dapat
ditemukan setelah pemberian buprenorfin (Gould, 1995). Sedangkan pada opioid agonis-
antagonis lain, disforia jarang muncul dalam kaitannya dengan pemberian obat. Karena sifat
antagonisnya, buprenorfin dapat mengatasi efek putus obat pada pasien yang mengalami
ketergantungan fisik pada morfin. Sebaliknya, gejala putus obat pada pasien yang mengalami
ketergantungan fisik terhadap buprenorfin perkembangannya lambat dan intensitasnya lebih
rendah dibandingkan pada morfin. Gejala putus obat pada buprenorfin mirip dengan opioid
agonis-antagonis lain, dan resiko penyalagunaannya rendah.
Nalorfin
Nalorfin memiliki potensi yang sama dengan morfin dalam hal analgesik tetapi secara
klinis tidak berguna karena insiden disforianya tinggi. Tingginya insiden disforia merefleksikan
aktifitas obat ini pada reseptor sigma. Kerja antagonis nalorfin merefleksikan kemampuannya
melepaskan agonis opioid dari reseptor mu.
Bremazosin
Bremazocin adalah turunan benzomorfan yang potensinya dua kali lipat daripada morfin
sebagai analgesic, tetapi pada binatang, tidak menimbulkan depresi pernapasan atau bukti
adanya ketergantungan fisik. Diperkirakan bahwa bremazosin berinteraksi selektif dengan
reseptor kappa. Kegagalan nalokson untuk membalikan efek sedasi yang dihasilkan
bremazosin merupakan bukti lebih lanjut dari kerja obat ini pada reseptor lain selain reseptor
mu.
Decozin
Decozin 0,15 mg/kg IM, merupakan opioid agonis-antagonis dengan potensi, onset,
dandurasi kerja analgesik untuk menghilangkan nyeri pasca operasi sebanding dengan morfin.
Absorpsi decozin, 10 sampai 15 mg, setelah pemberian IM cepat dan sempurna, analgesia
timbul setelah 30 menit. Setelah pemberian IV, 5 sampai 10 mg, onset analgesia timbul dalam
waktu 15 menit. Eliminasi decozin pada dasarnya melalui urin sebagai konjugat glukoronida.
Seperti opioid agonis-antagonis lain, decozin memiliki efek ceiling pada depresi pernapasn yang
pararel dengan aktivitas analgesik (Gal dn DiFazio, 1984). Dosis yang besar pada pemberian
decozin IV atau pada manusia tidak menghasilkan perubahan yang signifikan pada tekanan
darah sistemik, tekanan arteri pulmoner, atau keluaran jantung.
Decozin memiliki afinitas yang tinggi pada reseptor mu dan afinitas yang moderat pada
reseptor delta. Interaksi pada reseptor delta memfasilitasi efek dari aktivitas agonis pada
reseptor mu. Insiden terjadinya disforia minimal setelah pemberian decozin, kemingkinan
merefleksikan afinitas yang rendah dari obat ini terhadap reseptor sigma.
Meptazinol
Meptazinol merupakan agonis parsial opioid dengan reseptor mu1 yang relatif selektif.
Sebagai hasilnya depresi pernapasan tidak muncul pada dosis analgesia dari meptazinol (100
mg IM yang ekuivalen dengan morfin, 8 mg IM). Onset dari timbulnya analgesia cepat, namun
durasi kerjanya < 2 jam. Bioavailabilitas setelah pemberian oral adalah < 10%. Metabolisme ini
membuat konjugat glukoronida menjadi inaktif yang diekskresi melalui ginjal. Protein yang
terikat sekitar 20% sampai 25% dan waktu paruh eliminasi sekitar 2 jam. Ketergantungan fisik
tidak muncul, miosis dapat terjadi tetapi ringan, dan konstipasi tidak ditemukan. Mual dan
muntah merupakan efek smaping yang sering terjadi. Meptazinol tidak dapat menggantikan
sebagai agonis opioid pada pasien dengan ketergantungan fisik.
OPIOID ANTAGONIS
Perubahan minor pada struktur agonis opioid dapat merubah obat menjadi opioid
antagonis pada satu atau beberapa tempat reseptor opioid (Gambar 3-35) (Glass et al., 1994).
Perubahan yang paling sering terjadi adalah substitusi gugus metil menjadi gugus alkil pada
agonis opioid. Sebagai contoh, nalokson adalah N-alkil turunan dari oksikorfon (Gambar 3-34).
Nalokson, naltrekson, dan nalmefen adalah reseptor opioid murni mu tanpa aktivitas
agonis. Antagonis ini menggantikan tempat nalorfin dan levorfanol, yang memiliki aktivitas
opioid agonis sebaik antagonis. Afinitas yang tinggi pada reseptor opioid adalah karakteristik
antagonis opioid murni yang menghasilkan penggantian tempat agonis opioid dari reseptor mu.
Setelah terjadi pergantian tempat, ikatan dengan antagonis murni menyebabkan tidak aktifnya
reseptor mu dan munculnya antagonis.
Nalokson
Nalokson adalah antagonis non selektif pad ketiga reseptor opioid. Nalokson selektif
saat digunakan untuk (a) menatalaksana depresi pernapasan yang diinduksi opioid yang
muncul pasca operasi, (b) menatalaksana depresi pernapasan pada neonatus karena
pemberian opioid pad ibunya, (c) memfasilitasi tatalaksana deliberasi overdosis opioid, dan (d)
mendeteksi kecurigaan ketergantungan fisik. Nalokson, 1 sampai 4 μg/kg IV membalikkan efek
depresi [pernapasan dan analgesia yang ditimbulkan opioid. Durasi kerja yang pendek dari
nalokson (30 sampai 45 menit) kemungkinan bertujuan untuk memindahkan obat dari otak
dengan dalam waktu singkat. Pemberian dosis tambahan dari nalokson akan menjadi penting
dilakukan untuk menurunkan efek antagonis dari agonis opioid. Dalam hal ini infus
berkelanjutan dari nalokson, 5 μg/kg/jam, mencegah depresi pernapasan tanpa mengubah efek
analgesia dari opioid neuroaksial (Rawal et al., 1986)
Nalokson dimetabolisme terutama di hati dengan berkonjugasi dengan asam glukoronat
untuk membentuk nalokson-3-glukoronida. Waktu paruh eliminasi adalah 60 sampai 90 menit.
Nalokson diabsorpsi secara oral, namun metabolism jalur pertama hati membuat hanya
seperlima yang potensinya sama dengan pemberian parenteral.
Efek Samping
Antagonis dari depresi pernapasan yang diinduksi opioid disertai oleh pembalikkan efek
analgesia. Hal ini dimungkinkan karena titrasi dosis nalokson pada depresi pernapasan adalah
secara parsial namun penerimaan antaginis juga menyebabkan analgesia juga menjadi parsial.
Mual dan muntah muncul terkait dengan dosis dan kecepatan penyuntikan dari
nalokson. Pemeberian nalokson secara lambat kira-kira 2 sampai 3 menit menurunkan insiden
mual muntah daripada saat pemberian bolus. Kesadaran timbul sebelum atau dengan
rangsangan muntah yang memastikan refleks proteksi jalan napas atas pasien telah kembali
dan meminimalkan terjadinya aspirasi paru.
Stimulasi kardiovaskuler setelah pemberian nalokson bermanifestasi sebagai
peningkatan aktivitas system saraf simpatik, kemungkinan merefleksikan pembalikkan
analgesia dan persepsi nyeri yang mendadak. Hal ini meningkatkan aktivitas sistem saraf
simpatik yang bermanifestasi sebagai takikardi, hipertensi, edema paru, dan disritmia jantung
(Partidge dan Ward, 1986). Meskipun fibrilasi ventrikel muncul setelah pemberian nalokson IV
dan dikaitkan dengan peningkatan mendadak pada aktivitas sistemsarf simpatik (Andree,
1980).
Nalokson dapat dengan mudah melintasi plasenta. Untuk alasan ini, pemberian
nalokson pada neonatus dengan ketergantungan opioid dapat menimbulkan gejala akut putus
obat.
Aturan dalam Tatalaksana Syok
Maloksonmenmbuat kontraktilitas jantung meningkat dan peningkatan daya hidup
hewan yang mengalami syok hipovolemik dan pada beberapa subjek dengan syok septik
berkaitan dengan dosis (Faden, 1984). Efek yang menguntungkan dari nalokson pada
tatalaksana syok timbul hanya pada dosis > 1 mg/kg IV, diperkirakan bahwa efek
menguntungkan dari obat ini bukan dimediasi reseptor opioid atau dengan kata lain, dimediasi
reseptor opiid selain reseptor mu. Kemungkinan respetor delta dan kappa.
Antagonis Anestesia Umum
Observasi nalokson dengan dosis tinggi mengantagonis efek depresan dari anestetik
inhalasi yang menunjukkan aktivasi sistem kolinergik di otak yang diinduksi obat, yang
independen terhadap interaksi degan reseptor opioid (Kraynack dan Gintautas, 1982). Peranan
endorphin pada anestesia umum tidak didukung oleh data demonstrasi kegagalan nalokson
mengubah kebutuhan anestetik (MAC) pada hewan.
Naltrekson
Naltrekson berbeda dengan nalokson, yang efektifitasnya tinggi pada pemberian oral,
menjaga antagonisme pada efek opioid agonis selama 24 jam.
Nalmefen
Nalmefen adalah opioid murni antagonis yang 6-metilen analog dari naltrekson (Gambar
3-35) (Dougherty et al., 2000). Nalmefen ekuipoten terhadap nalokson. Dosis rekomendasinya
15 sampai 25 μg IV setiap 2 sampai 5 menit sampai efek yang diinginkan didapatkan, dengan
dosis total tidak melebihi 1μg/kg (Abramowicz, 1995). Pemberian profilaksis dari nalmefen
secara signifikan menurunkan kebutuhan antiemetik dan antipruritus pada pasein yang
mendapat analgesia intravena dengan morfin (Joshi et al., 1999). Keuntungan utama dari
nalmefen atas nalokson adalah durasi kerja yang lebih lama, yang menyediakan derajat
proteksi yang tinggi terhadap penundaan depresi pernapasan karena efek residual dari opioid
sebagai antagonis sudah dibersihkan. Dibandingkan dengan waktu paruh eliminasi yang
singkat dari nalokson, waktu paruh nalmefen sekitar 10,8 jam. Durasi kerja yang memanjang ini
berhubungan dengan bersihan yang memendek pada nalmefen dibandingkan dengan
nalokson. Nalmefen dimetabolisme dengan konjugai hati dengan 5% diekresi oleh urin tanpa
perubahan. Seperti nalokson,dapat timbul edema paru akut setelah pemberian IV dari nalmefen
(Henderson dan Reynolds, 1997)
Metilnaltrekson
Metilnaltrekson adalah bagian dari reseptor opioid antagonis. Bagian gugus metal yang
sangat terionisasi membatasi transfer metilnaltrekson melewati sawar darah otak. Sebagai
hasilnya, metilnaltrekson lebih aktif di perifer daripada di reseptor opioid sentral, seperti
ditunjukkan kegagalan penetrasi SSP untuk menimbulkan gejala putus obat pada hewan
dengan ketergantungan morfin.
Pada manusia, metilnaltrekson menyebabkan perubahan waktu pengosongan lambung
danmenurunkan insiden mual (Murphy et al., 1997). Mual yang diinduksi morfin dapat
dikerenakan antagonism pada morfin di zona pemicu kemoreseptor (berlokasi di luar sawar
darah otak) atau melewati batas dari penundaan pengosongan lambung yang itu sendiri
menyebabkan mual. Kemungkinan metilnaltrekson mencegah efek yang tidak diinginkan dari
opioid pada pengosongan lambung dan kemungkinan muntah tanpa perubahan sentra yang
dimediasi analgesia.
KEBUTUHAN ANESTETIK
Kontribusi opioid pada kebutuhan anestetik total dapat dihiting dengan menentukan
peurunan MAC pada anestetik volatile dengan keberadaan opioid. Pada hewan, morfin
menurunkan MAC dari anestetik volatile dengan tergantung dosis, tetapi tampaknya ada efek
ceiling pada kemampuan bersaing anestetik pada morfin dengan plato pada 65% MAC (Steffey
et al., 1993). Dosis tunggal fentanil 3μg/kg IV 25 sampai30 menit sebelum insisi kulit,
menurunkan MAC isofluran atau desfluran sekitar 50% (SEebel et al., 1992). Pada hewan,
sufentanil menurunkan MAC enfluran 70% sampai 90% (Gambar 3-36) (Hall et al., 1987). Pada
pasien , konsentrasi sufentanil dalam plasma 0,145 ng/mL menghasilkan menurunan MAC
isofluran 50%, sedangkan konsentrasi sufentanil plasma >0,5 ng/mL menimbulkan efek ceiling
(Brunner et al., 1994; Schwartz et al., 1994). Dengan opioid lain, alfentanil diberiakan pada
hewan menyebabkan penurunan MAC sampai dicapai plato 70% penurunan MAC. Penurunan
MAC oleh remifentanil mirip dengan pemebrian opioid lain dengan interval antara 50% hingga
91%, tergantung konsentrasinya dalam plasma (Lang et al., 1996). Data ini menyebabkan
keraguan pad kemampuan opioid agonis menyediakan amnesia total pada setiap pasien,
meskipun pad dosis tinggi.
Opioid agonis-antagonis kurang efektif daripada opioid agonis dengan penurunan MAC.
Sebagai contoh, butorfanol, nalbufin, dan pentazosin menurunkan secara maksimal MAC 11%,
8%, dan 20%, meskipun ketika dosis obat ini meningkat 40 kali lipat (Murphy dan Hug, 1982).
Efek ceiling pada MAC pararel dengan efek ceilingpada depresi pernapasan dan konsisten
dengan gambaran klinis bahwa dosis besar dari opioid agonis-antagonis tidak menyebabkan
hilangnya kesadaran atau mencegah pergerakan pasien sebagai respons nyeri. Untuk alasan
ini, penggunaan dosis besar dari opioid agonis-antagonis untuk analgesia tidak terlihat logis.