karya maligia ida cokorda malkangin

Upload: sagung-diah-permanasari

Post on 30-Oct-2015

211 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Sejarah Puri Gede Kamasan Tabanan.Berawal dari Ida Cokorda MalkanginSumber kutipan : PHDI

TRANSCRIPT

KARYA MALIGIA IDA COKORDA MALKANGINAkan dilaksanakan sekitar bulan desember 2013 di Puri Kamasan Tabanan.

MENYUCIKAN SUKSMA SARIRA

Maligia Pungel merupakan upacara tahap kedua setelah ngaben atau pelebon yang memiliki makna untuk menyucikan suksma sarira. Hakikat dari upacara Maligia itu adalah menyucikan badan halus (suksma sarira) dari kotoran berbagai keinginan. Keinginan-keinginan itu disucikan agar menjadi satu, yakni bersatu kepada Tuhan.

Ditambahkan, jika dalam upacara ngaben bertujuan untuk menyucikan wadah manusia atau badan kasar (stula sarira) yang terdiri atas unsur panca mahabuta, maka waktu Maligia menyucikan suksma sarira atau badan halus.

Dipaparkan Maligia Pungel merupakan merupakan tingkatan madyaning utama dalam upacara nyekah atau memukur. Sedangkan untuk utamaning utama adalah upacara ngaluwer, menurut catatan belum ada yang mampu melaksanakan ngaluwer, karena upacara ngaluwer harus dilaksanakan dengan tulus ikhlas. Apapun permintaan orang pada saat upacara harus dipenuhi.

Selain itu juga karena di Bali berlaku sistem tatanan masyarakat yang pengaturannya ditentukan oleh raja menyangkut siapa saja yang boleh dan bisa melaksanakan karya ngaluwer. Padahal berdasarkan sastra, siapapun boleh melaksanakan karya ngaluwer. Padahal berdasarkan sastra, siapapun boleh melaksanakan karya ngaluwer asalkan mampu.

Suksma sarira ini digambarkan dalam untaian daun beringin yang jumlahnya 108 atau 33 lembar. Dipakainya bilangan itu karena 33 dianggap suci, sedangkan 108 yaitu bilangan tinggi. Jumlah daun beringin yang 33 itu disesuaikan dengan jumlah dewata. Sebelas dewata berstana di bhurloka, 11 dewata di buahloka, 11 dewata di swahloka.

Digunakannya pohon beringin karena diyakini mampu mengantarkan roh manusia mencapai alam surga. Ditambahkan dalam menawa dharma sastra 3 sloka 37 dan 38 disebutkan bila seorang keturunan berbuat baik dan berguna akan mampu meningkatkan kedudukan kesucian leluhur hingga sepuluh tingkat. Demikian pula kalau leluhur mendapatkan tempat yang baik, makan akan dapat mendirikan anugrah kepada keturunannya. Mampu tidaknya Sang Atma untuk bersatu dengan Ida Hyang Widhi Wasa tergantung karma wasana sang atma semasa hidup dan perbuatan sang keturunan. Untuk nama atau gelar setelah meninggal atma akan memiliki nama sesuai tingkatan upacara. Nilang baru meninggal dinamakan Sang Preta. Usai ngaben bernama Pitara, setelah memukur bergelar Dewa Pitara dan setelah ngelinggihin di kemulan disebut Batara Hyang Guru.

MENGGUNAKAN SARANA LEMBU PUTIH

Karya Maligia Pungel ini merupakan kelanjutan dari upacara pelebon. Tujuan Malia Pungel ini adalah untuk menyucikan lagi arwah (Atma) yang sudah melalui proses pengabenan untuk nantinya bisa naik ke swahloka (surga). Upacara maligia pungel dipuput oleh ida pedanda. Rangkaian prosesi upacara Maligia Pungel ini diawali dengan purwadaksina dimana puspa puspa lingga atau sarana perlengkapannya diusung berputar mengelilingi balai peyadnya sebanyak tiga kali. Dalam upacara purwadaksina ini digunakan seekor lembu putih (Sembilan lembu taro) yang juga berputar sebanyak tiga kali sebagai penuntun jalan. Upacara ini memiliki makna nedunan Ida Batara untuk mengangkat roh manusia naik ke alam surge dengan jalan mengikuti jejak lembu yang merupakan kendaraan dewa siwa. Diharapkan roh-roh itu mengikuti jejak batara siwa, untuk menuju swah loka.

Upacara dilanjutkan dengan ngebejian atau memohon air suci disalah satu sumber mata air. Lalu menstanakan puspa lingga di bukur dan upaca dilanjutkan dengan matiti mamah. Kemudian upacara dilanjutkan dengan prosesi ngaliwet yakni membuat tarpana atau sesaji berupa nasi liwet dan selanjutnya mapaduds yang bermakna penyucian atma. Sebagai simbolis Ida Pedanda mengangkay atma dari alam pitara ke dewa pitara dilakukan upacara mralina yang dilanjutkan dengan nunjel puspa lingka (membakar sekar).

Pagi ini dilaksanakan prosesi nganyut ke segara yakni ke pantai. Setelah itu upacara dilanjutkan mejejauman dan mecaru. Dalam upacara Maligia ditampilkan berbagai kesenian wali yang bermakna mengiri upacara yadnya yakni tetabuhan, topeng sidakarya. Ditampilkannya topeng sidakarya ini sebagai saksi upacara Maligia dan mupul yadnya.

Juga ditampilkan gamelan gong saron. Gong saron merupakan perpaduan gambang, angklung, gong gede, gong biasa, dan saron. Maknanya sebagai pengantar atma menunuju surga dan gending gong saron ini membuka jalan atma menuju surga. Dalam upacara maligia ini juga ditampilkan wayang lemah sudamala. Makna ditampilkannya wayang lemah ini agar sanak keluarga yang masih hidup mendoakan agar atma mendapat surga.

Upacara maligia akan dilanjutkan dengan nyegara gunung yang berisi meajar-ajar adalah meminta pengetahuan dan kekuatan pada Sang Hyang Widhi sehingga yang diupacarai menjadi guru. Agar menjadi bersih , segala hutang-hutangnya dan kekurangannya selama hidup diserahkan kepada keturunannya yang bernama upacara danakalepasan atau nilapati.Upacara ini untuk menghilangkan noda sang atma dan diambil oleh keturunannya yang di bali disebut maperas.

Nara Sumber : PHDI