ida bagus bajra

212
1 PURANA PURA DALEM BLAMBANGAN (SIBANG, ABIANSEMAL, BADUNG) PURANA PURA DALEM BLAMBANGAN, SIBANG, BADUNG IDA BAGUS BAJRA.YDK.BALI.03.2021

Upload: [email protected]

Post on 25-Jun-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

121

PURANA

PURA DALEM BLAMBANGAN

(SIBANG, ABIANSEMAL, BADUNG)

BAB I

PENDAHULUAN

Om awighnam astu namā śidyam.

Om prânamyam sirā sang widyam, bhukti bhukti hitartwatam, prêwaksyā tatwam widayah, wişņu wangsā pādāyā śiwanêm, sirā ghranā sitityam waknyam. Rajastryam mahā bhalam, sāwangsanirā mongjawam, bhupa-lakam, satyamloka.

Om namadewa yā.

Pānamaskaraning hulun, ri Bhatarā Hyang mami.

Om kara pangabali puspanam. Prajā pasyā. nugrah lakam, janowa papā wināsayā,

Dirgha premanaming sang ngadyut, sembahing ngulun ri Sanghyang Bhumi Patthi, hanugrahaneng hulun, muncaranākna ikang tatwa, mogha tan katamanan ulun hupadrawa, tan kêneng tulah pāmiddi, wastu pari purņā hanmu rahayu, Katkeng kulā warggā sāntanannirā, mamastu jagatitayā.

Sukham bhawantu Om purnam bhawantu, saptawredyastu Swaha.

Pengaksama kami kehadapan Bhatara Hyang Mami yang bergelar Omkara Hradaya Namah Swaha, Sunia Loka, Sida Loka Swara. Anugrahkanlah hamba atau ijinkan hamba menceritakan segala masa lalu yang telah tertulis dalam lepihan tembaga dan lontar yang sudah suci menyatu dengan Hyang Widhi, Om Bhur, Bwah, Swah semoga tidak berdosa, terikat usana, semoga tidak alpaka dari penciptaan Sang Hyang Purwa Tatwa, begitu juga dengan seketurunan hamba, bebaskanlah hamba dari alpaka kehadapan Ida Hyang Widhi, lara wigraha mala papa petaka, bisa terbebas dari kutukan Sang Hyang Widhi, membicarakan masa lalu, sekarang dan yang akan datang, juga menemukan kebahagiaan sekala niskala atau lahir bathin, anugrahkanlah hamba agar sempurna menemui panjang umur, kebahagiaan untuk keluarga dan alam semesta.

Karena sebuah rasa penuh tulus dan kecintaan terhadap alam, budaya serta kehidupan sosial masyarakat Hindu di Bali, berbekal keinginan mengabdi terhadap tanah kelahiran dilandasi dengan semangat bakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan para leluhur yang sudah menyatu di dalam rangkuman sinar suci Beliau, kami memberanikan diri meramu data-data yang ada didalam bentuk sebuah karya sastra yang sangat sederhana yang kami persembahkan sebagai yadnya kepada pembaca dan generasi penerus kita, agar bisa kelak dipakai sebagai bahan kajian dalam menyusun karya sastra yang lebih sempurna dikemudian hari. Segala macam bentuk ketidak sempurnaan dan kekurangan memenuhi kata demi kata dalam buku ini, sehingga dengan kerendahan hati kami memohon berbagai petunjuk dalam penyempurnaanya. Karena kami yakin dalam era global banyak hal yang harus bisa kita lakukan untuk menjawab berbagai pertanyaan jaman, diantaranya adalah sejarah yang akan membangun rasa cinta generasi terhadap tanah kelahiranya. Karena rasa cinta akan hadir apabila kita mengenal jati diri kita yang mencakup tentang berbagai pilosofi yang terkandung didalam kebiasaan kehidupan sosial budaya kita.

Pada intinya kami berusaha menyelaraskan berbagai dasar budaya keagamaan kita yang terdiri dari Kuna Dresta, Loka Dresta dan Sastra Dresta dalam sebuah kajian yang bisa menggugah kesadaran kita tentang pentingnya berbagai kearifan lokal yang didukung oleh sastra agama Hindu dalam menjaga Sradha umat beragama. Semoga kemudian kita dan generasi mendatang bisa melewati masa-masa kritis sebagai penjaga Agama dan budaya warisan leluhur kita dahulu, agar perjuangan dan usaha yang sudah dilakukan semenjak dahulu tidak hanya menjadi cerita usang yang semakin hilang, hanya karena ketidaktahuan kita terhadap perjuangan mereka dahulu. Kita adalah bagian dari masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang, sementara sejarah adalah sumber pengetahuan yang merupakan media untuk mengetahui masa lampau, yaitu mengetahui peristiwa-peristiwa penting pada masa lampau dengan perbagai permasalahannya. Peristiwa yang menjadi objek sejarah sarat dengan pengalaman penting manusia karena mampu membangkitkan imajinasi memperluas wawasan intelektual, memperdalam simpati, sebagai sarana ideal untuk mendidik masyarakat agar berpikir secara bebas, mengajarkan kepada masyarakat cara berfkir, meningkatkan kreatifitas dan memberikan pelajaran untuk mengenal dirinya sendiri. Sejarah juga menjadi sumber pendidikan penalaran, pendidikan moral, menciptakan kebijaksanaan, dasar pendidikan politik, perubahan, Pendidikan masa depan dan Sebagai ilmu bantu.

Buku ini kami susun dengan menerapkan metode yang kami sebut sebagai METODE SAMBUNG BATANG, sebuah metode yang menyambungkan berbagai data internal dan external dalam kelompok waktu atau fase, dimulai semenjak peradaban Bali awal hingga masa kini. Penyusunan buku ini dilandasi oleh kepekaan nurani dan logika yang diuji dengan data dan analisa mendalam tak terbatas oleh masyarakat, para Sejarahwan, Budayawan, dan para Akademis pada bidang yang terkait. Selama kurun waktu hamper 1 tahun buku ini melewati berbagai perbaikan sampai akhirnya disepakati menjadi sebuah karya tulis yang layak dikonsumsi oleh khalayak, khususnya masyarakat Peletan Dalem Blambangan, sebagai bukti nyata bentuk bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan cara yang berbeda dari biasanya. Semoga pikiran jernih datang dari segala penjuru.

DIAWALI DENGAN DATA

DIUJI DENGAN FAKTA

DINILAI DENGAN RASA

BAB II

MASA PRA AKSARA

Wilayah Sibang tidak bisa dipisahkan dengan sejarah Kuna, karena Sibang sebelum menjadi sebuah desa yang tertata dengan baik, masih merupakan daerah hutan tropis yang berstruktur tanah sangat subur. Dengan sumber air yang melimpah menjadikan berbagai jenis tanaman tropis hidup dengan subur, tanda-tanda kehidupan pada masa pra aksara hingga kini belum ditemukan oleh para ahli purbakala di wilayah Sibang, tetapi bukan berarti masa pra aksara tidak berlangsung di wilayah ini. Sebelum kedatangan para Rsi Agung yang mengajarkan kehidupan beragama di wilayah ini, keadaan hutan-hutan tropis yang lebat menjadi tempat tinggal orang-orang Autronesia yang berbudaya terbatas. Dalam ilmu Arkeologi pembagian jaman menjadi 2 teori, yang diketahui dari berbagai penggalian dan penelitian terhadap benda dan alam jaman pra aksara. Berdasarkan penggalian arkeologi maka Pra Aksara atau Pra Sejarah dapat dibagi menjadi 2 Jaman, Jaman Batu dan Jaman Logam atau Jaman Perundagian. Melalui Metode Tipologi (cara menentukan umur berdasarkan bentuk atau tipe benda peninggalan), maka Jaman batu dibedakan lagi menjadi 3 periode atau masa, yaitu: Batu Tua atau Palaeolithikum, Batu Tengah Madya atau Mesolithikum dan Batu Muda atau Neolithikum.

Masing-masing jaman diatas mempunyai ciri dan tinggalan yang berbeda-beda. Kehidupan masyarakat atau manusia pada Jaman Pra Sejarah terbagi menjadi 3 periode, yaitu: Masa berburu dan mengumpulkan makanan, Masa bercocok tanam dan Masa Perundagian. Pada Masa berburu dan mengumpulkan makanan panduduk diyakini masih tinggal di goa-goa sepanjang aliran sungai dengan ciri khas sebagai pengumpul bahan makanan yang diambil di alam dengan pengolahan yang sangat sederhana. Pada Masa bercocok tanam, penduduk sudah mulai mengolah tanah dan bercocok tanam, membangun rumah-rumah sederhana dan membentuk perkampungan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh dua orang peneliti barat B.J. Miggen dan Clifford Evan Jr. Dalam studinya tentang kehidupan di hutan-hutan teropis, diterangkan bahwa hutan tropis di wilayah Bali tengah tidak berbeda jauh dengan keadaan hutan Tropis di Amerika Selatan. Perubahan perlahan-lahan terjadi dengan terbentuknya perkampungan-perkampungan kecil semacam Padukuhan dengan beberapa rumah kecil yang tempatnya tidak beraturan. Bentuk rumah di perkampungan Bali pada masa ini berbentuk kebulat-bulatan dengan atap rumbia yang menjuntai hingga ujungnya menyentuh tanah. Rumah-rumah kecil ini hanya bisa menampung beberapa anggota keluarga saja, tidak lebih dari 4 orang. Perkembangan selanjutnya, terjadi penyempurnaan dalam bentuk rumah penduduk Bali, dimulai dengan bentuk rumah memanjang dengan memakai tiang yang jumlahnya disesuaikan dengan luas bangunan dibangun di daerah yang dekat dengan ladang, dengan tujuan untuk menghindari banjir dan binatang buas. Rumah ini bisa menampung beberapa anggota keluarga inti yang semakin berkembang kemudian. Apabila rumah tiang ini dibangun jauh dari ladang, penduduk akan meninggalkan kampung mereka pada masa tanam dan masa panen, mereka membawa serta anggota keluarga dan binatang peliharaan ke ladang-ladang. Di wilayah ladang mereka membangun gubuk-gubuk darurat yang dipakai sebagai tempat tinggal sementara mereka, setelah masa panen selesai mereka akan kembali ke rumah tiang. Semua rumah, baik yang berbentuk bulat, persegi bertiang atau gubuk di ladang-ladang bisanya dibuat dengan cara bergotong-royong oleh anggota Pedukuhan dengan upacara-upacara tertentu yang dipimpin oleh kepala Pedukuhan.

Penduduk Pedukuhan ini terdiri dari 2 ras penduduk, yaitu ras Mongoloid dan penduduk ras Austromelanesoid dengan perkembangan jumlah penduduk yang pesat, wanita mendapat kedudukan yang khusus di dalam Pedukuhan, mereka bertugas mengolah bahan makanan dan pakaian, juga menyiapkan berbagai alat-alat upacara yang masih sangat sederhana. Perkiraan dari Ilmuan botani C.H.M Heeren, beberapa jenis buah yang biasa dikunsumsi sebagai makanan pada masa ini antara lain: Keladi, Ubi, Sukun, Pisang, Durian, Manggis, Rambutan, Duku, Salak dan Kelapa dengan keladi sebagai makanan pokok yang mulai diberdayakan oleh penduduk dengan membuat sistem irigasi sederhana. Sementara hewan-hewan yang penting pada masa ini adalah anjing dan babi, anjing merupakan binatang peliharaan yang dijinakkan untuk membantu dalam proses berburu, sedangkan babi dijinakkan dan dipelihara untuk kepentingan sebagai binatang yang dikonsumsi dan sebagai korban dalam berbagai prosesi upacara keagamaan.

Sistem perdagangan Barter sudah pula mulai dikenal, seiring dengan mulai dikenalnya perahu atau jukung sebagai alat transportasi antara pedukuhan satu dengan pedukuhan yang lain, dengan memakai sungai sebagai jalur utama transportasi. Setelah berkembang kemudian secara perlahan penduduk sudah mulai meninggalkan sifat ketergantungannya terhadap alam, mereka sudah mulai melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan membuat perubahan-perubahan dalam kehidupan. Mereka sangat mempercayai keberadaan roh anggota penduduk yang sudah meninggal masih bisa melakukan interaksi dengan anggota keluarga yang masih hidup. Bagi anggota penduduk yang mempunyai jasa besar dalam desanya kemudian meninggal, akan dipuja oleh warga desa dengan upacara-upacara meriah dan distanakan di tempat-tempat keramat dengan membuatkan bangunan-bangunan batu sebagai tempat tinggal rohnya. Bangunan ini berupa peti batu atau batu besar yang didirikan tegak dengan hiasan-hiasan berukir juga lukisan yang melambangkan kehidupan si mati. Mayat juga dibekali berbagai benda berharga dalam hidupnya saat penguburan, berupa perhiasan, periuk, alat-alat perladangan dan lain-lain. Benda-benda sakral pada masa ini sering kali tertimbun oleh tanah dan tersimpan ratusan tahun di wilayah-wilayah Bali tengah, saat ditemukan kemudian menjadi dasar penelitian para ahli purbakala, berupa perhiasan, peti batu atau sarkofagus dan berbagai arca tua yang sangat sederhana bentuknya. Peninggalan-peninggalan purbakala ini ditemukan tersebar di seluruh wilayah Bali, terutama sekali di wilayah tepian sungai, tepi danau dan pesisir pantai. Sepanjang sungai Ayung dan Sungai Wos yang membentang keutara dan selatan, ditemukan goa-goa yang diyakini sebagai tempat tinggal orang-orang dari kedua ras diatas. Goa-goa ini dikenal sebagai goa raksasa oleh penduduk sekitar dan diyakini sangat sakral dan keramat. Peninggalan Megalitik di Bali terdiri dari Menhir, bataran-bataran batu dan sarkofagus yang berukuran kecil antara 80 cm sampai dengan 140 cm, hanya beberapa diantaranya yang berukuran sampai 2 meter. Pada tahun 1960, dua orang peneliti asing, P.V van Stein Callenfels dan H.R van Heekeren melakukan klasifikasi dan tipologi terhadap peninggalan-peninggalan itu, klasifikasi dan tipologi kemudian berhasil dilakukan oleh Prof. Dr. Raden Pandji Soejono, hasil penelitiannya terhadap sarkofagus di Bali, dipastikan bahwa sarkofagus itu berkembang pada masa penduduk Bali sudah mengenal bahan logam, mengingat benda-benda bekal kuburnya kebanyakan dibuat dari perunggu. Prof. Dr. Raden Pandji Soejono membagi sarkofagus Bali menjadi 7 tipe dasar, antara lain: Celuk, Angantiga, Bona, Bunutin, Cacang, Ambyarsari dan Manuaba. Sisa-sisa peninggalan Megalitik yang berupa Menghir, pelinggih batu, bhataran batu, jalanan batu berundak, dan undak-undak batu berbentuk piramida.

Selanjutnya pada masa ini masyarakat sudah mengenal teknik-teknik pengolahan logam. Pengolahan logam memerlukan suatu tempat serta keahlian khusus. Tempat untuk mengolah logam dikenal dengan nama perundagian dan orang yang ahli mengerjakannya dikenal dengan sebutan Undagi. Pada masa Perundagian kemudian muncullah peradaban yang lebih baik, ilmuan G.E. Rumpius melakukan penelitian yang seksama terhadap nekara di Pejeng pada tahun 1704. Laporan Rumpius dikumpulkan dalam sebuah buku dengan judul D’Amboinsche Rariteitenkamer, yang kemudian diterbitkan di Amsterdam tahun 1705. Para ahli setelahnya kemudian meyakini nekara perunggu itu berpusat di Khmer dan menyebar ke Indonesia, termasuk Pejeng Bali. Nekara Pejeng berbeda dengan nekara-nekara lain yang ditemukan di Indonesia, karena nekara Pejeng berukuran besar, dengan tinggi 1,96 meter dan menjorong keluar dari bahu sekitar 25 cm, bagian bahu lurus ke Bawah dan melengkung kedalam di bagian pinggang yang berbentuk silinder, bagian kaki berbentuk genta yang melebar di bagian bawah. Pada masa ini penduduk sudah mulai membuat berbagai perkakas yang dipakai sebagai penunjang kehidupan, seperti: kapak, mata panah, mata tombak, gerabah, mata pancing, alat menenun dan berbagai perhiasan sederhana dari perunggu. Demikianlah pembabakan jaman pra aksara, atau pra sejarah yang diungkapkan oleh para pakarnya, sehingga mampu memberi gambaran kepada kita, bahwa sebelum kita mengenal tulisan dan kebudayaan seperti sekarang ini, para pendahulu kita sudah sekian lama bahkan ratusan tahun mempertahankan hidup dengan berbagai alat dan keadaan yang sangat sederhana.

Pura Dalem Blambangan dalam seluruh areal Tri Mandala Pura terbangun dengan corak kekinian, yang sebagian besar bangunan pelinggih-pelinggihnya berbahan batu padas vulkanik. Dalam pengamatan dan hasil wawancara dengan para tetua Pura, belum ditemukan tinggalan-tinggalan arkeologi berupa patung perwujudan, Lingga Yoni, stupika, atau yang lainnya. Data tertua yang menjadi acuan dari penelitian adalah 2 buah prasasti, sebuah prasasti tertulis pada lempengan Tembaga dan sebuah lagi berupa 1 cakepan daun lontar bertahun 1999, tertulis dalam akhir cakepan lontar. Terlepas dari tinggalan data fisik yang tergolong muda di areal Pura Dalem Blambangan, Wilayah Sibang sudah tertuang dalam berbagai tulisan kuno jauh sebelum tahun 1700 Masehi. Hal itu menandakan bahwa wilayah Sibang tempat dimana Pura Dalem Blambangan berdiri sudah menjadi sebuah perkampungan sebagai tempat bermukim walupun mungkin belum bernama Sibang, seperti nama Desa sekarang.

BAB III

MASA HINDU BUDDHA

Masa perkembangan faham Hindu Buddha di Nusantara terjadi sudah sangat lama, seluruh wilayah pulau Bali mengalami masa ini, terbukti hingga sekarang faham ini menjadi warisan yang tidak pernah hilang, demikian juga daerah Sibang. Pura-pura kahyangan yang berdiri megah di hampir semua pelosok Bali menjadi bukti bahwa faham ini masuk ke seluruh wilayah Bali selanjutnya berkembang sesuai dengan keadaan wilayah dan budaya penduduknya. Tetapi sedikitnya data tertulis yang bisa dibaca dan diteliti oleh para ahli membuat sulit memastikan era masuknya faham ini ke Bali. Keterbatasan data itu tidak mengurangi keinginan para ahli untuk melakukan penelitian, berbagai artefak, candi dan tinggalan arca kuno yang ditemukan kemudian diteliti, sehingga dapatlah ditemukan teori tentang masuknya faham Hindu Buddha di Nusantara khususnya di Bali.

III.1. Para pengungsi India.

Kerajaan Hindu Buddha di Nusantara, diyakini oleh para ahli sejarah dunia berawal pada tahun 500 Masehi, di Pulau Sumatera. Sebagian besar didirikan oleh para pengungsi dari India yang terdiri dari kaum Bangsawan, Pendeta dan para pedagang yang mengungsi pada saat terjadi kemelut berkepanjangan di India. Mereka secara berkelompok berlayar jauh mencari tempat bermukim yang baru untuk tempat melanjutkan tradisi yang mereka anut dan yakini secara turun temurun. Mereka mendirikan beberapa kerajaan kecil seperti: Kendhari, Pali, Malayu Sriboja dan lain-lain yang berhasil bertahan dengan damai hingga tahun 686 Masehi.

III.2. Kerajaan Sriwijaya sebagai pusat perkembangan Agama Buddha Nusantara.

Kerajaan Sriwijaya berdiri di Palembang, namanya diambil dari 2 suku kata bahasa Sanskerta, Sri berarti Cahaya, Wijaya berarti Kemenangan yang terdiri dari 3 wilayah utama, ibu kotanya Palembang, lembah Sungai Musi dan daerah muara sungai. Mengingat lokasinya, kerajaan ini berkembang menjadi negara maritim dan pusat perdagangan penting pada abad keenam. Tahun 425 Masehi agama Buddha sudah diperkenalkan di Sriwijaya dan selanjutnya menjadi berkembang dengan dibangunnya pusat belajar Agama Buddha Asia di kotaraja Sriwijaya. Pendeta Tiongkok, I Ching dari Universitas Nalada India tercatat berkunjung dalam perjalanan studinya ke Sriwijaya. I Ching menulis dalam bukunya bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi ribuan sarjana Buddha dunia, koin emas telah digunakan sebagai alat tukar di Sriwijaya pada saat itu. Prasasti Kedukan Bukit di Palembang tahun 683 Masehi menuliskan bahwa Raja Sriwijaya, Dapunta Hyang Sri Jayanaga melakukan penaklukan terhadap Malayu Sriboja, Tarumanegara, Kendari dan Pali. Hal ini kembali ditegaskan oleh Prasasti Talang Tuo dan Prasasti Kota Kapur yang bertahun 684 Masehi.

Para pengungsi India yang terdiri dari para bangsawan dan para Rsi kembali mengungsi dari Sumatera menuju arah timur dengan perahu, mendarat di Nusa Goh atau Pulau Sapi dan memulai membangun kerajaan kecil dengan nama kerajaan Pali dan beragama Buddha.

III.3. Kerajaan Kutai dan Mataram sebagai cikal Bakal perkembangan Agama Hindu di Jawa dan Bali.

Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur, adalah kerajaan Hindu pertama di Nusantara, diterangkan oleh 7 buah prasasti berbentuk Yupa berbahasa Sanskerta berhurup Pallawa yang menerangkan asal muasal Kerajaan Kutai dari Wangsa Kudungga dilanjutkan oleh wangsa Aswawarman. Kerajaan Kutai mencapai jaman keemasan pada masa pemerintahan Mulawarman, dibuktikan dengan keberhasilan sang raja membuat upacara korban emas dan 20.000 ekor lembu kepada seluruh rakyatnya. Raja Mulawarman juga mengirim banyak Ksatria dan Brahmana belajar Agama Hindu ke India dan berbagai Negara maju lainnya. Letak kota raja Kutai di tepian sungai Mahakam membuat banyak kapal dagang India dengan tanpa kesulitan mencapai kota raja Kutai sampai Muarakaman pada tahun 400 Masehi membuat Kutai dengan cepat menjadi kerajaan yang maju dalam bidang perdagangan.

Dalam prasasti berbentuk Yupa dituliskan ada beberapa nama raja yang pernah memerintah di Kutai, antara lain: Kudungga atau Dewa Warman, Aswa Warman, Mula Warman, Marawijaya Warman, Gajayana Warman, Tungga Warman, Jayanaga Warman, Nalasingha Warman, Rajanala Parana Tungga, Gadingga Warmandewa, Indra Warmandewa, Sangga Warmandewa, Candrawarman, Srilangka Dewa, Guna Parana Dewa, Raja Wijaya Warman, Sri Aji Dewa, Raja Mulia Putera, Raja Nala Panditha, Raja Indra Paruta Dewa dan Raja Dharma Setia.

Pada tahun 730 Masehi, secara resmi Sri Maharaja Sanjaya menjadi raja Mataram di pulau Jawa, dengan wilayah kekuasaan meliputi seluruh pulau Jawa, kecuali tanah Sunda. Sri Maharaja Sanjaya dikenal sebagai Raja Rsi yang menaklukan Sriwijaya, Lingor atau Thailand, Hujung Medini atau Malaysia Barat dan kerajaan-kerajaan kecil lainnya. Prasasti Canggal di Gunung Wukir tahun 732 Masehi menerangkan tentang upaya beliau menyebarkan ajaran Agama Hindu di Nusantara. Salah seorang pendeta Kerajaan Mataram bernama Rsi Ing Markandheya tahun 730 Masehi melakukan perjalanan suci dari Gunung Wukir di Damalung, tempat di mana prasasti Canggal ditemukan. Berlanjut ke lereng pegunungan Hyang di Purbalingga, lalu ke lereng Gunung Rahung di tepi sungai Paralingga, kemudian berakhir di Gunung Agung atau Lingga Acala tempat Pura Besakih sekarang. Lontar Bhuwana Tatwa Maharsi Markandya, mengisahkan Maharsi Meru, berputra Sang Ayati dan Sang Niyata yang berwajah tampan, bijaksana dan berbudi mulia.:

Sang Ayati mwang Sang Niyata pada pada sira apekik listu paripurna, wicaksaneng aji, wibuhing sastra utama

Sang Ayati berputra Sang Prana. Sang Niyata, berputra Sang Mrakanda. Sang Mrakanda beristerikan Dewi Manaswini, berputra Maharsi Markandheya. Selanjutnya Maharsi Markandheya, beristerikan Dewi Dumara berputra Maharsi Dewa Sirah. Maharsi Dewa Sirah beristerikan Dewi Wipari, yang kemudian menurunkan banyak putra.

Dikisahkan salah seorang murid Maha Rsi Agastya yang bernama Sang Ila putra dari Maharsi Trenawindhu, sedang bertapa di Jawa Dwipa Mandala. Demikian pula Sang Aridewa dan Sang Anaka, melakukan Tapa Samadhi di Pegunungan Adi Hyang, yang sekarang disebut Dieng. Maharsi Markandheya juga bertapa di pegunungan Adi Hyang atau pegunungan Dieng di gunung Damalung. Prasasti Dinaya tahun 760 Masehi, menuliskan bahwa Maha Rsi Agastya yang mengembangkan ajaran Tri Murthi Paksa di Bhumi Nusantara ini, sebuah ajaran yang menyatukan Tiga Paksa, yakni Salwa Paksa, Brahmana Paksa, dan Waisnawa Paksa. Ajaran Tri Murthi Paksa inilah kemudian berkembang di Bali, dianut oleh hampir sebagian besar penduduk Bali. Karena beliau dianggap sebagai guru besar ajaran Tri Murthi Paksa, sebagai permulaan terbentuknya ajaran Hindu di Bali, beliau kemudian dikenal dengan sebutan Sri Bhatara Guru.

III.4. Kedatangan orang-orang Aga ke Bali.

Pada awalnya pulau Bali dihuni oleh kelompok-kelompok kecil masyarakat keturunan Austronesia yang membentuk desa-desa kecil yang dikenal dengan nama Kuwu. Penduduk ini selanjutnya berkembang membentuk desa-desa dengan nama Banua yang menyebar ke seluruh pelosok Bali dengan budaya yang terbatas dan belum mengenal agama. Mereka melakukan ritual persembahan khusus yang sangat sederhana kepada leluhur mereka yang dikenal dengan nama Hyang. Keadaan yang dianggap kosong secara spiritual ini berlangsung hingga awal tarikh Masehi atau sekitar abad pertama Masehi. Lontar Bali Tattwa, menyebutkan, untuk mengisi kekosongan kehidupan spiritual Pulau Bali, datanglah Maha Rsi Ing Markandheya dengan 800 orang pengikut dengan tujuan utama mengajarkan agama Hindu, dimulai dari Gunung Agung.

Rombongan Sang Maha Rsi turun di pantai Pabahan Bali di Buleleng, melakukan pembukaan hutan dengan menebangi kayu-kayu besar di wilayah lereng Gunung Agung untuk lahan pertanian, dan tempat pemukiman. Akan tetapi atas kehendak Hyang Jagatnatha banyak murid-murid beliau terkena wabah penyakit aneh, ada yang tewas diterkam binatang buas, kebingungan dan gila, ada juga yang hilang tanpa jejak. Pengikut Sang Maharsi yang awalnya berjumlah 800 orang, hanya tersisa hidup sejumlah 200 orang saja, mereka kemudian mendiami wilayah sekitar perbukitan yang membentang dari selatan ke utara di Bali Tengah, yang dikenal dengan nama Munduk Tiga, yang terdiri dari Munduk Kawi, Munduk Taro dan Munduk Samu. Pengikut beliau yang selamat ini selanjutnya dikenal dengan nama Orang Bali Mula, yang berarti orang-orang yang paling awal menjadi penghuni pulau Bali. Dari berbagai tinggalan wujud kuwu masa lalu dan kebiasaan penduduk yang tertuang dalam simbol-simbol ritual di Sibang hingga kini, diyakini bahwa beberapa kepala keluarga Bali Mula, keturunan pengikut Rsi Ing Markandheya bermukim di wilayah ini.

Kedatangan Rsi Ing Markandheya dan pengikutnya yang kemudian dikenal sebagai orang-orang Bali Mula dianggap tidak berhasil dengan baik, karena sebagian besar pengikut beliau tewas dan gila dalam usaha membuka lahan pertanian dan tempat bermukim di tepian sungai seputar wilayah 3 munduk. Pada kedatangan kedua dari Rsi Ing Markandheya, diiringi oleh orang-orang pegunungan Aga di Jawa berhasil dengan baik membangun Kuwu-kuwu di sekitar Gunung Agung dan 3 Munduk suci di Bali Tengah setelah lebih dahulu menghaturkan ritual Panca Datu di lereng Gunung Agung, cikal bakal Pura Besakih sekarang. Dalam buku Sejarah Bali juga diterangkan orang-orang Aga pengikut Rsi Ing Markandheya berhasil merabas hutan membangun kuwu dan lahan pertanian, dimulai dari daerah Puwakan.

Saprapta ira sang Yoghi Markandheya maka di watek panditha Adji, mwah wadwan ira sadya ring genahe katuju, dadya ta agelis sang Yoghi Markandheya mwang watek Panditha prasama anangun bratha samadhi, anguncar aken wedha samadhi, mwah wedha pangaksamaning Bhatara kabeh, sang Panditha Aji anguncar aken wedha panulak sarwa marana, tarmalupeng puja samadhi, Dewa yajna mwang Bhhuta yajna, Pratiwi stawa. Wus puput ngupacaraning pangaci aci, irika padha gelis wadwan ira kapakon angrabas ikangwana balantara, angrebah kunang taru-taru, ngawit saking Daksina ka Utara.

Reh sampun makweh olih ngrabas ikang wana balantara, mwah dinuluran swecaning Hyang tan hana manggih pasangkalan, Sang Yoghi Markandya anuduh akenwadwan ira araryan rumuhun angrabas wana ika, tur wadwan ira sadaya, angangge sawah mwang tegal karang paumahan

Artinya :

Setibanya Sang Yoghi Markandya seperti juga para Panditha Aji, bersama rakyatnya semua di tempat yang di tuju, maka segera Sang Yoghi Markandya dan para pandhita semuanya melakukan bratha samadi, dengan mengucapkan wedha samadi, serta weda memohon perkenan Ida Bhatara semua, Sang panditha Aji mengucapkan weda penolakan terhadap semua jenis hama dengan tak melupakan puja samadhi, menyelenggarakan upacara Dewa Yajnya dan Bhuta Yajnya, serta memuja Pertiwi.

Setelah selesai melakukan pangaci-aci atau melakukan upacara yadnya, maka seluruh rakyatnya diperintahkan merabas hutan belantara tersebut, menebang kayu-kayu, di mulai dari selatan setelah itu baru ke utara. Atas perkenan Tuhan Hyang Maha Kuasa, proses perabasan hutan tidak mendapat halangan. Karena sudah luas, maka Sang Yoghi Markandya memerintahkan rakyatnya untuk berhenti melakukan perabasan hutan. Yoghi Markandya kemudian membagi-bagikan lahan itu kepada pengikutnya untuk dijadikan sawah, tanah tegalan, serta pekarangan rumah,.....

Usai melakukan pembagian tanah, Maharsi Markandhya kembali melakukan pertapaan di satu tempat yang mula-mula diberi nama Sarwadha dikenal dengan Taro kini. Berlanjut ke Payogan dan Payangan. Jejak perjalanan Rsi Ing Markandheya menelusuri tanah Bali dwipa, banyak meninggalkan atau ditandai oleh pembangunan tempat suci atau Pura yang menjadi sungsungan jagat, seperti:

Pura Basukian di kaki Gunung Agung (Gunung Tolangkir), Pura Pucak Cabang Dahat, Pura Gunung Raung, Pura Pucak Payogan, Pura Gunung Lebah Payogan, Pura Murwa Bhumi dan Pura Sukamrih.

Mwah ri pangiring banyu Oos ika hana Wihara pasraman sira rsi Markandya iniring para sisyan ira, makadi kula wanduan ira sira sang Bhujangga Waisnawa

Artinya :

Juga di pinggir sungai Oos itu terdapat sebuah Wihara sebagai pasraman Ida Maharsi Markandhya disertai oleh muridnya, seperti sanak keluarga sang Bhujangga Waisnawa.

Keberadaan beberapa Pura dan tradisi Tua disekitar wilayah Sibang dengan tinggalan-tinggalan arkeologi yang ditemukan dan diteliti oleh para pakar arkeologi Balai Arkeologi Denpasar menyiratkan bahwa wilayah Sibang dan sekitarnya pada masa ini sudah mendapat pengaruh ajaran Markandheya dan masih tampak jelas menjiwai berbagai ritual adat dan keagamaan di Sibang.

BAB IV

MASA BALI KUNA

Berbagai penelitian yang dilakukan oleh para sarjana Sejarah untuk mengungkap berbagai data Pulau Bali pada jaman Kuno, Pendapat-pendapat itu selanjutnya dikaji dengan mendalam pada setiap masanya. Diantara sekian banyak penelitian, ada 2 penelitian yang dianggap paling mendekati kebenaran tentang nama dan letak Pulau Bali. Data yang bisa diambil dari Catatan Sejarah para sarjana Dinasti Sui di Cina menyebutkan bahwa ada sebuah kerajaan bernama P’o-li yang mempunyai luas barat dan timur diempuh dengan 4 bulan perjalanan dan jarak utara selatan mempunyai luas selama 45 hari perjalanan.

Toponim yang lebih cocok diidentifikasikan dengan Bali, menurut bagian lain pendapat Groeneveldt, adalah Dva-pa-tan yang terbaca dalam kitab sejarah Kuna dinasti T’ang. Negeri itu dikatakan terletak di sebelah selatan Kamboja dalam jarak dua bulan pelayaran, atau disebelah timur Ho-ling atau Ka-ling. Penduduk disini memiliki budaya hampir sama dengan Ho-ling, mereka menulis pada daun lontar dan pada prosesi pembakaran mayat disertai dengan perhiasan emas, juga pada mulut mayat dimasukkan sepotong emas. Adat istiadatnya sama dengan Ho-ling. Di sana, tiap bulan padi sudah dapat dituai, dan penduduk menulis pada daun rontal. Jika ada orang mati, mayatnya diberi perhiasan emas, ke dalam mulutnya dimasukkan sepotong emas, lalu dibakar disertai dengan bau-bauan yang harum. Di dalam kitab Chu-fan-chih bagian Su-chi-tan, Bali disebut dengan nama Mali. Lebih jauh, penulis kitab Yao-i-chin-lue mencatat nama P’eng-li yang mungkin dapat diidentifikasikan dengan Pali atau Mali.

IV.1. Sekta-sekta di Bali.

Penelitian panjang yang dilakukan oleh ilmuan Dr. R. Goris tentang masuknya agama Hindu di Bali memberikan keyakinan bahwa sebelum abad ke-8 Masehi Agama Hindu sudah dikenal oleh penduduk di Pulau Bali. Fragmen prasasti berbahasa Sanskerta yang ditulis pada abad ke-8 yang di temukan di Pejeng sudah menuliskan kata Siwa Siddhanta yang menandakan bahwa Paksa Hindu Siwa Siddhanta sudah dianut oleh sebagian besar penduduk Bali pada masa itu. Ilmuan Sejarah Stutterheim juga menuliskan dalam buku catatan sejarahnya bahwa Arca Siwa di Pura Putra Bhatara Desa di desa Bedaulu merupakan satu tipe dengan arca-arca Siwa abad ke-8 Masehi yang ditemukan di Candi Dieng.

Prasasti Sukawana yang ditulis tahun 882 Masehi, mengisahkan tentang upaya tiga tokoh agama; Bhiksu Siwa Prajna, Bhiksu Siwa Nirmala dan Bhiksu Siwa Kangsita membangun pertapaan di Cintamani. Bait-bait prasasti ini menggambarkan sudah terjadi pembauran antara Siwaisme dan Buddhisme di Pulau Bali pada tahun 882 Masehi, bahkan pada masa pemerintahan Raja Dharma Udayana Warnadewa, kedua faham ini diresmikan menjadi agama negara. Perkembangan faham Buddha Mahayana juga dibuktikan dengan ditemukannya stupika-stupika di Pejeng, Titiapi dan Blahbatuh yang kini disimpan di Museum Bali. Pada sekitar abad ke-13 Masehi mulai berkembang sekta Bhairawa, akibat hubungan baik Bali dengan kerajaan Singhasari, dibuktikan dengan adanya tinggalan arca-arca Bhairawa di Pura Kebo Edan Pejeng. Perkembangan agama Hindu di Bali mencapai puncak kejayaan pada masa kekuasaan raja suami istri Dharma Udayana Warmadewa. Prasasti-prasasti dan kesusastraan Bali yang sebelumnya menggunakan Bahasa Bali Kuna atau Bahasa Sanskerta mulai dirubah dengan bahasa Jawa Kuna.

Ilmuan Dr.R.Goris dalam hasil penelitiannya tahun 1926, menulis bahwa di Bali berkembang 9 sekte; Siwa Siddhanta, Pasupata, Bhairawa, Waisnawa, Bodha atau Soghata, Brahmana, Rsi, Sora atau Surya dan Ganapatya. Pada kesusastraan Bali dikenal 6 sekte atau mashab; Sambhu, Brahma, Indra, Bayu, Wisnu dan Kala, yang selanjutnya berbaur menjadi Siwa Siddhanta dengan bukti tinggalan kesusastraan berupa lontar-lontar tattwa; Bhuwana Kosa, Wrhaspati Tattwa, Tattwa Jnana, Sang Hyang Maha Jnana, Catur Yuga, Widhi Sastra dan lain-lain. Pada masa pemerintahan raja Dharma Udayana Warmadewa, seorang pendeta Hindu yang bernama Mpu Rajakerta menjabat sebagai Senapati I Kuturan, semacam jabatan Perdana Mentri yang bertugas khusus menata kehidupan beragama antar penduduk Bali. Pada dasarnya ajaran Siwa Siddanta meyakini bahwa Siwa mempunyai 3 hakekat atau tattwa, antara lain:

1. Parama Siwa Tattwa: hakekat Siwa yang bersifat Nir atau tidak berwujud atau Niskala.

2. Sada Siwa Tattwa: hakekat Siwa yang bersifat antara tidak berwujud dan berwujud.

3. Siwa Tattwa; hakekat Siwa yang bersifat sekala atau berwujud.

Aliran Siwa Bhairawa dikenal di Bali semenjak Raja Jayabaya memerintah di Kediri, faham ini memuja Siwa dalam wujud dan sifat Bhairawa. Batu bertulis dan stupa-stupa yang ditemukan di Pejeng berangka tahun 778 Masehi dalam bahasa Sanskerta menulis beberapa mantra Buddha, para ahli sejarah meyakini bahwa agama Hindu (Siwa) berkembang bersamaan dengan Agama Buddha (Sogatha). Prasasti Batu Padas yang ditemukan di Blanjong memakai tahun Candra Sengkala “Khecara Wahni Murti” penghitungan dengan peradaban Hindu berarti 839 Saka atau 917 Masehi.

Percampuran budaya Buddha-Mahayana dengan Hindu sekta Siwa Sidantha dan sekta Waisnawa telah terjadi di Bali Kuna setidak-tidaknya sejak tahun 882 Masehi seperti yang diuraikan di atas, jauh sebelum kejadian yang sama di Jawa Timur. Percampuran Siwa-Buddha di Jawa Timur baru secara resmi diakui sejak tahun 1365 Masehi oleh Mpu Prapanca dalam tulisan kekawinnya berjudul: Desawarnana, dan selanjutnya Mpu Tantular menulis hal sama pada kekawinnya: Arjuna Wiwaha pada tahun 1367 Masehi dan Sutasoma pada tahun 1380 Masehi.

Di Bali, Siwa-Buddha dan Waisnawa dilebur menjadi agama Hindu yang ada sekarang oleh Mpu Kuturan, terjadi pada masa pemerintahan Raja suami isteri Gunaprya Dharma Patni dan Udayana Warna Dewa yang bertahta pada tahun 988 Masehi sampai dengan tahun 1011 Masehi. Pada masa itu penduduk pulau Bali adalah mayoritas orang Bali Mula dan Bali Aga, hingga kedatangan penduduk dari pulau lain terutama Jawa yang menganut berbagai sekte atau aliran berbaur di Bali membentuk kebudayaan Bali yang kemudian menjadi sangat kaya hingga saat ini. Sekte Indra, Bayu, Kala, Brahma, Wisnu dan Syambu yang berbeda cara ritual saling bersaing dalam penyebarannya, sehingga seringkali menimbulkan pertentangan antara para pengikutnya, pertentangan ini menimbulkan ketegangan dan sengketa yang berlarut-larut kemudian.

IV.2. Kedatangan para Mpu ke Bali.

Ketegangan dan sengketa antara para penganut sekte ini menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban yang kemudian berdampak buruk pada masyarakat dan tata pemerintahan. Salah satu upaya nyata dari Raja Gunaprya Dharma Patni dan Udayana Warma Dewa menanggulangi pertentangan ini adalah dengan mendatangkan para Rsi dari Jawa Timur yang berjumlah 4 orang, masing-masing bernama:

1. Mpu Semeru, penganut Siwa tiba di Bali pada hari Jumat Kliwon, wuku Pujut, Purnamaning Kawolu, Candra Sengkala “Jadma Siratmaya Muka” yaitu tahun 921 Saka atau tahun 999 Masehi, berparhyangan di Besakih.

2. Mpu Ghana, penganut Gnanapatya tiba di Bali pada hari Senin Kliwon, wuku Kuningan tanggal 7 tahun 922 Saka atau tahun 1000 Masehi, berparhyangan di Gelgel

3. Mpu Kuturan, penganut Buddha Mahayana tiba di Bali pada hari Rabu Kliwon wuku Pahang, maduraksa atau tanggal ping 6, Candra Sengkala: “Agni Suku Babahan” atau tahun 923 Saka atau tahun 1001 Masehi, berparhyangan di Silayukti.

4. Mpu Gnijaya, pemeluk Brahma tiba di Bali pada hari Kamis Umanis, wuku Dungulan, sasih kadasa, Prati Padha Cukla, tanggal 1, Candra Sengkala: “Muka Dikwitangcu” atau tahun 928 Saka atau 1006 Masehi, berparhyangan di bukit Bisbis, Lempuyang.

Keempat orang Brahmana dari Jawa Timur itu sebenarnya bersaudara 5 orang, adiknya yang bungsu bernama Mpu Bharadah yang masih menetap di Lemah Tulis, Pajarakan Jawa Timur. Kelima orang Brahmana ini dikenal dengan nama Sang Panca Panditha atau Sang Panca Tirtha. Sebagai guru loka di daerahnya masing-masing, selalu menjalankan dharma kabrahmanan. Mpu Semeru yang berparahyangan di Besakih dan Mpu Ghana yang berparhyangan di Gelgel, menjalankan kehidupan Nyukla Brahmacari, maka keduanya tidak mengadakan keturunan. Sedangkan Mpu Kuturan yang berparhyangan di Cilayukti sebagai Swala Brahmacari mempunyai seorang putri bernama Dyah Ratna Manggali, yang ditinggalkan di Jawa bersama ibunya yang kemudian kawin dengan salah satu putera Mpu Bharadah yaitu Mpu Bahula. Tentang adanya Mpu Kuturan di Bali dapat diketahui dari 7 prasasti, menyebutkan bahwa Mpu Kuturan di Bali berpangkat Senapati, dan prasasti-prasasti tersebut ditemukan di beberapa desa tua Bali, diantaranya:

1. Di desa Srai, Kintamani, bertahun 915 Saka atau tahun 993 Masehi

2. Di desa Batur, Kintamani, bertahun 933 Saka atau tahun 1011 Masehi.

3. Di desa Sambiran, Tejakula, Buleleng, bertahun 938 Saka atau tahun 1016 Masehi.

4. Di desa Batuan, Sukawati, Gianyar bertahun 944 Saka atau tahun 1022 Masehi.

5. Di desa Ujung, Karangasem bertahun 962 Saka atau tahun 1040 Masehi.

6. Di Pura Kehen Bangli, Bangli, (karena sudah rusak tidak tampak tahunnya)

7. Di desa Buahan, Kintamani, Bangli bertahun 947 Saka atau tahun 1025 Masehi.

Sekian banyaknya prasasti sebagai fakta sejarah yang mencantumkan nama Mpu Kuturan sebagai Senapati di Bali dalam tahun-tahun tersebut dan prasasti-prasasti itu merupakan hasil keputusan raja-raja yang bertahta di Bali yaitu:

1. Raja Gunaprya Dharma Patni dan Udayana Warna Dewa yang bertahta dari tahun 988 sampai dengan tahun 1011 Masehi menerbitkan prasasti pertama dan kedua

2. Sri Adnyadani yang bertahta dari tahun 1011 sampai dengan tahun 1016 Masehi menerbitkan prasasti yang ketiga

3. Sri Dharma Wangsa Wardhana Marakato Pangkaja Stano Tunggadewa, yang bertahta dari tahun 1040 Masehi menerbitkan prasasti keempat sampai ketujuh

Mpu Kuturan sebagai ketua dari Pakiran-kiran I Jero Makebahan melaksanakan pertemuan besar di Bata-Anyar dengan mengundang para pemuka aliran, pemuka adat dan agama di Bali. Hasil utama dari pertemuan itu adalah kesepakatan para pemuka untuk melebur semua aliran atau mashab dalam 3 kelompok besar yang dikenal dengan nama Tri Murthi Paksa yang masing-masing mempunyai tujuan sama dengan metode ritual yang berbeda.

1. Waisnawa adalah kumpulan dari berbagai aliran yang memuja Tuhan dalam wujud dan sifat-sifat air, dimuliakan di Pura Puseh sebagai Dewa Wisnu.

2. Brahma adalah kumpulan dari berbagai aliran yang memuja cahaya, api dan panas, dimuliakan di Bale Agung sebagai Brahma.

3. Iswara adalah kumpulan dari berbagai aliran yang memuja udara, planet, tata surya, dimuliakan di Pura Dalem sebagai Siwa.

Ketiga pura, Puseh, Bale Agung dan Dalem disebut menjadi Kayangan Tiga sebagai symbol persatuan dari aliran-aliran yang sebelumnya saling bertentangan. Tempat pertemuan para pemuka yang menghasilkan kesepakatan Tri Murthi Paksa ini selanjutnya dikenal dengan nama Pura Samuan Tiga hingga kini.

IV.3. Raja-raja dari dinasti Warmadewa di Bali.

Berdasarkan hasil penelitian terhadap berbagai prasasti yang berasal dari masa Bali Kuna selanjutnya dapat diketahui dua puluh tokoh raja atau ratu dan seorang rajapatih yang pernah menduduki pucuk pemerintahan di Bali. Di antaranya, ada yang memerintah sendiri dan ada pula yang memerintah bersama-sama dengan tokoh lain, yakni suami, permaisuri, atau ibu surinya. Nama raja Bali Kuna yang tercantum pertama kali dalam prasasti adalah Sri Kesari Warmadewa, prasasti atas nama raja itu, atau yang dapat diidentifikasikan demikian, adalah prasasti Blanjong bertahun 835 Saka, prasasti Penempahan dan prasasti Malet Gede bertahun 835 Saka. Keadaan ketiga prasasti itu telah aus, banyak bagiannya tidak terbaca lagi secara utuh, termasuk nama raja yang disebut di dalamnya. Dalam masa Bali Kuna dikenal beberapa raja yang memimpin Bali, diantaranya:

1. Sri Ugrasena memerintah tahun 912 hingga 942 Masehi, beristana di Singhamandawa di Kintamani.

2. Sri Kesari Warmadewa memerintah tahun 913 hingga 955 Masehi, beristana di Singhadwala di Besakih.

3. Sri Hari Tabanendra Warmadewa dan Sri Subadrika Warmadewa yang memerintah tahun 955 hingga  967 Masehi, beristana di Tabanan.

4. Sri Candrabhayasingha Warmadewa yang memerintah dari tahun 967 sampai dengan tahun  968 Masehi, beristana di Tampaksiring.

5. Sri Janasadhu Warmadewa yang memerintah tahun 968 hingga 983 Masehi, beristana di Bedahulu.

6. Sri Wijaya Mahadewi yang memerintah tahun 983 hingga 988 Masehi, beristana di Kadiri.

7. Sri Dharmodayana Warmadewa atau Udayana dan Sri Mahendradatta atau Sri Gunaprya Dharma Patni yang memerintah tahun 983 hingga 1011 Masehi, beristana di Bedahulu.

8. Sri Ajnyadewi yang memerintah tahun 1001 hingga 1015 Masehi, beristana di Kintamani.

9. Sri Suradhipa yang memerintah tahun 1011 hingga 1072 Masehi, beristana di Bedahulu.

10. Anak Wungsu atau Dharma Wangsa Wardana Marakata Pangkaja Sthana Uttunggadewa, yang memerintah tahun 1072 hingga 1098 Masehi, beristana di Tampaksiring.

11. Sakala Indukirana Isana Guna Dharma Laksmi Dharawijaya Uttunggadewi yang memerintah tahun 1098 hingga 1133 Masehi, beristana di Tampaksiring.

12. Jayapangus yang memerintah tahun 1133 hingga 1173 Masehi, beristana di Kintamani.

13. Jayasakti yang memerintah tahun 1173 hingga 1198 Masehi, beristana di Kintamani.

14. Bhatara Sri Parameswara Sri Hyang -Ning Hyang Adidewa yang memerintah tahun 1198 hingga 1284 Masehi, beristana di Kintamani.

15. Kebo Parud dibawah kekuasaan Kerajaan Singhasari yang memerintah tahun 1284 hingga 1324 Masehi, beristana di Bedahulu.

16. Sri Tarunajaya yang memerintah tahun 1324 hingga 1325 Masehi, beristana di Bedahulu.

17. Dharma Uttungga Warmadewa yang memerintah tahun 1325 hingga 1328 Masehi, beristana di Bedahulu.

18. Bhatara Sri Wala Jaya Kertaning Rat yang memerintah tahun 1328 hingga 1337 Masehi, beristana di Bedahulu.

19. Bhatara Sri Astasura Ratna Bumi Banten atau Sri Tapolung yang memerintah tahun 1337 hingga 1343 Masehi, beristana di Bedahulu.

Sebuah nama desa atau daerah bisa saja dibuat manusia dan berubah namanya sesuai dengan perkembangan jaman atau tingkat pemahaman penduduknya dalam mengartikan sebuah nama daerah tempat tinggalnya. Sebuah daerah bisa saja berubah bentuk dan peruntukkannya, disesuaikan dengan kemauan dari penghuninya. Namun letak kordinat daerah tersebut tidak bisa bergeser seincipun dari awal tercipta, kordinat terbentuk dari pertemuan garis Lintang dan Bujur yang seringkali dikenal pada jaman dahulu sebagai Peta Langit. Garis kordinat inilah yang dipakai patokan oleh para ahli dalam menandai sebuah wilayah dari jaman ke jaman.

Berbagai catatan kuno yang diteliti dengan seksama melalui metode penelitian yang terstruktur akan mampu menjawab berbagai pertanyaan kekinian tentang sebuah wilayah yang mungkin saja sudah berubah bentuk dan fungsinya. Data tertua tentang keberadaan wilayah Sibang termuat dalam catatan biksu Chou K’u-fei tahun 1234 Masehi yang diantaranya menulis tentang wilayah kekuasaan kadiri termasuk Bali dibawah kekuasaan Raja Shri Kameswara. Disebutkan ada 3 alur bukit yang kemudian disebut Munduk, terdiri dari Munduk Kawi, Munduk Taro dan Munduk Samu yang semuanya dalam jajaran garis Batur. Selanjutnya ada perjalanan suci 4 orang biksu Buddha pada masa pemerintahan dinasti Jin yang melakukan perjalanan ke Bali juga menggambarkan tentang situasi Bali dalam buku tulisannya. Pada Bulan Novermber tahun 1244 salah satu biksu yang bernama Cin Hoan melakukan perjalanan sepanjang alirang sungai Petanu, Pekerisan, Lawas, Mas, Wos, Kunggang, Ayung, Lauh, Apit, Dawa dan sungai Tawar. Sebelumnya pada sekitar tahun 900 Masehi, sudah pula diperkirakan oleh para ahli sejarah bahwa pada masa pemerintahan Raja Sanjaya di Jawa, seorang Rsi dari perguruan Markandheya melakukan perjalanan suci bersama para pengikutnya di sepanjang aliran Sungai Ayung dan membangun perkampungan atau Kuwu disepanjang tepian sungai termasuk Sibang. Senada dengan tulisan Bhiksu Cin Hoan yang menyatakan sepanjang tepian sungai sudah berdiri rumah-rumah kayu yang berjejer ditepian sungai membentuk garis arah utara selatan dan dipimpin oleh seorang yang bergelar Kuwu. Dalam kesimpulan dari analisa para ahli sejarah diyakini bahwa pada tahun itu di daerah Bali, di pinggiran sungai-sungai besar sudah hidup penduduk yang berbudaya dan menjalin hubungan sosial religius antar sesama penduduk, alam dan Hyang atau Leluhur. Kata Pura atau Parahyangan tidak ada disebutkan dalam semua sumber Cina tersebut.

Upacara-upacara penguburan dilaksanakan penduduk dengan ritual khusus sebelum dikubur di Pelarungan atau pemakaman, itu menandakan bahwa penduduk saat itu sudah meyakini bahwa arwah nenek moyang yang sudah diupacarai dengan layak masih berada di dunia lain dan mampunyai kemampuan mengatur, melindungi dan memberkahi keturunannya yang masih hidup. Beberapa penduduk kuwu sudah memiliki kemampuan melebur bijih logam untuk membuat perkakas bertani dan berburu. Bahkan ada yang mempunyai keahlian khusus membuat hiasan dengan motif-motif tertentu dari logam. Pada masa ini system pemujaan masih sangat sederhana, penduduk melaksankan ritual sederhana bersifat magis di gunung atau bukit sebagai lambang pemujaan langit yang dipercaya sebagai tempat kediaman para leluhur yang sudah diupacara dengan pantas. Gunung atau bukit diitari oleh hutan keramat yang hanya boleh dimasuki oleh pemimpin Kuwu dan beberapa orang dukun.

Selain jenis pemujaan kepada arwah para leluhur yang dikenal dengan nama Hyang, penduduk kuwu juga memuja Air suci pada sumber-sumber air yang mereka pakai sebagai tempat mengambil air untuk kebutuhan ritual dan konsumsi sehari-hari, sumber air ini dikenal dengan nama Beji yang artinya sumber segala kehidupan. Berbeda dengan Bukit dan hutan larangan, wilayah beji bebas dilalui oleh penduduk untuk mengambil air setelah meminta ijin kepada kepala Kuwu dan melaksanakan upacara sederhana dari bahan sirih dan pinang. Semakin berkembang kehidupan penduduk Mula dan Aga sehingga semakin besar organisasi adat yang mereka miliki, semakin banyak pula tanah-tanah kosong yang dikelola sebagai tempat berccok tanam hingga meluas sampai jauh diluar kuwu yang mereka bangun sebelumnya. Kelompok-kelompok itu juga terbentuk di wilayah Munduk sesuai dengan tatanan saat itu. Penduduk yang berjumlah 5 sampai 10 Kuwu membentuk organisasi yang disebut Banua yang dipimpin oleh seorang yang disebut Bawu, dibantu oleh beberapa orang yang menjalankan tugas sehari-hari. Pemimpin penduduk yang mengurus tentang areal kuwu dan pertanian disebut Ulu-desa, yang bertugas mengatur ritual dan keagamaan dikenal dengan nama Ulu-hyang. Setelah sekian lama diyakini organisasi sederhana ini kemudian menjadi organisasi yang lebih teratur dengan nama Ulu-Apad, yang terdiri dari: Kubayan, Kebau, Singgukan, Penyarikan, Pengalian, Pemalungan, Pengebat Daun, dan Pengarah. Warga yang tercatat dalam struktur organisasi tradisional ini akan menunaikan tugas sesuai fungsi dan jabatan yang dipegang.

IV.3. Sri Astasura Ratna Bhumi Banten raja terakhir dinasti Warmadewa di Bali.

Raja terakhir yang memerintah di Bali pada masa Bali Kuna adalah Bhatara Sri Astasura Ratna Bumi Banten atau Sri Tapolung menggantikan kedudukan Bhatara Sri Walajaya Kertaningrat. Masa Bali Kuna ini berakhir setelah ditundukkan oleh Majapahit melalui expedisi Gajah Mada tahun 1343 Masehi. Pemerintahan Bhatara Sri Astasura Ratna Bumi Banten atau Sri Tapolung dimulai pada tahun 1337 dengan merombak tata pemerintahan pendahulunya, Senapati Kuturan yang dijabat oleh Ki Dalang Cemok diganti dengan Ki Mabasa Sinom, Senopati danda yang sebelumnya dijabat oleh Ki Kuda Langkat-langkat diganti dengan Ki Bima Sakti. Sang raja juga membentuk Senapati Manyiringin yang dipercayakan dijabat oleh Ki Lembu Lateng. Dalam bidang keagamaan, beliau melakukan beberapa perubahan seperti: pendeta Siwa untuk kerajaan yang dahulunya tinggal di Dewastana, dialihkan ke Kunjarasana, pandita Siwa kerajaan lainnya yang sebelumnya tinggal di Trinayana dipindahkan ke Dharmajanyar. Kedudukan Dhang Upadyaya Pujayanta sebagai pendeta kerajaan yang sebelumnya dijabat oleh pendeta di daerah Biharanasi diganti oleh Pendeta Dang Upadyaya Dharma.

Sri Astasura Ratna Bumi Banten juga membentuk badan baru pembantu raja disebut dengan Makarun Di Hyang Karamus yang dipercayakan kepada Ki Panji Sukaningrat. Untuk wilayah Buruan dibuat 2 wakil kerajaan yang masing-masing diduduki oleh Sira Maha Guru dan Dang Upadyaya Kangka, yang mengurus masalah pemerintahan dan spiritual di Buruan sebagai wakil dari kerajaan. Ki Pasung Grigis diangkat menjadi Patih Mangkubhumi, berkedudukan di Tengkulak, Patih Anom dipegang oleh Ki Kebo Iwa atau Kebo Taruna berkedudukan di Blahbatuh.

Raja Sri Astasura Ratna Bhumi Banten adalah seorang penganut Buddha yang taat terbukti pada tahun 1338 Masehi beliau banyak mendirikan tempat suci agama Buddha. Keadaan yang berlangsung aman dan tentram tersebut tiba-tiba terancam karena sikap dari Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten yang menentang dan tidak bersedia tunduk dibawah kekuasaan Ratu Majapahit Tribhuwana Tunggadewi, meskipun beliau adalah keturunan Majapahit. Pada kurun waktu pemerintahan raja Sri Astasura Ratna Bhumi Banten, daerah sebelah selatan Bayung dan wilayah sebelah utara Blanjong menjadi wilayah kekuasaan dari Ki Walungsari dan Ki Walung Singkal yang berkedudukan di desa Taro. Penduduk wilayah ini bertugas sebagai pemuja parahyangan-parahyangan peninggalan Rsi Markandya dahulu, juga menjaga wilayah hutan perburuan kerajaan yang terbentang sepanjang sungai Wos dan sungai Ayung. Sepanjang aliran kedua sungai ini berdiri banyak parahyangan yang menceritakan tentang kisah penyebaran agama Hindu di Bali yang dibawa oleh Rsi Markandheya dan para pengikutnya yang terdiri dari orang-orang Aga. Parhyangan-parahyangan tersebut hingga kini masih berdiri kokoh dan dimuliakan oleh penduduk sekitarnya, walaupun luas dan bentuknya sudah mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan jaman. Diberbagai wilayah Sibang berdiri sebelumnya pura atau parahyangan Kuna yang menjadi bukti bahwa jauh sebelum masa sekarang wilayah ini sudah dihuni penduduk dengan organisasi yang tertata rapi, walupun jumlah penduduk masih terbilang sedikit. Berdirinya pura-pura atau parahyangan tua menandakan bahwa sekte-sekte yang berkembang pada masa pemerintahan Bali Kuna sudah menjiwai tata cara kehidupan berkelompok penduduk yang memuja masing-masing Hyang di areal suci atau parahyangan. Sumber-sember air suci yang tersebar disepanjang aliran sungai yang membentang di Sibang juga menandakan aliran Waisnawa berkembang dengan jumlah pengikut yang terbilang banyak.

BAB V

EKSPANSI MAJAPAHIT

V.1. Penaklukan Majapahit terhadap kerajaan Bali.

Sri Tapolung yang bergelar Bhatara Astasura Ratna Bumi Banten, Sri Gajah Wahana menurut Babad Usana Bali Pulina adalah seorang raja sakti dari Bali yang bertahta di Bedahulu sebagai  Dhalem  pada  tahun 1337 Masehi yang dalam Purana Bali Dwipa disebutkan Beliau merupakan putra dari raja suami isteri Sri Masula Masuli dari dinasti Warmadewa.Raja Sri Astasura Ratna Bhumi Banten merupakan salah satu raja di Nusantara yang tidak bersedia tunduk terhadap kekuasaan Majapahit. Selain kesaktian beliau, pemerintahan Bali juga dibentengi oleh para patih dan tumenggung yang berjumlah sebelas orang dan terkenal keberanian dan kesaktiannya ke seluruh Nusantara. Para pejabat tinggi kerajaan Bali itu antara lain:

1. Ki Pasung Grigis, berasrama di desa Tangkulak,

2. Ki Kebo Mayura berasrama di desa Blahbatuh.

3. Ki Demung Udug Basur, Tumenggung Ki Kala Gemet, Ki Girikmana Ularan, berasrama di Bali Utara,

4. Ki Tunjung Tutur berasrama di desa Tianyar,

5. Ki Tunjung Biru berasrama di desa Tenganan,

6. Ki Buwahan berasrama di desa Batur,

7. Ki Tambyak berasrama di desa Jimbaran,

8. Ki Kopang berasrama di desa Sraya dan

9. Ki Kalung Singkal berasrama di desa Taro, tetapi pasukannya ada di Gelgel.

Beberapa saat kemudian mulailah terjadi perubahan yang sangat besar di Bali, diawali saat kerajaan Majapahit di Jawa semakin besar dan mulai melakukan penaklukan-penaklukan terhadap kerajaan kerajaan di Nusantara. Si Arya Damar dan Patih Gajah Mada, menerima perintah dari Sang Ratu Majapahit untuk menaklukkan Bali. Kidung Pamacangah menyebutkan bahwa Arya Damar sebagai penguasa bawahan Majapahit di Palembang yang membantu Majapahit dalam usaha menaklukkan Bali pada tahun 1343 Masehi dengan memimpin 15.000 prajurit menyerang Bali dari arah utara. Sementara Mahapatih Gajah Mada menuju arah timur Majapahit, bersama keluarga dan prajuritnya untuk menyerang Bali dari arah selatan dengan prajurit berjumlah 15.000 orang bersenjata lengkap, sementara Sang Arya Damar mempersiapkan penyerangan dari arah utara Bali. Pada saat mulai terlihat asap mengepul bergulung-gulung ke angkasa pulau Bali, pertanda Sang Arya Damar mulai menyerang prajurit Bali dari utara, perang dahsyat terjadi di daerah Ularan sampai sekitar tujuh hari tujuh malam tiada henti. Ki Pasung Giri yang memimpin pasukan Bali utara mengamuk, tidak terhitung pasukan yang tewas dalam pertempuran itu. Setelah hampir bertempur selama dua hari, pasukan Melayu pimpinan Arya Damar berhasil mengalahkan pasukan Bali setelah Ki Pasung Giri Tewas.

Pasukan Malayu selanjutnya membangun benteng dan pemukiman di desa Ularan, karena belum semua wilayah Bali berhasil ditaklukkan. Beberapa saat kemudian datang bala bantuan dari Majapahit dibawah pimpinan Arya Kutawaringin bergabung dengan pasukan Malayu di Benteng Ularan. Pergerakan kembali dilakukan untuk menyerang benteng-benteng Bali, dengan jumlah pasukan yang sangat banyak seluruh benteng bagian utara dan barat Bali berhasil dikuasai. Hanya benteng bagian timur yang berpusat di Batur dibawah pimpinan Ki Buwahan yang belum berhasil ditaklukkan. Baru setelah melakukan serangan tanpa berhenti selama 7 bulan, daerah Batur berhasil dikuasai pasukan Majapahit setelah pimpinan Batur, Ki Buwahan gugur di medan laga.

Pertempuran di pantai Bali Selatan Bali yang dipimpin oleh Mahapatih Gajah Mada tidak kalah pula hebatnya, gelombang laut yang besar membawa keuntungan bagi pasukan Gudug Basur dan Ki Tambyak yang bertahan di pesisir pantai. Banyak perahu-perahu pasukan Majapahit yang tenggelam sebelum sempat melakukan pendaratan. Walaupun demikian pertempuran sengit terjadi pula, setelah pasukan Majapahit melakukan pendaratan yang tak henti-hentinya. 6 orang perwita Majapahit yang masing-masing memimpin pasukan yang berjumlah 15.000 orang, disambut oleh pasukan Bali yang sejak lama telah mengadakan pertahanan dengan rapat. Medan yang luas dan datar, ditambah pula dengan tidak adanya pohon-pohon besar yang melindungi pertahanan pasukan Bali, sangat memudahkan pihak penyerang untuk mengarahkan panah dan tombak dari atas perahu, sehingga banyak memakan korban dari pasukan Bali. Demikianlah disana-sini terjadi pertempuran-pertempuran yang serentak, sehingga hanya dalam waktu 7 hari pesisir pantai Bali Selatan telah dapat diduduki oleh pasukan Majapahit yang sangat besar jumlahnya. Ki Gudug Basur dan Ki Tambyak gugur dalam pertempuran itu bersama-sama dengan ribuan pasukan lainnya dari kedua belah pihak. Sementara itu kesatuan-kesatuan pasukan Sunda yang dipimpin oleh Adipati Takung melakukan pendaratan di pantai bagian barat Bali, berhasil dengan gemilang menyusup ke pusat kota Bedaulu menyamar sebagai penduduk biasa. Pasukan pimpinan Arya Damar dan Arya Kutawaringin bertemu dengan pasukan Majapahit pimpinan Mahapatih Gajah Mada di Desa Tawing menyusun rencana menyerang kota raja Bedaulu. Pada tahun 1343 Masehi seluruh pasukan Bali takluk kepada Majapahit, ribuan pasukan tewas dari kedua belah pihak, sisa-sisa pasukan Bali akhirnya menyerah menjadi tawanan termasuk Ki Pasung Grigis. Sebelum bertolak kembali ke Majapahit, Mahapatih Gajah Mada menepatkan para arya di berbagai daerah untuk menjaga keamanan Bali, diantaranya: Arya Kenceng, Arya Sentong, Beleteng, Arya Kutawaringin, Arya Belog dan Arya Binculuk.

V.2. Masa kekosongan pemerintahan Bali.

Setelah pulau Bali dapat ditaklukan oleh Maha Patih Gajah Mada pada tahun 1343, Bali kemudian menjadi wilayah yang kosong tanpa struktur pemerintahan yang kuat sehingga tidak mampu mengatur masyarakat Bali. Penahanan raja patih Pasung Grigis di Tengkulak, ternyata menjadi benih-benih kemarahan penduduk di Bali. Akhirnya setelah Pasung Grigis menyatakan setia kepada kerajaan Majapahit. Untuk menguji kesetiaanya itu, Pasung Grigis lalu diangkat menjadi Panglima Perang untuk menggempur kerajaan Sumbawa dengan rajanya yang bernama Dadela Natha, yang tidak sudi tunduk dibawah kekuasaan Majapahit. Ki Pasung Grigis akhirnya tewas bersama sama dengan Dadela Natha dalam perang tanding yang sangat seru saat penyerangan Sumbawa. Berita tewasnya Ki Pasung Grigis di Sumbawa, menyebakan timbulnya kekacauan-kekacauan di seluruh pelosok pedesaan Bali. Orang-orang Bali Aga serentak mengangkat senjata, di berbagai desa, benteng-benteng kedudukan pasukan Majapahit dikepung dan diserbu dan dibakar. Banyak korban yang diderita oleh pasukan Majapahit, yang tewas tidak terhingga, juga yang menderita luka-luka. Menerima laporan itu, dikirimlah bala bantuan yang besar jumlahnya dari Majapahit, untuk memadamkan berbagai pemberontakan itu. Pasukan Majapahit yang besar jumlahnya lalu mengadakan pendaratan di pantai Bali Selatan. Pertempuran sengit kembali terjadi, masing-masing pihak memperlihatkan keunggulannya, Akhirnya pasukan Majapahit mendapat kemenangan. Tidak kurang dari 20.000 orang pasukan yang tewas dan luka-luka didalam pertempuran itu. Tepat terjadinya pertempuran yang dahsyat itu kini bernama Yeh Slukat di Gianyar. Demikianlah antara lain disebutkan di dalam kitab Usana Jawa, tentang berbagai pemberontakan yang terjadi di desa-desa sebelum kerajaan Majapahit menempatkan wakilnya di Bali. Berdasarkan data yang terdapat di dalam kitab Usana Jawa tersebut, rupanya sebuah pura besar yang bernama Pura Kentel Gumi di desa Tusan Klungkung didirikan pada waktu itu. Nama pura itu mengesankan, bahwa ketentraman di Bali telah dapat dipulihkan. Di Pura Kentel Gumi kemudian diumumkan penaklukan pulau Bali, setelah pasukan Majapahit mencapai kemenangan. Pura besar tersebut dapat dipandang sebagai Tugu kemenangan serta melambangkan kekuasaan Majapahit di Pulau Bali. Sementara waktu Ki Patih Ulung, salah satu Arya Bali diperintahkan untuk mengatur pemerintahan Bali berkedudukan di Gelgel bersama-sama dengan para Arya dari Jawa yang ditempatkan di berbagai wilayah Bali, seperti:

1. Arya Kenceng memerintah di Tabanan dengan rakyat sebanyak 40.000 orang, selanjutnya beliau membangun istana bernama Istana Pucangan pada tahun 1343 Masehi. Wilayah kekuasaan Arya Kenceng sangat luas, dengan batas timur Sungai Panahan, batas barat Sungai Sapwan, batas utara Gunung Batukaru dan batas selatan meliputi Sanda, Kerambitan, Balumbang, Tangguntiti, Bajra.

2. Arya Sentong di Pacung dan selanjutnya membangun istana di Perean dengan batas kekuasaan juga sangat luas, antara lain: batas utara Sungai Ketipat, batas barat Sungai Yeh Pana, batas selatan Pesisir Pantai Belong dan batas timur Sungai Ayung.

3. Arya Beleteng di Tangkas,

4. Arya Kutawaringin di Gelgel,

5. Arya Belog di Kaba-kaba

6. Arya Dalancang di Kapal.

7. Arya Belentong di Pacung

8. Kriyan Punta di Mambal.

9. Kriyan Jrudeh di Temukti

10. Kriyan Tumenggung di Petemon.

11. Kriyan Demung Wang Bang Kediri Kertalangu.

12. Arya Sura Wang Bang Lasem di Sukahet.

13. Arya Wang Bang Mataram berkelana.

14. Arya Melel Cengkrong di Jembrana.

15. Arya Pemacekan di Bondalem.

Demikianlah jumlah para pemimpin Bali setelah ditaklukan oleh Majapahit, masing-masing mereka yang memimpin selanjutnya membangun istana dan mengelola wilayah bersama dengan rakyatnya. Sibang pada masa ini menjadi wilayah kekuasaan dari Kriyan Punta di Mambal. Segala hal yang berkaitan dengan urusan wilayah di Sibang diatur sepenuhnya oleh para petinggi di Mambal.

BAB VI

DINASTI KEPAKISAN DI BALI

Perang Pertama antara Majapahit melawan Kerajaan Bali Kuna terjadi di tahun 1265 Saka atau tahun 1343 Masehi. Saat perang itu, Ki Kebo Waruna, dan Ki Gudug Basur gugur di medan perang. Setelah perang besar itu hancurlah Kerajaan Bali Kuna, Sehingga tidak ada penguasa yang memerintah di Bali. Kemudian ada rapat para Arya keturunan dari Mpu Dwijaksara di Bali berkeinginan menghadap ke Majapahit memohon petunjuk Raja Majapahit, apa yang harus mereka lakukan untuk mengisi kekosongan pemerintahan di Bali saat itu. Para Arya Bali yang berangkat menghadap Raja Majapahit antara lain: Kyai Patih Ulung, Kyai Pemacekan, Kyai Kepasekan, Kyai Padang Subadra.

VI.1. Ida Sri Aji Cili Ketut Soma Kresna Kepakisan.

Berkaitan dengan kedatangan para arya dari Bali itu, kemudian dengan segera Prabhu Jayanegara, mengirim utusan ke Kediri, Menghadap Ida Sri Mpu Soma Kresna Kepakisan, memohon putra beliau yang paling kecil, agar bersedia menjadi pemimpin di Bali. Ida Sri Aji Cili Ketut Soma Kresna Kepakisan tiba di Bali tahun 1352 Masehi, diangkat menjadi raja di Keraton Samprangan, setelah upacara abhiseka, Bergelar Sri Aji Dalem Ketut Kresna Kepakisan. Pengikut beliau, antara lain: Si Tan Kawur, Si Tan Mundur, Si Tan Kober, diberikan tempat di desa Tianyar.

Pada masa ini masih juga terjadi berbagai pemberontakan di Bali, terutama yang mendiami wilayah pegunungan, desa-desa di gunung yang masih belum aman, antara lain: Desa Culik, Skul, Bulakan, Tista, Kunir, Simanten, Basangalas, Sarinten, Tulamben, Get, Lokasrana, Batu Dawa, Margatiga, Puan, Juntal, Crutcut, Bantas, Kerta Bayem, Watu Wayang, Kedampal dan Desa Asti.

Setelah sekian lama pemerintahan Sri Aji Dalem Ketut Kresna Kepakisan, merasa putus asa lanjut mengirim utusan menghadap kepada Sang Prabhu Jayanegara, utusan terdiri dari; Kyai Patih Wulung, Kyai Pemacekan, Kyai Kepasekan dan Kyai Padang Subadra. Oleh Sang Prabu Majapahit, para utusan diterima dengan baik, sepulangnya dititipkan keris pusaka Ki Lobar dan busana kadipatian kepada Sri Aji Dalem Ketut Kresna Kepakisan. Diyakini dengan keris pusaka dan bhusana kadipatian itu pulau Bali akan berhasil diamankan. Dalem Kresna Kepakisan juga melaksanakan pertemuan besar di Samprangan dengan mengundang para pemimpin dan tokoh Bali untuk membahas tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan Pura Besakih. Sri Aji Dalem Ketut Kresna Kepakisan, mempunyai permaisuri dampati, puteri Mpu dari Ketepeng, yang bernama Ni Diah Amretha Jiwa, menurunkan putra laki perempuan sebanyak 4 orang, antara lain: Sri Dewa Ile, Sri Dewa Tarukan, Isteri menikah ke Blambangan dan Sri Dewa ketut Ngulesir. Selain 4 putra diatas, ada juga putra yang lahir dari selir, yang bernama I Dewa Tegal Besung.

Daerah Sibang pada masa awal pemerintahan Gelgel berada didalam wilayah kekuasaan Kriyan Punta yang berkedudukan di Mambal. Beliau menguasai wilayah tengah yang sangat luas mulai dari Mambal, Sibang, Belumbungan, Gerih, Penarungan dan Peguyangan. Menguasai desa-desa disepanjang aliran sungai Bangiang. Sehingga bisa dipastikan bahwa daerah Sibang berada dalam kendali pemerintahan penguasa di Mambal. Segala bentuk permasalahan-permasalah daerah diselesaikan di Mambal pada kisaran tahun 1400 sampai dengan tahun 1500 Masehi. Penduduk Sibang juga membayar kewajiban pajak tanah kepada penguasa di Mambal, pada setiap upacara yang dilaksanakan oleh penguasa Mambal, selalu ada penduduk yang diutus sebagai wakil yang melakukan tugas-tugas khusus bahkan hingga berbulan-bulan lamanya.

VI.2. Ida Sri Dalem Ile.

Setelah Sri Aji Dalem Ketut Kresna Kepakisan mangkat. digantikan oleh Ida Sri Dalem Ile, tetapi beliau dianggap kurang cakap dalam memerintah, sehingga para Manca dan Punggawa menjadi risau. Sementara Ida Dalem Tarukan mengembara menjadi orang biasa karena status beliau sebagai orang buruan kerajaan karena kesalahfahaman dengan kakak beliau. Selanjutnya beliau menurunkan banyak keturunan dan tanpa menggunakan gelar kebangsawanan sebagai keturunan utama Dalem Majapahit. Tidak dikisahkan lebih jauh tentang pemerintahan Ida Sri Dalem Ile yang tidak terkendali, karena beliau tergila-gila terhadap kecantikan istrinya yang bernama Ida Sri Dewi dari Pusering Tasik.

VI.3. Ida Sri Dewa Ketut Ngulesir bergelar Sri Dalem Ketut Smara Kepakisan.

Para Manca dan Punggawa Samprangan yang risau terhadap kepemimpinan Ida Dalem Ile, sepakat untuk mengutus Rakriyan Patih Kebon Tubuh untuk mencari Ida Sri Dewa Ketut Ngulesir agar bersedia menggantikan kakak beliau menjadi raja. Pencarian berakhir di Desa Pandak, beliau ditemukan sedang asyik berjudi sabung ayam dengan penduduk Desa Pandak. Rakriyan Patih Kebon Tubuh mengutarakan niatnya menjemput beliau, Dewa Ketut Ngulesir bersedia dan berjanji bila beliau menjadi raja, akan menganugerahkan gelar kehormatan Pungakan kepada seluruh penduduk Desa Pandak.

Sesampai Dewa Ketut Ngulesir di Samprangan, Ida Sri Dalem Ile sedang sakit keras, tahun 1380 Masehi beliau mangkat digantikan oleh Dewa Ketut Ngulesir dengan abhiseka Sri Dalem Ketut Smara Kepakisan tahun 1385 Masehi dan memindahkan pusat pemerintahan dari Samprangan ke Gelgel dengan nama Kraton Swecapura. Tahun 1430 Masehi Sri Dalem Ketut Smara Kepakisan melaksanakan upacara Maligya Raja Dewata Sri Aji Astasura Ratnabhumi Banten, sehingga beliau menjadi sangat dihormati oleh masyarakat Bali yang sebelumnya kurang taat kepada Ida Dalem Samprangan. Beberapa saat sesudah upacara dilaksanakan, Sri Dalem Ketut Smara Kepakisan melakukan perjalanan ke Majapahit menghadap kepada Raja Sri Hayam Wuruk untuk menghaturkan upeti. Oleh Raja Majapahit beliau kemudian dianugerahi Keris Pusaka bernama Ki Taksaka, karena sebuah kejadian yang terjadi di Arungan dekat Jimbaran, nama keris Ki Taksaka kemudian dirubah menjadi Ki Bagawan Canggu.

Dua tahun setelah itu Sri Dalem Ketut Smara Kepakisan kembali berlayar ke Madhura memenuhi undangan dari Rakriyan Mahapatih Madu yang sedang melaksanakan upacara Maligya yang dipimpin oleh Sri Mpu Bujangga Kayu Manis dari Keling. Setelah selesai upacara Maligya di Madhura, Dalem Ketut mengundang Mpu Bhujangga Kayu Manis untuk bersedia datang ke Bali untuk memimpin upacara Mapudgala yang beliau laksanakan di Gelgel.

VI.4. Sri Dalem Waturenggong Jaya Kepakisan.

Ida Sri Dalem Ketut Semara Kepakisan menurunkan 3 orang putra laki-laki dan dan perempuan masing-masing bernama: Ida Sri Dewa Waturenggong, I Dewa Gedong Arta dan Sri Dewi Manik. Ida Sri Dewa Waturenggong kemudian menggantikan ayahnya menjadi raja, dengan gelar Sri Dalem Waturenggong Jaya Kepakisan. Pada pemerintahan beliaulah kerajaan Bali mencapai masa jayanya, terkenal sampai ke daerah-daerah jauh. Pemerintahan beliau diperkirakan pada tahun 1525 Masehi, kepemerintahan beliau tertulis dalam Lontar Usana Bali, Raja Purana Besakih dan Babad Dalem bertepatan dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit di Jawa.

Pada tahun 1537 Masehi datang ke Bali Dang Hyang Nirartha yang selanjutnya diangkat menjadi Bhagawanta Gelgel dan selanjutnya menurunkan wangsa Brahmana Siwa di Bali hingga kini. Pada masa pemerintahan Sri Dalem Waturenggong Jaya Kepakisan, Bali mencapai puncak kejayaan, berhasil menaklukkan dan menguasai Blambangan Jawa Timur tahun 1542 Masehi, menaklukan Puger tahun 1540 Masehi, Lombok dan Sumbawa Barat seperti yang diungkapkan oleh Cornelis Christiaan Berg dalam bukunya yang berjudul De Middeljavaansche Historische Traditie. diterbitkan oleh Santpoort: C.A. Mees, tahun 1927, termuat pada halaman 138-139. Sekilas pemerintahan beliau juga termuat dalam buku karya penulis Portugis, Mandes Pinto Fernao yang berjudul Peregrinacam yang ditulis pada tahun 1509-1583 Masehi. Sri Dalem Waturenggong Jaya Kepakisan menurunkan 2 orang putra masing-masing bernama Dalem Bekung dan Dalem Sagening yang selanjutnya memerintah secara bergiliran setelah mangkat. Putra dari Mpu Angsoka yang bernama Mpu Astapaka juga melakukan perjalanan suci pada masa pemerintahan Sri Dalem Waturenggong Jaya Kepakisan, dalam Babad Dalem dikisahkan karena suatu kejadian ada bhisama dari Mpu Astapaka untuk raja-raja keturunan beliau apabila mangkat nanti patut memakai upacara ritual Naga Bandha. Pada tahun 1850, dibawah pemerintahan Dalem Waturenggong, yang memerintah dari tahun 1460 sampai dengan 1550 Bali mencapai puncak kemegahan. Hal itu terjadi dengan bersatunya kekuatan Aga, Mula dan para Arya Kediri serta Arya Majapahit. Sistem pemerintahan Gelgel pada masa ini adalah dengan menyebarkan secara merata penduduk yang terdiri dari masyarakat Mula, Aga, Arya Kediri dan Arya Majapahit keseluruh wilayah Bali, juga di desa-desa tua yang dulunya merupakan wilayah Kuwu atau Banua Bali. Hal ini membuat daerah-daerah yang mempunyai jarak yang jauh dari Gelgel masih bisa tetap dipantau kerajaan. Pada masa ini Sibang mulai menjalin lagi hubungan kepercayaan dan keyakinan dengan daerah-daerah sekitar, seringkali dalam upacara-upacara besar mereka saling bertukar bahan upacara, tenaga penyandang dan air suci.

Salah satu wilayah kekuasaan Bali yang berada diluar pulau Bali adalah Blambangan, setelah ditaklukkan oleh dulang Mangap Gelgel. Laskar Dulang Mangap berhasil mendahului pergerakan laskar Demak pimpinan Sultan Trenggana yang hanya mampu menguasai beberapa wilayah Pasuruan. Kerajaan Blambangan ini terletak di timur kota Banyuwangi di Jawa Timur dengan wilayah yang langsung berbatasan dengan Selat Bali, sehingga bisa dipastikan bahwa Blambangan termasuk kerajaan pesisir. Semenjak keruntuhan Majapahit, Demak, Pajang dan Mataram seringkali melakukan penyerangan ke Blambangan yang beribukota di Penarukan, namun sekian kali usaha tersebut mengalami kegagalan. Hal itu terjadi karena Bali menepatkan laskar pilihan di Blambangan yang mendiami wilayah seputar kotaraja Blambangan. Sebagian besar dari mereka adalah laskar Bandesa dan Gelgel yang terkenal akan keberaniannya pada setiap tugas yang diemban. mereka membangun pemukiman layaknya penduduk biasa di wilayah Kertosari, Sobo, Panderejo dan Penganjuran. Saat terjadi penaklukan terhadap Pasuruan oleh Demak, pada tahun 1545 Masehi sebagian besar ksatria dan Brahmana Pasuruan yang meninggalkan Pasuruan mengungsi ke Blambangan, Bali dan beberapa pegunungan di sekitar Semeru. Kerajaan Blambangan menjalin hubungan dagang dengan para saudagar luar, seperti Cina, India, Inggris dan Portugis, sehingga menjadi wilayah yang sangat ramai, terutama pada wilayah pesisirnya. Usaha Demak menguasai Blambangan berakhir saat Sultan Trenggana tewas pada sebuah pertempuran di dekat kotaraja Penarukan pada tahun 1546 Masehi. Demikian sekilas situasi kerajaan Blambangan pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong di Bali. Dalem Batur Enggong mangkat tahun 1550 Masehi, beliau menurunkan 2 orang Putra dan 1 orang Putri yaitu : Raden Pangharsa atau Dalem Bekung, Raden Anom Sagening atau Dalem Sagening dan seorang putri tidak diceritakan lebih lanjut. Setelah Dalem Watur Enggong Wafat maka putra tertua yaitu Raden Pangharsa dinobatkan sebagai Raja Gelgel tahun 1560 dengan Gelar Sri Aji Pamahyun atau Dalem Bekung karena beliau tidak mempunyai keturunan.

VI.5. Berbagai gejolak di Puri Swecapura.

Setelah Dhalem Waturenggong mangkat, putra-putra beliau masih semuanya berusia belia, sehingga sementara waktu pemerintahan dipegang oleh I Dewa Anggungan, dibantu oleh Rakriyan Batan Jeruk. Dikisahkan Rakriyan Batan Jeruk yang ingin melakukan pemberontakan bersekutu dengan I Dewa Anggungan, dengan cara membunuh para putra mahkota Swecapura. Rencana jahat itu didengar oleh Rakriyan Kebon Tubuh yang masih setia, segera menyelamatkan ketiga putra Dalem Bali dengan melobangi tembok, menyeberang di halaman rumah Kryan Penulisan, menuju ke Desa Pekandelan. Selanjutnya situasi menjadi tidak terkendali, Rakriyan Batan Jeruk mengamuk di istana dan menewaskan banyak pelayan. Kyai Pinatih, Kyai Kapal, Kyai Abiansemal, Kyai Kebon Tubuh, Kyai Sukahet, Kyai Pegatepan, Kyai Kaba-kaba, Kyai Pacung dan Kyai Brangsinga segera memburu dan menewaskan Rakryan Batan Jeruk dalam kerusuhan itu. Banyak juga para pengikut Batan Jeruk yang tewas, beberapa orang berhasil melarikan diri antara lain: Ki Gusti Tusan bersembunyi di rumah pamanya, I Pande Tusan, I Gusti Bebengan dan I Gusti Gung Nangka bersembunyi di utara gunung, Kyai Prajurit bersembunyi di rumah Ki Pasek Manduang, sementara I Dewa Anggungan akhirnya menyerah. Setelah pemberontakkan berhasil diatasi, Sweca Pura diatur oleh para punggawa Gelgel yang setia, antara lain: I Gusti Agung, Ki Gusti Nginte, Ki Gusti Jelantik, Arya Pinatih, Arya Dawuh, Ki Gusti Lanang Jungutan, Ki Gusti Tapalara dan Ki Gusti Lod.

VI.6. Ida Sri Dalem Pamayun.

Setelah putra mahkota Gelgel dewasa, kekuasaan Gelgel dipegang oleh Ida Sri Dewa Pamayun setelah abhiseka bergelar Ida Sri Dalem Pamayun, dibantu oleh Ida Sri Dewa Anom Sagening. Tetapi masa pemerintahan beliau, kerajaan tidak mempunyai wibawa, karena Ida Sri Dalem Pamayun sangat tergila-gila dengan isterinya yang cantik, yang bernama Ki Gusti Ayu Samantiga, sehingga beliau tidak mempunyai waktu untuk mengurus kepemerintahan. Banyak kejadian-kejadian yang terjadi memerosotkan wibawa puri, karena beliau kurang tegas dalam mengambil sikap sebagai seorang raja. Ada beberapa pemberontakan kecil di Gelgel, seperti yang dilakukan oleh penguasa Kuta I Gusti Ngurah Telabah, yang menyertakan I Capung sebagai pembunuh. Hal itu berbuntut panjang, sampai hancurnya semua keluarga I Gusti Ngurah Telabah. Pemberontakan itu dipimpin oleh I Gusti Ngurah Pande, bersama ketiga putra beliau, antara lain : I Gusti Byasama, I Gusti Jelagog, I Gusti Palumpung.

Ida Sri Dalem Pamayun tidak mempunyai keturunan, itulah sebabnya beliau lebih dikenal dengan nama Sri Dalem Bekung. Setelah cukup lama beliau memegang kekuasaan di Gelgel, beliau merasa tidak sanggup mengatur pemerintahan, dengan berbesar hati beliau kemudian meninggalkan Gelgel, membangun puri di Desa Kapal.

VI.7. Ida Sri Dalem Anom Sagening Dharma Kepakisan.

Tahun 1580 Masehi, Ida Dalem Anom Sagening diangkat menjadi Raja Gelgel, dengan gelar Ida Sri Dalem Anom Sagening Dharma Kepakisan. Dalam pemerintahan beliau Kerajaan Gelgel mulai bangkit kembali, kerajaan berangsur-angsur menjadi kuat. Tahun 1626 Masehi, pasukan Bali menyerang Sasak yang ingin lepas dari kekuasaan Gelgel, dipimpin oleh Kryan Tabanan dan Kryan Tabah. Pasukan Sasak yang dipimpin oleh Ki Kebo Mundar akhirnya menyerah, tetapi oleh Dalem Sagening masih diberikan kuasa untuk mengatur pemerintahan di Sasak sebagai nagari bawahan Gelgel. Kriyan Tabah yang melarikan diri dari peperangan diturunkan derajat kebangsawanannya, daerah Badung yang merupakan wilayah kekuasaan Kriyan Tabah sebelumnya dicabut dan diberikan penguasaanya kepada Kyai Ngurah Tegeh Kuri yang selanjutnya membangun Nagari Pemecutan. Para putra dari Ida Dalem Anom Sagening antara lain: yang beribu dari permaisuri antara lain; I Dewa Ayu Rangda Gowang dan Sri Dewa Dimadya. Putra beliau dari selir antara lain: I Dewa Lebah, I Dewa Karangasem, I Dewa Sumerta, I Dewa Blayu, I Dewa Bedulu, I Dewa Anom, I Dewa Cau, I Dewa Sidan, I Dewa Pasawan, I Dewa Meregan, I Dewa Kulit, dan I Dewa Kabetan. Ada Juga Putra-putra beliau yang lain, seperti Anglurah Panji, Anglurah Mambal dan I Dewa Manggis Kuning.

Masa ini pada tahun 1633 Blambangan dan Bima melepaskan diri dari kerajaan Bali, disusul dengan Lombok yang juga melepaskan diri pada tahun 1640 Masehi. Tahun 1665 Masehi Blambangan dibawah kekuasaan Raja Tawang Alun II mencapai puncak kejayaan dengan wilayah meliputi Jember, Lumajang dan Situbondo. Dalam berbagai usaha mempertahankan kedaulatan Blambangan dari serangan Mataram dan VOC, menyebabkan tanah Blambangan kehilangan penduduk dalam jumlah yang besar, baik meninggal karena peperangan maupun sebagai tawanan perang.

Pada tahun 1613- 1629 kerajaan Mataram dibawah pimpinan Sultan Agung melakukan berbagai penaklukan dimulai dengan menundukkan Gresik, Surabaya, Kediri, Pasuruan dan Tuban, selanjutnya Lasem, Pamekasan, dan Sumenep. Dengan demikian seluruh Jawa telah tunduk di bawah Mataram, dan luar Jawa kekuasaan meluas sampai Palembang, Sukadana (Kalimantan), dan Goa. Usaha penaklukan juga menyasar Jawa Tengah, setelah berhasil menaklukan Cirebon beliau mengerahkan laskar yang besar untuk menaklukkan Batavia tetapi gagal karena kekurangan perbekalan pasukan. Sultan Agung selanjutnya mulai mengarahkan serangan ke Blambangan yang terlihat lemah tetapi dengan gigih disokong oleh para ksatrian Bandesa Bali yang sering berperang, karena sangat sadar akan klaim lama Jawa untuk menguasai pulau-pulau sekitarnya, dengan gigih melawan usaha Mataram memperluas kekuasaannya atas negeri pantai di seberang Bali. Perlawanan mereka terhadap dominasi politik Jawa membuat para ksatria Bandesa dan Pasek Bali terus mempertahankan struktur sosial kuno mereka.

Pada tahun 1633 Masehi, Sultan Agung menyerang Blambangan dengan kekuatan penuh setelah berhasil menguasai Giri, Penarukan dan Blitar, Ibukota Blambangan yang sudah berpindah dari Lumajang ke Kedhawung dikepung. Tahun 1635 Masehi, Sultan Agung mengirim lagi laskar dalam jumlah sangat banyak dipimpin oleh Pangeran Selarong dengan induk pasukan berpusat di Kediri. Penduduk Blambangan ketakutan, geger mengungsi ke kota. Sang Adipati Blambangan lalu meminta bantuan kepada pasukan Bali yang berjumlah 500 orang dipimpin oleh Dewa Lengkara dan Dewa Agung, dibantu Panji Baleleng dan Panji Macan Kuning. Sang Adipati Blambangan beserta prajurit dan bantuan dari pasukan Bali berangkat menyambut musuh dari Mataram itu di batas kota. Pagi hari perang pun terjadi, saling menembak, menombak, sengit pertempuran itu. Bala prajurit Bali bersenjata tulup, paser yang beracun yang menewaskan banyak pasukan Mataram. Setelah bertempur dengan gagah selama 18 hari, akhirnya Blambangan takluk terhadap Mataram. Nakhoda kapal Wilde Vercken yang kembali dari pelayarannya di Bali melaporkan pada tanggal 12 Mei 1636 bahwa Penguasa Mataram menguasai Blambangan dengan pasukan perang sejumlah 40.000 orang membakar dan menghancurkan kotaraja Blambangan. Tetapi dengan bantuan pasukan Bali, Blambangan berhasil mengusir pasukan Mataram dari Kotaraja Blambangan. Baru pada tahun 1639 Masehi Blambangan berhasil ditaklukkan dan dikuasi oleh Mataram.

Usaha pasukan Mataram menyerang Bali beberapa tahun setelah penaklukkan terhadap Blambangan mengalami kegagalan, karena kuatnya pertahanan pasukan Bali di pesisir Sanur pada saat itu. Setelah kegagalan penyerangan terhadap Bali, Dalem Sagening kembali mengirim pasukan secara diam-diam menuju Blambangan, bergabung dengan sisa-sisa pasukan Bali yang terdiri dari Para Bandesa dan Pasek yang sudah terlebih dahulu menyamar menjadi penduduk Blambangan pada era sebelumnya. Tanpa disadari oleh Mataram, desa-desa Blambangan penuh oleh pasukan Bali yang menyamar sebagai penduduk biasa.

VI.8. Ida Sri Dewa Dimadya.

Ida Sri Dalem Sagening Dharma Kepakisan mangkat karena usia lanjut, digantikan oleh putra beliau yang bernama Ida Sri Dewa Dimadya, tahun 1665 Masehi, Ida Sri Dewa Dimadya menjadi raja Gelgel dengan gelar Ida Dalem Dimadya Buda Kepakisan. Di pemerintahan beliau kembali menurun wibawa kerajaan Gelgel. Daerah taklukan di Sasak, Sumbawa sering diganggu oleh prajurit dari Makasar, Blambangan diganggu oleh prajurit dari Pasuruhan. Kryan Patih Agung Manginte juga sudah berpulang karena usia lanjut, Digantikan oleh putranya yang bernama Ki Gusti Agung Widia yang lebih dikenal dengan nama Ki Gusti Agung Maruti.

Diceritakan wilayah Nusa Penida tidak dalam situasi tentram oleh perbuatan semena-mena Dalem Bungkut, hal itu disampaikan kepada Dalem Bali oleh Ki Bendesa Nusa Penida, seandainya Dalem Bali bisa mengalahkan Sang Dalem Bungkut, wilayah Nusa Penida akan dihaturkan kepada Dalem Bali. Mendapat laporan seperti itu, maka diutuslah bala tentara Bali yang dipimpin oleh Kyai Ngurah Jelantik Bongol, diberikan anugrah senjata pusaka, bekas pemberian Patih Gajah Mada di Majapahit, yang bernama Ki Cacaran Bangbang. Tetapi keris pusaka itu tidak mempan di tubuh Dalem Bungkut. Baru kemudian dengan memakai keris pusaka isterinya yang bernama Ki Gusti Ayu Kaler, Dalem Bungkut bisa dibunuh. Konon keris pusaka itu adalah anugerah dari Ida Bhatara Basuki di Besakih. Setelah Kyai Ngurah Jelantik Bogol memperabukan mayat Dalem Bungkut, dirampaslah semua isi puri berupa mas, manik manikam, dihaturkan kepada Dalem Bali. Juga rakyat Nusa yang dikenal dengan nama Manusia Kajim yang berjumlah 14.000 orang. Atas jasanya tersebut, Kyai Ngurah Jelantik Bogol dianugrahi keris pusaka Ki Mrecu Jiwa oleh Dalem Bali.

Dalam kesempatan yang baik, Dalem Dimadya berburu di tengah hutan, banyak sekali beliau mendapat hewan buruan, karena kemalaman, beliau beristirahat di kediaman Dukuh Suladri. Ida Dalem kemudian mengambil putri sulung Ki Dukuh. Kemudian mempunyai seorang putri bernama Ida Ni Dewi Ayu Mas. Karena sakit, putri beliau kemudian dikirim ke Pedukuhan Suladri, setelah sembuh, kemudian saling jatuh cinta dengan seorang pemuda yang bernama Sang Bagus Anom Tirtha, sampai kemudian Ni Dewi Ayu Mas hamil. Mendengar hal tersebut Dalem Gelgel sangat murka, lalu mengirim bala tentara untuk menangkap Sang Bagus Anom Tirtha, saat akan dijatuhi hukuman, tiba-tiba terdengar sabda dari langit, yang mengatakan bahwa Sang Bagus Anom Tirtha adalah keturunan uttama, putra kesayangan dari Bhatara di Batur. Sabda itu membuat Dalem tidak jadi menghukum Sang Bagus Anom Tirtha, bahkan kemudian diberikan anugrah menjaga keamanan di Puri Swecapura dengan Gelar I Dewa Pungakan Den Bancingah.

Kembali dikisahkan di Mataram, setelah Sultan Agung mangkat, digantikan oleh putra beliau yang selanjutnya menjadi raja dari tahun 1646 hingga 1677 Masehi bergelar Sasuhunan Amangkurat I. Masa ini kembali terjadi pergerakan penduduk Blambangan dibantu oleh pasukan Bali melakukan sergapan-sergapan mematikan pada kantong-kantong kekuasaan Mataram yang menimbulkan banyak korban difihak Mataram. Untuk memadamkan pemberontakan di Blambangan, Sasuhunan Amangkurat I mengirim pasukan dalam jumlah besar menuju Blambangan, dipimpin oleh Tumenggung Wiraguna pada tahun 1647 Masehi. Usaha ini gagal karena banyak bala tentara Mataram yang tewas akibat terjangkit wabah menular, Tumenggung Wiraguna memutuskan menarik kembali ke Kediri sisa-sisa bala tentaranya yang masih hidup, tetapi Tumenggung Wiraguna akhirnya dihukum mati karena dianggap lalai dan ingin melakukan pemberontakan kepada raja Mataram. Bali kembali berkuasa terhadap Blambangan pada sekitar tahun 1652 Masehi tanpa dapat dicegah oleh Mataram yang mulai sibuk menjalin hubungan baik dengan VOC. Laporan politik VOC mengisahkan tentang usaha mereka mengambil hati penguasa mataram dengan membanjiri istana Mataram dengan hadiah, berupa kuda-kuda terbaik dari Parsi, berbagai tipe meriam modern, Uang, berlian dan benda-benda aneh dengan nilai hampir 60.000 Gulden. Selama itu pula kekuatan bala tentara Bali yang menghuni tempat-tempat penting di Blambangan semakin berkembang menjadi kekuatan yang hampir sama dengan penduduk asli Blambangan.

Babad Jawa dan seorang Misionaris dan penulis Belanda dalam bukunya yang berjudul Oud en Nieuw Oost-Indiën menuliskan tentang Blambangan pada abad ke 17 adalah wilayah kekuasaan Surabaya dibawah Mataram. Tetapi data ini diragukan oleh para peneliti sejarah karena dianggap Sultan Agung dari Mataram tidak pernah berkuasa sepenuhnya terhadap Blambangan, walupun ibukota Blambangan untuk beberapa waktu berhasil diduduki bala tentara Mantaram.

VI.9. Pemberontakan Ki Gusti Agung Maruti.

Dikisahkan di Bali, Ki Gusti Agung Maruti yang diangkat menjadi Patih Agung di Gelgel menggantikan kedudukan ayahnya, lama kelamaan ada rencana beliau memberontak terhadap Dalem Gelgel. Akibat dari banyaknya pitnah dan yang disebar Para Manca dan Anglurah yang setia terhadap Dalem satu per satu tersingkir dari Gelgel, diantaranya: Kyai Tabanan, Kyai Kaba-kaba, Kyai Kebon Tubuh, Kyai Pinatih, Kyai Mambal, Kyai Tegeh Kori, sedangkan Kyai Pungakan Den Bancingah kembali ke desa Minaluah, membawa keris sakti anugrah Ida Dalem Bali yang bernama Ki Lobar. Tahun 1686 Masehi Ki Gusti Agung Maruti memberontak, laskarnya menyerbu kedalam istana yang kosong, karena sebelumnya Dalem Dimadya sudah diungsikan oleh I Dewa Pungakan, dibawa ke Guliang, dikawal oleh para Mantra Kyai Brangsinga dan Kyai Pungakan Den Bancingah. Mulai saat itu Keraton Swecapura dikuasai oleh Ki Gusti Agung Maruti yang mengangkat diri menjadi Raja Gelgel.

VI.10. Ida Sri Agung Jambe, raja pertama Smara Pura.

Ida Sri Dalem Dimadya Buda Kepakisan menurunkan 2 putra laki-laki, yang sulung bernama I Dewa Agung Pamayun, beribu Desak dari Desa Bakas, adiknya bernama I Dewa Agung Jambe, beribu Patni Dampati, putri Ki Gusti Ngurah Jambe Tangkeban, penguasa di Badung. Setelah Ida Dalem Dimadya mangkat karena usia lanjut, Ida Sri Dewa Pamayun didaulat menjadi pengganti ayah beliau. Tetapi Ida Dalem hanya senang mempelajari sastra-sastra agama, apabila ada Manca atau Mekel yang menghadap, lebih sering diterima oleh Ida Sri Agung Jambe.

Dalam usaha merebut kembali kota Gelgel, dengan ijin dari kakaknya, Ida Sri Agung Jambe berangkat menuju puri Ida Anglurah Singarsa di Sideman. Sebagian pengikut beliau menghadap kepada Anglurah Panji Sakti di Buleleng dan ke Badung, menghadap kepada I Gusti Ngurah Jambe untuk meminta bantuan. Kesetiaan Anglurah Singarsa, Anglurah Panji Sakti dan Kyai Gusti Ngurah Jambe kepada penguasa Gelgel yang sah dibuktikan dengan kesediaan mereka menyertai Ida Sri Agung Jambe untuk merebut kembali kota Gelgel dari kekuasaan I Gusti Agung Maruti.

Pada hari yang ditentukan, Gelgel diserang dari berbagai jurusan, dari timur laskar Anglurah Singarsa dari Sidemen dan Dawan menyerang dengan kekuatan penuh, turut serta para senopati andalan seperti Kyai Agung Dawuh, Kyai Abian Tubuh, Kyai Dewa Pungakan. Dari arah utara laskar Teruna Gowak Buleleng menyerang dengan pasukan bedil dipimpin oleh senapati Ki Tamblang Sampun. Dari arah selatan Laskar Badung menyerang dengan habis-habisan dibanwah pimpinan Kyai Jambe Pule. Tidak dikisahkan dahsyatnya pertempuran di perbatasan Gelgel, banyak laskar pemberontak yang tewas termasuk senopati Kyai Padang Kerta, I Gusti Agung Maruti dan putra-putranya diiringi oleh senopati yang lain seperti: Ki Gusti Agung Cawu, Kyai Nidul, Kyai Kloping, dan Ki Pasek Gelgel melarikan diri ke Jimbaran, bersembunyi di rumah Ida Wayan Petung Gading, tidak dikisahkan lebih jauh tentang pelarian pasukan pemberontak. Ida Sri Agung Jambe juga tidak mempunyai keinginan kembali bertahta di Gelgel, karena sudah dianggap tidak layak dipakai kotaraja akibat terjamah oleh pemberontak. beliau lebih memilih membangun puri dan kotaraja baru di Klungkung, diberi nama Smara Pura. Ida Sri Agung Jambe diangkat menjadi raja pertama Klungkung dengan gelar Sri Dewa Agung Dalem Jambe, sementara itu Kyai Anglurah Singarsa diangkat menjadi Patih Agung.

VI.11. Mengwi, Buleleng, Blambangan

Ida Sri Agung Jambe diangkat menjadi raja pertama Klungkung dengan gelar Sri Dewa Agung Dalem Jambe tahun 1686 Masehi sementara itu diberbagai wilayah muncul banyak Nagari yang mengklaim diri sebagai raja dan memiliki kedaulatan penuh. Nagari Mengwi berawal pada tahun 1690 dibawah pimpinan I Gusti Agung Putu atau I Gusti Agung Sakti, dimulai dari kerajaan Kapal dan Beringkit, Nagari Tabanan dibawah pimpinan I Gusti Wayahan Pemadekan tercatat pada tahun 1647 Masehi. Nagari Karangasem berkembang pada masa pemerintahan Anglurah Ketut Karangasem tahun 1691 Masehi. Nagari Buleleng berkembang dibawah pimpinan Anglurah Panji Sakti tahun 1660 Masehi. Nagari Badung berkembang pesat mulai pada masa pemerintahan I Gusti Jambe Pule tahun 1660 Masehi.

Selanjutnya sekitar tahun 1686 Masehi, kerajaan Mengwi yang merupakan bagian dari kerajaan Gelgel mempunyai wilayah yang sangat luas, kekuasaan atas Mengwi dipegang oleh Dinasti I Gusti Agung Putu, putra dari Kyai Gusti Agung Maruti  yang dahulu sebagai penguasa Kerajaan Gelgel. Dalam  I Gusti Agung Putu sebagai Raja I Mengwi dengan pusat ibu kotanya disebut dengan Kawyapura yang perluasan kekuasaannya kemudian meliputi: Wilayah Kaba-kaba yang dahulu sebagai wilayah Arya Belog, wilayah Marga, batas Selatan kekuasaan hingga Bukit Jimbaran sampai Uluwatu, batas utara sampai gunung Beratan, batas timur sampai sungai Petanu, termasuk daerah Sukawati dan batas barat sampai sungai Yeh Panah. Maka dapatlah dipastikan bahwa wilayah Samu pada tahun 1686 Masehi berada dalam wilayah kekuasaan Mengwi. Mengwi dimulai dari pergerakan laskar Keramas dibawah pimpinan I Gusti Agung Maruti menaklukkan Buringkit. Beliau kemudian berkuasa terhadap tiga wilayah sekaligus, yakni Keramas, Kapal dan Buringkit, seiring dengan usia beliau yang semakin tua, wilayah kekuasaan beliau kemudian diwariskan kepada kedua putra beliau, masing-masing mendapat bagian, I Gusti Agung Putu diwariskan wilayah Keramas dengan bekal keris pusaka Ki Bintang Kukus dan Ki Sekar Gadhung. Putra kedua beliau diwariskan wilayah kekuasaan Kapal dan Buringkit dengan keris pusaka Ki Penglipur, setelah berkuasa terhadap Kapal dan Buringkit, beliau selanjutnya bergelar I Gusti Agung Made Agung. Selang beberapa lama kemudian I Gusti Agung Maruti mangkat di Keramas.

Sekian lama mereka saling berkuasa di daerahnya, dua orang saudara ini berselisih. I Gusti Agung Made Agung selanjutnya menikahi Ni Gusti Luh Bengkel yang merupakan putra dari Kriyan Bebengan menurunkan seorang putra yang bernama I Gusti Agung Putu yang selanjutnya me