finish l_3

83
SKENARIO 3” RUAM” KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan hidayahNya kami dapat menyelesaikan Laporan Tutorial ketiga sebagai suatu laporan atas hasil diskusi kami yang berkaitan dengan kegiatan tutorial pada Blok XI semester IV ini. Pada skenario yang berjudul “demam”, kami membahas masalah yang terkait dengan patofisiologi terjadinya autoimunitas dan hipersensitivitas. Dari pemahaman tersebut kami beranjak untuk membahas kemungkinan diagnosa pada skenario yaitu lupus eritematosus sistemik. Penyakit tersebut kami bahas mendalam mulai dari definisi hingga prognosis dan pencegahan. Kami mohon maaf jika dalam laporan ini terdapat banyak kekurangan dalam menggali semua aspek yang menyangkut segala hal yang berhubungan dengan scenario ketiga ini baik pada Learning Objective yang kami cari ataupun pada pembahasan yang kurang memuaskan. Karena ini semua disebabkan oleh keterbatasan kami sebagai manusia. Tetapi, kami berharap laporan ini dapat memberi pengetahuan serta manfaat kapada para pembaca. Mataram, 18 Mei 2009 KELOMPOK 5-BLOK XI 1

Upload: arja-waas

Post on 14-Dec-2014

45 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

finish L_3

TRANSCRIPT

Page 1: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan

hidayahNya kami dapat menyelesaikan Laporan Tutorial ketiga sebagai suatu laporan

atas hasil diskusi kami yang berkaitan dengan kegiatan tutorial pada Blok XI semester IV

ini. Pada skenario yang berjudul “demam”, kami membahas masalah yang terkait dengan

patofisiologi terjadinya autoimunitas dan hipersensitivitas. Dari pemahaman tersebut

kami beranjak untuk membahas kemungkinan diagnosa pada skenario yaitu lupus

eritematosus sistemik. Penyakit tersebut kami bahas mendalam mulai dari definisi hingga

prognosis dan pencegahan.

Kami mohon maaf jika dalam laporan ini terdapat banyak kekurangan dalam

menggali semua aspek yang menyangkut segala hal yang berhubungan dengan scenario

ketiga ini baik pada Learning Objective yang kami cari ataupun pada pembahasan yang

kurang memuaskan. Karena ini semua disebabkan oleh keterbatasan kami sebagai

manusia. Tetapi, kami berharap laporan ini dapat memberi pengetahuan serta manfaat

kapada para pembaca.

Mataram, 18 Mei 2009

KELOMPOK 5-BLOK XI1

Page 2: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................1

DAFTAR ISI .......................................................................................................................2

SKENARIO 3......................................................................................................................3

LEARNING OBJECTIVES.................................................................................................4

CONCEPT MAP .................................................................................................................5

PENENTUAN DIAGOSA PADA SCENARIO………………………………………......6

AUTOIMUNITAS…………………………………………………………………….......8

REAKSI HIPERSENSITIVITAS……………………………………………………......10

SLE……………………………………………………………………………………....24

KESIMPULAN .................................................................................................................58

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................59

KELOMPOK 5-BLOK XI2

Page 3: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

SKENARIO

KELOMPOK 5-BLOK XI

Skenario 3: Ruam

Helen, 28 tahun datang ke dokter praktek  swasta

mengeluh demam hilang timbul sejak  1 bulan terakhir.

Setelah dianamnesis penderita juga mengeluh nyeri sendi

berpindah-pindah, pusing, mata kabur, lemas dan

penurunan berat badan. 1 minggu terakhir penderita

mengeluh kencing sedikit dan berbusa. Pada pemeriksaan

fisik ditemukan ruam kemerahan di wajah dan ronki pada

kedua lapangan paru. Dokter kemudian melakukan

pemeriksaan lab dan didapatkan hasil anemia dan

leukopenia.

Pemeriksaan anamnesis, fisik, laboratorium apa lagi yang

diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis

penyakit diatas? Penyakit apa yang mungkin diderita Helen

dan bagaimana rencana penatalaksanaannya?

3

Page 4: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

MAPPING CONCEPT

KELOMPOK 5-BLOK XI

triger→ ndividu yang rentan secara genetis

signs

simptom

diagnosa

kerja banding

SLE RA

OA

ANEMIA

penyakit autoimun lainnya

Definisi

etiologi

epidemmiologi

manifestasi klinis

diagnosa: anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang

tatalaksana + edukasi

komplikasi

prognosis

pencegahan

4

Page 5: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

LEARNING OBJEKTIF

1. mahasiswa dapat mengerti dan memahami mengenai SLE

a. Definisi

b. etiologi

c. epidemmiologi

d. manifestasi klinis

e. diagnosa: anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang

f. tatalaksana

g. komplikasi

h. prognosis

i. pencegahan

2. mahasiswa mengerti tentang ruam dan nyeri sendi pada SLE

3. mahasiswa mengetahui aspek-aspek edukasi yang perlu diberikan pada penderita

SLE untuk dapat meningkatkan kualitas hidupnya

KELOMPOK 5-BLOK XI5

Page 6: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

Penentuan Diagnosa Pada Skenario

informasi yang di didapat pada skenario untuk mengarahkan diagnosa pada sebuah

penyakit yaitu:

KELOMPOK 5-BLOK XI

data anamnesis

identitas pasien: wanita usia muda

demam hilang timbul sejak 1 bulan terakhir

nyeri sendi berpindah-pindah

pusing

mata kabur

lemas

penurunan berat badan

kencing sediikit dan berbusa

+

data pemeriksaan fisik

malar rash

ronki pada kedua lapang paru

+

data pemeriksaan penunjang

anemia dan

leucopenia

dari temuan-temuan di atas mengarahkan

pada sebuah kelainan yang bersifat

sistemik

6

Page 7: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

temuan malar rash mengarahkan pada diagnosa SLE, tidak hanya itu karena temuan

lain dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang merupakan temuan yang

umum didapatkan pada penderita SLE

diagnosa lain yang paling mungkin yaitu reumatiod artirits

SLE vs RA

Pada SLE keluhan dapat berupa nyeri otot (mialgia), nyeri sendi (atralgia) atau

merupakan suatu artritis dimana tampak jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan ini

sering dianggap sebagai manifestasi artritis reumatoid karena keterlibatan sendi

yang banyak dan simetris. Untuk itu perlu dibedakan dengan Artritis Reumatoid

dimana pada umumnya SLE tidak menyebabkan kelainan deformitas, kaku sendi

yang berlangsung beberapa menit dan sebagainya. Selain itu pada SLE gejala

artritis non-erosif melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh rasa nyeri,

bengkak dan efusi.

Artritis Reumatoid adalah suatu penyakit peradangan kronis sistemik yang

menyerang berbagai jaringan, tetapi pada dasarnya menyerang sendi untuk

menghasilkan suatu sinovitis proliferatif nonsupuratif yang sering kali berkembang

menjadi kehancuran tulang rawan sendi dan tulang di bawahnya dan menimbulkan

kecacatan akibat artirits.

DD seperti anemia dan OA tidak dijadikan diagnosa karena jarang menimbulkan

manifestasi seperti yang ditemukan pada pasien di scenario

KELOMPOK 5-BLOK XI7

Page 8: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

AUTOIMUNITAS

Autoimunitas adalah respon imun terhadap antigen sendiri yang disebabkan oleh hilangya

toleransi.

Mekanisme penyakit autoimun

1) kegagalan toleransi

kegagalan kematian sel yang diinduksi oleh aktivasi.

2) gangguan anergi sel T

3) pemintasan kebutuhan sel B untuk bantuan sel T

mengubah epitop sel T dari suatu antigen sendiri

4) kegagalan supresi yang diperantarai sel T

5) mimikri molekular

beberapa agen infeksius memberikan epitop kepada antigen diri dan respon imun

yang melawan mikrobatersebut akan menghasilkan respon yang serupa terhadap

antigen diri yang beraksi silang

6) aktivasi limfosit poliklonal

autoimunitas dapat terjadi jika klon yang self reaktif terhadap anergik tidak diaktifkan

oleh mekanisme yang tidak tergantung antigen. Contoh superantigen yang

merangsang sel T CD4+ sehingga bertambah banyak tetapi tidak terdapat antigen

maka terjadi penimbunan sel T CD4+ ( autoimun).

7) pelepasan antigen terasing

ada antigen yang biasanya disimpan / diasingkan di dalam suatu organ.Pada saat

organ tersebut dibuang maka terjadilah pelepasan antigen.

8) pajanan epitop sendiri yang tersembunyi dan penyebaran epitop

sejumlah besar determinan sendiri tidak diproses sehingga tidak dikenali oleh sistem

imun jadi sel T semacam itu dapat menyebabkan penyakit autoimun jika epitop

tersebut kemudian disajikan dalam bentuk suatu imunogenik.

KELOMPOK 5-BLOK XI8

Page 9: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

KELOMPOK 5-BLOK XI9

Page 10: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

HIPERSENSITIVITAS

Tabel Empat Tipe Hipersensitivitas

Imunologi

spesifik

Tipe I Tipe II Tipe III Tipe IV (sel T)

TH1 TH2 Sel T

Antigen Soluble

antigen

allergen

Sel atau

matriks

jaringan

antigen

Soluble

antigen

Soluble

antigen

Soluble

antigen

Antigen

sel

terasosiasi

Mekasnisme

efektor

FcεRI atau

FcγRII-

dependen

aktivasi sel

mast dengan

rilis mediator

(sitokin)

FcγR, sel

fagosit, sel

NK,`system

komplemen

FcγR + sel

komplemen

Aktivasi

makrofag

Aktivasi

eusinofil

Sitokin

langsung

Contoh Anafilaksis

sistemik

Reaksi obat

dan

inkompabili

tas

transfuse

darah

Reaksi yang

dimediasi

oleh Imun-

kompleks

(ex:bacterial

endocardiitis)

Reaksi

kontak

dermatitis,

reaksi

tuberkulin

Inflamasi

alergi

kronis

Kontak

dermatitis

(ex:poison

ivy)

KELOMPOK 5-BLOK XI10

Page 11: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

A. Reaksi Hipersensitivitas Tipe I

Reaksi Hipersensitivitas Tipe I dipacu oleh interaksi antigen dengan antigen-

spesifik IgE yang berikatan dengan reseptornya di sel mast yang menyebabkan aktivasi

sel mast. Enzim proteolitik dan mediator toksik seperti histamine, segera dirilis dari

preform granul, kemokin, sitokin, dan leukotrins yang tersintesis setelah aktivasi. Secara

bersamaan, mediator-mediator tersebut meningkatkan permeabilitas vaskuler, merusak

jaringan matriks protein dengan cara meningkatkan produksi eusinofil, aktivasi

interleukin (IL-3 dan IL-5 serta TNF-alpha), yang berujung kepada kerusakan jaringan.

KELOMPOK 5-BLOK XI

Fase sensitisasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik (Fc) pada permukaan sel mast dan basofil

Fase aktivasi yaitu waktu yang terjadi akibat pajanan ulang

dengan dengan antigen yang spesifik, sel mast melepas isinya

yang berisi granul yang menimbulkan reaksi

Fase efektor yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis)

sebagai efek mediator-mediator yang dilepas dengan aktivitas

farmakologik

11

Page 12: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

Contoh penyakit yang timbul karena reaksi

hipersensitivitas tipe 1

asma bronkial

Rinitis

Urtikaria

dan dermatitis atopik

KELOMPOK 5-BLOK XI12

Page 13: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

B. Hipersensitivitas Tipe II

Hipersensitivitas Tipe II disebabkan oleh modifikasi kimiawi pada permukaan sel

atau matriks yang terasosiasi antigen yang menghasilkan epitop yang dianggap asing di

mana sistem imun tidak toleran terhadapnya. Sel B berespon terhadap antigen ini dengan

memproduksi IgG yang mengikat sel tersebut dan mengubah mereka agar diterima untuk

menghancurkan aktivasi komplemen, pagositosis, dan antibody-dependent cytotoxicity.

Fenomena ini sering terjadi pada saat obat-obat berinteraksi dengan kompartemen darah,

dan mengubah antigen seluler darah tersebut. Anemia hemolitik terjadi karena mediasi

sistem imun yang menyebabkan penghancuran trombosit sehingga terjadi

trombositopenia.

Hipersensitivitas tipe II diperantarai oleh antibodi yang diarahkan untuk melawan

antigen target pada permukanaan sel atau komponen jaringan lainnya. Antigen tersebut

dapat merupakan molekul intrinsik normal bagi membran sel atau matriks ekstraselular,

atau dapat merupakan antigen eksogen yang diabsorbsi (misalnya, metabolit obat). Pada

setiap kasus tersebut, respon hipertsensitivitas disebabkan oleh pengikatan antibodi yang

diikuti salah satu dari tiga mekanisme bergantung antibodi. Pertama adalah reaksi yang

bergantung komplemen yang terjadi melalui dua mekanisme lisis langsung dan

opsonisasi. Contohnya adalaha reaksi transfusi. Sel darah merah dari seorang donor yang

tidak sesuai dirusak setelah diikat oleh antibodi resipien yang diarahkan untuk melawan

antigen golongan darah donor. Kedua adalah sitotoksisitas selular bergantung antibodi

KELOMPOK 5-BLOK XI13

Page 14: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

(ADCC) meliputi pembunuhan melalui jenis sel yang membawa reseptor untuk bagian

FcIgG; sasaran diselubungi oleh antibodi dilisiskan tanpa fagositosis maupun fiksasi

komplemen. Ketiga adalah disfungsi sel yang diperantai antibodi. Pada beberapa kasus,

antibodi yang diarahkan untuk melawan reseptor permukaan sel merusak atau

mengacaukan fungsi tanpa menyebabkan jejas sel atau inflamasi. Pada penyakit Graves,

antibodi terhadap reseptor hormon perangsang tiroid (TSH) merangsang sel epitel tiroid

dan menyebabkan hipertiroidisme

Contoh reaksi tipe II

Destruksi sel darah merah akibat reaksi transfusi

Penyakit anemia hemolitik

Myasthenia gravis

Reaksi obat

Pempigus

Tirotoksikosis

KELOMPOK 5-BLOK XI14

Page 15: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

C. Hipersensitivitas tipe III

- Merupakan kerusakan yang terjadi akibat aktivasi komplemen atau aktivasi sel

efektor yang menyertai proses pengendapan komples imun yang terbentuk saat

antibodi bertemu antigen pada berbagai organ dan jaringan

Mekanisme reaksi :

KELOMPOK 5-BLOK XI15

Vasodilatasi dan akumulasi PMN yang menghancurkan kompleks

Pemaparan antigen dalam jangka panjang

Merangsang pembentukan antibodi (umumnya IgG)

Antibodi bereaksi dengan Antigen bersangkutan

Membentuk kompleks Antigen-antibodi

Mengendap pada jaringan tubuh

Menimbulkan reaksi inflamasi

Mengaktivasi sistem komplemen

Penglepasan anafilatoksin (C3a dan C5a)

Merangsang penglepasan berbagai mediator (ex: vasoactive amine) dan faktor kemotaktik oleh mastosit dan basofil

Merangsang PMN sehingga sel-sel tersebut melepaskan isi granula berupan enzim-enzim proteolitik (proteinase, kolagenase dan enzim pembentuk kinin)

Merusak jaringan Merusak jaringan

Page 16: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

Kompleks imun dapat menyulut berbagai jenis proses inflamasi, karena :

1. Kompleks imun berinterkasi dengan sistem komplemen dan menghasilkan C3a

dan C5a (anafilatoksin). Fragmen-fragmen komplemen ini merangsang

penglepasan vasoactive amine (termasuk histamin) dan faktor khemotaktik yang

berasal dari mastosit dan basofil. C5a juga merupakan faktor khemotaktik bagi

basofil, eosinofil, dan neutrofil

2. Makrofag distimulasi untuk melepaskan sitokin, khususnya TNFα dan IL-1 yang

mempunyai peran penting pada inflamasi

3. kompleks imun segera merinteraksi dengan basofil dan trombosit melaluirseptor

Fc dan menghasilkan vasoactive amine. Substansi ini menyebabkan retraksi sel

endotel , dengan demikian meningkatkan permeabilitas vaskuler, memberi

kesempatan untuk pengendapan kompleks imun pada dinding pembuluh darah

dan endapan kompleks imun itu kemudian membentuk C3a dan C5a selanjutnya.

Sel-sel PMN ini ditarik ke tempat bersangkutan dan seharusnya dapat menelan

kompleks imun tetaspi hal itu sulit dilakukan karena kompleks imun melekat pada

dinding pembuluh darah. Untuk mengatasi hal itu, PMN melepaskan enzim

lisosom dengan cara eksositosis untuk menghancurkan deposit kompleks imun,

KELOMPOK 5-BLOK XI16

Page 17: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

tetapi karena fagosit menempel pada kompleks imun yang melekat erat pada

jaringan pembuluh darah, maka enzim lisosom sekaligus dapat merusak jaringan

Manifestasi klinis :

Dalam suasana antibodi berlebihan atau bila kadar antigen hanya relatif sedikit lebih

tinggi dari antibodi, kompleks imun yang terbentuk cepat mengendap sehingga reaksi

yang ditimbulkannya adalah kelainan setempat berupa infiltrasi hebat dari sel-sel

PMN, agregasi trombosit dan vasodilatasi yang kemudian menimbulkan eritema dan

edema . reaksi ini disebut reaksi arthus. Agregasi trombosit dapat meningkatkan

penglepasan vasoactive amine atau mungkin juga dapat menimbulkan mikro-trombus

yang berakibat iskemia lokal.

Dalam suasana antigen berlebihan , kompleks yang terbentuk adalah kompleks yang

larut dan beredar dalam sirkulasi sehingga mungkin menimbulkan reaksi sistemik

yang disebut serum sickness atau terperangkap diberbagai jaringan di seluruh tubuh

dan menimbulkan reaksi inflamasi setempat seperti yang terjadi pada

glomerulonefritis dan arthritis rheumatoid.

Faktor yang berpengaruh

faktor keterangan

a. Ukuran kompleks

imun

Untuk menimbulkan kerusakan atau penyakit,

kompleks imun harus mempunyai ukuran yang sesuai.

Komples imun berukuran besarbiasanya dapat

disingkirkan oleh hepar dalam waktu beberapa menit,

tetapi kompleks imun berukuran kecil dapat beredar

dalam sirkulasi untuk beberapa waktu.

b. Kelas

imunoglobulin

Pembersihan (clearence) kompleks imun juga dapat

dipengaruhi oleh kelas imunoglobulin yang

membentuk kompleks. Kompleks igG mudah melekat

KELOMPOK 5-BLOK XI17

Page 18: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

pada eritrosit dan dikeluarkan secara perlahan-lahan

dari sirkulasi, tetapi tidak demikian halnya dengan IgA

yang tidak mudah melekat pada eritrosit dan tidak

dapat disingkirkan cepat dari sirkulasi, dengan

kemungkinan pengendapan dalam berbagai jaringan

misalnya ginjal, paru dan otak.

c. Aktivasi

komplemen

Aktivasi komplemen melalui jalur klasik dapar

mencegah pengendapan kompleks imun karena C3b

yang terbentuk dapat menghambat pembentukan

kompleks yang besar. Kompleks yang terikat pada

C3b akan melekat pada eritrosit melalui reseptor C3b,

lalu dibawa ke hepar dimana kompleks itu

dihancurkan oleh makrofag. Bila sistem ini terganggu,

maka kompleks di atas akan membentuk kompleks

yang berukuran besar dan memungkinkan ia

terperangkap di berbagai jaringan atau organ.

d. Permeabilitas

pembuluh darah

Penyulut yang penting untuk pengendapan kompleks

imun adalah peningkatan permeabilitas vaskular.

Peningkatan permeabilitas vaskular dapat disebabkan

oleh berbagai faktor, diantaranya oleh peningkatan

penglepasan vasoactive amine. Semua hal yang

berkaitan dengan penglepasan substansi ini harus

dipertimbangkan, misalnya komplemen, mastosit,

basofil dan trombosit yang dapat memberikan

kontribusinya pada peningkatan permeabilitas

vaskular.

e. Proses

hemodinamik

Pengendapan komples imun paling mudah terjadi di

tempat-tempat dengan tekanan darah tinggi dan ada

turbulensi. Banyak kompleks imun mengendap dalam

glomeerulus dimana terkanan darah meningkat hingga

KELOMPOK 5-BLOK XI18

Page 19: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

4 kali dan dalam dinding perkembangan arteri dan di

tempat-tempat terjadinya filtrasi.

D. Hipersensitivitas tipe IV

- Disebut juga reaksi hipersensitivitas tipe lambat / hipersensitivitas seluler

- Pada umumnya timbul lebih dari 12 jam setelah pemaparan pada antigen

- Tidak melibatkan antibodi, tetapi melibatkan sel-sel limfosit T

- Dikenal beberapa jenis reaksi hipersensitivitas tipe lambat yaitu reaksi kontak, reaksi

tuberkulin, dan reaksi granuloma

Jenis reaksi

hipersensitivitas

keterangan

1. Reaksi kontak Ditandai dengan reaksi eksim pada tempat terjadinya

kontak dengan alergen yang dapat berupa hapten,

misalnya logam, zat warna maupun zat kimia

Hapten umumnya terlalu kecil untuk menjadi antigenik

tetapi pada reaksi hipersensitivitas kontak, hapten

menembus epidermis kemudian mengikat protein yang

disebut carrier protein.

Pengenalan oleh sel T adalah spesifik untuk konjugat

hapten carrier bersangkutan, dan tidak untuk masing-

masing komponen

Reaksi kontak terjadi dalam lapisan epidermis

Sel APC utama yang berperan dalam reaksi ini adalah

sel langerhans yang mengekspresikan CD1, MHC

kelasII serta reseptor untuk Fc imunoglobulin dan

reseptor untuk komplemen.

Proses Sensitisisasi pada manusia berlangsung selama

KELOMPOK 5-BLOK XI19

Page 20: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

10-14 hari

Segera setelah diabsorpsi, hapten berikatan dengan

protein dan ditangkap oleh sel langerhans yang

kemudian bergerak melalui pembuluh getah bening

menuju bagian parakortikal kelenjar limfe

Dalam waktu 4 jam setelah pemaparan dengan DNCB,

sel-sel langerhans tampat dalam bagian para kortikal

kelenjar limfe

Dalam kelenjar ini ia mempresentasikan konjugat

hapten-carrier kepada limfosit CD4+ yang

menghasilkan populasi sel memory

Manifestasi klinis :

Respon yang terjadi tergantung dosis hapten yamg

masuk

Dosis yang sangat rendah tidak menimbulkan

respon

Dosis yang melebihi dosis tertentu tidak

meningkatkan respon

Gejala pertama reaksi dapat terlihat setelah 4-8 jam

dan mencapai puncaknya dalam 48-72 jam

Gejala awal menunjukkan sel-sel mononuklear

sekitar kelenjar peluh, sebasea, folikel dan

pembuluh darah yang mulai menginfiltrasi

epidermis

Dalam waktu 48-72 jam jumlah sel yang

menginfiltrasi epidermis bertambah banyak dan

terjadi edema

Reaksi kontak terdiri dari 2 fase, yaitu fase

sensitisasi dan fase elisitasi

Fase sensitisasi berlangsung selama 10-14 hari pada

manusia, sel langerhans membawa antigen ke area

KELOMPOK 5-BLOK XI20

Page 21: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

parakortikal KGB regional, mempresentasikan

antigen yang telah diproses (bersama MHC kelas

II) kepada sel CD4+ dan menghasilkan populasi sel

CD4+ memory

Pada fase elisitasi terjadi degranulasi dan pelepasan

sitokin oleh sel mastosit segera setelah kontak

2. Reaksi tuberkulin Mencapai puncaknya 48-72 jam setelah pemaparan

Diikutin oleh reaksi yang lebih lambat, yang ditandai

dengan agregasi dan proliferasi makrofag membentuk

granuloma yang menetap selama beberapa minggu

Pemaparan ulang sel T memory pada kompleks antigen-

MHC kelas II yang ditampilkan oleh APCmerangsang

selT CD4+ untuk melakukan transformasi blast disertai

pembentukan DNA dan proliferasi sel

Sebagian dari populasi limfosit yang teraktivasi

mengeluarkan berbagai mediator yang menarik

makrofag ke tempat bersangkutan

Gambaran histologik yang tampak pada awal reaksi

adalah akumulasi makrofag, di daerah perivaskular

dalam waktu 12-72 jam di susul oleh eksudasi sel

mononuklear dan PMN

Limfosit dan makrofag yang terdapat dalam infiltrasi

mengekspresikan HLA-DR

Sel-sel PMN segera meninggalkan tempat tersebut,

tetapi sel-sel mononuklear tetap berada di tempat,

membentuk infiltrat yang sebagian besar terdiri atas

limfosit CD4+ dan CD8+ dengan perbandingan 2:1, dan

sel seri monosit-makrofag

3. Reaksi granuloma Dapat menyebabkan berbagai keadaan patologis pada

KELOMPOK 5-BLOK XI21

Page 22: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

penyakit-penyakit yang melibatkan respon imun seluler

Biasanya reaksi ini terjadi karena makrofag tidak

mampu menyingkirkan mikroorganisme atau partikel

yang ada di dalamnya, sehingga partikel itu menetap

Kadang-kadang reaksi ini juga terjadi akibat kompleks

imun persisten

Proses ini mengakibatkan pembentukan granuloma

Reaksi granuloma dapat juga disebabkan oleh benda

asing, misalnya talk, silikon dan partikel lain, dan jenis

reaksi granuloma non-imunologik ini ini dapat

dibedakan karena tidak melibatkan limfosit

Sel yang khas pada reaksi granuloma adalah sel

epiteloid, yang diduga berasal dari sel makrofag

reaktivasi tetapi tidak memiliki fagosom

Pada reaksi ini juga dapat dijumpai sel raksasa

Sel ini memiliki beberapa nukleus, sedangkan

mitokondria dan lisosom mengalami degradasi

Contoh klasik reaksi tipe IV adalah reaksi tuberkulin (+) pada uji mantoux, dermatitis

kontak dan reaksi penolakan jaringan transplantasi jenis lambat. Selain itu, ada beberapa

jenis penyakit kronik yang merupakan manifestasi klinis reaksi hipersensitivitas tipe

lambat yaitu : tuberkulosis, lepra, blastomikosis, leishmaniasis, kasndidiasis,

dermatomikosis,dll. Penyakit ini disebabkan rangsangan kuman patogen secara terus

menerus dan berkelanjutan.

Tabel perbandingan rekasi hipersensitivitas

karakteristik I II III IV

antibodi IgE IgG/IgM IgG/IgM Tidak ada

antigen eksogen Permukaan sel larut Jaringan, organ

Respon imun 15-30 menit Menit - jam 3-10 jam 48-72 jam

tampilan Weal dan flare Lisis dan Eritema dan Eritema

KELOMPOK 5-BLOK XI22

Page 23: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

/kemerahan

nekrosis odem

Yang

mengaktifkan

Basofil dan

eosinofil

Ab dan

komplemen

Komplemen

dan neutrofil

Monosit dan

limfosit

Ditransfer

dengan

Ab Ab Ab Sel T

contoh Asma Transfusi SLE Tes tuberkulin

Hay fever Eritroblastosis

fetalis

KELOMPOK 5-BLOK XI23

Page 24: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

Sistemik Lupus Eritematosus

A. Definisi SLE

adalah penyakit autoimun dimana organ dan sel mengalami kerusakan adimediasi

oleh antibody dan kompleks imun.

B. Epidemiologi

Prevalensi di berbagai Negara sangat bervariasi, seperti di

USA prevalensi sekitar 15-50 per 100.000 orang dan lebih sering ditemukan pada

etnik African-americans.

Faktor ekonomi dan geografi tidak mempengaruhi distribusi

penyakit

90 % pasien SLE adalah wanita usia produktif. Puncak

insidensinya usia antara 15-40 dengan perbandingan (5,5 – 9 : 1).

Pada populasi secara keseluruhan SLE mengenai sekitar

1:2000 orang.

Pada SLE yang disebabkan obat (drug induced LE) rasio ini

lebih rendah, yaitu 3:2

INDONESIA belum dapat dipastikan secara tepat, karena

sistem pelaporan masih berupa laporan dengan jumlah penderita terbatas.

1. Insidensi LES dalam kurun waktu tahun 1971-1975 di RSUPN Cipto

Mangunkusumo Jakarta sebesar 15 kasus per 10.000 penderita yang dirawat,

kemudian meningkat menjadi 37,7 kasus per 10.000 penderita yang dirawat

dalam kurun waktu 1988-1990.

2. Insidensi SLE di Yogyakarta dalam kurun waktu tahun 1983-1986 sebesar

10,1 kasus per 10.000 penderita yang dirawat.

KELOMPOK 5-BLOK XI24

Page 25: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

3. Insidensi SLE di Medan dalam kurun waktu tahun 1984-1986 sebesar 1,4

kasus per 10.000 penderita yang dirawat.

4. Insidensi SLE di Perjan RS Dr. Hasan Sadikin Bandung pada perode Juli 1999

sampai dengan Juni 2000 sebesar 32 kasus dari 292 kasus penyakit rematik

(10,96%), dengan rasio wanita dibanding dengan pria 29:3 (9,7:1). Jumlah

penderita SLE yang berobat di poli rawat jalan ada 20 orang (62,5%), 17

wanita dan 3 pria. Jumlah penderita SLE yang menjalani rawat inap ada 12

orang (37,5% penderita LES) atau 66,67% dari kasus penyakit rematik yang

dirawat di RS Dr. Hasan Sadikin Bandung dan semuanya adalah wanita.

C. Mortalitas

Sejak pertengahan abad 20, penderita SLE yang bertahan hingga 10 tahun

meningkat dari 10% menjadi 70-90%.

Pasien wanita dengan onset penyakit setelah usia 60 tahun sebagian besar

memiliki prognosis baik.

Anak dengan SLE memiliki prognosis yang jelek

Gagal ginjal dan infeksi interkuren adalah penyebab paling sering untuk

kematian yang terkait SLE.

Penyakit sistem saraf pusat yang meluas adalah penyebab kematian lain yang

paling sering.

Laju harapan hidup selama 10 tahun pada grup Dubois sejak 1950 hingga 1971

sebesar 87% pada pasien terkait kelainan ginjal.

D. Faktor Resiko SLE

1. Genetik

2. Wanita usia subur

3. Faktor lingkungan

KELOMPOK 5-BLOK XI25

Page 26: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

Paparan sinar UV yang berlebihan (pada pasien yang sudah memiliki faktor

genetik), infeksi dapat memancing respon dari sistem imun sehingga akan bisa

terjadi SLE.

4. Ras (kulit putih); Lebih banyak menyerang kulit putih daripada kulit hitam.

5. Pemakaian obat-obatan

6. Kehamilan bagi yng sudah ada faktor genetik

Akan menyebabkan lebih rentannya perdarahan danmeningkatkan kemungkinan SLE.

E. Etiologi SLE

1. Genetik Sekitar 10%-20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat

(ferst-degree relative) yang juga menderita SLE.

Jika pasien dengan SLE kembar identik maka kemungkinan

untuk terkena SLE adalah 24%-69%. Sedangkan yang

KELOMPOK 5-BLOK XI26

Page 27: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

kembar non-identik (2-9%)

Pada populasi orang kulit putih di Amerika Utara, terdapat

hububngan positif antara SLE dan gen HLA kelas II,

terutama pada lokus HLA-DQ.

Beberapa pasien lupus (6%) mengalami defisiensi

komponen komplemen yang diturunkan. Kekurangan

komplemen mungkin akan mengganggu pembersihan

komplek imun dari sirkulasi dan memudahkan deposisi

jaringan yang menimbulkan jejas jaringan.

2. Sistem

Neuroendokrin

Sistem neuroendokrin berperan melalui pengaruhnya terhadap

sistem imun. Sebagai contoh hormon prolaktin dapat

merangsang respon imun.

3. Antibodi

Antinuklear

(ANA)

4. Faktor

Imunologis

Pada SLE terdapat kelainan imunologis baik sel T, maupun sel

B.

KELOMPOK 5-BLOK XI27

Page 28: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

ANA ditujukan untuk melawan beberapa antigen nukleus. Adapun tabel yang

emnunjukan hubungan ANA dan SLE

Sifat Antigen Sifat antibodi SLE (%

positif)

Banyak antigen nuklear

(DNA, RNA, protein)

DNA asal

Histon

Protein inti partikel ribonukleoprotein

nuklear kecil (antigen Smith)

Ribonukleoprotein (U1RNP)

RNP

RNP

DNA topoisomerase I

Protein sentromer

Histidil-tRNA sintetase

ANA generik (IF inderek)

Anti-DNA untai ganda

Antihiston

Anti-SM

RNP nuklear

SS-A (Ro)

SS-B (La)

Scl-70

Antisentromer

Jo-1

>95

40-60

50-70

20-30

30-40

30-50

10-15

<5

<5

<5

KELOMPOK 5-BLOK XI28

Page 29: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

patogenesis SLE

Pembentukan autoantibodi

KELOMPOK 5-BLOK XI29

Gen-C14,C2,C4, -HLA, DR,3,8,MBL,Fc2A,3A,2B,IL-10MCP-1

Lingkungan-Sinar UV-Infeksi?-EBV(Eipstein Barr Virus)

Antigen masuk

-Ekpresi respon imun abnormal-Aktivasi innate imunity(dendrtik sel-penurunan clearence dari sel apoptotik-penurunan batas ambang aktivasi sel imun adaptif(antigen spesifik T dan B-Limfosit)-Regulasi dan inhibisi yang tidak efektif dari sel TCD4+ dan CD8+

Dendritik sel B cell

T cell

Aktivasi sistem komplemen abnormal Produksi autoantibodi

(ANA)terus menerus

Pelepasan bahanseperti:-Bahan vasoaktif; Vasodilatasi jaringan vaskular sehingga antibodi autoreaktif gampang masuk-Chemocine-Chitokine= Manifestasi klinis demam

Kerusakan organ target:-Tergantung dimana antibodi autoreaktif terakumulasi – Manifestasi berlangsung lama akibat regulasi dan inhibisi sel T. Organ yang paling sering terkena adalah organ seperti jantung, ginjal dan paru-paru, -dsb

Page 30: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

proses kerusakan organ target

KELOMPOK 5-BLOK XI30

Autoantibodi terus menerus

Infiltrasi ke organ target

Vasospasme pembuluh darah

Regulasitas dan inhibisi sel T CD 4+ dan CD8

Kerusakan organ target :

-Tergantung dimana antibodi autoreaktif terakumulasi

-Biasanya yang menjadi organ sasaran yang paling tersering adalah jantung, renal,

paru dan kulit

-Pada organ jantung;

Yang paling tersering adalah katup jantung akibat dari akumulasi ANA, sehingga

terjadi peradangan dan yang paling tersering adalah infiltrasi sel mononuklear,

jaringanparut dan jaringan nekrosis sehingga terjadi penyakit jantung

-Pada organ paru biasanya sering akibat reaksi peradangan,emboli paru, hipertensi

pulmonal sehingga terjadi hemoptisis paru

-Manifestasi renal

Biasanya sering terjadi setelah 5 tahun menderita SLE,puncak insiden pada usia

20-30 thn

Biasanya yang sering adalah akibat nefritis

-Pada gastrointestinal

Tidak spesifik, menggambarkan keterlibatan berbagai organ pada SLE atau sebagai

akibat pengobatan

Gangguan seperti disfagia akibat gangguan motilitas, nyeri abdomen akibat

mesentric vasculitis, pankreatitis, penyakit hati, dispepsia(50% pada pasien) akibat

dari konsumsi glukokortikoid

Pelepasan bahan vasoaktif

Aktivasi komplemen

Page 31: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

KELOMPOK 5-BLOK XI31

Page 32: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

F. Manifestasi Klinis SLE

a. gejala konstitusional

1. fatigue biasanya merupakan respon terhadap steroid.

Penggunaan anti malaria,dan untuk latihan.

2. perubahan berat

badan

SLE biasanya dapat menyebabkan kehilangan berat

badan dan kenaikan berat badan.

Kehilangan berat badan / weight loss akibat :

kekurangan nafsu makan (IL1)

efek samping obat

penyakit gastrointestinal

kehilangan banyak cairan akibat obat – obatan

antidiuretik

Kenaikan berat badan akibat :

retensi air dan garam yang berhubungan dengan

penyakit ginjal

meningkatnya nafsu makan dengan adanya

penggunaan steroid.

3. Demam paling sering pada pasien SLE.

Dapat disebabkan oleh :

a. Demam yang berulangkali dapat disebabkan SLE

yang aktif / infeksi

b. Demam berkepanjangan dapat disebabkan oleh

keterlibatan CNS atau efek samping dari obat

untuk mengobati aktif SLE biasanya menggunakan

NSAIDS/ Acetaminophen.

Demam untuk infeksi ( malaria) menggunakan

antimalaria.

Steroid sangat efektif tetapi jarang digunakan untuk

KELOMPOK 5-BLOK XI32

Page 33: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

demam.

4. lain-lain Dapat terjadi sebeleum ataupun seiring dengan

aktivitas penyakitnya seperti rambut rontok, hilangnya

nafsu makan, pembesaran KGB, bengkak, sakit kepala,

mual dan muntah

Alopecia ( kebotakan)

Ada berbagai macam alopecia tetapi yang berkaitan

dengan kondisi autoimun seperti Lupus dan alergi

adalah Alopecia areata. Alopecia areata adalah suatu

penyakit autoimun (sistem imun yang menyerang

folikel rambut) dimana folikel menjadi sangat kecil,

produksi rambut lambat dan kehilangan rambut untuk

berbulan-bulan atau bertahun – tahun. Folikel biasanya

kembali normal dan rambut akan tumbuh dalam satu

tahun.Selain itu, pengobatan terhadap arthitis juga

dapat menimbulkan kerontokan rambut.Contoh obat-

obatan tersebut adalah methotrexat(Rheumatrex),

arava/ leflunomide,plaquenil

(hidroksikloroquin),NSAIDs.Kerontokan rambut pada

penyakit arthitis biasanya sekunder ( telogen

effluvium), dimana akar rambut didorong secara

prematur pada resting state(telogen).

KELOMPOK 5-BLOK XI33

Page 34: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

KELOMPOK 5-BLOK XI34

Page 35: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

Table Manifestasi Klinis SLE Dan Prevalensinya Dari Masing-Masing Manifestasi

Tersebut

Manifestasi Prevalence, %

1. Sistemik: Fatigue, malaise, fever, anorexia, weight loss 95

2. Musculoskeletal 95

Arthralgias/myalgias 95

Polyarthritis non erosif 60

Deformitas tangan 10

Myopathy/myositis 25/5

Ischemic necrosis of bone 15

3. Cutaneous 80

 Photosensitivity 70

 Malar rash 50

 Oral ulcers 40

 Alopecia 40

 Discoid rash 20

 Vasculitis rash 20

 Other (e.g., urticaria, subacute cutaneous lupus) 15

4. Hematologic 85

 Anemia (chronic disease) 70

 Leukopenia (<4000/μL) 65

 Lymphopenia (<1500/μL) 50

 Thrombocytopenia (<100,000/μL) 15

 Lymphadenopathy 15

KELOMPOK 5-BLOK XI35

Page 36: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

Manifestasi Prevalence, %

 Splenomegaly 15

 Hemolytic anemia 10

5. Neurologic 60

 Cognitive disorder 50

 Mood disorder 40

 Headache 25

 Seizures 20

 Mono-, polyneuropathy 15

 Stroke, TIA 10

 Acute confusional state or movement disorder 2–5

 Aseptic meningitis, myelopathy <1

6. Cardiopulmonary 60

 Pleurisy, pericarditis, effusions 30–50

 Myocarditis, endocarditis 10

 Lupus pneumonitis 10

 Coronary artery disease 10

 Interstitial fibrosis 5

 Pulmonary hypertension, ARDS, hemorrhage <5

 Shrinking lung syndrome <5

7. Renal 30–50

 Proteinuria >500 mg/24 h, cellular casts 30–50

 Nephrotic syndrome 25

 End-stage renal disease 5–10

8. Gastrointestinal 40

 Nonspecific (nausea, mild pain, diarrhea) 30

KELOMPOK 5-BLOK XI36

Page 37: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

Manifestasi Prevalence, %

 Abnormal liver enzymes 40

 Vasculitis 5

9. Thrombosis 15

 Venous 10

 Arterial 5

10. Ocular 15

 Sicca syndrome 15

 Conjunctivitis, episcleritis 10

 Vasculitis 5

KELOMPOK 5-BLOK XI37

Page 38: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

KELOMPOK 5-BLOK XI38

Page 39: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

b. Manifestasi musculoskeletal

kebanyakan pasien dengan SLE menglami poliartrtis intermittent, bervariasi dari

ringan sampai cacat, digambarkan oleh pembengkakan soft tissue dan konsistensi

sendi yang lunak, umumnya pada

tangan, pergelangan tangan dan kaki.

Deformitas sendi ( tangan dan kaki)

berkembang hanya 10%. Erosi sendi

pada X-ray jarang, hal ini mengarah

pada non-lupus inflammatory

arthropathy seperti rheumatoid

arthritis, beberapa ahli mengira bahwa

pada SLE juga terjadi erosi. Jika nyeri

persisten pada sendi tunggal seperti

kaki, pundak atau pinggang, diagnosa dari nekrosis iskemik tulang harus ditetapkan

terutama jika tidak ada manifestasi lain dari SLE aktif. Prevalensi dari nekrosis

iskemik tulang meningkat pada SLE terutama pada pasien yang diterapi dengan

glukokortikoid sistemik. Miositis dengan kelemahan otot klinis, peningkatan level

kreatinin kinase, MRI scan positif dan nekrosis dan inflamasi pada biopsy, meskipun

sebagian besar pasien mengalami mialgia tanpa miositis yang nyata. Terapi

glukokortikoid dan antimalaria juga dapat menyebabkan kelemahan otot, efek ini

harus bisa dibedakan dengan penyakit aktif.

Limfosit B sinovial produksi IgG abnormal produksi faktor

rheumatoid pembentukan kompleks imun pada sinovial dan atau

kartilago aktivasi komplemen jalur klasik dan alternatif respon

inflamasi arthitis.

KELOMPOK 5-BLOK XI39

Page 40: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

c. Manifestasi kutaneus

Lupus dermatitis dapat diklasifikasikan sebagai discoid lupus erythematosus (DLE),

ruam sistemik, subacute cutaneous lupus erythematosus (SCLE) dan yang lain. ruam

SLE lainnya termasuk urtikaria berulang, planus–like dermatitis. bulla, dan

panniculitis.

Jika manifestasi malar rash akibat paparan

terhadap cahaya matahari yang memiliki

sinar ultraviolet (UV), dimana sinar UV

merusak sel dari kulit (keratinosit) dan

menyebabkan sel menjadi mati. Pada

orang sehat tanpa lupus, sel yang mati ini

akan dibuang dengan cepat dan inflamasi

yang diinduksi oleh matahari akan

menginduksi kerusakan kulit dengan cepat

(sun burn), dimana pada pasien lupus , sel

kulit lebih sensitif terhadap sunburn dan

dengan adanya peningkatan kejadian yang

menyebabkan kematian sel (apoptosis) yang tidak dibersihkan secara efisien

akibatnya isi dari sel yang mati dapat dilepaskan dan menyebabkan inflamasi.Selain

itu sel tersebut memiliki DNA dan molekul- molekul termasuk Ro yang secara

normal tidak terpapar pada sel imun sehingga menyebabkan reaksi imun.Akibatnya

orang yang menderita lupus akan mengalami ruam photosensitivity.

d. Manifestasi Renal

nefritis bisanya dalah manifestasi paling serius dari SLE, terutama sejak nefritis dan

infeksi merupakan penyebab mortalitas pada dekade pertama penyakit. Sejak nefritis

asimptomatik pada sebagian besar pasien SLE, urinalisis harus dilakukan pada setiap

pasien yang suspek SLE. pada pasien dengan bentuk proliferasi berbahaya dari

KELOMPOK 5-BLOK XI40

Page 41: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

kerusakan glomerular (ISN III dan IV) biasanya mengalami hematuria mikroskopik

dan proteinuria (>500 mg/24 jam), kira-kira setengahnya berkembang sindrome

nefrotik dan perkembangan hipertensi. Jika diffuse proliferative glomerulonephritis

(DPGN) tidak terobati, pada semua pasien berkembang ESRD dalam 2 tahun setelah

diagnosa.

Manifestasi yang timbul terjadi karena agregat kompleks imun akan disaring di ginjal

dan mengendap di membran basal glomerulus.Kompleks lainnya mungki

mengaktifkan komplemen dan menarik granulosit dan menimbulkan reaksi inflamasi

sebagai glomerulonefritis.Kerusakan ginjal menimbulkan proteinuri dan kadang-

kadang pendarahan.Derajat gejala penyakit dapat berubah – ubah sesuai dengan kadar

kompleks imun.Kelainan ginjal juga dapat menyebabkan kulit gatal,sakit/nyeri

dada,susah berpikir,mual dan muntah.

e. Manifestasi system saraf

Pada beberapa pasien mungkin merupakan penyebab mayor mortalitas dan

morbiditas. Pendekatan yang bermanfaat dengan menanyakan simptom pertama

karena SLE atau kondisi lain ( seperti infeksi pada individu dengan

immunosupresan). Jika simptom terkait dengan SLE, harus ditetapkan apakah

disebabkan oleh proses difus atau oklusi vaskuler. Manifestasi yang paling umum dari

SLE yaitu disfungsi kognitif meliputi kesulitan dalam memory dan berfikir. Sakit

kepala juga umum terjadi. Berbagai tipe seizura dapat disebabkan oleh lupus,

terapinya memerlukan anti seizura dan terapi umunosupresan. Psikosis dapat menjadi

manifestasi yang dominan pada SLE, ini harus dibedakan dari psikosis akibat

glukokortikoid. Mielopati tidak jarang terjadi dan sering menyebabkan kecacatan,

terapi imunosupresan yang cepat dengan glukokortikoid adalah standar terapinya.

f. oklusi vaskuler

prevalensi TIA (transient ischemic attask), stroke dan infark miokard meningkat pada

pasien SLE. Kejadian vaskuler ini meningkat namun tidak eksklusif pada pasien

KELOMPOK 5-BLOK XI41

Page 42: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

dengan antibodi terhadap fosfolipid (aPL), sehingga sepertinya aPL ini meningkatkan

terjadinya emboli pada pasiennya.

g. Manifestasi pulmoner

maifestasi yang umum terjadi adalah pleuritis dengan atau tanpa efusi pleural.

Manifestasi ini jika sedang dapat berespon terhadap terapi dengan NSAID. Infiltrasi

pulmoner dapat terjadi sebagai manifestasi SLE aktif dan sulit dibedakan dengan

infeksi. Manifestasi pulmonary seumur hidup meliputi inflamasi interstitial

menyebabkan fibrosis, shrinking lung syndrome, dan perdarahan intraalveolar;

kesemuanya membutuhkan terapi imunosupresan agresif.

h. Manifestasi kardiak

Perikarditis merupakan manifestasi kardiak yang paling sering terjadi, ini biasanya

berespon terhadap terapi antiinflamasi dan jarang menyebabkan tamponade.

Manifestasi kardiak yang lebih seius adalah miokarditis dan endokarditis fibrinosa

dari Libman-Sacks. Keterlibatan endokardial dapat menyebabkan insufisiensi

valvular, lebih sering pada katup mitral atau katup aorta atau pada kejadian embolik.

Hal ini tidak membuktikan bahwa glukokortikoid atau imunosupresan lainnya

menyebabkan perkembangan miokarditis lupus atau endokarditis tapi biasanya

diberikan steroid dosis tinggi dengan terapi suportif yang sesuai untuk gagal jantung,

aritmia atau emboli. Pasien SLE memiliki resiko yang meningkat untuk terjadinya

infark miokard, biasanya karena percepatan aterosklerosis, dimana disebabkan oleh

inflamasi kronik dan ataukerusakan oksidatif kronik terhadap lpid dan organ.

GEJALA YANG TIMBUL

gejala keterangan

sakit / nyeri dada

selama latihan

Selain ini juga penyakit arteri koroner dapat

menyebabkan angina pectoris.Penyakit nyeri dada

tiba – tiba atau tekanan yang tidak terjadi dlam

beberapa menit bisa mengindentifikasikan serangan

KELOMPOK 5-BLOK XI42

Page 43: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

jantung (miokardiac infark) nyeri dada akibat

inflamasi sekeliling jantung (pericarditis)

nafas pendek akibat

penyakit pada katup

jantung

kerusakan atau penyempitan katup jantung dapat

terjadi akibat kerusakan lapisan ruang jantung dan

permukaan katup halus(endokardium).Kondisi

dikenal dengan endokarditis verrucous (Libman-

sacks endocarditis).

Fenomena Raynaudadalah kondisi yang menurunkan kecepatan aliran

darah ke ekstremitas pada respon terpapar dingin,

stress, merokok,dan kafein. Fenomena Raynaud

merupakan problem yang sering pada SLE dan

mendahului tampilan penyakit.Akibatnya jari tangan

dan kaki menjadi pucat, biru atau merah. Fenomena

Raynaud dapat terbagi 2 yaitu Fenomena Raynaud

primer yang tidak terkait dengan penyakit lain dan

Fenomena Raynaud sekunder yang terkait dengan

penyakit lain

i. Manifestasi hematologik

manifestasi keterangan

anemia (yang paling

sering)

biasanya normokromik normositik menggambarkan

penyakit kronik. Onset hemolisis yang cepat dan berat,

memerlukan terapi glukokortikoid dosis tinggi, dimana

KELOMPOK 5-BLOK XI43

Page 44: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

efektif pada sebagian besar pasien.

Leukopenia umum terjadi dan sering mengandung lymphopenia, bukan

granulositopenia, hal ini jarang merupakan predisposisi

untuk infeksi dan dengan sendirinya tidak memerlukan

terapi.

Trombositopenia mungkin merupakan masalah yang terjadi. Jika platelet

count >40000/μL dan tidak ada perdarahan yang abnormal

maka terapi tidak diperlukan. Terapi glukokortikoid dosis

tinggi ( misalnya 1 mg/Kg per hari prednisone atau

ekuivalen) biasanya efektif untuk episode pertama dari

trombositopenia berat.

j. manifestasi gastrointestinal

Nausea, terkadang vomiting dan diare dapat merupakan manifestasi SLE yang dapat

seperti nyeri abdomen yang difus disebabkan oleh peritonitis autoimun dan atau

vaskulitis intestinal. Peningkatan serum aspartate aminotransferase (AST) dan alanine

aminotransferase (ALT) umum terjadi pada SLE aktif. Manifestasi ini biasanya

berkembang tepat selama terapi glukokortikoid sistemik. Vaaskulitis pada intestine

membutuhkan terapi seumur hidup, perforasi, iskemia, perdarahan, dan sepsis

merupakan komplikasi yang sering terjadi. Terapi imunosupresan yang agresif

dengan dosis tinggi glukokortikoid direkomendasikan untuk control jangka pendek,

bukti adanya kekambuhan merupakan indikasi untuk terapi tambahan.

k. Manifestasi ocular

Syndrome Sicca (Sjögren's syndrome;) dan konjunctivitis non spesifik adalah yang

sering terjadi pada pasien SLE. Vaskulitis retinal dan neuritis optic adalah manifestasi

KELOMPOK 5-BLOK XI44

Page 45: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

serius, kebutaan dapat berkembang setelah beberapa hari sampai minggu.

Imunosupresan agresif direkomendasikan, meskipun tidak ada kontrol trial untuk

meningkatkan keefektifan. Komplikasi dari terapi glukokortikoid yaitu katarak dan

glaukoma

G. diagnosis SLE

Kriteria diagnosis SLE ACR (American College of Rheumatology)

1. Ruam malar Eritema tetap, datar, atau meninggi, melebihi tonjolan malar,

cenfrung tidak mengenai lipatan nasolabialis.

2. Ruam diskoid Bercak eritematosa menonjol dengan skuama keratosis dan

sumbatan folikel; parut atrofi dapat muncul pada lesi yang

lebih lama.

3. Fotosensitifitas Ruam yang timbul akibat reaksi yang tidak biasa terhadap

cahaya matahari, berdasarkan riwayat pasien atau

pengamatan dokter

4. Fotosensitifitas Ruam yang timbul akibat reaksi yang tidak biasa terhadap

cahaya matahari, berdasarkan riwayat pasien atau

pengamatan dokter.

5. Ulkus mulut Ulserasi mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri, diamati

oleh dokter.

6. Artritis Artritis nonerosif yang mengenai ≥2 sendi perifer.

7. Serositis Pleuritis – adanya riwayat nyeri atau gesekan pleura yang

menyakinkan yang didengar oleh dokter atau bukti adanya

efusi pleura atau

Perikarditis – diperhatikan melalui EKG atau adanya

gesekan atau adanya efusi perikard.

8. Gangguan

ginjal

Proteinuria persisten (>0,5 g/dl atau >3+ bila tidak dengan

protein kuantitatif atau

Silinder sel – dapat berupa SDM, Hb, granula, tubulus, atau

KELOMPOK 5-BLOK XI45

Page 46: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

campuran.

9. Gangguan

neurologis

Kejang – tanpa adanya gangguan akibat obat atau gangguan

metabolik yang diketahui (misalnya urema, ketoasidosis,

atau ketidakseimbangan elktrolit) atau

Psikosis – tanpa adanya gangguan akibat obat atau gangguan

metabolik yang diketahui (misalnya urema, ketoasidosis,

atau ketidakseimbangan elktrolit)

10. Gangguan

hamatologi

Anemia hemolitik – disertai retikulosis atau

Leukopenia (<4 x 109/L = 4000/mm3) – total pada 2 atau

lebih pemeriksaan.

Limfopenia (<1,5 x 109/L = 1500/mm3) – pada 2 atau lebih

pemeriksaan

Trombositopenia (<100 x 109/L = 100.000/mm3) tanpa

adany aobat yang mengganggu.

11. Gangguan

imunologi

Ab anti-DNA terhadap DNA asal dalam titer abnormal atau

Anti-Sm (Ab terhapat Ag nukleus Sm) atau

Ab anti-fosfolipid positif berdasarkan pada:

o Kadar Ab antikardiolipin IgG atau IgM serum yang

abnormal

o Uji positif antikoagulan lupus menggunakan uji standar

o Uji serologis sifilif positif keliru yang diketahui positif

paling tidak 6 bulan dan dikonfirmasi dengan

imunomobilisasi Treponema pallidum atau uji absorpsi

Ab treponema fluoresen yang negatif.

12. Antibodi

antinuklar

Titer ANA abnormal melalui imunofluoresensi atau

pemeriksaan sebanding pada setiap waktu dan tidak adanya

obat yeng diketahui berkaitan dengan sindrom lupus yang

diinduksi obat.

Seorang pasien dikatakan menderita SLE jika terdapat ≥ 4 dari 11 kriteria di atas,

selama interval pengamatan manapun dalam perjalanan penyakit pasien. (spesifisitas

95%, sensitifitas 75%).

KELOMPOK 5-BLOK XI46

Page 47: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

Antibodi Anti-Nuklear (ANA)

Kategori ANA:

a. Ab terhadap DNA

b. Ab terhadap histon

c. Ab terhadap protein non histon yang terikat pada RNA

d. Ab terhadap Ag nukleolus

Secara klinis, metode yang paling sering digunakan untuk mendeksi ANA adalah

imunofluoresensi indirek, yang mendeksi berbagai macam Ag nukleus.

ANA positif pada 98% pasien SLE.

Diagnosis pasein SLE harus tetap merujuk pada kecocokan manifestasi klinis.

Jika hasil tes multiple autoantibodi (ANA, ds-DNA, SmDNA, anti-fosfolipid) positif

tetapi tidak terdapat manifestasi klinis ANA bukan SLE.

KELOMPOK 5-BLOK XI47

Page 48: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

Algoritma diagnosis dan terapi awal SLE

KELOMPOK 5-BLOK XI48

Diagnosis: gejala mengarah ke SLE (< 4 gejala klinis ACRtanpa penjelasan)

Permitaan dilakukan PP: ANA, hitung darah lengkap, urinalisis

Semua tes normaGejala yang ada mereda atau didapatkan penjelasan yang kuat (melawan SLE) untuk manifestasi klinis yang ada

Semua tes normalGejala persisten atau tidak didapatkan penjelasan yang kuat (melawan SLE) untuk manifestasi klinis yang ada

ANA positif (titer ≥ 1:40)

Bukan SLE

Mengulang tes ANA, ditambahkan tes anti-ds-DNA, anti-Ro

Semua negatif

Bukan SLE

Beberapa positif

≥ 4 kriteria yang ACR

Definite SLE

< 4 kriteria ACR

Possible SLE atau incomplete SLE

Terapi

Bagan berikutnya

Page 49: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

KELOMPOK 5-BLOK XI49

Terapi

tidak mengancam organ atau nyawa

mengancam organ atau nyawa

Kualitas hidup:Acceptable

Kualitas hidup:Not-acceptable

Terapi konservatif

Terapi konservatif plus glukokortikoid dosis rendah

Glukokortikoid dosis tinggi, biasanya ditambahkan second agent

Mycophenolate mefotil

Cyclophosphamide

Jika berespon, hentikan cyclosphosphamide; terapi pemeliharaan dengan mycophenolate atau azathioprine

Tidak berespon

Berespon

Terapi ekperimental

Taper dose of all agents

Page 50: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

H. Pengelolaan

Tujuan

Meningkatkan kesintasan dan kualitas hidup pasien SLE melalui pengenalan dini dan

pengobatan yang paripurna. Tujuan khusus pengobatan SLE adalah:

a. mendapatkan masa remisi yang panjang

b. menurunkan aktifitas penyakit seringan mungkin

c. mengurangi rasa nyeri dan memelihara fungsi organ agar aktifitas hidup

keseharian tetap baik.

Pilar Pengobatan

Baik untuk SLE ringan atau sedang dan berat, diperlukan gabungan strategi

pengobatan atau disebut pilar pengobatan. Pilar pengobatan SLE ini seyogyanya

dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan pengobatan tercapai.

Perlu dilakukan upaya pemantauan penyakit mulai dari dokter umum di perifer

sampai ke tingkat dokter konsultan, terutama ahli reumatologi. Juga diperlukan

mekanisme rujukan yang dimulai dari fasilitas kesehatan paling perifer. Pilar

Pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik:

1. Edukasi / Konseling

Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan dari

sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu dijelaskan akan

perjalanan penyakit dan kompleksitasnya. Pasien memerlukan asupan akan

masalah aktifitas fisik, mengurangi atau mencegah kekambuhan antara lain

melindungi kulit dari paparan sinar matahari (ultra violet) dengan memakai tabir

surya, payung atau topi; melakukan latihan secara teratur. Perlu pengaturan diet

agar tidak kelebihan berat badan, osteoporosis atau terjadi dislipidemia.

Diperlukan informasi akan pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan

dengan aktifitas penyakit ataupun akibat pemakaian obat-obatan. Edukasi

memiliki tingkat kepercayaan tinggi yaitu pada evidence based level 1A. Butir-

butir edukasi pada pasien SLE terlihat pada tabel 1

KELOMPOK 5-BLOK XI50

Page 51: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

Tabel 1

Butir-butir edukasi terhadap pasien SLE

11. Latihan / Program rehabilitasi

Tujuan, indikasi dan tekhnis pelaksanaan program rehabilitasi yang melibatkan

beberapa maksud di bawah ini, yaitu:

a. Istirahat

b. Terapi fisik

c. Terapi dengan modalitas

d. Ortotik

e. dsb

III.Pengobatan SLE Ringan

Terapi konservatif → keluhan yang tidak mengancam nyawa dan tidak berhubungan

dengan kerusakan organ

Pilar pengobatan tetap dijalankan secara bersamaan dan berkesinambungan serta

ditekankan pada beberapa hal yang penting agar tujuan di atas tercapai, yaitu:

a. Edukasi

Pasien diberikan harapan yang realistik sesuai keadaannya, hindari paparan ultra

violet berlebihan, hindari kelelahan, berikan pengetahuan akan gejala dan tanda

KELOMPOK 5-BLOK XI51

Page 52: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

kekambuhan, anjurkan agar pasien mematuhi jenis pengobatan dan melakukan

konsultasi teratur.

b. Obat-obatan

c. Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan minimun sun protection factor

15 (SPF 15)

d. Istirahat: Terutama bila pasien mulai merasakan gejala kekambuhan.

Terapi konservatif keterangan

Artritis, artralgia, dan mialgia

analgetik sederhana atau obat inflamasi nonsteroid

obat antimalaria (hidroksiklorokuin 400 mg/hari)

kortikosteroid dosis rendah (< 15 mg, setiap pagi)

metotreksan dosis rendah (7,5 – 15 mg/minggu)

Lupus kutaneus sunscreen topical berupa krem, minyak lotion atau gel

yang mengandung PABA dan esternya, benzofenon,

salisilat dan sianamat → dapat menyerap UVA dan

UVB, harus dipakai ulang setelah mandi atau

berkeringat.

Glukokortikoid local, seperti krem, salep atau injeksi

(pemilihan preparat topical harus hati-hati

(glukokortikoid topikal, terutama yang bersifat

diflorinasi dapat menyebabkan atrofi kulit,

depigmentasi, teleangiektaksis dan fragilitas)

Kulit muka → steroid local berkekuatan rendah dan

tidak diflorinasi (mis. hidrokortison)

Kulit badan dan lengan → steroid topical berkekuatan

sedang (mis. Betametason valerat dan triamsinolon

asetonid)

Lesi-lesi hipertrofik (mis. Di daerah palmar dan plantar

pedis) → glukokortikoid topical berkekuatan tinggi

(mis. Betametason dipropionat) → pemakaian dibatasi 2

KELOMPOK 5-BLOK XI52

Page 53: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

minggu, kemudian diganti dengan yang berkekuatan

lebih rendah

Obat antimalaria → memiliki efek sunblocking,

antiinflamasi, dan imunosupresan

Fatik dan keluhan sistemik

seringkali tidak memerlukan terapi spesifik, manambah

waktu istirahat dan mengatur waktu kerja

keadaan berat → glukokortikoid sistemik

Serositis (ditandai nyeri dada dan nyeri abdomen)

salisilat, obat antiinflamasi nonsteroid, anti malaria, atau

glukokortikoid dosis rendah (15 mg/hari)

keadaan yang berat → glukokortikoid sistemik untuk

menontrol penyakitnya

IV. Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa

Terapi agresif → mengancam nyawa & berhubungan dengan kerusakan organ

Perjalanan penyakit dan efek pengobatan memerlukan pemantauan yang tepat dan

dilakukan seumur hidup pasien dengan SLE. Beberapa hal yang perlu diperhatikan

adalah:

1. Anamnesis:

a. Demam, penurunan berat badan, kelelahan, rambut rontok meningkat, nyeri

dada peluritik, nyeri dan bengkak sendi.

b. Fisik:

Pembengkakan sendi, ruam, SLEi diskoid, alopesia, ulkus membran mukosa,

SLE vaskulitis, fundus, edema

c. Penunjang:

Hematologi, analisis urin, serologi, radiologi dan kimia darah.

Catatan: pada pusat-pusat dengan fasillitas laboratorium maupun penunjang lain

yang tersedia diperlukan pemeriksaan kadar komplemen C3 dan C4 maupun titer

anti-ds-DNA.

KELOMPOK 5-BLOK XI53

Page 54: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

Glukokortikoid dosis tinggi: bila timbul manifestasi serius SLE yang mengancam

nyawa (misalnya: Vaskulitis, lupus kutaneus yang berat, poliartritis, poliserositis,

iokarditis pneumonitis lupus, glomerulonefritis (bentuk proliferatif), anemia

hemolotik, trombositopenia, sindrom otak organic, defek kognitif yang berat,

mielopatio, neuropati perifer dan krisis lupus (demam tinggi, prostrasi)

Jenis dan dosis obat imunosupresan dan sitotoksik yang dapat dipakai pada SLE

Jenis obat Dosis Jenis toksisitas Evaluasi

awal

Pemantauan

Klinis Laboratorik

Azatioprin 50-150

mg/hari,

dosis terbagi

1-3,

tergantung

BB

Mielosupresif,

hepatotoksik,

gangguan

limfoproliferatif

Darah tepi

lengkap,

kreatinin,

AST/ALT

Gejala

mielosupresif

Darah tepi lengkap

tiap 1-2 minggu dan

selanjutnya 1-3 bulan

interval. AST tiap

tahun dan pap smear

secara teratur

Siklofosfamid Per oral: 50-

150 mg/hari

IV: 500

mg/M2

dalam

dextrose 250

ml, infuse

selama 1 jam

Mielosupresif,

gangguan

limfoproliferatif,

keganasan,

imunosupresi,

sistisis

hemoragik,

infertilitas

sekunder

Darah tepi

lengkap,

hitung jenis

leukosit,

urin

lengkap

Gejala

mielosupresif,

hematuria, dan

infertilitas

Darah tepi lengkap

dan urin lengkap tiap

bulan, sitologi urin

dan pap smear tiap

tahun seumur hidup

Metotreksat 7,5 – 20

mg/minggu,

dosis tunggal

atau terbagi

3. dapat

diberikan

Mielosupresif,

hepatic fibrosis,

sirosis, infiltrate

pulmonal dan

fibrosis

Darah tepi

lengkap,

foto tórax,

serologi

hepatitis B

dan C pada

Gejala

mielosupresif,

sesak napas,

mual dan

muntah, ulkus

mulut

Darah tepi lengkap

terutama hitung

trombosit tiap 4-8

minggu, AST/ALT

dan albumin tiap 4-8

minggu, urin lengkap

KELOMPOK 5-BLOK XI54

Page 55: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

pula melalui

injeksi

pasien

risiko

tinggi,

AST,

fungís hati,

kreatinin

dan kreatinin

Siklosporin A 2,5 – 5 mg/kg

BB, atau

sekitar 100-

400 mg/hari

dalam 2

dosis,

tergantung

BB

Pembengkakan,

nyeri gusi,

peningkatan

tekanan darah,

peningkatan

pertumbuhan

rambut,

gangguan fungsi

ginjal, nafsu

makan menurun,

tremor

Darah tepi

lengkap,

kreatinin,

urin

lengkap, tes

fubgsi hati

Gejala

hipersensitifitas

terhadap castor

oil (bila obat

diberikan

injeksi),

tekanan darah,

fungsi hati dan

ginjal

Kreatinin, tes fungsi

hati, darah tepi

lengkap

Mofetil

mikofenolat

2000 mg.hari

dalam 2 dosis

Mual, diare,

leukopenia

Darah tepi

lengkap,

feses

Gejala

gastrointestinal

seperti mual,

muntah

Darah tepi lengkap

terutama leukosit dan

hitung jenisnya

Sistim Rujukan dan Fungsi Konsultatif

Penatalaksanaan SLE dilakukan baik oleh dokter umum di perifer sampai dokter ahli

dalam kelompok bala bantuan. Namun terdapat berbagai hal yang memerlukan

rujukan. Umumnya rujukan ditujukan pada ahli penyakit reumatik.

Terdapat 4 (empat) tugas utama sebagai dokter umum di perifer atau pusat pelayanan

kesehatan primer, yaitu:

1. waspada terhadap kemungkinan penyakit SLE ini diantara pasien yang dirawatnya

dan melakukan rujukan diagnosis

KELOMPOK 5-BLOK XI55

Page 56: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

2. melakukan tatalaksana serta pemantauan penyakit SLE ringan dan kondisinya

stabil (pasien SLE tanpa keterlibatan organ vital dan atau terdapat komorbiditas)

3. mengetahui saat tepat untuk melakukan rujukan ke ahli reumatik pada kasus SLE

4. melakukan kerjasama dalam pengobatan dan pemantauan aktifitas penyakit pasien

SLE derajat berat .

Bagan di bawah ini memperlihatkan alur fungsi rujukan dari dokter umum di pusat

pelayanan kesehatan primer sampai ke bala bantuan SLE.

Maksud rujukan dikelompokkan dalam:

a. Konfirmasi diagnosis

b. Kajian akan berat ringannya penyakit dan aktifitasnya.

c. Panduan pengobatan secara umum.

d. Bila aktifitas penyakit tidak dapat dikendalikan.

e. Semua kasus SLE dengan keterlibatan organ atau membahayakan nyawa.

f. Pencegahan / pengobatan efek samping obat.

g. Pada SLE dengan kedaan tertentu seperti kehamilan.

I. Prognosis

Perjalanan penyakit SLE sangat beragam. Walaupun tanpa pengobatan, beberapa

pasien mengalami perjalanan penyakit yang relatif jinak yang hanya disertai manifestasi

KELOMPOK 5-BLOK XI56

Page 57: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

pada kulit dan/atau hematuria. Dalam kasus yang jarang, perjalanan penyakit demikian

cepat hingga terjadi kematian dalam waktu beberapa bulan saja. Penyakit tersebut paling

sering ditandai dengan remisi serta relaps berjangka waktu beberapa tahun hingga

beberapa puluh tahun. Serangan akut biasanya dikendalikan dengan menggunakan obat

steroid atau imunosupresif lainnya. Secara keseluruhan, dengan pengobatan yang

digunakan pada saat ini, dapat diperkirakan angka kelangsungan hidup untuk 5 tahun

adalah 90% dan untuk 10 tahun adalah 80%. Penyebab utama kematian adalah gagal

ginjal, infeksi yang ikut menyerang, dan serangan pada sistem saraf pusat yang difus.

J. Pencegahan

Prinsip dasar tindakan pencegahan pada SLE:

1. Monitoring yang teratur

2. Penghematan energi

Pada kebanyakan pasien kelelahan merupakan keluhan yang menonjol.

Diperlukan waktu istirahat yang terjadwal setiap hari dan perlu ditekankan

pentingnya tidur yang cukup.

3. Fotoproteksi

Kontak dengan sinar matahari atau sinar ultraviolet harus dikurangi atau dihindari.

Dapat juga dipakai lotion tertentu (sunscreener lotion) untuk mengurangi kontak

dengan matahari

4. Mengatasi infeksi

Pasien SLE rentan terhadap infeksi. Jika ada demam yang tak jelas sebabnya,

pasien harus segera memeriksakan diri. Di Amerika dianjurkan vaksinasi dengan

vaksin unfulenza dan pneumokokus. Diperlukan terapi pencegahan dengan

antibiotik pada oprasi gigi, traktus urinarius atau prosedur bedah invasif lain.

5. Merencanakan kehamilan

Kehamilan harus dihindarkan jika penyakit aktif atau jika pasien sedang mendapat

pengobatan dengan obat imunosupresif.

KELOMPOK 5-BLOK XI57

Page 58: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

KESIMPULAN

a. diagnosa pada skenaraio yaitu SLE karena ditemukan:

1. ruam

2. artritis

3. gangguan ginjal

4. gangguan hematologi

dari temuan tersebut ( >4 dari kriteria diagnosa SLE) sehingga bisa dikatakan

pasien menderita SLE

b. SLE merupakan hipersensitivitas tipe III

KELOMPOK 5-BLOK XI58

Page 59: finish L_3

SKENARIO 3” RUAM”

DAFTAR PUSTAKA

Tim penyusun. 2005. Ilmu Penyakit Dalam FK UI. FK Universitas Indonesia. Jakarta

Wachjudi G. Rachmat. 2007. Review Article: Diagnosis dan Penatalaksanaan Lupus

Eritematosus Sistemik. Bagian Ilmu Penyakit Dalam RS Dr. Hasan Sadikin

Bandung. Bandung

Fauci, Braunwald, dkk. 2008. Harrison’s Principal of Internal Medicine 17th Edition.

Mc-Graw Hill : US.

Gill, M. James, dkk. 2003. Diagnosis of Systemic Lupus Erythematosus. American

Academy of Family Physician. www.aafp.org/afp

Kumar, Cotran,dan Robin. 2007. Buku Ajar Patologi Volume 1 Edisi 7. EGC: Jakarta.

Price & Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. EGC: Jakarta

Goldman, Lee. Cecil  Textbook of Medicine. 22nd edition. Pennsylvania : Sauders. 2004.

Sudoyo, dkk (editor). 2007. Buku Ajar Ilmu Pemyakit Dalam Jilid III edisi IV. Pusat

Penerbitan IPD FK UI: Jakarta.

Braunwald E et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17 edition. New York:

McGraw-Hill. Medical Publishing Division

Burmester, Gerd-Rudiger. 2003. Color Atlas of Immunology. Thieme:Stutgart

KELOMPOK 5-BLOK XI59