jurnal pelopor vol vii no 3 tahun 2013 finish

157

Upload: codanang

Post on 22-Jan-2016

93 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

jurnal

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish
Page 2: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

Vol. VII No. 3 Tahun 2013 ISSN: 0854-1307

Jurnal Kajian Ilmu Administrasi Negara dan Bisnis, Sosial dan Politik

Jurnal Kajian Ilmu Administrasi Negara dan Bisnis, Sosial dan Politik

SUSUNAN DEWAN PENYUNTING

Penanggung Jawab

Rektor Universitas Islam Malang

Penasehat

Dekan Fakultas Ilmu Administrasi

Ketua Dewan Penyunting

Drs. Agus Zainal Abidin, M.Si

Wakil Ketua Dewan Penyunting

Khoiron

Sekretaris Dewan Penyunting

Hayat

Wakil Sekretaris

Daris Zunaida

Dewan Penyunting

Slamet Muchsin

Sri Nuringwahyu

Rini Rahayu Kurniati

Siti Saroh

Abdul Aziz SR

Ratna Nikin Hardati

Nurul Umi Ati

Susilowati

Roni Pindahanto Widodo

Penyunting Ahli/ Mitra Bestari

M. Bashori Muchsin

Yaqub Cikusin

Ali Masykur Musa

Pelaksana Tata Usaha

Wawan Budi Cahyono

Rudi Nawono

Diterbitkan Oleh

Fakultas Ilmu Administrasi Unisma Press

Alamat

Kantor FIA Unisma

Jl. MT. Haryono 193 Malang, 65144. Telp. 0341 565802

Email: [email protected]

Page 3: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

Vol. VII No. 3 Tahun 2013 ISSN: 0854-1307

Jurnal Kajian Ilmu Administrasi Negara dan Bisnis, Sosial dan Politik

DAFTAR ISI

Pengantar Redaksi

PELAYAN PUBLIK SEBAGAI GURU YANG BAIK UNTUK MEWUJUDKAN GOOD

GOVERNANCE

Rulam Ahmadi ....................................................................................................................... 1-10

BICAMERALISME SISTEM PERWAKILAN DI INDONESIA

Hayat .................................................................................................................................. 11-22

ESTABLISHING AN INSPECTION SYSTEM FOR THE PLACES OF DETENTION

MODELLED ON THE OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION AGAINST

TORTURE (OPCAT) IN INDONESIA

Ahmad Aniq ......................................................................................................................... 23-47

GERAKAN NEOPATRIONALISME:

REFLEKSI HARI PENDIDIKAN DAN KEBANGKITAN NASIONAL

Umi Salamah ...................................................................................................................... 48-50

PENGEMBANGAN MODEL PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN DALAM

MENINGKATKAN SKILL SANTRI; Kasus Di Ponpes Alhayatul Islamiyah

Kedungkandang Malang

Siti Saroh ............................................................................................................................ 51-59

NEOPATRIONALISM MOVEMENT: Counter To The Hegemony Of Neoimperialism

(Capitalist)

Umi Salamah ...................................................................................................................... 60-61

PERSPEKTIF KEBIJAKAN DALAM PENANGANAN ANAK JALANAN Nurul Umi Ati ..................................................................................................................... 62-76

PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN, TINGKAT PENDIDIKAN DAN

PENGALAMAN KERJA PIMPINAN TERHADAP KEMAMPUAN

MELAKSANAKAN TUGAS PADA KANTOR DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN

OLAHRAGA DI KABUPATEN WAROPEN

Frince Ayomi, Masykuri Bakri, Nurul Umi Ati .................................................................. 77-86

PELAKSANAAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BIDANG DIKLAT PADA BADAN

KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN DAN LATIHAN DALAM MENINGKATKAN

EFEKTIVITAS PEGAWAI DI KABUPATEN WAROPEN

Frits Isak Yesaya Masini, Masykuri Bakri, Nurul Umi Ati ................................................. 87-95

PENGARUH FAKTOR GAYA KEPEMIMPINAN, MOTIVASI DAN KOMUNIKASI

TERHADAP PRESTASI KERJA; Studi Pada Pegawai Negeri Sipil Di Pemda

Kabupaten Waropen

Henike Waitariri, M. Bashori Muchsin, Slamet Muchsin ................................................ 96-105

DAMPAK PENGALAMAN KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI BADAN

PENYULUHAN PERTANIAN, PERKEBUNAN, PETERNAKAN, PERIKANAN DAN

KEHUTANAN (BP4K) KABUPATEN WAROPEN (BP4K) KABUPATEN WAROPEN

Henriko Arisoy, Masykuri Bakri, Nurul Umi Ati ........................................................... 106-113

Page 4: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

Vol. VII No. 3 Tahun 2013 ISSN: 0854-1307

Jurnal Kajian Ilmu Administrasi Negara dan Bisnis, Sosial dan Politik

STUDI TENTANG PENGARUH SUPERVISI KETUA FRAKSI DAN MOTIVASI

KETUA DEWAN TERHADAP KINERJA ANGGOTA DPRD KABUPATEN

WAROPEN

Hilal Askar, M. Bashori Muchsin, Rini Rahayu K ......................................................... 114-123

PERSEPSI PEGAWAI TENTANG MOTIVASI PIMPINAN DAN KUALITAS

KINERJA PEGAWAI DALAM MEMBERIKAN PENGARUH TERHADAP

KOMITMEN KERJA PEGAWAI DI DINAS PERTANIAN WAROPEN

Johanis Wattimury, M. Bashori Muchsin, Slamet Muchsin ........................................... 124-133

KOMUNIKASI POLITIK; Sebuah Kajian Teoritis

Khoiron ............................................................................................................................ 134-140

FAKTOR-FAKTOR YANG MENENTUKAN PILIHAN JENIS PEKERJAAN DAN

LIMITASINYA PADA SEKTOR INFORMAL PERKOTAAN; Studi Kasus pada

Masyarakat Miskin di Kelurahan Kotalama Kota Malang

Agus Zainal Abidin .......................................................................................................... 141-150

Page 5: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

Vol. VII No. 3 Tahun 2013 ISSN: 0854-1307

Jurnal Kajian Ilmu Administrasi Negara dan Bisnis, Sosial dan Politik

PENGANTAR REDAKSI

Jurnal Pelopor kali ini merupakan terbitan ketujuh dengan Volume VII Nomor 3 bulan

September tahun 2013. Jurnal Pelopor terbit 3 (tiga) kali dalam satu satu tahun, yaitu bulan

Januari, bulan Juni dan bulan September. Semoga dapat memberikan pemahaman dari fokus

yang diangkat dalam terbitan juranl pelopor dan memberikan konskuensi nyata untuk

pengembangan Tri Dharma Peguruan Tinggi sebagai penunjang kemaslahatan masyarakat

secara kontinue.

Kami mengundang seluruh komponen masyarakat ilmiah secara umum, mahasiswa,

dosen, akademisi, para ahli serta professional untuk menyumbangkan pemikiran keilmuannya,

terutama dalam bidang sosial, politik, maupun budaya untuk menjadikan tambahan khasanah

keilmuan dan kemaslahatan ummat secara mandiri dan kompatibel.

Seluruh isi dan substansi jurnal pelopor merupakan tanggung jawab dari penulis, redaksi

berhak mengedit dengan tidak mengubah substansi isi dari jurnal. Redaksi jurnal pelopor

tidak bertanggung jawab atas isi dan substansi dari keseluruhan jurnal yang sudah diterbitkan.

Selamat membaca.

Malang, September 2013

Redaksi

Page 6: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

1

PELAYAN PUBLIK SEBAGAI GURU YANG BAIK

UNTUK MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE

Rulam Ahmadi

Dosen Program Studi Magister Ilmu Administrasi Publik

Program Pascasarjana Universitas Islam Malang

Abstrak

Terwujudnya good governance merupakan harapan seluruh masyarakat, yakni nilai

yang menjunjung tinggi kepentingan rakyat, dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan

kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan (nasional) kemandirian, pembanguan

berkelanjutan dan keadilan sosial.. Berhasil atau tidak cita-cita pembangunan nasional

antara lain ditentukan oleh bagaimana pelayanan publik berjalan dengan baik, yakni

pelayanan yang sesuai dengan aturan yang berlaku dan mempermudah proses pemenuhan

kepentingan orang banyak (publik) atau masyarakat, khususnya kebutuhan dasar, seperti

kesehatan, pendidikan, keamanan dan sebagainya. Sedangkan baik atau tidaknya

pelaksanaan pelayanan publik itu tergantung pada sikap dan perilaku pelayan publik

(pemerintah) itu sendiri. Sikap dan perilaku pelayan publik yang baik adalah semisal sikap

dan perilaku (karakteristik) guru yang baik. Pelayan publik secara langsung atau tidak

langsung juga berperan sebagai guru (pendidik) rakyat.

kata kunci: pelayanan publik, guru yang baik, good governance

Abstract

Good governance is the hope of the entire society , the values that uphold the interests

of the people , and the values that can improve the ability of people in the achievement of (

national ) self-reliance , sustainable development and social justice .. Successful or not

national development goals , among others, is determined by how the public service goes well

, the service is in accordance with the applicable rules and simplify the process of fulfilling

the public interest (public) or the community , especially basic needs , such as health ,

education , security and so on . While whether or not the implementation of the public service

depends on the attitudes and behavior of public servants ( government ) itself . Attitudes and

behavior of public servants is such a good attitude and behavior ( characteristic ) of good

teachers . Public servants directly or indirectly act as teachers ( educators ) people .

keyword : public services , good teachers , good governance

PENDAHULUAN

Pada dasarnya setiap manusia

dilahirkan di dunia sebagai khalifah di

bumi. Manusia itu mengemban tugas dan

kewajiban untuk menyebarkan dan

melaksanakan kebaikan dan melarang serta

menghindari perbuata terlarang pada

seluruh umat manusia, sehingga manusia

itu menjadi orang-orang yang membawa

rahmat di permukaan bumi. Pemerintah

sebagai lembaga atau badan yang

menyelenggarakan pemerintahan negara,

negara bagian, atau kota dan sebagainya

(Sedarmayanti, 2004: 2) memiliki tugas

kekhalifahan, yakni menjalankan tugas-

tugas negara dengan baik menuju

Page 7: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

2

terciptanya kepemerintahan yang baik

(good governance) demi terwujudnya cita-

cita pembangunan nasional..

Istilah guru hingga saat ini masih

dikonotasikan dengan orang-orang yang

mengajar di sekolah (formal) semata.

Umumnya, orang-orang yang tidak bekerja

mengajar di sekolah tidak disebut sebagai

guru. Misalnya, seorang petani dan

pedagang merupakan sebutan yang

dikaitkan dengan pekerjaan sehari-hari. Ada

juga di masyarakat yang disebut guru

spiritual, tetapi umumnya orang-orang yang

disebut guru spiritual itu lebih cenderung

berkenaan dengan kepentingan di luar nalar

(non-ilmiah) dalam memecahkan suatu

peroalan yang dihadapi manusia dalam

hidupnya.

Sebenarnya setiap orang yang

menyampaikan pengetahuan, keterampilan,

dan sikap (semua itu disebut ilmu) pada

orang lain, walau hanya satu huruf,

termasuk guru. Guru itu bisa yang bertugas

di sekolah (formal), di luar sekolah (non-

formal), maupun bersifat individual

(informal). Pelayan publik, pada hakikatnya

juga adalah memainkan peran sebagai

seorang guru dalam arti luas, yakni guru

yang berperan secara tidak langsung

melalui proses pemberian layanan publik.

Pelayan publik sebagai guru adalah

bertugas menyampaikan pengetahuan,

keterampilan, dan sikap, memotivasi, dan

mengarahkan masyarakat tentang kebaikan

dan mencegah berbuat yang sebaliknya

(kemungkaran) terkait dengan bidang tugas

yang diembannya. Pelayan publik itu harus

menunjukkan ketauladanan pada

masyarakat sehingga masyarakat patuh dan

tunduk pada mereka.. Kalau pelayan publik

melakukan kemungkaran maka fungsi

sebagai guru sudah gugur dengan

sendirinya. Kalau melakukan kejahatan,

maka mereka termasuk penjahat di atas

segala penjahat. Mereka bukan sebagai

sumber kebaikan, melainkan sebagai

sumber kejahatan yang memungkinkan

rusaknya tatanan nilai dan norma yang ada

di masyarakat. Sebagai guru artinya

pelayanan publik adalah orang-orang yang

dapat ditiru atau ditauladani tentang

pengetahuan, sikap, dan perilakunya yang

baik. Pengetahuan yang dimaksud di sini

adalah pengetahuan tentang tugas yang

yang berkenaan dengan tugas diembannya.

Mereka harus tahu dan paham benar bidang

tugasnya. Misalnya, kalau mereka seorang

petugas keamanan harus paham betul

pengetahuam tentang keamanan dan strategi

bagaimana memelihara dan meningkatkan

keamanan di masyarakat. Bukan

sebaliknya, justeru petugas keamanan

menjadi terlibat kerusuhan di masyarakat.

Dalam pengalaman keseharian sering

sekali sikap dan perilaku pelayan publik

tidak mewujudkan peran dan fungsi

sebagaimana mestinya. Sebagian diantara

mereka justeru menciptakan kerusakan atau

kemungkaran di tengah-tengah masyarakat,

yang membuat masyarakat kecewa, cemas,

takut, dan kadang tersakiti baik fisik

maupun psikologisnya. Banyak juga

penyimpangan-penyimpangan yang

dilakukan yang sangat bertentangan dengan

tugas dan kewajiban yang diembannya.

Tidak jarang kita membaca di berbagai

sumber media bahwa petugas keamanan

minum-minuman keras yang membuatnya

mabuk lalu berbuat onar di masyarakat.

Dalam memberikan pelayanan publik

para pelayan publik harus memiliki ilmunya

bagaimana melaksanakan tugas sebagai

pelayan publik. Banyak sumber bacaan

sebagai sumber ilmu dan sebagai pedoman

dalam melaksanakan tugas. Namun

kenyataanya, mereka tidak begitu

termotivasi untuk belajar untuk

menunjukkan kinerja yang baik sehingga

memuaskan publik sebagai penerima

layanan. Karena mereka enggan belajar,

maka tidak heran jika beberapa pelayan

publik tidak mampu melaksanakan

tugasnya dengan baik, bahkan membuat

ketidaktenangan bagi masyarakat luas.

Malas belajar adalah melangkah menuju

kemunduran dan kegagalan.

Sekali seseorang diangkat sebagai

pelayan publik tidak berarti sudah berhasil

dalam mencapai cita-cita untuk bekerja

sebagai pelayan publik. Justeru sebagai

pelayan publik harus belajar secara terus-

menerus untuk terus meningkatkan

kinerjanya sebagai pelayan publik.

Kehidupan terus berubah yang cenderung

Page 8: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

3

membawa lahirnya kebutuhan dan tuntutan

baru yang mensyaratkan dimilikinya

pengetahuan baru, sikap baru, dan

pengetahuan baru. Untukbisa beradaptasi

dengan perubahan itu maka pelayan publik

harus terus belajar meng-upgrade

kemampuannya.

PEMBAHASAN

Konsep Pelayanan Publik

Kata pelayanan merupakan istilah

yang lazim digunakan oleh masyarakat luas

dalam seluruh bidang pembangunan,

khususnya dalam sektor pemerintahan.

Kemudian kata pelayanan (atau kadang

disebut layanan) dipadukan dengan kata

publik atau masyarakat sehingga menjadi

pelayanan (atau) layanan publik atau

layanan masyarakat. Dalam sejarah

perjalanan administrasi publik, pelayanan

publik semula dipahami secara sederhana

sebagai pelayanan yang diselenggarakan

oleh pemerintah. Semua barang dan jasa

yang diselenggarakan pemerintah kemudian

disebut sebagai pelayanan publik

(Dwiyanto, 2010. 14). Pelayanan publik

dapat diartikan sebagai pemberian layanan

oleh pemerintah pada masyarakat yang

membutuhkan layanan dari pemerintah dan

sesuai dengan kepentingan masyarakat.

Dengan kata lain bahwa pelayanan publik

dapat diartikan sebagai pemenuhan

keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh

penyelenggara negara (Sinambela dkk.,

2008:5). Selanjutnya Sinambela dkk.

(2008:5) menyatakan bahwa pelayanan

publik adalah sebagai setiap kegiatan yang

dilakukan oleh pemerintah terhadap

sejumlah manusia yang memiliki setiap

kegiatan yang menguntungkan dalam suatu

kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan

kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat

pada suatu produk secara fisik. Menurut

Kepmenpan No.63/KEP/M.PAN/7/2003

tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan

Pelayanan Publik bahwa layanan publik

adalah segala kegiatan pelayanan yang

dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan

publik sebagai upaya pemenuhan

kebutuhan penerima pelayanan maupun

pelaksanaan ketentuan peraturan

perundang-undangan (Sinambela, 2008:5).

Kemudian dalam UU RI Nomor 25 Tahun

2009 dikemukakan bahwa pelayanan publik

adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan

dalam rangka pemenuhan kebutuhan

pelayanan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan bagi setiap warga

negara dan penduduk atas barang, jasa,

dan/atau pelayanan administratif yang

disediakan oleh penyelenggara pelayanan

publik. Dengan adanya transformasi peran

korporasi dan lembaga non-pemerintah

dalam layanan publik , maka banyak

koporasi dan lembaga non-pemerintah

terlibat dalam layanan barang dan jasa yang

menurut peraturan perundangan menjadi

kewajiban pemerintah untuk

mennyediakannya (Dwiyanto, 2010, 17).

Dengan adanya transformasi tersebut maka

membawa pergeseran konsep pelayanan

publik di mana pelayanan publik bukan

pelayanan yang dilaksanakan oleh

pemerintah semata, tetapi bisa dilaksanakan

oleh lembaga non-pemerintah.

Sebagaimana ditegaskan oleh Dwiyanto

(2010: 17) bahwa tidak semua lembaga

penyelenggara layanan publik adalah

instansi pemerintah. Lembaga non-

pemerintah dapat menjadi lembaga

penyelenggara pelayanan publik apabila

mereka berpartisipasi dalam

penyelenggaraan pelayanan publik.

Adapun pelayanan yang dibutuhkan

oleh masyarakat adalah menyangkut segala

kepentingan masyarakat atau dimensi

pembangunan. Pelayanan publik tidak harus

pemerintah yang melakukannya, tetapi juga

bisa jadi dilakukan oleh non-pemerintah,

seperti dikatakan oleh Sinambela (2008:14)

bahwa pelayanan publik adalah pengadaan

barang dan jasa publik, baik yang dilakukan

oleh pemerintah maupun non-pemerintah.

Konsep Sinambela ini lebih luas di mana

pelayan publik bukan terbatas pada

pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah,

tetapi juga oleh non-pemerintah (swasta

yang menjadi partner pemerintah).

Kemudian siapa yang disebut sebagai

pelayan publik. Lazimnya kalau kita

berbicara tentang istilah pelayan publik

maka menunjuk pada instansi pemerintah.

Di dalam Undang-Undang Nomor 25

Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

Page 9: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

4

diketengahkan ada istilah penyelenggara

pelayanan publik dan pelaksana pelayanan

publik. Pada Bab I, Pasal 1, Ayat 2 bahwa

“Penyelenggara pelayanan publik yang

selanjutnya disebut Penyelenggara adalah

setiap institusi penyelenggara negara,

korporasi, lembaga independen yang

dibentuk berdasarkan undangundang untuk

kegiatan pelayanan publik, dan badan

hukum lain yang dibentuk semata-mata

untuk kegiatan pelayanan publik.”

Sedangkan pada Ayat 5 disebutkan bahwa

“Pelaksana pelayanan publik yang

selanjutnya disebut Pelaksana adalah

pejabat, pegawai, petugas, dan setiap orang

yang bekerja di dalam organisasi

penyelenggara yang bertugas melaksanakan

tindakan atau serangkaian tindakan

pelayanan publik.” Pada intinya pelayan

publik adalah intituasi pemerintah , pejabat,

pegawai, petugas, dan setiap orang yang

bekerja melaksanakan pelayanan publik.

Termasuk institusi atau orang-orang non-

pemerintah (swasta ) yang menjadi partner

pemerintah yang memiliki kewajiban dan

tanggung jawab melaksanakan tugas

pelayanan publik.

Karakteristik Kepemerintahan yang

Baik

Karakteristik kepemerintahan yang

baik (good governance) telah dikemukakan

oleh banyak ahli yang didasarkan pada

pengetahuan dan pengalamannya masing-

masing. Salah satu karakteristik

kepemerintahan yang baik dikemukakan

oleh UNDP. Menurut UNDP (1997) dalam

Serdarmayanti (2004: 5) bahwa

karakteristik atau prinsip yang harus dianut

dan dikembangkan dalam praktek

penyelenggaraan kemerintahan yang baik,

meliputi: (1) partisipasi (participation):

Setiap orang atau warga masyarakat, baik

laki-laki maupun perempuan memiliki hak

suara yang sama dalam proses pengambilan

keputusan, baik secara langsung, maupun

melalui lembaga perwakilan, sesuai dengan

kepentingan dan aspirasinya masing-

masing; (2) aturan hukum (rule of law):

Kerangka aturan hukum dan perundang-

undangan harus berkeadilan, ditegakkan

dan dipatuhi secara utuh, terutama aturan

hukum tentang dan hak azazi manusia; (3)

transparansi (tranparency): Transparansi

harus dibangun dalam rangka kebebabasan

aliran informasi; (4) daya tanggap

(responsiveness): Setiap institusi dan

prosesnya harus diarahkan pada upaya

untuk melayani berbagai pihak yang

berkepentingan (stakeholders); (5)

berorientasi konsensus (concensus

orientation): Pemerintahan yang baik akan

bertindak sebagai penengah bagi berbagai

kepentingan yang berbeda untuk mencapai

konsensus atau kesempatan yang terbaik

bagi kepentingan masing-masing pihak, dan

jika dimungkinkan juga dapat diberlakukan

terhadap berbagai kebijakan dan prosedur

yang akan ditetapkan pemerintah; (6)

berkeadilan (equity): Pemerintahan yang

baik akan memberikan kesempatan yang

baik gterhadap laki-laki maupun perempuan

dalam upaya mereka untuk meningkatkan

dan memelihara kualitas hidupnya; (7)

efektivitas dan efisiensi (effectiveness and

efficiency): Setiap proses kegiatan dan

kelembagaan diarahkan untuk

menghasilkan sesuatu yang benar-benar

sesuai dengann kebutuhan melalui

pemanfaatan sebaik-baiknya berbagai

sumber-sumber yang tersedia; (8)

akuntabilitas (accountability): Para

pengambil keputusan dalam organisasi

sektor publik, swasta, dan masyarakat

madani memiliki pertanggungjawaban

kepada publik, sebagai halnya (masyarakat

umum), sebagaimana halnya kepada para

pemilik (stakeholders); (9) visi strategis

(strategic vision): Para pemimpin dan

masyarakat memiliki perspektif yang luas

dan jangka panjang tentang

penyelenggaraan pemerintahan yang baik

dan pembangunan manusia, bersamaan

dengan dirasakannya kebutuhan untuk

pembangunan tersebut.

Ide-ide Pokok New Public Service

Ide New Public Service ini sengaja

diangkat karena memberikan inspirasi bagi

upaya pelaksanaan pelayanan publik yang

baik yang potensial bagi upaya

mewujudkan good governance. Dalam

bukunya yang berjudul New Public Service:

Page 10: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

5

Serving Rather than Steering, Robert B.

Denhardt & Janet Vinzant Denhardt

(Nawawi, 2010:34-35 dan Terry, 2000:549)

mengetengahkan ide-ide pokok tentang

New Public Service sebagai berikut: (1)

melayani warga negara, bukan pelanggan

(serve the citizens not customers).

Kepentingan publik adalah hasil daripada

dialog tentang nilai-nilai bersama daripada

kumpulan kepentingan pribadi individual.

Oleh karena itu para pelayan publik tidak

hanya merespon tuntutan para “pelanggan”

tetapi fokus pada membina hubungan

kepercayaan dan kerjasama dengan dan

antar warga negara; (2) kepentingan publik

adalah tujuan, bukan produk (the public

interest is the aim, not the by-product). Para

administrator publik harus berkontribusi

untuk membina gagasan kolektif dan

bersama tentang kepentingan publik.

Tujuannya adalah bukan untuk menemukan

solusi cepat yang dikendalikan oleh pilihan-

pilihan individual. Lebih dari itu adalah

kreasi kepentingan bersama dan tanggung

jawab bersama; (3) mengutamakan

warganegara dan layanan publik daripada

kewiraswastaan (value citizenship and

public service above entrepreneurship).

Kepentingan publik dikedepankan dengan

lebih baik oleh para pelayan publik dan

warga negara yang komit untuk membuat

kontribusi yang bermanfaat bagi

masyarakat daripada manajer pengusaha

yang bertindak seolah-olah uang publik

adalah milik mereka sendiri; (4) berpikir

secara strategis, bertindak secara

demokratis (think strategically, act

democratically). Kebijakan dan program

untuk memenuhi kebutuhan publik dapat

dicapai secara paling efektif dan

bertanggung jawab melalui usaha bersama

dan proses kerjasama; (5) akuntabilitas

adalah tidaklah mudah (accountability isn‟t

simple). Para pelayanan publik harus

perhatian pada orang banyak daripada

pasar; mereka harus juga mengikuti

peraturan perundangan dan konstitusi, nilai-

nilai masyarakat, norma politik, standar

profesional, dan kepentingan warga negara;

(6) melayani daripada mengendalikan

(serve rather than steers). Peranan

pelayanan publik yang semakin meningkat

untuk membantu warga negara

mengartikulasi dan memenuhi kepentingan-

kepentingan bersama mereka daripada

mengarah untuk mengawasi atau

mengendalikan masyarakat dalam arah-arah

baru; (7) menghargai masyarakat, bukan

hanya produktivitas (value people, not just

productivity). Organisasi publik dan

jaringan kerja di mana mereka

berpartisipasi lebih mungkin untuk berhasil

dalam jangka panjang apabila mereka

beroperasi melalui proses kolaborasi dan

kepemimpinan bersama berbasis pada

penghargaan terhadap semua warga negara.

Ide New Public Service Robert B.

Denhardt & Janet Vinzant Denhardt

tersebut sebenarnya bisa dijadikan indikator

bagi pelayan publik yang baik. Artinya

bahwa bahwa pelayan publik yang baik

apabila mereka melaksanakan pelayanan

publik dengan menerapkan ide-ide pokok

tersebut.

Pelayan Publik sebagai Guru yang Baik

Pelayan publik yang baik memiliki

karakteristik lain sebagai guru yang baik.

Artinya bahwa seorang pelayan publik

selain memiliki karakteristik spesifik sesuai

tugas dan tanggungjawabnya mereka perlu

menginternalisasikan sifat-sifat guru yang

baik sehingga pelayanan publik terlaksana

dengan secara efisien dan efektif.

Keberhasilan pelayanan publik adalah

ditandai oleh kepuasan publik penerima

pelayanan. Menurut Amin Ibrahim

(Ibrahim, 2008:71) bahwa kepuasan

pelanggan dalam konteks pelayanan publik

yang prima antara lain meliputi: 1) Selalu

meningkatkan kualitas pelayanan kepada

masyarakat dengan memperhatikan aspek-

aspek: komunikasi yang baik, suasana

psikologis dan perilaku melayani. 2) Selalu

berupaya menciptakan citra positif dimata

masyarakat yang dilayani. 3) Membuat

pihak yang dilayani merasa diperhatikan. 4)

Menyeleraskan antara apa yang dikatakan

dengan cara mengatakanya dan dengan

perbuatan yang nyata. 5) Mengenal dengan

baik pihak-pihak yang dilayani.

Cara-cara dalam pelaksanaan

pelayanan publik hendaknya

memperhatikan nilai dan etika karena baik

Page 11: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

6

pelayan publik dan masyarakat sama-sama

sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang

memiliki harga diri dan perasaan yang

harus dihormati dan dimuliakan apapun

status sosial manusia. Pelayan publik,

dalam hal ini aparatur pemerintah maupun

para pelaku korporasi atau lembaga-

lembaga non-pemerintah, adalah juga guru

atau pendidik yang baik.

Konsep guru yang baik dikutip dari

ide seorang ahli yang bernama Paul

Ramsden. Beberapa karakteristik guru yang

baik (great teacher) dijadikan suatu

kerangka konseptual untuk menggambarkan

pelayan publik sebagai guru yang baik.

Beberapa karakteristik pelayan publik

sebagai guru yang baik adalah sebagai

berikut: Pertama, guru yang baik adalah

juga murid yang baik. Artinya bahwa

pelayan publik itu harus terus belajar seperti

murid yang belajar mencari pengetahuan

dan pengalaman baru dalam rangka

meningkatkan kualitas kinerjanya dalam

memberikan layanan publik. Pelayan publik

bukan hanya belajar dari bahan bacaan

berupa buku dan sejenisnya, melainkan

mau belajar melalui mendengarkan orang-

orang yang menerima layanan publik.

Selain itu juga pelayan publik berkenan

untuk berbagi pengetahuan dan kemampuan

dengan sesama kolega pelayan publik

melalui pertemuan berkala atau insidental

dengan bentuk kegiatan dialog atau diskusi.

Mengapa pelayan publik harus terus

belajar? Dalam konsep pendidikan seumur

hidup bahwa belajar itu berlangsung

seumur hidup manusia. Konsep ini

beralasan karena sebagaimana kita pahamai

bersama bahwa kehidupan ini terus berubah

dan semakin kompleks yang tidak jarang

membawa dampak pada munculnya

persoalan-persoalan baru di masyarakat

yang tidak pernah dialami sebelumnya.

Pelayan publik harus mau belajar dari

pengalaman masa lalunya sendiri selama

melaksanakan tugas memberikan layanan

pada publik, sehingga mereka mampu

mengubah cara-cara memberikan layanan

jika sekiranya ternyata cara-cara tempo

dulu tidak baik. Selain itu mereka mau

meneruskan dan meningkatkan cara-cara

melayani publik yang sekiranya publik

merasa puas dengan layanan yang pernah

diberikan.

Kedua, pelayan publik juga berkenan

untuk belajar dari teman koleganya tentang

berbagai hal yang berkenaan dengan tugas

utamanya melayani publik. Pelayan publik

yang baik tidak memandang rendah pada

sesama koleganya walaupun mungkin

karena perbedaan posisi. Setiap orang

memili pengalaman tersendiri yang

mungkin berbeda satu sama lain, maka

dengan cara tukar pengalaman dan

pemikiran akan mampu meningkatkan

kualitas kinerja pelayan publik. Dalam

kenyataan tidak jarang dijumpai pelayan

publik tidak memiliki pengetahuan yang

cukup tentang tugasnya, sehingga kadang-

kadang bingung pada saat memberikan

layanan publik.Selain belar dari kolega

sendiri, pelayan publik yang baik mau

belajar dari publik yang menerima layanan

dengan cara tukar pikiran atau melalui

permintaan respon terhadap publik tentang

layanan yang diberikan selama ini.

Ketiga, pelayan publik yang baik

menunjukkan antusias dalam melayani

publik dan berkenan untuk menyampaikan

pengetahuan dan pengalamannya pada

publik, sehingga kedua belah pihak

memiliki pemahaman yang sama tentang

tugas dan kewajiban yang harus dilakukan

oleh keduanya. Pelayan publik yang baik

menunjukkan semangat dan hangat dalam

melayani publik sehingga mereka merasa

senang dan puas tehradap layanan yang

diberikan baik tentang ketepatan layanan

maupun cara memberikan layanan. Dengan

menunjukkan keantusiasan dalam melayani

publik maka akan memungkinkan

munculnya rasa hormat publik terhadap

mereka. Lain halnya jika pelayan publik

bersikap acuh tak acuh dalam melayani

publik yang membuatnya publik kecewa.

Rasa kecewa ini bisa mengubah sikap

publik yang semula berharap menerima

layanan dengan baik ternyata dilayani

dengan kurang perhatian maka mereka akan

menilai bahwa pelayan publik tidak

memperhatikannya. Di sini yang perlu

dipahami bahwa semua manusia dilahirkan

dengan potensi perasaan yang mana

perasaan seseorang bisa berubah-ubah

Page 12: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

7

tergantung bagaimana orang lain

menyikapinya atau memperlakukannya.

Siapapun manusia tidak akan merasa puas

jika disikapi secara acuh tak acuh, dan tidak

ada manusia yang tidaki merasa senang jika

dilayani dengan antusias. Sikap antusias

dalam melayani publik ini sangat

dibutuhkan untuk meningkatkan partisipasi

publik dalam setiap aktivitas pembangunan

yang menjadi program pemerintah.

Keempat, pelayanan publik yang baik

adalah tahu bagaimana cara memodifikasi

strategi-strategi pelayanan publik dalam

menghadapi publik sesuai dengan

karakteristik gtersendiri (spesifik), pokok

persoalan, dan lingkungan bertugas.

Pelayan publik yang baik senangtiasa

merekam pengalaman-pengalaman dalam

melaksanakan tugasnya. Mereka mau

membaca atau mengingat pengalaman-

pengalaman dalam bertugas baik gagal atau

berhasil dalam memberikan layanan publik.

Jika ada sebuah pengalaman buruk, yakni

jelek atau gagal dalam memberikan layanan

maka mereka mau belajar untuk melakukan

perbaikan strategi yang lebih efektif dalam

memberikan layanan. Sebuah strategi

layanan dalam waktu dan lokasi yang

berbeda cenderung menuntut strategi

layanan yang berbeda pula. Sama halnya

dengan menghadapi murid, mengajar murid

di wilayah yang berbeda kadang-kadang

memerlukan strategi yang berbeda karena

masing-masing wilayah karakteristik

penduduknya berbeda, termasuk budaya

yang berkembang di daerah setempat.

Pembelajaran pada suatu waktu tidak bisa

dilaksanakan sebagaimana pada waktu-

waktu sebelumnya karena musim yang

berbeda. Contoh, kegiatan sekolah pada

musim panen berbeda dengan pada masa

menunggu panen. Pada masa tunggu

mereka menghadapi masa pengangguran

atau setengah nganggur sehingga waktunya

lebih leluasa untuk belajar. Tetapi pada

musim panen biasanya sebagian besar

murid dari keluarga miskin pilih bekerja

daripada sekolah. Sama halnya jika

pemerintah ingin memberikan pelayanan

publik seperti memberikan pelatihan

keterampilan pada warga miskin.

Memberikan layanan pada masyarakat

miskin di latar yang berbeda memerlukan

strategi layanan yang berbeda pula.

Termasuk penentuan waktu kapan

sebaiknya layanan pelatihan itu diberikan.

Dengan demikian pelayan publik yang baik

ditunut untuk senantiasa melakukan

modifikasi strategi layanan guna lebih

mengoptimalkan pelaksanaan pemberian

layanan publik.

Kelima, pelayan publik yang baik

terdorong untuk belajar memahami dan

perhatian untuk mengembangkan

keterampilan berpikir kritis, keterampilan

memecahkan masalah, dan perilaku

pendekatan masalah. Pelanan publik tidak

bekerja seperti robot yang bekerja secara

mekanis sesuai dengan petunjuk dalam

pedoman kerja, melainkan harus

menggunakan kemampuan berpikir

kritisnya sehingga bisa memberikan

layanan terbaiknya pada publik. Pelayan

publik yang baik senantiasa berlatih

menggunakan pikiran kritisnya untuk

memecahkan persoalan-persoalan tugas.

Melaksanakan tugas dengan cara-cara yang

yang tidak baik dan tidak cocok sebaiknya

ditinggalkan. Hal ini karena keadaan sudah

berubah dan persoalan publik semakin

kompleks dan rumit sehingga menuntut

para pelayan publik untuk mengembangkan

cara berpikir yang kritis. Banyak cara yang

bisa dilakukan oleh pelayan publik untuk

mengembangkan kemampuan berpikir kritis

dan memecahkan persoalan. Pelayan publik

hendaknya banyak berinteraksi dengan

orang-rang seprofesi yang terkenal dan

berhasil dalam melaksanakan tugas

pelayanan publik. Berinteraksi secara

intensif menjadi sangat penting sehingga

terjadi transfer kemampuan cara berpikir

kritis. Berlatih memecahkan persoalan

dengan kolega merupakan salah satu

alternatif yang disarankan. Dengan sering

berlatih memecahkan persoalan maka akan

terjadi suatu kepekaan dan kecepatan dalam

berpikir, sehingga jika suatu saat

dihadapkan dengan suatu persoalan dalam

menjalankan tugas mereka akan secara

cepat dapat mengatasinya dengan tepat.

Kalau suatu persoalan tidak teratasi dengan

cepat dan tepat maka persoalan yang

dihadapi bisa semakin memburuk dan bisa

Page 13: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

8

menimbulkan persoalan-persoalan lain atau

persoalan baru yang sangat tidak

diharapkan. Katakanlah, bagaimana

pemeringtah memberikan layanan berupa

pemberian pelatihan keterampilan pada

penduduk miskin. Bagi pelayan publik yang

tidak berpikir kritis biasanya tidak pernah

berpikir bahwa identifikasi kebutuhan dan

sumber potensi dipandang tidak penting.

Yang penting bagi mereka memberikan

pelayanan pelatihan dan program selesai

dilaksanakan, walaupun tidak membawa

hasil sebagaimana diharapkan. Tidak

sedikit program pemerintah yang gagal

karena para pelayan publik tidak mau

beripikir kritis atau memang tidak mau

beripikir lebih jauh tentang bagaimana cara

memberikan pelayanan publik yang tepat.

Begitu ada program layanan pelatihan

keterampilan misalnya, langsung ditentukan

waktu dan tempat pelaksanaan program,

tanpa melalui suatu tahapan yang seksama,

khususnya identifikasi kebutuhan

masyarakat miskin dan potensi pendukung

keberhasilan program. Mengapa terjadi?

Karena mereka memang tidak mau atau

tidak mampu berpikir kritis dan tidak

terbiasa belajar memecahkan persoalan

secara disiplin.

Keenam, pelayan publik yang baik

adalah menunjukkan kemampuan untuk

mentransformasikan dan mengembangkan

pngetahuan daripada hanya

mentransformasikannya apa adanya.

Mereka menunjukkan pengetahuan tentang

bidang tugasnya, pemahaman tentang

publik yang dilayani, dan pengetahuan

tentang teknik-teknik berkomunikasi yang

efektif untuk mentransformasikan

pengetahuan tentang tugasnya ke dalam

istilah-istilah yang mudah dipahami oleh

publik. Pelayan publik yang baik adalah

paham betul tentang tugas yang

diembannya, menggunakan metode-metode

penilaian yang cocok, dan memberikan

balikan yang berkualitas tinggi pada publik

yang menerima layanan. Pelayan publik

yang baik senantiasa berusaha untuk

meningkatkan kemampuan berkomunikasi

dengan publik sehingga setiap pesan atau

informasi yang disampaikan pada publik

bisa diterima dengan pemahaman yang

sama dengan maksud penyampaian

pesan/informasi tersebut. Kadang-kadang

ada kesalahan persepsi atau pemahaman

publik terhadap apa yang disampaikan oleh

pelayan publik. Hal ini semata karena

mereka gtidak memiliki kemampuan

berkomunikasi secara memadai. Pelayan

publik yang baik paham betul tugas yang

diembannya dan mampu

mengkomunikasikannya pada publik

sehingga publik tahu dan paham tentang

tugas yang harus ditunjukkan oleh pelayan

publik. Perbedaan pemahaman atas

pesan/informasi yang disampaikan oleh

pelayan publik pada publik bisa juga

disebabkan karena kemampuan

berkomunikasi pelayan publik yang terbatas

atau kemampuan menerima pesan pada

pihak publik yang lemah. Perbedaan

persepsi bisa juga disebabkan karena publik

telah memiliki pengalaman buruk terhadap

layanan publik sehingga walau sudah ada

perubahan tetap disikap dan direspon secara

negatif. Apapun yang terjadi pelayan

publik harus tetap pada kewajiban yang

dipikulkan di pundaknya untuk

memberikan layanan publik yang prima.

Mereka harus belajar untuk memahami

publik yang dilayani dan belajar bagaimana

mampu mengkomunikasi suatu persoalan

secara jelas dan mudah diterima. Proses

komunikasi dengan penerima pesan

(publik) dengan latar budaya dan

pendidikan yang berbeda berpengaruh pada

tingkat keberhasilan proses komunikasi.

Berkomunikasi dengan publik yang latar

belakang pendidikan buta hurup beda

dengan mereka yang lulusan SMA, dan

beda pula dengan mereka yang sarjana.

Berkomunikasi dengan masyarakat di

daerah pegunungan atau daerah pedalaman

berbeda dengan masyarakat yang tinggal

diperkotaan. Semua hendaknya dihadapi

dengan cara komunikasi yang cocok dengan

perbedaan latar tersebut sehingga tidak

terjadi kesalahan memaknakan pada setiap

pesan/informasi yang disampaikan.

Perbedaan masud yang disebabkan

lemahnya teknik berkomunikasi dari

pelayan publik dengan publik yang dilayani

akan menimbulkan kekacauan dalam

pikiran dan ketidakmenentuan dalam

Page 14: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

9

mengambil keputusan pada publik tentang

apa yang seharusnya sampai pada

pemahaman mereka. Akibatnya sering

terjadi konflik antara pelayan publik dengan

publik yang dilayani.

Ketujuah, pelayan publik yang baik

menunjukkan sikap respek terhadap publik

penerima layanan. Mereka tertarik dalam

pengembangan profesi dan personalnya,

mendorong kemandiriannya, dan

mempertahankan harapan yang tinggi dari

mereka.

Pelayan publik dan publik yang

termasuk warga miskin sekalipun adalah

sama-sama manusia yang dilahirkan dengan

harga diri yang harus dimulyakan. Siapa

yang lebih mulian antara pelayan publik

dengan publik? Apakah pelayan publik

(pemerintah) lebih mulia daripada

masyarakat miskin yang menanti uluran

tangan (kebijakan) pemerintah sehingga

mereka mampu menyambung hidup?

Pengemis adalah pengemis, orang miskian

adalah orang miskin, namun demikian

mereka tetap memiliki perasaan dan harga

diri yang juga secara manusiawi harus

dimuliakan. Pelayan publik yang baik

senantiasa berusaha untuk menghargai

mereka walau status sosialnya jauh di

bawah pelayan publik.

Gejala di lapangan tidak jarang sikap

dan prilaku pelayan publik sangat arogan

yang sering memberikan layanan dengan

cara-cara yang keras dan congkak, sehingga

publik merasa tidak aman dan damai dalam

hatinya. Apalagi jika kedapatan publik

melakukan kesalahan sedikit saja akan

menjadi besar dan memang dibesar-

besarkan bukan untuk membuat mereka jera

atau tidak mengulangi kesalahannya,

melainkan untukmemperoleh

keberuntungan di balik perbuatan salah

publik. Pencuri ayam bisa diperlakukan

dengan kejam, sedang jika sesama kolega

melakukan kesalahan dilayani dengan baik.

Bila orang biasa berbuat salah adalah

masalah besar, jika sesama kolega

melakukan kesalahan dianggap hal yang

wajar sehingga seolah bebas berbuat

apapun terhadap publik dengan dalih

melaksanakan tugas dan ingin emmbuat

keamanan di masyarakat. Merke berkelit

dengan kepribadiannya yang buruk

sehingga tidak memiliki etika yang baik

dalam melayani publik.

Pelayan publik yang baik senangtiasa

berusaha tetap menghargaan publik dan

memperlakukannya sesuai dengan aturan

yang berlaku, bukan dengan caranya sendiri

di luar aturan yang berlaku. Pelayan publik

yang baik tidak bersikap kasar pada publik,

melainkan senantiasa menunjukkan sikap

ramah dan hormat pada mereka. Dengan

cara yang demikian bisa menjadi suatu

pengalaman dan motivasi yang berharga

bagi publik sehingga mereka mau terus

berpartisipasi dalam pembangunan.

Penutup

Pelayan publik atau pemerintah

adalah sebagai pemberi layanan pada publik

atau masyarakat memiliki tanggung jawab

atau kewajiban untuk melaksanakan tugas

dengan benar dan baik sesuai dengan

peraturan yang berlaku. Melaksanakan

tugas dengan benar, artinya sesuai dengan

aturan yang berlaku, dan bahkan lebih dari

itu di mana pelayan publik harus belajar

ilmu bagaimana cara melaksanakan tugas

dengan baik sehingga masyarakat dapat

menerima layanannya dengan memuaskan.

Menjadi pelayan publik yang baik

menjadi harapan masyarakat. Pelayan

publik yang baik adalah menunjukkan sikap

dan perilaku seperti guru yang baik, yang

antara lain adalah menguasai bidang

kerjanya dan senantiasa belajar untuk lebih

meningkatkan kualitas kinerjanya, bersedia

untuk belajar dari kolega dan

mendengarkan opini dari masyarakat,

melayani masyarakat dengan antusias,

memperbarui strategi pelayanan, dan

menghargai masyarakat sehingga

masyarakat juga menghargainya. Sikap

yang demikian akan memungkinkan

tumbuh dan berkembangkan saling percaya

dan saling menghargai antara pemerintah

dan masyarakat, sehingga pada gilirannya

tujuan pemerintah dapat tercapai

sebagaimana diharapkan.

Page 15: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

10

DAFTAR PUSTAKA

Dwiyanto. 2010. Manajemen Pelayanan

Publik: Peduli, Inklusi, dan

Kolaboratir. Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press.

Ibrahim, Amin. 2008. Teori Dan Konsep

Pelayanan Publik Serta

Implementasinya. Bandung:

Mandar Maju.

Kepmenpan No.63/KEP/M.PAN/7/2003

tentang Pedoman Umum

Penyelenggaraan Pelayanan

Publik.

Nawawi, Ismail. 2009b. Pembangunan dan

Problema Masyarakat. Kajian

konsep, Model, Teori dan Aspek

Ekonomi dan sosiologi. Surabaya:

CV. Putera Media Nusantara.

Sedarmayanti. 2004. Good Governance

(Kepemerintahan yang Baik. Bagian

kedua. Bandung: Mandar Maju.

Sinambela dkk. 2008. Reformasi Pelayanan

Publik. Teori, Kebijakan, dan

Implementasi. Jakarta: Bumi Aksara.

Terry, Larry D.. 2000. Public

Administration Review.

November/December, Volume 60,

Number 6.

Page 16: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

11

BICAMERALISME SISTEM PERWAKILAN DI INDONESIA

Hayat

Dosen Program Studi Ilmu Administrasi Negara

Fakultas Ilmu Administrasi-Universitas Islam Malang

email: [email protected]

Abstrak

Sistem perwakilan Indonesia merupakan sebuah konsep pemikiran representasi politik

dari rakyat sebagai upaya menyelaraskan keinginan dan harapan bagi masyarakat untuk

kehidupan yang lebih sejahtera. Kedudukan MPR sebagai majelis permusyawaratan rakyat

mempunyai implikasi dalam menentukan presiden dan wakil presiden dan memberhentikan

serta menggantikan ketika berhalangan tetap atau mengundurkan diri dan menyosialisasikan

empat pilar kebangsaan dan kenegaraan yaitu pancasila, UUD 1945, Bhinneka Ika dan NKRI

dalam rangka meperkuat nilai-nilai Negara kesatuan republic Indonesia secara menyeluruh.

disamping itu, MPR sebagai lembaga perwakilan Negara yang terdiri dari anggota DPR dan

DPD yang dipilih lansung oleh rakyat, tentunya mempunyai komitmen dalam menentukan

arah dan stabilitas politik rakyat untuk berkehidupan yang lebih baik. DPR merupakan

dewan perwakilan rakyat yang dipilih secara langsung melalui pemilihan umum dengan

system keterwakilan dari tingkat daerah kabupaten/kota sebagai representasi untuk

penyampaian keluhan dan masalah yang dihadapi oleh rakyat. DPR sebagai penyambung

lidah rakyat yang direpresentasikan untuk diteruskan kepada ekskutif sebagai pelaksana

kebijakan pemerintahan. Rakyat yang mempunyai sebuah kedaulatan pemerintahan dalam

konteks kenegaraan, maka sudah sepantasnya Dewan perwakilan rakyat sebagai wakilnya

menjadikan prioritas utama dalam kinerja dan pengawasan yang dijalani. DPR mempunyai

sebuah ruang legislasi sebagai perancang perundang-undangan untuk membuat produk

hokum agar dijalankan dan diimplementasikan oleh pemerintah. DPR juga mempunyai fungsi

budgeting untuk penganggaran dari setiap kebijakan yang akan dilakukan terkait dapur

rumah tangga kepemerintahan secara akuntabel dan seimbang. Sistem keterwakilan di

Indonesia ditambah dengan adanya DPD sebagai dewan perwakilan daerah dengan

kelahirannya setelah amademen UUD 1945 dengan mempunyai fungsi dan kewenangan yaitu

representasi dari daerah sebagai bagian dari proses penyaluran aspirasi yang mewakili

daerah dalam menyikapi persoalan-persoalan didaerah yang melingkupi kompleksitas

kedaerahan untuk menjadikan keseimbangan antara daerah yang maju dan daerah yang

berkembang serta menglokalisir dan mendokumentasikan partisipasi daerah dalam kemajuan

daerah secara bersama. dalam hal ini, DPD hanya mempunyai hak merekomendasikan atas

temuan-temuannya di daerah dan disampaikan kepada DPR terkait dengan rancangan

perundang-undangan untuk ditindaklanjuti dan diputuskan oleh DPR sebagai Undang-

undang. namun saat ini, DPD mempunyai hak menginisiasi rancangan peraturan perundang-

undangan untuk diajukan dan dibahas bersama pemerintah dan DPR dalam pembuatan

perundang-undangan, sehingga perwakilan DPD semakin menguatkan keterwakilan system

pemerintahan Indonesia dalam hal bikameralisme system perwakilan.

kata kunci: bicameralisme, sistem perwakilan

Page 17: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

12

Abstract

Indonesia is a representative system of thought the concept of political representation of

the people in an effort to align the desire and hope for the community to a more prosperous

life . MPR as a consultative assembly of the people has implications in determining the

president and vice president and to dismiss and replace when remains incapacitated or

resigns and socialize the four pillars of nationhood and statehood , namely Pancasila , the

1945 Constitution , Unity in Diversity and Homeland in order meperkuat the values of the

State unitary republic Indonesia as a whole . besides that , the State Assembly as a

representative body composed of members of DPR and DPD are chosen directly by the

people , of course, have a commitment in determining the direction and stability for the

people's political life which is better. Parliament is a parliament directly elected by universal

suffrage with representation system from the local district / city as a representation for the

submission of complaints and problems faced by the people . Parliament as a mouthpiece for

the people who represented to be forwarded to the executive as executors of government

policy . People have a rule in the context of state sovereignty , it is appropriate that the

Council of Representatives as a representative to make a priority in the performance and

monitoring undertaken. Parliament has legislative chamber as a designer legislation to make

legal products that are run and implemented by the government . Parliament also has the

function of any budgeting budgeting for planned policies associated household kitchen

accountable governance and balanced . Representation system in Indonesia coupled with the

DPD as a regional council with his birth after the 1945 amendment to have the functions and

authority of the representation of the area as part of the distribution that represents the

aspirations of the region in addressing the issues surrounding the complexity of regional

areas to make a balance between developed regions and developing regions and

menglokalisir and documenting the progress of local participation in the joint area . in this

case , DPD has the right to recommend the only findings in the area and presented to

Parliament relating to draft legislation to be followed and it was decided by the House of

Representatives as the Law . but this time , DPD has the right to initiate draft legislation to be

presented and discussed with the government and Parliament in making laws , thus further

strengthen the DPD representative system of government representation Indonesia in terms of

bicameralism representation system .

keywords : bicameralisme , representative system

PENDAHULUAN

Undang-Undang Dasar (UUD)

Negara Republik Indonesia (NKRI) tahun

1945 mengamanatkan bahwa Negara

Kesatuan Republik Indonesia menganut

prinsip kedaulatan rakyat yang dipimpin

oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan. Makna

kedaulatan rakyat menjadi tolak ukur

keberhasilan sebuah tatanan pemerintahan

yang mewakili seluruh aspirasi rakyat

secara utuh dengan mencerminkan nilai-

nilai demokrasi secara objektif maupun

subjektifitasnya untuk menjamin

keberlangsungan suatu proses pembelajaran

bagi seluruh lapisan masyarakat.

Perwakilan rakyat dalam hal ini merupakan

suatu representasi rakyat kepada wakilnya

di dewan perwakilan rakyat, baik daerah

maupun pusat untuk menyambungkan

suaranya kepada ekskutif sebagai

pemangku kebijakan melalui perantara DPR

sebagai tugas pokok dan fungsinya sebagai

penyeleras keinginan rakyat dengan

keinginan pemerintah. mewakili, artinya

menjadi bagian terpenting terhadap yang

diwakili untuk dilaksanakan dan diserap

segala kebutuhannya dalam rangka

membentuk karakter masyarakat yang etis

menuju kehidupan yang lebih baik bagi

seluruh rakyat Indonesia. Keterwakilan

tersebut telah ditopang oleh adanya suatu

badan perwakilan, yakni Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan

Page 18: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

13

Perwakilan Rakyat (DPR) baik tingkat

pusat sampai daearah yaitu Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) baik

provinsi maupun kabupaten.

Sementara itu, sejak amandemen

atau perubahan ketiga UUD 1945 yang

dihasilkan melalui Pemilihan Umum

(Pemilu) 2004 menghasilkan suatu

perwakilan baru yaitu dewan perwakilan

rakyat daerah atau yang disingkat dengan

DPD RI yang menjadi perwakilan daerah

dalam memberikan masukan terhadap

pemerintah pusat atau sebagai representasi

masayarakat daerah untuk melaksanakan

tugas dan fungsinya sebagai sarana

mengimplementasikan kebutuahan dan

keberlanjutan daerah secara arif dan

berwibawa dalam rangka mensejahterakan

daerah dan memperkuat NKRI secara utuh.

Sedangkan MPR bukan lagi sebagai

pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat

bersama lembaga Negara lainnya. karena

MPR merupakan gabungan dari DPR dan

DPD yang dipilih melalui pemilu.dari

pelbagai penafsiran, bahwa DPR RI

merupakan suatu perwakilan yang mewakili

rakyat secara menyeluruh dan DPD RI

sebagai representasi perwakilan bagi

wilayahnya. walaupun pada prinsipnya

mempunyai tugas pokok, fungsi, dan

wewenang yang sama, namun dalam

prakteknya DPR RI lebih dominan dalam

aplikasinya menjalankan tupoksinya

sebagai representasi penduduk, sementara

DPD RI hanyalah sebagai penyelaras dan

penyeimbang dari kinerja DPR bahkan bias

dikatakan keberadaan DPD sama halnya

dengan “adanya sesuatu tapi sesuatu itu

tidak pernah ada”. Hal itu dijewantahkan

oleh UUD NRI 1945 dan Undang-Undang

Nomor 22 tahun 2003 tentang susunan dan

kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

PEMBAHASAN

Majelis Permusyawaratan Rakyat

(MPR)

Sebelum amandemen UUD 1945,

menurut risalah BPUPKI dan PPKI telah

disepakati bahwa MPR merupakan temapt

bagi bersatunya perwakilan politik rakyta,

perwakilan utusan daerah dan perwakilan

utusan golongan sebagai pelaksana

sepenuhnya kedaulatan rakyat (Anwar C.

2:2013). Kedaulatan pemerintah berada

ditangan rakyat, sementara MPR hanya

merupakan representasi kedaulatan rakyat

itu sendiri karena MPR terdiri dari anggota

DPR dan anggota DPD yang dipilih secara

langsung oleh rakyat untuk menjadi

perwakilan pemangku kedaulatan rakyat

melalui pemilihn umum. Dalam perubahan

UUD 1945 pasal 2 ayat (1) menjelaskan

bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat

terdiri atas anggota Dewan Perwakilan

Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan

Daerah yang dipilih melalui pemilihan

umum dan diatur lebih lanjut dengan

undang-undang. Hal ini tentu mempnyai

sebuah spectrum tersendiri atas perubahan

keanggotaan MPR, yaitu dimaksudkan

untuk mengoptimalkan pelaksanaan

kedaulatan rakyat yang seluruh anggota

MPR dipilih langsung oleh rakyat melalui

pemilu dan untuk meningkatkan kualitas

legitimasi MPR. Dengan begitu maka

demokrasi perwakilan yang dicita-citakan

menjadi lebih berkualitas dan sesuai dengan

representation by election.

Laica Marzuki, 2004, dalam

Anwar C. (2013), menyatakan bahwa MPR

adalah mandataris rakyat, bukan penerima

delegasi, selaku mandataris maka tindakan

yang dilakukannya adalah untuk dan atas

nama rakyat karena

pertanggungjawabannya langsung kepada

rakyat. Pasal 3 jo pasal 8 UUD 1945

menyatakan bahwa MPR mempunyai

kewenang antara lain: mengubah dan

menetapkan UUD; memberhentikan

presiden dan/atau wakil presiden dalam

masa jabatannya menurut UUD; memilih

presiden dan/atau wakil presiden untuk

mengisi kekosongan dalam jabatan presiden

dan/atau wakil presiden menurut UUD; dan

mengadakan siding MPR untuk pelantikan

dan pengucapan sumpah/janji jabatan

presiden dan/wakil presiden. dalam pasal 2

ayat (1) UUD 1945, keanggotaan dalam

MPR terdiri dari tiga pilar perwakilan yaitu:

pertama, perwakilan politik (political

representation), yaitu para anggota DPR

yang dipilih dalam pemilihan umum, yang

pada masa orde baru hanya mendapatkan

jatah 40 % dari total keseluruh anggota

Page 19: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

14

MPR yang berjumlah total 1000 orang;

kedua, perwakilan fungsional (functional

representation), yang terdiri dari para

utusan golongan, perwakilan golongan ini

adalah ABRI yang waktu itu gabungan

antara TNI dan POLRI yang notabene

dipilih langsung oleh presiden untuk

mengisi jabatan MPR, yaitu 100 orang;

ketiga, perwakilan kedaerahan (regional

representation) yaitu para utusan daerah.

Utusan daerah dipilh oleh DPRD provinsi

yang mempunyai hubungan erat dengan

pemerintahan yaitu terdiri dari pangdam

dan tokoh masyarakat yang sudah

ditentukan oleh pemerintah daerah melalui

intervensi pemerintah pusat. Oleh karena

itu, dari berbagai utusan terhadap

perwakilan rakyat selama orde baru, pasal 2

ayat (1) tidak sejalan dengan realitas

kehidupna perwakilan. Karena secara nyata

UUD 1945 menyatakan bahwa anggota

MPR terdiri dari anggota DPR yang dipilih

langsung melalui pemilihan umum dan

ditambah oleh utusan golongan dan daerah.

maklumatnya adalah seharusnya anggota

MPR itu didominasi oleh anggota DPR

yang sejatinya menjadi perwakilan rakyat.

Kedudukan, tugas dan wewenang

MPR setelam perubahan merupakan sebuah

lembaga permusyawaratan rakyat yang

berkedudukan sebagai lembaga Negara

yang mempunyai tugas dan wewenang

antara lain: (1) mengubah dan menetapkan

Undang-Undang Dasar; (2) melantik

presiden dan wakil presiden; (3)

memutuskan usul DPR berdasarkan putusan

Mahkamah Konstitusi untuk

memberhentikan Presiden dan/atau wakil

presiden; (4) melantik wakil presiden

menjadi presiden apabila presiden mangkat,

berhenti, atau diberhentikan, atau tidak

dapat melaksanakan kewajibannya dalam

masa jabatannya; (5) memilih dan melantik

wakil presiden dari dua calon yang diajukan

presiden apabila terjadi kekosongan jabatan

wakil presiden sealmbat-lambatnya dalam

waktu enam puluh hari; (6) memilih dan

melantik presiden dan wakil presiden

apabila keduanya berhenti secara

bersamaan dalam masa jabatnnya dari dua

paket calon presiden dan wakil presiden

yang diusulkan oleh partai politik atau

gabungan partai politik yang paket calon

presiden dan wakil presidenya meraih suara

terbanyak pertama dan kedua dalam

pemilihan umum sebelumnya sampai habis

masa jabatannya selambat-lambatnya dalam

waktu tiga puluh hari; (7) menetapkan

peraturan tata tertib kode etik; (8) memilih

dan menetapkan pimpinan majelis; (9)

membentuk alat kelengkapan majelis. Hal

itu menjadikan sebuah perbedaan yang

signifikan sebelum amandemen terhadap

kewenangan MPR dalam kelembagaan

Negara seperti pada ayat (7) bahwa Majelis

Permusyawaratan Rakyat meminta

pertanggungjawaban kepada presiden

dalam implementasi pelaksanaan undang-

undang (sebelum perubahan) dihilangkan.

Maka pertanggungjawaban presiden

langsung kepada rakyat secara langsung,

karena pemilihan umum dilakukan oleh

rakyat, tentunya untuk rakyat dan dari

rakyat sebagai pemegang kedaulatan rakyat

secara utuh.

Kedudukan MPR (setelah

amandemen) sejajar dengan DPR sesuai

yang tercantum dalam pasal 2 ayat (1) yang

berbunyi: Majelis permusyawaratan rakyat

terdiri atas anggota dewan perwakilan

rakyat dan anggota dewan perwakilan

daerah yang dipilih melalui pemilihan

umum dan diatur lebih lanjut dengan

undang-undang. Keberadaan MPR saat ini

adalah terdiri dari anggota DPR dan

anggota DPD yang dipilih langsung oleh

rakyat melalui pemilu legislative. sehingga

pada tataran kedudukannya MPR sama

kedudukannya dengan DPR dan DPD,

hanya saja untuk kewenangannya tetap

berbeda. lebih lanjut bagir manan dalam

Anwar C. (2003. hal. 74-76)

mengemukakan bahwa untuk menutupi

penyalahgunaan praktek dari UUD 1945

perubahan kedudukan dan mekanisme

keanggotaan MPR untuk mewujudkan:

pertama, gagasan meniadakan kedudukan

MPR sebagai lembaga tertinggi negara,

MPR bukan satu-satunya lembaga yang

melaksanakan kedaulatan rakyat; kedua,

gagasan system perwakilan dua kamar

(bikameral); ketiga, gagasan

menyederhanakan system keanggotaan

dengan meniadakan utusan golongan dan

Page 20: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

15

mengubah utusan daerah menjadi DPD; dan

keempat, gagasan mewujudkan demokrasi

dalam mengisi keanggotaan MPR dengan

cara pemilihan umum. Bikameralisme

dalama gagasan ini menunjuk kepada

wewenang yang berbeda dari tugas dan

fungsi MPR dengan DPR dan DPD yang

mempunyai tupoksi yang lebih rinci.

sehingga dapat disimpulkan bahwa, tugas

MPR saat ini adalah menetapkan UUD

1945 dan/atau perubahan UUD 1945,

melantik dan presiden dan/atau wakil

presiden; memberhentikan presiden

dan/atau wakil presiden; dan menetapkan

presiden dan/atau wakil presiden pengganti

sampai terpillihnya presiden dan/atau wakil

presiden sebagaimana mestinya.

Memperhatikan tugas dan

kewenangan MPR dalam UUD 1945,

merupakan suatu perwakilan yang berbeda

dari segi tugas dan fungsinya. bisa

dikatakan bahwa MPR mempunyai kamar

tersendiri dari pada DPR maupun DPD

seperti yang telah disebutkan diatas.

walaupun secara parsial keberadaan MPR

merupakan kumpulan dari DPR dan DPD

yang dipilih langsung oleh rakyat, namun

secara tegas berbeda dari tupoksinya.

sebagai lembaga perwakilan, MPR hanya

memiliki tiga fungsi yang pokok yaitu;

pertama, fungsi legislasi ialah melakukan

perubahan dan atau menetapkan undang-

undang dasar; kedua, fungsi administratif,

yaitu melantik Presiden dan Wakil Presiden

serta memilih/mengangkat Presiden atau

Wakil Presiden dalam hal-hal tertentu; dan

ketiga fungsi judikatif yaitu memutuskan

untuk memberhentikan atau tidak

memberhentikan Presiden atau Wakil

Presiden dalam masa jabatannya yang

diusulkan oleh DPR. Dengan demikian

dibanding dengan sebelum perubahan UUD

1945, kewenangan dari MPR menjadi

sangat terbatas dan limitatif. Walaupun

demikian kewenangan MPR merubah dan

menetapkan undang-undang dasar serta

memberhentikan serta mengangkat dan

memilih presiden atau wakil presiden dalam

hal-hal tertentu menunjukkan adanya

kwenangan besar yang dimiliki MPR. Hal

ini adalah wajar karena MPR adalah

gabungan dari seluruh anggota DPR dan

DPD.

Melihat dari tugas dan wewenang

MPR dengan analisa nyata, bahwa

kewenangan itu merupakan sebuah

ketumpulan terhadap kedaulatan yang ada.

karena pada dasarnya kekuatan kedaulatan

merupakan sebuah implikasi nyata yang

dibutuhkan oleh sang pemberi mandate

dengan kekuasaan yang dimilikinya. akan

tetapi, melihat dari keempat kewenangan

tersebut, maka tugas MPR sebagai majelis

permusyawaratan rakyat perlu dikaji ulang,

artinya fungsi yang diperankan oleh MPR

saat ini masih belum menunjukkan

kedaulatan secara harfiah kepada rakyat.

sesuai dengan pasal 1 ayat (2) UUD 1945

bahwa kedaulatan adalah ditangan rakyat,

dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat.

Kamar dalam keterwakilan MPR

mempunyai sinkronisasi terhadap

keterwakilan yang lain. Secara nyata sudah

dipertegas dari wewenang MPR dalam

keterwakilan sistem bangsa ini.

keterwakilan tersebut mewakili secara

mnyeluruh dalam konteks tatanan

pemerintahan dan ketentuan-ketentuan yang

harus dijalani oleh lembaga-lembaga

Negara lainnya. Anwar C (2013),

mengatakan bahwa hubungan MPR dengan

lembaga Negara lainya didasarkan kepada;

a) MPR mengatur dan menetapkan

kekuasaan lembaga-lembaga tinggi Negara

lainnya melalui penetapan dan perubahan

UUD; b) MPR membuat pedoman lebih

rinci untuk menjadi acuan bagi lembaga

tinggi Negara dalam menjalankan

kekuasaannya, dalam bentuk ketetapan

MPR; dan c) MPR mengawasi pelaksanaan

kekuasaan lembaga tinggi Negara.

pengejewantahan kedaulatan MPR yang

merupakan kedaulatan rakyat seperti yang

disampaikan oleh Padmo Wahyono dalam

Anwar C. (2013), mengatakan bahwa

kekuasaan tertinggi itu dikuasai oleh rakyat,

dengan paradigma bahwa: pertama, MPR

merupakan representasi rakyat dalam

menetapkan UUD dan menetapkan GBHN

serta menetukan mandataris presiden dan

wakil presiden; kedua, rakyat mewakilkan

kepada DPR untuk melaksanakan GBHN

Page 21: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

16

dalam bentuk Undang-Undang bersama-

sama dengan presiden; ketiga, mewakilkan

kepada MA berdasarkan Undang-Undang

untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman

yang merdeka; keempat, mewakilkan

kepada presiden untuk melaksankan

GBHN; dan kelima, mewakilkan kepada

BPK melalui Undang-Undang untuk

menjalankan pemeriksaan keuangan Negara

dan menyampaikan hasil pemeriksaannya

kepada DPR.

Kaitan dengan lembaga tinggi

Negara merupakan sebuah keniscayaan bagi

MPR untuk mengembangkan potensi

kewenangan yang diamanatkan oleh rakyat,

untuk rakyat dan bagi rakyat merupakan

sebuah konskuensi logis bagi lembaga

permusyawaratan itu untuk dijalankan dan

diamalkan melalui fungsi dan tugas

pokoknya agar ketetapan-ketetapan berada

pada pengawasan yang maksimal terhadap

lembaga tinggi Negara lain. Keberadaan

MPR merupakan sebuah konsepsi dasar

sebagai pelaksana kedaulatan rakyat, karena

setiap implementasi yagn telah dilakukan

akan dikembalikan kepada rakyat secara

menyeluruh dan akuntabel.

Namun, Isrok (2013:hal.3)

memberikan pandangan yang berbeda

dengan mengatakan bahwa prinsip

bicameral yang dianut diberbagai Negara,

misalnya America yang menganut strong

bicameral, pasal 1 ayat (1) UUD AS (1787)

menyebutkan all legislative powers here in

granted shall be vested in a congress of the

united states, which shall consist of a

senate and house of representatives. artinya

bahwa semua kekuasaan legislative

diberikan kepada kongres amerika serikat

yang terdiri dari senat dan house of

representatives. Sehingga dengan adanya

perubahan ini UUD 1945 tidak lagi

menganut system MPR berdasarkan prinsip

supremasi parlemen dan system pembagian

kekuasaan (distribution of power).

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

DPR merupakan perwakilan rakyat

secara menyeluruh karena ditetapkan

melalui pemilihan umum yang dipilih oleh

rakyat. Sehingga representasi rakyat

terhadap DPR sangatlah besar. Rakyat

sebagai konstituen DPR mempunyai

pengaruh realistis dalam berkehidupan

kebangsaan yang adil dan makmur sesuai

yang diamantkan oleh UUD 1945 yaitu

kerakyatan yang dipimpin oleh

kebijaksanaan dalam permusyawaratan

rakyat. Secara garis besar fungsi DPR

adalah fungsi legislasi, fungsi budgeting

dan fungsi controlling. artinya, bahwa

keterwakilan yang dimiliki oleh DPR lebih

berperan penting terhadap representasi

rakyat. Fungsi legislasi DPR mempunyai

hak menentukan siapa yang menjadi

pemimpin suatu lembaga Negara, dengan

fungsi budgetingnya, DPR mempunyai

peran penganggaran diseluruh sektor

pemerintahan, dan pada fungsi pengawasan,

DPR mempunyai kewenangan mengawasi

seluruh implementasi pemerintah (ekskutif)

terhadap rancangan yang telah

dilaksanakan.

Perubuahan UUD 1945 pasal 19

ayat (1), (2), dan (3) mengamanatkan

terhadap keanggotaan, susunan dan waktu

siding DPR dengan harapan bahwasanya

DPR secara menyeluruh dipilih langsung

oleh rakyat dan tidak ada anggota DPR

yang dipilih melalui penunjukan langsung

(diangkat). Hal itu sesuai dengan prinsip

demokrasi keterpilihan (representation by

election) untuk menghasilkan demokrasi

yang semakin dewasa dan berkembang dan

sebagai legitimasi bagi DPR. Lebih lanjut,

dalam pasal 20 ayat (1), (2), (3), dan (4)

dikatakan bahwa DPR memegang

kekuasaan untuk membentuk undang-

undang yang semula pembentukan undang-

undang yang semula dilakukan oleh

presiden pasal 5 ayat (1) UUD 1945

(sebelum perubahan). Secara garis besar

keberadaan wewenang DPR masih dibatasi

oleh kewenangan presiden. Karena

pengajuan RUU baik oleh presiden maupun

oleh DPR sama-sama harus mempunyai

persetujuan yang sama, kalau salah satu

tidak menyetujuinya, maka RUU itu tidak

dapat dilanjutkan. Dalalm kaitannya hal ini,

antara presiden dan DPR mempunyai peran

yang sama dalam menentukan sebuah UU,

karena pembentukan UU tersebut harus

melalui persetujuan bersama antara DPR

Page 22: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

17

dan presiden sehingga dapat di sahkan

menjadi UU.

Namun perubahan dalam

kewenangan pembentukan undang-undang

adalah dengan motivasi saling mengawasi

dan mengimbangi (check and balance)

sebagai prinsip yang melekat dalam tatanan

pemerintahan yang demokratis dan

merupakan sebuah penafsirasn untuk

memperkuat sistam yang kita anut, yaitu

system presidensial. Hal itu juga sudah

sepantasnya meninggalkan teori pembagian

kekuasaan (distribution of power) dengan

prinsip MPR menjadi pemisah (separation

of power).

Namun, dalam hal kedudukan,

DPR mempunyai power yang tidak dapat

disentuh oleh presiden yang memegang

kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan

negara. Karena represention by election

yang menjadi pedoman dan kekuasaan

tertinggi dalam menjalankan kedaulatan

rakyat. Tugas-tugas DPR dalam UUD

1945 hasil amandemen adalah sebagai

berikut: a) membentuk undang-undang

(Pasal 20 Ayat 1); b) membahas rancangan

undang-undang (RUU) bersama presiden

(Pasal 20 Ayat 2); dan c) membahas

rencana anggaran pengeluaran belanja

negara (RAPBN) bersama presiden (Pasal

23 Ayat 2). Power yang dimiliki oleh DPR

saat ini terkait dengan pembentukan

undang-undang melalui rancangan undang-

undang yang semula menjadi tugas

presiden, namun setelah amandemen UUD

1945 RUU menjadi kewenang DPR, akan

tetapi dalam pengesahannya tetap harus

melibatkan pemerintah, dalam hal ini

presiden mempunyai peran penting dalam

pengesahan RUU menjdai UU yang

tentunya harus ada kesepakatan bersama

terkait dengan yang diajukan oleh DPR

kepada pemerintah untuk selanjutnya

dilaksanakan oleh pemerintah dan di awasi

pelaksanannya oleh DPR. UUD 1945 hasil

amandemen juga mencantumkan fungsi dan

hak DPR. Pasal 20 ayat (5) setelah

perubahan sejatinya memperkuat kewenang

DPR dalam menghasilkan undang-undang,

dikatakan bahwa dalam hal rancangan

undang-undang yang telah disetujui

bersama tersebut tidak disahkan oleh

presiden dalam waktu tiga puluh hari

semenjak rancangan undang-undang

tersebut sah menjadi undang-undang dan

wajib diundangkan. Dalam hal ini,

penguatan check and balance dalam

menerapkan fungsi dan kewenangan antara

presiden dan DPR merupakan wujud nyata

untuk mencari solusi secara institusional

dan mendapatkan kepastian hokum secara

konstitusional untuk menghindari

kesimpangsiuran hokum yang akan

berdampak negatif terhadap berkehidupan

kebangsaan dan bernegara.

Dewan Perwakilan Rakyat juga

memeliki fungsi-fungsi lainnya yang

tersebar dalam UUD 1945 yaitu:

mengusulkan pemberhentian Presiden

sebagai tindak lanjut hasil pengawasan;

(pasal 7A); melantik Presiden dan atau

Wakil Presiden dalam hal MPR tidak dapat

melaksanakan sidang untuk itu; (pasal 9);

memberikan pertimbangan atas

pengengkatan duta dan dalam hal menerima

duta negara lain (pasal 13); memberikan

pertimbangan kepada Presiden atas

pemberian Amnesti dan Abolisi; (Pasala 14

ayat 2); memberikan persetujuan atas

pernyataan perang, membuat perdamaian

dan perjanjian dengan negara lain; (pasal

11); memilih anggota Badan Pemeriksa

Keuangan; Pasal 23F); memberikan

persetujuan atas pengangkatan anggota

Komisi Yudisial; (pasal 24B ayat 3);

memberikan persetujuan atas pengangkatan

Hakim Agung (Pasal 24A ayat 3); dan

mengajukan 3 dari 9 orang anggota hakim

konstitusi; (pasal 24C ayat 3)

Dalam melaksanakan fungsinya,

DPR diberikan hak-hak yang diatur dalam

pasal-pasal UUD 1945. Hak-hak tersebut

adalah sebagai berikut: a) hak interpelasi

yaitu hak DPR untuk meminta keterangan

kepada presiden; b) hak angket yaitu hak

DPR untuk mengadakan penyelidikan atas

suatu kebijaksanaan presiden/pemerintah;

c) hak menyampaikan pendapat; d) hak

mengajukan pertanyaan, menyampaikan

usul dan pendapat; e) hak imunitas, yaitu

hak DPR untuk tidak dituntut di pengadilan

karena pernyataan/pendapat yang

disampaikan dalam rapat; dan f) hak

mengajukan usul RUU. dari beberapa hak

Page 23: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

18

yang dimiliki oleh DPR terkait dengan

control terhadap pemerintah dalam tatanan

kenegaraan merupakan sebuah pengawasan

yang harus dijalani secara akuntabel dan

professional serta proporsionalitas

dikedepankan, bukan pada tataran like and

dislike, akan tetapi lebih merupakan kepada

sebuah realitas berbangsa dan bernegara

dalam rangka menjalankan perintah UU

yang telah dibuat. sehingga dalam prinsip

pelaksanaan UU secara nyata memberikan

dampak dengan pembenaran secara

obyektif. obyektifitas DPR dalam

melaksanakan tugas dan fungsinya serta

wewenangnya merupakan sebuah

pembagian tugas antara lembaga tinggi

Negara dari internal pengawasan atau

keterwakilan terhadap rakyat menjadikan

kamar di DPR berbeda dengan MPR

maupun DPD. Karena pada prinsipnya yang

membedakan kamar perwakilan itu adalah

wewenangnya, bukan lembaganya.

wewenang merupakan sebuah kewajiban

bagi suatu lembaga perwakilan untuk

menjalankan tugasnya sesuai dengn

ketentuan UUD 1945. Fungsi DPR yang

berbeda merupakan prinsipil dari

kewenangannya untuk menfokuskan kinerja

keterwakilan dari representasi rakyat. tidak

serta merta disamakan atau dijadikan satu

kamar dengan lembaga perwakilan yang

lain, seperti MPR yang telah dibahas diatas,

walaupun anggota MPR terdiri dari anggota

DPR, namun secara kelembagaan tugas dan

fungsinya mengacu kepada kewenang MPR

yang telah diatur oleh UUD 1945 bukan

lagi mengembalikan fungsi lembaga itu

kepada individualnya. secara konstitusional

anggota DPR yang berada di MPR

seyogyangnya memang mempunyai

kewenangan yang sama secara harfiah,

namun konteksnya berbeda ketika anggota

DPR sudah masuk dalam lembaga MPR

yang mempunyai tugas dan wewenang yang

berbeda dengan DPR. oleh karena itu,

kamar dari lembaga itu juga harus berbeda

agar tidak terjadi ketimpangan secara

kelembagaan.

Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

Perubahan UUD 1945 menjadi

sejarah baru dalam ketatanegaraan bangsa

Indonesia. Dalam amandemen UUD 1945

mengamanatkan kelahirannya Dewan

Perwakilan Daerah (DPD) dalam tatanan

lembaga kenegaraan dalam system

representasinya sebagai perwakilan dari

setiap daerah provinsi. Hal ini memperkuat

system perwakilan dalam menjalankan

fungsi pemerintahan yang notabene dipilih

langsung melalui pemilihan umum oleh

rakyat dan menjadi bagian dari anggota

Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dengan

kehadiran DPD sebagai aspirasi dan paham

politik rakyat sebagai pemegang kedaulatan

rakyat diharapkan dapat menjadi

representasi daerah dalam menampung

prinsip keterwakilan daerah yang

multukulturalisme dalam budaya bangsa

Indonesia.

Dalam panduan pemasyarakatan

yang diterbitkan oleh MPR RI dikatakan

bahwa keberadaan DPD RI dimaksudkan

untuk (1) memperkuat ikatan daerah-daerah

dalam wadah Negara Kesatuan Republic

Indonesia dan memperteguh persatuan

kebangsaan seluruh daerah; (2)

meningkatkan agresi dan akomodasi

aspirasi dan kepentingan daerah-daerah

dalam perumusan kebijakan nasional

berkaitan dengan Negara dan daerah; (3)

mendorong percepatan demokrasi,

pembangunan dan kemajuan daerah secara

serasi dan seimbang.

Pasal 41 Undang-Undang No. 22

tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah bahwa fungsi DPD yaitu: a)

pengajuan usul, ikut dalam membahas dan

memberikan pertimbangan yang berkaitan

dengan bidang legislasi tertentu; dan b)

pengawasan atas pelaksanaan undang-

undang tertentu. lebih lanjut kewenang

DPD sebagaimana diatur dalam pasal 42-47

bahwa: a) DPD dapat mengajukan kepada

DPR rancangan undag-undang yang

berkaitan dengan otonomi daerah,

hubungan pusat dan daerah, pembentukan

dan pemekaran daerah, dan penggabungan

daerah, penggolongan sumber daya alam,

dan sumber daya ekonomi lainnya serta

yang berkaitan dengan perimbangan

Page 24: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

19

keuangan pusat dan daerah; b) DPD

mengusulkan rancangan undang-undang

kepada DPR dan DPR mengundang DPD

untuk membahas sesuai tata tertib DPR; c)

pembahasan rancangan undang-undang

dilakukan sebelum DPR membahas

rancangan undang-undang dengan

pemerintah; d) DPD ikut membahas

rancangan undang-undang yang berkaitan

dengan otonomi daerah, hubungan pusat

dan daerah, pembentukan, pemekaran dan

penggabungan daerah, pengelolaan sumber

daya alam dan sumber daya ekonomi

lainnya, serta yang berkaitan dengan

perimbangan keuangan pusat dan daerah

yang diajukan baik oleh DPR maupun oleh

pemerintah; e) DPD diundang oleh DPR

untuk melakukan pembahasan rancangan

undang-undang bersama dengan pemerintah

pada awal pembicaraan tingkat I sesuai

peraturan tata tertib DPR; f) pembicaraan

tingkat I dilakukan bersama DPR, DPD dan

pemerintah dalam hal penyampaian

pandangan dan pendapat DPD atas

rancangan undang-undang serta tanggapan

ata pandangan danpendapat dari masing-

masing lembaga; g) pandangan, pendapat

dan tanggapan dijadikan sebagai masukkan

untuk pembahasan lebih lanjut antara DPR

dan pemerintah; h) DPD memberikan

pertimbangan kepada DPR atas rancangan

undang-undang APBN dan rancangan

undang-undang yang berkaitna dengan

pajak, pendidikan dan agama; i)

pertimbangan diberikan dalam bentuk

tertulis sebelum memasuki tahapan

pembahasan antara DPR dan pemerintah; j)

pertimbangan menjadi bahan bagi DPR

dalam melakukan pembahasan dengan

pemerintah; k) DPD memberikan

pertimbangan kepada DPR dalam

pemilihan anggota badan pemeriksa

keuangan; l) pertimbangan diberikan secara

tertulis sebelum pemilihan anggota badan

pemeriksa keuangan; m) DPD dapat

melakukan pengawasan atas pelaksanaan

undang-undang mengenai otonomi daerah,

pembentukan, pemekaran dan

penggabungan daerah, hubungan pusat dan

daerah, pengelolaan sumber daya alam dan

sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan

APBN, pajak, pendidikan dan agama; n)

pengawasan merupakan pengawasan atas

pelaksanaan undang-undang dan hasil

pengawasan disampaikan kepada DPR

sebagai bahan pertimbangan untuk

ditindaklanjuti; dan o) DPD menerima hasil

pemeriksaan keuangan Negara dari badan

pemeriksa keuangan untuk dijadikan bahan

membuat pertimbangan bagi DPR tentang

rancangan undang-undang yang berkaitan

dengan APBN.

Dari kewenang DPD diatas, jelas

bahwa DPD tidak mempunyai kewenang

untuk mengajukan rancangan undang-

undang atau membuat undang-undang

secara mandiri, hanya ketentuan undang-

undang tertentu saja yang dapat diajukan

sebagai rancangan undang-undang. peran

DPD lebih kepada pengawasan dan

kedudukanya adalah auxiliary dari DPR.

DPD diperankan untuk lebih focus

mengurus terkait dengan kedaerahannya

sebagai utusan daerah dalam merancang

dan mensejahterakan daerahnya. dari fungsi

DPD yang bisa dikatakan lebih ringan dari

DPR sebagai pengendali power perwakilan

dalam system keterwakilan.

Dalam kelahirannya, DPD

seringkali menjadi bahan kritikan, karena

DPD merupakan design kamar kedua pada

masa yang akan dating, namun dalam

fungsinya DPD tidak mempunyai fungsi-

fungsi yang dimiliki oleh DPR. namun,

bagi penulis bahwa keberadaan DPD sangat

membantu DPR dalam keterwakilannya

didaeah, karena tidak semua daerah akan

terjangkau oleh DPR dalam hal

perwakilannya. sekalipun didaerah sudah

ada DPRD, akan tetapi kurang efektif

dalam pelaksanaannya, karean perwakilan

DPRD langsung bersentuhan dengan

masyarakat sehingga efisiensi dan

efektifitas keterwakilan kurang maksimal.

DPD mempunyai kamar berbeda secara riil

dari DPR maupun MPR. keberadaannya

ditentukan oelh fungsi pengwasannya

terhadap kinerja pemerintah dibidang

tertentu, hal itu lbih bisa meminimalisir

adanya penyalahgunaan dan overload

keterwakilan yang ada di DPR. karena

tugas DPD lebih rinci terhadap fungsi dan

pengawasannya.

Page 25: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

20

Isrok (20013:4) membuat sebuah

perbandingan bicameralism keterwakilan.

Seperti dicontohkan di inggris yang

menganut system dua kamar yaitu kamar

satu untuk perwakilan kaum bangsawan

yang disebut majelis tinggi (house of lords)

dan kamar kedua mewakili rakyat umu

yang disebut majelis rendah (house of

commors). Sistem dua kamar tersebut tidak

dapat dilepaskan dari sejarah dan proses

demokrasi pada badan perwakilan di

inggris. majelis tinggi berperan dalam

pembuatan dan perumusan kebijakan luar

negeri, sendagkan majelis rendah diberi

wewenang untuk mengambil prakarsa

mengajukan rancana anggaran dan

pendapatan Negara. Pada dasaranya kedua

kamar tersebut mempunyai kedudukan

yang sama, baik secara politik maupun

secara legislatif, dan setiap pengesahan

undang-undang harus melalui persetujuan

bersama antara majelis tinggi dan majelis

rendah. Bikameralisme tidka dapat

disederhanakan seperti diinggris, sebagai

Negara kerjaan tidak bisa disamakan

dengan system yang menganut republik.

Karena pada prinsipnya, sistem

keterwakilan itu merujuk kepada siapa yang

mewakili, mewakili siapa dan apa yang

diwakili. pertanyaan itu tentunya harus

dijawab dengan gambling. Dalam sistem

pemerintahan yang demokratis, tentu itu

merupakan urgensi perwakilan yang

diharapkan dari tingkat pusat hingga

pelosok tanah air.

Berbeda dengan inggris, Indonesia

mempunyai keunikan sistem pemerintahan

yang khas dalam memilih siapa yang

menjadi wakilnya, siapa yang diwakili dan

mewakili apa. Sistem pemilihan secara

langsung dalam pemilihan umum (pasal 22

C ayat 1) dipilih oleh rakyat terhadap

seluruh anggota keterwakilan tentu

mempunyai proses yang berbeda pula. DPD

mungkin bisa dikatakan lebih berat

persaingan dan persyaratannya walaupun

secara tekstual bisa disamaratakan dengan

DPR. Pemilihan DPD dilakukan disetiap

provinsi yang jumlahnya sama, sedangkan

jumlah kursinya ditentukan oleh kursi DPR.

Kursi DPD adalah sepertiga dari kursi DPR

dari setiap propinsi (ayat 2). Untuk dapat

duduk di kursi DPD harus berjuang keras

secara mandiri tanpa dukungan lambing

atau partai politik dan komposisi yang

diberikan hanya lebih sedikit sepertiga dari

kursa DPR. Tentunya ini menjadi

pertarungan yang memberatkan. berbeda

dengan calon yang berangkat ke DPR,

dimana setiap caleg DPR pasti mempunyai

partai politik dari tingkat puat hingga

daerah, sehinngaa memudahkan dlam

proses mobilisasi dukunngan dan jatah

kursi lebih besar dari DPD. oleh karena itu,

banyak orang pesimis terhadap kinerja dan

fungsi DPD sebagai lembaga keterwakilan

dari daerah.

Keterbatasan wewenang dan

fungsi DPD karena berkaitan dengan

system yang saling mengawasi dan

mengimbangi dalam sistem ketatanegaraan

Indonesia, yaitu: (1) dapat mengajukan

kepada Dewan Perwakilan Rakyat

rancangan undang-undang yang berkaitan

dengan otonomi daerah, hubungan pusat

dan daerah, pembentukan dan pemekran

daerah serta penggabungan daerah,

pengelolaan sumber daya alam dan sumber

daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan

dengan perimbangan keuangan pusat dan

daerah; (2) ikut membahas rancangan

undang-undang yang berkaitan dengan

otonomi daerah, hubungan pusat dan

daerah, pembentukan dan pemekaran, dan

penggabungan daerah, pengelolaan sumber

daya alam dan ekonomi lainnya, serta

perimbangan keuangan pusat dan daerah,

serta memberikan pertimbangan kepada

DPR atau rangan undang-undang anggaran

pendapatan dan belanja Negara dan

rancangan undang-undang yang berkaitan

dengan pajak, pendidikan dan agama; (3)

dapat melakukan pengawasan atas

pelaksanaan undang-undang mengenai

otonomi daerah, pembentukan, pemekaran

dan penggabungan daerah, pengelolaan

sumber daya alam dan sumber daya

ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran

pendapatan dan belanja Negara, pajak,

pendidikan, dan agama serta

menyampaikan hasil pengawasannya itu

kepada DPR sebagai bahan pertimbangan

untuk ditindaklanjuti. (MPR. 2011).

Page 26: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

21

Namun, lebih lanjut Valina

Subekti dalam Isrok (2013) mengatakan

bahwa, peningkatan utusan daerah dari

sekedar “utusan” yang dipilih oleh DPRD

provinsi menjadi “perwakilan” yang dipilih

langsung oleh rakyat di daearahnya masing-

masing yang mmepunyai tujuan untuk

memperkuat penyaluran aspirasi daerah di

pusat. hal ini diharapkan dapat menciptakan

keseimbangan ekonomi dan politik yang

lebih adil dan egaliter antara pusat dan

daerah. menyikapi masalah

peningkatanperan utusandaerah ini, terdapat

tiga pandangan utama yaitu: DPD sebagai

lembaga yang kedudukannya sama sejajar

dengan DPR (bikameral); DPD sebagai

lembaga dengan kewenangan legislasi

terbatas (soft bicameral); dan DPD sebagai

lembaga, tetapi tetap mempertahankannya

sebagai utusan yang dipilih langsung oleh

rakyat.

Masih menurut Isrok. DPD

sejatinya harus menjaga citranya dengan

berpegangan kepada: 1) serat kalatida

(karya ronggo warsito), yaitu keadaan

Negara saat ini, terlihat semakin merosot,

tatanan dan aturannya. oleh sebab tiada

yang dapat dicontoh, semua sudah

meninggalkan etika, orang baik, orang

pintar terbelenggu jaman yang serba tidak

tentu. suasana kehdupan mencekam, sebab

dunia penuh godaan, sesungguhnya rajanya

adalah raja yang baik, patihnya yang cerdik,

semua pegawai hatinya baik, pemuka

masyarakat juga baik-baik, semuanya itu

tidak mampu menciptakan kebaikan,

bahkan kerusakan makin menjadi,

gangguan yang selalu membikin susah,

seberuntung orang lupa, masih beruntung

orang yang ingat/sadar dan waspada; 2)

nilai demokrasi yang menjadi acuan adalah

vox populi vox de dan menjauhkan dari vox

nihili dan vox populi vox argentums (suara

rakyat suara tuhan, dan menjauhkan suara

rakyat diabaikan dan suara rakyat suara

uang); dan 3) mempersiapkan kualitas

sumber daya manusia DPD utamanya

dalam perundang-undangan.

PENUTUP

Lembaga perwakilan rakyat secara

penuh yang terdiri dari MPR, DPR, dan

DPR merupakan suatau lembaga Negara

yang mempunyai tugas dan kewenangn

yang berbeda dalam menjalankan UUD

1945. Namun dalam hal fungsi sebagai

lembaga keterwakilan, ketiga lembaga itu

merupakan sebuah afiliasi dari

bikameralisme system perwakilan.

keberadaan MPR dalam system

keterwakilan merupakan suatu perwakilan

dari DPR dan DPD yang menjadi

pengwujudan dari rakyat untuk

menjalankan tugasnya sebagai majelis

permusayarawatan rakyat yang mengontrol

keberlanjutan roda pemerintahan dan

kedudukan dari UUD 1945 tentang

relevansi dari sebuah keberadaan bangsa

dan Negara. lembaga MPR tidak bisa

dipisahkan dari sistem pengisiannya yang

nyata dipilih langsung oleh rakyat yaitu dari

unsure DPR dan DPD. hal inilah yang

memberikan sebuah sebutan kamar

terhadap lembaga perwakilan, yaitu

lembaga DPR sebagai perwakilan rakyat

secara utuh dan DPD sebagai perwakilan

daerah untuk membangun daerahnya terkait

dengan isu-isu kedaerah karena

keberdaannya bersala dari daerah/provinsi.

DPR relevan dengan tugasnya untuk

mewakili rakyat disetiap tingkatan dan

saling berintegrasi baik DPR RI maupun

DPRD I/ II, sehingga kamar DPR

terpisahkan dengan DPD yang mempunyai

tugas terkait dengan kedaerahan untuk

pengembangan dan pembangunan daerah

yang lebih baik serta control antara daerah

dan pusat. Artinya, unsure DPD merupakan

sebuah balance dari DPR dalam

melaksanakan fungsinya sebagai lembaga

perwakilan. sehingga dapat disimpulkan

perwakilan daerah dan perwakilan rakyat

mempunyai kamar yang berbeda dengan

ruang dan arsitektur yang berbeda pula

sebagai penguat akar NKRI.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar C. Sistem Perwakilan Menurut

UUD 1945 dan Sistem

Perwakilan Yang Ideal Pada

Perubahan UUD berikutnya.

disampaikan dalam seminar

nasional sistem ketatanegaraan

Page 27: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

22

Indonesia. tema “Format Ideal

Sistem Perwakilan Indonesia”.

PP OTODA dengan MPR RI.

23 Mei 2013, Hotel Savanna

Convention Hall Malang.

Bagir Manan. DPR, DPD, dan MPR dalam

UUD 1945 baru, FH-UII Press,

Yogyakarta, maret. 2003, hlm.

74-76. dalam Anwar C. Sistem

Perwakilan Menurut UUD 1945

dan Sistem Perwakilan yang

Ideal Pada Perubahan UUD

berikutnya. Disampaikan Dalam

Seminar Nasional Sistem

Ketatanegaraan Indonesia. tema

“Format Ideal Sistem

Perwakilan Indonesia”. PP

OTODA dengan MPR RI. 23

Mei 2013, Hotel Savanna

Convention Hall Malang.

H.M. Lica Marzuki. Kedudukan MPR

Setelah Amandemen UUD

1945, dalam Soewoto

Mulyosudarmo, Pembaharuan

Ketatanegaraan Melalui

Perubahan Konstitusi, Aosiasi

Pengajar HTN-HAN Jawa

Timur dan In-Trans, Malang,

2004., hlm. 278-279.

Hamdan Zoelva. system perwakilan rakyat

di Indonesia.

http://hamdanzoelva.wordpress.

com/2008/04/28/sitem-

perawakilan-rakyat-di-

indonesia/. diakses 01 agustus

2013.

Isrok. Citra Dewan Perwakilan Daerah dan

Format yang Diharapkan ke

Depan. Disampaikan dalam

Seminar Nasional Sistem

Ketatanegaraan Indonesia. tema

“Format Ideal Sistem

Perwakilan Indonesia”. PP

OTODA dengan MPR RI. 23

Mei 2013, Hotel Savanna

Convention Hall Malang.

Mohammad Jafar Hafsah. Format Ideal

Sistem Perwakilan Di

Indonesia. disampaikan dalam

Seminar Nasional Sistem

Ketatanegaraan Indonesia. tema

“Format Ideal Sistem

Perwakilan Indonesia”. PP

OTODA dengan MPR RI. 23

Mei 2013, Hotel Savanna

Convention Hall Malang.

Tiarlidya‟s blog. lembaga-lembaga Negara

menurut UUD 1945 hasil

amandemen.

http://tiarlidya.wordpress.com/2

010/11/25/lembaga-lembaga-

negara-menurut-uud-1945-

hasil-amandemen/. di akses 01

agustus 2013.

Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia tahun 1945

UU No. 22 tahun 2003 tentang susunan dan

kedudukan Majelis Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah.

Majelis Permusyawaratan Rakyat. Panduan

Pemasyarakatan. 2013

Majelis Permusyawaratan Rakyat. Empat

Pilar Kehidupan Berbangsa dan

Bernegara. 2012.

Page 28: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

23

ESTABLISHING AN INSPECTON SYSTEM FOR THE PLACES OF DETENTION

MODELLED ON THE OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION AGAINST

TORTURE (OPCAT) IN INDONESIA

Ahmad Aniq

International Law and the Law of International Organization

Groningen University – The Nitherlands

Kp. Cikunir Jaka Mulya Bekasi, Jakarta

email: [email protected]

Abstract

As the party to the United Nations Convention against Torture and Ohter Cruel,

Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (UNCAT), Indonesia has an obligation to

establish an effective visiting system to prevent acts of torture and other ill-treatment as

stipulated in Article 2(1) of the Convention. However, the existing visiting system in Indonesia

is facing some deficiencies regarding its mandate clarity, level of independency, and

insufficient expertise required. The fact that Indonesia is not party to the Optional Protocol to

the United Nations Convention against Torture (OPCAT) complicates the matter. The OPCAT

system has been hailed to be the most effective way to combat torture, as it combines national

and international approaches. This thesis provides an alternative for Indonesia to enhance its

inspection system to places of detention. By taking the OPCAT approach as the model,

Indonesia will be very likely to have a more effective inspection system, as this system has set

out a clear standard on how a visiting system should be conducted. By granting the National

Human Rights Commission (Komnas HAM) the role of national preventive mechanisms

(NPMs) under the OPCAT system, Indonesia might have a better opportunity to enjoy a more

effective inspection system. At least by establishing a better inspection system, Indonesia‟s

compliance to the obligation under the UNCAT, especially under Article 2(1) could be

considered fulfilled, even though the Government may not ratify the OPCAT.

INTRODUCTION

Prohibition on the acts of torture

and ill-treatment has been stated in several

international documents. This prohibition

falls under the scope of universal and

regional treaties. Article 5 of the Universal

Declaration of Human Rights (UDHR), and

also Article 7 of the International Covenant

on Civil and Political Rights (ICCPR)

stipulate that no one should be subjected to

torture and other ill-treatment. The ban on

torture and other cruel, inhuman or

degrading treatment or punishment can also

be found in the European Convention on

Human Rights and Fundamental Freedom

(ECHR), the America Convention on

Human Rights (ACHR), and the African

Charter on Human and Peoples‟ Rights.

However, those various international and

regional bans are not enough. It is proven

that the practices of torture and other

inhuman treatments are still widely spread

around the world (Kerstin Buchinger,

2009). Therefore, The United Nations

Convention against Torture and Other

Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or

Punishment (UNCAT) was adopted to

make the struggle against torture and other

cruel, inhuman or degrading treatment or

punishment more effective.

The UNCAT has a significant

impact in combating torture and other ill-

treatments as it envisages a number of new

obligations to States Parties (Chris Ingelse,

2001), for example: an obligation to

criminalize acts of torture and ill-treatment

Page 29: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

24

under domestic law and an obligation not to

send a person to a State where he or she is

presumed to be subjected to torture (non-

refoulement principle). It is undisputed that

the main features of the UNCAT lie within

its repressive measures, although certain

provisions regulate preventive measure.

Therefore, another important document,

namely the Optional Protocol to the United

Nations Convention against Torture

(OPCAT), is regarded as a “new weapon”

against torture as it is mainly attributed to

create prevention measurements.

Inspired by the International

Committee of the Red Cross (ICRC) which

could conduct visits to places of detention,

Jean-Jacques Gautier promoted a system of

regular and unannounced visits to places of

detention as a tool to prevent torture (Chris

Ingelse, 2001). He believed that the legal

obligations of States concerning the

eradication of torture would likely be

fulfilled if a system of periodic visits to

places of detention was established. An

inspection to places of detention is

important because people who are deprived

of their liberty are prone to be subjected to

practises of torture and inhuman treatment.

That is what the OPCAT offers. One of the

OPCAT‟s goals is to establish a system of

regular visits to places of detention

undertaken by independent international

and national bodies as stated in the Article

1 of the OPCAT.

Indonesia is party to the UNCAT.

Therefore, Indonesia is subjected to several

obligations mentioned in the UNCAT. One

of the obligations is to take legislative,

administrative, judicial and other measures

to prevent acts of torture in its jurisdiction

as stated in the Article 2(1) of the UNCAT.

It can be concluded that Indonesia has an

obligation to establish a system of

prevention against torture. However,

Indonesia is not party to the OPCAT. Due

to lack of ratification of OPCAT,

Indonesia‟s fulfilment of the obligation in

Article 2(1) of the UNCAT is perhaps more

difficult to realize. Indonesia has several

institutions dealing with human rights

protection which could participate in torture

prevention by undertaking visits to places

of detention. Unfortunately, this effort does

not seem to function well. The absence of

an authorized institution to undertake

unannounced inspections to detentions and

the lack of power to scrutinize official or

“unofficial” places of detentions can be

seen as its weaknesses (Committee against

Torture (CAT), 2008). And the fact that the

number of allegations of acts of torture and

ill-treatment committed by members of the

police forces, the army (TNI) and other

groups linked to authorities is still high

suggests that the existing visiting system in

Indonesia does not work properly.

As given the fact that Indonesia is

not party to the OPCAT and the existing

visiting system does not function

satisfactorily, it raises a question as to

whether there is a need to establish a

visiting system modelled on the OPCAT in

Indonesia. And an additional question

would be how this visiting system à la

OPCAT should be formed in Indonesia in

order to comply with the obligations under

the UNCAT, more specifically in term of

prevention. Since Indonesia is not party to

the OPCAT, Indonesia is not obliged to

establish a prevention system based on the

OPCAT. However, Indonesia is bound to

take measures to prevent torture and other

inhuman treatments as stated in the

UNCAT. Therefore, the goal of this study is

to provide the best alternative visiting

system other than the OPCAT system for

Indonesia in order to comply with the

obligations under the UNCAT especially

regarding the obligation to prevent acts of

torture and other inhuman treatment.

The research for this thesis will

mainly be on library based approach.

Primary, secondary sources, as well as

other relevant sources will be analysed.

Special attention will be paid to the

domestic laws of Indonesia in the field of

torture and related issues. The further

elaboration will be on the conformity

between Indonesia‟s regulations concerning

torture and the international conventions,

more specifically the UNCAT. This thesis

will apply an inductive analytical approach

in which relevant information will be

observed and analyzed to detect some

Page 30: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

25

patterns and regularities. Then, I will

formulate a hypothesis that we can explore,

and finally end up with some general

conclusions. Documents either in the form

of regulations, books, journals or articles

which are relevant are presented as they

provide reliable information to the topic

and help the writer to substantiate his

claims.

Chapter I of this thesis will focus

on the UNCAT system. The discussion will

go into the depth regarding the States

Parties‟ obligations under the Convention.

The mandate of the Committee against

Torture will also be analysed here. Chapter

one will also explore the prevention system

against torture established by the OPCAT.

Chapter two will discuss the existing

visiting system in Indonesia. Special

attention will be addressed regarding the

weaknesses of the existing inspection

system in preventing the acts of torture and

other inhuman treatment. Chapter three will

focus on the effort to find a possible

formulation of the à la OPCAT visiting

system, given the fact that Indonesia is not

member to the OPCAT. Finally, in Chapter

four, a conclusion will be provided and an

alternative visiting system for Indonesia

will be proposed.

States Parties’ Obligations Under the

UNCAT

The UNCAT imposes obligations

on Member States in several articles. Under

Article 2(1) of the UNCAT, Member States

are obliged to take effective measures to

prevent acts of torture under their

jurisdiction. The measurements comprise

legislative, administrative, judicial and any

other type of measures. Therefore, Article

2(1) can be seen as an umbrella provision,

covering all other obligations to prevent

this kind of treatment as explained in the

Convention. Article 10 on the education

and training of law enforcement and other

personnel, Article 11 regarding systematic

review of interrogation methods, Article 13

about investigation of allegations by torture

victims, and Article 15 on non-admissibility

of evidence extracted by torture, are the

typical obligations to prevent torture

because they are interrelated and indivisible

to prevent torture. Thus, the obligation to

prevent torture in Article 2 covers a broad

scope, not only to reinforce the prohibition

against torture through legislative,

administrative and other actions but also

includes all necessary measures-taken are

effective in preventing the acts of torture

and other ill-treatment.

The prevention of torture requires

criminalisation of the acts of torture.

Impunity of the perpetrators of torture is

one of the reasons for the widespread

practice of torture (Committee against

Torture (CAT), 2008). Article 4 of the

UNCAT comes in order to repress the

practice of impunity by imposing an

obligation for States Parties to criminalize

acts of torture under domestic law. This

article also requires Member States to

punish torture with the appropriate

penalties. The term “torture” in the Article

4(1) should be interpreted in accordance

with the definition of torture in the Article

1, which means that not only acts of torture

itself, but also the attempt, incitement,

instruction from the superior, consent and

acquiescence must also be criminalized.

The idea that there is no need to qualify

torture as a specific and separate offence

has led to much confusion among States

Parties (Manfred Nowak and Elizabeth Mc

Arthur, 2008). Some States argued that

torture had already been included in their

traditional offences.

The OPCAT features

The international community has

recognised torture and other inhuman

treatment as among the most brutal assaults

on human dignity. Although the prohibition

of torture and other inhuman treatments has

already been stipulated in various

international or regional instruments, these

abuses still persist around the world

(Association for the Prevention of Torture

(APT) and Inter-American Institute of

Human Rights (IIHR), 2011). This fact

suggested that the international legal

prohibition of torture was in need of a much

more effective control mechanism. To

prevent torture and other inhuman

Page 31: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

26

treatments regular visits to places of

detention is needed. The Optional Protocol

to the United Nations Convention against

Torture (OPCAT) was brought into

existence to enforce the implementation of

the principle laid down in Article 2(1) of

the UNCAT and to find a way of how to

prevent torture.

The OPCAT system is considered

to be a breakthrough in the struggle to

combat acts of torture or other inhuman

treatment world (Association for the

Prevention of Torture (APT) and Inter-

American Institute of Human Rights

(IIHR), 2011). There are some distinctive

features that make the OPCAT system

special. The inclusion of national bodies in

the system of prevention is really

something new. Unlike other international

human rights treaties, the OPCAT is seen as

an operational treaty rather than a standard-

setting instrument. It introduces a practical

and complementary preventive framework

to its parent treaty (the UNCAT) rather than

imposing new obligations.

Another interesting feature is its

emphasis on prevention. The objective of

the OPCAT system is to establish a system

of regular visits to places of detention, in

order to prevent torture and other ill-

treatment. Another notable distinction

between the UNCAT and the OPCAT is the

issue of States‟ consent. When a State

ratifies the OPCAT, it automatically gives

its consent to allow regular, unannounced

visits by international or national bodies to

all types of detentions. On the other hand,

under UNCAT, the Committee can conduct

visits to States Parties only in case of

allegations of systematic torture. These

visits require prior consent of the State.

Article 28 of the Convention gives States

Parties the option not to accept the inquiry

procedure.

The combination of simultaneous

and complementary international and

national efforts also makes the OPCAT

system unique. The OPCAT establishes an

international expert body within its system

called the Subcommittee on Prevention of

Torture and other Cruel, Inhuman or

Degrading treatment or Punishment (the

SPT). It also requires Member States to

establish or designate a national body called

National Preventive Mechanisms (NPMs).

The relationship between the SPT and

NPMs gives a new important ground in

human rights protection since it combines

prevention in the international and national

plane. This preventive system should

perform at an optimum level if the SPT,

NPMs and the States parties are able to

build strong co-operation among them. The

principle of co-operation plays an important

role with regard to the performance of the

visits. The co-operation can be in the form

of exchanging information between the SPT

and NPMs.

The scope of the OPCAT is a

controversial issue. The scope of the

visiting mechanisms under the OPCAT

should also include “unofficial” places of

detention. The description of a place of

detention can be found in Article 4(1) and

4(2) of the OPCAT. Article 4(1) of the

OPCAT contains an obligation to allow

visits to any place where people are

deprived from their liberty with the order,

consent, or acquiescence by a public

authority. Article 4(1) has a broader

definition, as it also encompasses private

custodial settings where people are detained

by non-State actors with the acquiescence

of a public authority. On the other hand,

Article 4(2) gives a more limited definition

of the term “deprived of their liberty”, as it

requires an explicit order of a public

authority, mere consent and acquiescence

are not enough (Manfred Nowak and

Elizabeth,2008). However, Article 4(2)

should be interpreted in line with broader

definitions as stated in Article 4(1).

Consequently, “deprivation of liberty” must

be read to include not only „traditional‟

forms of deprivation of liberty such as

imprisonments, but also „less traditional‟

ones like -social care homes, mental health

institutions, foster homes and other places

in which a State can be held responsible

(Rachel Murray, Elina Steinerte, Malcom

Evans, and Antenor Hallo de Wolf, 2011).

The issue of the scope of OPCAT in Article

4(1) and 4(2) is important as it explains

Page 32: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

27

how far the mandate of the SPT and of the

NPMs should extend.

Once a State ratifies the OPCAT,

they do not have to submit any additional

reports. Instead, the Member States have to

establish, designate or maintain a single or

multiple NPMs. They also have to open all

places of detention to be the subject of

scrutiny of the SPT and NPMs. Given the

fact that the SPT could not visit all

detention places in the Member States due

to the growing number of the members and

financial problem, it will give NPMs a

significant visiting role (United Nations

Human Rights Office of the High

Commissioner, 2013).

The SPT

Under Article 14 of the Optional

Protocol the SPT can conduct visits to any

places under its member States‟ jurisdiction

where people are deprived of their liberty.

During its first year, the SPT conducted

visits to Maldives, Mauritius and Sweden.

In 2012 the Subcommittee carried out five

visits to Argentine, Kyrgyzstan, Gabon,

Republic of Moldova and Senegal. The SPT

has also continued its dialogue with all

States parties which have not yet designated

their NPMs.

The SPT has two inter-related

functions: an advisory function by

providing advice on issues concerning

NPMs and domestic preventive measures;

and an operational function, for example:

carrying out in-country missions to monitor

places of detention to the States Parties to

the Protocol. For example, the members of

the SPT held meetings with the

Government of Cambodia and Guatemala

on NPM establishment issues.

Unfortunately, the SPT is facing budgetary

difficulties as well as mandate clarity

problems (SPT, First Annual Report,2008).

These difficulties are getting worse because

of the novelty of its visiting mechanism

within the UN context. Those challenges

have direct negative impacts concerning the

fulfilment of the SPT‟s mandate. The SPT‟s

limited financial resources to fund its in-

country visits for example, have been the

detriment of its advisory role.

As explained by Article 5(1) of the

OPCAT, the SPT initially comprised of ten

members, the number will rise to twenty

five following the 50th

ratification or

accession. In September 2009, the threshold

was reached. SPT members must be

equipped with enough skills and

competencies, and they must carry out their

functions in an independent manner. The

issue about the expanded membership is not

without any hurdles. The new members will

take time to adapt and establish a

relationship with one another and the issues

which were previously settled may be up

for discussion again. Other practical

problems might create significant

challenges, for example: the issue on

working languages as well as expansion of

the secretariat to support the workload.

Article 11(c) of the Protocol

should be seen as an important provision;

the article stipulates that the SPT shall co-

operate not only with relevant United

Nations (UN) organs, but also with other

international, regional, and national

institutions which are active in the

prevention of torture. The SPT should build

a constructive relationship with the

ComCAT and the Special Rapporteur on

torture because these two bodies are the

main UN bodies in charge of torture issues.

At the regional level, the SPT can learn

from the experienced European Committee

for the Prevention of Torture (CPT) or

benefit from the practices carried out by the

Special Rapporteur from Africa and

America regions. The Rapporteur‟s

mandate is broad covering all United

Nations Member States. However, the

Rapporteur can only visit a State if invited

to do so by the government.

NPMs

NPMs are the central bodies in the

system of prevention that the OPCAT puts

in place, especially given the fact that the

SPT itself feels doubt as to whether it could

conduct effective visits to all State Parties

due to expenditure inadequacy (Elina

Steinerte and Rachel Murray, 2009). The

inclusion of NPMs within the OPCAT

framework is the key factor of the effective

Page 33: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

28

prevention, as they are located within the

States Parties territory so that frequent

visits are most likely possible.

When States become a party to the

OPCAT, they are obliged to establish,

designate, or maintain an independent NPM

or multiple NPMs as stipulated in Article

17 of the OPCAT. However, the OPCAT

contains very few prescriptions as to how

NPMs are constituted. This has led to

variety in the structure and composition of

the NPMs. A State may designate a single

ombudsmen office or a series of Human

Rights Commissions as the NPM/NPMs.

For instance, in Denmark it is the

Ombudsman who has been designated as an

NPM, in Mexico; it is the Mexican Human

Right Commission that has been designated

as an NPM, whereas in New Zealand five

institutions have been designated to carry

out the mandate of the NPM.

Under Article 19 of the OPCAT,

NPMs have a mandate to conduct regular

visits to places of detention and make

recommendations to the authorities. NPMs

should also have access to all places of

detention and freedom to choose the places

to visit. The access to visit places of

detention must also include unofficial

places of detention as stipulated in Article 4

of the OPCAT.

A strategic decision should be

made when it comes to determination on

the formulation of an NPM or multiple

NPMs. The choice is either establishing a

new institution or designating an existing

body as an NPM. Specific advantages and

disadvantages are associated with the

design of a new body versus the designation

of an existing body (Assosiation for the

Prevention of Torture (APT), 2006).

Countries with large geographical areas and

dispersed at long distance detentions may

be in a better position if they were to

consider having multiple NPMs to cut the

travel budget. Designating an existing body

as an NPM has some benefits as it may

already enjoy significant public confident

and have accumulated experience.

However, designating a national human

rights institution as an NPM also involves

challenges in relation to the institution‟s

broad mandate and a lack of financial and

personnel independence. For example

Poland and Mexico enjoy infavorable

NPM‟s performance. The Polish

Government appointed the existing body,

the Polish Commissioner for Civil Rights

Protection, a large institution with a wide

mandate, as an NPM and the Mexican

Government designated a current institution

named National Human Right Commission

as an NPM. However, those institutions

failed to conduct their mandates because of

insufficient staff and inadequate financial

support (High Commissioner for Human

Rights (OHCHR), 2008).

There are several requirements that

NPMs should meet in order to perform

effectively. Independence is the most

important characteristic that an NPM must

possess. Article 18(1) OPCAT calls for

functional and personnel independence of

NPMs. Representativeness, necessary

expertise, and adequate funding are also

important considerations to guarantee

independence.

The OPCAT, the SPT guidelines

and the Paris Principles all place stress on

the importance of NPMs being

independent. The law creating an NPM

should not place the institution under the

institutional control of a government

ministry, cabinet, or president. Each

member of Commission or each member of

staff should be personally independent from

State authorities, and the NPM should not

include individuals who are presently

occupying active positions in the

Government. Financial autonomy is also

crucial. The usage of their resources on an

independent basis, ability to draft their own

annual budgets, freedom from control and

the need for governmental approval can be

seen as a safeguard to preserve the

independence of NPMs. This independence

will enable NPMs to be capable of

performing their functions. Conflicts of

interest are very likely to arise when the

institutions or the staff cannot act in an

impartial manner. For example, an NPM

member who also occupies an active

position in the criminal justice system

would find difficulties in conducting his

Page 34: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

29

multiple roles as they have conflicting

interest.

In conclusion, the UNCAT as an

effort to combat torture and other inhuman

treatments mainly takes repressive

measurements to fight against torture,

however Article 2 of the UNCAT gives

concern on the prevention. The ComCAT is

established with the objective to supervise

the States Parties‟ compliance with the

obligations under the UNCAT. It can also

be concluded that the Committee has a wide

range of mandates. They can take the

position of preventive role through the

framework of reporting procedure and

inquiry procedure. The Convention also

gives way to an effective prevention system

through the OPCAT. The OPCAT

establishes a system of prevention which

mixes international and domestic

approaches. A very critical role will be

conducted by NPMs as they are located

within the country meaning that regular

visits are possible. However, the NPMs

would not be able to function properly if

they are not independent and not well

equipped with required human resources‟

expertise.

The Existing Visiting System in

Indonesia; The Conformity between

Indonesia’s National Legislation with the

UNCAT’s Provisions

A few years after ratifying the

UNCAT through Law Number 5/1998,

Indonesia enacted several new laws as part

of Indonesia‟s on-going efforts for

comprehensive legal reform for the purpose

of protecting human rights including the

right not to be subjected to torture and other

cruel, inhuman, or degrading treatment or

punishments. Among the most notable

legislative measures is the amendment of

the 1945 Constitution, the highest legal

authority in Indonesia. The protection of

human rights is one of the values which has

been given a special attention regarding its

amendments. The amended 1945

Constitution in Article 28G(2) and 28I(1)

stipulate the right to be free from torture or

inhuman and degrading treatment. Other

provisions grant people with some basic

human rights. This revision can be seen as a

huge leap to the protection of human rights

as the original 1945 Constitution lacked

with the sufficient human rights provisions.

Similarly, the Government of

Indonesia also enacted some other

legislation which reflects the Government‟s

awareness of its responsibility on the

protection of human rights. Law Number

39/1999 on Human Rights has made a

significant progress in which it establishes

and gives a wide mandate to the National

Commission on Human Rights (Komnas

HAM), ranging from the power to study,

research, disseminate, monitor and mediate

human rights issues. With the existence of

an independent institution monitoring

human rights, it is expected that protection

to human rights will be more effective.

Another important regulation is Law

Number 26/2000 on Human Rights Courts

which guarantees that any violations of

human rights will be brought to justice. In

those both documents, we can find the

definition of torture.

Article 1 section 4 of the Law

Number 39/1999 provides that: “Torture

means all deliberate acts that cause deep

pain and suffering, both physical or

emotional, inflicted on an individual person

to obtain information or knowledge from

that person or from a third party, by

punishing an individual for an act carried

out or suspected to have been carried out by

an individual or third party, or by

threatening or coercing an individual or

third party, or for reasons based on

discriminative considerations, should this

pain or suffering arise as a result of

provocation by, with the approval of, or

with the knowledge of any person or public

official whosoever.”

The Government of Indonesia

claims that the above definition is in line

with the Convention. In fact, according to

the Government, Indonesia‟s torture

definition is more advanced since it

includes the acts conducted not only by

public authorities but also by individuals.

Unfortunately, there is no single provision

in Law Number 39/1999 regulates

punishment to the torture perpetrators

Page 35: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

30

(Working Group on the Advocacy against

Torture (WGAT), 2010). In addition, the

Law Number 26/2000 on Human Rights

Court in Article 9(f) also stipulates the

definition of torture. Article 39 of the Law

stipulates that every person who commits or

is suspected of having committed, or

attempts to, participates in, or accomplices

torture, shall be punished by five to fifteen

years imprisonment. Conversely, former

UN Special Rapporteur for Torture

Manfred Nowak in his report recommended

that Indonesia should define torture in

accordance with Article 1 and 4 of the

UNCAT, as the definition of torture under

the Law number 26/2000 is restricted to a

massive, broad, and systematic attack

against civilians. Therefore, in the view of

above mentioned laws, an individual attack

as well as sporadic and unsystematic

attacks would not fall under the definition

of torture. The consequence of these

phenomena is that it is difficult to charge

perpetrators with committing acts of torture

under these laws, which then leads to

impunity practises.

Amid the vacuum of a torture

definition which is in line with the

Convention‟s definition, Indonesia‟s Penal

Code offers a solution. Actions that result

in physical or mental violence and other ill-

treatment are punishable under the

Indonesian Penal Code. Under Article 422,

officials who, in a criminal case use means

of coercion for the purpose of a confession

or to get information shall be punished.

However, the scope of Article 422 is

limited only for investigations of criminal

acts. It means that other offences not under

the investigation process cannot be

punished by this provision. Articles 351 to

358 of the code also punish acts which have

elements similar to torture, but still miss

several elements of the torture definition,

such as elements of purpose and agency.

Those offences are punished under

“maltreatment” charges. As a result, torture

offenders are charged with the offence of

maltreatment, leading to less severe

punishment.

From above points, it can be

shown that Indonesia‟s legislation

concerning acts of torture lack an

appropriate form of punishment. This

happens because the legislation concerning

the acts of torture as stipulated in Law

Number 26/2000, defines torture with

higher thresholds than the one regulated in

the UNCAT, as it requires the acts to be

systematic, massive and broad. That

definition has led to impunity since there

have been no persons brought to court

charged with torture under the Law Number

26/2000. In its penal code, Indonesia

qualifies acts of torture as “maltreatment”

which misses some important elements of

what constitutes torture, and results in less

severe punishments for the act of torture.

Therefore, regarding Article 4(2) of the

UNCAT, Indonesia is not yet able to

comply with its obligation.

Indonesia has not yet declared the

competency of ComCAT as indicated in

Article 21 and 22. Under these provisions,

the Committee would have the power to

receive complaints and communications

from other signatory countries, as well as

individuals upon declaration. The absence

of a declaration to acknowledge the

competency of the ComCAT gives more

space for the internal complaint mechanism

within Indonesian system.

Under Indonesia‟s criminal

system, any complaints shall be submitted

to the Police. This raises a concern as most

cases of torture are committed by members

of law enforcement agencies. This

mechanism has difficulties to realise an

impartial investigation. This fact is not in

line with Article 13 of the UNCAT which

stipulates the obligation to ensure a prompt

and impartial complaint mechanism on

torture allegation.

The Role of the National Human Rights

Institutions in Preventing the Acts of

Torture and Ill Treatment in Indonesia

As Indonesia is not party to the

OPCAT, Indonesia is not legally obliged to

establish a preventive mechanism under the

OPCAT. However, Indonesia has several

institutions dealing with human rights

which have a mandate to take preventive

measures against acts of torture and other

Page 36: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

31

inhuman treatment. The National Human

Rights Commission (Komnas HAM), the

National Commission on Violence against

Women (Komnas Perempuan), the

Witnesses and Victims Protection

Institution (LPSK), and the Ombudsman of

the Republic of Indonesia are among the

potential institutions to conduct

preventative measures against torture.

The Komnas HAM plays a key

role in prevention against acts of torture as

it has conferred a mandate from both Law

Number 39/1999 and Law Number

26/2000. It can be concluded from above

regulations that the Komnas HAM has

functions to study, research, disseminate,

monitor and mediate human rights issues,

as well as a power to conduct inquiries of

alleged acts qualified as crimes against

humanity including torture. The monitoring

function attached to Komnas HAM has a

close relation with the preventative efforts

against torture. In conducting its monitoring

function, the Komnas HAM could carry out

a survey of the locations where incidents

have taken place and other locations which

are deemed necessary. The Komnas HAM

could also examine sites such as houses,

yards, building and other places occupied

by certain parties with the agreement of the

chief of the court. The inability to conduct

visits without prior authorization from other

bodies has impeded this institution from

functioning properly. In contrast to Article

4(1) of the OPCAT, the NPMs can carry

out visits to any places of detention without

any further consent required. Impartiality

and independency are the key elements of

the Komnas HAM to ensure that its

mandate is carried out effectively.

However, the Komnas HAM has some

problems regarding its independence.

Further elaboration on the independency of

the Komnas HAM will be discussed in the

next chapter.

In the light of Komnas HAM‟s

mandates being derived from Law Number

39/1999, a Memorandum of Understanding

(MoU) with the National Police was

concluded, where the Police granted free

access for the Komnas HAM to visit all

detention facilities under police

jurisdictions. However, no visits undertaken

by the Komnas HAM are unannounced.

The visiting team has to make some

arrangements with the authorities before

carrying out the inspection. This means that

the Komnas HAM does not have a strong

monitoring function, as it always needs

other institutions‟ permission to conduct

visits, for example from the Police. Aside

from its inspection function, the Komnas

HAM is obliged to disseminate human

rights values including the prohibition on

torture. Recently, the Komnas HAM has

published leaflets as a medium to publicize

the UNCAT, to educate people regarding

the norms and to promote the values

contained in the Convention.

Under Articles 90 to 92 of Law

Number 39/1999 on Human Rights, the

Komnas HAM has a mandate to receive

complaints either from individuals or

groups. This function is rather different to

those that the NPMs have. NPMs under the

OPCAT have at least two core mandates; to

conduct visits and make recommendations

to the Governments. However, States may

endow an NPM with broader mandates, for

example to adjudicate individual

complaints. But this may give rise to

considerable obstacles when it comes to

achieving the OPCAT‟s objectives, as it

may upset the co-operative relation with the

Government. This broad mandate by the

Komnas HAM could have a negative

impact to its proactive inspection body role.

Similar to Komnas HAM, The

National Commission on Violence against

Women (Komnas Perempuan) can also

conduct inspections to places of detention.

One of the National Commission on

Violence against Women‟s (Komnas

Perempuan) mandates is to strengthen

efforts on prevention against torture on

women. In line with its mandates, the

Komnas Perempuan has conducted several

visits to places of detention. However, these

visits are not without any restrictions. The

Komnas Perempuan cannot have access to

detention centres without prior consent

from the authorities, the same rule that

applies to the Komnas HAM. The Komnas

Perempuan may conduct monitoring only

Page 37: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

32

on an ad hoc basis which means that this

institution does not have the capacity to

carry out a comprehensive monitoring

system (UN Human Rights Council, 2008).

The Presidential Regulation No. 65/2005 on

National Commission on Violation against

Women (Komnas Perempuan) in Article 3

claims that the Komnas Perempuan is an

independent institution. But, given the fact

that this institution was established by a

presidential regulation, it can be shown that

this institution begins with something

unindependent, as the President has a power

to alter or dissolve the Komnas

Perempuan‟s mandate at anytime.

Furthermore, in its law, there is no

statement of any kind regarding the

requirement for a level of expertise when

appointing members.

Indonesia established a witness

protection body, called the Witnesses and

Victims Protection Institution (LPSK), as

part of the mandate derived from Law

Number 13/2006 on the Witnesses and

Victims Protection Institutions (LPSK). The

LPSK has a significant role in the

prevention of acts of torture and other

inhuman treatment. The mandate of this

institution is to provide protection and

support to witnesses and victims of crimes,

including cases of torture and maltreatment.

Article 5(2) of Law Number 13/2006

stipulates the parties who will fall under the

protection of LPSK, inter alia: victims or

witnesses of corruption, terrorism, and

drugs abuse cases. However, this provision

is not exhaustive; therefore, it is possible to

include torture victims as a party who

qualify for special protection. Given the

fact that acts of torture tend to be

perpetrated by the law enforcement officers

who also process a criminal charge,

protection and assistance by a third party

for the witnesses and victims in every step

of criminal procedures becomes crucial.

That is the importance of LPSK. However,

the Government of Indonesia shows a lack

of support toward this institution. In terms

of budget and legal framework, this

organisation has a very slow progress. The

budget for LPSK was not disbursed until

November 2008, two years later after its

establishment.

Another institution, which has a

high potential to carry out prevention

measures, is the Ombudsman of the

Republic of Indonesia. The formation of

this body was initially derived from

Presidential decree Number 44/2000 on the

National Ombudsman Commission. In

order to strengthen its legal framework, the

Law Number 37/2008 on the Ombudsman

of the Republic of Indonesia was

concluded. Pursuant to Article 6 of Law

Number 37/2008, the Ombudsman has a

mandate to monitor governmental

institutions or the State‟ organs and conduct

investigations on grievance of

maladministration in administering- public

services. Pursuant to Article 8(f) of Law

Number 37/2008, the Ombudsman could

make recommendations on the disposition

of the grievance. This includes complaints

from detainees. Concerning the handling of

complaints, a memorandum of

understanding (MoU) is concluded between

the Ombudsman and the Ministry of Justice

and Human Rights. The objective of this

MoU is to raise the standard of the

conditions in places of detention, as well as

the detainee‟s treatment. The LPSK and the

Ombudsman share similarities, as they are

facing problems with their independency or

expertise issues. Article 11(1) of the Law

Number 13/2006 on the Witnesses and

Victims Protection Institutions (LPSK)

stated that this institution is independent.

However, in Article 13(1) gives a clue that

this institution is not totally independent, as

they have to be responsible to the President

which means they are placed under the

President‟s supervision.

As explained above, it can be

concluded that the Indonesian national

human rights bodies have a role in the

prevention of torture and other inhuman

treatment. These roles range from

conducting visits, educating people and

officers, to disseminating the norms

regarding the prohibition of the acts of

torture. However, the visits conducted by

those bodies still lack the important

elements compared to the OPCAT system.

Page 38: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

33

How this existing visiting system works,

will be explained in the subsection below.

The Weaknesses of the Existing Visiting

System in Indonesia

The OPCAT visiting system is

recognized as an effective prevention

mechanism against acts of torture and other

inhuman treatment. This visiting system

combines an international approach through

SPT, as well as a domestic approach

through NPM. Aside from its dual

approach, this system also establishes

regular visits, either announced or

unannounced, which cover official and

unofficial places of detention. The inclusion

of NPMs within the OPCAT framework is

the key factor of the effective prevention

because NPMs, by nature, are located

within State Parties so that they can conduct

more frequent visits.

Co-operation between the

ComCAT, SPT, NPM, and the State plays

an important role in the performance of

effective preventive visits (Kerstin

Buchinger, 2009). The ComCAT and the

SPT holds at least one annual meeting in a

year, and the SPT also submits an annual

report to the ComCAT. The SPT can make

use of the reports submitted by State Parties

to the ComCAT to help its work. A solid

relation between the SPT, State Parties, and

NPM will lead to a good visiting system

performance, as they are in the very heart of

this system. The SPT assists the State

Parties on the establishment or designation

of NPM. NPM, in conducting its visiting

mandate, should keep in constant contact

with the SPT and follow its guidelines.

As the main player in the OPCAT

visiting system, it is essential that NPMs

meet several requirements in order to

function well. Independence is the most

important characteristic that an NPM must

possess. Article 18(1) OPCAT calls for

functional independence and independence

of the personnel of NPMs.

Representativeness, necessary expertise,

and adequate funding are also important

considerations to guarantee effective

performance. The OPCAT requires States

to consider the Paris Principles when

establishing or designating their NPM(s) as

it lists a set of criteria for national human

rights institutions to be considered

independent (Antenor Hallo de Wolf,

2009).

Under Article 19 of the OPCAT,

the NPM will have a mandate to conduct

regular visits to places of detention and

make recommendations to the authorities.

NPMs should have access to all places of

detention in which it is permitted under

Article 4 of the OPCAT, including

unofficial places of detention, for example

hospitals, care homes for elderly, and

mental health institutions. There are some

institutions in Indonesia which carry out the

function of monitoring detention places.

However, this monitoring function creates

the visiting system but does not perform

well since it lacks the important elements

that the OPCAT system requires. By

comparing the existing visiting system in

Indonesia to that of the visiting mechanism

under the OPCAT, the shortcomings of the

current visiting system become apparent.

Visits by the Komnas HAM, the

Komnas Perempuan, the Ombudsman and

Independence actors form a potential

visiting system in Indonesia, similar to the

one envisaged under the OPCAT. Under the

Article 76(1) of the Law Number 39/1999,

The Komnas HAM has a function to

monitor places of detention. This body

could visit all detention places under the

Police‟s jurisdiction. The Komnas HAM

can also conduct visits to less traditional

places of detention such as houses and other

buildings where people are deprived of their

liberty. Similarly, the Komnas Perempuan

also conducts visits, but with a more

specific theme, the protection of women

being the main concern. However, both

visits by the Komnas HAM and Komnas

Perempuan require permission from the

respective authorities, for example from the

Police or local Governments.

Independent visits by NGOs are

also possible. However, these visits are

only for a particular purpose, for example

conducting surveys, and not for regularly

monitoring places where there is a

deprivation of liberty. Visits with purposes

Page 39: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

34

other than prevention could also be done by

the Ombudsman. The Ombudsman could

visit detention places as part of their

investigation function. Inspections to places

of detention are carried out based on the

grievance they received. Therefore, the

visits conducted by the Ombudsman are not

preventive visits in nature, as it focuses on

reactive measures.

The existing visiting system is

proven to be ineffective. The number of

allegations of acts of torture and ill-

treatment committed by members of the

police forces, the army (TNI) and other

groups linked to authorities, is still high,

confirming the validity of the previous

statement, (Office for Justice and Peace of

Jayapura and Impartial-Jakarta, 2007). The

failure to bring the perpetrators of these acts

of torture to justice is just another example.

The existing visiting system in

Indonesia has some characteristics which

result in performance ineffectiveness. First,

the institutions which have preventive

functions do not have authentic mandates to

visit places of detention. In other words,

these institutions have limited mandate

concerning the monitoring function, as all

the visits shall be announced and require

consent from the related authorities. The

practices shown by Komnas HAM and

Komnas Perempuan are clear enough to

support above premise. They could not

access places of detention without the

consent from the Police, local Court, or

local Government. The absence of

unannounced visits confirms the failure of

this system. The above facts describe a

great different as to what the NPM has

under the OPCAT system. NPMs could

conduct visits without prior consent from

the authorities. These visits could be either

announced or unannounced. Even the SPT

could conduct visits without any prior

consent from the Government. Once a State

ratifies the OPCAT, it is considered that

they already given their consent to allow

visits.

The second factor which causes

underperformance within the visiting

system in Indonesia, regards the broadness

of the institutions‟ mandate. The mandates

of the institutions who conduct the visits

covers broad tasks. The Komnas HAM has

an abundant workload ranging from

studying, researching, disseminating,

mediating and monitoring human rights

issues which makes no difference in terms

of the broadness of its mandates with its

counterpart Komnas Perempuan. Like the

Komnas HAM and the Komnas Perempuan,

the Ombudsman also has an extremely

broad mandate dealing with

maladministration in administering public

services. They will hardly have sufficient

financial and human resources to properly

undertake preventative visits. The fact that

the Komnas Perempuan could not

undertake visits on a regular basis has

impeded this system from functioning

properly. Similarly, given the fact that

preventative visits are not part of the

Ombudsman‟s mandate and the visits they

conduct are reactive rather than preventive

based on the complaints they received, this

leaves the Komnas HAM as the sole

institution which could conduct preventive

visits on a regular basis.

Third, this current visiting system

does not prescribe minimum standard to the

bodies which would allow them to

functioning effectively. The State does not

grant enough functional, personnel

independence as well as pluralistic and

competent experts as stipulated in the

OPCAT, the Paris Principles and the SPT

guidelines on NPMs. The SPT, in its

guidelines regarding NPMs‟ establishment

states that it is a basic principle for NPMs

to be independent (Subcommittee on

Prevention of Torture and Other Cruel,

Inhuman or Degrading Treatment or

Punishment (SPT), 2010). Although the

Law Number 39/1999 and the Law Number

26/2000 have rectified the Komnas HAM

independence by reducing the President‟s

role in electing the members of this body,

but this level of independence is considered

insufficient, as the proper function by the

Komnas HAM depends on the other

institutions‟ assistance, for example from

the Police, by giving them permission to

conduct visits to places of detention under

its power. Disharmony relation with the

Page 40: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

35

Attorney-General has hindered this body

from performing its mandate. Under the

Article 20 of the Presidential Decree

Number 65/2005, the members of Komnas

Perempuan are responsible to the president.

This lack of independency causes

imbalance and prevents the body from

performing well. The Komnas HAM also

appears to be insufficiently resourced in

terms of either the number of staff or

pluralistic expertise as their members are

only those who have a legal background. In

order to conduct an effective visit, a mix of

professional backgrounds should be

included during the missions who are not

only lawyers, but also doctors and

psychologists.

To summarize, it can be concluded

that there is no effective monitoring

mechanisms currently in place in Indonesia.

The Ombudsman can conduct visits to

places of detention, the Komnas Perempuan

and the Komnas HAM have been

conducting announced visits to police

detention centres. However, there is no

effective mechanism which would have the

power to conduct unannounced, preventive

visits to all places of detention throughout

the country. The existing monitoring bodies

are facing problems with some basic

requirements which would allow them to

function well, such as the clarity of

mandate, expertise and institutional

independence. Both the ComCAT and the

United Nations (UN) Special Rapporteur on

torture through their reports highlight the

lack of effective mechanisms in Indonesia.

Establishing a visiting system à la

OPCAT in Indonesia; Issues upon

Ratification of the OPCAT

The OPCAT visiting system

comprises of two approaches, the

international and domestic approach, which

are regarded as an effective way to prevent

the acts of torture and inhuman treatment (,

Kirsten Buchinger, 2009). However, some

States are reluctant to ratify and implement

the OPCAT considering that international

and regional torture-related bodies already

exist. Those States argue that the OPCAT

bodies will duplicate the work of existing

institutions, such as the European

Committee for the Prevention of Torture

and Inhuman or degrading treatment or

punishment (CPT). For many Asia-Pacific

States including Indonesia, monitoring from

the SPT as a representation of international

monitoring bodies is considered

controversial. The mandate of the SPT

which could conduct announced or

unannounced visits to places of detention

might be seen as an infringement of State‟s

sovereignty. In the traditional

understanding, sovereignty means that only

the State has the highest authority in its

territory. Therefore, protection to the people

in its jurisdiction should be undertaken by

the State without any interference from any

international bodies.

States‟ sensitivity to sovereignty,

as well as national security issues, has

driven many States in Asia-Pacific to be

hesitant as to whether they should or should

not ratify the OPCAT. For example, the

Philippines prior to ratifying the OPCAT,

addressed the issue of sovereignty very

seriously. They were questioning whether

granting the SPT the right to access all

places of detention could be seen as a form

of sovereignty infringement. Finally, they

ended up with the conclusion that it was not

the case; the OPCAT system was deemed to

support national sovereignty instead of

violating it. The SPT works based on

mutual trust and confidentiality rather than

condemnation, but not all States share the

same understanding in that respect.

Indonesia, to some extent, holds

different views to the Philippines regarding

the issue of international monitoring in

relation to States‟ sovereignty. Upon the

ratification of the UNCAT, Indonesia had

already made a declaration to article 20(1),

(2) and (3). Indonesia brought up the issue

of sovereignty and territorial integrity upon

the application of article 20 of the UNCAT.

Under Article 20 of the Convention, the

Committee can launch an inquiry into

allegations of systematic torture. Indonesia

also refused to recognise the competence of

the ComCAT to investigate a complaint

from another State by the absence of the

declaration of intention in relation to article

Page 41: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

36

20 and 21(1) of the UNCAT. This means

that Indonesia rejected the competency of

the ComCAT, which to some extent could

play a role as an international monitoring

body. Similarly, the OPCAT system, which

allows outside monitoring conducted by the

SPT to scrutinize places of detention, has

many pros and cons. Therefore, the role of

the SPT is crucial in explaining Indonesia‟s

current position upon the ratification of the

OPCAT.

The idea of outside scrutiny by the

SPT being seen as a breach of a State‟s

sovereignty is absolutely misleading as the

visiting system under the Optional Protocol

is based on cooperation rather than

confrontation. The work of the SPT is

guided by the principle of cooperation

between the Subcommittee and the State

Parties. The principles of confidentiality,

impartiality, and objectivity also become

guidelines relating to how the SPT conduct

its tasks. So, the visits by the SPT under the

OPCAT system do not recognize the

element of “naming and shaming”. For

example, The SPT communicates its

recommendations and observations

confidentially to the Member States. It

cannot announce its reports or observations

in public unless the State itself requests to

do so, or the State refuses to cooperate with

the Subcommittee. Furthermore, the

decision to publish the report by the SPT

should be decided by majority of the

ComCAT members. If a State has a good

will and they are willing to cooperate, they

should not be afraid of ratifying this

Optional Protocol; the signing the Optional

Protocol should not be considered a threat

to a States‟ sovereignty.

Even so, we could not say that

Indonesia is totally resistant to outside

world monitoring. The invitation of the

Government to the UN Special Rapporteur

on Torture to conduct visits to detention

facilities demonstrates the willingness of

Indonesia to open itself to visits from

outside institutions. Indonesia is in the

process of consultation within government

and civil society regarding ratification of

the OPCAT, indicating that this issue is to

be taken seriously by the Government. Its

ongoing discussions with all the stake

holders also suggest that the final decision

has not been concluded as of yet.

Aside from the sovereignty issue,

the geographical, socio-cultural, religious,

politics and ethnic diversities could be the

reasons behind Indonesia‟s tardiness upon

ratification of the OPCAT (Richard

Harding and Neil Morgan, 2010). As an

example, Indonesia‟s geographical feature

is very scattered; there are 17.000 islands in

total and it is also prone to natural disasters.

Therefore, the national priority in terms of

places of detention is still to provide safe

detention facilities and enough food for its

whole population. However, regardless of

the reasons behind this ongoing uncertainty

upon ratification of the OPCAT, real action

needs to be instituted promptly to bridge the

gap between the high number of torture

records and the absence of an effective

prevention mechanism.

An Obligation to Establish a Visiting

System Based on the OPCAT

The Committee, in its concluding

observations to Indonesia, stresses the

importance of the OPCAT ratification. The

Special Rapporteur on torture, in his reports

during his visits to Indonesia strongly

requests, and calls upon the Government to

ratify the Optional Protocol. Those strong

positions from both the ComCAT and the

Special Rapporteur on torture question

whether there is an obligation to ratify the

OPCAT or an obligation to establish a

preventive visiting system based on the

OPCAT.

In general, States are the highest

authority in the international community.

Neither treaties nor international

organizations can force a State to ratify a

treaty and become party to it. Conversely, it

is up to the State, based on their consent,

whether they wish to ratify a particular

treaty or not. In that respect, State Parties to

the UNCAT cannot be obliged to ratify the

OPCAT. The UNCAT stipulates a general

obligation to prevent torture as stated in

Article 2(1) of the Convention, it makes no

reference to the OPCAT since the Protocol

was concluded later. Therefore, it can be

Page 42: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

37

concluded that there is no obligation to be

party to the OPCAT nor an obligation to

establish a visiting system based on the

OPCAT. There is, however, a general

obligation to prevent the acts of torture.

This situation gives some leeway for States

to develop their own domestic visiting

system out of the OPCAT system.

The obligation to prevent torture

entails not only the compliance with legal

commitments, as set out in international

instruments which have a preventive

impact, but also the idea that a State should

embrace any required actions which can

contribute to the lessening of the risk of

torture occurring. In the ICJ case involving

Bosnia and Herzegovina v. Yugoslavia, the

court decided that the Federal Republic of

Yugoslavia (Serbia and Montenegro) had

violated the Convention on the Prevention

and Punishment of the Crime of Genocide

by virtue of having failed to prevent and to

punish acts of genocide(ICJ reports, 1996).

Similar to the UNCAT, a State can be

considered breaching its obligation to

prevent torture if it is proven that it failed to

take necessary actions to prevent the acts of

torture.

In line with above notion, State

Parties to the UNCAT are considered to be

successful carrying out their obligations

under Article 2(1) of the UNCAT, if they

can establish an effective system of torture

prevention, regardless of whether they are

party to the OPCAT or not. The critical

question arises as to how we define an

effective preventive visiting system against

torture.

The OPCAT system is hailed to be

the most effective visiting system in place

today. International NGO‟s such as the

Association for the Prevention of Torture

(APT) and Inter-America Institute for the

Human Rights (IIHR) hail that the new

approach enshrined in the OPCAT is

needed to effectively prevent the acts of

torture. The Special Rapporteur to the

mission of Indonesia reiterates the

effectiveness of the OPCAT visiting

system. In its concluding observations to

Australia, the Committee urges Australia to

ratify the OPCAT in order to strengthen the

prevention against torture. Similarly,

through its concluding observations to

Albania, the Committee requests that the

State establish an NPM in order to

effectively prevent torture.

The ComCAT, in its general

comment on Article 2 of the UNCAT,

reiterates that the legislative, administrative,

judicial and other actions taken by States

Parties must in the end be effective in

preventing the acts of torture. Furthermore,

the Committee ascertains that the obligation

to prevent torture in Article 2 is wide-

ranging. The scope of the effective

measures enshrined under Article 2 of the

UNCAT, therefore also includes

establishing an effective monitoring

preventive system. This document as if

gave reference to a visiting system based on

the OPCAT to be established in any States

Members of the UNCAT, since this system

is considered the most effective.

The National Human Right Commission

of the Republic of Indonesia (Komnas

HAM) works à la NPMs

The notion of a visiting system is

not new in Indonesia. The mandate of the

Komnas HAM, the Komnas Perempuan,

and the Ombudsman of the Republic of

Indonesia have made it clear that prison

oversight mechanisms are already in place.

But this system faces deficiencies regarding

the mandate and quality of the visits.

Therefore, efforts should be made to

improve and ensure effective protection of

persons in detention. The strengthening of

the domestic oversight mechanism should

remain a goal even if states have not yet

signed or ratified the OPCAT, since the

OPCAT requires the designation of an

NPM at a domestic level, which may

appoint the existing body (Berber Hettinga,

Aquinaldo Mandlate, Lukas Muntingh,

2011).

Concerning Indonesia‟s inspection

system, improving and strengthening

domestic visiting systems should be

initiated by giving the institutions dealing

with the monitoring a clear and strong

mandate. The strong words concerning its

mandate, and as how far the institutions

Page 43: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

38

could go in conducting its mandate should

be clearly stated in the regulations. To date,

this has not been the case.

As mentioned earlier, the

inspection system in Indonesia has some

weaknesses; the Komnas Perempuan and

the Ombudsman of the Republic of

Indonesia have a visiting mandate, but it is

limited in its scope. The Komnas

Perempuan could carry out inspections and

conduct interviews but this is only

applicable for female prisoners. Similarly,

the Ombudsman can also conduct

inspections, but only upon receiving a

complaint; the visits conducted are more

reactive than preventive in nature. Unlike

other human rights institutions, The

Komnas HAM has a broader and more

general mandate as they can carry out

inspections with no limitation to the gender

and visit places where acts of torture are

most likely to happen. It would seem that

the Komnas HAM is the only human rights

institution which has an ideal mandate for

the prevention of torture. Thus, it should be

the leading institution for the prevention

against torture and other inhuman

treatment. In regard to the establishment of

the NPM, once Indonesia ratifies the

OPCAT, the Komnas HAM could be

appointed as the NPM.

In principle, as long as the body

can conduct its visiting function well, it

should not matter whether it is new or not.

However, establishing an entirely new

OPCAT focused institution is not a good

option in Indonesia, as it has several

institutions with more or less the same

mandate. Creating a new institution can

result in a more complicated system since it

will duplicate the work of the existing

bodies. Furthermore, the Komnas HAM has

already enjoyed a good reputation in the

society, something that could be difficult

for the new body to achieve.

The concern of improving the

existing visiting system should focus on

how to improve the quality of the visits.

The quality of the visits has been shown to

correlate with institutional independence, as

well as the independence of their personnel.

Visits by national preventive mechanisms

cannot effectively prevent torture and other

inhuman treatment unless the institution is

truly independent.

The Komnas HAM‟s

independence is very much questioned. In

its concluding observations to Indonesia,

the Committee against Torture reiterates the

insufficiency of the level of the

independence and impartiality of the

Komnas HAM. In 2008, the ComCAT

through its concluding observation

recommended that the Government of

Indonesia strengthens the independence of

the Komnas HAM. The level of

independence is really an issue in the case

of the Komnas HAM‟s mandate under Law

Number 26/2000 on the Human Rights

Court. The mandate under the Law Number

26/2000 for conducting the initial

investigations relating gross violation of

human rights will come to nothing because

it is up to the Attorney General to decide

whether or not the case will proceed,

despite the Komnas HAM saying

otherwise.

The independence of an institution

will be undermined if the Government has

the legal authority to dissolve, replace, or

alter its mandate. This can be called

institutional independence. The

independence of a human rights institution

also means that the law creating the

institution should not place the institution

and its member under the Government

control. The independence of members and

staff is also important as the members of

the human rights institution should be

experts and personally independent from

the Government itself. Visits to places of

detention by independence and impartial

authorities are the fundamental principle

underlying the OPCAT.

Law Number 26/2000 claims that

the Commission is an independent

institution, but the law does not elaborate

more on the extent of said independence.

However, Article 85(2) of Law Number

39/1999 on Human Rights, stipulates that a

member of the Commission may be

discharged if he is no longer able to carry

out his mandate independently, such as by

joining a political party. Following this with

Page 44: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

39

regard to the independency issue, it can be

concluded that the above laws only focus

on personnel independence, giving no

reference to functional independence.

The Komnas HAM cannot be

regarded as having a level of independence

high enough in carrying out its inspection

mandate, even though it secured „A‟ status

accreditation from the International

Coordinating Committee of National

Human Rights Institutions (ICC) in 2012 to

show its compliance to the standard set out

in the Paris Principles. The inter-relation

between the Komnas HAM and the

Attorney General in proceeding gross

violations of human rights has put the

Komnas HAM in a very weak position and

has undermined its independence; it is up to

the Attorney General to continue or halt the

legal process regarding an allegation of a

human rights violation. Furthermore,

concerning the Komnas HAM‟s visits to

places of detention under the Police

authority in which require permissions from

the Police in the form of an agreement, it

has undermined the inspection mandate

stipulated in the regulation. The existence

of an agreement before conducting visits

has made unannounced visits impossible.

Therefore, the Komnas HAM in conducting

its inspection mandate has clearly fallen

short of required independency and

authority. Therefore, functional

independence by the Komnas HAM should

be given more concern. The Commission

should be able to conduct its mandate

without any restrictions or dependency

from another institution. The only solution

is by amending the law regulating the

mandate of the commission.

The personnel expertise is also an

issue in the effort to improve the quality of

the visits by the Komnas HAM. It is not

enough that the Commission‟s members are

independent from the Government. In order

to be effective at conducting visits, the

members of the monitoring institutions

must each have relevant expertise. The lists

of expertise are not only lawyers but also

individuals of other professions, including

doctors, psychologists, anthropologists, etc.

Unfortunately, Law Number 39/1999 on

Human Rights does not recognise the

variety of expertise of its members. Article

84 of above mentioned law stipulates the

individuals who are eligible to be appointed

as the members of the Komnas HAM are

those who have an experience in the legal

profession. Therefore, the lists will be

limited to lawyers, judges, police, and

attorneys. In the upcoming time, it has to be

made possible for other professions, aside

from legal professionals, to become

members of the Commission. This can be

done by amending Law Number 39/1999.

3.3.2. Improving the Frequency of the

Visits

The frequency of visits by the

human rights institutions can be shown to

have contributed to the decreasing number

of torture cases (Berber Hettinga,

Aquinaldo Mandlate, Lukas Muntingh,

2011). The repeated visits to a given place

of detention will have a deterring effect.

These frequent visits and interviews will be

able to illuminate the early signals in which

torture or inhuman treatment might take

place. However, the Komnas HAM is

facing problems regarding its ability to

conduct frequent visits due to the issue of

consent and the broad scope of the

definition of detentions. An institution

might reject the request by the Komnas

HAM to visit its place for a certain ground,

and wide-range of places that need visiting

will be an obstacle for the Komnas HAM to

cover them all. Therefore, the issue of

consent and scope of mandate is closely

related to the frequency of the visits by the

Komnas HAM.

The Komnas HAM, as the human

rights primary monitoring institution, has

some problems regarding the ability to

conduct frequent visits. Under Article 89(3)

of Law Number 39/1999 on Human Rights,

and Article 19 of Law Number 26/2000 on

Human Rights Court, the Komnas HAM is

conferred a mandate to conduct visits to

places where torture and other inhuman

treatments are likely to occur. However,

these two legal frameworks are considered

not enough to be a legal basis of the

Komnas HAM to conduct visits to all

places of detention, as in reality it requires

Page 45: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

40

permission from other bodies, meaning that

they might say no to these visits.

The Komnas HAM can only

conduct visits in a limited fashion. They

need permissions prior visits whish also

means that they cannot conduct

unannounced visits to places of detention.

That fact is affirmed by the ComCAT‟s

concluding observation to Indonesia in

which it is concerned about the absence of

an effective monitoring mechanism on the

situation of detainees, including

unannounced visits to all places of

detention or custody. Regarding the

discussion on the establishment of NPMs,

Government institutions have a tendency to

object to the key mandate of the NPMs to

conduct visits without prior notice. This

objection to other institutions monitoring

also applies to the Komnas HAM. In order

to get access to visit detention facilities

under the Police‟s authority, the consent

and some arrangements from the Police

should be first secured by the Komnas

HAM. Similarly, the Komnas HAM has

also concluded an agreement with the

Ministry of Law and Human Rights of the

Republic of Indonesia to gain the right to

visit places of detention under its

jurisdiction, for example migrant detention

centres (Nurkholis Hidayat and Restaria

Hutabarat, 2012). These agreements and

arrangements have had a detrimental effect

to an effective visiting mission.

Furthermore, all the visits

conducted by the Komnas HAM only target

the places of detention in the traditional

sense which only includes police cells and

prisons. From its practises, the Komnas

HAM never exercises its inspection

mandate to visit less traditional places of

detention like care homes, psychiatric

institutions, etc. Once again, the practices

above have shown that the authority of the

Komnas HAM to conduct preventive

missions against torture has not yet

achieved a strong legal framework.

Therefore, there is an urgent necessity to

amend the regulations regarding the

mandate of the Komnas HAM. The ability

to conduct more frequent announced and

unannounced visits covering not only

prisons and police cells, but also places of

detention that regularly do not fall under the

criminal justice system, should be given

more concern.

In the travaux preparatoires

during the drafting of the Optional Protocol,

there were some positives and negatives

discussed regarding the unannounced visits

conducted by the SPT and NPM(s). Several

States stated that the principle of State

sovereignty and territory integrity should

prevail, and therefore, the Subcommittee

needed to obtain prior consent from the

respective government for any mission to

its territory (Manfred Nowak and Elizabeth

Mc Arthur, 2008). However, other States

criticized such a requirement as it

contradicts the basic purpose of the

Protocol, to conduct preventive visits as

spelled out in Article 1. The recent text of

the OPCAT constitutes the compromise

over that issue. An example being that,

Article 13(2) of the OPCAT, it s requires

the SPT notify the State Parties so that they

can make some arrangements for the visits

to be conducted and by virtue of Article

14(2), the State Parties may object to a visit

to a particular place of detention on urgent

grounds, for example national defence or

public safety. In 2006, the UN Special

Rapporteur on Torture said that upon

ratification of the Optional Protocol, State

Parties have agreed to accept unannounced

visits to all places of detention because they

have waived their sovereignty right.

The reason why the absence of

unannounced visits in Indonesia has been

addressed in a serious manner is because

the visits with no prior notice have some

additional value. The visits without notice

are not mentioned in the OPCAT, however,

this concept is widely accepted and

admitted to be important by the State

Parties. The UN Special Rapporteur on

Torture has elaborated that unannounced

visits could reveal and formulate a

distortion-free picture of the real conditions

in the detention facilities. Therefore, by

having the mandate to conduct

unannounced inspections, the Komnas

HAM could see the actual problems in

detention facilities, and thus address the

Page 46: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

41

problems with accurate recommendations.

But then the question arises of how

frequently frequent visits must be

conducted.

The problem regarding the

frequency of these visits is how to

determine if a certain number of visits is

frequent enough. The OPCAT requires that

the NPM itself have the power to determine

how frequently it visits particular places of

detention. In general, the more frequent the

visits are, the more effective the visiting

system is. The idea of the establishment or

designation of the NPMs was initially

because the SPT is dealing with a serious

obstacle when it came to conducting visits

on a regular basis due to budget constraints.

Then, the NPM was adopted in order to

make it possible to have more frequent

visits.

In Indonesia‟s context, the visits

aside from the Komnas HAM should be

made possible in order to enhance the

number of visits. The Komnas Perempuan

and The Ombudsman should be given more

room to conduct preventive visits to places

of detention. In that case, some form of

coordination is necessary in order to

overcome a conflict of mandates or

overlapping functions. Those institutions,

for example, can conclude an agreement

between them regarding who will conduct

visits in a particular area or hold an annual

meeting to discuss recent problems on

torture prevention.

The Komnas HAM itself will

determine how often the visits will be

conducted. This determination should take

into account some considerations such as

the types of visits and the types of

detentions. Suggestions include that the

follow-up visits should be less frequent

than the regular visits, and places with the

higher torture records should be subject to

more inspections in comparison to places

with a low number of torture cases.

Strengthening the Impact of the

Inspections

At the end of a visit, the Komnas

HAM issues a report on its findings,

including recommendations for actions. In

Article 89(2) of the Law Number 39/1999,

the Komnas HAM could also give

recommendations upon amendment or

revocation of the legislation concerning

human rights. This function is in line with

the NPMs mandate under Article 19(2) of

the OPCAT. According to the OPCAT, the

NPM should be granted the minimum

power to inter alia to make

recommendations to the authorities with the

aim to prevent the acts of torture and other

inhuman treatments. Regarding the

recommendations by the Komnas HAM,

the Committee, in its concluding

observation expressed its disappointment

on the fact that all of the reports of the

Komnas HAM were not published. The

Komnas HAM does not have the right to

challenges a decision by the authorities,

even if that decision contradicts the

Commission‟s recommendations. For

instance, the Komnas HAM is powerless

against the decision of the Attorney General

to not prosecute a case of torture, even

though the Komnas HAM recommends

conversely. Therefore, it is important to

give more effects to the recommendations

issued by the Komnas HAM by turning

words in the papers into real

implementations of practice.

The first question to answer

regarding the recommendation power

possessed by the Komnas HAM is whether

there is an obligation for the Government‟s

institutions to implement those

recommendations. In the United Nations

charter there are two words,

recommendations and decisions which have

different meanings. The word decision is

usually used for binding resolutions,

whereas “recommendation” is used to

express non-binding resolutions (Marko

Divac Oberg, 2006). Furthermore, the

OPCAT system ascertains the non-binding

power of the recommendations. This

system works through a process of

recommendations and persuasive dialogue,

as opposed to binding powers. Therefore,

there is no obligation for the Government to

carry out the Komnas HAM

recommendations.

Page 47: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

42

The fight against torture and other

inhuman treatment will be effective, if the

recommendations by the Komnas HAM are

implemented by the Government.

Therefore, there is a need to give more

impact to the recommendations. Making the

recommendations available to the public is

one of the ways to strengthen the effect of

recommendations. By doing so,

independent monitoring from the public

will grow and strengthen the pressure

placed on the government to implement the

recommendations.

In conclusion, Indonesia has no

obligation to establish a preventive visiting

system under the OPCAT, but indeed

Indonesia has an obligation to set up an

effective preventive system under Article

2(1) of the UNCAT. The OPCAT system

has set a clear requirement for the human

rights institutions to function effectively in

the prevention against the acts of torture

and other ill-treatment.

Using the OPCAT approach, the

Komnas HAM should address at least three

fields in order to function effectively.

Firstly, concern should be expressed

regarding the quality of the visits;

improving the quality of the visits means

strengthening the independency of the

institution, not only in terms of human

resources but also in term of functionality.

The mandate of the Komnas HAM must be

made clear, and should include the

possibility of conducting announced or

unannounced visits to traditional or less

traditional places of detention. The variety

of expertise should also come under

scrutiny, this expertise does not merely

include legal professions, but also other

fields of profession. Secondly, the Komnas

HAM must pay attention to the frequency

of visits; the more visits are in place, the

better the protection will be. And thirdly,

the Komnas HAM should strengthen the

power of its recommendations by making it

accessible to the public.

Conclusion

From the above explanation, it can

be seen that a system of inspection

regarding places of detention is already in

place in Indonesia. Under Law Number

39/1999 on Human Rights and the Law

Number 26/2000 on Human Rights Court,

the National Human Right Commission

(Komnas HAM) has a mandate to conduct

monitoring visits to places of detention.

Similarly, Under Presidential Decree

Number 65/2005 on the National

Commission on Violence against Women,

the Komnas Perempuan has a mandate to

visits places of detention. The Ombudsman

could also conduct visits based on the Law

Number 37 on the Ombudsman of the

Republic of Indonesia.

However, this existing visiting

system has some basic shortcomings; the

mandate of the Komnas Perempuan and the

Ombudsman is limited. The scope of the

Komnas Perempuan‟s mandate to conduct

visits is only limited to female detention

centres or female detainees, whereas the

Ombudsman can only carry out its

inspection mandate when a complaint is

made regarding maladministration in the

places of detention. Thus, this circumstance

has left the Komnas HAM as the sole

institution with more ideal power, in which

they can conduct inspections to any place

where acts of torture are likely to take place

in line with the broad scope of the Article 4

of the OPCAT. But this is not without any

problems. The Komnas HAM cannot

perform properly in the prevention against

torture as they face obstacles regarding the

clarity their mandates and the level of

independence, as well as the competency of

their human resources.

The problems discussed above

have lead to an absence of effective visiting

systems, meaning that the effective visiting

system is not yet available in Indonesia.

Facts in the ground and the reports from

international bodies have confirmed this

claim. Internal reports from NGO‟s have

revealed a data regarding the high number

of torture cases. Reports from the Special

Rapporteur on torture and the concluding

observation from the Committee against

Torture stated that there is still a lack of

effective preventive visiting system against

torture in Indonesia.

Page 48: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

43

Amid this uncertainty, a question

arises as to whether there is an obligation to

establish a visiting system based on the

OPCAT. From the above explanation, it has

been made clear that there is no obligation

to be party or obligation to establish a

visiting system based on the OPCAT.

However, Article 2(1) of the UNCAT

stipulates a general obligation to prevent

the acts of torture. This obligation is wide-

ranging, as the general comment on Article

2 of the UNCAT has stipulated that the

obligation under Article 2(1) also includes

the obligation to establish an effective

visiting system. Therefore, as a party to the

UNCAT, Indonesia has an obligation to

formulate an effective inspection system to

prevent the acts torture and other inhuman

treatment.

Continuous debates have taken

place within the country on the sovereignty

upon the ratification of the OPCAT, these

debates have been a key issue relating to

Indonesia‟s tardiness when it comes to the

ratification of the OPCAT. This situation

may last for quite some time and

consequently, more people will be victims

of torture due to the lack of an effective

inspection system. Therefore, to tackle this

situation, a system of effective inspection

needs to be established immediately.

The visiting system based on the

OPCAT is hailed to be the effective way to

prevent torture. The OPCAT system has set

clear requirements for the human rights

institutions to function effectively in the

prevention against the acts of torture and

other ill-treatment. The establishment of the

SPT and NPMs has made regular visits to

places of detention possible. In order to

function well, NPMs should meet several

requirements. The NPMs should have a

strong mandate as stated in the OPCAT, the

institution must be independent

(functionally or personally), and the

institution must be equipped with the

required expertise. How this system works

should inspire Indonesia with its effort to

establish an effective visiting system. The

establishment of a national preventive

mechanism modelled on the OPCAT should

be considered as a solution to effectively

prevent the acts of torture.

By using the OPCAT approach as

the model, several areas of improvements

are required in order to enhance the

performance of the existing inspection

system. Strengthening the quality of the

visits must be the first thing addressed.

Quality inspections will be able to capture

the actual or potential acts of torture or

other ill-treatment. Improving the quality of

the visits means strengthening the

independence of the institutions dealing

with visiting mandate. The institutions must

be free from Government‟s intervention;

the personnel must not hold positions in the

government or any political parties. In this

regard, the Komnas HAM, as the primary

institution dealing with inspection, should

be given enough level of independence in

terms of institutional and human resources.

The Komnas HAM institutionally should

not be placed under the supervision of any

ministries or other governmental

institutions.

Quality visits are also connected

with the mandate conferred to the

institutions. This mandate should be clear in

explaining to what extent the mandate can

be carried out. In exercising their mandate,

the respective institution should be given

enough room to function properly. In this

respect, the Komnas HAM should be given

a mandate to visit places of detention

without requiring any consent to the related

authorities. The Komnas HAM should not

be placed in the weaker positions regarding

its relation with the Attorney General and

the Police. Furthermore, the mandate

possessed by the Komnas HAM should also

include the possibility to conduct

announced or unannounced visits to places

of detention either in the traditional sense,

such as prisons, or in the less traditional

sense such as care homes, or psychiatric

institutions. The variety of expertise should

be given more concern in order to improve

the quality of the visits as it could enrich

the findings and therefore a more detial and

specific solution can be established. The

expertise should not only come from those

who have a legal background professions

Page 49: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

44

such as the police, or members of judiciary,

but should also include those from other

professional fields such as doctors,

psychologists, and anthropologists.

Therefore, the Komnas HAM should

diversify its expertise to include other, non-

legal professions.

The second step in improving the

performance of the existing system is to

make the visits more frequent; the more

visits that take place, the more effective the

prevention. The Komnas HAM should be

given a room to determine the number of

visits they would like to conduct to achieve

its prevention objectives. In order to

enhance the frequency of the visits, the

visits from the Komnas Perempuan should

be made regular instead of in ad hoc basis,

and the visits in more preventive sense by

the Ombudsman should be also made

possible.

Lastly, the Komnas HAM should

strengthen the impact of visits by making

its recommendations accessible to the

public. In this way, a pressure is placed

upon the Government to implement the

recommendations, both from the public and

civil societies.

At least by establishing a better

visiting system, Indonesia‟s compliance to

the obligation under the UNCAT,

especially under Article 2(1) could be

considered fulfilled in spite of the fact that

the Government may not ratify the OPCAT.

The Komnas HAM as an organ of

the state, which fulfils the role of oversight,

needs to develop and redefine its model to

meet requirements of the effective oversight

system. With the limited legislative

amendments, the Komnas HAM can be

appropriately placed to act as the NPM

required by OPCAT and can fulfil such

role.

BIBLIOGRAPHY

International Instruments

The Vienna Convention on the Law of

Treaties, 1155 U.N.T.S. 331, 8 I.L.M.

679, January, 1980.

UN General Assembly, International

Covenant on Civil and Political

Rights, 16 December 1966, United

Nations, Treaty Series, vol. 999, p.

171.

UN General Assembly, Universal

Declaration of Human Rights, 10

December 1948, 217 A (III).

UN General Assembly, Convention against

Torture and Other Cruel, Inhuman or

Degrading Treatment or Punishment,

10 December 1984, United Nations,

Treaty Series, vol. 1465, p.85.

UN General Assembly, Optional Protocol

to the Convention against Torture

and Other Cruel, Inhuman or

Degrading Treatment or Punishment,

New York, 18 December 2002,

United Nations, Treaty Series, vol.

2375, p. 237.

Treaty of Westphalia. Available at:

http://avalon.law.yale.edu/17th_centu

ry/westphal.asp, (Accessed 12 June

2013).

Council of Europe, European Convention

for the Protection of Human Rights

and Fundamental Freedoms, as

amended by Protocols Nos. 11 and

14, 4 November 1950, ETS 5.

Organization of American States, American

Convention on Human Rights, "Pact

of San Jose", Costa Rica, 22

November 1969, available at:

http://www.oas.org/dil/treaties_B-

32_American_Convention_on_Huma

n_Rights.pdf, (Accessed 1 April

2013).

Organization of African Unity, African

Charter on Human and Peoples'

Rights ("Banjul Charter"), 27 June

1981, CAB/LEG/67/3 rev. 5, 21

I.L.M. 58 (1982).

International Court of Justice, Reparation

for Injuries Suffered in the Service of

the United Nations, Advisory

Opinion, 11 April 1949, ICJ Report

(1949), p.174.

International Court of Justice, Application

of the Convention on the Prevention

and Punishment of the Crime of

Genocide, preliminary Objections,

Judgement, 1996.

National Legislations

The 1945 Constitution of Indonesia as

Amended by First Amendment of

Page 50: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

45

1999, the Second Amendment of

2000, the Third Amendment of 2001

and the Fourth Amendment 2002.

Available at:

http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/pu

blic/---ed_protect/---protrav/---

ilo_aids/documents/legaldocument/w

cms_174556.pdf. (Accessed 19 April

2013).

Law Number 1/1946 on Criminal acts,

Penal Code of

Indonesia [Indonesia], 27 February

1982, available at:

http://www.unhcr.org/refworld/docid/

3ffc09ae2.html [Accessed 6 October

2012].

The Indonesia‟s Criminal Code (KUHAP)

Law Number 8/1981 on Indonesia‟s

Criminal Code.

Law Number 5 Year 1998 on Pengesahan

Convention against Torture and Other

Cruel, Inhuman or Degrading

Treatment or Punishment. Available

at:

http://www.komnasperempuan.or.id/

wp-content/uploads/2009/07/UU-No-

5-Thn-1998-ttg-Ratifikasi-CAT.pdf.

(Accessed 9 April 2013).

Consideration of the Republic of Indonesia

Legislation Number 39 of 1999 on

Human Rights, Available at:

http://hrli.alrc.net/mainfile.php/indonl

eg/133/. (Accessed 21 April 2013).

Republic of Indonesia Regulation Number

26 of 2000 on Human Rights Court,

Available at:

http://hrli.alrc.net/mainfile.php/indonl

eg/132/.

Presidential Decree Number 65/2005 on

National Commission on Violation

against Women (Komnas

Perempuan). Available at

http://www.komnasperempuan.or.id/

wp-content/uploads/2008/11/pepres-

nomor-65-tahun-2005.pdf. (Accessed

16 January 2013).

Law Number 13/2006 on Witnesses and

Victims‟ Protection. Available at

http://www.komisiinformasi.go.id/ass

ets/data/arsip/uuperlindungansaksikor

ban.pdf. (Accessed 16 January 2013).

Law Number 37/2008 on the Ombudsman

of the Republic of Indonesia.

Available at:

http://www.hukumonline.com/pusatd

ata/download/fl56948/parent/28453.

(Accessed 20 February 2013). See

also Presidential Decree Number

44/2000 on the National Ombudsman

Commission, Available at:

http://hukum.unsrat.ac.id/pres/keppre

s_44_2000.pdf.

Presidential Decree Number 44/2000 on the

National Ombudsman Commission,

Available at:

http://hukum.unsrat.ac.id/pres/keppre

s_44_2000.pdf.

Books

Chris Ingelse, the UN Committee against

Torture: an Assessment, (Kluwer

International, 2001).

Kerstin Buchinger, the Optional Protocol to

the United Nations Convention

against Torture, (NWV, Wien-Graz,

2009).

International Commission of Jurists and

Swiss Committee against Torture:

Torture: How to Make the

International Convention Effective - a

Draft Optional Protocol,

(International Commission of Jurists,

Geneva, 1980).

Syarif M, Trisasongko D: Jalan Panjang

Penghapusan Penyiksaan (Kemitraan

bagi Pembaharuan Tata

Pemerintahan, June 2012), pp.56-57.

Manfred Nowak and Elizabeth Mc Arthur,

the United Nations Convention

against Torture: A Commentary

(Oxford University Press, 2008).

Rachel Murray, Elina Steinerte, Malcom

Evans, and Antenor Hallo de Wolf,

The Optional Protocol to the

Convention against Torture, (Oxford

University Press, 2011), pp.70-76.

Denny Indrayana, Indonesia Constitutional

Reform 1999-2002: An Evaluation of

Constitutional-Making in Transition,

(Kompas Book Publishing, 2008),

p.287.

Nurkholis Hidayat and Restaria Hutabarat,

Membangun Dunia Tanpa

Penyiksaan: Panduan Pemantuan

Page 51: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

46

dan Pencegahan Penyiksaan bagi

Pembela HAM, (Kemitraan bagi

Pembaharuan Tata Pemerintahan,

2012).

Papers and Reports

UN Committee against Torture (CAT),

Concluding Observations of the

Committee against Torture:

Indonesia, 1 July

2008, CAT/C/IDN/CO/2, p.10,

para.26.

Committee against Torture, Consideration

of the Reports Submitted by States

Parties Under Article 19 of the

Convention-Concluding Observations

of the Committee against Torture:

Australia, CAT/C/AUS/CO/3, p.10

para. 34.

Committee against Torture, Consideration

of Reports Submitted by States

Parties under Article 19 of the

Convention: Concluding Observation

of the Committee against Torture-

Indonesia, CAT/C/IND/CO/2, pp.10-

14.

Committee against Torture, Consideration

of the Reports Submitted by States

Parties under Article 19 of the

Convention-Second Periodic Report

of the States Parties Due in 2007:

Albania, p.10, para. 35.

Committee against Torture, Convention

against Torture and Other Cruel,

Inhuman or Degrading Treatment or

Punishment: General Comment No.2,

CAT/C/GC/2, 24 January, 2008, p.1

paras 2-3.

Committee against Torture, Concluding

observations: Indonesia. 01/11/2002,

A/57/44, paras.36-46.

Committee against Torture, Consideration

of Reports Submitted by States

Parties under Article 19 of the

Convention: Second Periodic Reports

of States Parties due in 2003-

Indonesia, CAT/C/72/Add.1, paras.6-

68.

Human Rights Council, Promotion and

Protection of All Human Rights,

Civil, Political, Economic, Social,

and Cultural Rights, Including the

Right to Development: Report of the

Special Rapporteur on the Torture

and Other Cruel, Inhuman, or

Degrading Treatment or Punishment,

Manfred Nowak- Mission to

Indonesia, A/HRC/7/3/Add.7 (10

March 2008), pp.3-23.

Human Right Council, Report of the

Special Rapportuer on Torture and

Other Cruel, Inhuman or Degrading

Treatment or Punishment: Manfred

Nowak, A/HRC/13/39/Add.6, 26

February, 2010, p. 77, para.33.

Office of the High Commissioner for

Human Rights, Concluding

observations: Indonesia.01/11/

2002.A/57/44,paras.8-46.

(Concluding

Observations/Comments), p.2.

UN Special Rapporteur on Torture, 2006

Report to the Commission on Human

Rights, UN Doc.E/CN.4/2006/6, (23

December 2005), Para. 24.

UN Special Rapporteur on Torture, 2006

Report to the General Assembly, UN

Doc. A/61/259 (14 August 2006),

para.68, see also para.75.

Association for the Prevention of Torture

(APT), Establishment and

Designation of National Preventive

Mechanisms (APT, 2006), pp.14-88.

Available at

http://www.apt.ch/content/files_res/N

PM.Guide.pdf (accessed 25 October

2012).

Association for the Prevention of Torture

(APT) and Inter-American Institute of

Human Rights (IIHR), Optional

Protocol to the UN Convention

against Torture: Implementation

Manual, (APT and IIHR, 2011),

pp.11-12. Available at

http://www.iidh.ed.cr/BibliotecaWeb/

Varios/Documentos/BD/opcating.pdf

(Accessed 30 October 2012).

Inter-America Institute of Human Rights

(IIHR) and Association for the

Prevention of Torture (APT),

Optional Protocol to the United

Nations Convention Against Torture

and other Cruel, Inhuman or

Degrading Treatment or Punishment:

A Manual for Prevention,(IIHR and

Page 52: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

47

APT, 2005) p.47. Available

at:http://www.iidh.ed.cr/BibliotecaW

eb/Varios/Documentos/BD_1199618

190/Protocoloingles.pdf?url=%2FBib

liotecaWeb%2FVarios%2FDocument

os%2FBD_1199618190%2FProtocol

oingles.pdf. (Accessed 17 February

2013).

National Commission on Violence against

Women (Komnas Perempuan),

Indonesia‟s Compliance with the

Convention against Torture and

Other Cruel, Inhuman and Degrading

Treatment or Punishment, p.2

Available at:

www2.ohchr.org/english/.../Komnasp

erempuan_Indonesia40th.doc.

(Accessed 19 April 2013).

Working Group on the Advocacy against

Torture (WGAT), Alternative Follow

up Report on the Progress of the

Implementation of the

Recommendations Made by the

Committee against Torture to

Indonesia, (March, 2010), p.12.

Working Group on the Advocacy against

Torture (WGAT), Shadow report:

Prepared for the UN Committee

against Torture in Connection to Its

Review of Indonesia‟s Second

Periodic Report under the Convention

against Torture Cruel, Inhuman or

Degrading Treatment or Punishment,

(May, 2008),p.22.

Working Group on the Advocacy against

Torture (WGAT), Toward One Year

of Implementation of the

Recommendations of the Committee

against Torture by Indonesia, (March,

2010), pp.21-23.

Human Rights Watch (HRC), Mexico

National Human Right Commission:

A Critical Assessment, Volume 20,

No.1(B), pp. 78-81.

Office of the High Commissioner for

Human Rights (OHCHR), Report of

the Commissioner for Civil Rights

Protection on the activities of the

National Preventive Mechanism in

Poland in 2008, pp.83-84, Available

at:

http://www2.ohchr.org/english/bodies

/cat/opcat/docs/Poland_2008FirstAnn

ualReport.pdf.

Audrey Oliver and Marina Narvaez,

OPCAT Challenges and the Way

Forward: the Ratification and

implementation of the Optional

Protocol to the UN Convention

against Torture, p.51.

Felipe Gomez Isa and Koen de Feyter,

International Protection of Human

Rights: Achievements and the

Challenges, (University of Deusto

Bilbao, 2006), p.211.

Berber Hettinga, Aquinaldo Mandlate,

Lukas Muntingh, Survey of Detention

Oversight Mechanism Provided for in

the Laws of SADC Countries,

(Community Law Centre, 2011),

p.22.

The Association for the Prevention of

Torture, Rehabilitation and Research

Centre for Torture Victims and

United Against Torture Coalition

Philippines, The Philippines and the

Optional Protocol to the UN

Convention against Torture: Briefing

Note, (May, 2006).

Elina Steinerte and Rachel Murray, Same

but Different: National Human Rights

Commission and Ombudsman

Institutions as National Preventive

Mechanism under the Optional

Protocol to the UN Convention

against Torture, (Essex Human

Rights Review, 2009) 6(1) 54-72.

Antenor Hallo de Wolf, Visits to Less

Traditional Places of detention,

(2009) 6(1) Essex Human Right

Review 103-137.

Richard Harding and Neil Morgan, OPCAT

in the Asia-Pacific and Australia,

(2010) 6(2) Essex Human Right

Review, 101-124.

Office for Justice and Peace of Jayapura

and Impartial-Jakarta, the Practice of

Torture in Aceh and Papua 1998-

2007, (November, 2007).

Marko Divac Oberg, The Legal Effects of

Resolutions of the UN Security

Council and the General Assembly in

the Jurisprudence of the ICJ, (Ejil,

2006).

Page 53: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

48

GERAKAN NEOPATRIONALISME:

REFLEKSI HARI PENDIDIKAN DAN KEBANGKITAN NASIONAL

Umi Salamah

Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Satra Indonesia

IKIP Budi Utomo Malang

Menang atau bisa bertahan dalam

medan perang sangat tergantung pada

strategi yang dimainkan. “Perang” terbesar

saat ini adalah melawan hegemoni kapitalis

dalam berbagai bidang yang merupakan

perwujudan dari neoimperialis.Cara yang

dilakukan oleh para teroris dengan bom

bunuh diri atau mengebom tempat tertentu

yang dilakukan atas nama melawan

kapitalis merupakan tindakan “konyol” dan

sia-sia. Image “bodoh” dan “jahat” akan

menempel pada pelaku pengeboman dan

kelompoknya. Yang lebih fatal jika asal

negara pengebom juga dijuluki sebagai

negara teroris dan pelabelan tersebut akan

diperlakukan bagi seluruh masyarakat yang

berasal dari negara yang disebut sebagai

negara asal “teroris”. Dampaknya sangat

buruk bagi keberlansungan dan kemajuan

suatu negara yang terkena pelabelan

tersebut.Seharusnya perang kecerdasan

harus dilawan dengan kecerdasan,

pencitraan dilawan dengan pencitraan,

difusi kebudayaan harus dilawan dengan

kekuatan kebudayaan sendiri.

Bercermin pada Tokoh-tokoh Besar

melawan neoimperialis

Telah banyak tokoh besar bangsa

Indonesia yang memberikan tauladan

membangkitkan semangat patriotisme dan

nasionalisme dalam berbagai bidang tanpa

kekerasan.Mereka berhasil apabila

mendapat dukungan dari masyarakat.Sebut

saja Bung Karno dengan keberanian dan

kepiawaian melawan hegemoni politik dan

kebudayaan kapitalis.Kecerdasan dan

kepiawaian Bung Karno dalam menegosiasi

dan melobi dunia mendapat dukungan yang

sangat besar dari seluruh bangsa bahkan di

seluruh dunia.Strategi itulah yang berhasil

mengantar Indonesia mencapai

kemerdekaan dan keharuman putra-putri

bangsa Indonesia sebagai anak

revolusi.Putra-putri yang penuh rasa

percaya diri dan bangga sebagai anak

Indonesia di kancah dunia.

Di bidang pendidikan, Ki Hajar

Dewantoro berhasil menancapkan pilar

pendidikan yang sangat kuat melalui

filosofi dan strategi pendidikan berbasis

kebudayaan.Pilar-pilar tersebut sangat

kokoh, sesuai dengan karakter dan

kebudayaan bangsa Indonesia, serta

fleksibel sepanjang zaman. Pilar “Ing

ngarso sung tuladha, ing madya mangun

karso, dan tutwuri handayani” serta “Asah

asih asuh” adalah warisan kebudayaan yang

sudah terbukti kehandalannya dalam

membentuk karakter bangsa yang patriotis

dan nasionalis dalam segala bidang. Pilar-

pilar ini berhasil karena didukung oleh

kebijakan politik pemerintah zaman

Soekarno.Moralitas anak-anak pada saat itu

benar-benar menghargai orang tua dan

guru, agama dan ilmu, dan bangga terhadap

bangsa dan negaranya.Keinginan untuk

memajukan bangsa merupakan cita-cita

setiap anak bangsa.

Ironis, warisan budaya yang begitu

adiluhung itu kini seakan lenyap di telan

masa.Para pengambil kebijakan pendidikan

cenderung lebih suka mengimpor model

pendidikan dari asing yang belum tentu

cocok dengan kondisi di negeri

ini.Pendidikan berbasis “nano-nano” dan

berbau kapitalis ini tidak membentuk

karakter anak menjadi baik.Akibatnya,

perilaku anak jauh dari fondamen

kebudayaan bangsa Indonesia.Sikap sopan-

santun/tata-krama, mentalitas kerja keras,

suka menolong dan gotong royong yang

Page 54: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

49

merupakan fondamen kebudayaan bangsa

Indonesia bergeser menjadi urakan, malas-

malas, egois, hedonis, konsumtif, dan

membentuk geng perkelahian.

Untuk mengembalikan kepada

pendidikan yang berbasis kebudayaan kita

harus berani bersikap teguh dan kokoh pada

kebudayaan sendiri.Pendidikan harus

kembali pada basis kebudayaan yaitu

Pansacila dan UUD 1945.Model pendidikan

kita juga harus diambil dari pilar yang

berbasis kebudayaan sendiri.Pendidikan

Indonesia seharusnya adalah pendidikan

yang mampu menjawab problema-problema

dan tantangan masyarakat Indonesia, bukan

pendidikan yang berorientasi pada teori

kapitalis.Pendidikan harus bertolak dari

hasil riset masyarakat Indonesia dalam

berbagai bidang.Misalnya di bidang

pertanian seharusnya kita lebih maju

daripada negara-negara tetangga, karena

kita memiliki lahan yang sangat luas,

varietas tanaman yang banyak, dan sarjana

pertanian yang lebih dari cukup baik dari

kuantitas maupun kualitas.Negara kita

seharusnya menjadi pelopor di bidang

pertanian. Sangat ironis jika masalah

“bawang putih, bawang merah, cabe, gula,

daging, dan beras” kita masih mengimpor

dari negara tetangga.

Di bidang teknologi, Habibie

dengan penguasaan teknologi berhasil

menakhlukkan teknologi penerbangan dan

kereta api dunia. Namanya membawa

harum bangsa Indonesia di kancah dunia.

Di bidang perdagangan, Chairul Tanjung,

Aburizal Bakrie, Rachmad Gobel,

Sukamdani Sahid Gito Sardjono, dan

lainnya dengan strategi bisnisnya mampu

bersaing di kancah bisnis global. dan masih

banyak anak bangsa yang patut diteladani

dan dicontoh serta menjadi inspirasi positif

dengan semangat optimis dapat membawa

kemajuan bangsa dan negara ini.Di bidang

teknologi informatika, sebenarnya bangsa

Indonesia tidak kekurangan ahli.Banyak

potensi mahasiswa dan siswa yang belum

terakomodasi secara maksimal oleh sistem

kebijakan pemerintah.Akibatnya Indonesia

belum mampu mengkaunter derasnya

pencitraan yang dihembuskan oleh negara-

negara kapitalis.Apa yang salah dengan

negeri kita ini?

Serangan hegemoni kapitalis di negara

kita meliputi berbagai sendi kehidupan

Hegemoni kapitalis di negeri ini telah

merasuk ke dalam pembuluh darah

sebagian besar bangsa ini dalam berbagai

bidang.Bahkan telah merobek hati dan akal

sehat sebagian bangsa ini.Rendahnya

kualitas hidup sebagian besar rakyat

menyebabkan menurunnya kualitas mental

dan moral bangsa.Rasa kurang percaya diri

dan bermental budak telah menggerogoti

mentalitas sebagian besar rakyat kecil,

sementara budaya korupsi dan bermental

koloni telah memanjakan para pejabat dan

sebagian besar birokrat negeri ini.Ini

merupakan imbas dari telah dibukannya

kran kapitalis modern di Indonesia secara

besar-besaran di bidang pertambangan,

industri raksasa, dan jaringan perdagangan

kapitalis.

Akibatnya masyarakat kita saat ini

cenderung represif dan terbius oleh

kediaman.Keadaan seperti ini membuat

kreativitas dan produktivitas anak bangsa

lumpuh, sehingga banyak orang yang lari

dari idealism demi kedudukan di tengah

masyarakat.Meskipun dalam masyarakat

kita terjadi kepincangan-kepincangan,

penyelewengan, dan penyimpangan sosial

sudah dianggap sebagai hal yang lumrah

dan layak terjadi.Bagaimana

tidak?Sebagaian besar bangsa ini telah lama

dininabobokan dengan budaya hedonis,

pragmatis, dan konsumtif. Bersenang-

senang dengan jalan pintas, bekerja dengan

jalan pintas, belajar dengan jalan pintas,

memperoleh jabatan juga dengan jalan

pintas telah menjadi trend yang dilakukan

oleh sebagian besar bangsa ini. Mulai dari

rakyat kecil sampai dengan pejabat

tinggi.Sikap ini menyebabkan kebiasaan

untuk tidak kritis, apatis, dan terkungkung

dalam masyarakat yang tidak rasional

(mistis).Apakah karakter bangsa ini sudah

demikian jauh dari kebudayaan yang

tercermin dalam Pancasila dan UUD

1945?Ironisnya hanya orang-orang tertentu

yang menyadarinya.Apakah yang harus kita

lakukan?

Page 55: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

50

Diperlukan pemimpin visioner dan

bermental neopatrionalisme dalam

Melawan Kapitalis

Penguasaan media oleh kapitalis

menjadikan bangsa ini tidak berdaya dan

krisis rasa percaya diri.Media memiliki

peranan yang sangat penting dalam

membangkitkan semangat patriotisme dan

nasionalisme.Namun media juga berperan

besar dalam menghancurkan semangat

tersebut.Pemberitaan dan penayangan acara

yang tidak seimbang antara prestasi dan

dedikasi yang diperoleh bangsa dengan

penyimpangan-peyimpangan moral

memberikan dampak yang sangat fatal bagi

masyarakat dan generasi muda.Penayangan

penyimpangan moral, seperti korupsi,

manipulasi, perselingkuhan, perdukunan,

perkelahian, kecurangan, secara berulang-

ulang justru memberikan dampak buruk

berupa sikap apatis terhadap keberadaan

dan kemajuan bangsa dan

negara.Sebaliknya penayangan prestasi dan

dedikasi anak bangsa yang membawa

kemajuan bangsa akan berdampak positif

bagi keberlangsungan dan kemajuan

bangsa.

Siapa yang berwewenang

mengatur?Apalah artinya pencanangan

pendidikan berbasis pendidikan karakter

apabila tidak didukung oleh tayangan media

dan kebijakan pemerintah yang tidak

berbasis pada kebudayaan

sendiri.Diperlukan pemimpin yang visioner

dan bermental neopatrionalis. Pemimpin

yang visioner dan bermental

neopatrionalisakan selalu mendukung dan

memberikan peluang seluas-luasnya kepada

rakyat untuk eksis dan memajukan

bangsanya. Pemimpin yang berpegang

teguh pada dasar negara dan konstitusi

negara akan selalu membela hak dan

berpihak pada kemakmuran, keadilan,

harkat, dan martabat bangsa dan negaranya.

Pemimpin yang tanggap terhadap problema

dan tantangan masyarakat bangsa dan

negara selalu melihat permasalahan dan

kebutuhan rakyatnya sebagai bahan kajian

peningkatan kualitas pendidikan, teknologi,

dan ilmu pengetahuan di

negaranya.Pemimpin yang dapat menjadi

contoh patrionalis bagi rakyatnya adalah

pemimpin yang teguh pendirian dan

konsisten melaksanakan dasar negara dan

konstitusi negara serta berani melawan

kebijakan kapitalis yang tidak sesuai

dengan dasar negara dan konstitusi

negaranya.

Page 56: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

51

PENGEMBANGAN MODEL PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN DALAM

MENINGKATKAN SKILL SANTRI; Kasus Di Ponpes Alhayatul Islamiyah

Kedungkandang Malang

Siti Saroh

Lecturer of Bisnis Administration Department

Faculty of Administrasi Science Islamic University Malang

Abstract

Peningkatan SDM seharusnya diimbangi dengan tingkat kualitas daya saing global.

Tujuan penelitian ini adalah Mendeskripsikan orientasi pengembangan kewirausahaan

sumber daya santri, pola pengembangan wirausaha mix-farming system dan mengetahui

faktor pendukung dan penghambat pengembangan wirausaha mix-farming system dalam

meningkatkan sumber daya para santri. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif,

analisa data melalui pendekatan data diskriptif. Pondok pesantren dipandang memiliki

potensi besar dalam pembangunan kualitas SDM terutama di bidang pertanian,

pengembangan pembelajaran pola integrasi (mix farming system) sangat signifikan diberikan

pada santri, karena berujung pada penciptaan SDM yang produktif, berdaya saing, serta

antisipasi pangan berkelanjutan. Sehingga santri tidak hanya menjadi penempa nilai-nilai

spiritual saja, tetapi juga mampu meningkatkan kecerdasan sosial, dan ketrampilan (skill)

dalam membangun masyarakat di sekitarnya.

kata kunci: SDM, pondok pesantren, kewirausahaan, mix-farming system

Abstract

Human resource development should be balanced with the quality level of global

competitiveness. The purpose of this research is describe the development orientation of

entrepreneurial resource students, development pattern of entrepreneurial mix-farming

systems and identify factors supporting and inhibiting the development of entrepreneurial

mixed-farming system in increasing the resources of the students. This study used qualitative

methods, analysis descriptive approach. Pondok Pesantren considered to have great potential

in the development of human resources, especially in agriculture, the development of learning

patterns of integration (mixed farming system) very significant given the students, because it

led to the creation of productive human resources, competitiveness, and anticipation of

sustainable food. So that students not only to Hammersmith spiritual values, but also to

increase social intelligence, and skill in building the community around it.

Keyword: human resources, Pondok pesantren, Entrepreneurship, Mix-Farming system

PENDAHULUAN

Peningkatan sumber daya manusia

merupakan keharusan dalam upaya

pemecahan persoalaan kualitas masyarakat

di era kompetitif sekarang ini. Pesatnya

perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi, menciptakan struktur baru, yaitu

struktur global. Struktur tersebut

mengakibatkan semua bangsa di dunia

termasuk Indonesia, terlibat dalam suatu

tatanan global tanpa mengenal batas-batas

negara. Sumber Daya manusia (SDM)

merupakan salah satu faktor kunci dalam

persaingan, yakni bagaimana menciptakan

SDM yang berkualitas dan memiliki

keterampilan serta berdaya saing tinggi

Page 57: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

52

dalam persaingan global yang selama ini

kita abaikan (Anonimus: 2008).

Kualitas SDM pada dasarnya

merupakan hasil proses regenerasi yang

diwariskan secara turun temurun dan

hasilnya tidak hanya dipengaruhi oleh

faktor keturunan (genetik) tetapi juga oleh

faktor lingkungan seperti: lingkungan

geografis, lingkungan budaya, lingkungan

peradaban dan sebagainya. Inilah yang

menimbulkan adanya perbedaan yang nyata

antara kualitas SDM. Di Indonesia, dilihat

dari segi pendidikan masih didominasi oleh

mereka yang berpendidikan rendah. Badan

Pusat Statistik pada Februari 2010,

menunjukan bahwa pekerja pada jenjang

pendidikan SD ke bawah jumlahnya tetap

tinggi yaitu sekitar 55,31 juta orang (51,50

persen). Penyerapan tenaga kerja

berdasarkan pendidikan dalam periode

Agustus 2009–Februari 2010, terlihat pada

tabel berikut;

Tabel 1.

Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja

Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan, 2008–2010

(juta orang)

Sumber: BPS Mei 2010

Kualitas SDM menyangkut banyak

aspek, yaitu aspek sikap mental, perilaku,

aspek kemampuan, aspek intelegensi, aspek

agama, aspek hukum, aspek kesehatan dan

sebagainya (Djaafar: 2001 ). Kesemua

aspek ini merupakan dua potensi yang

masing-masing dimiliki oleh tiap individu,

yaitu jasmaniah dan rohaniah. Tidak dapat

dipungkiri bahwa aspek jasmaniah selalu

ditentukan oleh rohaniah yang bertindak

sebagai pendorong dari dalam diri manusia.

Thomas J. Peters dan Robert H.Waterman

dalam Sanaky (2009) manusia berkualitas

adalah orang yang menampilkan ciri-ciri

sebagai berikut : (1) memiliki kegemaran

untuk selalu berbuat sesuatu, dari pada

banyak bertanya; (2) menampilkan

hubungan yang erat dengan para rekannya;

(3) bersifat otonom dan memperlihatkan

kewiraswastaan; (4) membina kesadaran

bawahannya untuk menampilkan upaya

terbaik; (5) memandang penting keuletan

dalam menjalankan usaha; (6)

menempatkan orang secara proporsional;

dan (7) menggunakan prinsip pengawasan

yang lentur (longgar tapi ketat). Sedangkan

menurut Sanaky sendiri mengatakan,

manusia yang berkualitas yaitu berdasar

tolak ukur Al-Quran, yakni memiliki

kualitas iman, kualitas ilmu pengetahuan,

kualitas amal saleh, dan kualitas sosial.

Menurut Faozan (2006), pondok

pesantren dengan berbagai harapan dan

predikat yang melekat, sesungguhnya

berujung pada tiga fungsi utama yang

senantiasa diemban, yaitu: Pertama, sebagai

pusat pengkaderan pemikir-pemikir agama

(Center of Excellence). Kedua, sebagai

lembaga yang mencetak sumber daya

manusia (Human Resource). Ketiga,

sebagai lembaga yang mempunyai kekuatan

melakukan pemberdayaan pada masyarakat

(Agent of Development). Pondok pesantren

juga dipahami sebagai bagian yang terlibat

dalam proses perubahan sosial (Social

Change) di tengah perubahan yang terjadi.

Pondok pesantren memegang peranan

Pendidikan Tertinggi

yang Ditamatkan

2008 2009 2010

Pebruari Agustus Pebruari Agustus Pebruari

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

SD Kebawah

SMP

SMA

SMK

Diploma I/II/III

Universitas

55,62

19,39

13,90

6,71

2,66

3,77

55,33

19,04

14,39

6,76

2,87

4,15

55,43

19,85

15,13

7,19

2,68

4,22

55,21

19,39

14,58

8,24

2,79

4,66

55,31

20,30

15,63

8,34

2,89

4,94

Total 102,05 102,55 104,49 104,87 107,41

Page 58: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

53

kunci sebagi motivator, inovator, dan

dinamisator masyarakat.

Pondok pesantren dalam kamus

besar bahasa Indonesia diartikan sebagai

asrama tempat santri atau tempat murid-

murid belajar mengaji. Sedangkan secara

istilah pesantren adalah lembaga pendidikan

Islam dimana para santri biasa tinggal di

pondok (asrama) dengan materi pengajaran

kitab-kitab klasik dan kitab-kitab umum

bertujuan untuk menguasai ilmu agama

Islam secara detail serta mengamalkan

sebagai pedoman hidup keseharian dengan

menekankan pada pentingnya moral dalam

kehidupan bermasyarakat

(Anonimus:2010a).

Pondok pesantren mempunyai peran

besar dalam pembinaan umat. Anas (2010)

menjelaskan bahwa ”Pondok pesantren

berperan sebagai pengembangan

pendidikan dilihat dari misi utama, yakni

untuk menyebarluaskan ajaran dan

universalitas Islam ke seluruh pelosok

nusantara yang berwatak pluralis, baik

dalam dimensi kepercayaan, budaya

maupun kondisi sosial ekonomi

masyarakat. Selain itu pondok pesantren

memiliki peran sebagai pemberdayaan

masyarakat dilihat dari transformasi nilai

yang ditawarkannya (amar ma'ruf nahy

munkar). Segenap potensi pondok

pesantren telah berhasil membawa

perubahan serta transformasi kehidupan

masyarakat dari kekafiran kepada

ketakwaan, dari kefakiran menuju kepada

kesejahteraan. Pondok pesantren telah

berhasil menanamkan semangat

kewiraswastaan, semangat berdikari, dan

memiliki potensi untuk menjadi pelopor

pembangunan masyarakat di

lingkungannya”.

Santri pondok pesantren setelah

lulus, diharapkan tidak hanya

mengandalkan untuk mengisi lowongan

kerja (job seeker), tetapi juga diharapkan

mampu untuk memanfaatkan ilmu yang

telah dimiliki untuk kerja mandiri dengan

menciptakan lapangan kerja (job creator).

Oleh karenanya pemahaman kewirausahaan

harus dimiliki oleh santri, sehingga setelah

lulus memiliki motivasi berpikir secara

kreatif terhadap peluang bisnis yang ada di

masyarakat dan berani mencoba untuk

memulai usaha. Pondok pesantren

dipandang memiliki potensi besar dalam

pembangunan di bidang pertanian, karena

sebagian besar lokasinya dipedesaan dan

sumber daya alam yang tersedia masih luas,

seperti lahan dan pengairan pada umumnya

masih cukup besar, sehingga sangat

mendukung dalam pengembangan

agribisnis dan ketahanan pangan yang

berkelanjutan, misalnya pengembangan

pertanian terintegrasi dengan peternakan.

Pola integrasi (mix farming system) ini

belum banyak dilakukan atau dikenal oleh

petani skala kecil. Padahal kesempatan

untuk melakukan integrasi sangat besar

ditinjau dari potensi lahan dan ternak yang

ada. Salah satu penyebabnya adalah

kurangnya pengetahuan, penguasaan dan

pemanfaatan teknologi pertanian

(Ishak:2009).

Pondok Pesantren Al-Hayatul

Islamiyah berlokasi di pedesaan pinggiran

hutan kota Malang. Pondok pesantren ini

turut berpartisipasi dalam pembangunan

dibidang pendidikan yang berwawasan

pengetahuan dunia dan ukhrowi, yang

mengemban misi sebagai pengembang

pendidikan islami secara luas yang

disesuaikan dengan perkembangan zaman.

Cakupan kegiatan pondok pesantren

semakin luas dan mendalam, kegiatan tidak

lagi terbatas pada pendidikan agama,

dakwah, pembinaan umat dan kegiatan

sosial lainnya, tetapi juga telah merambah

pada kegiatan ekonomi. Hal ini bertujuan

menyiapkan santri menjadi kader-kader

bangsa yang mampu mengadakan

perubahan, memiliki kecakapan hidup (life

skill), berdaya saing dan dapat

menyesuaikan diri dengan lingkungannya

secara arif dan bijak.

Membangun SDM tidaklah cukup

dengan pendidikan yang membentuk budi

pekerti saja, melainkan diperlukan pula

berbagai pengetahuan dan ketrampilan

(skill), sehingga SDM memiliki mental

mandiri dan berjiwa kompetitif, sesuai

tuntutan dan kebutuhan pasar dewasa ini.

Secara eksplisit, ketentuan yuridis terkait

dengan pendidikan nasional kita

memprioritaskan adanya suatu persepsi

Page 59: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

54

tentang perlunya setiap lembaga pendidikan

memberikan pembelajaran yang orientasi

proses pendidikannya kepada peserta didik

untuk lebih tertanam sikap kemandirian dan

jiwa kewirausahaannya. Secara aktual

bahwa orientasi proses pendidikan

seharusnya memberikan proses

pembelajaran yang efektif bagi terbukanya

kesempatan bagi lulusan untuk

menghasilkan produk keilmuannya dan

menerapkannya sendiri dalam aktivitas

usaha.

Oleh karena itu pendidikan

kewirausahaan sangat penting bagi peserta

didik, disamping membangun jiwa

wirausaha juga dapat digeluti sebagai karir

wirausaha kelak kalau sudah lulus.

Kewirausahaan (entrepreneurship) dapat

berarti suatu kemampuan dalam berfikir

kreatif dan berperilaku inovatif yang

dijadikan dasar, sumber daya, tenaga

penggerak, tujuan, siasat, kiat, dan proses

dalam menghadapi tantangan hidup Alma

(2000). Pengertian tersebut menunjukan

bahwa kewirausahaan dapat dipelajari dan

diciptakan, apabila seseorang mempunyai

kemampuan untuk memodifikasi sesuatu

produk atau hasil karya yang lain dari yang

telah ada sebelumnya.

Penelitian ini menggunakan metode

penelitian kualitatif dengan analisa data

melalui pendekatan data diskriptif. Hal ini

digunakan karena menyangkut sebuah

fenomena sosial dan ingin memberikan

gambaran tentang sebuah jejak sesuai apa

adanya berdasarkan informasi di lapangan.

Adapun sumber informasi berasal dari

Ketua YPPAI, pengurus, pembina dan

santri. Teknik pengumpulan data yang

digunakan, yaitu Observasi, interview dan

dokumentasi.

Analisis informasi meliputi :(1)

Reduksi Data, melalui proses pemilihan,

pemusatan perhatian pada penyederhanaan

pengabstrakan dan transformasi data /

informasi kasar yang muncul dari catatan-

catatan selama melakukan penelitian di

lapangan. (2) Penyajian Data dari

sekumpulan informasi yang tersusun dan

memberikan kemungkinan adanya

penarikan kesimpulan dan pengambilan

tindakan. (3) Proses Penafsiran terhadap

hubungan antara fenomena yang terjadi dan

membandingkannya dengan fenomena-

fenomena lain di luar penelitian. (4)

Penyimpulan Hasil Peneliti, dilakukan

setelah proses reduksi dan penyajian data

diolah, diedit kemudian perlu dibaca

kembali untuk dilakukan perbaikan-

perbaikan jika masih terdapat hal-hal yang

salah atau masih meragukan.

HASIL ANALISIS DAN

PEMBAHASAN

Tata kehidupan masyarakat

pinggiran hutan kelurahan Kedungkang

kecamatan Kedungkandang kota Malang,

sebelum berdiri pondok pesantren Al-

Hayatul Islamiyah pada waktu itu benar-

benar memprihatinkan. Pemahaman akan

ajaran agama sangat minim, sehingga

masyarakatnya ada yang berprofesi pencuri,

perampok, preman dan profesi penyakit

masyarakat lainnya.

Pondok pesantren Al-Hayatul

Islamiyah, didirikan oleh ketua Yayasan

Pengembangan Pendidikan Al-Hayatul

Islamiyah (YPPAI) yaitu KH.Abd Aziz,

Sebelum mendirikan Pondok yayasan ini

memiliki 2 (dua) lembaga pendidikan

Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Diniah,

pada tahun 1984 lembaga pendidikannya

bertambah yaitu Madrasah Tsanawiyah dan

panti asuan tahun, pada tahun 2001 Bapak

KH Abd Aziz meninggal dunia dan

diteruskan oleh putranya yaitu Bapak Drs.

KH Irfan Aziz, M.Ag bersama empat

saudaranya. Sekarang lembaga

pendidikannya telah lengkap yaitu

Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah

dan Panti Asuan, PAUD, serta Tarbiyatul

Athfal (TA). Tahun 2011membuka jenjang

pendidikan S1 yang telah dirintis 3 tahun

lalu.

Pondok pesantren Al-Hayatul

Islamiyah, menjadi perhatian masyarakat

disekitarnya karena dapat merubah kondisi

masyarakat kearah yang lebih baik. Usaha

yang dilakukan oleh YPPAI melalui

kegiatan keagamaan, seperti pengajian,

yasinan, dan dzibaiyah dan lainnya. Dari

usaha itulah mendorong banyak orang yang

datang ke pondok, dari berbagai kalangan.

Selain itu masyarakat juga terdorong untuk

Page 60: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

55

memondokkan anaknya dan jumlah santri

yang mukim dipondok semakin banyak.

Orientasi Pengembangan Sumber Daya

Santri

Jumlah santri pada tahun 2010

sebanyak 500 orang, tidak semua santri

bermukim di pondok pesantren, yang

mukim dipondok 200 santri, dan lainnya

diluar pondok. 85% dari mereka adalah

duafa‟ sedang sisanya adalah yatim. Oleh

karena itu para santri hanya dikenakan

biaya sebesar 5 % yang digunakan untuk

uang makan sehari-hari, sedangkan

sebanyak 95 % ditanggung oleh yayasan

serta kadang-kadang ada donatur yang mau

membantu. Biaya sebesar itupun bagi santri

yatim masih terlalu berat. sehingga

membayarnya sesuai kesanggupan dan ada

pula yang tidak mampu membayar. YPPAI

juga memiliki jamaah pengajian rutin setiap

hari jumat yang berjumlah 500 orang dan

terus bertambah jumlahnya. Jamaah

tersebut berasal dari masyarakat sekitar

pondok.

Kegiatan pendidikan pondok

pesantren Al-Hayatul Islamiyah, dirangkum

dalam Tri Dharma Pondok Pesantren, yaitu

meliputi keimanan dan ketaqwaan terhadap

Allah SWT., pengembangan ilmu yang

bermanfaat, dan pengabdian terhadap

agama, masyarakat serta negara.

Pengabdian kepada masyarakat yang

menjadi salah satu Dharma, mengisyaratkan

bahwa pondok pesantren Al-Hayatul

Islamiyah memiliki kewajiban bersama-

sama masyarakat untuk mengembangkan

diri melalui pendidikan dan melakukan

perubahan sosial dalam pembangunan serta

mengatasi permasalahan yang terjadi

dilingkungannya.

Sarana yang tersedia meliputi

bangunan masjid, rumah tinggal, bangunan

sekolah/madrasah, koperasi, kantin,

perpustakaan, area sekolah alam, bumi

perkemahan, stodio musik, lapangan olah

raga, laboratorium komputer dan internet,

lahan pertanian dan peternakan. Sarana

tersebut adalah sangat ideal sebagai tempat

mendidik untuk mendapatkan sosok

sumberdaya manusia berkualitas yang

berakhlaq al-karimah. Sarana yang lengkap

belumlah cukup, tetapi juga diperlukan

membangun kesadaran santri, kesadaran

sebagai individu maupun sebagai

komunitas pesantren dan masyarakat

sekitar. Sekarang ini yayasan berusaha

meningkatkan kesejahteraan santri dengan

mengupayakan adanya beasiswa melalui

kerjasama dengan pihak lain, ada beberapa

santri yang sudah mendapatkan beasiswa,

bahkan ada yang memperoleh beasiswa ke

Perguruan Tinggi. Hal ini dilakukan

sebagai upaya menciptakan santri yang

berdaya saing .

Menghadapi tuntutan globalisasi

saat ini, Ketua YPPAI Drs. KH Irfan Aziz,

M.Ag mempunyai idealisme untuk

mengembangkan pendidikan yang dapat

menciptakan santri yang tangguh, ulet,

terdidik, mandiri, berdaya saing dan

berwawasan kedepan. Sumberdaya santri

diharapkan memiliki potensi yang betul-

betul bisa diandalkan dan bisa menjadi

panutan. Beliau menyadari bahwa santri

adalah kader umat dan aset bangsa harus

dijaga kualitas keilmuan, keterampilan dan

moralitasnya. Sebagaimana dikatakan oleh

Drs. KH Irfan Aziz, M.Ag dalam forum

diskusi di ruang pondok pada tanggal 8

September 2010: “Saya melihat kenyataan,

banyak umat Islam yang tertinggal dalam

pendidikan maupun dalam kesejahteraan.

Sekarang sumber daya atau unsur-unsur

pondok pesantren termasuk guru atau kyai,

masjid, santri, kitab kitab klasik hingga

ilmu pengetahuan yang baru dapat

didayagunakan dalam proses pendidikan

secara berkelanjutan untuk membangun

manusia yang memiliki paham ilmu

pengetahuan, potensi kemasyarakatan, dan

pembangunan wilayah. Hal ini berujung

pada penciptaan Sumber Daya Manusia

yang produktif dan berdaya saing sehingga

tidak hanya menjadi penempa nilai-nilai

spiritual saja, tetapi juga mampu

meningkatkan kecerdasan sosial, dan

ketrampilan dalam membangun masyarakat

di sekitarnya. Ini dimulai dari kemampuan

pesantren memberdayakan potensi-potensi

yang ada di lingkungannya yang dilakukan

oleh Sumber Daya Manusia yang ada di

pesantren itu sendiri. Selain itu yayasan

juga punya angan-angan bagaimana

Page 61: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

56

menjadikan pondok pesantrennya dapat

mandiri dan tidak tergantung dari donatur.

Sehingga pondok pesantren Al-Hayatul

Islamiyah dapat dijadikan agen perubahan

(agent of change) ”.

Pola Pengembangan Wirausaha Mix-

Farming System

Lahan pertanian yang dimiliki

YPPAI cukup luas, lahan yang letaknya

terpisah dari pondok sekitar 2 hiktar dan di

tanami tanaman dengan sistem

tumpangsari. Meliputi pohon sengon, johar,

jati mas, pohon kelapa, pohon nangka,

pohon pepaya dan tanaman singkong serta

ubi jalar, polowijo, pakan ternak. Hasil dari

tanaman pohon sebagai persediaan untuk

renovasi dan pengembangan bangunan

pondok. Tanaman pangan selama ini selain

dikonsumsi warga pondok sendiri,

selebihnya dijual dan belum pernah berfikir

untuk meningkatkan nilai tambah melalui

pengolahan terlebih dahulu. Sedangkan

tanaman pakan ternak dipersiapkan untuk

ternak peliharaan.

Selain itu terdapat pula lahan

pekarangan di sekitar pondok pesantren

seluas 6000 m, selama ini belum

dioptimalkan pemanfaatannya. Lahan

tersebut baru dimanfaatkan untuk, (1)

Pembuatan batu bata sebagai stock

bangunan pondok, (2) Pemeliharaan

kambing kacang sebagai persediaan apabila

ada orang berhajat kekahan yang dilakukan

dipanti asuhan. Terdapat 2 ekor kambing

yang berada dalam kandang, dengan

kondisi kandang kurang layak untuk

beternak. Pemeliharaan kambing kacang ini

apabila dikembangkan menjadi peternakan

sebenarnya memiliki prospek yang baik,

karena kambing kacang merupakan

kambing asli Indonesia yang mudah

beradaptasi terhadap lingkungan alam.

Reproduksinya tergolongkan sangat tinggi

karena kambing kacang betina sangat subur

dan nafsu kawin kambing kacang jantan

sangat besar. Sedang produksi air susu

kambing kacang hanya 0,5 liter per hari

namun jenis kambing ini merupakan

sumber daging yang potensial. Sesuai

dengan yang disampaikan oleh Anonimus

(2011), peluang pasar usaha ternak kambing

kacang sangat baik karena jumlah

penduduk Indonesia saat ini sekitar 240 juta

jiwa dan akan terus bertambah, tentunya

kebutuhan konsumsi daging juga akan

bertambah. Kambing selalu dibutuhkan

untuk aqiqah dan lebaran Idhul Adha, selain

dikonsumsi sehari-hari. Luasnya lahan

kosong yang belum dioptimalkan, telah

lama menjadi perbincangan dan pemikiran

para pengurus pondok, apa yang bisa

dilakukan terhadap lahan tersebut sehingga

dapat bermanfaat dan memiliki daya

ekonomis. Namun keterbatasan para

pengurus dalam hal manajemen usaha

agrobisnis maka lahan tersebut dikelola

secara sederhana sesuai dengan

pengalamannya sambil berupaya untuk

menjalin hubungan dengan instansi-instansi

terkait seperti dinas pertanian,

perekonomian dan perguruan tinggi.

Pada tahun 2010, pondok pesantren

Alhayatul Islamiyah mendapat bantuan dari

Universitas Islam Malang (UNISMA),

dalam rangka pelaksanaan hibah program

Iptek bagi Masyarakat (IbM). Program IbM

berbentuk pelatihan pembuatan kandang

kambing yang layak untuk peternakan dan

berupa sumbangan 3 ekor kambing, terdiri

dari satu ekor kambing jantan jenis

peranakan etawa dan dua ekor kambing

betina ( peranakan etawa dan kambing

Sumbawa). Tujuannya untuk pembinaan

usaha peternakan kambing sebagai

persediaan daging dan kambing sebagai

penghasil susu perah. Selain itu program

IbM juga memberikan pendidikan dan

pelatihan manajemen mix-farming system

pada pengurus, pembina, santri senior dan

perwakilan masyarakat sekitar pondok

pesantren Al-Hayatul Islamiyah.

Berdasarkan pengamatan, para santri saling

bergantian melakukan kegiatan mulai dari

mencari pakan, memberi pakan dan

minuman, membersihkan kandang. Para

santri juga belajar menanam rumput gajah,

mulai menyiapkan lahan yang ada dibawah

pohong jati dan sengon, serta di pinggiran

lahan, serta mempraktekan pembuatan

pupuk organik kemudian diaplikasikan

langsung dalam mempersiapkan penanaman

rumput gajah.

Page 62: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

57

Sementara ini pembelajaran usaha

Mix-Farming System yang akan

dikembangkan dipondok pesantren Al-

Hayatul Islamiyah dapat digambar sebagai

berikut:

Gambar 1.

Pembelajaran Usaha Mix-Farming System yang akan dikembangkan

dipondok pesantren Al-Hayatul Islamiyah

Faktor Pendukung dan Penghambat

Pengembangan Usaha Mix-Farming

System

Pondok pesantren sangat gigih

dalam upaya meningkatan sumber daya

santri, berbagai cara dilakukan agar kelak

para santri dapat menyesuaikan dengan

tuntutan perkembangan zaman. Mulai dari

reformasi pendidikan dan kurikulum,

memberikan pembekalan baik dibidang

iptek maupun iptag serta ketrampilan untuk

kecakapan hidup, sedang upaya yang

terbaru dilakukan adalah pembelajaran

mengenai pengembangan usaha mix

farming system. Pembelajaran mengenai

pengembangan usaha mix farming system

sangat siqnifikan diterapkan di pondok

pesantren, karena didukung dengan adanya

lahan kosong yang cukup luas, jiwa

wirausaha yang dimiliki oleh pemimpin

pondok, sudah terjalinnya akses dengan

instansi-intansi pemerintah dan perguruan

Lahan Kosong

Pertanian Tanaman Pakan

Ternak

Peternakan

Kambing

Kotoran

Kambing

Kambing

Sumbawa

Peranakan

Etawa Tanaman

Pangan

Diolah

Pupuk

organik

Susu Daging

Diolah

Penjualan/penghasilan

Page 63: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

58

tinggi, para santri yang berasal dari

lingkungan petani dan lingkungan pondok

yang sangat strategis yaitu dipinggiran

hutan dan dekat dengan sungai.

Sedangkan faktor yang menghambat

proses pembelajaran mix farming system,

antara lain terbatasnya pengetahuan

pembina pondok tentang manajemen usaha,

administrasi dan produksi. Kurangnya

waktu luang untuk kegiatan ekstrakulikuler

santri. Modal dana yang belum ada untuk

anggaran kegiatan ini. mahalnya harga

pupuk dan sulit untuk mendapatkan pupuk.

Pengurus dan pembina pondok telah

berusaha untuk meminimalisasi hambatan-

hambatan yang dihadapi melalui beberapa

cara yaitu meminta bantuan dari anggota

jamaah pengajian yang memiliki kopetensi

dibidang tersebut untuk menularkan

ilmunya kepada pengurus dan pembina,

selain terus menjalin hubungan dengan

perguruan tinggi. Para santri senior

membantu mengatur waktu santri dalam

melakukan kegiatan ini, dengan harapan

kalau usaha yang dikembangkan ini

berhasil tentunya akan menghasilkan

pendapatan bagi pondok. Sehingga dapat

digunakan sebagai modal pengembangan

usaha lebih lanjut, selain itu para santri

mampu memproduksi pupuk sendiri bahkan

dapat menjualnya.

PENUTUP

Pengembangan pendidikan pondok

pesantren Alhayatul Islamiyah, meliputi

berbagai pengetahuan dan ketrampilan,

dengan tujuan berusaha menciptakan santri

yang tangguh, ulet, terdidik, mandiri,

berdaya saing dan berwawasan kedepan.

Pondok pesantren dipandang memiliki

potensi besar dalam pembangunan kualitas

SDM terutama di bidang agrobisnis, karena

sebagian besar lokasinya dipedesaan dan

sumber daya alam yang tersedia masih luas

seperti lahan dan air. Apalagi sebagian

besar santrinya berasal dari berbagai

pedesaan, dimana kehidupan orang tuanya

menyatu dengan kegiatan-kegiatan yang

ada kaitannya dengan pertanian.

Pembelajaran pola integrasi (mix

farming system) sangat signifikan diberikan

pada santri, mix farming system merupakan

usaha pertanian dengan dikelola secara

bersinambungan, sehingga tidak mengenal

produk limbah. Pola ini belum banyak

dilakukan atau dikenal oleh petani skala

kecil. Namun saat ini, pengurus dan

pembina pondok pesantren masih dalam

keterbatasan pengetahuan tentang

manajemen usaha, administrasi, produksi,

dan usaha agrobisnis.

DAFTAR PUSTAKA

Alma. B (2000). Kewirausahaan. Bandung.

Alfabeta

Anas, Ali.Peran Pesantren Dalam

Pemberdayaan Masyarakat.

http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurn

al/Ed160892107.pdf. diakses tanggal

21 desember 2010

Anonimus. 2007. Karakteristik Sdm Di

Masa Mendatang: Peluang Dan

Hambatan

http://www.depsos.go.id/modules.ph

p?name=News&file=article&sid=46

3

Anonimus (2008) SDM Indonesia dalam

persaingan global.

www.geogle/SDM Indonesia dalam

persaingan global/.co.id

Anonimus (2010a) Pengertian Pondok

Pesantren.

http://blog.re.or.id/pondok-

pesantren-sebagai-lembaga-

pendidikan-islam.htm . akses Jumat

14-12-2010. jam: 20.07WIB.

Anonimus (2010b) Pengertian Pondok

Pesantren

http://tsalmans.blogspot.com/2010/0

5/pengertian-pondok-

pesantren.html.

Anomimus (2011). Keuntungan Beternak

Domba Bulu. http://peternakan-

kambing-sapi-

kerbau.blogspot.com/2011/01/keunt

ungan-beternak-domba-bulu.html

BPS.(2010) Keadaan Ketenagakerjaan

Indonesia Februari 2010, Berita

Resmi Statistik, No. 33/05/Th. XIII,

10 Mei 2010

Saydan, Caouzali.(2000). MSDM Suatu

Pendekatan Mikro. Djumabata.

Jakarta. halaman 15.

Page 64: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

59

Faozan, Akhmad. (2006). Pondok Pesantren

dan Pemberdayaan Ekonomi. Ibda`

Vol. 4| No. 1 Jan-Jun 88-102

Djaafar, T. Z. (2001). Pendidikan Non

Formal Dan Peningkatan Sumber

Daya Manusia Dalam Pembangunan.

Padang : Penerbit FIP UNP.

Ishak, Andi.(2009). Sistem Integrasi Ternak

Dengan Tanaman Perkebunan

http://uripsantoso.wordpress.com/200

9/11/30/sistem-integrasi-ternak-

dengan-tanaman-perkebunan/

Sanaky, Hujair, AH. 2009. Konsep manusia

Berkualitas Menurut Al-Qur‟an dan

Upaya Pendidikan.

http://www.sanaky.com/wp-

content/uploads/2009/02/konsep_man

usia_berkualitas_menurut_al.pdf

Vandha. 2008. Pendidikan Islam Dan

Sumber Daya Manusia

http://vandha.wordpress.com/2008/06/22/pe

ndidikan-islam-dan-sumber-daya-

manusia/

Page 65: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

60

NEOPATRIONALISM MOVEMENT: COUNTER TO THE HEGEMONY OF

NEOIMPERIALISM (CAPITALIST)

UmiSalamah

Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia IKIP Budi Utomo Malang

Dosen Universitas Brawijaya Malang

Winning or surviving on the

battlefield depends on the strategies played.

The biggest "war" is currently against

capitalist hegemony in various fields which

is a manifestation of neoimperialism. The

way of committed suicide bombing is done

by the terrorists or bombing certain places

in the name of action against capitalist is

"ridiculous" and in vain. Image "stupid" and

"evil" will be attached to the bomber and

his group. More fatal if the country of

origin bombers also dubbed as a terrorist

state and the labeling will be treated to all

the people who come from a country known

as the country of origin "terrorists". Impact

is very bad for the survival and progress of

a country is affected by the labeling.

Intelligence wars should be fought with

intelligence, imaging countered with

imaging, diffusion of culture must be

confronted with the power of their own

culture.

Reflecting the great figures against

neoimperialism There have been many leaders of

nations in the developing world who

provide role models to evoke the spirit of

patriotism and nationalism in the various

fields of non-violence. They work best

when they get sympathy and support from

the world community. Just mention of

Pakistan Mohammad Ali Jinah, Bung

Karno from Indonesia, Jawaharal Nehru of

India, and Nelson Mandela of South Africa.

They beat the neo-colonialists with courage

and skill, set strategy and intelligence

cooperation between countries in

negotiating and non-aligned against the

political hegemony of the colonialist.

Currently all non-aligned countries

are de jure independence is already

irrespective of the colonialists, but de facto

it was colonized by capitalist hegemony in

various aspects of life, such as economics,

media, culture, education, technology, and

science. Emerging countries are still

dependent on the capitalist powers.

Developing countries have not been able to

even become masters in their own country.

Our nation still enslaved by capitalist

countries in our own country. Most of the

people impoverished, while officials and

the government bureaucracy and the

establishment pampered with a variety of

pleasures. The result is a huge gap between

state officials and the people.

Capitalist hegemony in the country

we have penetrated into most of the nation's

blood vessels in a variety of fields. Even the

heart has been ripped off and most of the

common sense of our nation. The low

quality of life of the majority of the people

have resulted in mental and moral nation. A

lack of confidence and mentality have

undermined the slave mentality of the

majority of ordinary people, while the

culture of corruption and colonial mentality

has spoiled most officials and bureaucrats

of our country. This is the impact of

modern capitalist has been opened faucet in

developing countries on a large scale in the

mining, industrial giant, and capitalist trade

networks. Ironically, the leaders of the

developing countries , or most of them

bendtheir knees and more capitalist than the

policy side to defend the rights and

prosperity of its people. Even for the sake

of defending the capitalist policies and the

establishment of office, they would be

willing to sacrifice its people.

Page 66: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

61

As a result of our current society

tends repressive and anesthetized by

residence. These circumstances make the

creativity and productivity of the nation

paralyzed, so many people who fled from

idealism for the position / positions in

society. Although in our society occurs

lameness lameness-social, social diversion,

and social deviance has been regarded as

reasonable and decent thing going on. How

could I not? Most of the nation has long

been lulled by the hedonistic culture,

pragmatic, and consumptive. Have fun with

shortcuts, working with shortcuts, learn the

shortcuts, earn position with shortcut also

has become a trend for the majority of this

nation. It happened from small people to

people with high-ranking officials. This

attitude led to the habit of not critical,

apathetic, and stuck in an irrational society

(mystical).

Is the character of our nation is so

far from the culture which is reflected in the

state and the state constitution? Ironically,

only certain people are aware of it. It takes

a movement to raise awareness in the fight

against capitalist hegemony

neopatrionalism in various fields. What

should we do? In this case the presence of

the media and public figures who are still

idealists hold on religion, the state and the

state constitution is very effective to

develop the movement. Ad delivery that is

both patriotic and nationalist spirit of

defending the country for the progress and

prosperity of nations is motivation and

optimism for the younger generation to

save the nation and the state of capitalist

hegemony.

Visionary leadership and mentality

neopatrionalism are requiredagainst

Capitalist HegemonyDomination.

The power of capitalist media make

our nation powerless and the crisis of

confidence. The media has a very important

role in raising the spirit of patriotism and

nationalism. But the media also plays a

major role in destroying the spirit of

patriotism and nationalism. News event and

broadcasting that are not balanced between

performance and dedication earned the

nation with moral deviations, then gives a

very bad impact for the community and

young people. Impressions moral

aberrations in various media, such as

corruption, manipulation, adultery,

witchcraft, fights, cheating that are

repeated over and over again give a bad

impact apathy towards the existence and

progress of the nation and the state. Instead

aired achievements and dedication of the

nation that brought the nation's progress

will positively impact the survival and

progress of the nation.

Who is authorized to regulate?

What's a declaration of religious education

based education and culture if it is not

supported by media impressions and

government policies that are not based on

religion and culture itself. Visionary leader

and mentally neopatrionalismare required to

attack against capitalist hegemony. Leaders

who cling to the basic state and the state

constitution. Leaders are responsive to the

problems and challenges of the nation and

the state. A leader who can set an example

of patriot for their people.

Visionary leader and

neopatrionalism mentality will always

support and provide the broadest possible

opportunity to the people to advance the

nation. Leaders who cling to the basic

constitution of the state and country will

always defend the rights and pro-prosperity,

justice, dignity, and the dignity of the

nation and country. Leaders are responsive

to the problems and challenges of the nation

and the state always see the problems and

needs of its people as study materials to

improve the quality of education,

technology, and science in the country. A

leader who can set an example of patriot for

their peopleis courageous leaders and

consistently implement the establishment of

the state and the country's constitution and

daring against the capitalist policies that are

not in accordance with the constitution of

the state and country.

Page 67: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

62

PERSPEKTIF KEBIJAKAN DALAM PENANGANAN ANAK JALANAN

Nurul Umi Ati

Dosen Program Studi Administrasi Negara

Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Islam Malang

Abstract

The government is like eating fruit simalakama, on the one hand raided and curb street

children to be held coaching-coaching and training in order to alleviate the street children

from adversity. But on the other hand, street children need to eat to live. Need to land a job

and ironically, the Government has not adequately provide, due to limited energy and costs

are available. In efforts to address street children can be done in 2 ways: first handler is done

by the government, that is by holding counseling to street children, vocational training,

scholarships and provision of venture capital. While efforts to address street children both

performed by non-governmental organizations (NGOs), which is conducted by Shelter Homes

or Institutions. The outreach programs and mentoring on the road and at home, re-

socialization, fellowship, food and medical aid, empowerment of street children, street

children and terminalisasi meeting service termination.

These efforts Shelter Homes Government and may experience successes and failures in

implementing programs that exist. This is because many complexities of the issues circling

street children.

key words : policy perspektives, the treatment of street children

PENDAHULUAN

Salah satu masalah sosial yang timbul

di berbagai kota besar pasca krisis adalah

melonjaknya jumlah anak jalanan dan anak

keluarga pra sejahtera yang belakangan ini

makin mencemaskan. Hal itu merupakan

realitas nyata yang betul-betul terjadi di

Indonesia, namun oleh pemerintah hanya

dianggap sebagai bayangan. Di tahun 2005

diperkirakan jumlah penduduk yang taraf

hidupnya di bawah garis kemiskinan,

menurut ukuran Bank Dunia (2 dollar

AS/hari), masih sebesar 49,5% (Kompas

(4), 26 April 2005). Sementara itu data BPS

menyebutnya bahwa jumlah anak yang

berusia 10-14 tahun sebanyak 22,4 juta,

sehingga ini berarti diperkirakan terdapat

14 juta anak yang berada di bawah garis

kemiskinan. Yang kemudian menjadi

masalah, sebagai anak miskin terpaksa

mencari penghasilan dengan caranya

sendiri, termasuk menjadi anak jalanan.

Menurut TKSK (Tenaga

Kesejahteraan Sosial Kecamatan) Ponorogo

tahun 2010: Fenomena merebaknya anak

jalanan di Indonesia diatas merupakan

persoalan sosial yang komplek. Hidup

menjadi anak jalanan memang bukan

merupakan pilihan yang menyenangkan,

karena mereka berada dalam kondisi yang

tidak bermasa depan jelas, dan keberadaan

mereka tidak jarang menjadi “masalah”

bagi banyak pihak, keluarga, masyarakat

dan negara. Namun, perhatian terhadap

nasib anak jalanan tampaknya belum begitu

besar dan solutif. Padahal mereka adalah

saudara kita. Mereka adalah amanah Allah

yang harus dilindungi, dijamin hak-haknya,

sehingga tumbuh-kembang menjadi

manusia dewasa yang bermanfaat, beradab

dan bermasa depan cerah.

Hasil Survei Sosial Ekonomi

Nasional (SUSENAS) Badan Pusat Statistik

Republik Indonesia tahun 1998

memperlihatkan bahwa anak jalanan secara

Page 68: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

63

nasional berjumlah sekitar 2,8 juta anak.

Dua tahun kemudian, tahun 2000, angka

tersebut mengalami kenaikan sekitar 5,4%,

sehingga jumlahnya menjadi 3,1 juta anak.

Pada tahun yang sama, anak yang tergolong

rawan menjadi anak jalanan berjumlah 10,3

juta anak atau 17, 6% dari populasi anak di

Indonesia, yaitu 58,7 juta anak (Soewignyo,

2002). Angka-angka tersebut menunjukkan

bahwa kualitas hidup dan masa depan anak-

anak sangat memperihatinkan, padahal

mereka adalah aset, investasi SDM dan

sekaligus tumpuan masa depan bangsa. Jika

kondisi dan kualitas hidup anak kita

memprihatinkan, berarti masa depan bangsa

dan negara juga kurang menggembirakan.

Bahkan, tidak tertutup kemungkinan,

sebagian dari anak bangsa kita mengalami

lost generation (generasi yang hilang).

SUSENAS tahun 2000 juga

menunjukkan bahwa salah satu faktor

ketidakberhasilan pembangunan nasional

dalam berbagai bidang itu, antara lain,

disebabkan oleh minimnya perhatian

pemerintah dan semua pihak terhadap

eksistensi keluarga. Perhatian dan treatment

yang terfokus pada “keluarga sebagai basis

dan sistem pemberdayaan” yang menjadi

pilar utama kehidupan berbangsa dan

bernegara relatif belum menjadi komitmen

bersama dan usaha yang serius dari banyak

pihak. Padahal, masyarakat dan negara

yang sehat, kuat, cerdas, dan berkualitas

dipastikan karena tumbuh dan berkembang

dari dan dalam lingkungan keluarga yang

sehat, kuat, cerdas dan berkualitas. Dengan

demikian, masalah anak termasuk anak

jalanan perlu adanya penanganan yang

berbasis keluarga, karena keluarga adalah

penanggung jawab pertama dan utama masa

depan anak-anak mereka.

Sementara itu munculnya fenomena

anak jalanan, menurut Baihaqi (1998:10) di

karenakan: Pertama, anak jalanan yang

punya komunitas. Mereka masih memiliki

orang tua, ada tempat tinggal yang jelas

meski di pinggir-pinggir gang sebagai kaum

urban. Sebagian besar bekerja sebagai

asongan. Kedua, anak jalanan gelandangan.

Mereka sudah putus hubungan dengan

orang tua dan anggota keluarga lain.

Selama 24 jam, hidup dan bekerja di

jalanan atau di emper-emper toko.

Pekerjaan sebagai pengamen, pengemis,

pemulung, dan penyemir sepatu. Seiring

dengan pendapat diatas Ahmad Fikri (2010)

Anak Jalanan adalah: Mereka yang hidup di

jalanan sebagai, pengamen, pedagang

asongan, pengemis, dan pelacur. Paru-paru

mereka tidak hanya menghirup kerasnya

udara yang mengandung timbal dan karbon

monoksida tapi juga menghisap asap

kekerasan purba langsung dari akarnya.

Fenomena anak jalanan tersebut

merupakan ekses lingkaran setan

kemiskinan bangsa Indonesia. Kendala

yang dihadapi mobilitas anak-anak itu

cukup tinggi. Anak-anak yang dibimbing di

rumah singgah, setelah keluar, “kadang”

kembali menjadi anak-anak jalanan. Sebab,

kebutuhan ekonomi tidak terelakkan.

Sayangnya, perhatian kepada anak-anak

terkesan digelar pada momen-momen

tertentu saja. Secara, struktural negara bisa

disalahkan sebagai penyebab buruknya

kondisi anak-anak di negeri ini. Karena

negara sebagai pemegang kekuasaan

membuat kebijakan yang sering tak

berpihak pada masyarakat bawah.

Kebijakan itu menyebabkan orang miskin

yang makin terbelenggu dan tidak berdaya.

Kemiskinan menjadi satu faktor pemicu

terjadinya pelanggaran hak asasi manusia

(HAM) pada anak. Anak dalam keluarga

miskin mengalami subordinasi ganda, yaitu

ada supremasi dari yang kaya dan orang

dewasa. Hak anak bisa dilanggar karena dia

anak-anak dan miskin.

Menyalahkan negara sebagai satu-

satunya pihak yang bertanggung jawab tak

secara otomatis membawa kehidupan anak

menjadi lebih baik. Tanpa disadari manusia

yang telah menjadi orang dewasa, akan

berperan sebagai para ”orang tua” yang

merangkap sebagai eksekutor bagi anak-

anaknya sendiri. Algojo yang menghukum

anak secara tidak proporsional. Hukuman

yang menghabiskan seluruh energi

kehidupan dan masa depan anak-anak

dalam bayang-bayang trauma jalanan, dan

debu peperangan, menjadi orang tua yang

mengambil terlampau banyak dari

kehidupan anak.

Page 69: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

64

Menurut Undang-Undang Dasar 1945

pasal 34 ayat 1,”fakir miskin dan anak

terlantar itu dipelihara oleh negara”.

Artinya pemerintah mempunyai tanggung

jawab terhadap pemeliharaan dan

pembinaan anak-anak terlantar, termasuk

anak jalanan. Lebih lanjut dalam pasal 28 B

dikatakan setiap anak berhak atas

kelangsungan hidup tumbuh dan

berkembang serta berhak atas perlindungan

dari kekerasan dan diskriminasi. Dalam

Garis-garis Besar Halauan Negara tahun

1999/2004 juga telah disebutkan bahwa

arah kebijakan sosial dan budaya, bidang

kesehatan dan kesejahteraan sosial adalah

meningkatkan kepedulian penyandang

cacat, fakir miskin, dan anak-anak

terlantar,serta kelompok rentan sosial

melalui penyediaan lapangan kerja yang

seluas-luasnya dalam rangka meningkatkan

kesejahteraan masyarakat.

Hak-hak asasi anak terlantar dan anak

jalanan inilah, pada hakekatnya sama

dengan hak-hak asasi manusia pada

umumnya, seperti halnya tercantum dalam

Undang-Undang Nomor. 39 tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia, dan Keputusan

Presiden RI Nomor. 36 Tahun 1990 tentang

Pengesahan Convention on the Right of the

Child (Konvensi tentang hak-hak Anak).

Mereka perlu mendapatkan hak-haknya

secara normal sebagaimana layaknya anak,

yaitu hak sipil dan kemerdekaan (civil righ

and freedoms), lingkungan keluarga dan

pilihan pemeliharaan (family envionment

and alternative care), kesehatan dasar dan

kesejahteraan (basic health and welfare),

pendidikan, rekreasi dan budaya (education,

laisure and culture activites), dan

perlindungan khusus (special protection).

Sehubungan dengan penanganan anak

jalanan diatas pemerintah sekarang melalui

Kementerian Sosial Republik Indonesia

mulai ada upaya membangun kemitraan

dengan para wakil rakyat untuk turut serta

merumuskan kebijakan anak jalanan. Model

pemusatan kebijakan itu dikenal dengan

model imperatif atau kebijakan terpusat

(Dye, I976). Namun sekarang ini telah

bergeser paradigma dari kebijakan imperatif

ke kebijakan Endikalif atau partisipatif,

dimana pemerintah pusat hanya

menentukan besaran kebijakan dan

pelaksanaannya diserahkan kepada LSM

dan masyarakat lokal. Kondisi ini

merupakan hal yang seharusnya

dilaksanakan di masa depan sejalan dengan

berlakunya Undang-Undang No. 32 tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah. Produk

legislasi tersebut menjadi tantangan bagi

Pemerintah Daerah, masyarakat maupun

LSM untuk berpartisipasi melahirkan

kebijakan yang sesuai dengan kondisi di

daerah. Namun apakah kebijakan terpusat

sudah sepenuhnya ditinggalkan, atau

integrasi kedua model kebijakan itukah

yang menjadi alternatif terbaik bagi

pemecahana permasalahan anak jalanan.

Dalam hal ini sangat diperlukan

restrukturisasi kebijakan pada tingkat

makro (nasional), mezzo (propinsi) sampai

mikro (kabupatenkota); yang dapat

memadukan perencanaan dari atas dan dari

bawah secara proporsional. OIeh karena itu,

tujuan peningkatan kualitas hidup dan

kesejahteraan anak tetap harus memadukan

komitmen nasional yang harus didukung

dengan kebijakan operasional yang sesuai

dengan kondisi daerah yang beragam.

Sesuai dengan tempat penelitian,

Kota Malang merupakan salah satu daerah

otonom dan merupakan kota besar ke dua di

Jawa Timur setelah Kota Surabaya. Sebagai

kota besar, Malang tidak lepas dari

permasalahan sosial dan lingkungan yanmg

semakin buruk kualitasnya. Kota yang

pernah dianggap mempunyai tata kota yang

terbaik di antar kota-kota Hindia Belanda

ini, kini banyak dikeluhkan warganya

seperti kemacetan dan kesemrawutan lalu

lintas, suhu udara yang mulai panas,

sampah yang berserakan atau harus

merelokasi pedagang kaki lima yang

memenuhi alun-alun kota dan banyaknya

anak-anak jalanan di berbagai sudut

kota.Namun,terlepas dari berbagai

permasalahan tata kotanya, pariwisata Kota

Malang mampu menarik perhatian

tersendiri. Dari segi geografis, Malang

diuntungkan oleh keindahan alam daerah

sekitarnya seperti Batu dengan

agrowisatanya, pemandian

Selecta,Songgoriti atau situs-situs

purbakala peninggalan Kerajaan

Page 70: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

65

Singosari.Jarak tempuh yang tidak jauh dari

kota membuat para pelancong menjadikan

kota ini sebagai tempat singgah dan

sekaligus tempat belanja. Perdagangan ini

mampu mengubah konsep pariwisata Kota

Malang dari kota peristirahatan menjadi

kota wisata belanja. Kota Malang

berkembang dengan pesatnya. Berbagai

kebutuhan masyarakat pun semakin

meningkat terutama akan ruang gerak

melakukan berbagai kegiatan. Akibatnya

terjadilah perubahan tata guna tanah, daerah

yang terbangun bermunculan tanpa

terkendali. Perubahan fungsi lahan

mengalami perubahan sangat pesat, seperti

dari fungsi pertanian menjadi perumahan

dan industri.

Sejalan perkembangan tersebut di

atas, urbanisasi terus berlangsung dan

kebutuhan masyarakat akan perumahan

meningkat di luar kemampuan pemerintah,

sementara tingkat ekonomi urbanis sangat

terbatas, yang selanjutnya akan berakibat

timbulnya perumahan-perumahan liar yang

pada umumnya berkembang di sekitar

daerah perdagangan, di sepanjang jalur

hijau, sekitar sungai, rel kereta api dan

lahan-lahan yang dianggap tidak bertuan.

Selang beberapa lama kemudian daerah itu

menjadi perkampungan, dan degradasi

kualitas lingkungan hidup mulai terjadi

dengan segala dampak bawaannya. Gejala-

gejala itu cenderung terus meningkat, dan

sulit dibayangkan apa yang terjadi

seandainya masalah itu diabaikan.

Lebih ironis lagi Koordinator Aliansi

Masyarakat Miskin Kota Malang (AMM)

Amrullah menyebutkan: Beberapa data

yang cukup mengenaskan terkait

pertumbuhan jumlah anak jalanan yang

terus meningkat. Disepanjang tahun 2009

AMM telah mengadvokasi sebanyak 240

anak jalanan yang putus sekolah untuk bisa

mendapatkan pendidikan gratis. Jumlah

anak jalanan pun meningkat sebanyak 50

orang di tahun yang sama. Sementara

tentang keberadaan rumah singgah AMM

menyebut tidak ada satupun rumahsinggah

yang beroperasi di tahun ini karena tidak

ada dana operasionalnya.”Tahun 2010 tidak

ada anggaran untuk rumah singgah dari

Dinas Tenaga Kerja dan Sosial. Tahun 2009

ada dana untuk rumah singgah dari Provinsi

besarnya Rp 20 juta dan itu hanya untuk

satu griya baca saja.

Penanganan anak jalanan oleh

Pemerintah Kota Malang diatas dinilai tidak

optimal oleh anggota dewan. Terbukti

dengan sedikitnya bantuan yang diberikan

oleh Pemerintah Kota Malang untuk

menangani dan menanggulangi anak

jalanan. Menurut Amrullah, sebagai contoh

adalah lembaganya yang telah malang

melintang menangani kaum miskin dan

anak jalanan di Kota Malang. "Pada 2009

tidak mendapat bantuan sama sekali dari

Pemerintah Kota, yang membantu justru

Pemerintah Provinsi Jawa Timur”. Padahal,

menurut Amrullah, anak jalanan yang

berkeliaran di Kota Malang saat ini berkisar

diantara 500-800 orang.

Lebih lanjut dikatakan, anak jalanan

semakin bertambah karena kealpaan

Pemerintah Kota dalam menangani dan

menanggulangi kemiskinan yang

mengepung kota. "Kemiskinan keluarga

dan mahalnya pendidikan, itulah yang

membuat mereka bertahan di Jalanan," ujar

mahasiswa salah satu perguruan tinggi di

Malang ini. Pemerintah yang 'hanya'

melatih anak jalanan dengan keahlian

tertentu kemudian dibelikan alat untuk

bekerja, menurutnya tidak optimal,

"Bagaimana mungkin anak jalanan yang

hobi menggambar disuruh buka bengkel di

pinggir jalan?".

Oleh karena itu sampai saat ini

Pemerintah Pusat ataupun Pemerintah

Daerah setempat dianggap belum berhasil

memberikan pembinaan kepada mereka.

Tetap saja mereka berkeliaran di beberapa

kota besar Indonesia. Ketidak efektifan

pemerintah disebabkan oleh beberapa

faktor. Pertama, tidak adanya klasifikasi

dari latar belakang mereka memilih hidup

di jalanan. Anak-anak jalanan dianggap rata

semua, yaitu karena faktor ekonomi,

dimana semua anak jalanan mereka

dianggap dari latar belakang orang miskin.

Kedua, kurangnya perhatian pemerintah

terhadap masalah-masalah anak jalanan,

sehingga sampai sekarang lembaga khusus

yang mengurus masalah anak jalanan masih

bisa dihitung dengan jari. Bahkan yang

Page 71: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

66

lebih banyak perhatian terhadap anak

jalanan adalah LSM-LSM yang dapat

sokongan dari luar negeri. Maka dari itu

pemerintah perlu merekonstruksi model

pembinaan bagi anak jalanan, dengan

memperhatikan potensi, minat dan bakat

mereka. Anak jalanan janganlah dianggap

sebagai masalah bangsa tetapi anggaplah

hal itu sebagai pluralisme bangsa Indonesia.

Pemahaman Tentang Anak

Banyak pengertian tentang kriteria

terhadap definisi anak dari aspek umur,

khususnya dalam aturan perundang-

undangan, ataupun dalam pengertian agama

Islam. Menurut Nawawi dan kawan-kawan

(hal. 16) Kitab Fiqih, yang dimaksud

dengan anak adalah seorang laki-laki atau

perempuan yang belum menemui masa

baligh yaitu; belum berumur lima belas

tahun untuk laki-laki atau perempuan,

belum keluar cairan mani bagi laki-laki dan

perempuan, dan belum keluar darah haid

khusus bagi perempuan, dimana ketika

belum menemui masa baligh maka belum

dikenai kewajiban melaksanakan perintah

agama dan meninggalkan atau menjauhi

larangan-larangan agama. UU Pengadilan

Anak (UU No. 3 tahun 1997). Disebutkan

dalam pasal 1 (2) bahwa anak adalah orang

dalam perkara anak nakal yang telah

mencapai umur 8 tahun (delapan) tahun,

tetapi belum mencapai umur 18 (delapan

belas) tahun dan belum kawin.

Ada beberapa teori tentang perilaku

anak khususnya menyangkut apakah

perilaku anak merupakan pembawaan atau

karena faktor lingkungan, terdapat beberapa

aliran yang mengemukakan pendapat

berbeda sebagaimana yang dijelaskan oleh

Purwanto (1995 : 59-61) sebagai berikut:

(1) aliran nativisme. Aliran ini

berpendapat bahwa perkembangan manusia

telah ditentukan oleh faktor-faktor yang

dibawa semenjak lahir; pembawaan yang

telah terdapat pada waktu melahirkan itulah

yang menentukan hasil perkembangannya;

(2) aliran naturalisme. Hampir senada

dengan aliran Nativisme, maka aliran ini

(naturalisme) berpendapat bahwa pada

hakekatnya semua anak sejak dilahirkan

adalah baik. Bagaimana perkembangannya

kemudian sangat ditentukan oleh

pendidikan yang diterimanya atau yang

mempengaruhinya; (3) aliran empirisme.

Aliran ini berpendapat berlawanan dengan

aliran nativisme, karena berpendapat bahwa

perkembangan anak sama sekali ditentukan

oleh lingkungannya; (4) aliran konvergensi.

Aliran ini, atau sebagian pakar

menyebutnya dengan hukum konvergensi

yakni dibawa oleh William Stern

berkebangsaan Jerman yang berpendapat

bahwa pembawaan dan lingkungan kedua-

duanya menentukan perkembangan pola

perilaku anak hingga dewasa nanti; (5) Tut

Wuri Handayani. Konsep ini berasal dari

pakar pendidikan Indonesia Ki Hajar

Dewantoro. Dibandingkan dengan keempat

aliran di atas aliran ini mirip dan lebih dekat

dengan aliran/hukum konvergensinya

William Stern, yakni berpendapat bahwa

perkembangan anak (manusia) lebih

ditentukan oleh bagaimana interaksi antara

pembawaan atau potensi-potensi yang

dimiliki anak bersangkutan dan lingkungan

ataupun pendidikan yang mempengaruhi

anak dalam perkembangannya.

Dengan begitu kepribadian ataupun

perilaku anak sangat dipengaruhi oleh

bagaimana pendidikannya ataupun gesekan

lingkungannya, tanpa terlepas dari faktor

keturunan atau pembawaan semenjak lahir.

Salah satu dari banyak faktor yang

membedakan manusia dan binatang lainnya

adalah jangka waktu perkembangan yang

memerlukan proses panjang sebelum

kematangan dan kemandirian sepenuhnya

dicapai. Kebutuhan terbesar bagi anak

selama perkembangannya adalah rasa aman

yang timbul dari kesadaran bahwa ia

diinginkan dan disayang oleh orang dewasa

sebagai tempatnya bergantung. Mc Ghie

(1996:21).

Sebab itu lingkungan anak yang

mula-mula terbatas sifatnya dan pandangan

dunia serta tempatnya sendiri di dalamnya

akan terbentuk terutama oleh hubungannya

dengan dan dalam keluarga. Lingkungan

yang pertama kali dikenal oleh anak adalah

orang tuanya, dengan begitu yang paling

berperan dan yang paling dekat dengan pola

yang mempengaruhinya termasuk dalam hal

ini perilakunya, adalah orang tua mereka,

Page 72: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

67

walaupun diakui masih banyak yang

mempengaruhi dari faktor-faktor diluar

keluarga khususnya orang tua.

Darajat menyatakan bahwa :‟‟…

bagaimana peranan orang tua dalam

perkembangan diri anak, bahwa orang tua

adalah pembina pribadi utama dan pertama

dalam kehidupan anak. Kepribadian orang

tua, sikap dan cara hidup mereka,

merupakan unsur-unsur pendidikan yang

tidak langsung, yang dengan sendirinya

akan masuk dalam pribadi anak yang

sedang tumbuh.” Darajat (1996:38). Lebih

lanjut disebutkan bahwa orang tua adalah

pusat kehidupan mental anak dan sebagai

penyebab perkenalannya dengan dunia luar,

maka setiap reaksi emosi anak dan

pemikirannya dikemudian hari, terpengaruh

oleh sikap terhadap orang tuanya pada

permulaan hidupnya dulu.

Tidak bisa dibantah, selain pengaruh

orang tua, bahwa terdapat faktor besar lain

yang menjadi designer dalam rangka

konstruksi bangunan pengendalian prilaku

manusia terlebih perilaku anak yang kelak

menjadi referensi dalam menilai dan

berperilaku dalam pola hidupnya. Di satu

pihak selalu dihadapkan pada kenyataan

yang tidak dapat dibantah bahwa tindakan

manusia dibentuk oleh pengaruh sosial

lingkungannya, pada pihak lain terdapat

fakta bahwa individu tidak secara pasif

tunduk dibawah pengaruh-pengaruh ini

dengan cara yang seragam tetapi bereaksi

menurut pola dan kepribadian masing-

masing. Itu semua terjadi karena perbedaan

lingkungan yang menghasilkan

keanekaragaman dalam perbedaan individu

per individu.

Menurut Andrew (1996 : 222).

Meskipun faktor genetik tetap menjadi

bahan rujukan sebuah tingkah dan perilaku

anak, namun tidak bisa menegaskan

pengaruh lingkungan yang melingkupi dan

mempengaruhi perkembangan anak. Karena

manusia mengalami perkembangan dan

pertumbuhan, faktor genetik akan terus

menjadi matang dan mempengaruhi

jalannya proses perkembangan. Namun ini

tidak berkembang dalam keadaan vakum,

dunia yang dihadapi penuh dengan

stimulasi, aksi serta reaksi. Stimulasi

lingkungan semacam itulah yang

mempengaruhi kepribadian, termasuk anak

dan mungkin menentukan batas-batas

tertentu bagi perkembangan selanjutnya.

Untuk melihat sebuah karakter kepribadian

anak dalam mengekspresikan perilakunya

haruslah melihat dampak dari

lingkungannya yang dengan melalui proses

panjang menjadi satu pengalaman pribadi

kemudian kelak akan menjadi rujukan

perjalanan perkembangannya.

Dalam konteks ini dibutuhkan suatu

sarana serta wadah yang akan memproses

keberlangsungan sebuah tata kehidupan

anak, dapat menjamin pertumbuhannya

secara wajar, baik fisik, psikis ataupun

kehidupan dan kesejahteraan sosialnya.

Wadah tersebut yang nantinya akan

mendorong dan menjadi fasilitator

sekaligus penggerak keberlangsungan

kesejahteraan anak. Piranti pokok dan

mendasar adalah penyediaan pendidikan

murah dan terjangkau bagi semua kalangan

serta ketetapan yuridis formil yang tertuang

dalam aturan perundang-undangan. Dengan

pendidikan anak bangsa akan menjadi

tercerahkan dan segala hal, piranti hukum

akan menjadi pijakan absah/legal formal

guna menjamin kelangsungan dan

kesejahteraannya terlebih menyangkut hak-

hak anak.

Pada tanggal 20 Nopember 1989,

Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa

(PBB) telah menyetujui Konvensi Hak-hak

Anak. Konsideran konvensi itu memuat

pokok-pokok pikiran, pengakuan atas

martabat yang melekat dan hak-hak yang

sama dan tidak dapat dicabut yang dimiliki

seluruh anggota keluarga manusia. Ini

menjadi landasan dari kemerdekaan,

perdamaian di seluruh dunia. Deklarasi Hak

Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-bangsa

menyatakan, bahwa masa kanak-kanak

berhak memperoleh pemeliharaan dan

bantuan keluarga sebagai inti dari

masyarakat dan sebagai lingkungan alami

bagi pertumbuhan dan kesejahteraan

seluruh anggotanya, terlebih anak-anak

hendaknya diberi perlindungan dan bantuan

yang diperlukan. Sehingga mampu

mengemban tanggung jawab dalam

masyarakat.

Page 73: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

68

Tahun 1924 dicetuskan Deklarasi

Jenewa tentang Hak-hak Asasi Anak yang

menyatakan perlunya perluasan pelayanan

khusus bagi anak. Ini kemudian disetujui

oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1989

dan diakui dalam deklarasi Hak-hak Asasi

Manusia se-dunia. Dengan begitu semua

negara anggota PBB diharuskan

meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-

Hak Anak.

Sebagai anggota PBB Indonesia telah

meratifikasi Konvensi PBB tanggal 20

Nopember 1989 tentang Hak-hak Anak

dengan Keputusan Presiden No. 36 tahun

1990, tetapi mulai berlaku mulai tanggal 5

Oktober 1990. Kusmadi (2001). Dalam

Konvensi Hak Anak (KHA) PBB 20

Nopember 1989 terkandung prinsip-prinsip

sebagai berikut: (1) non diskriminatif.

Adalah hak yang diakui di dalam Konvensi

Hak Anak (KHA) dengan tidak membeda-

bedakan suku, agama, ras, keyakinan, etnik,

latar belakang budaya pendidikan dan lain-

lain; (2) kepentingan terbaik bagi anak.

Semua tindakan dan langkah yang diambil

mengenai anak harus berorientasi kepada

kepentingan anak, bukan bagi pembuat

policy atau kelompok tertentu; (3)

kelangsungan hidup dan perkembangan

anak. Adalah hak hidup yang melekat pada

diri anak diakui serta dijamin tanpa kecuali;

(d) penghargaan terhadap pendapat anak.

Setiap anak mempunyai hak untuk

berpendapat atas sesuatu masalah yang

menimpa dirinya, termasuk dalam

menentukan arah pendidikan, atau arah

keluarga.

Namun begitu, diakui bahwa hingga

kini di Indonesia belum terdapat unifikasi

tentang hukum anak,a kan tetapi masih

terkodivikasi dalam beberapa perundang-

undnagan yang berlaku saat ini, seperti

Hukum Perburuhan, Kitab Undang-undang

Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang

Peradilan Anak (UU No. 3 tahun 1997),

Undang-Undang Pemasyarakatan (UU. No.

12 tahun 1995), Undang-Undang

Kesejahteraan Anak (UU No. 4 tahun

1979), dan lain sebagainya (Darwin Prist,

1997;1). Kenyataan ini (dengan belum

terunifikasinya Hukum Anak) di Indonesia

membuktikan bahwa persoalan

perlindungan anak masih belum tergarap

secara rapi dan sistemik.

Karena untuk menentukan

perlindungan hukum atas hak anak masih

tersebar dalam bentuk-bentuk Undang-

undang, Keputusan Presiden, Keputusan

Menteri, misalnya tentang buruh anak

diatur sendiri dalam Undang-Undang

Perburuhan (UU No. 12 tahun 1948)

dengan pemahaman yang berbeda pula

dalam melihat serta memposisikan anak

dalam sebuah permasalahan tertentu.

Misalnya masih belum terdefinisikannya

tentang kriteria umur anak. Hal ini

menyebabkan sulitnya memahami hukum

anak itu sendiri.

Penanganan Anak Jalanan

Kehidupan anak jalanan adalah

sebuah dinamika.Dikatakan dinamika,

karena sebuah keadaan dan kejadian sosial

manusia bersangkut dengan suatu

perubahan alam termasuk tingkah dan pola

perilakunya. Anak jalanan sebenarnya

sebuah fenonema yang sudah lama

berlangsung, namun karena semakin

bertambahnya jumlah anak yang menekuni

dunia jalanan menjadi fenomena tersendiri

bagi dinamika kehidupan perkotaan.

Kehidupan perkotaan, sarat dengan

kelompok anak yang perlu mendapatkan

perlindungan khusus yaitu: termasuk anak

jalanan, buruh anak, eksploitasi seksual

komersial anak, perlaku salah, anak yang

berkonflik dengan hukum, anak dalam

situasi darurat, ketidak jelasan status anak

karena tidak memiliki akte kelahiran,

praktek-praktek sosial kultural yang

merugikan anak dan anak cacat.

Fenomena Anak Jalanan

Menurut Karnaji (1999: 31-41).

Dikatakan fenomena karena sebuah

kejadian sosial manusia yang bersangkut

dengan suatu perubahan alam termasuk

tingkah dan pola perilakunya. Anak jalanan

sebenarnya sebuah fenomena yang sudah

lama berlangsung, namun karena semakin

bertambahnya jumlah anak yang menekuni

dunia jalanan menjadi fenomena tersendiri

bagi dunia anak-anak. Anak jalanan sendiri

adalah anak-anak atau yang akan menginjak

Page 74: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

69

dewasa yang sehariannya hidup di jalanan,

dan kegiatan tersebut sudah tidak dianggap

wajar, karena selain membahayakan

keselamatannya, secara profesi hal itu tidak

layak dilakukan oleh anak-anak. Kendati

anak jalanan memiliki karakteristik yang

heterogen tetapi setidaknya dapat

mengklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: (1)

anak jalanan putus hubungan sementara

dengan orang tua. Karakteristik yang

pertama ini dirincikan anak jalanan masih

memiliki orang tua. Namun situasi dalam

keluarga dirasa tidak menyenangkan bagi

anak untuk tinggal sehingga anak

meninggalkan sementara keluarganya,

tetapi masih menjalin interaksi kendati amat

jarang. Persoalan anak meninggalkan

keluarga dipacu oleh beberapa persoalan

misalnya: (a) cara orang tua melakukan

sosialisasi/mendidik dengan “tangan besi”.

Semua kehendak atau kemauan orang tua

harus dituruti, orang tua cenderung

mengatur-atur dan memposisikan anak pada

tempat yang tidak tahu apa-apa; (b) kedua

orang tuanya sering terlibat cekcok,

umumnya juga menyebabkan anak tidak

kerasan di rumah; (c) perceraian orang tua,

setelah orang tua cerai, anak kemudian

dihadapkan pada pilihan suka atau tidak

suka ikut ayah atau ikut ibunya; (2) anak

jalanan yang masih tinggal dengan orang

tuanya. Baik orang tuanya masih lengkap-

bapak dan ibunya masih hidup atau tinggal

ibu/bapak saja. Anak jalanan yang berasal

dari latar belakang seperti ini biasanya

didorong oleh faktor ekonomis. Karena

ekonomi orang tuanya serba pas-pasan,

umumnya mendorong anak untuk mencari

alternatif mencari penghasilan sendiri.

Setidaknya tiga hal yang menjadi penyebab

anak jalanan yang bermula dari faktor

ekonomis keluarga, yaitu: (a) motivasi

muncul dari anak itu sendiri untuk

membantu ekonomi keluarga; (b) ingin

memenuhi kebutuhannya sendiri; (c)

dipaksa orang tua untuk mencari

penghasilan; (3) hidup sebatang kara. Anak

jalanan yang termasuk kategori ini biasanya

tidak lagi menjalin hubungan dengan orang

tuanya. Anak jalanan seperti ini biasanya

sudah tidak lagi memiliki orang tua, baik

secara fisik maupun non fisik. Keberadaan

orang tua secara fisik diartikan orang

tuanya masih hidup tetapi tidak ada

hubungan lagi dengan anaknya. Orang tua

tidak lagi memperhatikan nasib anaknya

dan tidak mau tahu lagi. Anak-anak yang

dari latar belakang semacam ini biasanya,

ikut orang lain, saudara, tinggal di rumah

singgah, sesama teman atau bahkan tinggal

tak tentu.

Fenomena ini menjadi menarik

setelah bangsa ini dilanda krisis ekonomi,

tingkat pendapatan masyarakat semakin

menurun berakibat pada sulitnya

menyediakan biaya bagi kebutuhan hidup,

disisi lain harga kebutuhan sehari-hari

semakin meningkat tanpa ada kesempatan

turun. Kondisi ini menyebabkan sebagian

masyarakat mencari celah untuk menutupi

biaya hidupnya, termasuk anak-anak

mereka yang membutuhkan tambahan uang.

Faktor Penyebab Adanya Anak Jalanan

Menurut Dinas Sosial Propinsi dalam

buku Pedoman Penanganan Anak Jalanan

(2000 : 7) bahwa anak jalanan adalah anak-

anak yang tersisih marjinal, dan teraaikan

dari perlakuan kasih sayang, karena

kebanyakan pada usia dini mereka harus

berhadapan dengan lingkungan yang keras

dan tidak bersahabat yang kesehariannya

hidup di jalanan, dan kegiatan tersebut

sudah tidak dianggap wajar, karena selain

membahayakan keselamatannya, secara

profesi hal itu tidak layak dilakukan oleh

anak-anak. Keberadaan sebagian anak di

jalanan yang lebih dikenal sebagai anak

jalanan (anak jalanan) terdapat beberapa

faktor penyebab, antara lain: (1) kehidupan

orang tua yang miskin, sehingga : rumah

tidak layak huni yang menyebabkan anak

tidak betah tinggal di rumah, tidak mampu

memenuhi kebutuhan anak di rumah, tidak

mampu menyekolahkan anak, anak terpaksa

dengan kesadaran dan kemauan baik untuk

membantu menambah penghasilan

keluarganya atau untuk meneruskan

sekolahnya, dan anak dipaksa atau

dimotivasi oleh orang tuanya untuk

membantu menambah penghasilan keluarga

yang berada pada kondisi kekurangan; (2)

masalah psiko sosial di lingkungan keluarga

(masalah hububgan dan kejiwaan antar

Page 75: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

70

anggota keluarga) dan sekaligus juga

kemiskinan, yang memaksa anak untuk

meninggalkan rumahnya dan berada di

jalanan: pertikaian terus menerus antara ibu

dan bapak, anak menjadi korban kekerasan,

anak dipaksa mencari nafkah di jalanan

(dieksploitasi), adanya gangguan pribadi

dalam diri anak yang menimbulkan ketidak

stabilan kejiwaannya, dan perpindahan dari

desa-kota dalam mencari kerja.

Kebanyakan di antara mereka

berjualan asongan, jual koran,

menyediakan/menyediakan jasa (menyemir

sepatu, mengelap mobil, ngamen, ojeg

payung), meminta-minta dan sebagainya

dimana aktivitas tersebut dilakukan di

jalanan tanpa kenal waktu. Karena itu

mereka sering disebut anak jalanan yang

biasa disingkat dengan anak jalanan.

Kebijakan Penanganan Anak Jalanan

Mengingat semakin banyak dan

maraknya anak jalanan dan seakan menjadi

trend anak-anak, hal ini haruslah menjadi

perhatian pemerintah dan masyarakat. Ini

penting karena menyangkut

keberlangsungan hari depan dan

kesejahteraan mereka. Dalam kebijakan

penanganan anak jalanan ada beberapa hal

yang perlu dipertimbangkan, yaitu:

Pertama, visi pembangunan kesejahteraan

sosial, yaitu pembangunan kesejahteraan

yang menasional, serta menjadi mental bagi

seluruh bangsa guna memberikan perhatian

yang lebih serius terhadap generasi bangsa

yang oleh karena kondisi tertentu tidak

mendapat kesejahteraan layaknya orang

lain. Kedua, dalam penanganannya

diharapkan terjadi sinergi sistemik antara

pemerintah dan masyarakat. Hal ini perlu,

karena selain secara yuridis menjadi

tanggung jawab pemerintah, namun peran

serta masyarakat diperlukan guna lebih

meningkatkan partisipasi masyarakat

khususnya dalam penanganan anak jalanan.

Ketiga, penajaman kebijakan terhadap

program yang diberikan serta berkelanjutan,

hal ini untuk menghindari atau paling tidak

mengeliminir kebijakan program yang tidak

tepat karena kurang memahami bagaimana

permasalahan sebenarnya, telebih lagi

kebijakan program JPS untuk anak jalanan

yang tidak tepat sasaran, selain itu program

kegiatan bagi anak jalanan haruslah

berkesinambungan dengan memberikan

keterampilan tambahan bagi anak jalanan

dan pendidikan khusus. Potret, Buletin

(2001 : Edisi Pertama).

Pendidikan Alternatif Bagi Anak

Jalanan

Data pendidikan anak menunjukkan,

Sekitar 9,5 juta anak berumur 7-15 tahun

tidak dapat meneruskan pendidikan (drop-

out) dan pada tahun 1997 Depdikbud

mencatat bahwa anak usia 7-15 tahun

berkisar 38,8 juta sedang menempuh

pendidikan SD dan SLTP sebanyak 34,4

juta. Ini berarti masih ada sekitar 4,5 juta

anak tidak menikmati dunia pendidikan dan

mayoritas mereka berada pada pendidikan

selepas Sekolah Dasar. Krisis ekonomi

yang sedang melanda Indonesia

memberikan kontribusi yang buruk pada

dunia pendidikan Indonesia, termasuk

pendidikan dasar. Lima belas bulan pasca

krisis melanda 35% anak-anak dan remaja

tidak meneruskan pendidikannya.

Kemiskinan dalam keluarga, mahalnya

biaya pendidikan, adalah beberapa kendala

yang menyebabkan anak jalanan tidak dapat

menikmati pendidikan. (Progressia Buletin,

tahun 2000 : Edisi V).

Kalau melihat kondisi anak jalanan

diatas,maka sudah menjadi kewajiban

pemerintah untuk mengentas mereka dari

kemiskinan yang membelenggunya supaya

mereka bisa menggunakan hak-haknya

untuk sekolah. Oleh karena itu dengan telah

diratifikasinya Konvensi Hak Anak oleh

Pemerintah Indonesia, maka dengan begitu

Indonesia terikat secara yuridis pada

ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya.

Itu artinya pemerintah harus dapat

menjamin bahwa anak-anak jalanan dapat

menikmati hak-hak mereka, termasuk

memperoleh akses dan pelayanan

pendidikan.

Strategi Penanganan Anak Jalanan

Dalam pedoman penanganan anak

jalanan dari Dinas Sosial Provinsi Jawa

Timur (2001) bahwa secara umum model

penanganan yang banyak digunakan untuk

Page 76: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

71

menangani anak jalanan adalah sebagai

berikut: Pertama, penanganan yang

berbasiskan anak jalanan (street based

strategy), yakni program dan kegiatan yang

dirancang untuk menjangkau dan melayani

anak di lingkungan mereka sendiri yaitu di

jalanan; a) tujuan strategi penanganan

berbasis anak jalanan adalah

mengidentifikasi kebutuhan anak jalanan,

memenuhi kebutuhan anak jalanan akan

stabilitas emosional dan keamanan,

menyediakan fasilitas dasar di jalan antara

lain pendidikan dan kesempatan mencari

uang yang halal, melengkapi anak dengan

bakat dan keterampilan yang dibutuhkan

untuk bertahan secara fisik di jalan,

mengatur anak untuk memanfaatkan

program dan pelayanan yang ada secara

optimal, menghubungi anak jalanan dengan

sumber daya yang ada, mengimbangi

unsur-unsur yang merugikan anak di jalan,

Contoh program yang diterapkan misalnya,

menyediakan makanan, pakaian dan lain

sebagainya. Kedua, hal-hal yang

dibutuhkan dalam strategi ini adalah visi,

misi dan saran yang jelas dan nyata antara

semua pihak, kelompok-kelompok yang

kuat, motivasi dari badan/agen/instansi

yang terlibat, bantuan hukum dan politik,

bantuan masyarakat, faktor penghambat

pelaksanaan strategi. Ketiga, harus diakui

bahwa anak-anak di jalan yang sedang

berjuang mencari nafkah, untuk membina

kehidupan mereka kadang-kadang susah

meluangkan waktu berhubungan dengan

pekerja sosial dijalanan. Adapun yang

sedang ditolong/disalurkan melalui

intervensi program mempunyai akibat

terputus dengan “kawan” mereka yang

sudah dikenal. Keempat, kelebihan strategi

strategi ini luwes dengan begitu dapat

mendorong anak jalanan berpartisipasi

dengan suka rela dalam berbagai kegiatan,

tidak mengganggu kelangsungan dari

jaringan bantuan yang sudah ada, baik dari

keluarga, sesama anak ataupun dari

masyarakat, lebih banyak anak jalanan yang

terjangkau program karena kegiatan ini

berada di tengah-tengah anak jalanan, dan

memberikan informasi pada anak-anak

jalanan tentang pelayanan lain yang bisa

didapatkan baik dari pemerintah, lembaga

non pemerintah (ornop). Kelima,

keberlanjutan program. Efektifitas strategi

adalah mendorong masyarakat agar tetap

mendukung program anak jalanan. Langkah

yang harus ditempuh adalah

pembelaan/penentuan hak (advocay) akan

perundang-undangan yang responsif,

keterlibatan dalam bentuk partisipasi dari

orang tua dan tokoh masyarakat, pengakuan

masyarakat terhadap program dan

pelayanan yang terarah pada anak jalanan,

pembentukan pusat data dan informasi

sebagai tempat bagi masyarakat atau pihak

lain guna menginginkan informasi yang

dibutuhkan.

Penanganan yang berbasiskan panti

(center based strategy)

Yaitu penanganan anak-anak jalanan

yang dilakukan oleh lembaga dengan

memusatkan usaha mereka pada

peningkatan kesejahteraan anak sebagai

pengganti keluarga. Strategi ini juga disebut

dengan tempat berlindung sementara,

misalnya open house atau rumah terbuka

yang menyediakan fasilitas asrama bagi

anak terlantar dan anak-anak jalanan. (a)

tujuan strategi yang berbasiskan panti.

Penanganan yang berpusat pada panti

mempunyai tujuan adalah memberi

kesempatan bagi perkembangan anak sesuai

pribadi anak masing-masing, menyediakan

pelayanan dan program yang mampu

memenuhi kebutuhan pokok anak-anak

jalanan, memberikan kesempatan pada

anak-anak jalanan mendapatkan

kebahagiaan secara psiko-sosial,

mengintegrasikan kembali anak dalam

keluarganya dan masyarakat, bertindak

sebagai penyeleksi dan penyalur dimana

anak-anak dapat diwawancarai dan

disalurkan kepada badan yang sesuai

dengan kebutuhan anak; (b) faktor

penunjang. Penjelasan nyata dan pengertian

mengenai visi, misi dan sasaran dari

lembaga (yang menyelenggarakan panti

untuk anak-anak jalanan), binaan serta

kerjasama dari anak, masyarakat, keluarga

anak-anak jalanan, pemerintah dan

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), sifat

positif dan ketekunan dari lembaga,

pengadaan dan penerapan aturan-aturan,

Page 77: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

72

dukungan media massa, banyaknya relawan

yang berdedikasi tinggi, program dan

pelayanan yang relevan dan afektif dari

berbagai lembaga. (c) faktor penghambat.

Pelanggaran oleh lembaga dan kurangnya

komitmen guna melakukan upaya

penanganan bagi anak-anak jalanan,

keadaan politik sering berubah, prioritas

rendah dalam anggaran belanja pemerintah

baik APBN ataupun APBD, kurangnya

jaringan koordinasi antara pemerintah dan

LSM serta struktur-struktur lain.

ketidakjelasan visi, misi, sasaran dan tujuan

panti; (d) penanganan berbasiskan

masyarakat (community based strategy).

Penanganan yang berbasiskan pada

masyarakat adalah sebuah penanganan yang

bertumpu pada sumber-sumber internal dan

eksternal masyarakat dalam hal perencanaa,

monitoring ataupun evalusi dengan cara

pendekatan yang menggerakkan organisasi

masyarakat mencakup partisipasi secara

luas dan penuh. Dengan kata lain strategi

ini lebih bersifat prefentif, yakni dengan

menggunakan pendekatan yang berbasiskan

pada masyarakat sendiri, dengan sebuah

tanggung jawab bersama, yang dimulai dari

komunitas warga masyarakat yang paling

kecil yakni keluarga. Pendekatan ini

tergantung bagaimana political will atau

kemauan masyarakat dalam pengelolaan

serta peran keluarga dalam mendidik anak-

anak mereka.Tujuan penanganan yang

berbasiskan pada masyarakat adalah

mendekati anak-anak jalanan dan

keluarganya, menghindarkan anak-anak

menjadi anak jalanan, memperkuat

masyarakat, yakni organisasi masyarakat

yang melindungi anak-anak dengan cara

yang berkesinambungan, melengkapi

pelayanan pemerintah dan LSM, realisasi

tanggung jawab sosial, membuat

kesimpulan tentang masalah keluarga dan

masyarakat, mengembangkan kepercayaan

masyarakat, meningkatkan kemampuan

politik, mencegah eksploitasi masyarakat

terhadap anak jalanan. Faktor penunjang.

(1) kemauan politik pemerintah guna

memberi perhatian yang lebih serius dalam

menangani fenomena anak jalanan; (2)

kematangan politik masyarakat, terlebih

partisipasi aktif masyarakat; (3) penyediaan

sumber-sumber baik sumber daya manusia

ataupun sumber-sumber lain yang menjadi

modal dalam penanganan anak jalanan; (4)

nilai-nilai budaya untuk mempermudah

pengorganisasian masyarakat; (5)

pengenalan dan pengakuan terhadap

masalah; (6) jaringan berbagai kelompok

dalam masyarakat bagi terlaksananya

program penanganan anak jalanan

berbasiskan masyarakat; (7) dukungan dari

keluarga anak-anak jalanan; (8)

kepercayaan masyarakat terhadap program-

program masyarakat. Faktor penghambat.

nilai budaya dan apatisme masyarakat,

struktur sosial politik dalam masyarakat,

kompleksitas program,

Pendekatan Pekerjaan Sosial Dalam

Penanganan Anak Jalanan

Dalam Pedoman Penanganan Anak

Jalanan Dari Dinas Sosial Propinsi Jawa

Timur disebutkan : a) tujuan pendekatan

pekerjaan sosial. Tujuan pendekatan

pekerjaan sosial dalam penanganan anak

jalanan, beraneka ragam karena disesuaikan

dengan: kondisi anak jalanan, kemampuan

pekerjaan sosial, serta ketersediaan fasilitas.

Beberapa tujuan yang dimaksud adalah: 1)

kemampuan anak untuk merespons secara

tepat berbagai situasi di jalan yang

mengancam dirinya; 2) kemampuan anak

untuk memperoleh penghasilan yang layak

dari usaha yang layak pula; 3) kemampuan

anak untuk melanjutkan sekolah dengan

baik bagi yang masih bersekolah dan

tinggal bersama keluarganya; 4)

kemampuan anak untuk berusaha secara

mandiri dengan baik bagi yang tidak

mungkin lagi sekolah atau tidak tinggal

bersama keluarganya; 5) kemampuan

keluarga dibidang sosial-ekonomis-psikis

untuk hidup dengan baik bersama anak-

anaknya; b) sistem dasar pekerjaan sosial.

Sistem dasar dalam pendekatan pekerjaan

sosial guna penanganan anak jalanan adalah

semua orang atau semua pihak

(lembaga/organisasi) yang terlibat atau

dilibatkan dalam semua aspek dan proses

penanganan anak jalanan. Sistem dasar

pekerjaan sosial meliputi: 1) sistem

pelaksana, yakni sebuah lembaga atau

organisasi dengan segala struktur

Page 78: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

73

organisasinya; 2) sistem klien, yakni semua

anak jalanan (secara individual mapan

kelompok); 3) sistem sasaran: yakni orang

tua anak jalanan, guru (bagi yang sekolah),

LSM, pemerintah dan lain-lain yang

menangani anak jalanan; 4) sistem

kegiatan, yakni misalkan dokter yang

menangani kesehatannya, polisi sebagai

pengatur jalan, pemuka masyarakat,

pengusaha, media massa dan lain-lain yang

mendukung suksesnya penanganan anak

jalanan; c) model pendekatan pekerjaan

sosial. Secara universal, keberhasilan

penanganan anak jalanan tergantung dari

bagaimana pendekatan yang diambil dalam

pekerjaan sosial. Kenyataan ini disebabkan

kemampuan: 1) Memadukan kehidupan

anak jalanan dengan kehidupan lingkungan

sosialnya (pendekatan dualistis), terutama

keluarga dan sekolah; 2) memadukan

berbagai fungsi pelayanan sesuai dengan

kebutuhan anak (basis jalanan, basis

lembaga dan basis masyarakat termasuk

keluarga); 3) memadukan berbagai fungsi

pelayanan sesuai dengan kebutuhan anak

dan keluarga (pencegahan, peredaman

dampak, pemberdayaan, perlindungan,

penyembuhan, serta rehabilitasi); 4)

Menjangkau variabel-variabel anak dan

lingkungan sosialnya yang dibutuhkan guna

penanganan anak jalanan dan lingkungan

sosialnya (persepsi, kebutuhan, nilai,

kemampuan, harapan, pengalaman,

perasaan, dan masalah).

Beberapa pendekatan pekerjaan sosial

yang layak diterapkan dalam penanganan

anak jalanan adalah: 1) pendekatan “pulau

psikologis”, yakni menghindarkan adanya

kekhawatiran dan ketakutan dari semua

pihak yang berhubungan dengan pekerjaan

sosial (misalnya: anak jalanan sendiri,

orang tua anak jalanan, anggota keluarga

yang lain, guru dan lain sebagainya); 2)

Pendekatan “investasi emosional”, yaitu

pentingnya sikap dan perilaku pekerja

sosial sebagai faktor penentu utama

keberhasilan upaya penanganan anak

jalanan; 3) pendekatan “disini, sekarang,

dan masa yang akan datang”, yaitu

pentingnya upaya perencanaan dan

penanganan berdasarkan kondisi anak

jalanan dan lingkungan sosialnya pada saat

ini; 4) pendekatan “keanekaragaman

pelayan”, yaitu penyediaan berbagai bentuk

pelayanan sesuai dengan persepsi,

kebutuhan, nilai, kemampuan, harapan,

pengalaman, perasaan dan masalah anak

dan keluarganya; 5) pendekatan

“destigmatisasi”, yaitu menghindarkan

masuknya penilaian yang tidak baik

(stigma) tentang anak jalanan dalam

penanganannya. 6) pendekatan

“desentisasi”, yakni menghindarkan

berbagai bentuk kepekaan anak jalanan

dalam proses penanganannya; 7)

pendekatan “deisolasi”, yaitu

menghindarkan pengisolasian anak jalanan

dari lingkungan sosialnya, misalnya

keluarga dan teman-temannya di

lingkungan tetangganya, di sekolah dan lain

sebagainya.

Kebijakan Kementerian sosial dalam

mengatasi anak jalanan

Permasalahan-permasalahan yang

dihadapi anak jalanan seperti eksploitasi

dan kekerasan, baik kekerasan fisik, psikis,

dan seksual, masih menjadi problematika di

negara ini. Permasalahan anak jalanan yang

masih marak terjadi tersebut adalah

tanggung jawab kita sebagai orang Islam.

Dimana di dalam Islam diajarkan untuk

membantu dan menyantuni anak yatim atau

fakir miskin. Permasalahan anak-anak

jalanan tersebut juga merupakan tanggung

jawab pemerintah sebagai ulul amri di

negara ini. Dalam Undang-undang Dasar

juga telah dijelaskan bahwa fakir miskin

dan anak-anak terlantar, termasuk anak

jalanan merupakan tanggung jawab

pemerintah untuk memeliharanya. Dalam

melakukan tanggung jawabnya tersebut,

ada berbagai hal yang telah dilakukan

pemerintah khususnya Kementrian Sosial,

yang merupakan departemen yang tugasnya

mengurusi dan meneyelesaikan masalah-

masalah tersebut.

Kebijakan-kebijakan yang telah

dilakukan oleh Kementrian Sosial untuk

mengatasi masalah tersebut antara lain

adalah melakukan asesment yang

bekerjasama dengan berbagai lembaga

masyarakat, Dinas Sosial dan kepolisian

yang bertujuan untuk mengurangi populasi

Page 79: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

74

anak jalanan. Asesment yang dilakukan

berupa pendataan anak jalanan,

mengindentifikasi korban kekerasanmelalui

teknik wawancara secara persuasif, menarik

anak jalanan yang terspaksa bekerja dijalan

dengan tetap memperhatikan hak anak-

anak, melakukan penegakan hukum

terhadap anak jalanan, melakukan program

pemberdayaan keluarga secara efektif untuk

mengurangi kemiskinan. Assesmement ini

dilakukan untuk memperoleh data identitas

populasi anak jalanan di wilayah DKI

Jakarta dan mengetahui secara rinci

masalah, penyebab, akibat dan kebutuhan

anak jalanan. Pelaksanaan kebijakan

tersebut lebih mengedepankan langkah

persuasif terhadap anak jalanan agar pada

saat pendataan mereka tidak mengalami

trauma atau ketakutan.

Kebijakan lain yang telah dilakukan

oleh Kementrian Sosial adalah menyiapkan

anggaran Rp 184 miliar bagi penanganan

140.000 anak jalanan pada tahun 2010.

Anggaran tersebut digunakan untuk

membangun rumah-rumah panti sosial dan

panti anak dengan melakukan koordinasi

dengan pemerintah daerah serta lembaga

sosial masyarakat di bidang anak jalanan.

Selain itu, pemerintah juga telah

menyediakan lebih dari 400 rumah singgah

yang berguna untuk menampung anak-anak

jalanan di seluruh Indonesia. Langkah

strategis lain yang ditempuh Kementrian

Sosial dalam melakukan perlindungan

terhadap anak jalanan adalah dengan

melakukan berbagai kerjasama dengan

institusi-institusi sosial lain seperti Save

The Children.

Kerjasama tersebut meliputi

pemulangan, pemulihan dan reintegrasi

korban eksploitasi anak. Kesepakatan lain

adalah antara Kementrian Sosial dan

Kepolisian Republik Indonesia tentang

perlindungan dan rehabilitasi anak yang

dihadapkan dengan hokum. Kementrian

Sosial juga menyelenggarakan berbagai

rapat koordinasi nasional tentang

perlindungan anak jalanan. Rapat

koordinasi perlindungan anak jalanan

dihadiri berbagai perwakilan pemerintah

dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

dan lembaga internasional dibidang anak

diantaranya Kementerian Pendidikan

Nasional, Kementerian Kesehatan RI,

Kementerian Pemberdayaan Perempuan

dan Perlindungan Anak, Kementerian

Agama RI, Kementerian Tenaga Kerja dan

Transmigrasi, Save The Children, UNICEF,

ILO, KPAI, Komnas PA, Komnas HAM,

Kepolisian dan Dinas Sosial di masing-

masing daerah di seluruh Indonesia.

Dengan adanya kebijakan-kebijakan

tersebut, pemerintah berharap pada tahun

2011 nanti, Indonesia bisa bebas anak

jalanan.

Meskipun pemerintah telah

melakukan berbagai kebijakan, tantangan

dan penderitaan yang dialami anak-anak

jalanan masih belum berakhir. Masalah

eksploitasi anak jalanan bukan merupakan

masalah internal dalam keluarga yang tidak

boleh diikutcampuri oleh masyarakat dan

pemerintah. Semua komponen negara yang

terdiri dari pemerintah, masyarakat, dan

LSM juga harus turut berperan serta dalam

menyelesaikan masalahan eksploitasi anak

jalanan. Upaya penanganan masalah harus

secara profesional, terorganisir, dan

berkesinambungan. Penanganan yang

dilakukan harus menggunakan metode yang

tepat, misalnya dengan cara persuasif,

manusiawi, serta memahami karakteristik

mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Amrullah, Mohammad, Aliansi Masyarakat

Miskin Kota Malang, Rabu 10

Februari 2010, PKS Ajukan

Raperda Anak Jalanan,

http://www.malang-

post.com/index.php?.option=com_c

ontent&view=article&id=7069%3ap

ks-ajukanrapenda-anjal&itemid=69

Anak Jalanan,

http://octharina.blogspot.com/2010/0

5/kebijakan-kebijakan-departemen-

sosial.html

Anderson, J. E. (1979) Public Policy

Making. Holt, Rinehart and

Winston, New York.

Ati, Nurul, Umi, (2007), Dinamika Anak

Jalanan dan Kehidupan Perkotaan,

hasil penelitian program penelitian

Dosen Muda Dirjen Dikti

Page 80: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

75

Bakri, Masykuri, Zainal, Abidin, Agus,

Model Pemerintah dan Masyarakat

Dalam Memberdayakan Anak

Jalanan, Hasil Penelitian, 2009.

Basuki Heru, Pemberdayaan Anak Jalanan

Oleh Masyarakat, Hasil Penelitian

Pada Rumah Singgah Flamboyan Di

Kota Malang, 2010

Darajat, Zakiah. 1996. Ilmu Jiwa Agama.

Cet. 15. PT. Bulan Bintang. Jakarta

Dye, Thomas .R. (1981) Understanding

Public Policy. Englewood Eliff,

Practice Hall, New Jersey

Easton, D. (1953) The Political System.

Knop, New Jersey.

Edward, George dan Ira Sharkansky.

(1979). The Policy Predicement.,

W.H. Preeman, San Fransisco.

Fikri, Ahmad, 2010, Program Bebas Anak

Jalanan Dimulai di Jakarta,

http://memobisnis.tempointeraktif.co

m/hg/hukum/2010/07/27/brk,201007

27-266760,id.html

Gunarsa, Singgih D. dan Singgih, Y. 1995.

Psikologi Perkembangan Anak

Jalanan dan remaja. Cet 7. PT.

BPK Gunung Mulia. Jakarta

Hariadi, Sri Sanituti. 1999. Pekerja Anak

Kekerasan Anak-Anak. Karnaji

…(et.al). Lembaga Perlindungan

Anak. Surabaya

Inokofu, 2008. Profil Kota Malang,

http://profilkotamalang.blogspot.co

m/

Irmayani. Rima. 2000. Pendidikan

Alternatif Usaha Pemberdayaan

Pekerja Anak. Dalam Buletin

Progressia. Ed. 5

Jenkin, I.W. (1984) Policy Analysis.

Oxford, Martin Robertson, Oxford

Kusmadi. 2001. Hak Anak. Makalah Pada

Seminar dan Lokakarya

Penanganan Anak Jalanan

Lasswell, Harold D. (1951) “The Policy

Orientations “. in Daniel Lerner and

Harold Lasswell (Eds), The Policy

Sciences, Stanford University Press.

Mazmanian dan Sabatier. (1983)

Implementation and Public policy.

Illinois: Scolt Foreman and

Company.

McGhie, Andrew. 1996. Psycology as

Applied to Nursing. (terj. Penerapan

Psikologi Dalam Perawatan : Ika

Pattinasarany), Yayasan Medica dan

Penerbit Andi, Yogyakarta.

Nawawi, Imam, Aljawi, Al-Bantani.

Kasyifatuss Saja. Tanpa Tahun

Penerbitan. Darul Fikr. Beirut

Nur Octharina, 2010, Kebijkan-kebijakan

Departemen Sosial dalam

Mengatasi Masalah Anak Jalanan,

http://octharina.blockspot.com/2010/

05/kebijakan-kebijakan-

Departemen-Sosial.html

Prist, Darwin. 1997. Hukum Anak

Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti.

Bandung

Purwanto, Ngalim. 1995. Ilmu Pendidikan

Teoritis dan Praktis. Ed. 2. Cet 9.

PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.

Santoso, Amir. (1988) “Analisa

Kebijaksanaan Publik “. Dalam

Jurnal Ilmu Politik, No. 3, Gramedia

, Jakarta

Siahaan, M.Rondang, 2010, Kampanye

social penanggulangan anak

jalanan: Studi penanganan anak

jalanan oleh Direktorat

kesejahteraan Anak, Departemen

Sosial RI,

http://garuda.dikti.go.id/jurnal/detil/i

d/0:7017/q/

pengarang:SIAHAAN%20/offset/75

/limit/15

Surbakti, Ramlan. (1992) Memahami Ilmu

Politik. Gramedia Widiasasono,

Jakarta.

Stiliman, II, Richard J. (1988) Public

Administration Concepts Cases,

Houghton Muffin Company, Boston

Tauran, 2000. Dilema Ketenaga Kerjaan di

Kota-Kota Besar di Indonesia.

Jurnal Penelitian Sosial, Mei.

TKSK, Ponorogo, 2010, Permasalahan

Anak Jalanan dan Alternatif Model

Pemecahannya Berbasis

Pemberdayaan Keluarga,

http://tkskponorogo.blockspot.com/2

010/03/peta-masalah-anak-jalanan-

dan.html

Page 81: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

76

Wahab Sholicin Abdul (1990 ) Analisis

Kebijaksanaan Ncgara. Rineka

Cipta, Jakarta.

----------. (1991) Analisis Kebijaksanaan

Dan Formulasi ke implementasi

Kebijaksanaan Negara. Bumi

Aksara, Jakarta.

---------. (1997a ) Analisis Kebijaksanaan

Dari Formulasi ke Implementasi

Kebijaksanaan Negara. Edisi

Kedua, Bumi Aksara, Jakarta

---------. (1997a ) Evaluasi kebijakan

Publik. IKIP Malang.

---------. ( 1998a ) Analisis Kebijakan

Publik. Teori dan Aplikasi, FIA

Unibraw Malang.

---------. ( 1998b ) Reformasi Pelayanan

Publik, Menuju Sistem Pelayanan

Yang Responsif Dan Berkualitas,

Universitas Brawijaya, Pasca

Sarjana Malang

Wibawa, Samudra. (1994) Kebijakan

Publik Proses, dan Analisis.,

Intermedia, Jakarta.

Wibawa, Samudra, Yuyun Purbakusumah,

Agus Pramusinto. (1994) Evaluasi

Kebijakan Publik. PT. Grafindo

Persada, Jakarta.

Undang-Undang Keputusan :

Undang-Undang Dasar 1945

Konvensi Hak Anak PBB 20 November

1989

Keppres No. 36 Tahun 1990 tentang

Ratifikasi Konvensi Hak Anak

Undang-Undang Pengadilan Anak

(Undang-Undang No. 3 Tahun

1997)

Hukum Perburuhan (Undang-Undang No.

12 Tahun 1948)

Undang-Undang No. 6 Tahun 1974

Tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Kesejahteraan Sosial

Undang-Undang No. 4 Tahun 1979

Tentang Kesejahteraan Anak

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1988

Tentang Usaha Kesejahteraan Sosial

Bagi Anak Yang Mempunyai

Masalah

Instruksi Presiden No. 2 Tahun 1989

Tentang Pembinaan Kesejahteraan

Anak

Peraturan Walikota Malang Nomor : 57

Tahun 2008 Tentang Uraian Tugas

Fungsi dan Tata Kerja Dinas

Ketenagakerjaan dan Sosial

Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur.

Pedoman Penanganan Anak

Jalanan. 2001

Kompas. 1998. Edisi 30 Oktober. PT.

Harian Kompas Indonesia

Kompas. 2005. Edisi 26 April. PT. Harian

Kompas Indonesia

Malang Post, 2010. PKS Ajukan Raperda

Anak Jalanan, http://www.malang-

post.com/index.php?option=com_co

ntent &view=article&id=7069% 3

pks-ajukan-ranperda-anjal &

temid=69

Potret, Buletin. 2001. Diterbitkan oleh

Yayasan Pendidikan dr. Moh. Saleh

Kota Probolinggo. Ed I.

Progessia, Buletin. 2000. Diterbitkan oleh

JARAK (Jaringan Penanggulangan

Pekerja Anak Indonesia). Ed. V

Warta warga gunadarma, 21010, Fenomena

Pekerja Anak dan Anak Jalanan,

http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2

010/3/fenomena-pekerja-anak-dan

anak jalanan/

Page 82: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

77

PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN, TINGKAT PENDIDIKAN DAN

PENGALAMAN KERJA PIMPINAN TERHADAP KEMAMPUAN

MELAKSANAKAN TUGAS PADA KANTOR DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN

OLAHRAGA DI KABUPATEN WAROPEN

1Frince Ayomi,

2Masykuri Bakri,

3Nurul Umi Ati

1Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Administrasi Publik

2, 3 Dosen Program Studi Magister Ilmu Administrasi

Program Pascasarjana Universitas Islam Malang

Abstrak

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui apakah terdapat

pengaruh yang signifikan secara parsial gaya kepemimpinan terhadap kemampuan

melaksanakan tugas pada kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di Kabupaten

Waropen. (2) Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh yang signifikan secara parsial

tingkat pendidikan terhadap kemampuan melaksanakan tugas pada kantor Dinas Pendidikan

Pemuda dan Olahraga di Kabupaten Waropen. (3) Untuk mengetahui apakah terdapat

pengaruh yang signifikan secara parsial pengalaman kerja pimpinan terhadap kemampuan

melaksanakan tugas pada kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di Kabupaten

Waropen. (4) Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh yang signifikan secara simultan

gaya kepemimpinan, tingkat pendidikan dan pengalaman kerja pimpinan terhadap

kemampuan melaksanakan tugas pada kantor Dinas Pendidikan Pemuda Dan Olahraga Di

Kabupaten Waropen. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif. Lokasi

penelitian dalam penelitian ini yaitu Kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di

Kabupaten Waropen. Untuk itu sebelum memilih teknik analisis statistik yang sesuai untuk

menguji hipotesis, maka asumsi – asumsi yang melandasi penggunaan teknik statistik

tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu. Dengan menggunakan perangkat tes parametrik,

yaitu melalui uji normalitas, uji homogenitas dan uji multikolonieritas. Hasil analisis

korelasi, untuk menguji hipotesis penelitian, diperoleh hasil sebagai berikut (1) Terdapat

pengaruh yang cukup erat antara gaya kepemimpinan pimpinan dengan kemampuan

melaksanakan tugas pimpinan pada Kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di

Kabupaten Waropen. Hal ini dapat dipahami karena gaya kepemimpinan yang telah

ditempuh seseorang berkaitan erat dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya.

Karena itu, kemampuan pimpinan dalam melaksanakan tugas berkaitan erat dengan gaya

kepemimpinan yang dimilikinya. (2) Terdapat pengaruh yang cukup erat antara tingkat

pendidikan terhadap kemampuan melaksanakan tugas. Karena itu, kemampuan pimpinan

dalam melaksanakan tugas berkaitan erat dengan latar belakang pendidikan baik pendidikan

formal maupun nonformal yang pernah dan akan diikutinya. (3) Terdapat pengaruh yang

kuat antara pengalaman kerja pimpinan terhadap kemampuan melaksanakan tugas. Agar

seseorang pimpinan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, memerlukan waktu minimal

tujuh tahun pengalaman kerja. (4) Terdapat pengaruh gaya kepemimpinan, tingkat

pendidikan dan pengalaman kerja pimpinan secara simultan terhadap kemampuan

melaksanakan tugas pada kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di Kabupaten

Waropen.

kata kunci: gaya kepemimpinan, tingkat pendidikan, dan pengalaman kerja

Page 83: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

78

Abstract

The objectives of this study were ( 1 ) To determine whether there is a significant effect

of leadership styles partially on the ability to carry out the office of Education, Youth and

Sports in Waropen . ( 2 ) To determine whether there is a significant effect on the ability level

of education partial duty at the office of Education, Youth and Sports in Waropen . ( 3 ) To

determine whether there is a significant effect of the partial work experience led to the ability

to perform tasks at the office of the Department of Education, Youth and Sports in Waropen .

( 4 ) To determine whether there is a significant effect of leadership styles simultaneously ,

level of education and work experience led to the ability to perform tasks at the office of the

Department of Education Youth and Sports In Waropen. This research uses quantitative

research . Research sites in this study , namely the Office of Education, Youth and Sports in

Waropen . Therefore before selecting the appropriate statistical analysis techniques to test the

hypothesis , the assumptions - assumptions underlying the use of statistical techniques to be

proved first . By using the parametric test , namely through the normality test , homogeneity

test and test multikolonieritas. Results of correlation analysis , to test the hypothesis of the

study, obtained the following results ( 1 ) There is a fairly strong effect between leadership

style leadership with the ability to carry out the task of leadership in the Office of Education,

Youth and Sports in Waropen . This is understandable because of the style of leadership that

has been taken by someone closely associated with the knowledge and skills they have .

Therefore, the ability of the leadership in carrying out the task is closely related to its

leadership style . ( 2 ) There is a fairly strong effect between the level of education the ability

to perform the task . Therefore, the ability of the leadership in implementing the tasks closely

related to the educational background of both formal and non-formal education and will

never follow. ( 3 ) There is a strong influence between work experience led to the ability to

perform the task . So that one leader can do their job properly , requires a minimum of seven

years of work experience . ( 4 ) There is the influence of leadership style , level of education

and work experience led simultaneously to the ability to perform tasks at the office of the

Department of Education, Youth and Sports in Waropen .

keywords : leadership styles , level of education , and work experience

PENDAHULUAN

Sebagai pimpinan dalam satuan

kerja sebuah instansi, pimpinan dituntut

pula memiliki kemampuan dalam

menyusun program, kemampuan dalam

menyusun organisasi/personalia kantor,

kemampuan menggerakkan staf (pegawai)

dan kemampuan mengoptimalkan sumber

daya kantor. Pimpinan juga mengemban

tugas dalam bidang hubungan kantor

dengan masyarakat, dan pembinaan

pegawai. Karenanya, pimpinan harus

menguasai beberapa kemampuan dasar

yang berkaitan erat dengan tugasnya

sebagai pimpinan kerja, terutama dalam hal

pengawasan atau supervisi kepada pegawai.

Dengan demikian pimpinan diharapkan

benar-benar dapat memainkan peranannya

sebagai supervisor pelaksanaan tugas di

kantor yang dipimpinnya.

Dengan supervisi pelaksanaan tugas

yang baik para pegawai diharapkan mampu

berkembang dan mengembangkan potensi

yang dimiliki. Hal ini berarti pimpinan

adalah orang yang paling diharapkan

pegawai untuk membantu memecahkan

permasalahan-permasalahan yang mereka

hadapi.

Agar pimpinan dapat melaksanakan

perannya dengan baik, maka sifat,

pengetahuan dan pengalaman pimpinan

harus dapat digunakan dalam melaksanakan

kepemimpinannya. Pimpinan harus mahir

menggunakan berbaga i cara/tata kinerja

yang didasarkan atas pengetahuan dan

pengalamannya itu.

Dengan demikian ia perlu memiliki

berbagai ketrampilan, khususnya mengenai

supervisi. Pimpinan dituntut harus cepat

dapat memilih dan menggunakan tindakan,

Page 84: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

79

sikap, prosedur kinerja yang sesuai dengan

situasi dan kondisi yang dihadapinya.

Pengetahuan tentang kepemimpinan

bagi seorang pimpinan penting untuk

diketahui, tetapi yang lebih penting lagi

adalah bahwa ia dapat bertindak sebagai

pemimpin. Tindakan/penampilan sebagai

pemimpin itu harus dapat dilaksanakannya

secara cepat dan tepat, serta secara terampil.

Ia harus menguasai bagaimana caranya : (1)

menyusun rencana bersama; (2) mengajak

anggota kelompoknya berpartisipasi; (3)

memberikan bantuan yang diperlukan para

anggotanya; (4) menimbulkan dan

memupuk moral kelompok yang tinggi; (5)

turut serta dengan kelompoknya dalam

menyusun keputusan bersama; (6)

membagi-bagi dan memindahkan

tanggungjawab; (7) mempertinggi

kreativitas anggota-anggota kelompoknya;

dan (8) menghilangkan rasa malu dan

rendah diri pada anggota-anggotanya

supaya mereka berani tampil ke muka.

Abraham Zalesnit (dalam Robbin:

2000:74), menyatakan bahwa tidak semua

pimpinan adalah manajer, sehingga kalau

dibalik apakah semua manajer adalah

pimpinan. Seorang manajer yang diberi

hak-hak tertentu dalam suatu organisasi,

belum tentu dapat menjadi seorang

pimpinan-pimpinan yang efektif. Tetapi

tidak disangsikan lagi bahwa kemampuan

untuk mempengaruhi orang lain yang

didapatkan di luar struktur yang formal

adalah sama atau bahkan lebih penting dari

pengaruh formal sehingga dapat

disimpulkan bahwa seorang pimpinan dapat

muncul secara informal dan dapat juga

ditunjuk secara formal.

Karena itu, untuk menjalankan tugas

sebagai pimpinan yang baik diperlukan

seseorang yang memiliki syarat-syarat

tertentu. Di samping syarat ijazah (yang

merupakan syarat formal), juga pengalaman

kerja dan kepribadian yang baik perlu

diperhatikan.

Syarat-syarat lain kecuali ijazah dan

pengalaman adalah kepribadian dan

kecakapan yang dimilikinya atau yang biasa

disebut gaya kepemimpinan. Seorang

pimpinan hendaknya memiliki kepribadian

yang baik dan sesuai dengan kepemimpinan

yang akan dipegangnya. Karena itu seorang

pimpinan hendaknya memiliki sifat-sifat

jujur, adil dan dapat dipercaya, suka

menolong dan membantu pegawai dalam

menjalankan tugas dan mengatasi kesulitan-

kesulitannya, bersifat sabar dan memiliki

kestabilan emosi, percaya kepada diri

sendiri dan dapat mempercayai pegawai-

pegawainya, bersifat luwes dan ramah,

mempunyai sifat tegas dan konsekuen yang

tidak kaku dan lain sebagainya.

Di samping sifat-sifat kepribadian

seperti di atas, seorang pimpinan

hendaknya memiliki pengetahuan dan

kecakapan yang sesuai dengan spesifikasi

atau jurusan serta bidang-bidang pekerjaan

yang menjadi tanggung jawabnya. Tanpa

memiliki sifat-sifat serta pengetahuan dan

kecakapan seperti diuraikan di atas, sangat

sulit baginya untuk dapat menjalankan

peranan kepemimpinan yang baik dan

diperlukan bagi kemajuan kantornya.

Bertolak dari latar belakang masalah

diatas, maka rumusan masalah yang akan

penulis teliti adalah sebagai berikut (1)

Apakah terdapat pengaruh yang signifikan

secara parsial gaya kepemimpinan terhadap

kemampuan melaksanakan tugas pada

kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan

Olahraga di Kabupaten Waropen? (2)

Apakah terdapat pengaruh yang signifikan

secara parsial tingkat pendidikan terhadap

kemampuan melaksanakan tugas pada

kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan

Olahraga di Kabupaten Waropen? (3)

Apakah terdapat pengaruh yang signifikan

secara parsial pengalaman kerja pimpinan

terhadap kemampuan melaksanakan tugas

pada kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan

Olahraga di Kabupaten Waropen ? (4)

Apakah terdapat pengaruh gaya

kepemimpinan, tingkat pendidikan dan

pengalaman kerja pimpinan secara simultan

terhadap kemampuan melaksanakan tugas

pada kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan

Olahraga di Kabupaten Waropen? Adapun

tujuan dari penelitian ini adalah (1) Untuk

mengetahui apakah terdapat pengaruh yang

signifikan secara parsial gaya

kepemimpinan terhadap kemampuan

melaksanakan tugas pada kantor Dinas

Pendidikan Pemuda dan Olahraga di

Page 85: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

80

222

2 . YYNXXN

YXXYNxyr

Kabupaten Waropen. (2) Untuk mengetahui

apakah terdapat pengaruh yang signifikan

secara parsial tingkat pendidikan terhadap

kemampuan melaksanakan tugas pada

kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan

Olahraga di Kabupaten Waropen. (3) Untuk

mengetahui apakah terdapat pengaruh yang

signifikan secara parsial pengalaman kerja

pimpinan terhadap kemampuan

melaksanakan tugas pada kantor Dinas

Pendidikan Pemuda dan Olahraga di

Kabupaten Waropen. (4) Untuk mengetahui

apakah terdapat pengaruh yang signifikan

secara simultan gaya kepemimpinan,

tingkat pendidikan dan pengalaman kerja

pimpinan terhadap kemampuan

melaksanakan tugas pada kantor Dinas

Pendidikan Pemuda Dan Olahraga Di

Kabupaten Waropen. Penelitian ini dapat

digunakan antara lain (1) Sebagai masukan

bagi pimpinan untuk meningkatkan

kemampuan melaksanakan tugas dalam

mencapai tujuan kantor. (2) Bermanfaat

bagi Kantor Wilayah Dinas Pendidikan

dalam mengembangkan sistem perekrutan

dan seleksi calon pimpinan. (3) Dapat

mendorong pembaca yang lain untuk

mengadakan pendalaman maupun

penelitian yang lebih luas tentang

kemampuan melaksanakan tugas bagi

pimpinan.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan jenis

penelitian kuantitatif. Lokasi penelitian

dalam penelitian ini yaitu Kantor Dinas

Pendidikan Pemuda dan Olahraga di

Kabupaten Waropen. Dalam penelitian ini

yang menjadi populasi adalah kepala dinas

dan pegawai baik pegawai tetap maupun

pegawai tidak tetap pada kantor Dinas

Pendidikan Pemuda dan Olahraga di

Kabupaten Waropen yang berjumlah 39

orang.

Variabel penelitian terbagi menjadi

dua yaitu variabel bebas (X) dan variabel

terikat (Y). yang termasuk dalam variabel

bebas pada penelitian ini Gaya

kepemimpinan (X1) Tingkat pendidikan

(X2) dan Pengalaman kerja Pimpinan (X3).

Sedangkan yang termasuk dalam variabel

terikat pada penelitian ini adalah

kemampuan melaksanakan tugas (Y).

Dalam suatu penelitian memerlukan

data yang berupa data primer dan data

sekunder. Dalam penelitian ini, data primer

diperoleh dari responden, yaitu kepala

kantor dan pegawai yang ada pada kantor

Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di

Kabupaten Waropen, sedang data sekunder

diperoleh dari bagian Personalia pada

kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan

Olahraga di Kabupaten Waropen.

Sebelum penyebaran angket di

lapangan, dilakukan uji validitas dan

reliabilitas instrumen tersebut. Menurut

Arikunto (1998: 89) ada dua jenis validitas

instrumen yaitu validitas logis dan validitas

empiris. Suatu instrumen memiliki validitas

logis, jika instrumen tersebut secara logis

telah sesuai dengan aspek dan isi yang

diungkap. Untuk keperluan validitas isi,

instrumen penelitian diuji melalui penilaian

dan pendapat para pakar.

Hasil uji validitas dianalisis dengan

mengkorelasikan skor butir dengan skor

total menggunakan rumus korelasi Product

Moment, sebagai berikut:

Dimana : r = Koefisien korelasi

antar skor butir dan skor total, x = skor

butir, y = skor total, N = jumlah sampel

Hasil r hitung dengan rumus di atas

dikonsultasikan dengan r tabel pada taraf

signifikansi 5%. Jika r hitung lebih besar dari

pada r tabel maka test tersebut dinyatakan

valid.

Untuk menetukan keterandalan

dalam penelitian ini, indikator yang

digunakan uji keterandalannya. Setelah

sahih, selanjutnya dikorelasikan dengan

korelasi product moment. Angka korelasi

yang diperoleh adalah indeks keterandalan

alat ukur yang dimaksud. Selanjutnya

angka korelasi dibandingkan dengan nilai

kritis tabel korelasi product moment pada

taraf signifikansi 5%. Bila indeks

keterandalan berada di atas nilai kritis

Page 86: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

81

berarti alat pengukur tersebut telah andal.

Sedangkan bila indeks keterandalan berada

di bawah nilai kritis berarti alat pengukuran

itu tidak andal.

Untuk itu sebelum memilih teknik

analisis statistik yang sesuai untuk menguji

hipotesis, maka asumsi – asumsi yang

melandasi penggunaan teknik statistik

tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu.

Dengan menggunakan perangkat tes

parametrik, yaitu melalui uji normalitas, uji

homogenitas dan uji multikolonieritas.

HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Normalitas merupakan sebaran

normal sebagai suatu pendekatan fungsi

dari suatu kumpulan. Metode pengujian

normalitas yang digunakan pada penelitian

ini adalah uji the goodness of fit.

Pengambilan keputusan atau kesimpulan

didasarkan pada ketentuan apabila

probabilitas dari hasil uji chi square hitung

lebih kecil dari chi square tabel maka data

yang terdistribusi secara normal dan

sebaliknya, jika chi square hitung lebih

besar dari chi square tabel maka data tidak

terdistribusikan secara normal.

Homogenitas sampel menunjukkan

bahwa keadaan sampel yang sama,

sehingga sampel yang ditarik dari populasi

adalah sampel yang representatif yang

artinya merupakan wakil yang baik dari

populasi. Pengujian homogenitias dalam

penelitian ini dihitung dengan

menggunakan test of Homogeneity of

Varians, dengan ketentuan jika probabilitas

yang dihasilkan > 0,05 berarti terjadi

homogenitas yang artinya data tersebut

memiliki varian populasi yang sama.

Hasil pengujian normalitas dan

homogenitis terhadap data yang diperoleh

disajikan pada tabel berikut ini.

Tabel 1

Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas Variabel

Variabel

Chi square

(²)

Hitung

df

Chi

square

(²)

Tabel

Signifikan

(1-tailed)

Gaya Kepemimpinan 5,267 6 10,6446 0,828

Tingkat pendidikan 4,200 8 13,3616 0,839

Pengalaman kerja 5,267 6 10,6446 0,828

Kemampuan melaksanakan tugas 7,333 9 14,9190 0,602

Sumber Data : Output SPSS

Dari tabel tersebut dapat diketahui

bahwa untuk gaya kepemimpinan

menunjukkan hasil chi square hitung

sebesar 5,267 dimana nilai chi square table

sebesar 10,6446 sehingga data pada

variabel gaya kepemimpinan telah

terdistribusi secara normal. Untuk variabel

tingkat pendidikan menunjukkan hasil chi

square hitung sebesar 4,200 dimana nilai

chi square tabel sebesar 13,3616. Hal ini

berarti bahwa data pada variabel tingkat

pendidikan telah terdistribusi secara

normal. Untuk variabel pengalaman kerja

menunjukkan hasil chi square hitung

sebesar 5,2267 dimana nilai chi square

tabel 10,6446 sehingga data pada variabel

pengalaman kerja telah terdistribusi secara

normal. Sedangkan pada variabel

kemampuan dalam melaksanakan tugas

menunjukkan keadaan yang sama dimana

hasil chi square hitung < chi square tabel

(7,333 < 14,9190) yang berarti data pada

variabel kemampuan melaksanakan tugas

juga telah terdistribusi secara normal.

Hasil pengujian homogenitas yang

tercantum pada tabel 1 terlihat bahwa nilai

probabilitas masing-masing variabel

berturut-turut adalah sebesar 0.828, 0.839,

0.828 dan 0.602. Hal ini menunjukkan

bahwa nilai probabilitas pada masing-

masing variabel lebih besar dari taraf

signifikansi 0,05, sehingga data dari

keempat variabel penelitian tersebut

memiliki varian populasi yang relatif sama.

Page 87: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

82

Perhitungan dengan korelasi

sederhana dilakukan untuk mengetahui

hubungan antara variabel bebas secara

sendiri-sendiri dengan variabel terikat.

Hasil pengujian terhadap korelasi sederhana

yang telah dilakukan tercantum dalam tabel

berikut:

Tabel 2

Rekapitulasi Korelasi antar Variabel Penelitian

Hubungan Antar Variabel Koef.

Korelasi (r)

Nilai

Probabilitas

(thitung)

Gaya kepemimpinan dengan Kemampuan

Melaksanakan tugas 0.725 0.000

Tingkat Pendidikan dengan Kemampuan

Melaksanakan tugas 0.799 0.000

Pengalaman Kerja pimpinan dengan

Kemampuan Melaksanakan tugas 0.725 0.000

Sumber : Data Hasil Perhitungan

Sedangkan perhitungan korelasi

berganda dilakukan untuk mengetahui

hubungan variabel bebas secara bersama

dengan variabel terikat. Hasil perhitungan

yang telah dilakukan tercantum dalam tabel

di bawah ini:

Tabel 3

Rekapitulasi Korelasi Berganda

Hubungan Antar variabel

Keeratan

hubungan

( R )

Koef.

Determ.

( R2 )

F Sig.

Gaya kepemimpinan,

Tingkat pendidikan dan

Pengalaman Kerja pimpinan

dengan kemampuan

melaksanakan tugas

0.750 0.565 12.888 0.001

Sumber : Data hasil Olahan

Pengujian Hipotesis Pertama

Hipotesis pertama dalam penelitian

ini adalah “Pengaruh antara gaya

kepemimpinan pimpinan dengan

kemampuan melaksanakan tugas pada

kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan

Olahraga di Kabupaten Waropen”. Secara

statistik, hipotesis itu dijelaskan sebagai

berikut:

Ha : y1 > 0 : Terdapat pengaruh antara

gaya kepemimpinan

pimpinan terhadap

kemampuan melaksanakan

tugas pada kantor Dinas

Pendidikan Pemuda dan

Olahraga di Kabupaten

Waropen.

Ho : y1 = 0 : Tidak ada pengaruh antara

gaya kepemimpinan

pimpinan terhadap

kemampuan melaksanakan

tugas pada kantor Dinas

Pendidikan Pemuda dan

Olahraga di Kabupaten

Waropen.

Pengujian Hipotesis Kedua

Hipotesis kedua dalam penelitian ini

adalah “Terdapat pengaruh antara tingkat

pendidikan terhadap kemampuan

melaksanakan tugas pada kantor Dinas

Pendidikan Pemuda dan Olahraga di

Kabupaten Waropen”. Secara statistik,

hipotesis itu dijelaskan sebagai berikut:

Page 88: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

83

Ha : y2 > 0 : Terdapat pengaruh antara

latar belakang pendidikan

terhadap kemampuan

melaksanakan tugas pada

kantor Dinas Pendidikan

Pemuda dan Olahraga di

Kabupaten Waropen.

Ho : y2 = 0 : Tidak ada pengaruh antara

latar belakang pendidikan

terhadap kemampuan

melaksanakan tugas pada

kantor Dinas Pendidikan

Pemuda dan Olahraga di

Kabupaten Waropen.

Pengujian Hipotesis Ketiga

Hipotesis ketiga dalam penelitian ini

adalah “Terdapat pengaruh antara

Pengalaman Kerja pimpinan terhadap

kemampuan melaksanakan tugas pada

kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan

Olahraga di Kabupaten Waropen”. Secara

statistik, hipotesis ini dapat dijelaskan

sebagai berikut:

Ha : y3 > 0 : Terdapat pengaruh

antara Pengalaman Kerja

Pimpinan terhadap

kemampuan melaksanakan

tugas pada kantor Dinas

Pendidikan Pemuda dan

Olahraga di Kabupaten

Waropen.

Ho : y3 = 0 : Tidak ada pengaruh

antara Pengalaman Kerja

Pimpinan terhadap

kemampuan melaksanakan

tugas pada kantor Dinas

Pendidikan Pemuda dan

Olahraga di Kabupaten

Waropen.

Pengujian Hipotesis Keempat

Hipotesis keempat dalam penelitian

ini adalah “Terdapat pengaruh yang

signifikan antara gaya kepemimpinan,

tingkat pendidikan dan pengalaman kerja

pimpinan terhadap kemampuan

melaksanakan tugas pada kantor Dinas

Pendidikan Pemuda dan Olahraga di

Kabupaten Waropen.” Secara statistik,

hipotesis ini dapat dijelaskan sebagai

berikut:

Ha : y1,2,3 > 0 : Terdapat

pengaruh yang signifikan

antara gaya kepemimpinan,

tingkat pendidikan dan

pengalaman kerja pimpinan

terhadap kemampuan

melaksanakan tugas pada

kantor Dinas Pendidikan

Pemuda dan Olahraga di

Kabupaten Waropen.

Ho : y1,2,3 = 0 : Tidak ada

pengaruh yang signifikan

antara gaya kepemimpinan,

tingkat pendidikan dan

pengalaman kerja pimpinan

terhadap kemampuan

melaksanakan tugas pada

kantor Dinas Pendidikan

Pemuda dan Olahraga di

Kabupaten Waropen.

PEMBAHASAN

Hasil Pengujian Hipotesis Pertama;

Pengaruh antara Gaya Kepemimpinan

terhadap Kemampuan Melaksanakan

Tugas

Tujuan pertama dari penelitian ini

untuk mengetahui sejauh mana pengaruh

gaya kepemimpinan terhadap kemampuan

melaksanakan tugas. Dari hasil pengujian

hipotesis pertama, dapat diketahui bahwa

Ho ditolak dan Ha diterima, dimana

kesimpulan yang dapat diambil adalah

terdapat pengaruh antara gaya

kepemimpinan terhadap kemampuan

melaksanakan tugas.

Sedangkan besarnya pengaruh

tersebut dapat diketahui dari harga

koefisien korelasi dimana koefisien korelasi

yang diperoleh untuk pengaruh antara gaya

kepemimpinan terhadap kemampuan

melaksanakan tugas adalah sebesar 0,725.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

antara gaya kepemimpinan pimpinan

terhadap kemampuan melaksanakan tugas

pengaruh yang cukup erat.

Berdasarkan hasil pengujian

hipotesis, diketahui bahwa terdapat

pengaruh yang cukup signifikan antara gaya

kepemimpinan pimpinan terhadap

kemampuan melaksanakan tugas.

Page 89: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

84

Jadi, gaya kepemimpinan yang

dimiliki seseorang berkaitan erat dengan

pengetahuan dan keterampilan yang

dimilikinya. Hal ini berlaku juga bagi

pimpinan, dimana kemampuannya dalam

melaksanakan tugas akan berkaitan erat

dengan gaya kepemimpinan yang dimiliki.

Hasil Pengujian Hipotesis Kedua;

Pengaruh antara Tingkat Pendidikan

terhadap Kemampuan Melaksanakan

Tugas

Tujuan kedua dari penelitian ini

adalah untuk mengetahui sejauh mana

pengaruh latar belakang pendidikan

terhadap kemampuan melaksanakan tugas.

Dari hasil pengujian hipotesis kedua, dapat

diketahui bahwa Ho ditolak dan Ha

diterima, dimana kesimpulan yang dapat

diambil adalah terdapat pengaruh antara

latar belakang pendidikan terhadap

kemampuan melaksanakan tugas pimpinan.

Sedangkan besarnya pengaruh

tersebut dapat diketahui dari harga

koefisien korelasi dimana koefisien korelasi

yang diperoleh untuk hubungan antara latar

belakang pendidikan terhadap kemampuan

melaksanakan tugas adalah sebesar 0,799.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

antara latar belakang pendidikan terhadap

kemampuan melaksanakan tugas memiliki

pengaruh yang cukup erat.

Berdasarkan hasil pengujian

hipotesis, diketahui bahwa terdapat

pengaruh yang cukup signifikan antara latar

belakang pendidikan terhadap kemampuan

melaksanakan tugas.

Hasil penelitian ini didukung oleh

penelitian yang dilakukan Bahar yang ingin

mengkaji hubungan antara latar belakang

pendidikan, masa kerja dan wilayah tempat

kerja pimpinan SDN dengan pelaksanaan

supervisi pengajaran di Kabupaten

Donggala, yang menyimpulkan bahwa

terdapat pengaruh yang positif antara latar

belakang pendidikan formal, latar belakang

pendidikan inservice dan lamanya masa

kerja pimpinan dengan pelaksanaan

supervisi pengajaran.

Jadi latar belakang pendidikan baik

pendidikan formal maupun nonformal yang

telah ditempuh seseorang berkaitan erat

dengan pengetahuan dan keterampilan yang

dimilikinya. Hal ini berlaku juga bagi

pimpinan, dimana kemampuannya dalam

melaksanakan tugas akan berkaitan erat

dengan latar belakang pendidikan baik

pendidikan formal maupun nonformal yang

pernah dan akan diikutinya.

Hasil Pengujian Hipotesis Ketiga;

Pengaruh antara Pengalaman Kerja

dengan Kemampuan Melaksanakan

Tugas

Tujuan ketiga dari penelitian ini

adalah untuk mengetahui sejauhmana

hubungan pengalaman kerja pimpinan

dengan kemampuan melaksanakan tugas.

Dari hasil pengujian hipotesis ketiga, dapat

diketahui bahwa Ho ditolak dan Ha

diterima, dimana kesimpulan yang dapat

diambil adalah terdapat pengaruh antara

pengalaman kerja pimpinan terhadap

kemampuan melaksanakan tugas.

Untuk mengetahui besarnya

pengaruh tersebut dapat diketahui dari

harga koefisien korelasi dimana koefisien

korelasi yang diperoleh untuk pengaruh

antara Pengalaman Kerja Pimpinan

terhadap kemampuan melaksanakan tugas

adalah sebesar 0,725. Dengan demikian

dapat dikatakan bahwa antara Pengalaman

Kerja Pimpinan terhadap kemampuan

melaksanakan tugas memiliki pengaruh

yang cukup erat.

Berdasarkan hasil pengujian

hipotesis, dapat disimpulkan bahwa

terdapat pengaruh yang signifikan antara

Pengalaman Kerja Pimpinan terhadap

kemampuan melaksanakan tugas. Hasil

penelitian ini sesuai dengan penelitian yang

dilakukan oleh Madhelan (1999:59) yang

menyimpulkan bahwa semakin banyak

pengalaman kerja yang dimiliki oleh

seorang pimpinan, maka unjuk kerja yang

dimilikinya juga semakin baik, sehingga

prestasi bekerja yang dicapai semakin baik

pula.

Karena itu, untuk dapat

melaksanakan tugas dengan baik, pegawai

harus memiliki pengalaman kerja sehingga

semakin banyak pengalaman kerja yang

dimiliki diharapkan kinerja para pegawai

Page 90: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

85

dapat meningkat yang akhirnya dapat

meningkatkan kualitas di kantor tersebut.

Hasil Pengujian Hipotesis Keempat;

Pengaruh antara Gaya Kepemimpinan,

Tingkat Pendidikan dan Pengalaman

Kerja terhadap Kemampuan

Melaksanakan Tugas

Tujuan keempat dari penelitian ini

adalah untuk mengetahui sejauhmana

signifikansi pengaruh antara gaya

kepemimpinan, tingkat pendidikaan dan

Pengalaman Kerja pimpinan terhadap

kemampuan melaksnakan tugas. Dari hasil

pengujian hipotesis keempat yang

dilakukan terbukti bahwa Ho ditolak dan

Ha diterima, sehingga dapat disimpulkan

bahwa terdapat pengaruh yang signifikan

antara gaya kepemimpinan, tingkat

pendidikan dan pengalaman kerja terhadap

kemampuan melaksanakan tugas.

Untuk melihat besarnya pengaruh

tersebut, dapat diketahui dari nilai koefisien

korelasi, dimana hasil perhitungan yang

telah dilakukan didapatkan harga koefisien

korelasi adalah sebesar 0,750. Dari harga

koefisien tersebut membuktikan bahwa

pengaruh antara gaya kepemimpinan,

tingkat pendidikan dan pengalaman kerja

terhadap kemampuan melaksanakan tugas

adalah cukup erat.

Dari hasil pengujian hipotesis yang

telah dilakukan terbukti bahwa terdapat

pengaruh yang signifikan antara Gaya

Kepemimpinan, Tingkat Pendidikan dan

Pengalaman Kerja Pimpinan terhadap

Kemampuan Melaksanakan Tugas. Hal ini

didukung oleh penelitian yang dilakukan

oleh Bahar yang menyimpulkan bahwa

terdapat pengaruh yang positif antara gaya

kepemimpinan, tingkat pendidikan formal,

tingkat pendidikan inservice dan lamanya

masa kerja pimpinan dengan kemampuan

melaksanakan tugas.

Agar pimpinan mampu

melaksanakan tugas dengan baik, maka

pimpinan harus selalu berusaha

meningkatkan pengetahuan dan

ketrampilannya. Karena itu gaya

kepemimpinan, tingkat pendidikan dan

Pengalaman Kerja pimpinan akan sangat

berpengaruh terhadap pelaksanaan tugas

yang dilakukannya.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis korelasi,

untuk menguji hipotesis penelitian,

diperoleh hasil sebagai berikut (1) Terdapat

pengaruh yang cukup erat antara gaya

kepemimpinan pimpinan dengan

kemampuan melaksanakan tugas pimpinan

pada Kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan

Olahraga di Kabupaten Waropen. Hal ini

dapat dipahami karena gaya kepemimpinan

yang telah ditempuh seseorang berkaitan

erat dengan pengetahuan dan keterampilan

yang dimilikinya. Karena itu, kemampuan

pimpinan dalam melaksanakan tugas

berkaitan erat dengan gaya kepemimpinan

yang dimilikinya. (2) Terdapat pengaruh

yang cukup erat antara tingkat pendidikan

terhadap kemampuan melaksanakan tugas.

Hal ini dapat dipahami karena latar

belakang pendidikan baik pendidikan

formal maupun nonformal yang telah

ditempuh seseorang berkaitan erat dengan

pengetahuan dan keterampilan yang

dimilikinya. Karena itu, kemampuan

pimpinan dalam melaksanakan tugas

berkaitan erat dengan latar belakang

pendidikan baik pendidikan formal maupun

nonformal yang pernah dan akan

diikutinya. (3) Terdapat pengaruh yang kuat

antara pengalaman kerja pimpinan terhadap

kemampuan melaksanakan tugas. Agar

seseorang pimpinan dapat melaksanakan

tugasnya dengan baik, memerlukan waktu

minimal tujuh tahun pengalaman kerja. (4)

Terdapat pengaruh gaya kepemimpinan,

tingkat pendidikan dan pengalaman kerja

pimpinan secara simultan terhadap

kemampuan melaksanakan tugas pada

kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan

Olahraga di Kabupaten Waropen

Berdasarkan pembahasan penelitian

dan kesimpulan penelitian, disarankan hal-

hal sebagai berikut (1) Bagi Pimpinan

Sebagai pimpinan dan orang yang

bertanggung jawab atas kantor, pimpinan

hendaknya berusaha melaksanakan tugas

dengan baik, sehingga tercipta lingkungan

kerja yang kondusif, yang mampu memberi

perasaan nyaman bagi pegawai yang

Page 91: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

86

bekerja. Selain itu disarankan agar setiap

pimpinan dapat meningkatkan

pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.

(2) Bagi Pejabat di Instansi yang Terkait

Hasil penelitian ini diharapkan dapat

memberikan sumbangan pikiran dan

pendapat bagi pejabat di lingkungan Dinas

Pendidikan Pemuda dan Olahraga di

Kabupaten Waropen dalam upaya

pengembangan pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Ancok, Dj., 1986. Teknik Penyusunan Alat

Pengukur. Yogyakarta : Pusat

Penelitian Kependudukan UGM.

Arikunto, S., 1989. Manajemen Penelitian.

Jakarta : Depdikbud Dirjen Dikti

P2LPTK.

Black, James A., dan Dean J. Champion.

1992. Metode dan Masalah

Penelitian Sosial. Bandung : Eresco.

Boediono dan Wayan Koster. 2001.

Statistika dan Probabilitas.

Bandung : Remaja Rosdakarya.

Dissertational Abstracts Interbasional.

1985. The Humanities and social

Sciences. Michigan ; univercity

Micro Film‟s Internasional.

Djajadisastra, Joesoef., 1990. Pengantar

Administrasi Pemerintahan. Jakarta

: Depdikbud.

Elsbree, W.S. and Reuter Jr. E.E. 1964.

Staff Personel In Public Schooll, 6

th. Edition. New York ; Mc Grow –

Hill Book Company.

Fuller, B. 1987. “What School Factors,

Raise Achievement In The Third

Work”. Review of Educational

Research No. 3 Vol. 57.

Fleishman, Haris. 2004. Leadership and

Democration. New York ; Mc Grow

– Hill Book Company.

Gorton, richard A. 1976. School

Administration. Dubuque Indiana ;

Wm. C. Brown ; Company

publishers.

Hersey, Paul and Blanchard, Keneth H.

1992. Manajemen Perilaku

Organisasi ; Pendayagunaan

Sumber Daya Manusia Alih Bahasa

; Agus Dharma., Jakarta : Erlangga.

Miftah Thoha (2001). Pendayagunaan

Sumber Daya Manusia, Jakarta :

Erlangga.

Unisma. 2012. Metodologi Penelitian.

Malang : Rineka Cipta.

Poerwadarminto WJS., 1984, Kamus Umum

Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai

Pustaka.

Suhud,. 1999. Pengaruh Tingkat

Pendidikan dan Masa Kerja

Pegawai Terhadap Prestasi Kerja

Pegawai Di Dinas Perhutani

Lamongan. Tesis. STIE Jakarta :

Widyajayakarta.

Purwanto, Ngalim., 1994. Administrasi Dan

Supervisi. Cetakan ke-7 PT.

Bandung: Remaja Rosdakarya.

_________, 2001, Administrasi dan

Supervisi, Cetakan ke-10, Bandung :

PT. Remaja Rosdakarya,

Lewin, Lippit and White. 1999. Leadershif

and Management. . New York ; Mc

Grow – Hill Book Company.

Wiles, Kimbal. 1967. Supervision for Better

School. New Jersey: Prentice-Hall.

Page 92: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

87

PELAKSANAAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BIDANG DIKLAT PADA BADAN

KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN DAN LATIHAN DALAM MENINGKATKAN

EFEKTIVITAS PEGAWAI DI KABUPATEN WAROPEN

1Frits Isak Yesaya Masini,

2Masykuri Bakri,

3Nurul Umi Ati

1Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Administrasi Publik

2, 3 Dosen Program Studi Magister Ilmu Administrasi

Program Pascasarjana Universitas Islam Malang

Jl. MT. Haryono 193 Malang, 65144

Abstrak

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan diklat

prajabatan pada Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Daerah Kabupaten

Waropen. Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

kualitatif yang menggunakan teknik pengumpulan data berupa observasi, wawancara, dan

dokumentasi. Pengumpulan informasi melalui wawancara terhadap key informan yang

compatible terhadap penelitian kemudian observasi langsung ke lapangan untuk menunjang

penelitian yang dilakukan agar mendapatkan sumber data yang diharapkan. Pada tahap

akhir adalah penarikan kesimpulan dilakukan secara cermat dengan melakukan verifikasi

berupa tinjauan ulang pada catatan-catatan di lapangan sehingga data-data dapat diuji

validitasnya. Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa pelaksanaan

diklat prajabatan pada Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan Daerah Kabupaten

Waropen belum efektif karena adanya faktor Widyaswara dan sarana dan prasarana yang

kurang menunjang terselenggaranya diklat tersebut.

kata kunci : pelaksanaan tugas pokok dan fungsi dan bidang diklat

Abstract

Generally, this study aims to determine the effectiveness of the implementation of the

Pre-service training on the Personnel Board of Education and Regional Training Waropen.

The research approach used in this study is a qualitative approach that uses data collection

techniques such as observation, interviews, and documentation. Gathering information

through interviews with key informants were compatible to research and then directly into the

field observations to support research undertaken in order to obtain the expected data

sources. In the final stage is the conclusion to be done carefully to verify the form of a review

of the records in the field so that the data can be tested validity. Based on these results it can

be concluded that the implementation of the training prajabatan the Personnel Board,

Education and Training District Waropen not been effective because of factors Widyaswara

and Krang facilities and infrastructure that support the implementation of such training.

keywords: implementation of main tasks and functions and field trainin.

PENDAHULUAN

Sumber Daya Manusia merupakan

penentu keberhasilan bagi setiap organisasi

untuk menjadi lebih profesional dan sebagai

pembangun citra pelayanan publik. Oleh

karena itu, sumber daya manusia yang

profesional sangat mendukung keberhasilan

suatu organisasi untuk bisa bersaing di era

global dalam rangka mewujudkan

Pembangunan Nasional. Untuk

Page 93: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

88

mewujudkan Pembangunan Nasional,

dituntut adanya peran sumber daya manusia

yang berkualitas. Oleh sebab itu kegiatan

pengembangan sangat dibutuhkan dalam

proses pembangunan itu sendiri. Kegiatan

pengembangan diharapkan dapat

memperbaiki dan mengatasi kekurangan

dalam melaksanakan pekerjaan lebih baik

sesuai dengan perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi. Sejalan dengan

itu, kedudukan dan peranan pegawai sangat

penting dalam menentukan berhasil atau

tidaknya tugas dari penyelenggara

pemerintah dan pembangunan dalam rangka

pencapaian tujuan. Peningkatan kualitas

sumber daya manusia merupakan suatu

yang sangat penting untuk penigkatan

akselerasi suatu pembangunan dalam

bidang apapun juga.

Dalam rangka pencapaian tujuan

nasional yang tercantum dalam pembukuan

UUD 1945, maka pegawai negeri perlu

dibina dengan sebaik – baiknya atas dasar

sistem karir berdasarkan pasal 31 UU

No.43 tahun 1999 tentang Pokok- Pokok

Kepegawaian yang berbunyi bahwa untuk

mencapai daya guna dan hasil guna yang

sebesar – besarnya diadakan pengaturan

dan penyelenggraan pendidikan dan

pelatihan jabatan Pegawai Negeri Sipil

yang bertujuan untuk meningkatkan

pengabdian, keahlian, kemampuan dan

keterampilan. Disini, sangat jelas bahwa

pengembangan sumber daya manusia

sangat penting dalam meningkatkan

kualitas aparatur Negara.

Pengembangan pegawai

dititikberatkan pada pelaksanaan

pendidikan dan pelatihan disamping untuk

meningkatkan profesionalisme setiap

pegawai. Pelaksanaan diklat pegawai perlu

diupayakan, karena berpengaruh langsung

terhadap hasil kerja pegawai itu sendiri.

Pendidikan dan Pelatihan bagi sumber daya

manusia merupakan topik yang penting

dalam rangka manajemen sumber daya

manusia yaitu usaha meningkatkan

keunggulan bersaing dalam organisasi.

Pendidikan dan Pelatihan bagi sumber daya

manusia merupakan topik yang sangat

penting dalam rangka menajemen sumber

daya manusia, yaitu dalam usaha

meningkatkan keunggulan bersaing dalam

organisasi. Jhon Kendrick dalam

simanjuntak (1989:690) mengatakan bahwa

pendidikan dan pelatihan tidak saja

menambah pengetahuan akan tetapi juga

meningkatkan keterampilan bekerja,

sehingga akan meningkatkan produktivitas

kerja organisasi.

Adapun perbandingan atau

perbedaan antara pendidikan dan pelatihan

menurut Notoatmodjo (2009:16) sebagai

berikut :

Tabel 1

Perbandingan Antara Pendidikan dan Pelatihan

Perbandingan Pendidikan Pelatihan

1. Pengembangan

Kemampuan Menyeluruh (overall)

Mengkhususkan

(spesifik)

2. Area Kemampuan

(penekanan)

Kognitif, afektif,

Psychomotoric

Psikomotor dan

keterampilan

3. Jangka Waktu

Pelaksanaan Panjang (long time)

Pendek (short time)

4. Materi yang

diberikan Lebih umum Lebih Khusus

5. Penekanan

Penggunaan Belajar

Mengajar

Conventional Inconventional

6. Penghargaan akhir

proses Gelar (degree) Sertifikat (non degree)

(Sumber : Notoatmodjoyo 2009:16)

Page 94: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

89

Oleh sebab itu, pusat pendidikan

dan pelatihan di setiap institusi mempunyai

tugas pokok untuk melaksanakan

pendidikan dan pelatihan untuk para

pegawai guna meningkatkan kemampuan

pegawai atau karyawan dilingkungan

institusi tersebut yang akan memberi

dampak terhadap pengembangan organisasi

atau institusi yang bersangkutan.

Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan

(Diklat) merupakan salah satu bidang yang

dibawahi oleh Badan Kepegawaian Daerah

(BKD), yang dilaksanakan sesuai dengan

tugas pokok dan fungsi pada kantor Badan

Kepegawaian Daerah (BKD) yaitu

membantu pejabat pembina kepegawaian

daerah dalam melaksanakan menajemen

Pegawai Negeri Sipil Daerah untuk

menyiapkan peraturan perundang –

undangan daerah di bidang kepegawaian,

sesuai dengan undang – undang yang

berlaku serta menyiapkan kebijakan teknis

mengenai pengembangan kepegawaian

daerah dan lain – lain.

Pegawai Negeri Sipil adalah

pegawai negeri yang gajinya dibebankan

pada Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara (APBD) dan belanja pada

departemen, lembaga, pemerintah non-

departemen, kesekertariatan lembaga

tertinggi dan lembaga tinggi Negara.

Instansi vertikal di daerah provinsi atau

kabupaten/kota atau dipekerjakan untuk

menjalankan tugas Negara lainnya.

Berdasarkan pengamatan penulis,

kelemahan dalam sistem Diklat yang ada

pada Badan Kepegawaian Pendidikan dan

Pelatihan Daerah Kabupaten Waropen

adalah Diklat Prajabatan belum mampu

menyadarkan pegawai dalam pelaksanaan

tugas sehingga pegawai yang telah

mengikuti Diklat Prajabatan belum mampu

memberikan kontribusi secara maksimal

bagi pengembangan awal mereka sebagai

Pegawai Negeri Sipil.

Berdasarkan latar belakang yang

telah diuraikan di atas maka permasalahan

yang diteliti dirumuskan sebagai berikut

pertama, Apakah dalam Pelaksanaan Diklat

Prajabatan Pada Badan Kepegawaian

Pendidikan dan Pelatihan dapat

meningkatkan Efektivitas Pegawai

Kabupaten Waropen? Keduaa, Apa sajakah

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi

Efektivitas Pegawai dalam Pelaksanaan

Diklat Prajabata? Adapun tujuan dari

penelitian ini yaitu pertama, Untuk

menganalisis penyebab kurang efektifnya

Pelaksanaan Diklat Prajabatan Pada Badan

Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan

Daerah Kabupaten Waropen. Kedua,

Mempelajari faktor internal dan eksternal

dalam pelaksanaan peningkatan pelayanan

masyarakat di Kabupaten Waropen untuk

mengidentifikasi tingkat kekuatan,

kelemahannya dan mempertimbangkan

ancaman serta peluang yang ada. Dalam

penelitian ini nantinya diharapkan

mempunyai guna dan manfaat sebagai

berikut Manfaat Akademis (Dalam

penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat

sebagai referensi yang dapat menunjang

untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan

sebagai bahan masukan bagi penelitian-

penelitian yang akan datang) dan Manfaat

Praktis (Pada penelitian ini diharapkan

dapat bermanfaat sebagai bahan acuan atau

masukan bagi pemerintah khususnya

Kantor Badan Kepegawaian Pendidikan dan

Pelatihan Daerah Kabupaten Waropen

dalam mengefektifkan pelaksanaan Diklat

Prajabatan).

METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini penulis

menggunakan pendekatan kualitatif dimana

dalam penelitian yang dilakukan bersifat

Deskriptif. Penelitian direncanakan selama

3 bulan sejak bulan Juni 2012 sampai

dengan September 2012. Dalam penelitian

ini yang menjadi lokasi penelitian adalah

Badan Kepegawaian Pendidikan dan

Pelatihan Kabupaten Waropen.

Jenis dan Sumber Data diperoleh

dari Data Primer dan data sekunder. Data

primer adalah data yang diperoleh langsung

dari hasil wawancara yang diperoleh dari

narasumber atau informan yang dianggap

berpotensi dalam memberikan informasi

yang relevan dan sebenarnya di lapangan.

Data sekunder adalah sebagai data

pendukung data primer dari literatur dan

dokumen serta data yang diambil dari suatu

organisasi atau perusahaan dengan

Page 95: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

90

permasalahan di lapangan yang terdapat

pada lokasi penelitian berupa bahan bacaan,

bahan pustaka, dan laporan-laporan

penelitian.

Teknik pengumpulan data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah

dengan cara wawancara, observasi, dan

dokumentasi. Proses analisis data dilakukan

secara terus menerus dimulai dengan

menelaah seluruh data yang tersedia dari

berbagai sumber, yaitu dari wawancara,

pengamatan yang sudah dituliskan dalam

catatan lapangan, dokumen dan sebagainya

sampai dengan penarikan kesimpulan.

Pengumpulan informasi melalui

wawancara terhadap key informan yang

compatible terhadap penelitian kemudian

observasi langsung ke lapangan untuk

menunjang penelitian yang dilakukan agar

mendapatkan sumber data yang diharapkan.

Reduksi data (data reduction) yaitu

proses pemilihan, pemusatan perhatian pada

penyerderhanaan, transformasi data kasar

yang muncul dari catatan-catatan di

lapangan selama meneliti tujuan diadakan

transkrip data (transformasi data) untuk

memilih informasi mana yang dianggap

sesuai dan tidak sesuai dengan masalah

yang menjadi pusat penelitian di lapangan.

Penyajian data (data display) yaitu

kegiatan sekumpulan informasi dalam

bentuk naratif, grafik jaringan, tabel dan

bagan yang bertujuan mempertajam

pemahaman penelitian terhadap informasi

yang dipilih kemudian disajikan dalam

tabel ataupun uraian penjelasan.

Pada tahap akhir adalah penarikan

kesimpulan dilakukan secara cermat dengan

melakukan verifikasi berupa tinjauan ulang

pada catatan-catatan di lapangan sehingga

data-data dapat diuji validitasnya.

HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

Peningkatan Keefektivitasan Pegawai

dalam Pelaksanaan Diklat Prajabatan

Pada Badan Kepegawaian Pendidikan

dan Pelatihan Kabupaten Waropen

Pegawai Negeri Sipil (PNS)

merupakan unsur utama Sumber Daya

Manusia (SDM) Aparatur Negara

mempunyai peranan yang sangat penting

dalam keberhasilan penyelenggaraan

pemerintahan dan pembangunan. Oleh

karena itu perlu adanya upaya peningkatan

kompetensi bagi Pegawai Negeri Sipil agar

dapat menghasilkan sosok PNS yang

bertanggung jawab, bermoral, profesional

serta dapat mejadi acuan bagi masyarakat

luas, bangsa dan Negara.

Untuk dapat membentuk sosok PNS

seperti diatas, maka perlu dilaksanakan

pembinaan bagi pegawai melalui

Pendidikan dan Pelatihan seperti Diklat

Prajabatan yang mengarah kepada

peningkatan-penigkatan sebagai berikut: (1)

meningkatkan pengetahuan, keahlian,

keterampilan dan sikap untuk dapat

melaksanakan tugas secara profesionalisne

dengan dilandasi kepribadian dan etika

Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan

kebutuhan instansi; (2) menciptakan

aparatur yang mampu berperan sebagai

pembaharu dan perekat pesatuan dan

kesatuan bangsa; (3) menetapkan sikap dan

semangat pengabdian yang berorietasikan

pada pelayanan, pengayoman dan

pemberdayaan masyarakat; (4) menciptakan

kesamaan visi dan dinamika pola pikir

dalam melaksanakan tugas pemerintahan

umum dan pembangunan demi terwujudnya

kepemerintahan yang baik.

Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan

merupakan syarat pengangkatan CPNS

menjadi PNS. Menurut Peraturan

Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang

Pendidikan dan Pelatihan jabatan PNS,

Diklat Prajabatan terdiri dari 3 (tiga)

jenjang Diklat Prajabatan, yaitu Diklat

Prajabatan Golongan I untuk menjadi PNS

Golongan I, Diklat Prajabatan Golongan II

untuk menjadi PNS Golongan II, dan Diklat

Prajabatan Golongan III untuk menjadi

PNS Golongan III.

Hasil wawancara penulis terhadap

informan salaku pembina dalam Diklat

Prajabatan melalui wawancara bahwa:

“Para CPNS wajib mengikuti Diklat

Prajabatan jika ingin mendapatkan

predikat sebagai PNS murni menurut

Golongan mereka masing-masing sesuai

dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku, selain itu penyelenggaraan

Diklat Prajabatan perlu dilaksanakan

Page 96: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

91

penanganan secara khusus sebagai

pembinaan awal untuk membentuk karakter

para calon PNS yang akan melaksanakan

tugas untuk kepentingan rakyat, bangsa

dan Negara yang merupakan salah satu

syarat pengangkatan PNS”

Adapun tujuan dan sasaran dari

Diklat Prajabatan sesuai dengan PP. Nomor

101 Tahun 2000, Diklat Prajabaan

bertujuan untuk: (1) meningkatkan

pengetahuan, keahlian, keterampilan dan

sikap untuk dapat melaksanakan tugas

secara profesionalisme dengan dilandasi

kepribadian dan etika Pegawai Negeri Sipil

sesuai dengan kebutuhan instansi; (2)

menciptakan aparatur yang mampu

berperan sebagai pembaharu dan perekat

persatuan dan kesatuan bangsa; (3)

menetapkan sikap dan semangat

pengabdian yang berorientasikan pada

pelayanan, pengayoman dan pemberdayaan

masyarakat; (4) menciptakan kesamaan visi

dan dinamika pola pikir dalam

melaksanakan tugas pemerintahan umum

dan pembangunan demi terwujudnya

kepemerintahan yang baik.

Sasaran Diklat Prajabaan adalah: (1)

sasaran Diklat Prajabatan adalah

terwujudnya Pegawai Negeri Sipil yang

memiliki kompetensi yang sesuai dengan

persyaratan pengangkatan untuk menjadi

pegawai Negeri Sipil; (2) untuk

memberikan pengetahuan dalam rangka

pembentukan wawasan kebangsaan,

kepribadian dan etika pegawai negeri sipil,

disamping pengetahuan dasar tentang

sistem penyelenggara Pemerintah Negara,

bidang tugas dan budaya organisasi agar

mampu melaksanakan tugas dan perannya

sebagai pelayan masyarakat.

Standar kompetensi yang diperlukan

bagi CPNS, materi pelajaran atau

kurikulum berbeda-beda berdasarkan

golongan peserta Diklat sesuai keputusan

Kepala LAN RI Nomor 18 Tahun 2010.

Persyaratan peserta Diklat Prajabatan

adalah semua pegawai yang berstatus

CPNS layak untuk mengikuti Diklat

Prajabatan dengan melihat aspek-aspek

penilian sebagai berikut: (1) aspek sikap

dan perilaku meliputi kedisiplinan,

kepemimpinan, kerja sama, dan prakarsa;

(2) aspek penguasaan materi. Unsur

penguasaan materi mencakup bahan ujian

tertulis. Indikator penguasaan materi

tersebut adalah angka yang dihasilkan dan

jawaban peserta dalam ujian tertulis; (3)

cara penilian, Nilai terendah adalah 0 (nol),

sedangkan nilai tertinggi adalah 100

(seratus). Nilai seluruh aspek sikap dan

perilaku (antara 0 dan 100) dikalikan bobot

60%. Nilai penguasaan meteri merupakan

nilai dari hasil ujian yang diperoleh dengan

cara nilai hasil ujian (antara 0 dan 100)

dikalikan bobot 40%. Jumlah nilai sikap

dan perilaku ditambah nilai hasil ujian

adalah nilai yang diperoleh peserta.

Penilaian terhadap peserta dilakukan oleh

tim yang dibentuk oleh Kepala Lembaga

Penyelenggara Diklat Prajabatan yang

bersangkutan; (4) kualifikasi kelulusan

peserta ditetapkan dengan lulus sangat

memuaskan (skor : 92,5-100), lulus

memuaskan (skor : 85,0 – 92,4), lulus baik

sekali (skor : 77,5-84,9), lulus baik (skor :

70,0-77,4), dan tidak lulus (skor : dibawah

70,0)

Anggara Pendidikan dan Pelatihan

Prajabatan bersumber dari Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten

Waropen tahun 2011 yang dialokasikan paa

pos anggaran Satuan Kerja Perangkat

Daerah (SKPD) Badan Kepegawaian,

Pendidikan dan Pelatihan Daerah (BKPPD)

Kabupaten Waropen.

Faktor-faktor yang mempengaruhi

efektivitas pelaksanaan diklat prajabatan

antara lain: Pertama, peserta diklat

penetapan peserta diklat bersifat selektif

dan merupakan penugasan instansi yang

bersangkutan untuk memenuhi persyaratan

kompetensi jabatan. Peserta Diklat dalam

suatu Diklat Prajabatan di sebut CPNS.

Yang merupakan faktor kunci

terselenggaranya suatu Diklat dan memiliki

peranan terpentig dalam Diklat. CPNS

adalah Warga Negara Indonesia yang

melamar, lulus seleksi, dan diangkat untuk

dipersiapkan menjadi Pegawai Negeri Sipil

sesuai dengan perundang – undangan yang

berlaku. Hasil wawancara penulis dengan

informan Pembina dalam Diklat Prajabatan,

yaitu : “Peserta dalam Diklat Prajabatan

jelas sehat jasmani dan rohani, kami tidak

Page 97: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

92

mungkin memaksa peserta untuk ikut dalam

pelatihan ini jika tidak memenuhi syarat

dan ketentuan yng berlaku. Selain itu,

selama mengikuti Diklat Statusnya masih

menjadi CPNS, sampai pada saat peserta

telah mengikuti seluruh proses dalam

Diklat dan dinyatakan lulus oleh Badan

Diklat Provinsi sebagai tempat bekerja

sama, maka peserta yang bersangkutan

dapat diusulkan untuk menjadi PNS murni

dan juga mendapatkan gaji 100% sesuai

dengan peraturan perundangan yang

berlaku, dan kami sebagai pembina, para

peserta hampir keseluruhan mengikuti

Diklat Prajabatan dengan sangat disiplin

dan bertanggung jawab”.

Sedangakan wawancara dengan

salah satu peserta dalam Diklat Prajabatan,

memaparkan sebagai berikut : “Tentunya

kami termotivasi untuk mengikuti diklat

prajabatan ini, selain dengan perubahan

status kami menjadi PNS, kami juga

tentunya memiliki rasa tanggung jawab

yang besar setelah kembali ke instansi kami

masing2, karena dalam diklat ini kami bisa

memahami peran kami sesungguhnya

sebagai PNS itu seperti apa.”

Dari pemaparan dari beberapa

informan diatas, dapat disimpulkan bahwa

peserta dalam Diklat Prajabatan termotivasi

untuk ikut dalam diklat ini karena adanya

perubahan status dari CPNS menjadi PNS

yang juga berpengaruh dengan gaji yang

mereka terima tiap bulannya.

Kedua, widyaswara merupakan

meraka yang berstatus sebagai PNS yang

diangkat sebagai pejabat fungsional oleh

pejabat yang berwanang dengan tugas dan

tanggung jawab, wewenang untuk

mendidik, mengajar, dan melatih para

CPNS dan PNS pada Lembaga Diklat

Pemerintah. Seseorang yang dapat ditugasi

memberikan fasilitas dalam agenda

pembelajaran Diklat PNS, terdiri dari

widyaswara dan widyaswara luar biasa.

Penilaian terhadap widyaswara dilakukan

oleh peserta dan penyelenggaraan Diklat.

Hasilnya diolah dan disampaikan oleh

penyelengara kepada widyaswara yang

bersangkutan sebagai masukan untuk

peningkatan kinerja pada masa yang akan

datang. Tugas, kewajiban dan

pendayagunaan Widyaswara untuk setiap

jenis, jenjang dan program Diklat mengacu

pada pedoman yang telah ditetapkan. Dari

hasil pengamatan penulis mengenai

widyaswara adalah tidak semua tenaga

widyaswara yang dipakai dalam Diklat

Prajabatan berkompeten, hal ini terbukti

dari hasil wawancara terhadap beberapa

peserta Diklat yang memaparkan kalau ada

beberapa widyaswara yang dalam

menyampaikan materi masih belum jelas

karena adanya faktor penggunaan bahasa

yang susah dipahami oleh peserta Diklat.

Ketiga, kurikulum yang digunakan

dalam Diklat PNS disusun berdasarkan

kebutuhan kompetensi pegawai untuk suatu

jabatan tetentu. Setiap jenis dan jenjang

Diklat mempunyai Tujuan Kurikuler

Umum (TKU) dan Tujuan Kurikuler

Khusus (TKK) yang mengacu pada

kompetensi jabatan. Pembina dalam Diklat

Prajabatan Kabupaten Waropen

menjelaskan tentang kurikulum yang di

gunakan: “Kurikulum yang kami pakai

dalam Diklat Prajabatan mengacu pada

standar kompetensi jabatan dan

perundang-undangan yang berlaku dan

disusun dan ditetapkan oleh Instansi

Pembina Diklat yaitu Lembaga

Administrasi Negara yang

bertanggungjawab dalam penyelenggaraan

Diklat yang menurut kami kualitas materi

yang diberikan sangat relevan dengan

pelaksanaan Tugas Pokok dan Fungsi

pegawai yang bersangkutan”.

Sedangkan peserta pada Diklat

Prajabatan golongan III memaparkan

pendapatnya tentang kurikulum yang

diberikan pada Diklat yaitu: “Kualitas

materi yang kami dapatkan saat mengikuti

Diklat tergolong relevan, karena kami

sebagai peserta mendapatkan Modul atau

bahan ajar yang asli yang diterbitkan oleh

Lembaga Administrasi Negara sebagai

penanggungjawab dalam pelaksanaan

Diklat sekaligus sabagai Pembina

Kurikulum”.

Dari hasil wawancara terhadap

informan – informan diatas, dapat

disimpulkan bahwa kurikulum dan kualitas

materi yang disajikan penyelenggara Diklat

Prajabatan tergolong cukup baik, karena

Page 98: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

93

dilihat dari pemaparan beberapa peserta

diklat, substansi materi yang disajikan bisa

menambah wawasan dan pengetahuan

peserta, selain itu peserta juga mendaptkan

modul asli yang diterbitkan oleh

penanggungjawab kediklatan.

Keempat, sarana dan prasarana

diklat merupakan alat bantu dan fasilitas

yang digunakan untuk menjamin efektivitas

agenda pembelajaran dalam sebuah diklat.

Sarana dan prasarana Diklat dapat dimiliki

sendiri dan atau memanfaatkan saran dan

prasana Diklat Lembaga Diklat Instansi lain

dengan memperhatikan kesesuaian standar

persyaratan setiap jenis, jenjang dan

program Diklat serta jumlah peserta Diklat.

Wawancara penulis dengan salah satu

pembina pada Dilat Prajabatan menyatakan

bahwa : “Sarana dan Prasarana yang

disediakan penyelenggara salah satunya

adalah gedung asrama bagi peserta yang

menurut kami layak untuk dihuni selama

proses Diklat Prajabatan berlangsung, juga

disediakan tempat untuk panitia pelaksana,

tempat meeting dan ruang belajar yang

cukup kondusif untuk keberlangsungan

Diklat”.

Sedangkan salah satu peserta Diklat,

mengungkapkan pendapatnya yaitu

“Sarana dan prasarana yang tersedia

belum memadai karena fasiitas – fasilitas

penunjang seperti ruangan belajar yang

belum dilengkapi dengan AC sehingga kami

sebagai peserta kadang merasa kepanasan

saat menerima materi, selain itu

keterbatasan kamar penginapan yang

membuat beberapa peserta sampai 5 orang

dalam satu kamar padahal peserta butuh

istirahat pada malam hari, ini tentu tidak

kondusif.”

Dari hasil wawancara diatas dapat

disimpulkan bahwa sarana dan prasarana

dalam Diklat prajabatan kurang kondusif,

sehingga peserta merasa tidak nyaman saat

mengikuti Diklat.

Kelima, proses. Berdasarkan hasil

wawancara penulis terhadap informan yaitu

salah satu Pembina dalam Diklat Prajabatan

memaparkan pendapatnya sebagai

berikut:“selama proses Diklat, di mulai

dengan pemaparan materi oleh

widyaswara, kemudian dilanjutkan dengan

diskusi antara peserta dan widyaswara,

kadang diselingi dengan games atau

praktek langsung seperti cara pembuatan

surat dan lain-lain, selama proses Diklat

berlangsung para peserta aktif mengikuti

materi demi materi, dan saat proses diskusi

juga mereka aktif, peserta termotivasi

karena adanya penambahan jumlah poin

nilai yang akan berpengaruh terhadap nilai

akhir mereka.”

Selanjutnya salah satu peserta Diklat

memaparkan pendapatnya sebagai berikut:

“selama proses Diklat berlangsung,

diusahakan untuk bisa lebih aktif dalam

diskusi-diskusi dan praktek langsung, selain

mendapatkan penambahan poin pada

penilaian juga dapat meningkatkan

kemampuan berkomunikasi antara sesama

peserta dan antara peserta dan

widyaswara. Biasanya kami diberikan

games di tengah-tengah materi seperti

peserta di tunjuk untuk menyanyi agar

teman sesama peserta tidak merasa jenuh

saat mengikuti diklat”

Menurut hasil wawancara diatas

dapat disimpulkan bahwa proses Diklat

cukup efektif, karena peserta lebih aktif

selama proses Diklat karena adaya

penambahan poin penilaian, aktifnya

peserta karena didukung oleh agenda

selingan materi seperti games dan praktek

langsung yang tentunya ini cukup baik

karena memotivasi peserta untuk aktif

selama proses diklat berlangsung.

Keenam, evaluasi dalam Diklat

Prajabatan dilakukan oleh Lembaga Diklat

Instansi yang bersangkutan dan atau

Instansi Pembina untuk mengetahui

perkembangan pelaksanaan dan tingkat

pencapaian kinerja penyelenggara Diklat.

Hasil wawancara terhadap informan

terhadap salah satu informan yang juga

sebagai Pembina Diklat Prajabatan

memaparkan evaluasi atau hasil yang

dicapai setelah Diklat terselenggara, yaitu :

“Menurut saya hasil dari Diklat Prajabatan

Tahun Anggaran 2011, tercapai belum

maksimal, terlihat ada beberapa hambatan

yang ditemui dilapangan seperti waktu yang

telah ditentukan biasanya berbeda dengan

yang ditetapkan pada jadwal, hal ini

disebabkan karena komunikasi antara

Page 99: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

94

penyelenggara dengan tenaga pengajar

tidak terkontrol sehingga ada beberapa

agenda tidak terlaksana.”

Sedangkan pemaparan dari salah

satu peserta Diklat Prajabatan Tahun

Anggaran 2011, memaparkan sebagai

berikut: “keseluruhan proses Diklat dari

pembukaan sampai penutupan menurut

kami sebagai peserta Diklat Prajabatan

masih kurang efektif karena selama proses

berlangsung kami menghadapi beberapa

permasalahan selama proses Diklat

berlangsung, seperti adanya wadyswara

pengganti, dan suasana belajar yang kurang

nyaman, ini tentunya berpengaruh terhadap

semangat kami sebagai peserta Diklat. kami

harap kedepan para CPNS yag mengikuti

Diklat Prajabatan lebih memperhatikan

masalah – masalah seperti ini.”

Jadi dapat disimpulkan bahwa hasil

dari evaluasi Diklat menurut beberapa

informan Diklat Prajabatan belum cukup

efektif, hal ini diungkapkan oleh salah satu

informan yang mana sebagai peserta dalam

Diklat Prajabatan.

PEMBAHASAN

Pelaksanaan Diklat Prajabatan

merupakan tahap awal begi pengembangan

Calon Pegawai Negeri Sipil untuk

membentuk kepribadian sebelum menjadi

Pegawai Negeri Sipil untuk lebih disiplin

dan lebih terarah menjalankan tugas dan

tanggung jawab sebagai aparatur Negara.

Pelaksanaan Diklat Prajabatan mengacu

kepada UU Nomor 101 Tahun 2000 tentang

Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai

Negeri Sipil.

UU ini menjadi dasar pelaksanaan

Diklat Prajabatan maupun Diklat Dalam

Jabatan. Mulai dari peserta diklat,

widyaswara, sarana prasarana, waktu dan

tempat pelaksanaan, kurikulum, dan proses

Diklat tersebut, indikator tersebut juga

dikemukakan oleh syadam (2006) beberapa

faktor yang mempengaruhi keberhasilan

Diklat. dari hasil penelitian dilapangan

faktor – faktor tersebut adalah Peserta

Diklat, Widyaswara, Kurikulum, Sarana

dan prasarana,Proses Diklat dan Evaluasi.

PENUTUP

Dari hasil penelitan yang telah

dilakukan oleh penulis dapat disimpulkan

bahwa pelaksanaan Diklat Prajabatan pada

Badan Kepegawaian Pendidikan dan

Pelatihan Daerah Kabupaten Waropen

belum efektif disebabkan oleh faktor

widyaswara dan sarana prasarana.

Sedangkan faktor-faktor lainnya seperti

peserta diklat, kurikulum dan proses diklat

dapat disimpulkan cukup efektif. Faktor

widyaswara dan sarana prasarana

merupakan faktor penunjang keberhasilan

diklat sehingga peningkatan pelayanan yang

memadai dapat dilakukan oleh pihak

penyelenggara Diklat yang akan

berpengaruh kepada kepuasan pegawai agar

pelaksanaan diklat kedepan dapat tercapai

secara efektif.

Adapun saran yang penulis

paparkan terkait dengan hasil penelitian

adalah sebagai berikut pertama,

Widyaswara yang dipakai dalam

pelaksanaan diklat prajabatan seharusnya

benar–benar tenaga pengajar yang memiliki

kompetensi dalam bidangnya serta dapat

menjadi motivator bagi peserta diklat.

Kedua, Peningkatan fasilitas sarana dan

prasarana dalam pelaksanaan diklat perlu

diupayakan agar peserta merasa tidak jenuh

selama diklat berlangsung.

DAFTAR PUSTAKA

Cahyono, Bambang Tri. 1996. Manajemen

Sumber Daya Manusia. Badan

Penerbit IPWI. Jakarta.

Charter, Good V. 1998. Dictionary of

Education.. New York : Mac-Graw-

Hill. Fourth Edition

Djajadisastra, Joesoef. 1990. Pengantar

Administrasi Kerja. Jakarta :

Depdikbud.

Djarwanto, PS dan Pangestu Subagyo.

1990. Statistik Induktif. Yogyakarta

: BPFE.

Hadi, Sutrisno. 1981. Unsur-unsur Pokok

Dalam Metodologi Penelitian

Ilmiah. Bandung : Depdikbud.

Hasibuan, M. 2005. Manajemen Sumber

Daya Manusia. PT Bumi Aksara,

Jakarta.

Page 100: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

95

Hamalik,Oemar. 2005. Pengembangan

SDM Manajemen Ketenagakerjaan

Pendidikan , Jakarta:Bumii Aksara.

Hasibuan, Malayu S.P.1994. Manajemen

Sumber Daya Manusia. Jakarta :

CV. Haji Mas Agung.

Hasibuan,Malayu S.P.2009. Manajemen

Sumber Daya Manusia

.Jakarta:Bumi Aksara.

LAN-RI.1994. Sistem Administrasi Negara

Republik Indonesia. Jakarta:

CV.Haji Mas Agung.

Moleong, Lexi J,Dr.M.A. 2001. Metodologi

Penelitian Kualitatif. Bandung: PT

Remaja Rosdakarya.

Mangkunegara, Anwar Prabu. 2008.

Perencanaan dan Pengembangan

Sumber Daya Manusia. Bandung :

Refika Aditama.

Moekijat. 2001. Latihan dan

Pengembangan Sumber Daya

Manusia. Bandung : Mandar Maju.

Margono. 1997. Metodologi Penelitian

Kerja. Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Maslow, Abraham H. 1971. Motivasi dan

Kepribadian, Jakarta : Pustaka

Binaman Presindo.

Musanef. 1996. Manajemen Kepegawaian

di Indonesia. PT Toko Gunung

Agung,

Jakarta.

Nawawi, Hadari. 1993. Administrasi Kerja.

Jakarta : PT. Gunung Agung.

Noatmodjo,Soekidjo.2009.Pengembangan

Sumber Daya Manusia.

Jakarta:Rineka Cipta.

Ruky, S.A. 2003. SDM Berkualitas. PT

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Sugiyono, 1990. Metode Penelitian

Administrasi. Bandung : Alfabeta.

Surakhmad, Winarno. 1980. Pengantar

Interaksi Kinerja. Tarsito. Bandung.

Susilo, Martoyo. 1987. Manajemen Sumber

Daya Manusia. Edisi 2. Yogyakarta

: BPFE.

Sutisna, Oteng. 1995. Administrasi Kerja:

Dasar-dasar Teoritis untuk Praktek

Profesional. Penerbit Angkasa.

Bandung.

Subagyo,P.1995. Manajemen Kepegawaian

.Jakarta: Ghalia Indonesia.

Steers, M Richard. 1985.Efektivitas

Organisasi. Jakarta: Erlangga.

Sedarmayanti.2007. Manajemen Sumber

Daya Manusia. Bandung:Reflika

Aditama.

Sastro, Dr.B.Siswanto.2003.Manajemen

Tenaga Kerja Indonesia. Jakarta:

Bumi Aksara.

Unisma. 2011. Pedoman Penulisan Tesis.

Malang. Unisma Malang

Umar, H. 2005. Riset Sumber Daya

Manusia dalam Organisasi. PT

Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta.

Referensi Internet :

Sambas.2009.EfektifitasOrganisasi.http://sa

mbasalim.com/manajemen/konsep-

efektivitas-organisasi.html.

http://elib.unikom.ac.id/download.p

hp?id=99247

Peraturan Perundang-undangan:

Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 43 Tahun 1999 Tentang

Perubahan UU Nomor 8 Tahun

1974 Tentang Pokok-Pokok

Kepegawaian.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 101 Tahun 2000

tentangPendidikan dan Pelatihan

Jabatan Pegawai Negeri Sipil.

Dokumen :

Laporan Hasil Diklat. 2011. Waropen :

Badan Kepegawaian, Pendidikan

dan Pelatihan Daerah Kabupaten

Waroepen. Pedoman Diklat

Prajabatan Golongan I,II dan

III.2008. Tana Toraja : Badan

Kepegawaian, Pendidikan dan

Pelatih

Page 101: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

96

PENGARUH FAKTOR GAYA KEPEMIMPINAN, MOTIVASI DAN KOMUNIKASI

TERHADAP PRESTASI KERJA; Studi Pada Pegawai Negeri Sipil Di Pemda

Kabupaten Waropen

1Henike Waitariri,

2M. Bashori Muchsin,

3Slamet Muchsin

1Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Administrasi Publik 2, 3

Dosen Program Studi Magister Ilmu Administrasi Publik

Program Pascasarjana Universitas Islam Malang

Jl. Mt. Haryono 193 Malang, 65144

Abstrak

Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu (1) Untuk mengetahui apakah ada pengaruh

yang signifikan gaya kepemimpinan terhadap prestasi kerja Pegawai Negeri Sipil Di Lingkup

Kerja Kantor Pemda Kabupaten Waropen. (2) Untuk mengetahui apakah ada pengaruh yang

signifikan motivasi pimpinan terhadap prestasi kerja Pegawai Negeri Sipil Di Lingkup Kerja

Kantor Pemda Kabupaten Waropen. (3) Untuk mengetahui apakah ada pengaruh yang

signifikan komunikasi terhadap prestasi Pegawai Negeri Sipil Di Lingkup Kerja Kantor

Pemda Kabupaten Waropen. (4) Untuk mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan

gaya kepemimpinan, motivasi pimpinan dan komunikasi secara bersama-sama terhadap

prestasi kerja Pegawai Negeri Sipil Di Lingkup Kerja Kantor Pemda Kabupaten Waropen.

Populasi adalah semua Pegawai Negeri Sipil Di Lingkup Kerja Kantor Pemda Kabupaten

Waropen yang berjumlah 56 orang yang sekaligus menjadi sample penelitian. Metode

pengumpulan data yang dipakai kuesioner dan dokumentasi. Sedangkan teknik analisis yang

dipakai teknik analisis regresi berganda. Dari hasil analisis yang telah dilakukan dalam

penelitian ini dapat ditarik beberapasebagai berikut. Pertama, Terdapat pengaruh yang

signifikan gaya kepemimpinan terhadap prestasi kerja pegawai negeri sipil di lingkup kerja

Kantor Pemda Kabupaten Waropen. Kedua, Terdapat pengaruh yang signifikan motivasi

pimpinan terhadap prestasi kerja pegawai negeri sipil di lingkup kerja Kantor Pemda

Kabupaten Waropen. Ketiga, Terdapat pengaruh yang signifikan komunikasi terhadap

prestasi kerja pegawai negeri sipil di lingkup kerja Kantor Pemda Kabupaten Waropen.

Keempat, Terdapat pengaruh yang signifikan gaya kepemimpinan, motivasi pimpinan dan

komunikasi terhadap prestasi kerja pegawai negeri sipil di lingkup kerja Kantor Pemda

Kabupaten Waropen.

kata kunci : gaya kepemimpinan, motivasi pimpinan, komunikasi dan prestasi kerja

Abstract

The purpose of this study are (1) To determine whether there are significant effects of

leadership style on job performance in the Scope of the Civil Service Employment Office

Waropen government. (2) To determine whether there is any significant effect on achievement

motivation of the leadership of the Civil Service working in the Scope of Government Office

Waropen. (3) To determine if communications have a significant effect on achievement in the

Scope of the Civil Service Employment Office Waropen government. (4) To determine whether

there are significant effects of leadership style, motivation, leadership and communication

together against job performance in the Scope of the Civil Service Employment Office

Waropen government. The population is all the Civil Service Employment Office in the Scope

of Local Government Waropen totaling 56 people of both the study sample. Methods of data

Page 102: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

97

collection used questionnaires and documentation. While the analytical techniques used

multiple regression analysis techniques. From the results of the analysis conducted in this

study can be drawn following beberapasebagai. First, There is a significant effect of

leadership styles on work performance of civil servants working in the scope of the Office of

Government Waropen. Secondly, There is a significant effect of leadership on achievement

motivation of civil servants working in the scope of work of the Office of Government

Waropen. Third, There is a significant effect of communication on work performance of civil

servants working in the scope of the Office of Government Waropen. Fourth, There is a

significant effect of leadership styles, motivational leadership and communication on the

performance of civil servants working in the scope of work for the Office of Government

Waropen.

key words: leadership style, motivation leadership, communication and work performance.

PENDAHULUAN

Sumber daya manusia merupakan

aset paling penting dalam suatu organisasi

karena merupakan sumber yang

mengarahkan organisasi serta

mempertahankan dan mengembangkan

organisasi dalam berbagai tuntutan

masyarakat dan zaman. Sumber daya

manusia perlu dikembangkan terus-menerus

agar diperoleh sumber daya manusia yang

bermutu dalam arti yang sesungguhnya

yaitu pekerjaan yang dilaksanakan akan

menghasilkan sesuatu yang dikehendaki

memenuhi syarat kualitas dan kuantitas. Di

dalam mencapai tujuan organisasi secara

efektif dan efisien tidaklah mudah, untuk

itu dalam suatu organisasi baik organisasi

pemerintah maupun swasta, formal maupun

informal perlu pengelolaan yang optimal.

Kecanggihan alat dan melimpahnya modal

bukanlah jaminan pencapaian tujuan

organisasi karena keduanya hanyalah benda

mati dan sumber daya manusia merupakan

faktor yang paling menentukan karena

manusia yang akan mengolahnya hingga

nantinya akan menghasilkan apa.

Dalam rangka meningkatkan citra,

kerja dan kinerja instansi pemerintah

menuju kearah profesionalisme dan

menunjang terciptanya pemerintahan yang

baik (good governance), perlu adanya

penyatuan arah dan pandangan bagi

segenap jajaran pegawai Pemerintah yang

dapat dipergunakan sebagai pedoman atau

acuan dalam melaksanakan tugas baik

manajerial maupun operasional diseluruh

bidang tugas dan unit organisasi Instansi

Pemerintah secara terpadu. Pada sebuah

organisasi pemerintahan, sumber daya

manusia terdiri dari pimpinan dan pegawai.

Pemda Kabupaten Waropen merupakan

suatu organisasi pemerintah yang memiliki

personil berjumlah 56 pegawai. Untuk

mewujudkan sikap kerja pegawai yang

baik, diperlukan berbagai cara yang dapat

dilakukan oleh seorang pemimpin suatu

organisasi pemerintah, yaitu dengan

menggunakan gaya kepemimpinan yang

tepat.

Peranan seorang pimpinan penting

untuk mencapai tujuan organisasi yang

diinginkan termasuk organisasi

pemerintahan di lingkup kerja Kantor

Pemda kabupaten Waropen terutama

berkaitan dengan peningkatan prestasi kerja

pegawai dalam melaksanakan tugasnya.

Prestasi kerja pegawai merupakan hasil

kerja yang dapat dicapai seseorang atau

sekelompok orang dalam suatu organisasi

sesuai wewenang dan tanggung jawab

masing-masing dalam rangka mewujudkan

tujuan organisasi. Kepemimpinan adalah

suatu proses kegiatan dan kemampuan

seseorang dalam memimpin, membimbing,

mempengaruhi atau mengontrol pikiran,

perasaan, atau tingkah laku orang lain

dalam mencapai suatu tujuan tertentu

(Wahjosumidjo, 1999 : 16). Sedangkan

yang dimaksud dengan gaya kepemimpinan

(leadership style) adalah merupakan norma

perilaku yang dipergunakan seseorang

pemimpin pada saat mencoba

mempengaruhi perilaku orang lain.

Menurut Oliva (1996, hal 390) pemimpin

Page 103: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

98

(leader) adalah : the individual in the group

given the task of directing and coordinating

task relevant group activities. Suatu proses

atau aktivitas yang dilakukan oleh

pemimpin dalam upaya mempengaruhi

perilaku bawahannya guna mencapai tujuan

organisasi, disebut kepemimpinan. Hal ini

sebagaimana dikemukakan oleh Owens

(1997, hal 129) bahwa : leadership may be

viewed as a process through which others

are influenced achieve goals in a specific

situation.

Di dalam teori sistem sosial, pola

perilaku seseorang sebagian besar muncul

sebagai bagian yang tak terpisahkan dari

suatu sistem sosial yang saling menjalin

dengan pola perilaku orang lain. Pola

perilaku seseorang bukan di sebabkan oleh

kejadian atau peristiwa yang terisolasi. Bila

hal ini dikaitkan dengan situasi kerja maka

antara pimpinan dan pegawai-pegawai

terdapat suatu hubungan timbal balik dan

saling ketergantungan dalam berbagai

kegiatan kantor. Jika pegawai merasa

antipati terhadap pimpinan, maka hal ini

akan mengendorkan semangat kerja para

pegawai di bawah pimpinan itu (Nurtain,

1990 : 57).

Selain bertugas sebagai pemimpin

kantor, pimpinan juga bertugas sebagai

seorang motivator, yaitu memotivasi

pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai,

dimana salah satu bagian pokok dalam

supervisi tersebut adalah memotivasi

pegawai dalam melaksanakan tugasnya.

Motivasi lebih banyak digunakan dan lebih

tepat dalam menggerakkan kinerja pegawai.

Konsepsi tersebut mengaitkan antara

meningkatnya prestasi kerja seseorang

dengan pemuasan berbagai kebutuhan dan

keinginan manusia. Motivasi berasal dari

kata “movere” yang berarti dorongan.

Motivasi diartikan sebagai suatu usaha

untuk menimbulkan suatu dorongan pada

individu atau kelompok agar bertindak atau

melakukan sesuatu (Mohyi, 1996 : 157).

Sebagaimana yang dikemukakan oleh

Vroom (dalam Mulyasa, 2003) yang

mengatakan bahwa ”kinerja seseorang

merupakan fungsi perkalian antara

kemampuan (ability) dan motivasi”.

Namun demikian, perlu juga

dipahami bahwa gaya kepemimpinan dan

motivasi pimpinan bukanlah merupakan

satu-satunya cara meningkatkan prestasi

kerja pegawai, tetapi ada komunikasi.

Dalam melaksanakan tugasnya, pegawai

tidak lepas dari komunikasi dengan sesama

rekan sekerja, dengan atasan dan dengan

bawahan. Komunikasi yang baik dapat

menjadi sarana yang tepat dalam

meningkatkan kinerja pegawai. Melalui

komunikasi, pegawai dapat meminta

petunjuk kepada atasan mengenai

pelaksanaan tugas. Melalui komunikasi

juga pegawai dapat saling bekerja sama satu

sama lain. Secara etimologis (menurut asal-

usul kata), istilah komunikasi dalam bahasa

Inggris “communication”, berasal dari

bahasa Latin “communicatio”, dan

perkataan ini bersumber pada kata

“communis”. Kata communis mengandung

arti sama, maksudnya sama makna.

Sedangkan bentuk dari kata kerja

“comunicatio” adalah “Communicare” yang

artinya bermusyawarah, berunding atau

berdialog. Komunikasi menyarankan

adanya suatu pikiran, suatu makna atau

suatu pesan dianut secara sama. (Mulyana,

2005 : 41). Komunikasi merupakan sebuah

pentransferan makna maupun pemahaman

makna kepada orang lain dalam bentuk

lambang-lambang, simbol, atau bahasa-

bahasa tertentu sehingga orang yang

menerima informasi memahami maksud

dari informasi tersebut (Robbins, 1996 :

65).

Berangkat dari dasar pemikiran

tersebut, peneliti mencoba untuk mengkaji

gaya kepemimpinan dan fungsi pimpinan

sebagai supervisor dan motivator dalam

kaitannya dengan kemampuan kinerja

pegawai dalam sebuah karya tulis dalam

bentuk tesis dengan mengambil judul

penelitian ”Analisis Faktor Gaya

Kepemimpinan, Motivasi Pimpinan dan

Komunikasi Dalam Mempengaruhi Prestasi

Kerja Pegawai Negeri Sipil Di Lingkup

Kerja Kantor Pemda Kabupaten Waropen”.

Berdasarkan latar belakang masalah

yang telah diuraikan di atas, rumusan

masalah yang dapat dikemukakan dalam

penelitian ini adalah (1) Apakah ada

Page 104: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

99

pengaruh yang signifikan gaya

kepemimpinan secara partial terhadap

prestasi kerja Pegawai Negeri Sipil di

Pemda Kabupaten Waropen? (2) Apakah

ada pengaruh yang signifikan motivasi

pimpinan secara partial terhadap prestasi

kerja Pegawai Negeri Sipil di Pemda

Kabupaten Waropen? (3) Apakah ada

pengaruh yang signifikan komunikasi

secara partial terhadap prestasi kerja

Pegawai Negeri Sipil di Pemda Kabupaten

Waropen? (4) Apakah ada pengaruh yang

signifikan gaya kepemimpinan, motivasi

pimpinan dan komunikasi secara simultan

terhadap prestasi kerja Pegawai Negeri

Sipil di Pemda Kabupaten Waropen?

Berdasarkan rumusan masalah tersebut di

atas, penelitian ini dibagi menjadi dua

tujuan yaitu Secara umum tujuan penelitian

ini adalah untuk mengetahui apakah ada

pengaruh yang signifikan gaya

kepemimpinan, motivasi pimpinan dan

komunikasi secara bersama-sama terhadap

prestasi kerja Pegawai Negeri Sipil di

Pemda Kabupaten Waropen. Sedangkan

tujuan khususnya meliputi (1) Untuk

mengetahui apakah ada pengaruh yang

signifikan gaya kepemimpinan secara

partial terhadap prestasi kerja Pegawai

Negeri Sipil di Pemda Kabupaten Waropen,

(2) untuk mengetahui apakah ada pengaruh

yang signifikan motivasi pimpinan secara

partial terhadap prestasi kerja Pegawai

Negeri Sipil di Pemda Kabupaten Waropen,

(3) untuk mengetahui apakah ada pengaruh

yang signifikan komunikasi secara partial

terhadap prestasi kerja Pegawai Negeri

Sipil di Pemda Kabupaten Waropen, dan

(4) untuk mengetahui apakah ada pengaruh

yang signifikan gaya kepemimpinan,

motivasi pimpinan dan komunikasi secara

simultan terhadap prestasi kerja Pegawai

Negeri Sipil di Pemda Kabupaten Waropen.

Adapula manfaat dari hasil penelitian ini

adalah (1) Bagi Pemerintah Daerah. Hasil

penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan pemikiran tentang pentingnya

gaya kepemimpinan, motivasi dan

komunikasi yang dapat meningkatkan

prestasi kerja pegawai. (2) Bagi kantor

sebagai bahan informasi yang berguna bagi

kantor mengenai pentingnya gaya

kepemimpinan, motivasi serta pentingnya

komunikasi yang dapat meningkatkan

prestasi kerja pegawai. (3) Bagi Peneliti

lain. Berguna sebagai bahan referensi bagi

penelitian di masa mendatang sekalipun

dalam perspektif yang berbeda dan

sekaligus sebagai bahan pembanding bagi

penelitian di masa lalu.

METODE PENELITIAN

Metode dalam penilitian

menggunakan metode kuantitatif. Dalam

penelitian ini yang menjadi populasi adalah

semua staf Biro Kepegawaian di Pemda

Kabupaten Waropen yang berjumlah 56

orang. Penelitian ini menggunakan dua

variabel yaitu variabel bebas (X) dan

variabel terikat (Y). Yang termasuk

variabel bebas dalam penelitian ini adalah

gaya kepemimpinan (X1), motivasi

pimpinan (X2) dan komunikasi (X3).

Sedangkan yang termasuk variabel terikat

pada penelitian ini adalah prestasi kerja

pegawai (Y).

Syarat mutlak untuk mendapatkan

hasil penelitian yang valid dan reliabel,

adalah digunakannya instrumen penelitian

yang valid dan reliabel di dalam

pengumpulan datanya. Untuk menguji

validitas butir-butir angket dilakukan uji

coba instrumen atau disebut dengan

validitas empiris. Hasil uji validitas

dianalisis dengan mengkorelasikan skor

butir dengan skor total menggunakan rumus

korelasi Product Moment, perhitungan

menggunakan bantuan komputer program

SPSS 14. Hasil r hitung dengan rumus di

atas dikonsultasikan dengan r tabel pada

taraf signifikansi 5%. Jika r hitung lebih

besar dari pada r tabel maka test tersebut

dinyatakan valid. Dalam penelitian ini

penentuan keterandalan dilakukan

diantaranya alat pengukur (indikator) yang

mengukur suatu variabel yang sama.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya

bahwa indikator-indikator yang hendak

dilihat keterandalannya setelah sahih, oleh

karena itu dapat dilakukan langkah

selanjutnya yang mengkorelasikan

indikator-indikator yang mengukur suatu

variabel yang sama. Teknik korelasi yang

dipergunakan adalah korelasi product

Page 105: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

100

moment yang rumus serta perhitungannya

telah dibahas sebelumnya pada pengujian

kesahihan. Angka korelasi yang diperoleh

adalah indeks keterandalan alat ukur yang

dimaksud. Selanjutnya dibandingkan

dengan nilai kritis tabel korelasi product

moment pada taraf signifikansi 5%. Bila

indeks keterandalan berada di atas nilai

kritis berarti alat pengukur tersebut telah

andal. Sedangkan bila indeks keterandalan

berada di bawah nilai kritis berarti alat

pengukuran itu tidak andal.

Jenis data yang dipakai dalam

penelitian ini adalah data primer dan data

sekunder. Data primer adalah data yang

diperoleh langsung dari para responden

yaitu para pegawai di lingkup kerja Kantor

Pemda Kabupaten Waropen. Sedangkan

data sekunder diperoleh dari bagian

Personalia yang ada di lingkup kerja

Kantor Pemda Kabupaten Waropen.

Pengumpulan data dalam penelitian

ini menggunakan metode angket/kuesioner.

Metode ini merupakan cara yang paling

efektif untuk mengumpulkan data yang

akan digunakan dalam penelitan ini.

Sebelum dilakukan analisis data yang

sesuai untuk hipotesis, maka asumsi-asumsi

yang melandasi penggunaan teknik statistik

tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu

dengan menggunakan perangkat tes

parametrik meliputi Uji Normalitas,Uji

Homogenitas dan Uji Multikolinieritas.

Teknik analisis ini digunakan untuk melihat

besarnya pengaruh dua atau lebih variabel

bebas terhadap suatu variabel tergantung.

Adapun persamaan regresinya adalah

sebagai berikut : Y = a + b1X1 + b2X2 +

b3X3…. (Margono, 1997 : 227)

Keterangan :

Y = kriterium

a = harga konstan

b = koefisien prediktor

X1;X2;X3 =variabel bebas gaya

kepemimpinan, motivasi

pimpinan dan komunikasi.

Adapun perhitungan analisis regresi

berganda dilakukan dengan bantuan

program komputer SPSS 14.0.

HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

Rekapitulasi Hasil Pengujian Hipotesis

Adapun hasil pengujian normalitas

data bahwa variabel gaya kepemimpinan

mempunyai nilai chi square hitung sebesar

9,487 yang lebih kecil dari nilai chi square

tabel pada df 6 sebesar 12,592 (9,487 <

12,592). Kemudian variabel motivasi

pimpinan mempunyai nilai chi square

hitung sebesar 17,592 yang lebih kecil dari

nilai chi square tabel pada df 11 sebesar

19,675 (17,592 < 19,675), variabel

komunikasi mempunyai nilai chi square

hitung sebesar 16,488 yang lebih kecil dari

nilai chi square tabel pada df 10 sebesar

18,307 (16,488 < 18,307) dan yang terakhir

variabel prestasi kerja pegawai yang

mempunyai nilai chi square hitung sebesar

23,459 yang lebih kecil dari nilai chi square

tabel pada df 15 yaitu sebesar 24,996

(23,459 < 24,996).

Hasil pengujian homogenitas

variabel menunjukkan bahwa nilai

probabilitas pada masing-masing variabel

yaitu variabel gaya kepemimpinan (X1)

sebesar 0,464, variabel motivasi pimpinan

(X2) mempunyai nilai probabilitas sebesar

0,295, variabel komunikasi (X3)

mempunyai nilai probabilitas sebesar 0,133

dan variabel prestasi kerja pegawai (Y)

mempunyai nilai probabilitas sebesar 0,194

yang kesemuanya mempunyai nilai

probabilitas yang lebih besar dari taraf

signifikansi 0,05.

Hasil pengujian multikolinieritas

melalui SPSS 14 dapat diketahui bahwa

nilai VIF dari masing-masing variabel

bebas lebih kecil dari 5 sehingga dapat

disimpulkan bahwa tidak terdapat

multikolinieritas pada model yang

digunakan.

Untuk mengetahui bagaimana

hubungan antara variabel bebas terhadap

variabel terikat dilakukan dengan teknik

analisis regresi linier berganda. Berikut ini

akan disajikan rekapitulasi hasil

perhitungan regresi berganda.

Page 106: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

101

Tabel 1

Rekapitulasi Regresi Berganda

Variabel Koefisien

Regresi

t hitung α =

0,05 P r Parsial

Gaya kepemimpinan (X1) 0,434 2,843 0,041 0,404

Motivasi pimpinan (X2) 0,411 2,653 0,018 0,337

Komunikasi (X3) 0,383 2,327 0,037 0,307

Constant = 52,667

R = 0,645

R squared = 0,496

Fratio = 3,538

P = 0,000

Sumber : Hasil Perhitungan SPSS Release 14.0

Berdasarkan hasil perhitungan di

atas, maka diperoleh persamaan regresi

linier berganda sebagai berikut : =

52,667 + (0,434) X1 + (0,411) X2 +

(0,383) X3

Pengujian Hipotesis Pertama

Secara statistik, hipotesis dapat

dijelaskan sebagai berikut:

Ha : py1 > 0 : Terdapat pengaruh yang

signifikan gaya

kepemimpinan terhadap

prestasi kerja pegawai

negeri sipil di lingkup

Kantor Pemda Kabupaten

Waropen.

Ho : py1=0 : Tidak terdapat pengaruh

yang signifikan gaya

kepemimpinan terhadap

prestasi kerja pegawai

negeri sipil di lingkup

Kantor Pemda Kabupaten

Waropen.

Pengujian Hipotesis Kedua

Secara statistik, hipotesis dapat

dijelaskan sebagai berikut :

Ha : py2 > 0 : Terdapat pengaruh yang

signifikan motivasi

pimpinan terhadap prestasi

kerja pegawai negeri sipil

di lingkup Kantor Pemda

Kabupaten Waropen.

Ho:py2= 0 : Tidak terdapat pengaruh

yang signifikan motivasi

pimpinan terhadap prestasi

kerja pegawai negeri sipil

di lingkup Kantor Pemda

Kabupaten Waropen.

Pengujian Hipotesis Ketiga

Secara statistik, hipotesis dapat

dijelaskan sebagai berikut :

Ha : py3 > 0 : Terdapat pengaruh yang

signifikan komunikasi

terhadap prestasi kerja

pegawai negeri sipil di

lingkup Kantor Pemda

Kabupaten Waropen.

Ho:py3=0 : Tidak terdapat pengaruh

yang signifikan komunikasi

terhadap prestasi kerja

pegawai negeri sipil di

lingkup Kantor Pemda

Kabupaten Waropen.

Pengujian Hipotesis Keempat

Secara statistik, hipotesis dapat

dijelaskan sebagai berikut:

Ha : py1,2,3 > 0 : Terdapat pengaruh yang

signifikan gaya

kepemimpinan, motivasi

pimpinan dan

komunikasi secara

bersama-sama terhadap

prestasi kerja pegawai

negeri sipil pada di

Y

Page 107: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

102

lingkup Kantor Pemda

Kabupaten Waropen.

Ho : py1,2,3 = 0 : Tidak terdapat pengaruh

yang signifikan gaya

kepemimpinan, motivasi

pimpinan dan

komunikasi secara

bersama-sama terhadap

prestasi kerja pegawai

negeri sipil di lingkup

Kantor Pemda

Kabupaten Waropen.

Interpretasi Hasil Persamaan Regresi

Berdasarkan hasil persamaan regresi

yang telah dikemukakan diatas, dapat

diketahui bahwa dari ketiga variabel bebas

yang diteliti diketahui bahwa variabel gaya

kepemimpinan (X1) mempunyai pengaruh

yang dominan terhadap prestasi kerja

pegawai yaitu sebesar bX1 = 0,434,

kemudian diikuti dengan variabel motivasi

pimpinan (X2) dengan koefisien regresi

sebesar bX2 = 0,411 dan yang terakhir

variabel komunikasi (X3) dengan koefisien

regresi sebesar bX3 = 0,383.

Interpretasi Pengujian Hipotesis

Pertama

Dari hasil pengujian hipotesis yang

telah dilakukan tersebut, maka interpretasi

hasil pengujian hipotesis pertama diketahui

bahwa koefisien regresi partial diketahui

sebesar 0,404 yang menunjukkan bahwa

variabel gaya kepemimpinan memberikan

kontribusi pengaruh sebesar 40,4%

terhadap variabel prestasi kerja pegawai.

Sedangkan untuk mengetahui tingkat

signifikansi variabel bebas terhadap

variabel terikat Y dapat dilihat pada hasil t

ratio.

Interpretasi Pengujian Hipotesis Kedua

Berdasarkan hasil pengujian

hipotesis yang telah dilakukan tersebut,

maka interpretasi hasil pengujian hipotesis

kedua diketahui koefisien regresi partial

sebesar 0,337 yang menunjukkan bahwa

variabel motivasi pimpinan memberikan

kontribusi pengaruh sebesar 33,7%

terhadap variabel prestasi kerja pegawai.

Interpretasi Pengujian Hipotesis Ketiga

Berdasarkan hasil pengujian

hipotesis yang telah dilakukan tersebut,

maka interpretasi hasil pengujian hipotesis

ketiga diketahui koefisien regresi partial

sebesar 0,307 yang menunjukkan bahwa

variabel komunikasi memberikan kontribusi

pengaruh sebesar 30,7% terhadap variabel.

Interpretasi Pengujian Hipotesis

Keempat

Dari hasil analisis dapat diketahui

bahwa signifikansi Fhitung adalah sebesar

0,000 yang lebih kecil dari α = 0,05. Hal ini

berarti hipotesis nihil ditolak dan hipotesis

alternatif diterima (SigFhitung = 0,000 < α =

0,05).

Dengan kata lain bahwa variabel

gaya kepemimpinan, motivasi dan

komunikasi secara bersama-sama memiliki

pengaruh yang signifikan terhadap variabel

prestasi kerja pegawai, sehingga hipotesis

nihil ditolak dan hipotesis alternatif

diterima.

PEMBAHASAN

Pengaruh Gaya Kepemimpinan

Terhadap Prestasi Kerja Pegawai Negeri

Sipil Di Lingkup Kerja Kantor Pemda

Kabupaten Waropen

Tujuan pertama dari penelitian ini

adalah untuk mengetahui pengaruh gaya

kepemimpinan terhadap prestasi kerja

pegawai negeri sipil di lingkup kerja Kantor

Pemda Kabupaten Waropen. Dari hasil

analisis yang telah dikemukan di atas

menunjukkan bahwa terdapat pengaruh

yang signifikan gaya kepemimpinan

terhadap prestasi kerja pegawai, yang

ditunjukkan dengan nilai probabilitas thitung

lebih kecil dari α=0,05 (p= 0,041 < 0,05).

Oleh karena itu gaya kepemimpinan

sangat berperan dalam meningkatkan

prestasi kerja pegawai, hal ini dikarenakan

kemampuan setiap pimpinan akan sangat

mempengaruhi bawahan, baik dalam

mengembangkan pola perilaku, baik berupa

tingkah laku, tindakan, maupun cara-cara

dalam keseluruhan kegiatan yang

digunakan kantor untuk mencapai

keberhasilan suatu kantor.

Page 108: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

103

Pengaruh Motivasi Pimpinan Terhadap

Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil Di

Lingkup Kerja Kantor Pemda

Kabupaten Waropen

Dari hasil analisis yang telah

dikemukan di atas menunjukkan bahwa

terdapat pengaruh yang signifikan motivasi

pimpinan terhadap prestasi kerja pegawai,

yang ditunjukkan dengan nilai probabilitas

thitung lebih kecil dari α=0,05 (p= 0,018 <

0,05).

Hal ini berarti seseorang yang

termotivasi tinggi, dia dengan penuh

kesadaran dan tanggungjawab akan

melakukan tugas yang diembannya dengan

lebih baik, dan berusaha lebih keras

memperbaiki kualitas kinerjanya, dengan

mencari metode kerja baru yang lebih

mudah diterima oleh pegawai.

Pengaruh Komunikasi Terhadap

Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil Di

Lingkup Kerja Kantor Pemda

Kabupaten Waropen

Tujuan ketiga dari penelitian ini

adalah untuk mengetahui pengaruh

komunikasi terhadap prestasi kerja pegawai

negeri sipil di lingkup kerja Kantor Pemda

Kabupaten Waropen. Dari hasil analisis

yang telah dikemukan di atas menunjukkan

bahwa terdapat pengaruh yang signifikan

komunikasi terhadap prestasi kerja

pegawai, yang ditunjukkan dengan nilai

probabilitas thitung lebih kecil dari α=0,05

(p= 0,037 < 0,05).

Melalui komunikasi yang efektif

dalam kantor, pihak pimpinan dapat

mengetahui saran, tanggapan terhadap

kebutuhan pegawai sehingga dapat

mengambil suatu kebijaksanaan untuk

mencapai tujuan kantor. Sedangkan pihak

pegawai dapat memahami pekerjaan

mereka dengan baik, dapat melakukan

koordinasi dengan atasan dan rekan kerja

sehingga tercipta rasa keterikatan dan

loyalitas pegawai terhadap kantor.

Pengaruh Gaya Kepemimpinan,

Motivasi dan Komunikasi Secara

Bersama-Sama Terhadap Prestasi Kerja

Pegawai Negeri Sipil Di Lingkup Kerja

Kantor Pemda Kabupaten Waropen

Tujuan keempat dari penelitian ini

adalah untuk mengetahui pengaruh gaya

kepemimpinan, motivasi pimpinan dan

komunikasi secara bersama-sama terhadap

prestasi kerja pegawai negeri sipil di

lingkup kerja Kantor Pemda Kabupaten

Waropen. Dari hasil analisis yang telah

dikemukakan di atas menunjukkan bahwa

terdapat pengaruh yang signifikan gaya

kepemimpinan, motivasi pimpinan dan

komunikasi secara bersama-sama terhadap

prestasi kerja pegawai negeri sipil di

lingkup kerja Kantor Pemda Kabupaten

Waropen, yang ditunjukkan dengan

signifikansi Fhitung adalah sebesar 0,000

yang lebih kecil dari α = 0,05 (SigFhitung =

0,000 < α = 0,05).

Namun demikian, perlu juga

dipahami bahwa gaya kepemimpinan dan

motivasi pimpinan bukanlah merupakan

satu-satunya cara meningkatkan prestasi

kerja pegawai, tetapi ada komunikasi.

Dalam melaksanakan tugasnya, pegawai

tidak lepas dari komunikasi dengan sesama

rekan sekerja, dengan atasan dan dengan

bawahan. Komunikasi yang baik dapat

menjadi sarana yang tepat dalam

meningkatkan kinerja pegawai. Melalui

komunikasi, pegawai dapat meminta

petunjuk kepada atasan mengenai

pelaksanaan tugas. Melalui komunikasi

juga pegawai dapat saling bekerja sama satu

sama lain.

PENUTUP

Dari hasil analisis yang telah

dilakukan dalam penelitian ini dapat ditarik

beberapa kesimpulan sebagai berikut.

Pertama, Terdapat pengaruh yang

signifikan gaya kepemimpinan terhadap

prestasi kerja pegawai negeri sipil di

lingkup kerja Kantor Pemda Kabupaten

Waropen. Kedua, Terdapat pengaruh yang

signifikan motivasi pimpinan terhadap

prestasi kerja pegawai negeri sipil di

lingkup kerja Kantor Pemda Kabupaten

Waropen. Ketiga, Terdapat pengaruh yang

Page 109: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

104

signifikan komunikasi terhadap prestasi

kerja pegawai negeri sipil di lingkup kerja

Kantor Pemda Kabupaten Waropen.

Keempat, Terdapat pengaruh yang

signifikan gaya kepemimpinan, motivasi

pimpinan dan komunikasi terhadap prestasi

kerja pegawai negeri sipil di lingkup kerja

Kantor Pemda Kabupaten Waropen.

Berdasarkan kesimpulan di atas,

maka beberapa saran yang dapat diajukan

dalam penelitian ini sebagai berikut.

Pertama, Hendaknya pimpinan memiliki

gaya kepemimpinan yang tangguh. Kedua,

Hendaknya mempunyai kemampuan dalam

memberikan motivasi yang tepat dan lebih

banyak. Ketiga, Pimpinan perlu

memperhatikan komunikasi pegawai

dengan memberikan penjelasan tentang apa

yang harus dilakukan pegawai, seberapa

baik mereka mengerjakannya dan apa yang

dapat dilakukan untuk meningkatkan

kinerja jika sedang berada di bawah

standar. Keempat, Hasil penelitian ini dapat

dijadikan sebagai acuan pada penelitian

pengembangan dan penelitian lanjutan

dengan menambahkan atau

mengembangkan variabel lain atau aspek-

aspek lain yang tidak termasuk dalam

penelitian ini yang berhubungan dengan

prestasi kerja pegawai.

DAFTAR PUSTAKA

As‟ad, M., 1995. Psikologi Industri.

Yogyakarta:Liberty

Adams, H.F and Dickey, F.G. 1990. Basic

Prinsiples of Supervision. New

York : American Book Company.

Arikunto, Suharsimi., 1990. Manajemen

Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta.

___________________1997. Metodologi

Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Briggs, T.H. 1991., Improving Instruction.

New York : Mc. Millan Company.

Black, James A. dan Dean J. Champion.

1994. Metode dan Masalah

Penelitian Sosial. Bandung:

Eresco.

Cahyono, B.T., 1996. Manajemen Sumber

Daya Manusia. Jakarta : Badan

Penerbit IPWI.

Charter, V.G. 1998., Dictionary of

Education. Fourth edition. New

York : Mc-Graw-Hill.

Cherrington, D.J., 1994. Organizational

Behavior The Management of

Individual and Organizational

Performance. Second edition.

Needham Heights, Massachusetts.

Dessler, G., 1986. Manajemen Personalia.

(Edisi Ketiga) (Terjemahan oleh

Agus Dharma). Jakarta: Erlangga.

Djailani. 1984. Pengaruh Supervisi Kepala

Dinas Terhadap Kinerja Pegawai di

Dinas Pertanian Kabupaten

Lamongan. Tesis Magister

Administrasi. PPs STIE Widya

Jayakarta, Jakarta.

Dharma, Agus., 1992. Manajemen Perilaku

Organisasi; Pendayagunaan

Sumber Daya Manusia. Edisi

Keempat. Jakarta : Penerbit

Erlangga.

Fine, S. A. 1986. Job Analysis. Dalam R.

A. Berk (Ed.), Performance

Assessment. Baltimore: The John

Hopkins University Press.

Gusnaldi. 2004. Analisis Faktor-Faktor

yang Mempengaruhi Kinerja

Karyawan PT. KAI Madiun.

Skripsi. Fakultas Ekonomi. PPs

STIE Widya Jayakarta, Jakarta.

Gomes, F.C., 2000. Manajemen Sumber

Daya Manusia. Yogyakarta : Andi

Offset.

Hasibuan, M.S.P., 2003. Manajemen

Sumber Daya Manusia. Jakarta :

Bumi Aksara.

Hasan, Z. M., 1991. Jenis dan Rancangan

Penelitian Kuantitatif. Malang :

Pusat Penelitian IKIP.

Handoko, T. Hani., 1993. Manajemen

Personalia dan Sumber Daya

Manusia. Yogyakarta : BPFE.

Halphin, F., 1991. Educational

Administration. New York :

Random House Inc.

Purwanto, N., 2001. Administrasi dan

Supervisi Pimpinan. Cet-13.

Bandung: Remaja Rosdakarya.

Pidarta, Made., 1995. Manajemen

Pemerintahan Indonesia. Jakarta:

Bina Aksara.

Page 110: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

105

Rifai, M., 1992. Supervisi Pimpinan. Edisi

keempat. Bandung : Penerbit

Jemmars.

Sarwono, Jonathan., 2006. Analisis Data

Penelitian Menggunakan SPSS 14.

CV. Andi Offset.

Sudjana, Nana., 2000. Teori-teori

Pelaksanaan Tugas. Jakarta :

Lembaga Penerbit Fakultas

Eknomi UI.

Sudrajat. 2001. Analisis Orientasi

Kepemimpinan dan Pemberian

Motivasi Kerja Pegawai di Instansi

Kesdam V Brawijaya. Tesis

Magister Administrasi Publik. PPs

STIE Widya Jayakarta, Jakarta.

Singodimejo, M., 1999. Manajemen

Sumber Daya Manusia. Jakarta :

AIMI.

Siagian, S., 2002. Kiat Meningkatkan

Produktivitas Kerja. Jakarta :

Rineka Cipta.

La Sulo, S.L., 1991. Pendekatan dan

Teknik-teknik Supervisi Klinis.

Cet-10. Jakarta: Departemen P dan

K, Ditjen Pend. Tinggi, PPLPTK.

UNISMA. 2012. Metodologi Penelitian.

Malang.

Maeir, N.R.F., 1965. Designing Training

Programs. The Critical Evant

Model : Addison Wesley

Publishing Company. California

London.

Mataheru, F. 1995. Supervisi Kantor.

Surabaya : Penerbit Usaha

Nasional.

Mohyi, Ach., 1996. Teori dan Perilaku

Organisasi. UMM Pres. Surabaya:

Rajasa.

Mulyasa., 2002. Menjadi Pimpinan yang

Profesional. Bandung : Remaja

Rosda Karya.

Nawawi, H., 1997. Administrasi

Pemerintahan. Jakarta : PT. Toko

Gunung Agung.

Owens, R.G., 1997. Organizational

Behavior In Educatio. New Jersey:

Prentice Hall Inc. Englewood

Cliffs..

Wahjosumidjo., 1992. Kepemimpinan dan

Motivasi. Jakarta : Ghalia

Indonesia.

Wiyono. 1999. Analisis Hubungan Gaya

Kepemimpinan Kepala Dinas,

Upah insebtif dan Beban Kerja

Terhadap Motivasi Kerja Pegawai

Pemda Kabupaten Lamongan.

Skripsi Administrasi Publik. PPs

STIE Widya Jayakarta, Jakarta.

Page 111: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

106

DAMPAK PENGALAMAN KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI BADAN

PENYULUHAN PERTANIAN, PERKEBUNAN, PETERNAKAN, PERIKANAN DAN

KEHUTANAN (BP4K) KABUPATEN WAROPEN

(BP4K) KABUPATEN WAROPEN

1Henriko Arisoy,

2Masykuri Bakri,

3Nurul Umi Ati

1Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Administrasi Publik 2, 3

Dosen Program Studi Magister Ilmu Administrasi Publik

Program Pascasarjana Universitas Islam Malang

Jl. MT. Haryono 193 Malang, 65144

Abstrak

Tujuan penelitian ini antara lain (1) Mendiskripsikan dampak dari faktor pengalaman

kerja terhadap kinerja pegawai Badan Penyuluhan Pertanian, Perkebunan, Peternakan,

Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Waropen. (2) Mendiskripsikan upaya peningkatan

kinerja pegawai melalui promosi jabatan pada Badan Penyuluhan Pertanian, Perkebunan,

Peternakan, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Waropen. Populasi yang digunakan

pada penelitian ini adalah seluruh Pegawai yang ada di Badan Pelaksana Penyuluhan

Pertanian, Perikanan dank ehutanan (BP4K) Kabupaten Waropen. Sampel pada penelitian

ini ditetapkan sebanyak 20 orang Pegawai secara proporsional pada Badan Pelaksana

Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Waropen. Dalam

penelitian ini peneliti menggunakan 2 maca jenis data, yaitu data primer dan data sekunder.

Pengumpulan data yang utama dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (indepth

interview) atau wawancara kualitatif, dokumentasi dan observasi. Pelaksanaan teknik

pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu. Ada empat kriteria yang

dikembangkan oleh Lincoln dan Guba (1985) dalam Moleong (2009:324-342), yaitu derajat

kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability) dan

kepastian (confirmability). Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor pengalaman kerja

dapat mempengaruhi meningkatnya Kinerja Pegawai pada Badan Pelaksana Penyuluhan

Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Waropen, yang ditunjukkan dengan

adanya responden yang lebih banyak memilih meningkatnya kinerja pegawai dari

pengalaman kerja dan promosi jabatan dalam meningkatkan kinerja Pegawai pada Badan

Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Waropen.

kata kunci : pengalaman kerja, kinerja pegawai

Abstract

The purpose of this study include (1) Describing the impact of factors on the

performance of employee work experience Agricultural Extension Agency, Agriculture,

Animal Husbandry, Fisheries and Forestry Waropen. (2) To describe efforts to improve

employee performance through the promotion of the Agency for Agricultural Extension,

Agriculture, Animal Husbandry, Fisheries and Forestry Waropen. The population used in this

study are all existing employees in the Executive Agency for Agricultural Extension, Fisheries

dank ehutanan (BP4K) Waropen. The samples in this study are set as many as 20 employees

in proportion to the Executive Agency for Agricultural Extension, Fisheries and Forestry

(BP4K) Waropen. In this study the researchers used two maca types of data, namely primary

data and secondary data. Primary data collection in this study were in-depth interviews or

Page 112: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

107

qualitative interviews, documentation and observation. Implementation of inspection

techniques based on certain criteria. There are four criteria developed by Lincoln and Guba

(1985) in Moleong (2009:324-342), the degree of confidence (credibility), transferability,

dependability and certainty (confirmability). The results showed that work experience factors

can affect employee performance increase in Counseling Executive Agency of Agriculture,

Fisheries and Forestry (BP4K) Waropen, as indicated by the respondents are more likely to

choose the improved performance of the employees and the promotion of work experience in

improving the performance of employees in Education Executive Agency of Agriculture,

Fisheries and Forestry Waropen.

keywords: work experience, employee performance.

PENDAHULUAN Perkembangan lingkungan strategis

nasional dan internasional yang dihadapi

dewasa ini dan di masa datang

mensyaratkan perubahan paradigma

kepemerintahan, pembaharuan sistem

kelembagaan, dan peningkatan kompetensi

sumber daya manusia dalam

penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan bangsa serta hubungan antar

bangsa yang mengarah pada

terselenggaranya kepemerintahan yang baik

(good governance). Berbagai pengaruh

perubahan yang terjadi akibat reformasi

menuntut organisasi baik organisasi swasta

maupun pemerintah untuk mengadakan

inovasi-inovasi guna menghadapi tuntutan

perubahan dan berupaya menyusun

kebijakan yang selaras dengan perubahan

lingkungan. Suatu organisasi haruslah

mampu menyusun kebijakan yang tepat

untuk mengatasi setiap perubahan yang

akan terjadi. Keberhasilan penyusunan

kebijakan yang menjadi perhatian adalah

Manajemen yang menyangkut

pemberdayaan sumber daya manusia.

Sebuah ironi apabila otonomi hanya

menjadi sarang kejahatan yang sama.

Dewasa ini pembangunan bidang

pemerintahan khususnya dalam rangka

meningkatkan pelayanan masyarakat

semakin banyak mendapat sorotan. Hal ini

disebabkan karena kehidupan masyarakat

yang semakin modern, sehingga kualitas

pelayanan terhadap masyarakat semakin

dituntut pada peningkatan kualitas seluruh

tatanan administrasi pemerintahan,

termasuk peningkatan kemampuan dan

disiplin, pengabdian dan

keteladanan.Kenyataan di atas menuntut

para pejabat pemerintah, agar semakin

mampu melaksankana tugas pemerintah dan

pembangunan dengan sebaik-baiknya,

hususnya dalam melayani, mengayomi serta

menumbuhkan prakarsa dan peran aktif

masyarakat dalam pembangunan.

Keberhasilan suatu organisasi dalam

mencapai tujuannya sangat ditentukan oleh

sumber daya manusia atau pegawai yang

kompeten. Dalam organisasi sumber daya

manusia yang baik dapat dilihat dari

tingkah laku setiap orang yang baik,

hubungan atau kerja sama yang baik setiap

anggotanya, penataan susunan organisasi

secara rapi, dan prosedur kerja dalam roda

organisasi, sedangkan kompetensi pegawai

adalah suatu uraian keterampilan,

pengetahuan dan sikap yang utama

diperlukan untuk mencapai kinerja yang

efektif dalam pekerjaan. Efektif

mengandung pengertian bila suatu tujuan

dapat dicapai dengan baik dan benar.

Pembentukan dan pembinaan

Sumber Daya Manusia (SDM) yang

berkualitas menghadapi tantangan yang

cukup berat dan sarat dengan keterbatasan,

khususnya dalam menyiapkan kualitas

sumber daya manusia yang mampu

bersaing di pasar global. Kondisi ini

menjadi semakin berat karena hingga saat

ini Indonesia belum mampu keluar

sepenuhnya dari krisis multi dimensi yang

terjadi sejak tahun 1997 dan sangat

berpengaruh pada berbagai aspek

kehidupan. Kualitas SDM di Indonesia

belum menunjukkan hasil yang belum

sesuai tuntutan jaman. Organisasi sangat

berkepentingan dengan sumber daya

Page 113: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

108

manusia, hal ini terlihat dari pernyataan

Werther dan Davis (dalam Marwansyah dan

Mukaram, 1999, h. 5): “organisasi hanya

dapat tumbuh dan berkembang melalui

perhatian yang sungguh-sungguh kepada

kebutuhan-kebutuhan para karyawan”.

Agar organisasi dapat berkembang dan

mampu mencapai tujuannya, maka perlu

diciptakan iklim organisasi yang kondusif.

Pentingnya iklim organisasi yang kondusif

bagi pengembangan sumber daya manusia

dinyatakan Randy et.al (2002, h. 132-133):

“The climate within organization is an

important factor in human resource

development success. If the climate is not

conducive to human resource development,

designing and implementing a program will

be difficult“.

Berbagai program pengembangan

SDM telah dicanangkan dalam rangka

pembentukan SDM berkualitas dan

profesional serta mampu bersaing di pasar

bebas, namun sampai dengan saat ini belum

tampak tanda-tanda SDM Indonesia mampu

bersaing dengan SDM negara-negara lain.

Dengan demikian dapat diduga dalam

jangka pendek, Indonesia akan sulit

bersaing pada berbagai aspek dengan

negara-negara disekitarnya, karena SDM

yang dimilikinya masih lemah. Untuk itu

perlu dibangun SDM Indonesia secara

berkesinambungan.

Kinerja atau prestasi kerja pegawai

terlihat dari keseriusan mereka dalam

melaksanakan tugas dan tanggung

jawabnya. Salah satu indikasi dari

keseriusan menjalankan tugas tersebut

adalah kehadiran Pegawai dalam

menjalankan tugas yang menjadi tanggung

jawabnya. Kinerja (performance) menurut

William (1995, h. 41) adalah suatu tampilan

kerja yang diperlihatkan seseorang berupa

hasil kerja dalam satu satuan waktu.

Sementara Gibson Ivancevich dan Donelly

(1996, h. 118) menyatakan bahwa kinerja

adalah tingkat keberhasilan dalam

melaksanakan tugas dan kemampuan untuk

mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Cardoso Gomes (1996, h. 142) menyatakan

kinerja adalah catatan hasil produksi pada

fungsi pekerjaan yang spesifik atau

aktivitas selama periode waktu tertentu.

Pegawai sebagai ujung tombak

penyelenggara kepentingan dan aspirasi

rakyat merupakan orang yang paling dekat

hubungannya dengan masyarakat. Fungsi

dan peran pegawai sebagai pelayan

masyarakat memiliki arti yang strategis

dalam pencapaian tujuan yang dikehendaki

oleh masyarakat. Oleh karena itu pegawai

harus mampu menunjukkan prestasi kerja

dan dapat melaksanakan tugas-tugas yang

diberikan manajer (Pimpinan), khususnya

dalam melaksanakan tugas profesi pegawai

yakni sebagai abdi negara yang

memberikan pelayanan pada masyarakat.

Selain dipengaruhi oleh faktor

internal seperti latar belakang pendidikan,

pengalaman kerja, motivasi kerja ataupun

kepuasan atas balas jasa dari pekerjaannya,

kinerja atau prestasi kerja Pegawai

dipengaruhi pula oleh faktor eksternal.

Faktor eksternal yang diduga kuat

memberikan pengaruh terhadap kinerja

pegawai adalah iklim organisasi.

Keberadaan pegawai di kantor tidak

terlepas dari iklim organisasi tempat ia

menjalankan tugasnya. Iklim organisasi

dapat memberikan pengaruh positif atau

negatif kepada pegawai, serta dapat pula

mempengaruhi hubungan personal di kantor

tersebut. Hubungan-hubungan tersebut

meliputi hubungan antar pegawai, pegawai

dengan pimpinan, dan yang paling

mendasar adalah hubungan pegawai dengan

masyarakat.

Pegawai yang mempunyai

pengalaman kerja yang memadai, secara

positif akan mendukung kemampuannya

dalam cara melaksanakan tugas yang

menjadi tanggung jawabnya. Pegawai yang

berpengalaman akan merasa lebih mudah

dalam menghadapi masalah-masalah dalam

proses pelaksanaan tugas yang berkaitan

dengan pelayanan terhadap masyarakat.

Berangkat dari asumsi penulis

paparkan diatas sangat relevan dengan

kondisi perkembangan pengalaman kerja

terhadap kinerja pegawai pada Badan

Penyuluhan Pertanian, Perkebunan,

Peternakan, Perikanan dan Kehutanan

Kabupaten Waropen sehingga penulis

merasa perlu untuk melakukan penelitian

lebih lanjut dengan judul “Dampak

Page 114: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

109

Pengalaman Kerja Terhadap Kinerja

Pegawai Badan Penyuluhan Pertanian,

Perkebunan, Peternakan, Perikanan dan

Kehutanan (BP4K) Kabupaten Waropen”

Berdasarkan uraian di atas dapat

dirumuskan permasalahan-permasalahan

sebagai berikut, (1) Apakah dampak dari

faktor pengalaman kerja terhadap kinerja

Pegawai Badan Penyuluhan Pertanian,

Perkebunan, Peternakan, Perikanan dan

Kehutanan Kabupaten Waropen? (2)

Bagaimana upaya peningkatan kinerja

pegawai melalui promosi jabatan pada

Badan Penyuluhan Pertanian, Perkebunan,

Peternakan, Perikanan dan Kehutanan

Kabupaten Waropen? Adapun tujuan

penelitian ini antara lain (1)

Mendiskripsikan dampak dari faktor

pengalaman kerja terhadap kinerja pegawai

Badan Penyuluhan Pertanian, Perkebunan,

Peternakan, Perikanan dan Kehutanan

Kabupaten Waropen. (2) Mendiskripsikan

upaya peningkatan kinerja pegawai melalui

promosi jabatan pada Badan Penyuluhan

Pertanian, Perkebunan, Peternakan,

Perikanan dan Kehutanan Kabupaten

Waropen. Hasil penelitian diharapkan dapat

memberikan manfaat sebagai berikut (1)

Secara konseptual, hasil penelitian

diharapkan memberikan dukungan terhadap

konsep dan teori yang berkaitan dengan

manajemen sumber daya manusia. (2)

Secara praktis, hasil penelitian diharapkan

dapat memberikan masukan kepada

Pegawai Badan Penyuluhan Pertanian,

Perkebunan, Peternakan, Perikanan dan

Kehutanan Kabupaten Waropen atas

kinerja yang telah diraih untuk dijadikan

bahan referensi dalam rangka meningkatkan

kemampuan profesi dan prestasi kerja dan

Institusi (Badan Penyuluhan Pertanian,

Perkebunan, Peternakan, Perikanan dan

Kehutanan Kabupaten Waropen),

khususnya Pimpinan dalam rangka

menyusun dan menetapkan strategi

manajemen yang mengarah kepada

perbaikan dan peningkatan pengelolaan

organisasi.

METODE PENELITIAN

Pendekatan yang dipakai dalam

penelitian adalah pendekatan kualitatif.

Penelitian ini dilaksanakan di BP4K

Kabupaten Waropen. Subjek dalam

penelitian ini adalah Kepala Badan

Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan

dan Kehutanan Kabupaten Waropen,

Kepala BPP Sawara Jaya, Tokoh

Masyarakat/Kepala Kampung.

Dalam penelitian ini peneliti

menggunakan 2 maca jenis data, yaitu (1)

Data Primer dari hasil wawancara

mendalam terhadap informen kunci, (2)

Data sekunder adalah data pendukung yang

bersumber dari pihak-pihak tertentu

berhubungan dengan penelitian ini seperti

data laporan penelitian dan refrensi

pendukung, dokumentasi yang berkaitan

dengan objek penelitian.

Pengumpulan data yang utama

dalam penelitian ini adalah wawancara

mendalam (indepth interview) atau

wawancara kualitatif, dokumentasi dan

observasi. Dalam konteks penelitian ini

penulis menggunakan interview bebas

Metode ini digunakan untuk mengetahui

keterangan atau data tentang sekitar

problematika Faktor Pengalaman Kerja

Terhadap Kinerja Pegawai Badan Pelaksana

Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan

Kehutanan Kabupaten Waropen.

Dokumentasi pada penelitian ini dilakukan

dengan cara pencacatan dokumen maupun

data lain yang relevansi atau berkaitan

dengan Faktor Pengalaman Kerja Terhadap

Kinerja Pegawai Badan Pelaksana

Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan

Kehutanan Kabupaten Waropen. Tahap

Observasi dilakukan dengan cara

mendatangikantor Badan Pelaksana

Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan

Kehutanan Kabupaten Waropen .

Untuk menetapkan keabsahan

(trustworthiness) data diperlukan teknik

pemeriksaan. Pelaksanaan teknik

pemeriksaan didasarkan atas sejumlah

kriteria tertentu. Ada empat kriteria yang

dikembangkan oleh Lincoln dan Guba

(1985) dalam Moleong (2009:324-342),

yaitu derajat kepercayaan (credibility),

keteralihan (transferability),

kebergantungan (dependability) dan

kepastian (confirmability).

Data hasil penelitian tentang Faktor

Page 115: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

110

Pengalaman Kerja Terhadap Kinerja

Pegawai Badan Pelaksana Penyuluhan

Pertanian, Perikanan dan Kehutanan

Kabupaten Waropen sehingga peneliti

mereduksi dalam beberapa bagian yang

dianggap penting, terkait dengan

pengalaman kerja dan kinerja pegawai.

Dalam mereduksi data ini bertujuan untuk

mengetahui perkembangan Faktor

Pengalaman Kerja Terhadap Kinerja

Pegawai Badan Pelaksana Penyuluhan

Pertanian, Perikanan dan Kehutanan

Kabupaten Waropen. Proses terakhir dalam

analisis menurut Miles and Humberman

adalah penarikan kesimpulan dan

verifikasi.

HASIL PENLITIAN DAN

PEMBAHASAN

Terhadap Kinerja Pegawai Badan

Penyuluhan Pertanian, Perkebunan,

Peternakan, Perikanan Dan Kehutanan

(Bp4k) Kabupaten Waropen

Hasil Penelitian dilakukan dengan

wawancara terhadap 1). Kepala Badan

Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan

dan Kehutanan Kabupaten Waropen yaitu

(Bapak Korinus Reri SP, MM, 2). Kepala

BPP Sawar Jaya yaitu Bapak Sedari N.

Wonatorey,SST; dan 3). Kepala Kampung

Rorisi selaku tokoh Masyarakat yaitu

Bapak Maklon Wonatorei. Hasil

Wawancara dengan Bapak Kepala Badan

Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan

dan Kehutanan Kabupaten Waropen adalah

sebagai berikut: “Pegawai Badan

Pelaksana Penyuluhan Pertanian,

Perikanan dan Kehutanan Kabupaten

Waropen pada umumnya merupakan

pegawai yang memiliki pengalaman di

semua sub sector pertanian yaitu pertanian,

peternakan perkebunan, perikanan dan

kehutanan, dengan demikian diharapkan

sejak berdirinya Badan Pelaksana

Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan

Kehutanan Kabupaten Waropen Tahun

2008 maka adanya perubahan-

perubahandalam peningkatan produksi

pertanian yang menjadi tolok ukur bagi

peningkatan kinerja pegawai,

sehinggaperlahan-lahan harga pasar dapat

diimbagi dengan peningkatan harga

produksi pertanian”.

Wawancara dengan Bapak Kepala

BPP Sawara Jaya yaitu Bapak Sedar

Wonatorei, SP.MM adalah sebagai berikut:

“Sebagian Besar Pegawai Badan

Pelaksana Penyuluhan Pertanian,

Perikanan dan Kehutanan Kabupaten

Waropen adalah Pegawai yang masa

kerjanya kurang dari sepuluh tahun

terutama bagi Penyuluh-penyuluh

pertanian, hal ini menunjukan kepada kita

bahwa untuk meningkatkan produksi

pertanian terutama ketahanan pangan local

yang handal terutama untuk pemenuhan

kebutuhan keluarga belum dapat terwujud

maksimal seperti yang kita harapkan. Hal

ini ditandai dengan tingginya harga pasar

hasil-hasil pertanian. Berpulang dari

pengalaman tersebut maka dapat

dikategorikan bahwa kurangnya

pemahaman dan pembekalan serta

pelatihan-pelatihan bagi penyuluh untuk

pengembangan dirinya akan mempengaruhi

transfer informasi kepada masyarakat

untuk lebih menggunakan tekhnologi

pertanian tepat guna dalam rangka

peningkatan produksi hasil pertanian.

Diharapkan semakin banyak kegiatan

penyuluhan di sector pertanian,

peternakan, perkebunan, perikanan dan

kehutanan dapat memberikan kontribusi

positif bagi peningkatan produksi

pertanian. Semakin banyak kegiatan

tersebut dan seiring dengan masa kerja

maka penyuluh lebih solid dalam

meningkatkan kinerja penyuluh dalam

implementasinya di masyarakat”.

Lamanya masa kerja Pegawai pada

Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian,

Perikanan dan Kehutanan Kabupaten

Waropen masa kerja pegawai sangat

memberikan dampak kinerja atau prestasi

kerja, hal ini ditandai dengan lama masa

kerja pegawai berarti semakin lama

berpengalaman dan lebih profesional dalam

menangani seluruh pekerjaan dengan hasil

yang baik.

Page 116: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

111

Upaya Peningkatan Kinerja Pegawai

Badan Penyuluhan Pertanian,

Perkebunan, Peternakan, Perikanan Dan

Kehutanan (Bp4k) Kabupaten Waropen

Kinerja yang baik adalah kinerja

yang mengikuti tata cara atau prosedur

sesuai standar yang telah ditetapkan. Akan

tetapi didalam kinerja tersebut harus

memiliki beberapa kriteria agar

meningkatkan produktifitas sehingga apa

yang diharapkan bisa berjalan sesuai apa

yang di inginkan. Untuk meningkatkan

kinerja yang baik harus introspeksi diri

demi tercapainya kinerja yang lebih baik

kedepannya, bekerja sesuai posisi, porsi,

dan jobnya masing-masing. Namun

demikian hal tersebut tidaklah semudah

membalikan telapak tangan tetapi mesti ada

peran langsung ke ikut sertaan manajemen

untuk bisa mengontrol dan memberikan

teknik cara agar bagaimana bisa

terjaminnya mutu dan kualitas sehingga

karyawan bisa dengan mudah bekerja tanpa

ada rasa terbebenani dan hubungan antara

pihak manajemen dengan bawahan semakin

kuat.

Adapun upaya yang telah

dilakuakan untuk peningkatan kinerja

pegawai Badan Penyuluhan Pertanian,

Perkebunan, Perternakan Perikanan dan

Kehutanan (BP4K) Kabupaten Waropen

melalui Penyuluhan kepada pegawai Badan

Penyuluhan Pertanian, Perkebunan,

Perternakan Perikanan dan Kehutanan

(BP4K) Kabupaten Waropen.

Hasil wawancara dengan Tokoh

masyarakat/Kepala kampung Rorisi yaitu

Bapak Maklon Wonatorey adalah: ”Para

penyuluh yang melakukan kegiatan

lapangan dikampung kami sudah cukup

baik memberikan informasinya kepada

masyarakat dan kami merasa bahwa masih

sangat terbatas jadi mohon untuk

mendapatkan kegiatan-kegiatan pertanian

yang lebih banyak lagi karena hampir

semua semua kegiatan belum dilaksanakan

secara baik, terutama tong punya mama-

mama yang lebih banyak di dapur tapi juga

lebih banyak di kebun. Dulu Tong punya

hasil kebun sedikit skarang sudah mulai

banyak”

PEMBAHASAN

Menurut Kepala Badan Pelaksana

Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan

Kehutanan Kabupaten Waropen, ( Korinus

Reri, SP.MM ) yang diwawancarai pada

tanggal 22 Oktober 2012; Lamanya masa

kerja Pegawai pada Badan Pelaksana

Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan

Kehutanan Kabupaten Waropen masa kerja

pegawai sangat mempengaruhi kinerja atau

prestasi kerja, hal ini ditandai dengan lama

masa kerja pegawai berarti semakin lama

berpengalaman dan lebih profesional dalam

menangani seluruh pekerjaan dengan hasil

yang baik. Sedangkan menurut kepala

Badan, faktor promosi jabatan juga sangat

berpengaruh karena seorang pegawai

merasa termotivasi dengan adanya jabatan

baru yang dapat meningkatkan kariernya

dan sekaligus menciptakan suasana kerja

yang lebih baik terutama pelayanan kepada

masyarakat. Hasil wawancara dengan

kepala Balai Penyuluh Pertanian (BPP)

Sawara Jaya dan Penyuluh Pertanian

Lapangan (PPL) menunjukan bahwa adanya

peningkatan kinerja penyuluh pertanian

yang signifikan. Wawancara dengan kepala

Kampung Rorisi menunjukan bahwa

adanya peningkatan produksi pertanian di

kampong hal ini menunjukan bahwa adanya

peningkatan peran penyuluh dalam

nebtransfer informasi teknologi pertanian

tepat guna.

PENUTUP

Berdasarkan pembahasan yang ada,

dapat disimpulkan bahwa: Pertama,

terdapat hubungan antara tingkat

pendidikan dan pengalaman kerja terhadap

kinerja pegawai karena semakin tinggi

tingkat pendidikan pegawai dan semakin

banyak pengalaman kerjanya maka semakin

tinggi pula prestasi kerja pegawainya.

Pengalaman kerja yang dimiliki oleh

seseorang pegawai menjadi penentu

pencapaian hasil kerja yang akan diraih

oleh pegawai. Pengalaman kerja yang

cukup, dalam arti waktu yang telah di lalui

oleh seseorang pegawai dalam

melaksanakan tugasnya akan mendukung

pencapaian prestasi kerja yang maksimal

sebagai tujuan yang akan di raih dari

Page 117: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

112

kinerja Pegawai di Badan Penyuluhan

Pertanian, Perikanan dan Kehutanan

Kabupaten Waropen.

Kedua, adapun upaya yang telah

dilakuakan untuk peningkatan kinerja

pegawai Badan Penyuluhan Pertanian,

Perkebunan, Perternakan Perikanan dan

Kehutanan (BP4K) Kabupaten Waropen

melalui Penyuluhan kepada pegawai Badan

Penyuluhan Pertanian, Perkebunan,

Perternakan Perikanan dan Kehutanan

(BP4K) Kabupaten Waropen. Dengan

adanya penyuluhan dapat membantu

meningkatkan kinerja Pegawai di Badan

Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan

Kehutanan Kabupaten Waropen.

Berdasarkan kesimpulan hasil

penelitian yang dikemukakan di atas, maka

saran yang dapat diajukan dalam penelitian

ini adalah Peningkatan kinerja Pegawai di

masa yang akan datang perlu dilakukan

upaya peningkatan kualitas iklim organisasi

yang berkaitan dengan iklim pemberian

tugas insidental, penciptaan keterbukaan

relasi antar fungsi, pemberian kesempatan

Pegawai untuk berlatih dan

mengembangkan potensi diri, konsistensi

penerapan reward dan punishment, iklim

organisasi yang dapat memupuk semangat

kerja, kreasi, dan inovasi Pegawai dalam

melaksanakan tugas, meminimalisasi jarak

sosial antar fungsi yang ada pada tempat

kerja, dan perhatian Pimpinan.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Muzayyim. H. 2009. Filsafat

Pendidikan Islam. Jakarta: Edisi

Revisi.bumi Aksara

Adtwikarta, Sudardja. 1988. Sosiologi

Pendidikan: Isyu dan Hipotesis

Tentang Hubungan Pendidikan

dengan Msyarakat. Jakarta:

Depdikbud. Jederal Pendidikan

Tinggi. Proyek Pengembangan

Lembaga Pendidikan Tenaga

Kependidikan.

Ahmadi, Abu. H. Uhbiyati, Nur, Ilmu

Pendidikan 2007. Jakarta: Rineka Cipta.

Bakri, Masykuri. (Ed.). 2009. Metode

penelitian Kualitatif. Tinjauan

Teoritis dan Praktis. Malang:

Lembaga Penelitian Unisma.

Visipress Media.

Connoly, Peter. (ed). 2009. Approaches to

The Study of Realigion; Aneka

Pendekatan Studi Agama.

Yogyakarta: Lkis

Departemen Agama RI. 2002. Al-Qur‟an

dan Terjemahan. Surabaya: Penerbit

Mekar.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

1991. Kamus Besar Bahasa

Indonesia (KBDI). Jakarta: Balai

Pustaka.

Ekopriyono. 2005. The Spirit of Pluralism:

Menggali Nilai-nilai Kehidupan

Mencapai Kearifan. Jakarta:

Penerbit. PT Elex Media

Komputindo Gramedia.

Hamim, Thohah (Eds). 2007. Resolusi

Konflik Islam Indonesia.

Yogyakarta: Lembaga Studi Agama

dan Sosial. (LSAS) IAIN Sunan

Ampel prees dan IKIS.

Kahmad, Dadang. 2006. Sosiologi Agama.

Bandung: Remajarosdakarya

Kamisa. 1994. Kamus Lengkap Bahasa

Indonesia. Surabaya: Penerbit Kartika.

Koencoroningrat. 1990. Metode-metode

Penelitian Masyarakat. Jakarta:

Bumi Aksara.

Muhaimin. 2008. Paradigma Pendidikan

Islam: Upaya Mengefektifkan

pendidikan Agama di Sekolah.

Bandung: Remaja Roesdakarya.

Muhaimin. 2010. Pengembangan

Kurikulum Pendidikan Agama Islam

di sekolah, Madrasah dan

Perguruan Tinggi,. Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada

Muhammad, Nur. Abubakar. 2009. Merajut

Damai Maluku Utara; Telaah

Konstruktif Konflik Malifut 1999-

2000. Ternate: UMMU Press.

Mudyahardjo, Redja. 2008. Filsafat Ilmu

Pendidikan; Suatu Pengantar.

Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mujtahid, Ali.& Nur, Zainuddin. 2009.

Pendidikan Islam dari Paradigma

Klasik hingga Kontemporer.

Malang: Tim Pakar Fakultas

Tarbiyah UIN Malang Ikapi.

Page 118: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

113

Moh, Nazir. 2005. Metode Penelitian.

Bogor: Ghalia Indonesia

Moleong, Lexy.J. 2009. Metodologi

Penelitian Kualitatif. Bandung;

Edisi Revisi Ikapi.

Qomar, Mujamil. 2009. Manajemen

Pendidikan Islam; Strategi baru

Pengelolaan Lembaga Pendidikan

Islam. Surabaya: Erlangga.

Rokib, Moh. 2009. Ilmu Pendidikan Islam;

Pengembangan Pendidikan

Integratif di Sekolah, Keluarga dan

Masyarakat. Yogyakarta: Lkis

Sadulloh. 2009. Pengantar Filsafat

Pendidikan. Bandung: Alfabeta

Suharsimi, Arikuto. 2006. Prosedur

penelitian, satu pendekatan prkatik.

Jakarta: Edisi revisi VI. Rineka

cipta.

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian

Kuantitatif kualitatif dan R & D.

Bandung: Alfabeta.

Suprayogo, Imam. 2001. Metodologi

Penelitian Sosial-Agama. Bandung:

Rosdakarya.

Thalib, B. Syamsul. 2010. Psikologi

Pendidikan Berbasis Analisis

Empiris Aplikatif. Jakarta: Kencana.

Tirtarahardjo, Umar. Sulo, La, L. 2005.

Pengantar Pendidikan. Jakarta:

Edisi Revisi. PT. Adi Mohasatia

Ikapi.

Tim Dosen Pendidikan Agama Islam. 2006.

Reorientasi Pendidikan Islam;

Menuju Pengembangan Insan

Kamil. UM. Malang: penerbit Hilal

Pustaka.

Tomagola, A. Tamrin, 2006. Republik

Kapling. Yogyakarta: Naili printika

Undang-Undang Republik Indonesia No 14

Tentang Guru dan Dosen. 2006.

Surabaya: Penerbit PGRI Kota

Surabaya

Undang-Undang sistim pendidikan

nasional 2003 (Online),

(http://www.google.co.id/search

?client=firefox- filetype & btn

G = Penelusuran Google,

diakses 21 Agustus 2011).

Undang-Undang RI tentang Sistem

Pendidikan Nasional 2003,

(Online), (http://www.

google.co.id/search filetype &

btn G= Penelusuran Google),

diakses 21 Agustus 2011).

(Online),(http://organisasi.org/pengerti

an-sejarah-dan-pokok-isi-kandungan--

alquran-pengetahuan-agama-islam,

akses, 19 september 2011).

(Online),

(http://www.almanhaj.or.id/content/1715/sl

ash/0,akses, 19 septemer 2011)

(Online), (http://www. anneahira.

com/pengertian-ijtihad. htm, akses,

19 september 2011).

Page 119: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

114

STUDI TENTANG PENGARUH SUPERVISI KETUA FRAKSI DAN MOTIVASI

KETUA DEWAN TERHADAP KINERJA ANGGOTA DPRD KABUPATEN

WAROPEN

1Hilal Askar,

2M. Bashori Muchsin,

3Nurul Umi Ati

1Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Administrasi Publik 2, 3

Dosen Program Studi Magister Ilmu Administrasi Publik

Program Pascasarjana Universitas Islam Malang

Jl. MT. Haryono 193 Malang, 65144

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh

yang signifikan secara parsial antara Supervisi Ketua Fraksi terhadap Kinerja Anggota

DPRD Kabupaten Waropen. (2) Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh yang signifikan

secara parsial antara Motivasi Ketua Dewan terhadap Kinerja Anggota DPRD Kabupaten

Waropen. (3) Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh yang signifikan secara simultan

antara Supervisi Ketua Fraksi dan Motivasi Ketua Dewan terhadap Kinerja Anggota DPRD

Kabupaten Waropen. Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Dalam

penelitian ini tidak dilakukan penarikan sampel, karena peneliti hanya meneliti anggota

DPRD Kabupaten Waropen yang berjumlah 35 orang anggota. Data yang digunakan dalam

penelitian ini ada 2 yaitu Data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data dalam

penelitian ini adalah melalui penyebaran angket/kuesioner. Analisis data yang digunakan

dalam penelitian ini adalah Tes parametrik (uji asumsi Klasik) yang meliputi : 1) uji

normalitas 2) uji homogenitas, dan 3) uji multikolinieritas. Hasil dari penelitian ini adalah

(1) Terdapat pengaruh yang signifikan antara Supervisi Ketua Fraksi terhadap Kinerja

Anggota DPRD Kabupaten Waropen yang ditunjukkan dengan probabilitas thitung sebesar

0,021 yang lebih kecil dari α = 0,05. (2) Terdapat pengaruh yang signifikan antara Motivasi

Ketua Dewan terhadap Kinerja Anggota DPRD Kabupaten Waropen yang ditunjukkan

dengan probabilitas thitung sebesar 0,006 yang lebih kecil dari α = 0,05. (3) Terdapat

pengaruh yang signifikan antara Supervisi Ketua Fraksi dan Motivasi Ketua Dewan secara

Bersama-sama terhadap kinerja anggota DPRD Kabupaten Waropen yang ditunjukkan

dengan probabilitas Fhitung sebesar 0,014 yang lebih kecil dari α = 0,05.

kata kunci: pengaruh, supervisi, motivasi, dan kinerja

Abstract

The purpose of this study is (1) To determine whether a significant difference between

the partial supervision of the Chairman of the Members of Parliament Waropen performance.

(2) To determine whether a significant difference between the partial motivation of the

Chairman of the Board of Members of Parliament Waropen performance. (3) To determine

whether a significant difference between the simultaneous and Motivation Chairman of the

Supervisory Board Chairman of the Members of Parliament Waropen performance. In this

study using a quantitative approach. In this study sampling was not done, because the

researchers only examined legislators Waropen totaling 35 members. The data used in this

study there are two, namely primary data and secondary data. Data collection techniques in

this study is through distributing questionnaires / questionnaires. Analysis of the data used in

this study is a parametric test (test assumptions Classic) which includes: 1) test for normality

2) homogeneity test, and 3) test multicollinearity. The results of this study were (1) There is a

Page 120: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

115

significant relationship between the Chairman of the Supervisory Council Member Waropen

performance as indicated by the probability t of 0.021 which is smaller than α = 0.05. (2)

There is a significant relationship between motivation Chairman of the Board of Members of

Parliament Waropen performance as indicated by the probability t of 0.006 which is smaller

than α = 0.05. (3) There is a significant relationship between motivation and the Chairman of

the Supervisory Board Chairman of the Collaborative legislators Waropen performance as

indicated by the probability of the F value of 0.014 is less than α = 0.05.

keywords: effects, supervision, motivation, and performance

PENDAHULUAN

Sebagai badan legislatif, Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

mempunyai peran yang penting selaku

pemegang kekuasaan membentuk undang-

undang daerah. Untuk itu penyelenggaraan

tugas legislasi di kantor dewan harus

didukung oleh sumber daya manusia

berkualitas yang memiliki dedikasi tinggi,

kreatif, inovatif yang dapat meningkatan

kesejahteraan rakyat.

Di badan legislatif Anggota DPRD

merupakan salah satu komponen kerja yang

berpengaruh terhadap keberhasilan tugas

legislasi. Anggota DPRD mutlak dituntut

memiliki kemampuan yang tinggi, dan

didukung oleh sikap mental yang baik

sehingga tugas legislasi yang sangat mulia

dapat dicapai. Sikap mental yang baik dapat

dilihat dari kinerja anggota DPRD dalam

memberikan pelayanan pada masyarakat,

memegang teguh dan mengamalkan nilai-

nilai Pancasila.

Salah satu upaya meningkatkan

kinerja, anggota DPRD juga dapat

dilakukan dengan kegiatan supervisi oleh

Ketua Fraksi. Supervisi merupakan setiap

layanan kepada anggota DPRD yang

bertujuan untuk menghasilkan perbaikan

kinerja anggota DPRD. Adams dan Dickey

(1990) menambahkan bahwa supervisi

adalah suatu program yang berencana untuk

memperbaiki kinerja. Program itu dapat

berhasil bila supervisor memiliki

keterampilan (skill) dan kemampuan dalam

memberikan kegiatan supervisi dan

memberikan evaluasi kinerja.

Pengertian supervisi sangat

beragam, sama halnya dengan istilah

”pengawasan”, ”pemeriksaan”,

”monitoring”, dan ”supervisi”. Hal ini

sangat tergantung dengan proses dan

sasarannya. Perkataan supervisi berasal dari

Bahasa Inggris, yaitu “supervision”, yang

terdiri dari dua perkataan”super” dan

”vision”. Super berarti atas, sedangkan

vision berarti melihat. Oleh karena itu,

secara etimologis supervisi (supervision)

berarti melihat dari atas dan menilai dari

atas yang dilakukan oleh pihak atasan

(orang yang memiliki kelebihan) terhadap

perwujudan kegiatan dan hasil kerja

bawahan (Nawawi : 1997). Kekurangan

atau kesalahan yang ditemukan dalam

kegiatan supervisi itu, lebih diupayakan

untuk membina dan memberitahukan

bagaimana seharusnya serta bagaimana pula

meningkatkannya. Dengan demikian,

kegiatan pengawasan dalam arti inspeksi

berbeda dengan supervisi.

Pengertian supervisi diarahkan pada

upaya peningkatan kemampuan personil

atau anggota DPRD yang erat kaitannya

dengan pendayagunaan sumber daya

manusia. Fokus supervisi itu antara lain

meliputi administrasi, acuan kinerja dewan,

kerjasama antar manusia, manajemen dan

kepemimpinan. Maka dapat dikatakan,

bahwa supervisi merupakan pembinaan

yang ditujukan kepada anggota DPRD agar

mereka dapat meningkatkan kemampuan

mengembangkan situasi kinerja dengan

lebih baik.

Motivasi merupakan hal yang

sederhana akan tetapi rumit. Hal ini

dikarenakan seseorang pada dasarnya

termotivasi atau terdorong untuk

berperilaku dalam cara tertentu yang

dirasakan mengarah pada ganjaran. Dalam

suatu instansi, lembaga, organisasi atau

perusahaan, motivasi selalu menjadi bagian

Page 121: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

116

yang mendapat perhatian dari para

pimpinan atau manajer.

Karena motivasi berhubungan erat

dengan keberhasilan seseorang atau

organisasi dalam mencapai tujuannya.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh

Vroom (dalam Mulyasa, 2003) yang

mengatakan bahwa ”kinerja seseorang

merupakan fungsi perkalian antara

kemampuan (ability) dan motivasi”.

Dengan kata lain, apabila salah satu saja

dari dua komponen (antara ability atau

motivasi) rendah, maka kinerjanya juga

akan rendah. Mengingat motivasi

mempunyai peran penting dalam

meningkatkan performan atau kinerja

seseorang, oleh sebab itu perlu adanya

upaya-upaya pembinaan motivasi.

Dengan adanya kepedulian Ketua

Dewan melalui pemberian motivasi

terhadap anggota DPRD, maka mereka

(anggota DPRD) merasa diperhatikan dan

diberi dukungan dalam melaksanakan dan

penyelesaian tugas yang diembannya

sebagai Anggota DPRD.

Berdasarkan alur pemikiran, maka

masalah yang dipecahkan dalam penelitian

ini dirumuskan sebagai berikut (1) Apakah

terdapat pengaruh yang signifikan secara

parsial antara Supervisi Ketua Fraksi

terhadap Kinerja Anggota DPRD

Kabupaten Waropen? (2) Apakah terdapat

pengaruh yang signifikan secara parsial

antara Motivasi Ketua Dewan terhadap

Kinerja Anggota DPRD Kabupaten

Waropen? (3) Apakah terdapat pengaruh

yang signifikan secara simultan antara

Supervisi Ketua Fraksi dan Motivasi Ketua

Dewan terhadap Kinerja Anggota DPRD

Kabupaten Waropen? Tujuan dari

penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui

apakah terdapat pengaruh yang signifikan

secara parsial antara Supervisi Ketua Fraksi

terhadap Kinerja Anggota DPRD

Kabupaten Waropen. (2) Untuk mengetahui

apakah terdapat pengaruh yang signifikan

secara parsial antara Motivasi Ketua Dewan

terhadap Kinerja Anggota DPRD

Kabupaten Waropen. (3) Untuk mengetahui

apakah terdapat pengaruh yang signifikan

secara simultan antara Supervisi Ketua

Fraksi dan Motivasi Ketua Dewan terhadap

Kinerja Anggota DPRD Kabupaten

Waropen. Sedangkan manfaat dari

penelitian ini adalah (1) Bagi Ketua Fraksi,

hasil penelitian ini diharapkan dapat

memberikan kegunaan dalam menetapkan

model kegiatan supervisi yang tepat sesuai

dengan karakteristik yang dimiliki masing-

masing anggota DPRD, serta untuk

menciptakan suasana kinerja yang kondusif

sehingga anggota DPRD terpanggil untuk

memberikan kinerja yang lebih baik. (2)

Bagi Ketua Partai Politik, hasil penelitian

ini diharapkan dapat dijadikan sebagai

pertimbangan sekaligus masukan

menyangkut peningkatan kinerja anggota

DPRD dari Partai Politik yang

bersangkutan, khususnya yang ditempuh

melalui cara pemberian motivasi yang tepat

dan berhasil guna, sehingga dapat

membantu anggota DPRD dalam

melaksanakan tugas.

METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini menggunakan

pendekatan kuantitatif. Dalam penelitian ini

tidak dilakukan penarikan sampel, karena

peneliti hanya meneliti anggota DPRD

Kabupaten Waropen yang berjumlah 35

orang anggota. Mengingat jumlah sampel

yang sedikit, sehingga penelitian ini disebut

sebagai studi populasi atau studi sensus.

Sesuai dengan hipotesis yang telah

dirumuskan, maka variabel-variabel dalam

penelitian ini dapat diidentifikasikan

sebagai berikut Variabel Bebas (X) yaitu

Supervisi Ketua Fraksi (X1), Motivasi

Ketua Dewan (X2) dan Variabel Terikat

(Y) yaitu kinerja anggota DPRD.

Data yang digunakan dalam penelitian

ini ada 2 yaitu (1) Data primer, yaitu data

yang langsung dikumpulkan dari obyek

yang diteliti secara langsung dari lokasi

penelitian dengan menyebarkan angket atau

kuesioner kepada para anggota DPRD

Kabupaten Waropen.

Teknik pengumpulan data dalam

penelitian ini adalah melalui penyebaran

angket/kuesioner. Validitas instrumen

penelitian adalah suatu hasil penilaian yang

menggambarkan bahwa suatu instrumen

benar-benar mampu mengukur variabel-

variabel yang akan diukur di dalam

Page 122: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

117

penelitian yang bersangkutan. Dalam

penelitian ini, uji validitas instrumen yang

digunakan adalah uji validitas konstruk.

Pengujian dilakukan dengan

mengkorelasikan semua butir item dengan

total skor pada masing-masing variabel, di

mana perhitungan dengan bantuan

komputer program SPSS 14. “Jika koefisien

korelasi menunjukkan angka > 0,3, maka

dapat dikatakan bahwa instrumen tersebut

adalah valid”(Uma Sekaran, 1992:61).

Uji reliabilitas yang digunakan dalam

penelitian ini adalah uji reliabilitas

konsistensi item-item, yaitu konsistensi dari

jawaban responden pada item dalam suatu

ukuran koefisien Alpha Cronbach (Uma

Sekaran, 1992:120). Di mana pengujian

dilakukan dengan cara seperti pada

pengujian validitas dengan rumus product

moment tersebut. Jika koefisien Alpha

menunjukkan > 0,6, maka dapat dikatakan

bahwa item-item dalam kuesioner tersebut

adalah reliabel (Maholtra, 1996: 89). Untuk

menguji validitas dan reliabilitas variabel

penelitian digunakan bantuan program

SPSS 14.0.

Analisis data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah Tes parametrik (uji

asumsi Klasik) yang meliputi : 1) uji

normalitas dengan menggunakan uji test of

goodness of fit, 2) uji homogenitas dengan

menggunakan test of Homogeneity of

Varians, dan 3) uji multikolinieritas dengan

menghitung nilai VIF (Variance Inflating

Factor). Teknik analisis regresi berganda.

Analisis ini berusaha melihat besarnya

pengaruh dua atau lebih variabel bebas

terhadap suatu variabel tergantung.

Besarnya pengaruh tersebut ditunjukkan

oleh Koefisien Regresi (b). Pertama

digunakan persamaan garis regresi.

Selanjutnya penghitungan koefisien regresi

diperoleh melalui pengolahan komputer

dengan program SPSS Rel.14.0.

HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Uji normalitas dilakukan untuk

mengetahui apakah data dalam penelitian

ini telah berdistribusi secara normal atau

belum. Adapun hasil pengujian normalitas

data dapat dilihat bahwa variabel Supervisi

Ketua Fraksi (X1) mempunyai nilai chi

square (χ²) hitung sebesar 9,571 yang

nilainya lebih kecil dari chi square (χ²)

tabel pada df 7 sebesar 14,017 (9,571 <

14,017), kemudian variabel Motivasi Ketua

Dewan (X2) mempunyai nilai chi square

(χ²) hitung sebesar 7,650, yang nilainya

lebih kecil dari chi square (χ²) tabel pada df

6 sebesar 12,592 (7,650 < 12,592).

Sedangkan variabel kinerja anggota DPRD

(Y) mempunyai nilai chi square (χ²) hitung

sebesar 11,952 yang nilainya lebih kecil

dari chi square (χ²) tabel pada df 11 sebesar

19,675 (11,952 < 19,675). Hal ini

menunjukkan bahwa data pada masing-

masing variabel di atas telah terdistribusi

secara normal.

Uji homogenitas dilakukan untuk

mendapatkan sampel yang sama

(homogen), sehingga sampel yang ditarik

dari populasi adalah sampel yang

representatif. Berikut disajikan hasil

pengujian homogenitas variabel bahwa nilai

probabilitas chi square (χ²) hitung untuk

variabel Supervisi Ketua Fraksi (X1)

mempunyai nilai probabilitas sebesar 0,087,

variabel motivasi Ketua Dewan (X2)

mempunyai nilai probabilitas sebesar 0,162.

Sedangkan variabel kinerja anggota DPRD

(Y) mempunyai nilai probabilitas sebesar

0,234, dimana masing-masing variabel

mempunyai nilai probabilitas chi square

(χ²) hitung yang lebih besar dari taraf

signifikansi 0,05. Dengan demikian dapat

diartikan bahwa data pada keempat variabel

penelitian tersebut memiliki varian populasi

yang relatif sama.

Agar dalam model regresi yang

dihasilkan tidak terjadi penyimpangan,

dalam arti menghindari adanya hubungan

linier yang sempurna di antara beberapa

atau semua variabel bebas dari model

regresi maka uji multikolieritas perlu

dilakukan. Berikut disajikan hasil pengujian

multikolinieritas yang dapat diketahui

bahwa nilai VIF dari masing-masing

variabel bebas lebih kecil dari 5 sehingga

dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat

multikolinieritas pada model yang

digunakan.

Page 123: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

118

Berikut disajikan rekapitulasi

perhitungan analisis regresi berganda

melalui bantuan program SPSS 14.0 yang

digunakan untuk mengetahui pengaruh

variabel bebas terhadap variabel terikat

sebagai berikut:

Tabel 1

Rekapitulasi Hasil Pengujian Hipotesis

Change Statistic

M

odel

R R

squared

Adjusted

R

squared

Std.

Error of

the

Estimate

R

Squared

Change

F

Change

d

f1

d

f2

Sig. F

Change

1 .

599a

.

477

.

442

5

.254

.

477

3

.052

3 3

1

.

014

Model

Undstandardized

Coefficients

Standardized

Coefficients

B Std. Error Beta t Sig

1 (Constant)

Supervisi Ketua Fraksi

(X1)

Motivasi Ketua Dewan

(X2)

4

0.667

.408

.374

14.7

24

.243

.231

.216

.214

3

.492

3

.184

3

.127

.

001

.

021

.

006

Sumber : Hasil Perhitungan SPSS Release 14.0

Dari hasil analisis dapat ditarik garis

persamaan regresi sebagai berikut : Y =

40,667 + 0,408 X1 + 0,374 X2

Garis persamaan regresi tersebut

dapat diinterpretasikan sebagai berikut :

bahwa tanpa adanya variabel bebas

Supervisi Ketua Fraksi (X1), Motivasi

Ketua Dewan (X2), besarnya kinerja

anggota DPRD (Y) adalah sebesar 40,667.

Hal ini menunjukkan tanpa dipengaruhi

oleh kedua variabel bebas di atas besarnya

kinerja anggota DPRD adalah sebesar

40,667. Sedangkan interprestasi nilai 0,408

menunjukkan besarnya koefisien regresi

untuk variabel X1, dimana setiap kenaikan

1% dari Supervisi Ketua Fraksi (X1) akan

meningkatkan kinerja anggota DPRD

sebesar 40,8%. Interpretasi nilai 0,374

menunjukkan besarnya koefisien regresi

untuk variabel X2, dimana setiap kenaikan

1% dari motivasi Ketua Dewan akan

meningkatkan kinerja anggota DPRD

sebesar 37,4%.

Analisis Pengujian Hipotesis Pertama

Scara statistik, hipotesis pertama

dalam penelitian ini berbunyi sebagai

berikut :

Ha : py1 > 0 : Terdapat pengaruh yang

signifikan antara

Supervisi Ketua Fraksi

terhadap Kinerja Anggota

DPRD Kabupaten

Waropen.

Ho : py1 = 0 : Tidak Terdapat

pengaruh yang signifikan

antara Supervisi Ketua

Fraksi terhadap Kinerja

Anggota DPRD

Kabupaten Waropen.

Hasil analisis seperti yang

ditunjukkan pada tabel 4.4 di atas

menunjukkan probabilitas thitung untuk

variabel supervisi Ketua Fraksi (X1) adalah

sebesar 0,021 yang lebih kecil dari α =

0,05. Hal ini menunjukkan hipotesis nihil

ditolak dan hipotesis alternatif diterima (p =

0,021 < α = 0,05), sehingga diambil

Page 124: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

119

keputusan statistik yaitu terdapat pengaruh

yang signifikan antara Supervisi Ketua

Fraksi terhadap Kinerja Anggota DPRD

Kabupaten Waropen.

Dengan demikian hipotesis pertama

dalam penelitian ini yang berbunyi diduga

ada pengaruh yang signifikan antara

Supervisi Ketua Fraksi terhadap Kinerja

Anggota DPRD Kabupaten Waropen

adalah terbukti.

Analisis Pengujian Hipotesis Kedua

Secara statistik, hipotesis kedua

dapat dijelaskan sebagai berikut :

Ha : py2 > 0 : Terdapat pengaruh yang

signifikan antara Motivasi

Ketua Dewan terhadap

Kinerja Anggota DPRD

Kabupaten Waropen.

Ho : py2 = 0 : Tidak terdapat pengaruh

yang signifikan antara

Motivasi Ketua Dewan

terhadap Kinerja Anggota

DPRD Kabupaten

Waropen.

Hasil analisis seperti yang

ditunjukkan pada tabel 4.4 di atas

menunjukkan probabilitas thitung untuk

variabel Motivasi Ketua Dewan sebesar

0,006 yang lebih kecil dari α = 0,05. Hal ini

menunjukkan hipotesis nihil ditolak dan

hipotesis alternatif diterima (p = 0,006 < α

= 0,05), sehingga keputusan statistik yang

dapat diambil adalah terdapat pengaruh

yang signifikan antara Motivasi Ketua

Dewan terhadap Kinerja Anggota DPRD

Kabupaten Waropen.

Dengan demikian hipotesis kedua

dalam penelitian ini yang berbunyi diduga

ada pengaruh yang signifikan antara

Motivasi Ketua Dewan terhadap Kinerja

Anggota DPRD Kabupaten Waropen

adalah terbukti.

Analisis Pengujian Hipotesis Ketiga

Secara statistik, hipotesis ketiga

dapat dijelaskan sebagai berikut:

Ha : py1,2,3 > 0 : Terdapat pengaruh yang

signifikan antara

Supervisi Ketua Fraksi

dan Motivasi Ketua

Dewan secara bersama-

sama terhadap Kinerja

Anggota DPRD

Kabupaten Waropen.

Ho : py1,2,3 = 0 : Tidak terdapat

pengaruh yang signifikan

antara Supervisi Ketua

Fraksi dan Motivasi

Ketua Dewan secara

bersama-sama terhadap

Kinerja Anggota DPRD

Kabupaten Waropen.

Dari hasil pengujian analisis seperti

yang dapat dilihat pada tabel 4.4 di atas

dapat dilihat probabilitas Fhitung sebesar

0,014 yang lebih kecil dari α = 0,05. Hal ini

berarti hipotesis nihil ditolak dan hipotesis

alternatif diterima (p=0,014< α=0,05).

Sehingga keputusan statistik yang dapat

diambil adalah terdapat pengaruh yang

signifikan antara Supervisi Ketua Fraksi

dan Motivasi Ketua Dewan terhadap

Kinerja Anggota DPRD Kabupaten

Waropen.

Dengan demikian hipotesis ketiga

dalam penelitian ini yang menyatakan

bahwa, diduga ada pengaruh yang

signifikan antara Supervisi Ketua Fraksi

dan Motivasi Ketua Dewan secara

Bersama-sama terhadap Kinerja Anggota

DPRD Kabupaten Waropen adalah terbukti.

Sedangkan dari perhitungan analisis

regresi di atas dapat dilihat koefisien

korelasi determinan (R) menunjukkan

angka sebesar 0,599, hal ini menunjukkan

adanya korelasi atau hubungan yang cukup

antara variabel supervisi Ketua Fraksi (X1)

dan motivasi Ketua Dewan (X2) dengan

variabel terikat kinerja anggota DPRD

Kabupaten Waropen..

Sedangkan hasil koefisien

determinasi R2 (R square) menunjukkan

angka sebesar 0,477 yang diinterpretasikan

bahwa kinerja anggota DPRD dipengaruhi

oleh variabel bebas supervisi Ketua Fraksi

dan motivasi Ketua Dewan sebesar 47,7%,

sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor

lain diluar penelitian ini.

Page 125: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

120

PEMBAHASAN

Pengaruh Supervisi Ketua Fraksi

terhadap Kinerja Anggota DPRD

Kabupaten Waropen

Dari hasil pengujian hipotesis

diketahui bahwa terdapat pengaruh yang

signifikan antara supervisi Ketua Fraksi

terhadap kinerja anggota DPRD Kabupaten

Waropen. Supervisi merupakan setiap

layanan kepada anggota DPRD yang

bertujuan untuk menghasilkan perbaikan

instruksional, kinerja dan profesionalisme

kinerja. Adams dan Dickey (1990)

menambahkan bahwa supervisi adalah

program yang berencana untuk

memperbaiki kinerja. Program itu dapat

berhasil bila supervisor memiliki

keterampilan (skill) dan kemampuan dalam

memberikan layanan supervisi dan

memberikan evaluasi kerja.

Supervisi dapat dilaksanakan oleh

Ketua Fraksi yang berperan sebagai

supervisor yang lebih independent.

Supervisi yang dilakukan Ketua Fraksi

dipandang lebih independent, dan dapat

meningkatkan objektivitas dalam

melakukan pembinaan dan pelaksanaan

tugasnya. Pengawasan dan pengendalian ini

merupakan kontrol agar kegiatan kerja di

kantor DPRD terarah pada tujuan yang

telah ditetapkan.

Pengawasan dan pengendalian juga

merupakan tindakan preventif untuk

mencegah agar para anggota DPRD tidak

melakukan penyimpangan dan lebih

berhati-hati dalam melaksanakan

pekerjaannya. Kegiatan supervisi yang

sering pula disebut dengan istilah inspeksi,

yang bertujuan mencari kekurangan,

kelemahan atau kesalahan rencana yang

ditetapkan atau orang-orang dalam

melakukan tugasnya. Dimana kekurangan

atau kesalahan yang ditemukan dalam

kegiatan supervisi itu, lebih diupayakan

untuk membina dan memberitahukan

bagaimana seharusnya, serta bagaimana

pula meningkatkannya.

Supervisi mempunyai arti luas, tidak

hanya dalam arti melihat atau

memperhatikan apa yang terjadi dan

bagaimana terjadinya, tetapi juga

mengandung arti mengendalikan, yaitu

mengusahakan agar kegiatan benar-benar

sesuai dengan rencana yang tertuju pada

pencapaian hasil yang telah ditentukan.

Sehingga peran supervisi pengawas dalam

memberikan layanan supervisi pada

anggota DPRD bukan hanya sekedar

berfungsi kontrol untuk melihat apakah

segala kegiatan telah dilaksanakan sesuai

dengan rencana atau program yang telah

digariskan, tetapi kegiatan supervisi

mencakup penentuan kondisi-kondisi atau

syarat-syarat personil maupun material

yang diperlukan untuk terciptanya situasi

kerja yang efektif, yang dapat membantu

meningkatkan kemampuan anggota DPRD

dalam melaksanakan tugas, dan

berpengaruh pada peningkatan kinerja

anggota DPRD.

Pengaruh Motivasi Ketua Dewan

terhadap Kinerja Anggota DPRD

Kabupaten Waropen

Dari hasil pengujian hipotesis

diketahui bahwa terdapat pengaruh yang

signifikan antara Motivasi Ketua Dewan

terhadap Kinerja Anggota DPRD

Kabupaten Waropen, dan hasil penelitian

ini relevan dengan kajian teoritis, seperti

yang telah dikemukakan pada Bab II,

bahwa motivasi merupakan hal penting

yang ada di dalam diri manusia sebagai

penggerak untuk berperilaku.

Kesediaan bekerja atas dasar

motivasi ditunjukkan dengan aktifitas yang

terus-menerus dan berorientasikan tujuan,

karena seseorang yang mempunyai

motivasi yang tinggi, akan memiliki

semangat kinerja yang tinggi pula.

Karena itu, motivasi dan kinerja

anggota DPRD memiliki pengaruh yang

sangat erat. Hal ini sesuai dengan pendapat

Armstrong (1993) yang menyatakan bahwa

“meningkatnya motivasi akan

menghasilkan lebih banyak usaha dan

kinerja yang lebih baik dan perbaikan

kinerja akan menimbulkan motivasi”. Hal

ini berarti seseorang yang termotivasi

tinggi, dia dengan penuh kesadaran dan

tanggungjawab akan melakukan tugas yang

diembannya dengan lebih baik, dan

berusaha lebih keras memperbaiki kualitas

kinerjanya.

Page 126: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

121

Untuk itu pemberian motivasi dari

Pimpinan Dewan perlu diarahkan pada

pemenuhan kebutuhan dimana menurut

Teori Herzberg bahwa faktor-faktor

pemenuhan kebutuhan tersebut akan

menyebabkan kepuasan anggota dewan

dalam bekerja. Faktor-faktor yang menjadi

sumber kepuasan kerja meliputi: (1)

pengakuan (recognition), maksudnya

bahwa anggota DPRD dalam bekerja perlu

mendapat pengakuan (diberi penghargaan,

dipuji, dimanusiakan) oleh pihak

perusahaan atau manajer; (2)

tanggungjawab (responsibility), maksudnya

bahwa anggota DPRD disamping

melaksanakan pekerjaan, ia juga harus

bertanggungjawab terhadap pekerjaan yang

dilaksanakannya; (3) prestasi

(achievement), maksudnya bahwa anggota

dewan dalam bekerja diberi kesempatan

untuk mencapai hasil yang baik (banyak,

berkualitas) atau berprestasi; (4)

pertumbuhan dan pengembangan (growth

and development), maksudnya bahwa

dalam pekerjaan itu harus ada kesempatan

untuk tumbuh dan berkembang; (5)

pekerjaan itu sendiri (job it self),

maksudnya bahwa pekerjaan yang

dilaksanakan itu memang sesuai dan

menyenangkan bagi anggota DPRD.

Kelima faktor tersebut diatas

terdapat dalam pekerjaan, dan merupakan

faktor instrinsik (intrinsic factors), sebagai

kandungan pekerjaan (job content). Jika

faktor-faktor tersebut dinilai baik oleh

anggota DPRD maka akan menimbulkan

rasa puas, dan ada motivasi untuk bekerja

secara produktif. Sebaliknya, jika anggota

DPRD menilai buruk faktor-faktor tersebut,

maka pada anggota DPRD tidak ada

kepuasan kerja. Faktor-faktor ini disebut

faktor-faktor motivasi atau motivators, atau

faktor-faktor satisfiers (yang membuat

kepuasan, pemuas).

Sedangkan faktor-faktor yang

membuat ketidakpuasan kerja (dan tidak

ada). Uraian tersebut dapat disimpulkan

bahwa kemampuan memberikan motivasi

Ketua Dewan berpengaruh positif terhadap

kinerja anggota DPRD, sehingga agar

kinerja anggota DPRD dapat ditingkatkan

maka Ketua Dewan hendaknya berupaya

memberikan motivasi kepada para anggota

DPRD dengan cara-cara yang baik dan

teknik-teknik yang sesuai. Dengan

demikian hasil penelitian ini telah

mendukung kajian teori yang telah

dilakukan.

Pengaruh Supervisi Ketua Fraksi dan

Motivasi Ketua Dewan Terhadap

Kinerja Anggota DPRD Kabupaten

Waropen

Dari hasil pengujian hipotesis

penelitian diketahui bahwa terdapat

pengaruh yang signifikan antara Supervisi

Ketua Fraksi dan Motivasi Ketua Dewan

secara Bersama-sama terhadap Kinerja

Anggota DPRD Kabupaten Waropen.

Kinerja anggota DPRD akan baik apabila

didukung oleh Ketua Fraksi dan Ketua

Dewan yang mempunyai kompetensi dan

kinerja yang tinggi, karena Ketua Dewan

merupakan ujung tombak dan perencana

terdepan lembaga legislasi. Ketua Fraksi

dan Ketua Dewan yang mempunyai kinerja

yang baik akan mampu menumbuhkan

semangat dan motivasi kerja yang lebih

baik terhadap anggota DPRD, yang pada

akhirnya akan mampu meningkatkan

kualitas kinerja anggota DPRD yang dibina

dan dipimpinnya.

Oleh karena itu perlu diupayakan

peningkatan kinerja anggota DPRD melalui

program pembinaan kemampuan baik

supervisi yang diberikan oleh Ketua Fraksi

maupun motivasi dari Ketua Dewan, yang

kesemuanya sama-sama bertujuan untuk

memperbaiki kualitas kinerja anggota

DPRD. Apabila anggota DPRD mempunyai

kinerja yang baik, secara otomatis upaya

untuk mewujudkan efektivitas dan efisiensi

kerja akan tercapai, sehingga tujuan

lembaga DPRD dapat dicapai secara

maksimal.

PENUTUP

Berdasarkan hasil penelitian yang

telah dilakukan, maka dapat diambil

kesimpulan sebagai berikut (1) Terdapat

pengaruh yang signifikan antara Supervisi

Ketua Fraksi terhadap Kinerja Anggota

DPRD Kabupaten Waropen yang

ditunjukkan dengan probabilitas thitung

Page 127: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

122

sebesar 0,021 yang lebih kecil dari α =

0,05. (2) Terdapat pengaruh yang signifikan

antara Motivasi Ketua Dewan terhadap

Kinerja Anggota DPRD Kabupaten

Waropen yang ditunjukkan dengan

probabilitas thitung sebesar 0,006 yang lebih

kecil dari α = 0,05. (3) Terdapat pengaruh

yang signifikan antara Supervisi Ketua

Fraksi dan Motivasi Ketua Dewan secara

Bersama-sama terhadap kinerja anggota

DPRD Kabupaten Waropen yang

ditunjukkan dengan probabilitas Fhitung

sebesar 0,014 yang lebih kecil dari α =

0,05.

Berdasarkan kesimpulan tersebut,

ada beberapa saran yang dapat diajukan

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut

(1) Bagi Ketua Fraksi Menciptakan suasana

yang hangat dan tidak kaku pada saat

melakukan kegiatan supervisi serta

memberikan dorongan semangat pada

anggota DPRD untuk mengikuti program-

program supervisi dengan baik. (2) Bagi

Ketua Dewan Hendaknya memberikan

motivasi yang tepat dan lebih banyak

diarahkan pada upaya peningkatan

kemampuan anggota DPRD yang erat

kaitannya dengan pendayagunaan sumber

daya manusia serta pemenuhan kebutuhan

anggota DPRD. (3) Bagi Peneliti Lain

Diharapkan bagi peneliti lain untuk

mengembangkan hasil penelitian ini dengan

mengadakan penelitian lain yang berkaitan

dengan kinerja anggota DPRD dengan

menambah variabel lain yang tidak diteliti

dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. 1998. Metodologi Penelitian.

Jakarta: Rineka Cipta.

Adams, H.F and Dickey, F.G. 1990. Basic

Prinsiples of Supervision. 17th

Edition. New York: American Book

Company.

Dessler, G. 1996. Manajemen Personalia.

Alih Bahasa Agus Dharma.

Erlangga. Jakarta.

Djailani. 1984. Pengaruh Supervisi Kepala

Dinas Terhadap Kinerja Pegawai di

Dinas Pertanian Kabupaten

Lamongan. Tesis Magister

Administrasi Publik. PPs STIE

Widya Jayakarta, Jakarta.

Gomes, F.C. 2000. Manajemen Sumber

Daya Manusia. Yogyakarta:Andi

Offset.

Hasibuan, M.S.P. 1997. Manajemen

Sumber Daya Manusia. Jakarta:

Bumi Aksara.

Lasulo. 1991. The Critical Evant Model :

Addison Wesley Publishing

Company. California London.

Maholtra, N.K. 1996. Marketing Research:

An Applied Orientation. New

Jersey: Prentice Hall International

Inc., second edition.

Mardapi, D. 1996. Penilaian Unjuk Kerja

sebagai Usaha untuk Meningkatkan

Kemampuan Sumber Daya

Manusia. Pidato Dies disampaikan

pada Upacara Dies Natalis XXXII,

IKIP Yogyakarta. IKIP Yogyakarta.

Margono. 1997. Metodologi Penelitian

Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka

Cipta.

Mulyasa, E., 2004. Manajemen Berbasis

sekolah (Konsep, Strategi dan

Implementasi. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Mulyasa, E. 2006. Menjadi Kepala Sekolah

Profesional. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya.

Mohyi, Ach. 1996. Teori dan Perilaku

Organisasi. UMM Pres. Rajasa.

Surabaya.

Nawawi, H. 2003. Administrasi

Pendidikan. Jakarta: PT. Toko

Gunung Agung.

Neagly and Evans. 1990

Purwanto, N. 2004. Administrasi dan

Supervisi Pendidikan. Cet-13.

Bandung: Remaja Rosdakarya.

Rifai, M. 1992. Supervisi Pimpinan. Edisi

keempat. Bandung : Penerbit

Jemmars.

Rusli, R.S. 1988. Tes dan Pengukuran

dalam Pendidikan. Jakarta:

PPLPTK.

Sevilla (1993) An Introduction to Research

Method, Philipines : Rex Printing

Company Inc

Sekaran, U. 1992. Research Methods for

Business : A Skill Building

Page 128: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

123

Approach. New York: John Willey

and Sons Inc, Second Edition.

Singodimejo, M. 1999. Manajemen Sumber

Daya Manusia. Jakarta : AIMI.

Soeprihanto, J. 2000. Penilaian Kinerja dan

Pengembangan Karyawan.

Yogyakarta: BPFE-UGM.

Schuler, R.S. 1987. Personal and Human

Resources Management. St. Paul,

New York, Los Angeles, and San

Fransisco.

Sudrajat. 2001. Analisis Orientasi

Kepemimpinan dan Pemberian

Motivasi Kerja terhadap Kinerja

Anggota DPRD Kota Surabaya.

Tesis Magister Administrasi Publik.

PPs STIE Widya Jayakarta, Jakarta.

Wahjosumidjo. 1992. Kepemimpinan dan

Motivasi. Jakarta : Ghalia

Indonesia.

Page 129: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

124

PERSEPSI PEGAWAI TENTANG MOTIVASI PIMPINAN DAN KUALITAS

KINERJA PEGAWAI DALAM MEMBERIKAN PENGARUH TERHADAP

KOMITMEN KERJA PEGAWAI DI DINAS PERTANIAN WAROPEN

1Johanis Wattimury,

2M. Bashori Muchsin,

3Slamet Muchsin

1Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Administrasi

2, 3 Dosen Program Studi Magister Ilmu Administrasi

Program Pascasarjana Universitas Islam Malang

Jl. MT. Haryono 193 Malang, 65144

Abstrak

Secara Operasional tujuan dan maksud dari penelitian ini dapat dijabarkan sebagai

berikut (1) Untuk mengetahui hubungan motivasi pimpinan dengan peningkatan komitmen

kerja pegawai di Dinas Pertanian Kabupaten Waropen (2) Untuk mengetahui hubungan

antara kualitas kinerja pegawai dengan peningkatan komitmen kerja pegawai di Dinas

Pertanian Kabupaten Waropen (3) Untuk mengetahui manakah diantara motivasi pimpinan

dan kualitas kinerja pegawai yang paling erat hubungannya dengan peningkatan komitmen

kerja pegawai di Dinas Pertanian Kabupaten Waropen Kebutuhan akan SDM yang

berkualitas sangat diharapkan dalam upaya memberikan mutu pelayanan yang baik kepada

masyarakat. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan

pendekatan kuantitatif. Lokasi penelitian yang dipilih peneliti untuk mengadakakan suatu

penelitian terletak di Dinas Pertanian Waropen. Oleh sebab itu populasi yang digunakan

dalam penelitian ini adalah 35 pegawai di Dinas Pertanian Kabupaten Waropen. Sebelum

memilih teknik analisis statistik yang sesuai untuk menguji hipotesis, maka asumsi–asumsi

yang melandasi penggunaan teknik statistik tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu.

Pengujian persyaratan statistik dilakukan dengan menggunakan perangkat tes parametrik

yaitu uji normalitas, uji homogenitas dan uji multikolinieritas. Sesuai dengan perumusan dan

tujuan penelitian ini, berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan, sebagai berikut

(1) Terdapat hubungan yang signifikan antara motivasi pimpinan dengan komitmen kerja

pegawai, yang ditunjukkan dengan probabilitas thitung sebesar 0,038 yang lebih kecil dari α

=0,05 (р). (2) Terdapat hubungan yang signifikan antara kualitas kinerja pegawai dengan

peningkatan komitmen kerja pegawai, yang ditunjukkan dengan probabilitas thitung sebesar

0,029 yang lebih kecil dari α =0,05 (р). (3) Terdapat hubungan yang signifikan antara

motivasi pimpinan dan kualitas kinerja pegawai secara bersama-sama dengan peningkatan

komitmen kerja pegawai yang ditunjukkan dengan probabilitas Fhitung sebesar 0,000 yang

lebih kecil dari α =0,05 (р).

kata kunci: motivasi, kualitas kinerja, dan peningkatan komitmen

Abstract

In Operational objectives and intent of this study can be described as follows (1) To

determine the relationship of motivation led to an increase in employee commitment in the

Department of Agriculture Waropen (2 To determine the relationship between the quality of

employee performance by increasing employee commitment in the Department of Agriculture

Waropen (3) to determine which of the motivation of the leadership and the quality of

employee performance most closely related to an increase in employee commitment in the

Department of Agriculture Waropen need for qualified human resources is expected in an

effort to provide good quality service to the community. The approach used in this study is a

Page 130: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

125

quantitative approach. The selected study site investigator for a research mengadakakan

located in the Department of Agriculture Waropen. Therefore, the population used in this

study were 35 employees in the Department of Agriculture Waropen. Before choosing the

appropriate statistical analysis techniques to test the hypothesis, the assumptions underlying

the use of statistical techniques to be proved first. Testing requirements performed by using

the statistical parametric test normality test, homogeneity test and multicollinearity tes. In

accordance with the formulation and goals of this study , based on data analysis that has

been carried out, as follows: (1) There is a significant relationship between motivation and

leadership to employee commitment, as indicated by the probability t of 0.038 which is

smaller than α = 0.05 (р). (2) There is a significant relationship between the quality of

employee performance by increasing employee commitment , as indicated by the probability t

of 0.029 which is smaller than α = 0.05 (р) . (3) There is a significant relationship between

motivation employee performance management and quality together with increased employee

commitment shown by the probability of the F value of 0.000 is less than α = 0.05 (р).

keywords : motivation, quality performance, and increasing commitment

PENDAHULUAN

Belakangan ini telah terjadi

perubahan yang cukup fundamental dalam

mekanisme penyelenggaraan pemerintahan

di Indonesia. Perubahan tersebut terutama

terkait dengan dilaksanakannya otonomi

daerah sebagaimana yang diamanatkan

dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2004 tentang Pemerintah Daerah. Undang-

undang itu mensyaratkan ada otonomi yang

memberikan desentralisasi kewenangan

yang lebih luas dari Pemerintah Pusat

kepada Pemerintah Daerah.

Konsekuensi logis terjadinya

pelimpahan wewenang adalah dalam hal

penataan perangkat organisasi yang berubah

baik dalam struktur maupun pola

manajemen birokrasinya. Sebab

bagaimanapun juga perangkat aturan dan

hukum yang ditetapkan dalam rangka

mengatur pemerintahan, efektivitasnya akan

sangat ditentukan dalam implementasinya.

Perkembangan pemerintah sebagai

organisasi moderen yang pada hakekatnya

merupakan organisasi pelayanan

masyarakat, efektivitasnya tergantung

kepada sistem administrasi dan pola

manajemen yang diterapkan (Kaspinor,

2004:75).

Manajemen sumber daya manusia

pada organisasi harus dilakukan dengan

sasaran utama untuk meningkatkan

kepuasan kerja. Dengan kepuasan kerja

yang tinggi, diharapkan produktivitas

peningkatan prestasi kerja bagi organisasi

menempati posisi tenang dan strategis.

Modal dan teknologi yang dimiliki akan

menjadi lebih efektif, jika ditangani oleh

orang-orang yang berkemampuan memadai

dan yang lebih lagi mempunyai prestasi

kerja yang tinggi. Agar organisasi berhasil

dalam mencapai tujuannya, selain faktor

prestasi kerja yang tinggi, diperlukan pula

pemimpin dan para pegawai yang cukup

terampil dan mentaati semua peraturan serta

mampu dalam melaksanakan tugas-

tugasnya dengan baik. Prestasi kerja

pegawai dipengaruhi oleh faktor -faktor

antara lain: kepemimpinan, komitmen,

motivasi, komunikasi, lingkungan kerja,

tingkat pendidikan, dan lain-lain.

Peran kepemimpinan tidak hanya

tentang arah suatu organisasi yang kuat di

mana permasalahan dan solusi banyak

diketahui, tetapi keteladanan pemimpin

mengambil bagian dalam suatu konteks

perubahan, dalam perubahan yang terus

menerus dan tidak menentu tersebut (Alison

dan Hartley, 2000: 83). Hal ini

membutuhkan suatu pendekatan yang tidak

hanya tentang ”implementasi” kebijakan

yang telah ditetapkan sebelumnya tetapi

undang-undang yang mengatur (Weick,

1995: 46) dalam (Allison dan Hartley,

2000: 87).

Inovasi tidak dapat ditetapkan

sebelumnya dan oleh karena itu peran

kepemimpinan adalah untuk memberikan

Page 131: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

126

suatu kerangka dalam mengamati,

memelihara, membagi, menggambarkan

dan juga mengimplementasikan. Akhirnya

hasil tersebut menunjukan bahwa peran

pemimpin (supervisor) berpengaruh positif

terhadap kepuasan kerja dan kinerja

pegawai.

Ada banyak definisi mengenai

kepemimpinan, tergantung dari perspektif

mana yang digunakan. Ada beberapa

definisi kepemimpinan, “kepemimpinan

sebagai kemampuan untuk mempengaruhi

motivasi atau kompetensi individu-individu

lainnya dalam suatu kelompok” (Nasution,

2001: 149). Dengan kata lain selain

keteladanan kepemimpinan, motivasi juga

menjadi salah satu prediktor bagi kepuasan

kerja dan kinerja pegawai.

Menurut House et al (1993: 193)

menyatakan bahwa “30% dari waktu para

pimpinan digunakan untuk mengurusi

masalah lingkungan manusia (pegawai).

Pendekatan yang digunakan dalam

memberikan motivasi pada pegawai perlu

memperhatikan karesteristik pegawai yang

bersangkutan”. Studi yang dilakukan oleh

Jurkeiwick (2001: 105) membandingkan

antara karyawan dan supervisor sektor

publik dan swasta memberikan hasil yang

berbeda. Pada pegawai sektor publik lebih

cendrung motivasi kerja mereka disebabkan

oleh adanya kestabilan dan keamanan

dalam bekerja dimasa mendatang sebagai

faktor utama yang berpengaruh.

Hasil penelitian terhadap pegawai

sektor publik dan swasta tersebut sama-

sama menunjukkan motivasi berpengaruh

signifikan terhadap kepuasan kerja

pegawai. Penelitian yang dilakukan oleh

Smith et al. (2000: 137) juga menemukan

bahwa motivasi mempunyai hubungan yang

positif terhadap kepuasan kerja.

Ketika komitmen seorang pegawai

telah tinggi maka efektivitas sumber daya

organisasi secara umum akan lebih

terjamin. Ini karena komitmen organisasi

merupakan bagian kunci dalam manajemen

sumber daya manusia. Oleh karena itu

penegakan kaidah prosedural menjadi

bagian penting dalam membangun

kepercayaan dan kejujuran dalam

organisasi, sehingga pada akhirnya

memberikan efek positif terhadap

komitmen organisasi secara menyeluruh.

Indikasi yang paling jelas dapat dilihat dari

rendahnya komitmen organisasi secara

praktis adalah tingginya jumlah pegawai

yang mangkir dan mengundurkan diri atau

keluar dari organisasi.

Pegawai dengan komitmen tinggi,

ikut memperhatikan nasib organisasi.

Keinginan juga termasuk kehendak untuk

tetap berada dalam organisasi. Pada

pegawai yang memiliki komitmen tinggi,

hanya sedikit alasan untuk keluar dari

organisasi dan berkeinginan untuk

bergabung dengan organisasi yang telah

dipilihnya dalam waktu lama.

Dari permasalahan pokok tersebut

dapat diuraikan beberapa permasalahan

sebagai berikut (1) Adakah hubungan

antara motivasi pimpinan dengan

peningkatan komitmen kerja pegawai di

Dinas Pertanian Kabupaten Waropen? (2)

Adakah hubungan antara kualitas kinerja

pegawai dengan peningkatan komitmen

kerja pegawai di Dinas Pertanian

Kabupaten Waropen? (3) Manakah diantara

motivasi pimpinan dan kualitas kinerja

pegawai yang paling erat hubungannya

dengan peningkatan komitmen kerja

pegawai di Dinas Pertanian Kabupaten

Waropen? Secara Operasional tujuan dan

maksud dari penelitian ini dapat dijabarkan

sebagai berikut (1) Untuk mengetahui

hubungan motivasi pimpinan dengan

peningkatan komitmen kerja pegawai di

Dinas Pertanian Kabupaten Waropen (2)

Untuk mengetahui hubungan antara kualitas

kinerja pegawai dengan peningkatan

komitmen kerja pegawai di Dinas Pertanian

Kabupaten Waropen (3) Untuk mengetahui

manakah diantara motivasi pimpinan dan

kualitas kinerja pegawai yang paling erat

hubungannya dengan peningkatan

komitmen kerja pegawai di Dinas Pertanian

Kabupaten Waropen Kebutuhan akan SDM

yang berkualitas sangat diharapkan dalam

upaya memberikan mutu pelayanan yang

baik kepada masyarakat. Oleh sebab itu

hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat

bagi (1) Bagi Dinas Pertanian (a)

Diharapkan mampu memberikan informasi

yang cukup penting sebagai dasar dalam

Page 132: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

127

proses pengambilan keputusan dan

kebijaksanaan secara tepat dan ilmiah

dalam upaya meningkatkan kinerja SDM

dan pemberian motivasi oleh pimpinan

kepada pegawai yang menunjang sebagai

landasan dalam peningkatan komitmen

kerja pegawai. (b) Diharapkan dapat

meningkatkan kualitas pelayanan publik

terhadap masyarakat dengan jalan

meningkatkan komitmen kerja pegawai. (2)

Bagi Penulis, Sebagai bahan pembelajaran

dan pengalaman, terutama dalam kaitannya

dengan kualitas kinerja pegawai terhadap

peningkatan komitmen kerja pegawai. (3)

Pihak Lain, Diharapkan berguna sebagai

referensi tambahan terutama diperuntukkan

bagi pengembangan pengetahuan mengenai

peningkatan komitmen kerja pegawai.

METODE PENLITIAN

Pendekatan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah menggunakan

pendekatan kuantitatif. Lokasi penelitian

yang dipilih peneliti untuk mengadakakan

suatu penelitian terletak di Dinas Pertanian

Waropen. Oleh sebab itu populasi yang

digunakan dalam penelitian ini adalah 35

pegawai di Dinas Pertanian Kabupaten

Waropen.

Adapun variabel independen

(variabel bebas) atau disebut variabel X

terdiri dari dua variabel yaitu: variabel

motivasi pimpinan (X1), kualitas kinerja

pegawai (X2). Sebagai variabel dependen

(variabel tergantung) atau disebut variabel

Y adalah peningkatan komitmen kerja

pegawai Dinas Pertanian Kabupaten

Waropen.

Adapun teknik yang digunakan

untuk mengumpulkan data dalam penelitian

ini adalah kuisoner dan dokumentasi.

Instrumen penelitian adalah alat atau

fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam

mengumpulkan data agar pekerjaannya

lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam

arti lebih cermat, lengkap, dan sistematis

sehingga mudah diolah. Variasi jenis

instrumen adalah : angket, ceklis atau daftar

centang, pedoman wawancara dan pedoman

pengamatan.

Dalam suatu penelitian, data

mempunyai kedudukan yang paling tinggi,

karena data merupakan penggambaran

variabel yang diteliti dan yang berfungsi

sebagai pembuktian hipotesis. Oleh karena

itu benar tidaknya data, sangat menentukan

baik tidaknya hasil penelitian. Sedangkan

benar tidaknya data, tergantung dari baik

tidaknya instrumen pengumpul data.

Instrumen yang baik harus memenuhi dua

persyaratan penting yaitu valid dan reliabel.

Hasil uji validitas dianalisis dengan

mengkorelasikan skor butir dengan skor

total menggunakan rumus korelasi Product

Moment, sebagai berikut:

222

2 . YYNXXN

YXXYNxyr

(Arikunto, 1998: 162)

Dimana : r = Koefisien korelasi antar

skor butir dan skor total

x = skor butir

y = skor total

N = jumlah sampel

Masrun (dalam Sekaran, 1992)

menyatakan jika koefisien korelasi

menunjukkan angka ≥ 0,3, maka dapat

dikatakan bahwa instrumen tersebut adalah

valid. Selanjutnya perhitungan dilakukan

dengan bantuan program komputer SPSS

Release 16.0

Untuk mengetahui tingkat

reliabilitas kuesioner dalam penelitian ini

diuji dengan rumus Cronbach‟s Alpha,

karena jawaban responden cenderung

terarah pada sikap yang berjenjang. Rumus

digunakan sebagai berikut :

2

2

11

t

b

ttk

kr

Dimana :

r11 : reliabilitas instrumen

K : banyaknya butir pertanyaan atau

banyaknya soal.

b2 : jumlah varians butir

t : varians total

Menurut Maholtra (1996 : 89) jika

koefisien Alpha menunjukkan ≤ 0,6, maka

dapat dikatakan bahwa item-item dalam

kuesioner tersebut adalah reliabel.

Sebelum memilih teknik analisis

statistik yang sesuai untuk menguji

hipotesis, maka asumsi–asumsi yang

Page 133: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

128

melandasi penggunaan teknik statistik

tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu.

Pengujian persyaratan statistik dilakukan

dengan menggunakan perangkat tes

parametrik yaitu uji normalitas, uji

homogenitas dan uji multikolinieritas.

HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

Pengujian Persyaratan Analisis

Analisis data sebelum dilakukan,

terlebih dahulu data skor kuesioner

dilakukan pengujian agar dapat memenuhi

persyaratan uji statistik. Oleh sebab itu data

skor kuesioner perlu diuji dengan

menggunakan uji normalitas dan

homogenitas.

Tabel 1

Hasil Uji Normalitas

Variabel

Chi square

(χ²)

Hitung

Chi square

(χ²)

Tabel

Keterangan

Motivasi pimpinan (X1) 17,600 24.9958 Normal

Kualitas kinerja

Pegawai (X2) 15,250 26.2962 Normal

Peningkatan komitmen

Pegawai (Y) 7,700 27.5871 Normal

Sumber Data : Output SPSS 16.0

Setelah dilakukan pengujian

normalitas, sebagaimana ditunjukkan pada

tabel di atas, bahwa nilai chi square hitung

untuk masing-masing variabel (motivasi

pimpinan, kualitas kinerja pegawai dan

peningkatan komitmen kerja pegawai) lebih

kecil dari chi square tabel (χ²hitung <

χ²tabel) sehingga berdasarkan ketentuan

yang harus dipenuhi maka data pada

masing-masing variabel dalam penelitian

ini telah tersebar secara normal.

Dengan demikian berarti,

persyaratan statistik terhadap data yang

digunakan yaitu kenormalan data, telah

terpenuhi dan dapat digunakan untuk

pengujian berikutnya.

Uji Homogenitas

Pengujian homogenitas dilakukan

dengan menggunakan test Homogenity of

Varians dengan ketentuan jika probabilitas

yang diperoleh lebih besar dari 0,05 berarti

terjadi homogenitas, sebaliknya jika

probabilitas lebih kecil dari 0,05 berarti

tidak terjadi homogenitas. Berikut hasil

pengujian homogenitas terhadap data pada

masing-masing variabel:

Tabel 2

Hasil Uji Homogenitas

Variabel Probabilitas

χ²hitung

Keterangan

Motivasi pimpinan (X1) 0,284 Homogen

Kualitas Kinerja Pegawai (X2) 0,506 Homogen

Peningkatan komitmen

Pegawai (Y) 0,973

Homogen

Sumber Data : Output SPSS 16.0

Sebagaimana telah dilakukan

pengujian Normalitas dan Homogenitas

Data, terlihat nilai probabilitas pada

masing-masing variabel lebih besar dari

Page 134: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

129

0,05 sehingga dapat dikatakan bahwa data

pada masing-masing variabel tersebut

terjadi homogenitas (sebagaimana

ditunjukkan pada tabel di atas). Dengan

demikian berarti bahwa data tersebut

memiliki varian populasi yang sama. Jadi,

persyaratan statistik terhadap data yang

digunakan untuk analisis yaitu data yang

memiliki varian populasi yang sama, telah

terpenuhi.

Hal ini menunjukkan bahwa data

penelitian telah memenuhi salah satu

persyaratan statistik yaitu memiliki varian

populasi yang sama. Jadi data pada masing-

masing variabel dapat digunakan untuk

pengujian berikutnya.

Hasil Pengujian Hipotesis

Setelah data yang ada telah

memenuhi persyaratan statistik, maka

langkah berikutnya adalah melakukan

pengujian hipotesis. Adapun hasil

perhitungan regresi berganda setelah

melalui perhitungan SPSS 16.0 diperoleh

hasil sebagai berikut:

Tabel 3

Rekapitulasi Hasil Perhitungan Regresi Berganda

Variabel Thitung Sig.

Thitung Fhitung

Sig.

Fhitung R R

2

Motivasi pimpinan (X1) 1,199 0,038 14,354 0,000 0,661 0,437

Kualitas kinerja pegawai(X2) 3,778 0,029

Hasil Persamaan Regresi :

Contans : 2,862

Koefisien Regresi X1 : 0,376

Koefisien Regresi X2 : 0,673

Sumber : SPSS 16.0

Hasil Persamaan Regresi

Berdasarkan hasil perhitungan di

atas, maka diperoleh persamaan regresi

linier berganda sebagai berikut :

Y = 2,862 + (0,376) X1 +

(0,673) X2 + e

Dari persamaan regresi tersebut

diketahui bahwa dari kedua variabel bebas

yang dianalisis, variabel kualitas kinerja

pegawai mempunyai pengaruh yang paling

besar terhadap peningkatan komitmen

pegawai yaitu dengan perolehan koefisien

korelasi sebesar 0,673, sedangkan untuk

variabel motivasi pimpinan diperoleh

koefisien korelasi sebesar 0,376.

Pengujian Hipotesis Pertama

Ha : рy1 = 0 : Ada hubungan yang

signifikan antara motivasi

pimpinan dengan komitmen

kerja pegawai.

Ho : рy1 > 0 : Tidak ada hubungan yang

signifikan antara motivasi

pimpinan dengan komitmen

kerja pegawai.

Untuk menentukan hubungan

signifikan tidaknya variabel bebas terhadap

variabel terikat dilihat melalui cara

alternatif non konvensional pada α = 0,05.

Dimana hubungan antar variabel dinyatakan

signifikan bila probabilitas thitung lebih kecil

atau sama dengan 0,05 (p 05,0 ),

sebaliknya hubungan antar variabel

dinyatakan tidak signifikan bila probabilitas

thitung lebih besar dari 0,05. Hasil

perhitungan statistik (melalui program

komputer SPSS 16.0) menunjukkan

probabilitas thitung sebesar 0,038 yang lebih

kecil dari α =0,05.

Berdasarkan ketentuan di atas, maka

hipotesis nihil ditolak dan hipotesis

alternatif diterima. Sehingga dengan

demikian hipotesis pertama dalam

penelitian ini yang menyatakan bahwa

terdapat hubungan yang signifikan antara

motivasi pimpinan dengan komitmen kerja

pegawai adalah terbukti.

Page 135: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

130

Pengujian Hipotesis Kedua

Ha : рy2 = 0 : Ada hubungan yang

signifikan antara kualitas

kinerja pegawai dengan

komitmen kerja pegawai.

Ho : рy2 > 0 : Tidak ada hubungan yang

signifikan antara kualitas

kinerja pegawai dengan

komitmen kerja pegawai.

Sama dengan ketentuan di atas,

untuk menentukan hubungan signifikan

tidaknya variabel bebas dengan variabel

terikat dilihat melalui cara alternatif non

konvensional pada α = 0,05. Dimana

hubungan antar variabel dinyatakan

signifikan bila probabilitas t hitung lebih kecil

atau sama dengan 0,05 (р 05,0 ) sebaliknya

hubungan antar variabel dinyatakan tidak

signifikan bila probabilitas thitung lebih besar

dari 0,05.

Hasil perhitungan SPSS 16.00

menunjukkan probabilitas t hitung sebesar

0,029 yang lebih kecil dari α =0,05.

Berdasarkan ketentuan di atas, maka

hipotesis nihil ditolak dan hipotesis

alternatif diterima. Sehingga dengan

demikian hipotesis kedua dalam penelitian

ini yang menyatakan bahwa terdapat

hubungan yang signifikan antara kualitas

kinerja pegawai dengan komitmen kerja

pegawai adalah terbukti.

Hasil Pengujian Koefisien Regresi

Berganda

Uji serempak atau uji F digunakan

untuk membuktikan hipotesis ke tiga dalam

penelitian, yaitu untuk mengetahui

hubungan yang signifikan antara lebih dari

satu variabel bebas secara bersama-sama

dengan variabel terikat. Sama dengan

ketentuan di atas, untuk menentukan

hubungan signifikan tidaknya variabel

bebas secara bersama-sama dengan variabel

terikat dilihat melalui cara alternatif non

konvensional pada α =0,05. Dimana

hubungan antar variabel dinyatakan

signifikan bila probabilitas Fhitung lebih kecil

atau sama dengan 0,05 (р 05,0 ),

sebaliknya hubungan antar variabel

dinyatakan tidak signifikan bila probabilitas

Fhitung lebih besar dari 0,05.

Adapun secara statistik, hipotesis

ketiga dalam penelitian ini dapat diuraikan

sebagai berikut :

Ha : рy1,2,3 > 0 : Terdapat hubungan yang

signifikan antara

motivasi pimpinan dan

kualitas kinerja pegawai

secara bersama-sama

dengan komitmen kerja

pegawai.

Ho : рy1,2,3 = 0 : Tidak terdapat hubungan

yang signifikan

antara motivasi

pimpinan dan kualitas

kinerja pegawai

secara bersama-sama

dengan komitmen

kerja pegawai.

Dari hasil perhitungan statistik

melalui pengujian regresi berganda (pada

tabel 4.13) menunjukkan probabilitas Fhitung

sebesar 0,000 yang lebih kecil dari α

=0,05 (р 05,0 ), yang menunjukkan

hipotesis nihil ditolak dan hipotesis

alternatif diterima. Dengan demikian

hipotesis ketiga dalam penelitian ini yang

menyatakan bahwa terdapat hubungan yang

signifikan antara motivasi pimpinan dan

kualitas kinerja pegawai secara bersama-

sama dengan komitmen kerja pegawai

adalah terbukti.

Hasil perhitungan analisis juga

menunjukkan koefisien multiple R sebesar

0,661. Hal ini dapat diinterpretasikan

bahwa ada hubungan yang cukup kuat

antara variabel motivasi pimpinan (X1) dan

kualitas kinerja pegawai(X2) secara

bersama-sama terhadap komitmen kerja

pegawai (Y).

Sumbangan Efektif Variabel Bebas

terhadap Variabel Terikat

Sumbangan Efektif dari masing-

masing variabel bebas ke variabel terikat,

dapat dilihat melalui hasil analisis SPSS

16.00, dimana masing-masing variabel

bebas mempunyai Sumbangan Efektif

sebagai berikut :

SE% X1 = SR%X1 x R2

SE% X2 = SR%X2 x R2

SE% X3 = SR%X3 x R2

Page 136: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

131

Dimana :

SE = Sumbangan Efektif

SR = Sumbangan Relatif

R2 = Kuadrat dari koefisien

korelasi berganda

X1 = 0,376 x 0,388 x 100% =

14,58%

X2 = 0,673 x 0,644 x 100% =

43,34%

1. Jumlah SE = X1 + X2

= 14,58% + 43,34%

= 57,92%

Dari kedua variabel bebas diatas,

dapat dilihat bahwa sumbangan efektif yang

paling dominan adalah variabel kualitas

kinerja pegawai (X2) yaitu sebesar 43,34%.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel

kualitas kinerja pegawai mempunyai

hubungan dengan komitmen kerja pegawai

dan untuk variabel motivasi pimpinan

memiliki sumbangan efektif sebesar

14,58% terhadap komitmen kerja pegawai.

Mengingat kualitas kinerja pegawai

mempunyai hubungan yang dominan

dengan komitmen kerja pegawai, maka

peningkatan profesionalisme kualitas

kinerja pegawai perlu ditingkatkan lagi.

PENUTUP

Sesuai dengan perumusan dan

tujuan penelitian ini, berdasarkan hasil

analisis data yang telah dilakukan, dapat

ditarik beberapa simpulan, sebagai berikut

(1) Terdapat hubungan yang signifikan

antara motivasi pimpinan dengan komitmen

kerja pegawai, yang ditunjukkan dengan

probabilitas thitung sebesar 0,038 yang

lebih kecil dari α =0,05 (р). (2) Terdapat

hubungan yang signifikan antara kualitas

kinerja pegawai dengan peningkatan

komitmen kerja pegawai, yang ditunjukkan

dengan probabilitas thitung sebesar 0,029

yang lebih kecil dari α =0,05 (р). (3)

Terdapat hubungan yang signifikan antara

motivasi pimpinan dan kualitas kinerja

pegawai secara bersama-sama dengan

peningkatan komitmen kerja pegawai yang

ditunjukkan dengan probabilitas Fhitung

sebesar 0,000 yang lebih kecil dari α =0,05

(р).

Hasil penelitian telah menunjukkan

bahwa kinerja pegawai memberikan

kontribusi pengaruh paling dominan dalam

meningkatkan komitmen kerja pegawai

berdasarkan penilaian dari pegawai Dinas

Pertanian Kabupaten Waropen, untuk itu

perlu adanya upaya peningkatan

profesionalisme kerja pegawai melalui

serangkaian kegiatan pembinaan

profesionalisme, pelatihan ataupun seminar-

seminar yang memberikan tambahan

wawasan serta ilmu bagi para pegawai.

Disamping perlu juga didukung dengan

motivasi pimpinan yang dapat

meningkatkan komitmen kerja pegawai

dalam melakukan tugas di kantor.

DAFTAR PUSTAKA

Adam I, Indrawijaya. 1989. Perubahan dan

Pengembangan Organisasi.

Bandung: Penerbit Sinar Baru.

Amstrong, M and Baron, A. 1999.

Performance Management- The

New Realities, London: Institute of

Personal and Development.

Angle, H. L., & Perry, J. L. 1981. An

empirical assessment of

organization commitment and

organizational effectiveness.

Administrative Science Quarterly,

26, 1-13.

Allison, M & Hartley, J, 2000, “The Role

Of Leadership of in the

Moderenisasi and Improfment of

Public Service”, Public Money

And Management, April-June.

Ancok, Djamaluddin, 1992, Teknik

Penyusunan Skala Pengukuran.

(Seri Metodologi No.9),

Yogyakarta : Universitas Gajah

Mada.

As‟ad M. 1995. Psikologi Industri,

Yogyakarta : Liberty.

Bateman T dan S. Strasser. 1984.

A Longitudinal Analysis of

Determinant of The Antecedent of

Organizational Commitment.

Academy of Manajement Journal,

27.

Barney, J.B, 1991,”Firm Resources and

Sustained Competitive Advantage”,

Journal Management, Vol. 17, No.

1, p.99-120.

Page 137: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

132

Bache, Robert. 1992. Performance

Management (Alih Bahasa :

Dharma & Irawan), Jakarta : PT.

Gramedia Pustaka Utama.

Dessler, Gray., 1996. Manajemen Sumber

Daya Manusia, Jakarta: PT.

Prenhallindo.

Dessler, G. 1996. Manajemen Personalia.

(Edisi Ketiga) (Terjemahan oleh

Agus Dharma). Jakarta: Erlangga.

Djarwanto., 1988. Statistik Non Parametrik,

Edisi 3, Yogyakarta: BPFE.

Dunham, 1994. Analisis Kebijakan Publik,

Yogyakarta : Gajah Mada

University Press.

Fine, S. A. 1986. Job Analysis.

Dalam R. A. Berk (Ed.), s.

Baltimore: The John Hopkins

University Press.

Gomes, Faustino. Cordoso., 1997.

Manajemen Sumber Daya Manusia.

Yogyakarta: Andi Offset.

Gunz, H.P & Gunz, S.P, 1994,

“Professional/Organizacional

Commitment and Job Satisfaction

for Employed Lawyer”, Human

Relations, Vol. 47, p. 801-807.

Hadi, S., 1979. Metodologi Research.

Yogyakarta: Yayasan Penerbit

Fakultas Psikologi UGM.

Hadi, S. 1991. Statistika Jilid II.

Yogyakarta: Andi Offset.

Handoko. 1985. Manajemen Personalia

dan Sumber Daya Manusia.

Yogyakarta: Liberty.

House, R. J & Shamir, B, 1993, “Toward an

Integration of Transformational,

Charismatic and Visionary Theories

of Leadership, Leadership

Perspectives and Research

Directions: p.81-107. New York:

Academic Press.

Hasibuan, M.S.P. 2003. Manajemen

Sumber Daya Manusia. Jakarta :

Bumi Aksara.

Jacobalis, S., 1989. Menjaga Komitmen

Kerja Pegawai. Jakarta: PP. Persi.

Jurkeiwicz, Massey, 2001, “Motivation in

Public and Private Organization: A

Comparative Study”, Public

Productivity and Management

Review, Vol. 21, No. 3, March.

Kottler, P., 1994. Marketing Management:

Analysis, Planning, Implementation,

and Control ; New Jersey : Prentice

Hall, inc Englewood Cliffs.

Kumorotomo, Wahyuni, 2000. Etika

Administrasi Negara, Jakarta:

Rajawali press.

Laschinger, H.K., Finegen, J., & Shamian ,

J, 2001, ”The Impact of Workplace

Empowerment, Organizational Trust

on Stuff Nurses: Work Satisfaction

and Organizational Commitment”,

Health care Management Review,

Vol: 26, p. 7-23.

Longnecker and Pringle. 1981. In Seacrh

Result, Performance Management

Practices in Norway, Public

Management Service, OECD.

Malayu, Hasibuan., 2003. Manajemen

Sumber Daya Manusia, Jakarta: PT.

Toko Gunung Agung.

Margono, S., 1997. Metode Penelitian.

Jakarta: Rineka Cipta.

Meyer, J. P., & Allen, N. J. 1991.

Commitment in the workplace:

Theory, research, and application.

Newbury Park, CA: Sage.

Mc-Neece-Smith, Donna, 1996, “Increasing

Employee Productivity, Job-

Satisfaction and Organizational

Commitment”, Journal Hospital &

Health Services Administration.

Mowday, 1982, Employee-Organization

Linkages : The Psychology of

Commitment, Absenteeism and

Turnover, New York : Academic

Press.

Mitchell, 1982. Pengelolaan Sumberdaya

dan Lingkungan, Terjemahan,

Cetakan Pertama (Agustus 2000),

Yogyakarta: Gajah Mada

University Press.

Mathiu dan Zajack, 1993. Manajemen

Kepegawaian di Indonesia, Jakarta

: PT. Gunung Agung.

Morgan and Hunt, 1994. Modern Public

Administration, New York: Harper

International Edition.

Mc. Clelland. 1999. Pedoman

Pengembangan Organisasi (Terjemahan).

Jakarta: Penerbit PT Pustaka

Binaman Pressindo.

Page 138: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

133

Nasution, 2001. Manajemen Sumber Daya

Manusia, Jakarta : Penerbit Bumi

Aksara

Owens, Robert G. 1997. Organizational

Behavioral in Education: New

Jersey: Prentice Hall. Inc.

Englewood Cliffs.

Ostroff, C, 2003, “The Relationship

Between Satisfaction, Attitudes and

Performance An Organization Level

Analysis”, Journal of Apllied

Psychology, Vol: 77, No. 6, p. 933-

973.

Porter. 2002. Paradigma Baru-Manajemen

Sumber Daya Manusia, Yogyakarta

: Amara Books.

Robbins, Stephen.P. 2007. Prinsip-Prinsip

Perilaku Organisasi, Edisi Kelima,

Jakarta: Erlangga.

Riggs, Frew W, 1961. The Ecology of

Public Administration, New York:

Asia Publishing House.

Rivai, Veithzal, 1985. Kepemimpinan dan

Perilaku Organisasi, Jakarta : PT

Raja Grafindo Persada

Singodimejo., 1999. Manajemen Sumber

Daya Manusia. Jakarta: AIMIN.

Singarimbun M dan Sofian, E. 1982.

Metode Penelitian Suevey, Cetakan

Kedua, Jakarta: LP3ES.

Stephen, P. Robbins. 2003. Organisational

Behavior, new Jersey: Prentice-

Hall,inc.

Sudjana, Nana., 2000. Dasar-dasar Proses

Pelaksanaan Tugas, Bandung: Sinar

Baru.

Sugiarto, 2000. Pengaruh Kepemimpinan

dan Kemampuan Individual

terhadap Produktivitas Kerja ( Study

Empiris pada Kantor Cabang BRI di

Yogyakarta), Jurnal Bisnis dan

Manajemen. Vol.1 no.3.

Suharsimi, Arikunto., 1998. Prosedur

Penelitian Suatu Pengantar

Praktek, Cetakan kedua, Edisi

Revisi IV, Jakarta: Rieneka Cipta.

Smith, Kirk., Jones, Eli, & Blair, Edward,

2000, “Managing Salesperson

Motivation in a Territory

Realigment” Journal of Personal

Selling & Sales Management, Vol.

XX, No. 4, p. 215-226.

Simmons, E. S, 2005, ”Predictors of

Organizational Commitment

Among Staff in Assisted Living”

The Gerontologist, Vol. 45 No. 2,

p.196-206.

Smith, Kirk et al, 1976, “Managing

Salesperson Motivation in a

Territory Realignment”, Journal of

Personal Selling & Sales

Management, Vol. XX, No. 4 P.

215-226.

Santoso, Budi. Hubunngan Antara Motivasi

Pimpinan dan Kualitas Kinerja

Pegawai Terhadap Tingkat

Pelayanan Pegawai Pada Dinas

Pertanian Kabupaten Kediri. Tesis

tidak dipublikasikan. IMNI Jakarta.

Sevilla, 1993, Pengantar Metode

Penelitian, Cetakan Pertama.

Jakarta: Penerbit Universitas

Indonesia (UI-Press).

Siegel, dan Lane, (1992). Manajemen, Edisi

Ketiga, Jakarta : Intermedia.

Wahjosumidjo., 1999. Kepemimpinan dan

Motivasi. Jakarta : Ghalia Indonesia.

Weicks, K.E. (1995), Organizational

Culture and High Reliability,

California Management Review,

29(2), pp.112-127.

Zubaidah, Indah. 2005, Hubungan Antara

Motivasi Pimpinan dan Kualitas

Kinerja Pegawai Terhadap

Komitmen Kerja Pegawai di Dinas

Pertanian Lamongan. Tesis, Tidak

dipublikasikan, Malang,

Pascasarjana IMNI Jakarta.

Page 139: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

134

KOMUNIKASI POLITIK; Sebuah Kajian Teoritis

Khoiron

Staf Pengajar Pada Program Studi Administrasi Negara

Fakultas Ilmi Administrasi Universitas Islam Malang

Abstrak

Setiap manusia membutuhkan komunikasi antar sesama, baik untuk memenuhi

kebutuhan dasarnya ataupun kebutuhan lainnya. Komunikasi dapat melampaui batas-batas

sosial, ekonomi dan politik antar sesama manusia. Bahkan tidak sedikit manusia

membutuhkan komunikasi dengan hal-hal diluar akal manusia itu sendiri. Dalam kehidupan

sosial-politik, istilah komunikasi apabila dikaitkan dengan isu-isu politik startegis telah

banyak dibahas dan dikaji di dalam berbagai forum ilmiah. karena, diakui atau tidak

“komunikasi” menjadi begitu “urgent” dan penting ketika menyangkut persoalan kehidupan

sosial dan politik di era demokrasi sekarang ini dalam mempertahankan indentitas.

kata kunci: komunikasi, politik

Abstract Every man is in need of communication between people, both to meet their basic needs or

other needs. Communication can transcend the boundaries of social, economic and political

among humans. Even some people require communication with things outside the human

mind itself. In the socio-political life, the term communication when linked with strategic

political issues have been widely discussed and studied in various scientific forums. because,

recognized or not "communication" to be so "urgent" and is important when it comes to

issues of social and political life in the era of democracy today in sustaining identity.

keywords: communication, politics

PENDAHULUAN

Belum lama ini fenomena

terpilihnya seorang Joko Widodo sebagai

Gubernur Jakarta pada pemilihan gubernur

tahun 2012 yang lalu, disinyalir tidak lepas

dari gaya “blusukan” atau gaya komunikasi

politik yang telah mendobrak gaya

komunikasi politik konvensional, monoton

dan cenderung datar dari gaya elit politik

selama ini. Model komunikasi tersebut

terkesan sedikit “nyleneh” dan keluar dari

mainstream kepemimpinan yang

diperlihatkan oleh para pemimpin kita.

Akan tetapi, gaya tersebut justru membuat

Joko Widodo di anggap sebagai pemimpin

yang sederhana (low profile) mau

mendengar suara rakyat, meskipun tidak

sedikit yang bersikap skeptis. Namun,

komunikasi politik dengan gaya “blusukan”

tersebut sudah terlanjur menjadi semacam

“trand” di mata publik dalam setiap pemilu

diberbagai daerah di Indonesia. Hal yang

sama juga dilakukan oleh beberapa calon

legislative dalam menghadapi pemilu 2014,

dengan model komunikasi ala Joko

Widodo. Para caleg berlomba-lomba turun

langsung di tengah-tengah masyarakat

dengan menanggalkan atribut dalam

menarik simpati masyarakat.

Dalam istilah komunikasi atau

bahasa Inggris communication berasal dari

kata Latin communicatio, dan bersumber

dari kata communis yang berarti sama.

Sama di sini maksudnya adalah sama

makna. Jadi, kalau dua orang terlibat dalam

komunikasi, misalnya dalam bentuk

Page 140: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

135

percakapan, maka komunikasi akan terjadi

atau berlangsung selama ada kesamaan

makna mengenai apa yang dipercakapkan.

Kesamaan bahasa yang dipergunakan dalam

percakapan itu belum tentu menimbulkan

kesamaan makna. Dengan lain perkataan,

mengerti bahasanya saja belum tentu

mengerti makna yang dibawakan oleh

bahasa itu. Jelas bahwa percakapan kedua

orang tadi dapat dikatakan komunikatif

apabila kedua-duanya, selain mengerti

bahasa yang dipergunakan, juga mengerti

makna dari bahan yang dipercakapkan.

Akan tetapi, pengertian komunikasi

yang dipaparkan di atas sifatnya dasariah,

dalam arti kata bahwa komunikasi itu

minimal harus mengandung kesamaan

makna antara dua pihak yang terlibat.

Dikatakan minimal karena kegiatan

komunikasi tidak hanya informatif, yakni

agar orang lain mengerti dan tahu, tetapi

juga persuasif, yaitu agar orang lain

bersedia menerima suatu paham atau

keyakinan, melakukan suatu perbuatan atau

kegiatan, dan lain-lain. Pentingnya

komunikasi bagi kehidupan sosial, budaya,

pendidikan, dan politik sudah disadari oleh

para cendekiawan sejak Aristoteles yang

hidup ratusan tahun sebelum Masehi. Akan

tetapi, studi Aristoteles hanya berkisar pada

retorika dalam lingkungan kecil. Baru pada

pertengahan abad ke-20 ketika dunia

dirasakan semakin kecil akibat revolusi

industri dan revolusi teknologi elektronik,

setelah ditemukan kapal api, pesawat

terbang, listrik, telepon, surat kabar, film,

radio, televisi, dan sebagainya maka para

cendekiawan pada abad sekarang

menyadari pentingnya komunikasi

ditingkatkan dari pengetahuan (knowledge)

menjadi ilmu (science).

Dalam kajian ilmu komunikasi, ada

beberapa pendapat tentang komunikasi

yang dianggap relevan untuk menjelaskan

tentang apa itu komunikasi sebelum

membahas mengenai komunikasi politik

secara panjang lebar. Seperti yang

diutarakan oleh Carl l. Hovland dalam

Onong U Effendy (2003), bahwa ilmu

komunikasi adalah upaya yang sistematis

untuk merumuskan secara tegar asas-asas

penyampaian informasi serta pembentukan

pedapat dan sikap.

Definisi Hovland di atas,

menunjukkan bahwa yang dijadikan objek

studi ilmu komunikasi bukan saja

penyampaian informasi, melainkan juga

pembentukan pendapat umum (public

opinion) dan sikap publik (public attitude)

yang dalam kehidupan sosial dan kehidupan

politik memainkan peranan yang amat

penting. Bahkan dalam definisinya secara

khusus mengenai pengertian

komunikasinya sendiri, Hovland

mengatakan bahwa komunikasi adalah

proses mengubah perilaku orang lain. Akan

tetapi, seseorang akan dapat mengubah

sikap pendapat atau perilaku orang lain

apabila komunikasinya itu memang

komunikatif seperti diuraikan di atas.

Konseptualiasi komunikasi Hovland terlihat

hanya berdimensi pada perubahan sikap dan

perilaku orang jika komunikasinya sangat

efektif dan benar-benar mampunyai power

dalam mempengaruhi orang lain, sehingga

proses tranformasi pesan dapat berbanding

lurus dengan tujuan komunikasi itu sendiri.

Namun Hovland tidak mampu

menjelaskan tentang subtansi dari

komunikasi yang tidak efektif, artinya

pengertian mampu merubah sikap dan

perilaku orang hanya dapat dilakukan

secara efektif, padahal komunikasi yang

tidak efektif juga disebut sebagai bagian

dari komunikasi itu sendiri jika kita

meminjam pengertian komunikasi dari Dan

Nimmo.

Selanjutnya, sebagaimana

pengertian yang berbeda dengan Hovland,

Dan Nimmo (1989), mengatakan bahwa

komunikasi adalah proses interaksi sosial

yang digunakan orang untuk menyusun

makna yang merupakan citra mereka

mengenai dunia (yang berdasarkan itu

mereka bertindak) dan untuk bertukar citra

itu melalui simbol-simbol. Oleh karena itu,

untuk memahami pengertian komunikasi

secara lebih luas sehingga dapat

dilancarkan secara efektif, para peminat

komunikasi sering kali mengutip paradigma

yang dikemukakan oleh Harold D. Lasswell

dalam karyanya, The structure and

Function of communication in society.

Page 141: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

136

Harold D. Lasswell mengatakan

bahwa cara yang baik untuk menjelaskan

komunikasi ialah menjawab pertanyaan

sebagai berikut; Who Says What In Which

Channel To Whom With What Effect?

Paradigma Lasswell di atas menunjukkan

bahwa komunikasi meliputi lima unsur

sebagai jawaban dari pertanyaan yang

diajukan itu yakni: komunikator

(communicator, source, sender), pesan

(message), media (channel, media),

komunikan (communicant, communicatee,

receiver, recipient), dan efek (effect,

impact, influence)

Jadi, berdasarkan paradigma

Lasswell tersebut, komunikasi adalah

proses penyampaian pesan oleh

komunikator kepada komunikan melalui

media yang menimbulkan efek tertentu.

Lasswell menghendaki agar komunikasi

dijadikan objek studi ilmiah, bahkan setiap

unsur diteliti secara khusus. Studi mengenai

komunikator dinamakan control analysis;

penelitian mengenai pers, radio, televisi,

film, dan media lainnya disebut media

analysis; penyelidikan mengenai pesan

dinama content analysis; audience analysis

adalah studi khusus tentang komunikan;

sedangkan effect analysis merupakan

penelitian mengenai efek atau dampak yang

ditimbulkan oleh komunikasi.

Sebuah komunikasi akan dipandang

efektif, jika mampu memberikan efek

positif terhadap suatu permasalahan sosial

dan lain sebagainya. Komunikasi dianggap

sebagai instrumen dalam menyatukan

pandangan, paradigma dan bahkan

perbedaan ideologi tertentu untuk

mendialogkan dalam kehidupan sosial,

politik, hukum dan agama. Sebagaimana

yang di kemukakan oleh Firmanzah bahwa

komunikasi adalah suatu proses yang

mencoba membangun pemahaman bersama

akan suatu hal.

Komunikasi dalam hal ini

melibatkan dua pihak atau lebih. Tujuan

utama komunikasi bukan sekadar

memberikan data dan informasi kepada

pihak lain, tetapi lebih dari itu berusaha

rnembangun pemahaman bersama agar

kedua belah pihak memiliki persepsi yang

sama. Sebelum kesamaan persepsi

terwujud, tujuan komunikasi belum tercapai

pula. Untuk membangun dan menciptakan

kesamaan persepsi ini tentu saja tidak

mudah. Dibutuhkan keterbukaan masing-

masing pihak yang terlibat dalam proses

komunikasi untuk dapat saling membuka

diri dan menerima masukan dari pihak lain.

selain itu harus ada keinginan berbagi yang

dilandasi oleh “trust” (saling

mempercayai) di antara pihak-pihak yang

terlibat dalam proses komunikasi tersebut.

Komunikasi dan Politik

Jika dianggap bahwa ilmu politik

mempelajari politik, maka kiranya perlu

dibahas dulu istilah “politik” itu. Pemikiran

mengenai politik (politics) di dunia Barat

banyak dipengaruhi oleh filsuf Yunani

Kuno abad ke-5 S.M. Filsuf seperti Plato

dan Aristoteles menganggap politik

(politics) sebagai suatu usaha untuk

mencapai masyarakat politik (polity) yang

terbaik. Di dalam polity semacam itu

manusia akan hidup bahagia karena

memiliki peluang untuk mengembangkan

bakat, bergaul dengan rasa kemasyarakatan

yang akrab, dan hidup dalam suasana

moralitas yang tinggi.

Dalam sejarahnya, politik selalu

diidentikkan dengan cara untuk merebut

sebuah kekuasaan. Meskipun demikian

memang sangat rasional jika pemberian

label kekuasaan pada praktik berpolitik

dikehidupan bernegara seperti sekarang ini.

Karena politik adalah seni dalam merebut

kekuasaan, sehingga sering dilakukan

secara konstitusional atau bahkan bisa

dengan cara inkonstitusional jika itu

menjadi pilihan rasional dalam praktik

berpolitiknya.

Sebagaimana pakar komunikasi

politik Harold D. Lasswell dalam buku Who

Gets What, When, How mengatakan bahwa

politik adalah siapa mendapatkan apa,

kapan, dan bagaimana. Dengan pengertian

politik seperti itu, tentulah seseorang yang

berpolitik akan terus mengejar sesuatu yang

menjadi kepentingannya baik kepentingan

itu bersifat individu atau kelompok.

Dalam sejarah klasik, Aristoteles

menyatakan bahwa suatu bentuk negara

boleh disebut baik, jika diarahkan pada

Page 142: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

137

kepentingan umum, yakni kepentingan

setiap individu. Sedang bentuk negara yang

diarahkan pada kepentingan penguasa harus

disebut buruk. Konsep kehidupan bernegara

yang dikemukakan oleh Aristoteles di atas

mencoba untuk membentuk masyarakat

yang berkeadilan sosial, dimana dimensi-

dimensinya terletak pada bagaimana sebuah

penyelenggaraan Negara harus ditujukan

kepada kepentingan umum.

Sedangkan di era modern,

masyarakat yang berpengetahuan akan

menuntut atas hak-hak dasar sebagai warga

Negara. Seperti yang di jelaskan oleh P.

Eric Laouw dalam bukunya The Media and

Political Process (2005), mencoba memberi

uraian bahwa di tengah kelangkaan sumber

daya yang tersedia, masyarakat akan

berusaha mendapatkan akses untuk

memperoleh sumber daya yang terbatas

dalam memenuhi tuntutan hidupnya. Jika

masyarakat tidak bisa memperoleh

kepuasan yang maksimal dalam memenuhi

tuntutan hidupnya, diperlukan keputusan

alokasi sumber daya. Misalnya siapa yang

akan memperoleh apa, bagaimana sumber

daya yang terbatas itu terkelola dengan

baik, siapa yang diberi wewenang

(legitimasi) mengambil keputusan karena

keputusan yang diambil bisa menghasilkan

ada pihak yang menang dan ada pula yang

kalah, diperlukan mekanisme untuk

mengajak mereka untuk menerima

keputusan tersebut.

Selanjutnya, sejak keputusan itu

mempengaruhi kesempatan hidup orang,

akan terjadi perebutan, baik antar pribadi

maupun antar kelompok untuk menentukan

siapa yang akan menduduki posisi kunci

dalam pengambilan keputusan. Perebutan

juga timbul dalam memperebutkan nilai-

nilai pondasi organisasi dan juga alokasi

sumber daya. Oleh karena itu, elemen yang

paling mendasar pada politik adalah sebuah

proses pengambilan keputusan, sebuah

perebutan untuk memperoleh akses pada

posisi pengambilan keputusan, dan proses

kewenangan untuk menjalankan keputusan-

keputusan itu. Dari pemahaman yang dibuat

Eric Louw ini, politik mengandung

sejumlah konsep kenegaraan, yakni

kekuasaan (power), pengambilan keputusan

(decision making), kebijaksanaan (policy),

dan pembagian atau alokasi sumber daya

(resource).

Politik juga bisa dipandang sebagai

sebuah kegiatan yang dilakukan dalam

suatu negara yang menyangkut proses

menentukan tujuan dan melaksanakan

tujuan tersebut. Untuk melaksanakan tujuan

itu, diperlukan kebijaksanaan umum (public

policy) yang mengatur alokasi sumber daya

yang ada, dan untuk melaksanakan

kebijaksanaan itu, perlu ada kekuasaan

(power) dan kewenangan (authoity) yang

akan dipakai, baik untuk membina

kerjasama maupun menyelesaikan konflik

yang bisa timbul setiap saat.

KAJIAN TEORI

Komunikasi Politik

Komunikasi politik dalam ilmu

politik (political science), telah mengalami

perkembangan dalam pengertiannya.

Sebagaimana pemikir politik Gabriel

Almond dalam Alfian (1991), pernah

mengkategorikannya sebagai satu dari

empat fungsi input dari sistem politik.

Kemudian mereka yang menggunakan

pendekatan komunikasi politik terhadap

sistem politik telah menjadikan komunikasi

politik sebagai penyebab bekerjanya semua

fungsi sistem politik. Ia diibaratkan sebagai

sirkulasi darah dalam tubuh. Bukan

darahnya, tapi apa yang terkandung di

dalam darahnya itu yang menjadikan sistem

politik itu hidup. Komunikasi politik

dianggap sebagai layaknya darah,

mengalirkan pesan-pesan politik berupa

tuntutan, protes, dan dukungan (aspirasi dan

kepentingan) ke jantung (pusat)

pemprosesan sistem politik, dan hasil

pemprosesan itu yang tersimpul dalam

fungsi-fungsi out-put, dialirkan kembali ke

komunikasi politik yang selanjutnya

menjadi feedback sistem politik. Seperti itu

model komunikasi politik (political

communication), menjadikan sistem politik

itu hidup dan lebih dinamis.

Selanjutnya, pandangan yang

berbeda tentang komunikasi politik dari

Dan Nimmo (1983), yang berpandangan

bahwa komunikasi politik menggunakan

politik hanya untuk mengartikan kegiatan

Page 143: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

138

orang secara kolektif yang mengatur

perbuatan mereka di dalam kondisi konflik

sosial. Sedangkan menurut Mark Roelofs

dan Barn Lund, bahwa komunikasi politik

lebih memusatkan kajiannya pada bobot

materi muatan yang berisi pesan-pesan

politik (isu politik, peristiwa politik dan

perilaku politik individu-individu, baik

sebagai penguasa maupun yang berada

dalam asosiasi-asosiasi kemasyarakatan

atau asosiasi politik).

Bertolak dari konsep komunikasi

dan konsep politik yang telah diuraikan

pada bagian awal, upaya untuk mendekati

pengertian yang dimaksud dengan

komunikasi politik, menurut Dahlan (1999)

ialah suatu bidang atau disiplin yang

menelaah perilaku dan kegiatan komunikasi

yang bersifat politik, mempunyai akibat

politik atau berpengaruh terhadap perilaku

politik. Dengan demikian pengertian

komunikasi politik dapat dirumuskan

sebagai suatu proses pengoperan lambang-

lambang atau simbol-simbol komunikasi

yang berisi pesan-pesan politik dari

seseorang atau kelompok kepada orang lain

dengan tujuan untuk membuka wawasan

atau cara berpikir, serta mempengaruhi

sikap dan tingkah khalayak yang menjadi

target politik.

Meadow dalam Nimmo (2004)

juga membuat definisi bahwa “political

communication refers to any exchange of

symbols or messages that to a significant

extent have been shaped by or have

consequences for political system". Di sini

Meadow memberi tekanan bahwa simbol-

simbol atau pesan-pesan yang disampaikan

itu secara signifikan dibentuk atau memiliki

konsekuensi terhadap sistem politik.

Akan tetapi, Nimmo sendiri yang

mengutip Meadow dalam bukunya itu

hanya member tekanan pada pengaturan

umat manusia yang dilakukan di bawah

kondisi konflik, sebagaimana disebutkan

"communication (activity) concidered

political by virtue of its consequences

(actual or potential) which regulate human

conduct under the condition of conflict.

Baik Meadow maupun Dan Nimmo,

termasuk Gabriel Almond adalah sarjana-

sarjana politik keluaran 1950-an dengan

aliran behavioristik yang melihat politik

tidak saja membahas masalah negara,

melainkan dalam hubungannya dengan

komunikasi (media massa) dan opini

publik.

Unsur Komunikasi Politik

Seperti halnya dengan disiplin

komunikasi lainnya, komunikasi politik

sebagai body of knowledge juga terdiri aras

berbagai unsure yakni: sumber

(komunikator), pesan, media atau saluran,

penerima dan efek.

Komunikator Politik

Komunikasi politik tidak hanya

menyangkut parrai politik, melainkan juga

lembaga pemerintahan legislatif dan

eksekutif. Dengan demikian, sumber atau

komunikator politik adalah mereka-mereka

yang dapat memberi informasi tentang hal-

hal yang mengandung makna atau bobot

politik, misalnya presiden, menteri, anggota

DPR, MPR, KPU, gubernur,

bupati/walikota, DPRD, politisi,

fungsionaris partai politik, fungsionaris

Lembaga Swadaya Myasarakat (LSM), dan

kelompok-kelompok penekan dalam

masyarakat yang bisa pempengaruhi

jalannya pemerintahan. Adapun pesan

politik ialah pernyataan yang disampaikan,

baik secara tertulis maupun tidak tertulis,

baik secara verbal maupun non verbal,

tersembunyi maupun terang-terangan, baik

yang disadari maupun yang tidak disadari

yang isinya mengandung bobot politik.

Komponen terpenting dalam proses

komunikasi adalah komunikan atau

penerima pesan. Menurut Effendy

(2001:13), komunikan memiliki fungsi

mengawasandi (decode) pesan dari

komunikator sehingga komunika disebut

sebagai (decoder).

Relasi Wakil dan Terwakil

Secara substansial, perwakilan

berarti adanya para wakil yang bertindak

sebagaimana kepentingan atau yang

diinginkan oleh orang-orang yang

diwakilinya.

Dalam hal ini, Suzanne Dovi,

lebih jauh mengatakan bahwa; A good

Page 144: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

139

representative is simply one who advance

the policy preferences of her constituents

(provided that those policy preferences are

lawful). Good representatives are good

lackeys (the theoretical literature calls such

representatives “delegates”). In fact, most

contemporary empirical research on

representation assumes that democratic

representation occurs when a

representative‟s action reflect and respond

to constituents‟ expressed p0licy

preferences. According to this way of

thinking, there is nothing more to

representing in a democratic fashion than

responsiveness to democratic citizens‟

policy preferences.

Adanya wakil yang berkarakter

semacam inilah yang diharapkan bisa

terjadi setelah pemerintah Orde Baru jatuh.

Hanya saja, seperti telah disinggung

sebelumnya, harapan itu belum menjadi

kenyataan karena masih terjadi disconnect

electoral antara para wakil dan terwakil.

Secara kelembagaan, sudah diupayakan

untuk membangun relasi yang lebih baik

antara wakil dan terwakil. Adanya sistem

pendapilan yang dimulai sejak tahun 2004,

merupakan contohnya. Melalui sistem ini,

bisa teridentifdikasi lebih jelas tentang

siapa mewakili siapa dan dari daerah mana.

Para wakil bisa menyadari bahwa meraka

terpilih karena mewakili orang dan daerah

tertentu. Sebaliknya, para pemilih juga bisa

mengetahui siapa yang mewakili mereka

dan daerahnya, baik di DPR maupun

DPRD.

Di samping itu, secara

kelembagaan para wakil juga didorong

untuk mengadakan kunjungan secara rutin

ke daerah pemilihannya masing-masing,

baik pada masa reses maupun pada hari-hari

kerja. Program itu disebut sebagai program

Jaring Aspirasi Masyarakat (Jaring

Asmara). Melalui program ini para rakyat

bisa mengetahui permasalahan-

permasalahan apa yang selalu di hadapi

oleh masayarakat di daerah pemilihannya.

Pada saat itu, masyarakat juga bisa

menyalurkan aspirasi yang dimilikinya

secara langsung. Diharapkan, melalui

kegiatan semacam itu para wakil rakyat

berusaha memperjuangkan kepentingan dan

menyelesaikann permasalahan di daerah

pemilihannya melalui kebijakan-kebijkan

yang dibuat bersama-sama pemerintah. Para

wakil rakyat juga bisa menyalurkan jalan

pemecahannya melalui institusi-institusi

yang terkait langsung permasalahan yang

dihadapi oleh masyarakat.

Kerangka kelembagaan itu

dirancang agar para wakil rakyat lebih

responsif terhadap isu-isu yang berkembang

di daerah pemilihannya masing-masing,

yakni melalui proses pengumpulan berbagai

masukan dan memperjuangkannya melalui

keputusan-keputusan politik. Selain itu,

secara politik, mekanisme kelembagaan

semacam itu juga memungkinkan

terjadinya akuntabilitas dari wakil rakyat.

Secara politik para wakil rakyat dikatakan

accountable ketika masyarakat memberi

hadiah untuk memilihnya kembali sebagai

wakil rakyat pada pemilu berikutnya.

Sebaliknya, dikatakan tidak accountable

ketika mereka gagal memperoleh mandat

kembali.

Melalui desain semacam itu,

relasi antara para wakil rakyat sebagai

agent dengan para pemilih sebagai

principal, di harapkan bisa lebih

melembaga. Sebagai agent, para wakil

rakyat diharapkan lebih banyak mendengar

dan mengagregasikan kepentingan yang

diwakilinya. Sementara itu, konstituen

sebagai principal diharapkan bisa lebih

melakukan pengawasan dan bisa

memberikan reward dan punishment

kepada para wakil. Manakala para waklli

bekerja cukup baik untuk rakyat, bisa diberi

reward melalui keterampilan kembali.

Sebaliknya, ketika tidak bekerja untuk

rakyat, dihukum ketidakterpilihan kembali.

Masalah akuntabilitas para wakil

juga masih menjadi masalah yang cukup

serius, bukan hanya berkait para wakil

sendiri, melainkan juga terjadi ketika

dikaitkan dengan konstituen. hal ini terkait

dengan realitas bahwa para pemilih tidak

sepunuhnya memiliki informasi yang cukup

terhadap kinerja para wakilnya. Padahal

penguasaan informasi yang cukup

merupakan dasar yang sangat penting bagi

para pemilih rasional dalam menetukan

pilihannya, termasuk apakah akan tetap

Page 145: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

140

mempertahankan para wakilnya ataukah

memilih alternatif yang lain, baik dari

partainya sendiri maupun dari partai lain.

DAFTAR PUSTAKA Alfian. Komunikasi Politik dan Sistem

Politik Indonesia. PT Gramedia

Pustaka Indoensia. Jakarta, 1991

Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu

Politik: PT Gramedia Pustaka

Utama. Jakarta, 2008

Cangara, Hafied. Komunikasi Politik;

Konsep, Teori, dan Strategi: PT

Raja Grafindo Persada. Jakarta,

2009

Effendy, Onong Uchjana. Ilmu

Komunikasi; Teori dan Praktek:

PT. ROSDA. Bandung, 2003

Firmanzah. Marketing Politik; Antara

Pemahaman dan Realitas:

Yayasan Obor Indonesia. Jakarta,

2008

Fakhri, Mustofa. Buku Panduan Tentang

Menjalin Hubungan Konstituen

dan Keterwakilan. UNDP :

Jakarta, 2009

Gaffar, Affan. Politik Indonesia. Transisi

Menuju Demokrasi: PT. Pustaka

Pelajar. Yogjakarta, 1999

Gaffar, Affan. Profil Budaya Politik

Indonesia: PT Pustaka Utama

Grafiti. Jakarta, 1991

Hardiman. F. Budi. Demokrasi Deliberatif,

Menimbang „Negara Hukum‟ dan

„Ruang Publik‟ dalam Teori

Diskursus Jurgen Habermas:

Kanisius. Yogyakarta, 2009

Hikmat, M. Mahi. Komunikasi Politik;

Teori dan Praktik. Simbiosa

Rekatama Media. Bandung, 2010

Locke, John. Kuasa itu Milik Rakyat:

Kanisius. Yogyakarta, 2002

Marijan, Kacung. Sistem Politik Indonesia.

Konsolidasi Demokrasi Pasca-

Orde Baru. Kencana Predana

Media Group. Jakarta, 2010

Nimmo, Dan. Komunikasi Politik;

Komunikator, Pesan, dan Media:

CV. Ramadja Karya. Bandung,

1989

Revith, Diani dan Thernstrom, Abigail.

Demokrasi Klasik dan Modern:

Yayasan Obor Indonesia. Jakarta,

2005

Sanit, Arbi. Perwakilan Politik di

Indonesia: Rajawali. Jakarta, 1985

SANKRI. Buku III Landasan dan Pedoman

Pokok Penyelenggaraan Sistem

Administrasi Negara. Lembaga

Administrasi Negara Republik

Indonesia. Jakarta, 2005

Internet :

www. http/sistem-perwakilan-politik-di-

indonesia.htm

www. Kompas. “ Pedagang Malang Merasa

diabaikan DPRD”. Com

www. http:/ mencermati-kembali-

representasi.html

www/http.blog-arya-budi-reformasi-

parlemen-100%.html

Page 146: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

141

FAKTOR-FAKTOR YANG MENENTUKAN PILIHAN JENIS PEKERJAAN DAN

LIMITASINYA PADA SEKTOR INFORMAL PERKOTAAN; Studi Kasus pada

Masyarakat Miskin di Kelurahan Kotalama Kota Malang

Agus Zainal Abidin

Dosen Program Studi Ilmu Administrasi Negara

Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Islam Malang

PENDAHULUAN

Terbatasnya kesempatan kerja yang

ada di dalam negeri, khususnya di

perdesaan telah mengakibatkan arus

urbanisasi yang pesat. Urbanisasi ini

kebanyakan adalah buruh tani atau

sebelumnya sebagai pengangguran di desa,

setelah di kota merupakan kajian penting

dan berpengaruh terhadap kawasan

destinasi. Pada kawasan destinasi (kota)

lazimnya mereka bekerja di sektor informal,

misalnya pemulung, buruh bangunan,

penarik becak, pelacur, pedagang kaki lima

dan sebagainya.

Melihat fakta dimana angka

pengangguran di Indonesia pada tahun

2000, sebagaimana dikatakan Simanjuntak,

yang ditaporkan pada harlan Kompas

tanggat 26 Februari 2000 yang begitu besar

dan masih ditambah dengan adanya sekitar

2,5 sampai 3,5 juta angkatan kerja yang

masuk ke pasar kerja. Dengan semakin

tingginya angka pengangguran saat ini dan

masih ditambah dengan masuknya angkatan

kerja baru, justru akan mempersempit

kesempatan kerja, terutama pada lapangan

kerja sektor formal.

Pertumbuhan kesempatan kerja yang

berbeda secara mencolok menjadi salah

satu ciri yang menandal besarnya arus

mobilitas tenaga kerja. Dengan kata lain,

besarnya arus inigrasi tenaga kerja sangat

dipengaruhi oleh kurangnya kesempatan

kerja (pada sektor formal khususnya) atau

upah yang relatif sangat rendah di daerah

asal (origin area). Sebagian besar urbanit

tersebut di perkotaan banyak yang bekerja

pada sektor informal untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya. Beberapa studi yang

dilakukan menyimpulkan bahwa inigrasi ini

disebabkan semakin menyempitnya

kesempatan kerja pada sektor formal di

suatu wilayah dan masih ditambah lagi

dengan kurangnya kemampuan dan

ketrampilan yang dimiliki oleh para inigran

atau urbanit di perkotaan.

Oleh karena itu sektor informal

merupakan keterpaksaan pilihan bagi

sebagian besar kaum inigran di perkotaan.

Mereka terpaksa dan memaksa din dan

keluarganya untuk beradaptasi dengan

lingkungannya, sehingga tidak jarang anak-

anak mereka dipekerjakan untuk membantu

mereka, baik itu menjadi penjaga barang

dagangannya ataupun ditempat yang

berbeda seperti pengamen, pengeinis dan

pedagang asongan (Adi, 2003).

Penduduk miskin di Indonesia

mengalaini fluktuatif yang dipengaruhi oleh

banyak faktor. Krisis ekonomi yang

melanda di Indonesia pada pertengahan

tahun 1997 telah menyebabkan

bertambahnya penduduk yang hidup di

bawah garis kemiskinan, padahal sebelum

terjadinya krisis jumlah penduduk miskin

sudah terus berkurang. Kalau kita amati

hasil Survai Sosial Ekonomi Nasional

(Susenas) pada tahun 2002 dan 2003

penduduk miskin di Propinsi Jawa Timur

menduduki peringkat teratas dibandingkan

dengan propinsi lain di Indonesia sehingga

penelitian yang dilakukan di Kota Malang

inincukup beralasan sebagai kota terbesar

kedua di Provinsi Jawa Timur dengan

jumlah penduduknya yang sebagman besar

bekerja pada sektor informal. Jadi sekalipun

kemiskinan sudah berkurang persertasinya

hingga pada tahun 2003, penduduk

Indonesia sekitar 210 juta jiwa hampir 40

juta masih hidup dalam serba kemiskinan

(Mubyarto, 2003) namun jurang kaya

miskin makin menganga di kota.

Page 147: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

142

Menurut hemat saya, penelitian

mengenai bagaimana menentukan pilihan

pekerjaan yang lebih difokuskan pada

masyarakat miskin perkotaan yang bekerja

pada sektor informal masih jarang

dilakukan. Padahal sebagian besar

masyarakat (miskin) perkotaan tertampung

dalam sektor informal. Dengan mengetahui

faktor-faktor dominan yang menentukan

pilihan jenis pekerjaan pada sektor informal

bagi masyarakat miskin ini merupakan

potensi sekaligus tantangan bagi mereka

dan pemerintah daerah pada umumnya.

Faktor-faktor tersebut dianggap sebagai

peluang jika sangat mendukung pilihan

pekerjaannya. Namun dianggap sebagai

tantangan apabila taktor-faktor tersebut

merupakan kekurangan atau kelemahan

yang secara sadar dihindari dalam

menentukan pilihan jenis pekerjaan.

Oleh karena itu, terkait dengan

upaya pembangunan lokal dalam

meningkatkan kesejahteraan masyarakat

miskin di perkotaan, maka hasil penelitian

ini menjadi sangat penting dalam

pelaksanaan berbagai program dan proyek

pemberdayaan dan pengentasan kerniskinan

karena diketahui tantangan dan peluang

masyarakat miskin itu sendiri agar upaya

pemberdayaan dapat berjalan tepat sasaran.

Penelitian ini berusaha untuk

memahami menurut perspektif mereka Oleh

karena itu upaya pemahaman faktor-faktor

yang menentukan pilhan pekerjaan tersebut

dipandang perlu berangkat dari mereka

sendiri sebagai pelaku. Sehingga apabila

dirumuskan, permasalahan pokok yang

menjadi pusat perhatian dalam penektian ini

adalah: (1) pertimbangan apa saja yang

dijadikan dasar bagi keluarga miskin

perkotaan dalam menentukan pilihan jenis

pekerjaan pada sektor informal bidang

usaha distribusi kecil-kecilan atau jasa

(enterprener); (2) bagaimana eksistensi dan

kontribusi pekerjaan yang digeluti terhadap

kesejahteraan bagi keluarga miskin

perkotaan pada sektor informal enterprener;

(3) faktor-faktor apa yang menjadi limitasi

pekerjaan tersebut dalam meningkatkan

kesejahteraan keluarga miskin perkotaan

pada sektor informal enterprener.

Penelitian ini pada dasarnya

bertujuan untuk mendeskripsikan etos kerja

masyarakat miskin pada sektor informal di

perkotaan tempat penelitian. Sehingga, dan

hasil penelitian studi kasus ini bertujuan

untuk menguraikan gambaran umum

mengenai: (1) penelitian ini berusaha untuk

mendeskripsikan secara mendalam

pertimbangan-pertimbangan keluarga

miskin perkotaan dalam menentukan

pilihan jenis pekerjaan di sektor informal

bidang usaha distribusi kecil-kecilan atau

jasa (enterprener); (2) penelitian juga akan

medeskripsikan eksistensi

(keberlangsungan) dan kontribusi pekerjaan

tersebut terhadap kesejahteraan bagi

keluarga miskin di perkotaan enterprener;

(3) disamping itu juga akan medsekripsikan

secara mendalam kendala-kendala yang

dihadapi dan yang menjadi limitasi mereka

dalam mengembangkan usahanya.

Hasil penelitian ini diharapkan

memberikan kontribusi ganda, yaitu

kontribusi dalam rangka pengembangan

ilmu pengetahuan (teoretik) dan kontribusi

pemecahan masalah pembangunan

(praktis). Secara lebih spesifik antara lain:

(1) memberikan kontribusi terhadap

pengembangan pengetahuan di bidang

sosiologi pembangunan, khususnya terkait

dengan kemiskinan dan sektor informal

perkotaan. Kedua masalah ini tiada habis--

habisnya untuk dikaji karena terus

berkembang dan selalu aktual, sehingga

lebih memperluas dan bahkan

memperdalam pemahaman fenomena ini;

(2) praktis, diharapkan hasil studi ini

berguna sebagai masukan bagi Pemerintah

Daerah khususnya, terutama dalam rangka

memahami masalah kemiskinan pada sektor

informal perkotaan. Dengan demikian,

strategi dan pelaksanaan pemberdayaan

masyarakat miskin semakin terfokus pada

sasaran sehingga bisa berjalan lebih efektif;

(3) memberikan informasi mengenai jenis

pekerjaan masyarakat miskin sektor

informal perkotaan macam apa yang bisa

dikembangkan (diberdayakan) dan yang

tidak, bantuan macam apa yang dibutuhkan

agar kesejahteraan meningkat

Page 148: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

143

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan

pendekatan kualitatif (qualitative research)

di mana dalam menafsirkan fakta

meaggunakan hermeneutika ganda yang

terdiri atas: pertama, penafsiran tingkat

pertama (the first order understanding)

menunjuk pada pemahaman terhadap

praktek sosial berdasarkan apa yang

dimengerti, difahami, dan ditafsirkan para

pelaku. Kedua, pemahaman tingkat ke dua,

di mana peneliti berusaha mengangkat hasil

tafsiran tingkat pertama ke dalam bahasa

ilmiah (metalanguage). Sedangkan strategi

penelitian dipengunakan “studi kasus”.

Rancangan studi kasus yang dipergunakan

mencakup studi kasus observasional dan

community study dengan teknik observasi

peran serta (participant observation) di

lokasi kantong-kantong kemiskinan.

Pengambilan responden (sebanyak 18

orang) dan informan (9 orang) yang

menggunakan teknik purposive, snowball

sampling, dan accident sampling. Seberapa

banyak unit analisis (responden) yang

diperlukan sangat tergantung pada

kejenuhan data penelitian. Teknik

pengumpulan data lapangan yang

dipergunakan: wawancara mendalam

(indepth interviewing), pengamatan peran

serta (participant observation), studi

dokumentasi, dan rekaman arsip. Analisis

data menggunakan model interaktif Miles

dan Huberman yang terdiri atas: reduksi

data, penyajian data, dan penarikan

gambaran kesimpulan. Sedangkan untuk

memeriksa kredibilitas data dalam

penelitian ini menggunakan: triangulasi

sumber dan pengecekan sejawat.

TEMUAN-TEMUAN PENELITIAN

DAN PEMBAHASAN

Sekilas Lokasi Penelitian dan Profil

Masyarakat Miskin Perkotaan Pada

Sektor Informal

Kota Malang memiliki luas

110.06km2 yang terletak pada ketinggian

antara 440-667 meter di atas permukaan

laut. Kota Matang berhawa sejuk dan

kering dengan kelembaban udara 72% serta

suhu rata-rata 24,130C, dengan suhu

terendah 140C pada bulan Juli/Agustus dan

suhu tentinggi 32,20C pada bulan

Nopemben. Kota Malang terdiri dari lima

kecamatan yaitu: Kedungkandang, Sukun,

Klojen, Blimbing, dan Lowokwaru serta

terdiri atas 57 kelurahan. Di kota Malang

mengalir tiga sungai yaitu sungai Brantas,

Amprong, dan Bango. Data kependudukan

kota Malang menunjukkan bahwa

Kecamatan Kedungkandang memiliki

jumlah RT pada urutan ke dua, jumlah

keluarga (KK) urutan pertama, jumlah

penduduk urutan ke tiga, rata-rata penduduk

per keluarga urutan pertama. Oleh karena

itu pemilihan lokasi di kecamatan

Kedungkandang kami anggap masih

“represertatif” sebagai lokasi penelitian.

Penduduk Kota Malang dilihat dari

segi ketenagakerjaan sebesar 77,8%

merupakan kelompok usia produktif

(angkatan kerja) dan 22,2% bukan angkatan

kerja. Usia di atas 60 tahun (7,4%)

kenyataannya juga masih produktif

khususnya disektor informal. Dilihat dan

jenis pekerjaan, penduduk Kota Malang

sebesar 32,76% lapangan usaha

perdagangan, 23,45% lapangan pekerjaan

jasa, 20,80% lapangan pekerjaan industri,

sisanya terbagi berbagai lapangan usaha. Di

bidang sosial (pendidikan), kota Malang

terkenal sebagai kota pendidikan tentunya

sarana pendidikan dasar, menengah, dan

tinggi sangat memadai baik kuantitas

maupun kualitasnya.

Kelurahan Kotalama sebagai lokasi

penelitian, terletak di Kecamatan

Kedungkandang. Kecamatan ini terdiri atas

12 kelurahan dengan luas wilayah 4.025Ha.

Berdasarkan pembentukan struktur kota,

maka Kecamatan Kedungkandang dapat

dilihat dan segi: pertama, interaksi

penduduknya yaitu masing-masing individu

yang memiliki kebutuhan untuk bertemu

dan berinteraksi. Kebutuhan ini dapat

timbul karena kepentingan sosial, ekonomi,

dan budaya penduduk Interaksi ini

menimbulkan aliran orang, barang, dan

komunikasi. Kedua, kondisi fisik kota yang

mengakomodasikan berbagai aktivitas

kegiatan yang berlangsung didalamnya.

Ketiga, dengan melihat kota sebagai

susunan dan lokasi-lokasi penduduk

melakukan kegiatan.

Page 149: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

144

Kodisi fisik rumah dan lingkungan,

jenis bahan bangunan rumah bervariasi,

yang terdiri atas dinding anyaman bambu

(gedhek), separoh tembok klenengan dan

gedhek, tembok penuh. Luas bangunan

rumah berkisar antara 40-50 meter2. Jenis

lantai juga bervariasi, mulai dan tanah,

sebagian plesteran semen, plesteran semen,

hingga keramik bekas. Sirkulasi udara dan

pencahayaan sinar matahari di lingkungan

cukup baik, umumnya mereka tinggal di

sekitar sungai. Bagi yang tinggal di

perkampungan sirkulasi kurang memadai

karena padat penduduk. Ketersediaan air

bersih dan MCK, sebagian lagi kurang

memadai.

Kondisi sosial dan keagamaan,

prasarana pendidikan tersedia yaitu SD,

Madrasah lbtidaiyah, SMP swasta dan

tsanawiyah. Tingkat pendidikan mereka

rendah, pada umumnya tidak tamat SD,

sebagian tamat SD, dan sebagian kecil

tamat SMP. Tingkat pendidikan anak-anak

mereka rata-rata lulusan SD, sebagian kecil

tamat SMP. Penduduk miskin mayoritas

memeluk agama Islam. Tersedia sarana

peribadatan yang memadai berupa mushola,

masjid, dan pondok pesantren. Kegiatan

orgasisasi-organisasi keagamaan berjalan

dengan baik.

Kondisi ekonomi, jenis pekerjaan:

sebagian besar sebagai pemulung,

pengendang, tukang nombeng, pedagang

kaki lima, pedagang keliling, penarik becak,

tukang kayu dan bangunan, penjaga malam

keamanan pasar, pengemis. Penghasilan

mereka berkisar antana 15-20 ribu perhari.

Besar beban keluarga termasuk istri antana

2-5 orang. Rata-rata jam kerja antara 6-9

jam perhari, bahkan ada yang lebih 10 jam

untuk pekerjaan ganda.

Pertimbangan Dominan Dalam

Menentukan Pilihan Jenis Pekerjaan

Menentukan pilihan jenis pekerjaan

bukanlah pekerjaan yang mudah. Pekerjaan

yang dianggap “cocok” atau sesuai

cenderung berlangsung dalam waktu yang

lama. Dan mempertahan pekerjaan sektor

informal yang ditekuninya bukanlah

persoalan yang mudah, oleh karena

diperlukan pengorbanan, ketabahan,

kesabaran, dan keuletan untuk mencapai

hasil yang “diharapkan”. Berbagai kendala

juga dihadapi oleh masyarakat yang

terserap dalam sektor informal terutama

enterpener atau usaha mandiri. Memang

secara umum pekerjaan sektor informal

dibedakan menjadi dua kelompok yaitu

sektor informal yang ikut orang atau

juragan disebut buruh sehingga upah yang

diterima berasal dan juragan atau pemilik

usaha. Kedua, sektor informal yang

berusaha sendiri tanpa menggantungkan

diri pada orang lain yang disebut dengan

sektor informal enterprener atau wirausaha.

Penelitian ini mengkhususkan diri

pada jenis pekerjaan sektor informal kedua,

yaitu enterprener dan masyarakat miskin di

Kelurahan Kotalama Kota Malang. Karena

jenis enterprener ini membutuhkan

keunggulan-keunggulan tertentu dalam

bekerja/berwirausaha usaha tanpa harus

menggantungkan diri pada orang lain. Yang

menarik dan penelitian ini adalah

bagaimana orang miskin dengan segala

ketidakberdayaannya mampu

mempertahankan diri memenuhi kebutuhan

hidupnya di perkotaan yang semakin sulit.

Keunggulan-keunggulan inilah yang perlu

dikembangkan sehingga mereka yang

kurang berdaya bisa dibantu dengan

program pemberdayaan masyarakat miskin

sehingga tujuan meningkatnya

kesejahteraan mereka dapat tercapai.

Pada hasil penelitian sudah tersirat

bahwa masyarakat miskin memasuki

lapangan kerja sektor informal khususnya

enterprener merupakan suatu

“keterpaksaan”. Mereka dipaksa oleh

keadaan dimana kesempatan kerja yang

terbuka pada sektor formal sudah demikian

sempitnya. Jangankan di sektor formal,

mencari pekerjaan pada sektor informal

dengan ikut orang saja sekarang sudah sulit

apalagi di sektor formal. Oleh karena itu,

menurut hemat kami faktor-faktor dominan

yang menentukan jenis pekerjaan

enterprener bagi masyarakat miskin

menjadi penting untuk dikaji.

Secara umum, karakteristik yang

banyak ditemukan di kantong-kantong

kemiskinan di perkotaan adalah tingkat

pendidikan masyarakat yang rendah.

Page 150: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

145

Demikian juga di lokasi penelitian,

sebagian besar masyarakatnya

berpendidikan sekolah dasar, atau

setidaknya setingkat sekolah menengah

pertama. Jelas tingkat pendidikan yang

rendah akan menentukan kualitas sumber

daya manusia terkait dengan keahlian dan

ketrampilan yang dimilikinya. Sehingga

kemampuan nalar dan pikin juga lebih

rendah dibandingkan dengan masyarakat

yang berpendidikan menengah. Rendahnya

pendidikan orang tua karena kondisi

ekonomi akan berakibat masa depan anak-

anaknya terutama dibidang pendidikan.

Meskipun pemerintah melaksanakan

program pendidikan 9 tahun tetapi belum

sepenuhnya dapat dinikmati sebagian

kelompok masyarakat ini. Karena tuntutan

ekonomi mendorong anak-anak mereka

membantu orang tua mencari nafkah untuk

memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Beberapa faktor dominan dalam

mempertimbangkan pilihan pekerjaan

enterprener tersebut antara lain. Pertama,

keahlian dan ketrampilan yang dimiliki.

Dengan rendahnya tingkat pendidikan maka

masyarakat pada umumnya tidak meinifiki

keahlian atau ketrampilan khusus yang bisa

dijual atau dibutuhkan masyarakat. Karena

tidak memiliki ketrampilan tersebut mereka

menentukan pilihan pekerjaan apa yang

dianggap bisa dilakukannya. Tidak

memiliki ketrampilan menyebabkan mereka

sulit untuk masuk dalam lapangan kerja

formal. lni mendorong mereka untuk

melakukan usaha enterprener di sektor

informal.

Biasanya berdagang kecil-kecilan

baik secara menetap maupun keliling

misalnya menjual kue gorengan, menjual

pentol cilok, jualan es, mainan anakanak di

depan sekolah-sekolah dasar, dan

sebagainya. Jika tidak berdagang, pilihan

lain adalah sebagai pemulung karena

pekerjaan ini membutuhkan ketrampilan

dan cepat menghasilkan pendapatan.

Mereka cukup dengan berkeliling

mengumpulkan segala macam plastik,

kertas, kaleng, atau apa saja yang masih

laku dijual dipenampungan atau pengepul

rosok. Pilihan lain adalah sebagai tukang

becak karena pekerjaan hanya

membutuhkan modal tenaga dan

kepercayaan untuk menyewa becak dan

pemiliknya.

Secara sederhana mereka hanya

berpikir apa yang bisa dilakukan untuk

dapat menghasilkan uang guna memenuhi

kebutuhan keluarganya. Mau belajar dan

melatih ketrampilan yang benar-benar

dibutuhkan masyarakat rasanya tidak ada

peluang dan kesempatan. Misalnya program

pelatihan khusus bagi mereka untuk

menghasilkan suatu produk yang benar-

benar dibutuhkan masyarakat sehingga

penghasilan mereka meningkat, nasanya

belum pernah ada. Kalaupun mereke bisa

menghasilkan sesuatu sifatnya hanya

sementara dan bersifat musiman.

Kedua, dana usaha. Pertimbangan

kedua adalah masalah modal finansial.

Modal tenaga dan kemauan ada tetapi

masalah finansial biasanya menjadi kendala

utama masyarakat miskin dalam berusaha.

Tidak sedikit masyarakat miskin yang jujur,

tetapi juga tidak sedikit diantara mereka

yang “tidak jujur”. Kalau mereka pinjam

uang di bank thithil keliling dapat berjalan

dengan baik mengapa program

pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan

perkotaan terkadang tidak berhasil,

termasuk program P2KP juga tidak berhasil

di lokasi penelitian ini. Yang jelas akan

utamanya adalah selektifitas, kontrol, dan

kurang mengikutsertakan tokohtokoh

masyarakat setempat menjadi penyebab

utama ketidakberhasilan program ini.

Meskipun rencaranya baik tetapi jika tidak

diimbangi dengan pelaksanaan yang baik,

jelas tujuannya tidak akan tercapai.

Bagi mereka modal uang sangat

beranti bagi mereka. Tentunya besarannya

juga menyesuaikan dan diperlukan

kalkulasi secara khusus sebatas apa dana itu

benar-benar dibutuhkan untuk

mengembangkan usaha. Selama ini tidaklah

demikian. Misalnya ada batas maksimal

peminjaman yang ditentukan pengurus

untuk kelompok-kelompok masyarakat

(pokmas), biasanya mereka mengambil

rata-nata tanpa ada survai yang memadai

sebatas mana dana tersebut benar-benar

dibutuhkan untuk mengembangkan usaha.

Proses seleksi dengan wawancara dikantor

Page 151: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

146

kalaupun toh ada survai biasanya

sekedarnya saja sebagai formalitas. Padahal

seharusnya survai sebagai penentu layak

tidaknya pengajuan besaran pinjaman yang

diajukan. Apapun alasannya bagi mereka

modal finansiil tetap mendasar dan akan

menentukan usaha apa yang akan

dilakukan.

Ketiga, kemudahan usaha.

Masyarakat miskin di lokasi penelitian

dalam menentukan pilihan jenis pekerjaan

diantaranya mempertimbangkan

kemudahan usaha/pekerjaan tersebut.

Artinya apakah perkerjaan tersebut benar-

benar bisa dilaksanakan apa tidak.

Pekerjaan yang dipilihya adalah pekerjaan

yang dapat dilakukan dan dianggap bersifat

lebih “menguntungkan” danipada pekerjaan

lain. Mereka tidak akan melaksanakan

pekerjaan yang tidak dapat dikerjakan

meskipun penghasilannya besar dan akan

melakukan pekerjaan yang mampu

dilaksanakan meskipun penghasilannya

kecil, tetapi akan memilih pekerjaan yang

dapat dilakukan namun memberikan

penghasilan yang ebih besar.

Keempat, resiko yang dihadapi

enterprener. Tidak hanya itu, kemudahan

usaha di sini terkait pula dengan resiko

yang dihadapinya. Baik resiko kerugian

modal finansiil, resiko keamanan, resiko

sosial, resiko meninggalkan keluarga, dan

sebagainya. Pada umumnya resiko yang

dianggapnya paling kecil dipentimbangkan

terkait dengan kemudahan usaha atau

pekerjaan yang ditekuninya. Sesuatu yang

dianggap resiko ini bagi mereka memiliki

nilai yang lebih tinggi dan sekedar

penghasilan yang diperolehnya. Modal

usaha lebih penting dan sekedar

penghasilan, keluarga lebih berarti dan

sekedar penghasilan, keselamatan lebih

berarti dari sekedar penghasilan seterusnya.

Sehingga pertimbangan resiko tersebut

dianggap lebih tinggi nilainya dan sekedar

penghasilan yang diperolehnya.

Eksistensi dan kontribusi pekerjaan

dalam meningkatkan kesejahteraan

keluarga

Pada umumnya berbagai jenis

pekerjaan enterprener yang ditekuni

masyarakat miskin lokasi penelitian dapat

dilakukan untuk jangka waktu yang

panjang. Usaha distribusi kecil-kecilan dan

jasa. Distribusi kecil-kecilan yang banyak

dilakukan antara lain : sebagai pemulung,

pedagang keliling, tukang rombeng,

pedagang kaki lima. Sedangkan untuk jasa

antara tukang becak tukang bangunan dan

kayu.

Eksistensi pekerjaan pemulung dan

segi waktu dapat dilakukan secara terus

menerus. Dengan pertambahan jumlah

penduduk yang semakin pesat tentunya

barang-barang limbah seperti plastik,

kertas, dan kaleng juga semakin meningkat

kuantitasnya. Oleh karena itu semakin padat

penduduk semakin menguntungkan bagi

pemulung. Lagipula pekerjaan ini tidak

banyak diminati dibandingkan jenis

pekerjaan lainnya karena diperlukan mental

yang kuat untuk melaksanakannya.

Demikian pula pedagang keliling, baik

pedagang makanan, sayuran, mainan anak-

anak dan seterusnya dapat dilakukan dalam

waktu yang lama. Semakin padat penduduk

semakin menguntungkan menguntungkan

pedagang keliling. Jenis pekerjaan tukang

rombeng keliling dilakukan dengan cara

berkeliling mencari barang kemudian dijual

ke penimbangan. Seperti pekerjaan diatas

dapat dilakukan dalam waktu yang relative

panjang. Pedagang kaki lima

keberadaannya tumbuh menjamur, semakin

banyak yang menekuni sebagai pedagan

kaki lima barang bekas karena : mudah

dilakukan, modal kecil namun terkadang

memberikan keuntungan yang lumayan.

Bidang jasa, misalnya penarik becak,

pekerjaan ini dapat dilakukan dalam waktu

yang panjang, semakin padat penduduk

pekerjaan semakin eksis meskipun banyak

memiliki kelemahan-kelemahan (faktor

limitasi).

Namun secara umum pekerjaan

yang mereka tekuni selama ini memiliki

kesamaan karakteristik diantaranya

pekerjaan mereka masih tetap eksis dalam

waktu yang lama sejalan dengan

perkembangan perkotaan. Namun meskipun

masih eksis dalam kehidupan perkotaan,

pada umunya penghasilan mereka tetaplah

rendah sehingga hanya cukup untuk

Page 152: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

147

memenuhi kebutuhan fisik sehari-hari.

Meskipun upaya keras telah dilakukan

secara faktual besar penghasilan mereka

relative stabil. Tentunya disebabkan oleh

berbagai factor limitasi masing-masing

pekerjaan sektor informal entenprener

masyarakat miskin perkotaan. Sehingga

kontribusi pekerjaan ini untuk peningkatan

kesejahteraan keluanga masih kecil.

Limitasi Pekerjaan dalam

Mengembangan Pekerjaan

Limitasi pekerjaan disini adalah

faktor-faktor yang menjadi kendala

masyarakat miskin dalam melaksanakan

dan mengembangkan pekerjaannya.

Dimana limitasi untuk masing-masing

pekerjaan tidak sama terutama usaha

distribusi kecil-kecilan dan jasa. Beberapa

jenis pekerjaan dapat dikembangkan dengan

baik melalui strategi dan kalkulasi yang

tepat. Namun tendapat pula beberapa jenis

pekerjaan yang memang tidak dapat

dikembangkan, oleh karena diperlukan

alternatif pemecahan lain yang lebih tepat.

Faktor limitasi untuk usaha

distribusi kecil-kecilan enterprener antara

lain: Pertama, pedagang keliling. Sebagian

besar usaha bendagang kecil-kecilan atau

padagang keliling kendala utamanya adalah

modal finansial (dana). Untuk

mengembangkan usahanya diperlukan

tambahan dana sesuai dengan kebutuhan.

Dana yang dibutuhkan sesungguhnya

tidaklah terlalu besar, namun pada

umumnya mereka mengalami kesulitan

mendapatkan tambahan dana

pengembangan usaha. Penghasilan mereka

yang rendah hanya cukup untuk memenuhi

“kebutuhan” sehari-hari sehingga benar

untuk menabung apalagi investasi untuk

pengembangan usaha. Bisa dilakukan

dengan bantuan pinjaman bank thithil

dengan bunga tinggi. Terkadang mereka

untuk menutupi kebutuhan tersebut

terpaksa juga pinjam lembaga keuangan

informal tersebut. Disamping dana,

penalatan yang diperlukan sebagai

penunjang kerja barangkali juga dianggap

sebagai kendala pengembangan usaha.

Kedua, tukang rombeng keliling.

Pekerjaan ini memiliki limitasi pekerjaan

masalah dana. Dana dipergunakan untuk

membeli barang-barang bekas dan rumah

tangga-rumah tangga yang kemudian

disetorkan atau dijual kepada pengepul.

Sesama tukang rombeng keliling juga

tenjadi persaingan dalam menawar barang-

barang bekas tersebut. Sebenarnya usaha

rombeng keliling ini juga tidak memerlukan

dana yang besar, maklum namanya usaha

kecil. Sesungguhnya mereka memerlukan

dana permanen untuk kepentingan kerja

karena sebagai modal utama. Selama ini

dana tersebut dipergunakan secara

serabutan, disamping untuk keperluan

modal tidak jarang dipergunakan juga untuk

menutupi kebutuhan rumahtangga.

Keempat, pedagang kaki lima.

Faktor limitasi jenis pekerjaan ini lebih

kompleks dibandingkan dengan rombeng

keliling atau padagang keliling. Disamping

limitasi dalam hal dana, bagi mereka

lokasi/tempat jualan menjadi persoalan

tersendiri bagi mereka serta dalam berusaha

juga membutuhkan ketenangan.

Menentukan lokasi berjualan yang

dianggap strategis menurut mereka

bukanlah hal yang mudah. Sehingga

kendala lain yang dihadapi adalah dengan

petugas ketertiban kota. Setidaknya

pengaruh secara psikis mempengaruhi

ketenangan usaha.

Kelima, pemulung. Pekerjaan ini

banyak ditekuni masyarakat di kantong-

kantong kemiskinan. Untuk melakukan

pekerjaan ini tidak memerlukan dana yang

besar, tetapi bekal yang dibutuhkan adalah

tenaga dan ketekunan. Namun bukan berarti

tidak ada limitasi dalam melaksanakan

pekerjaan ini. Limitasi terbesar tendapat di

lapangan berupa sanksi sosial masyarakat.

Tidak jarang dilingkungan kita terpampang

“pemulung dilarang masuk”. Ini sebagai

akibat beberapa ulah sebagian pemulung

yang bekerja dengan tidak benar atau

terkadang pemulung hanya terkena awu

anget apabila anggota masyarakat

kehilangan suatu barang. Tidak sedikit

pemulung yang bekerja secara benar,

namun karena dimasyarakat sudah

terbangun anggapan bahwa pemulung

dianggap sosok yang “membahayakan”

barang-barang mereka.

Page 153: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

148

Disamping itu sebagian pemulung

menganggap limitasinya adalah peralatan

(sarana kenja) berupa transportasi. Tidak

banyak pemulung yang dapat meminjam

becak dan juragannya, padahal untuk

menempuh janak yang jauh besak sangat

diperlukan untuk membawa hasil

memungut barang-barang tersebut.

Faktor limitasi untuk usaha jasa

yang bersifat enterprener antara lain:

Pertama, penarik becak. Pekerjaan jasa

penarik becak banyak diminati masyarakat

migran karena begitu mudahnya melakukan

pekerjaan ini, sifatnya langsung kerja dan

memperoleh penghasilan. Namun akhir-

akhir ini terdapat limitasi terhadap

pekerjaan tersebut diantaranya semakin

banyaknya alat transpontasi umum maupun

pribadi. Jumlah angkutan kota yang

mencari penumpang sangat banyak.

Demikian pula kendaraan roda empat,

apalagi roda dua yang semakin padat akibat

kemudahan fasilitasi kredit pemilikan

kendaraan bermotor membawa dampak

negatif bagi para penanik becak.

Disamping itu, pada tempat-tempat

ramai pengunjung atau strategis tidak

jarang kita temukan tanda larangan untuk

becak. Bagi mereka kondisi ini kurang

menguntungkan, sehingga tidak jarang

terkadang mereka harus berhadapan dengan

petugas untuk “ditertibkan”.

Kedua, tukang kayu atau bangunan.

Hanya sedikit masyarakat lokasi penelitian

yang menekuni pekerjaan ini. Memang

pekerjaan ini membutuhkan ketrampilan

dan kahlian khusus dibandingkan dengan

pekerjaan lain ditekuni masyarakat miskin

dilokasi penelitian. Untuk mencapai

kualitas hasil yang bagus serta tercapainya

efisiensi waktu dan tenaga dibutuhkan

sarana penunjang peralatan pertukangan

yang memadai. Bagi mereka yang tidak

memapu dalam pembelian penalatan yang

memadai sesuai perkembangan teknologi

akan tentinggal sehingga mereka tidak

mampu bensaing dengan tukang lain yang

memiliki penalatan yang “memadai”.

KESIMPULAN DAN SARAN

Bebenapa faktor dominan dalam

mempertimbangkan pilihan pekerjaan

enterprener tersebut antana lain: Pertama,

keahlian dan ketrampilan yang dimiliki.

Dengan rendahnya tingkat pendidikan maka

masyarakat pada umumnya tidak memiliki

keahlian atau ketrampilan khusus yang bisa

dijual atau dibutuhkan masyarakat. Karena

tidak memiliki ketrampilan tersebut mereka

menentukan pilihan pekerjaan apa yang

dianggap bisa dilakukannya. Biasanya

berdagang kecil-kecilan baik secara

menetap maupun keliling cukup diminati.

Jika tidak berdagang, pilihan lain adalah

sebagai pemulung karena pekerjaan ini

membutuhkan ketrampilan dan cepat

menghasilkan pendapatan. Pilihan lain

adalah sebagai tukang becak karena

pekerjaan hanya membutuhkan modal

tenaga dan kepercayaan untuk menyewa

becak dan pemiliknya. Mau belajar dan

melatih ketnampilan yang benar-benar

dibutuhkan masyarakat rasanya tidak ada

peluang dan kesempatan. Misalnya program

pelatihan khusus bagi mereka untuk

menghasilkan suatu produk yang benar--

benar dibutuhkan masyarakat sehingga

penghasilan mereka meningkat, rasanya

belum pernah ada. Kalaupun mereka bisa

menghasilkan sesuatu sifatnya hanya

sementana dan bersifat musiman.

Kedua, modal dana usaha.

Pertimbangan kedua adalah masalah dana.

Modal tenaga dan kemauan ada tetapi

masalah dana biasanya menjadi kendala

utama masyarakat miskin dalam berusaha.

Tidak sedikit masyarakat miskin yang jujur

tetapi juga tidak sedikit diantara mereka

yang “tidak jujur”. Kalau mereka pinjam

uang di bank thithil keliling dapat berjalan

dengan baik mengapa program

pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan

perkotaan terkadang tidak berhasil,

termasuk program P2KP juga tidak berhasil

di lokasi penelitian ini. Yang jelas akar

utamanya adalah selektifitas, kontrol, dan

kurang mengikutsertakan tokoh-tokoh

masyarakat setempat menjadi penyebab

utama ketidakberhasilan program ini. Bagi

mereka dana sangat berarti. Tentunya

besarannya juga menyesuaikan dan

diperlukan kalkulasm secara khusus sebatas

apa dana itu benar-benar dibutuhkan untuk

mengembangkan usaha. Apapun alasannya

Page 154: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

149

bagi mereka faktor dana tetap mendasar dan

akan menentukan usaha apa yang akan

dilakukan.

Ketiga, kemudahan usaha.

Masyarakat miskin di lokasi penelitian

dalam menentukan pilihan jenis pekerjaan

diantaranya mempertimbangkan

kemudahan usaha/pekerjaan tersebut.

Artinya apakah pekerjaan tersebut benar-

benar bisa dilaksanakan apa tidak.

Pekerjaan yang dipilihya adalah pekerjaan

yang dapat dilakukan dan dianggap bensifat

lebih “menguntungkan” danipada pekerjaan

lain.

Keempat, resiko yang dihadapi

enterprener. Tidak hanya itu, kemudahan

usaha di sini terkait pula dengan resiko

yang dihadapinya. Baik resiko kenugian

modal finansiil, resiko keamanan, resiko

sosial, resiko meninggalkan keluarga, dan

sebagai. Pada umumnya resiko yang

dianggapnya paling kecil dipertimbangkan

terkait dengan kemudahan usaha atau

pekerjaan yang ditekuninya. Sesuatu yang

dianggap resiko ini bagi mereka memilliki

nilai yang lebih tinggi dan sekedar

penghasilan yang diperolehnya. Modal

usaha lebih penting dan sekedar

penghasilan, keluarga lebih berarti dan

sekedar penghasilan, keselamatan lebih

berarti dari sekedar penghasilan, dan

seterusnya. Sehingga pertimbangan resiko

tersebut dianggap lebih tinggi nilainya dan

sekedar penghasilan yang diperolehnya.

Untuk mencapai kualitas hasil yang bagus

serta tercapainya efisiensi waktu dan tenaga

dibutuhkan sarana penunjang peralatan

pertukangan yang memadai. Bagi mereka

yang tidak memapu dalam pembelian

peralatan yang memadai sesuai

perkembangan teknologi akan tertinggal

sehingga mereka tidak mampu bersaing

dengan tukang lain yang memiliki peralatan

yang “memadai”.

Beberapa rekomendasi hasil

penelitian ini terkait dengan program

pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan

perkotaan, antara lain: (1) dalam rangka

mencapai tujuan program pemberdayaan

dan pengentasan kemiskinan masyarakat

kota, sebaiknya pelaksanaannya dilakukan

secara terpadu dengan melibatkan tokoh

masyarakat sekitan sehingga turut

memberikan kontrol sosial pelaksanaan

program; (2) berbagai limitasi yang

melingkupi pekerjaan masyarakat miskin

sektor informal enterprener perlu

diperhatikan, mislanya dengan memberikan

bantuan dana sesuai kebutuhan secara tepat,

kalkulasi yang tepat, serta pelaksanaan

kontrol yang baik; (3) agar dapat keluar dari

lingkaran kemisikinan mereka, perlu

dipikirkan adanya program pelatihan

pembuatan produk yang benar-benar

dibutuhkan masyarakat sehingga pekerjaan

yang kiranya tidak bisa dikembangkan bisa

beralih pada pekerjaan yang lebih

produktif; (4) pemerintah daerah perlu

memperhatikan nasib pendidikan

masyarakat miskin. Oleh karena itu

diupayakan memberi fasilitas khusus bagi

mereka untuk dapat melanjutkan sekolah

sampai ke tingkat menengah atas kejuruan

sehingga memiliki keahlian dengan harapan

mampu bekerja secara mandiri.

DAFTAR PUSTAKA

Adi, Isbandi Rukminto. 2003.

Pemberdayaan, Pengembangan

Masyarakat dan Intervensi

Komunitas (Pengantar pada

Pemikiran dan Pendekatan Praktis).

Jakarta. Lembaga Penerbit Fakultas

Ekonomi Unversitas Indonesia. hal. 6.

Arifin, Imron. 1994. Orientasi Teoritik dan

Memilih Pokok Studi; Jenis Studi

Kasus Dalam Penelitian Kualitatif

dalam Arifin, Imron (ed.), Penelitian

Kualitatif Dalam Bidang limu-ilmu

Sosial dan Keagamaan. Kalimasada

Press, Malang, hal. 18.

Bakhit, Izzeddin (et al.) 2001. Attacking

The Roots of Poverty dalam

Sugihardjanto, Ali (Penterjemah).

2001. Menggempur Akar-akar

Kemiskinan. Yakoma-PGI. Jakarta.

hal.3.

Bogdan, R.C. dan Biklen, S.J., 1982.

Qualitative Research for Education:

An Introduction to Theory and

Methods. Boston: Ally and Beacon

Inc. p. 154.

Bogue, Donald J. 1959. “Internal

Inigration,” in studi of Population:

An Inventoryand Apprrasial. Chapter

Page 155: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

150

21. p. 486-509. Chicago: University

of Chicago Press.

Badan Pusat Statistik. 2003. Statistik

Indonesia Statistical Yearbook of

Indonesia. Jakarta. h. 575-577.

Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data

penelitian Kualitatif : Pemahaman

Filosofis Metodologis ke Arah

Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta.

PT Raja Grafindo Persada.

Dyson, L. 1995. Siapakah Golongan

Miskin itu? dalam Suyanto, Bagong

(ed.), Perangkap Kemiskinan,

Problem dan Strategi

Pengentasannya. Airlangga

University Press. Malang. hal. 3

Effendy, Tadjuddin Noer. 1995

“Pembangunan Pasar Kerja di

lndonesia, “ Seminar World bank

Report, 22 November.

Effendy, Tadjuddin Noer. 1988.

Kesempatan Kerja Sektor In formal di

Perkotaan Indonesia (Analisis

Pertumbuhan dan Peranannya).

Majalah Geografi I ndonesia.2.

Yogjakarta.

Eta. 2004. “Setengah Pekerja Dunia

Miskin”. Kompas. Rabu, 8 Desember

2004. hal. 14.

Hart, Keith. 1996. Sekton Informal dalam

Manning, Chris dan Effendi,

Tadjuddin Noen (ed.). Urbanisasi,

Pengangguran, dan Sektor Informal

di Kota. Yogyakarta. Yayasan Obon

Indonesia. hal. 78.

Henlianto. 1997. Urbanisasi, Pembangunan

dan Kerusuhan Kota. Bandung.

Alumni.

Hidayat. 1983. Situasi Pekerjaan, Setengah

Pengangguran dan Kesempatan Kerja

di Sektor Infonmal. Makalah

Lokakarya Nasional Angkatan Kerja

dan Kesempatan Kenja. Jakarta,

November 1983.

Kuncoro, Mudrajad. 2003. Men gkaji Ulang

Strategi Pembangunan Indonesia

Dalam Era Otonoini Daerah dan

Globalisasi. Jurnal Salam. Edisi 5.

Tahun IV.

Miles, Mathew B. dan Huberman, A.

Michael. 1992. Analisis Data

Kualitatif: Buku Sumber tentang

Metode-metode baru. Jakarta.

Universitas Indonesia Press. hal. 15-

21.

Moeljarto, Vidhyandika. 1994.

Kemiskinan: Hakekat, Ciri, Dimensi

dan Kebijakan. Kemiskinan Mengais

Sumber Daya. Analisis CS/S. 23 (3):

196-203.

Mubyarto. 2003. Tantangan Ilmu Ekonomi

Dalam Menanggulangi Kemiskinan,

Artikel: Ekonomi Rakyat dan

Pendidikan ilmu Ekonomi. http: www.

ekonomi rakyat .orqledisi 1/artikel

4.htm. Manet, 2003.

Murdiyati. 1999. Kemandirian Sektor

Informal: Limitasi dan Faktor-faktor

yangMempengaruhinya. Thesis.

Universitas Gajahmada. Yogyakarta.

Rizal, Bashori. 1995. Perang Dunia

Melawan Kemiskinan dalam Suyanto,

Bagong (ed.), Perangkap Kemiskinan,

Problem dan Strategi

Pengentasannya. Airlangga

University Press.

Sethurahman, S.V. 1996. Sektor Informal di

Negara Sedang Berkembang, dalam

Manning, Chris dan Effendi,

Tadjuddin Noer (ed.). Urbanisasi,

Pengangguran, dan Sektor Informal

di Kota. Yogyakarta. Yayasan Obon

Indonesia. hal. 108.

Simanjuntak, Panjaman.

2000.”Pengangguran di Indonesia,”

Kompas 26 Februari, hIm. 6.

Soetrisno,

Loekman. 1997. Kemiskinan, Perempuan,

dan Pemberdayaan. Yogyakarta.

Kanisius. hal. 17.

Sucipto, Tn dan Tukiran. 1995. Proyeksi

Penduduk Indonesia Tahun 1990-

2000. Yogyakarta. Pusat Penelitian

Kependudukan Universitas Gajah

Mada.

Widodo, Yoto. 1998. Stratifikasi Sosial dan

Strategi Survival Para Pekerja

Informal: Studi Kehidupan Para

Pemulung di Kotamadya Surakarla.

Thesis. Univensitas Gajahmada.

Yogyakarta.

Yin, Robert K. 2002. Studi Kasus (Design

dan Metode). Jakarta. PT Raja

Grafinda Persada.

Page 156: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish

141

PEDOMAN PENULISAN JURNAL PELOPOR

1. Jurnal PELOPOR terbit dua kali setahun: Januari dan Juli.

2. Naskah adalah hasil karya asli yang belum pernah dipublikasikan dan tidak

dipertimbangkan akan dimuat dalam media publikasi lain.

3. Naskah dapat berupa hasil penelitian, kajian pustaka/teoritis, kajian metodologis, gagasan

orisinal yang kritis, ulasan masalah penting/isu pembangunan yang sedang hangat, dan

ulasan suatu hasil seminar.

4. Naskah disusun dalam bahasa Indonesia yang baku sesuai dengan Ejaan Yang

Disempurnakan atau dalam bahasa Inggris. Untuk naskah berbahasa Indonesia, (abstract)

ditulis dalam bahasa Inggris dan naskah dalam bahasa Inggris, (abstrak) ditulis dalam

bahasa Indonesia.

5. Naskah diketik dua spasi ukuran A4, font Time New Roman 12, Jarak tepi halaman: kiri,

atas, kanan (3 cm) dan bawah (2,5 cm). Jumlah naskah maksimal 20 halaman termasuk

tabel, grafik, gambar dan lampiran. Naskah dikirim ke penyunting dalam bentuk cetakan

(print out) rangkap dua, dan disertakan softcopy file naskah format MS.Word dalam

bentuk CD.

6. Naskah disusun dengan sistematika:

a. Judul (diketik dengan huruf kapital dan maksimal 12 kata), Nama Penulis (tanpa

gelar), Alamat/Institusi, telepon/fax, dan E-mail,

b. Abstract/Abstrak (tidak lebih 200 kata, mengandung masalah, tujuan, metode, dan

hasil serta disertai kata kunci maksimal 6 kata),

c. Pendahuluan (mencakup latar belakang permasalahan/isu, tujuan

penelitian/penulisan, dan tinjauan pustaka atau teoritis (bila ada)),

d. Metode Penelitian, e. Hasil dan Pembahasan,

f. Simpulan dan Saran (a. Simpulan, b. Saran/Implikasi Kebijakan, dan c. Ucapan

Terima Kasih (bila ada)),

g. Daftar Pustaka, dan Lampiran (sesuai dengan keperluan).

7. Ketentuan-ketentuan Lainnya:

a. Tabel (judul tabel diatas, tabel tanpa garis vertikal, dan tanpa Blok/cetak tebal),

b. Gambar atau Grafik (judul dibawah) diberi nomor secara berurutan dan cantumkan

sumber data yang digunakan (bila perlu).

c. Daftar pustaka disusun menurut abjad nama penulis. Apabila ada dua atau lebih

pustaka yang sama penulisnya dan tahunnya, beri tanda a, b, c, dan seterusnya

dibelakang tahun terbit. Bagi pustaka yang merujuk dari jurnal, majalah ilmiah, dan

prosiding, harus menyebutkan nama penulis, tahun, judul, penerbit, halaman, dan

editor (penyunting). Daftar pustaka hanya memuat pustaka yang dirujuk dalam

tulisan/artikel.

8. Naskah dikirim ke alamat redaksi:

Kantor FIA Unisma

JL. MT. Haryono 193 Malang 65144. Telp./Fax. 0341565802

Email: [email protected]

Page 157: Jurnal Pelopor Vol VII No 3 Tahun 2013 Finish