jtptiain-gdl-s1-2005-jokonuryan-616-bab2_219-7.pdf

12
18 BAB II KONSEP UMUM TENTANG LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH DAN KONVENSIONAL A. Sejarah dan Macam-macam Lembaga Keuangan Syari’ah Lembaga keuangan Syari’ah dibentuk sebagai perwujudan dari adanya kesadaran masyarakat terhadap aplikasi ajaran Islam dengan menggunakan sistem ekonomi Islam, yakni sistem ekonomi yang dilaksanakan dalam praktek (penerapan ilmu ekonomi) sehari-hari bagi individu, keluarga, kelompok masyarakat maupun pemerintah / penguasa dalam rangka mengorganisasi faktor produksi, distribusi dan pemanfaatan barang dan jasa yang dihasilkan tunduk dalam peraturan / perundang-undangan Islam. 1 Sehingga lembaga keuangan syari’ah merupakan lembaga keuangan yang menggunakan prinsip-prinsip Islam (syari’ah) sebagai landasan opresionalnya. Dengan demikian semua transaksi yang dioperasionalkan tidak lepas dari aturan syari’at dan tidak bertentangan dengannya. Keberadaan lembaga keuangan syari’ah pada awalnya dirintis dari adanya sidang menteri luar negri OKI di Benghazi, Libya, Maret 1973. kemudian pada bulan Juli 1973, komite ahli yang mewakili negara-negara Islam penghasil minyak, bertemu di Jeddah untuk membicarakan berdirinya bank syari’ah. Rancangan pendirian bank tersebut berupa anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, dibahas pada pertemuan kedua, Mei 1974. Sidang menteri keuangan OKI 1 Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2002, hlm. 14

Upload: wahyu-tri-cahyono

Post on 02-Oct-2015

7 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

  • 18

    BAB II

    KONSEP UMUM TENTANG LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH DAN

    KONVENSIONAL

    A. Sejarah dan Macam-macam Lembaga Keuangan Syariah

    Lembaga keuangan Syariah dibentuk sebagai perwujudan dari adanya

    kesadaran masyarakat terhadap aplikasi ajaran Islam dengan menggunakan sistem

    ekonomi Islam, yakni sistem ekonomi yang dilaksanakan dalam praktek

    (penerapan ilmu ekonomi) sehari-hari bagi individu, keluarga, kelompok

    masyarakat maupun pemerintah / penguasa dalam rangka mengorganisasi faktor

    produksi, distribusi dan pemanfaatan barang dan jasa yang dihasilkan tunduk

    dalam peraturan / perundang-undangan Islam.1 Sehingga lembaga keuangan

    syariah merupakan lembaga keuangan yang menggunakan prinsip-prinsip Islam

    (syariah) sebagai landasan opresionalnya. Dengan demikian semua transaksi

    yang dioperasionalkan tidak lepas dari aturan syariat dan tidak bertentangan

    dengannya.

    Keberadaan lembaga keuangan syariah pada awalnya dirintis dari adanya

    sidang menteri luar negri OKI di Benghazi, Libya, Maret 1973. kemudian pada

    bulan Juli 1973, komite ahli yang mewakili negara-negara Islam penghasil

    minyak, bertemu di Jeddah untuk membicarakan berdirinya bank syariah.

    Rancangan pendirian bank tersebut berupa anggaran dasar dan anggaran rumah

    tangga, dibahas pada pertemuan kedua, Mei 1974. Sidang menteri keuangan OKI

    1 Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2002, hlm. 14

  • 19

    19

    di Jeddah 1975, menyetujui rancangan pendirian bank pembangunan Islami atau

    Islamic Development Bank (IDB) dengan modal awal 2 Milyar dinar Islam.2

    Dengan berdirinya IDB telah memotivasi banyak negara Islam untuk

    lembaga keuangan syariah. Untuk itu, komite ahli IDB pun bekerja keras

    menyiapkan panduan tentang pendirian, peraturan, dan pengawasan bank

    syariah. Kerja keras ini membuahkan hasil sehingga pada akhir tahun 1970-an

    dan awal dekade 80-an, bank-bank syariah bermunculan di Mesir, Sudan, negara-

    negara Teluk, Pakistan, Iran, Malasyia, Bangladesh serta Turki. Secara garis besar

    lembaga-lembaga tersebut dapat dimasukkan ke dalam dua kategori. Pertama,

    bank Islam (Islamic Comersial Bank), kedua, lembaga investasi dalam bentuk

    international holding companies.3

    Bank-bank yang masuk dalam kategori pertama di antaranya:

    1. Faisal Islamic Bank

    2. Kuwait Finance House

    3. Dubai Islamic Bank

    4. Jordan Islamic Bank for Finance and Investment

    5. Bahrain Islamic Bank

    6. Islamic International Bank for Investment and Development

    Adapun yang masuk dalam kategori kedua adalah:

    1. Dar al-Mal al-Islami

    2. Islamic Investment Company of the Gulf

    2 Muhammad Syafii Antonio, Perbankan Syariah dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema

    Insani Press, 2000, hlm. 20 3 Ibid., hlm. 21

  • 20

    20

    3. Bahrain Islamic Investment Bank

    4. Islamic Investment House

    Pada perkembangan berikutnya, perkembangan lembaga keuangan

    syariah begitu pesat di berbagai negara muslim, termasuk Indonesia. Pada awal

    periode 1980-an, diskusi mengenai bank syariah sebagai pilar ekonomi Islam di

    Indonesia mulai dilakukan. Para tokoh yang terlibat dalam kajian tersebut adalah

    Karnaen A. Perwaatmaja, M. Dawam Raharjo, A.M. saefuddin, M. Amin Aziz

    dan lain-lain. Beberapa uji coba dalam skala yang relatif terbatas telah

    diwujudkan. Di antaranya adalah baitul al-Tamwil Salman, Bandung yang

    tumbuh mengesankan. Di Jakarta juga dibentuk lembaga serupa dalam bentuk

    koperasi, yakni koperasi ridlo Gusti.

    Akan tetapi prakarsa lebih khusus untuk mendirikan bank Islam di

    Indonesia baru dilakukan pada tahun 1990. Majlis Ulama Indonesia pada tanggal

    18-20 Agustus 1990 mengadakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua

    Bogor. Hasil lokakarya tersebut, dibahas secara lebih mendalam pada

    musyawarah nasional IV MUI yang berlangsung di hotel Syahid Jakarta pada

    tanggal 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan amanat Munas tersebut dibentuk

    kelompok kerja untuk mendirikan bank Islam Indonesia.4 Akhirnya tanggal 1

    November 1991 dilakukan penandatanganan akta pendirian Bank Muamalat

    Indonesia oleh 200 orang pendiri dengan total modal dasar Rp. 500 miliar.5

    4 Ibid., hlm. 25 5 Suhrawardi K. Lubis, Op. Cit., hlm. 58

  • 21

    21

    Perkembangan bank Syariah begitu pesat saat era reformasi tiba yakni

    dengan disetujuinya Undang-Undang No. 10 Tahun 1998. dalam undang-undang

    tersebut diatur secara rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat

    diopreasionalkan dan diimplementasikan oleh bank syariah. Undang-undang

    tersebut juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk membuka

    cabang syariah atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi bank

    syariah.

    Peluang tersebut ternyata disambut antusias oleh masyarakat perbankan.

    Sejumlah bank mulai memberikan pelatihan dalam bidang perbankan syariah

    bagi para stafnya. Sebagian bank tersebut ingin menjajaki untuk membuka devisi

    atau cabang syariah dalam institusinya. Bahkan ada ingin melakukan

    mengkonversi secara total.

    Bank-bank tersebut di antaranya adalah Bank Syariah Mandiri (BSM)

    yang merupakan bank pemerintah yang melandaskan opresionalnya pada prinsip

    syariah. Secara struktural, BSM berasal dari bank Susila Bakti sebagai salah satu

    anak perusahaan dari Bank Mandiri.

    Perkembangan lainnya adalah diperkenankannya konversi cabang bank

    umum konvensional menjadi cabang syariah. Beberapa bank ini adalah:

    1. Bank IFI

    2. Bank Niaga

    3. Bank BTN

    4. Bank Mega

    5. Bank BRI

  • 22

    22

    6. Bank Bukopin

    7. BPD JABAR

    8. BPD Aceh

    Lembaga keuangan syariah di samping berbentuk bank sebagaimana di

    atas, terdapat juga Badan Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Selain itu terdapat

    pula lembaga keuangan non bank yang dikenal dengan baitul mal wat-tamwil

    (BMT).

    B. Produk dan Kinerja Lembaga Keuangan Syariah

    Produk dan kinerja lembaga keuangan syariah tentu tidak lepas dari

    landasan syariah. Dengan demikian, lembaga keuangan syariah selalu mengacu

    pada konsep fiqih muamalah maaliyah.

    Lembaga keuangan syariah secara konsepsional dilaksanakan dengan

    maksud menghindarkan riba dengan segala praktik dan inovasinya, yang memiliki

    dua sifat utama yakni bunga berlipat dan aniaya. Selain itu, juga untuk

    membangun budaya baru dalam pengelolaan perbankan yang mendapat titipan

    dana dari masyarakat, dengan menghindari penentuan prosentase bunga yang

    pasti untung, sebelum dilakukan.6

    Karena dalam pengeluaran produk dan operasionalisasi mengacu pada

    fiqih muamalah, maka akad-akad yang telah ada dalam fiqih muamalah

    6 Ahmad Rofiq, Fiqih Kontekstual, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004

  • 23

    23

    digunakan dengan menkontekstualisasikan dalam era kekinian. Produk-produk

    tersebut adalah:

    1. Al-Wadiah (titipan, yang merupakan amanat di tangan penerima titipan)7.

    Pemilik modal menitipkan atau menyimpan uangnya di BMT (bank), dan

    pengusaha menjalankan usahanya dengan meminjam uang dari BMT (bank).8

    Ini merupakan prinsip dasar yang mengacu pada konsep fiqih muamalah yang

    dikembangkan menjadi al-wadiah yad al-dhamanah yang dalam aplikasi

    perbankannya untuk tujuan current account (giro) dan saving account

    (tabungan berjangka). Sebagai konsekuensi yad ad-dhamanah semua

    keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik bank.

    Sebagai imbalan, si penyimpan mendapat jaminan keamanan terhadap

    hartanya, demikian juga fasilitas-fasilitas giro lainnya.9

    2. Al-Musyarakah (project financing participation) yang terdiri dari syirkah al-

    inan, muwafadhah, amal, wujuh dan syirkah mudharabah. Dalam aplikasi

    perbankannya dipakai untuk: pertama, untuk pembiayaan proyek di mana

    nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek

    tersebut. Setelah proyek selesai nasabah mengembalikan dana tersebut

    bersama bagi hasil yang telah disepakati bank. Kedua, modal ventura yakni

    melakukan investasi dalam kepemilikan perusahaan.10

    3. Al-Mudharabah (Trust Vinancing, Trust Investment), yang terdiri dari

    mudharabah mutlaqah, dan mudharabah muqayyadah. Aplikasi perbankannya

    7 Abi Abdillah Muhammad Bin Qasim, Tausyiyah Ala Ibnu Qasim, Jeddah: Al-Haramaian, tt. Hlm. 181

    8 Ahmad Rofiq, Fiqih Aktual, Semarang: Mediatama Press, 2004, hlm. 201-202 9 Muhammad Syafii Antonio, Op. Cit., hlm. 87 10 Ibid., hlm. 93

  • 24

    24

    dalam bentuk tabungan berjangka, deposito spesial, pembiayaan modal kerja

    dan investasi khusus.11

    4. Al-Muzaraah (Harvest-Yield Shoft Sharing) yakni kerjasama pengolahan

    pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, di mana pemilik lahan

    memberikan lahan pertanian kepada sipenggarap untuk ditanami dan

    pemelihara mendapat prosentase dari hasil panen. Dalam hal ini lembaga

    keuangan syariah dapat memberikan modal bagi nasabah yang bergerak

    dalam bidang planatation atas dasar prinsip bagi hasil dari panen.12

    5. Al-Musaqah (Plantation Management Fee Based) yakni bentuk yang lebih

    sederhana dari muzaraah di mana si penggarap hanya bertanggung jawab atas

    penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan si penggarap mendapat nisbah

    tertentu dari hasil panen.13

    6. Bai al-Murabahah (defered payment sale) yakni jual beli barang pada harga

    asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Aplikasi dalam perbankan

    diterapkan pada produk pembiayaan untuk pembelian barang-barang investasi,

    baik domestik maupun luar negri seperti melalui letter of credit.14

    7. Bai As-salam (in front payment sale), yang dalam aplikasi perbankannya

    pembiayaan bagi petani dengan jangkan waktu yang relatif pendek yaitu 2-6

    11 Ibid., hlm. 97 12 Ibid., hlm. 99 13 Ibid., hlm. 100 14 Ibid., hlm. 101

  • 25

    25

    bulan. Di samping itu juga untuk industri misalnya produk garmen yang

    ukuran barang tersebut sudah dikenal umum.15

    Dengan berbagai produk dan aplikasinya dalam perbankan, maka dapat

    diketahui bahwa kinerja lembaga keuangan syariah mengacu pada prinsip non

    bunga yang diterapkan pada lembaga keuangan konvensional. Letak perbedaan

    ini sangat penting, karena yang dilarang dalam Islam adalah adanya unsur riba

    dalam transaksi. Walaupun bunga masih menyimpan kontroversi apakah

    termasuk riba atau bukan, tetapi lembaga keuangan syariah mampu menghindari

    unsur bunga yang kontroversial.

    C. Sejarah Lembaga Keuangan Konvesional dan Jenis-jenisnya

    Lembaga keuangan konvensional di Indonesia pertama kali didirikan pada

    tahun 1824. Ketika itu pemerintah Hindia Belanda menidirikan sebuah bank yang

    diberi nama Handel Maatschappij (NHM), yang dewasa ini dikenal dengan nama

    Bank Ekspor Impor Indonesia (BEI). Kemudian pada tahun 1827 pemerintah

    Hindia Belanda juga mendirikan De Javasche Bank (sekarang dikenal dengan

    nama Bank Indonesia) dan NV escompto Bank (cikal bakal bank swasta, yang

    sekarang dikenal dengan Bank Dagang Negara).16

    Apabila dilihat dari definisi, peristilahan bank berarti badan usaha yang

    menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya

    kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

    Kemudian pada perkembangannya terdapat dua macam segi pengelolaan di mana

    15 Ibid., hl. 108 16 Suhrawardi K. Lubis, Op. Cit., hlm. 45

  • 26

    26

    bank dapat dikelompokkan menjadi dua yakni bank konvensional (dengan sistem

    bunga) dan bank syariah (dengan sistem bagi hasil) sebagaimana dijelaskan di

    atas.

    Bank konvensional dibagi menjadi dua:17

    1. Usaha Bank Umum

    Jenis kegiatan usaha Bank Umum adalah:

    - Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro,

    deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya

    yang disamakan dengan itu.

    - Memberi kredit

    - Menerbitkan surat pengakuan utang

    - Membeli, menjual, atau menjamin resiko sendiri maupun untuk

    kepentingan dan atas perintah nasabahnya.

    2. Usaha Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

    Suatu bank dinamakan bank perkreditan rakyat apabila bidang

    usahanya meliputi:

    - Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa

    deposito berjangka, tabungan dan atau bentuk lain yang dipersamakan

    dengan itu.

    - Memberikan kredit

    17 Ibid., hlm. 39

  • 27

    27

    - Mengadakan pembiayaan bagi masyarakat bagi nasabah berdasarkan

    prinsip bagi hasil keuntungan dengan ketentuan yang ditetapkan oleh

    pemerintah

    - Menempatkan dananya dalam bentuk sertifikat Bank Indonesia (SBI),

    deposito berjangka sertifikat deposito, dan atau pada bank lain.

    D. Produk dan Kinerja Lembaga Keuangan Konvensional.

    Lembaga keuangan konvensional, merupakan lembaga keuangan yang

    mendasarkan pada prinsip bunga yang merupakan sistem ekonomi kapitalisme.

    Sistem ekonomi kapitalisme adalah sistem organisasi ekonomi yang dicirikan

    oleh hak milik privat atas alat-alat produksi dan distribusi (tanah, pabrik-pabrik,

    jalan-jalan kereta api, dan sebagainya) dan pemanfaatannya untuk mencapai laba

    dalam kondisi-kondisi yang sangat kompetitif.18

    Dengan sistem kapitalis menimbulkan adanya monopoli usaha karena

    sistem usaha bebasnya. Menurut Monzer kahf, sistem usaha bebas telah

    menimbulkan ketidakstabilan dalam kegiatan-kegiatan perekonomian dan

    perputaran dunia usaha.19 Sistem usaha bebas yang menibulkan monopoli usaha

    juga menunjukkan tidak adanya keadilan dan pemerataan ekonomi dalam

    kehidupan masyarakat.

    Di samping sistem ekonomi kapitalis, lembaga keuangan konvensional

    juga dipengaruhi sistem ekonomi komunis yang berdiri atas dasar bahwa alat-alat

    18 Winardi, Ilmu Ekonomi, Aspek-Aspek Sejarahnya, Cet. 1, Banding, Citra Aditya

    Bakti, 1990, hlm. 2002 19 Monzer Kahf, Ekonomi Islam (Telaah Analitik Terhadap Fungsi Ekonomi Islam),

    Yigyakarta: Pustaka Pelajar, 1995, hlm. 49

  • 28

    28

    produksi seluruhnya menjadi milik bersama antara anggota-anggota masyarakat.

    Individu-individu sebagai orang seorang tidak mempunyai hak untuk memilikinya

    dan bertindak menurut keinginannya, kecuali sebagai upah atas jasa-jasa yang

    diberikannya untuk kemaslahatan bersama.

    Berdasarkan sistem tersebut lembaga keuangan konvensional melahirkan

    produk jasa perbankan dengan sistem bunga yakni kelebihan dalam pengembalian

    pinjaman yang ditentukan oleh bank. Dari bunga ini maka bank dapat

    memperoleh keuntungan yang besar yang sebagiannya diberikan kepada

    penabung yang menambah nominal saving. Adapun produk-produknya antara

    lain:

    - Deposito yakni sistem menabung uang berjangka dengan pengambilan yang

    sudah ditentukan misalnya enam bulan. Namun yang diambil adalah

    bunganya saja, sedangkan uang pokoknya diatur dalam jangka tertentu yang

    cukup lama.

    - Pinjaman dengan cara kerja nasabah mengajukan permohonan ke bank,

    memberikan agunan sesuai dengan pinjaman, ketentuan bunga dan

    pengembalian yang ditentukan bank. Dalam hal ini bunga bank telah

    ditentukan bank.

    - Simpanan, yakni nasabah menyimpan uang dengan nilai bunga yang

    ditentukan oleh bank. Secara umum simpanan dapat diambil sewaktu-waktu,

    dan dalam aturan khusus bisa berbentuk deposito dan tabungan dengan

    bentuk dan tujuan tertentu.

  • 29

    29

    - Jasa keuangan lain seperti untuk kepentingan ekspor impor, perkreditan

    rumah, motor dan lainnya. Namun dalam hal ini seluruhnya tidak lepas dari

    sistem bunga.

    Di samping lembaga keuangan yang berupa bank, terdapat pula lembaga

    keuangan non bank yang didasarkan pada Keputusan Mentri Keuangan Nomor

    792/MK/IV/12/70 tanggal 7 Desember 1970. Keputusan ini kemudian diubah dan

    ditambah dengan Keputusan Mentri Keuangan No. 38/MK/IV/I/72 tanggal 18

    Januari 1972.

    Lembaga keuangan non bank menurut ketentuan ini adalah usaha yang

    melakukan kegiatan di bidang keuangan yang menghimpun dana dengan

    mengeluarkan kertas berharga dan menyalurkannya untuk membiayai investasi

    perusahaan. Lembaga ini juga diperbolehkan menerima dana dari masyarakat

    dalam bentuk giro, tabungan dan deposito. Namun berdasarkan kebijakan pakto

    27, 1988, lembaga ini dapat menerbitkan sertifikat deposito sebagai sumber dana

    dan dapat mendirikan kantor-kantor cabang di daerah-daerah.20

    20 Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, Jakarta: Fakultas Ekonomi UI, 2001, hlm.

    44