bab ii edit -...
TRANSCRIPT
BAB II
MANAJEMEN PENDIDIKAN BERBASIS SEKOLAH
A. Pengertian Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah
Secara umum, Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah (MBS) dapat
diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar
kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang
melibatkan secara langsung semua warga sekolah (siswa, guru, kepala
sekolah, karyawan, orang tua siswa, dan masyarakat) untuk meningkatkan
mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.1 Dengan otonomi
yang lebih besar dalam mengelola sekolahnya, sehingga sekolah lebih
mandiri.
Dengan kemandiriannya, sekolah lebih berdaya dalam
mengembangkan program-program yang tentu saja lebih sesuai dengan
kebutuhan dan potensi yang dimilikinya. Demikian juga dengan pengembalian
keputusan partisipatif, yaitu pelibatan warga sekolah secara langsung dalam
pengambilan keputusan, maka rasa memiliki warga sekolah dapat meningkat.
Peningkatan rasa memiliki ini akan menyebabkan peningkatan rasa tanggung
jawab akan meningkatkan dedikasi warga sekolah terhadap sekolahnya.
Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah akan meletakkan kekuatan
dasar sekolah pada masyarakat dan pada potensi internal sekolah.2
Di beberapa negara terdapat berbagai istilah lain untuk manajemen
peningkatan mutu berbasis sekolah selain manajemen berbasis sekolah, yaitu
site based management, delegated management, school autonomy, dan local
management of school. Walaupun dengan berbagai istilah yang berbeda
namun, secara mandiri oleh sekolah, sebagaimana selama ini banyak
1 Umaedi, Managemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, (Jakarta : Departemen
Pendidikan Nasional Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, 2001), hlm. 3
2 Suyanto dan Abbas, Wajah Dan Dinamika Pendidikan Anak Bangsa, (Yogyakarta : Adicita Karya Nusa, 2001) hlm. 75
19
20
dilakukan di sekolah-sekolah swasta dan lembaga-lembaga pendidikan
pesantren.3
MBS merupakan salah satu wujud dari reformasi pendidikan yang
menawarkan kepada sekolah untuk menyediakan pendidik yang lebih baik dan
memadai bagi para peserta didik. Otonomi dalam manajemen merupakan
potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja para staf, menawarkan
partisipasi langsung kelompok-kelompok yang terkait, dan meningkatkan
pemahaman masyarakat terhadap pendidikan.
Sejalan dengan jiwa dan semangat desentralisasi serta otonomi dalam
bidang pendidikan, kewenangan sekolah juga berperan dalam konsensus
umum yang meyakini bahwa sedapat mungkin keputusan seharusnya dibuat
oleh karena yang memiliki akses yang paling baik terhadap informasi
setempat, yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan kebijakan, dan yang
terkena akibat-akibat dari kebijakan tersebut.4
Oleh karena itu, adanya upaya pemerintah pusat menggalakkan MBS
harus dipahami dan dua konteks, Pertama, dengan akan diterapkannya MBS
di sekolah-sekolah pada dasarnya ke depan akan terjadi peralihan dari
pendekatan makro menuju pendekatan mikro, atau peralihan dari pendekatan
yang sentralistik menuju district approach dan school autonomy
(desentralistik) dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. Kedua, walaupun
MBS mulai diperkenalkan ke sekolah-sekolah di Indonesia sekitar tahun 1997
/ 1998 namun sebenarnya sekolah-sekolah swasta disadari atau tidak telah
lama menerapkannya. Selama ini sekolah swasta berusaha mengelolanya
secara mandiri.
Dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan kualitas dan
eksistensinya, sekolah swasta berusaha meningkatkan kualitas kinerjanya
secara mandiri, mencari cara-cara baru (kreativitas) sesuai dengan kondisi
3 Ibrahim Bafadal, Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah Dasar, dari Sentralisasi Menuju
Desentralisasi, (Jakarta : Bumi Aksara, 2003), hlm. 81 4 Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, Konsep, Strategi dan Implementasi, (Bandung :
PT Rosda karya, 2002),hlm. 24
21
sekolahnya masing-masing dan berusaha melibatkan masyarakatnya
layanannya.5
Secara konseptual MBS sebagaimana divisualisasikan melalui tabel 1
berikut ini : 6
Tabel 1
MBS sebagai otonomi sekolah
(Sumber: Ibrahim Bafadal, 2003)
Berdasarkan tabel di atas dapat didefinisikan sebagai proses
manajemen sekolah yang diarahkan pada peningkatan mutu pendidikan secara
otonomi direncanakan, diorganisasikan, dilaksanakan dan dievaluasi
melibatkan semua stakeholder sekolah sesuai dengan konsep tersebut, MBS
itu pada hakekatnya merupakan pemberian otonomi kepada sekolah untuk
secara aktif serta mandiri mengembangkan dan melakukan berbagai program
peningkatan mutu pendidikan sesuai dengan kebutuhan sekolah mandiri.
Manajemen Berbasis Sekolah atau School Based Manajement dapat
didefinisikan dan penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri
oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait
dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk
5 Ibid., hlm. 82 6 Ibid., hlm. 83
MBS
Otonomi Sekolah
Dalam Perencanaan
Pengorganisasian Pelaksanaan Pengawasan
Untuk Mencapai Sasaran Mutu Pendidikan
22
memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan mutu sekolah
dalam Pendidikan Nasional.7
Esensi dari Manajemen Berbasis Otonomi dan pengambilan keputusan
partisipasi untuk mencapai sasaran mutu sekolah, otonomi dapat diartikan
sebagai kewenangan (kemandirian) yaitu kemandirian dalam mengatur dan
mengurus dirinya sendiri. Jadi, otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah
untuk mengukur dan mengurus kepentingan warga sekolah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan Pendidikan Nasional yang berlaku.
Kemandirian yang dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan,
yaitu:
1. Kemampuan untuk mengambil keputusan yang baik. 2. Kemampuan berdemokrasi / menghargai perbedaan pendapat. 3. Kemampuan memobilisasi sumber daya. 4. Kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik. 5. Kemampuan berkomunikasi dengan cara yang efektif. 6. Kemampuan memecahkan persoalan –persoalan sekolah. 7. Kemampuan adiktif dan antisipatif.8
Manajemen Berbasis Sekolah sebagai manajemen peningkatan mutu,
konsep pengelolaan ini menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas
sekolah di dalam pengelolaan potensi sumber daya pendidikan melalui kerja
sama dengan pemerintah dan masyarakat di dalam pengambilan keputusan
untuk memenuhi tujuan peningkatan mutu sekolah.9
Manajemen berbasis sekolah merupakan alternatif baru dalam
pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan
kreatifitas sekolah. Konsep ini diperkenalkan oleh teori effective school yang
lebih memfokuskan diri pada berbaikan proses pendidikan, beberapa indikator
yang menunjukkan karakter dari konsep manajemen antara lain sebagai
berikut:
7 Eman Suparman, Manajemen Pendidikan Masa Depan, WWW.DEPDIKNAS.CO.ID,
hlm. 1 8 Ibid, hlm.2 9 Suryosubroto, Manajemen Pendidikan di Sekolah, (Jakarta : Rineka Cipta, 2004), hlm.
197
23
1. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib 2. Sekolah memiliki visi-misi dan target mutu yang ingin dicapai 3. Sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat 4. Adanya harapan yang tinggi dan personil sekolah ( kepala sekolah, guru,
dan staf lainnya termasuk siswa ) untuk berprestasi 5. Adanya pengembangan staf sekolah yang terus menerus sesuai tuntutan
IPTEK 6. Adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap berbagai aspek
akademik dan administratif dan pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan, perbaikan mutu dan
7. Adanya komunikasi dan dukungan intensif dan orang tua murid atau masyarakat.10
Pengembangan, konsep manajemen ini didesain untuk meningkatkan
kemampuan sekolah dan masyarakat dalam mengelola perubahan pendidikan
kaitannya dengan tujuan keseluruhan, kebijakan, strategi perencanaan, inisiatif
kurikulum yang telah ditentukan oleh pemerintah dan otoritas pendidikan.
Pendekatan ini menuntut adanya perubahan sikap dan tingkah laku seluruh
komponen sekolah, kepala sekolah, guru dan tenaga atau staf administrasi
termasuk orang tua dan masyarakat dalam memandang, memahami,
membantu sekaligus sebagai pemantau yang melaksanakan monitoring dan
evaluasi dalam pengelolaan sekolah yang bersangkutan dengan didukung oleh
pengelolaan sistem informasi yang presentatif dan aktif.
Secara operasional MBS dapat didefinisikan sebagai keseluruhan
proses pendayagunaan keseluruhan komponen dalam rangka peningkatan
mutu pendidikan yang diupayakan sendiri oleh kepala sekolah bersama semua
pihak yang terkait atau berkepentingan dengan mutu pendidikan.11
Istilah “komponen” mencakup kurikulum dan pembelajaran siswa,
kepegawaian sarana dan prasarana, dan keuangan, istilah “dikelola sendiri”
adalah self managing, berarti dirancang sendiri (Self design dan self planning)
diorganisasikan sendiri (self – organizing), diarahkan sendiri (self – direction),
dan dikontrol / dievaluasi sendiri (self control). Sudah barang tentu
kemandirian tersebut tidak dapat diartikan sebagai kebebasan penuh, sehingga
10 Ibid., hlm. 208 11 Ibrahim Bafadal, Op. Cit., hlm. 84
24
tetap diperlukan adanya dengan “pihak terkait atau berkepentingan dengan
mutu pendidikan adalah kepala sekolah, guru, orang tua siswa, masyarakat
sekitar sekolah, perusahaan yang akan memakai lulusan sekolah. Definisi
operasional tersebut diperjelas melalui tabel 2 berikut ini: 12
Tabel 2
Definisi Operasional MBS dalam diagram
( Sumber : Ibrahim Bafadal, 2003 )
12 Ibid., hlm. 45
Semua pihak yang terkait (kepala sekolah, guru kelas, guru agama, guru olah raga, orang tua siswa, masyarakat, LSM, perusahaan) secara aktif ikut serta membuat keputusan, merancang dan melaksanakan dan mengontrol.
LULUSAN SMA YANG SEMAKIN BERMUTU
Sekolah secara kreatif dan mandiri mengembangkan sistem pembelajaran dalam rangka implementasi kurikulum nasional sesuai dengan kondisi sekolah
Selain menggunakan kurikulum nasional, sekolah menetapkan sendiri dan menyelenggarakan kurikulum lokal
Sekolah secara kreatif dan mandiri merancang dan menetapkan sistem kepegawaian, keuangan, fasilitas, dan kesiswaan yang dipandang efektif dan efisien dalam menetapkan kurikulum sesuai dengan kondisi sekolah
Aturan kerja dari pemerintahan (Seperlunya, atau bisa dalam bentuk standar pelayanan minimal) ada fasilitas dan pembinaan dari pemerintah kontrol dari pemerintah
Sekolah secara mandiri dan kreatif menetapkan sistem dan melakukan penerimaan siswa
25
Konsistensi dengan keseluruhan definisi dan penjelasan di atas,
mengedepankan 3 karakteristik kunci MBS, sebagai berikut:
Pertama, kekuasaan dan tanggung jawab dalam pengambilan keputusan yang
berhubungan peningkatan mutu pendidikan di desentralisasikan kepada para
stakeholder sekolah.
Kedua, domain manajemen pendidikan yang mencakup keseluruhan aspek
peningkatan mutu pendidikan, mencakup keuangan, kepegawaian, sarana dan
prasarana, penerimaan siswa baru, dan kurikulum
Ketiga, walaupun keseluruhan domain manajemen pendidikan
didesentralisasikan ke sekolah-sekolah, namun diperlukan adanya sejumlah
regulasi yang mengatur fungsi kontrol pusat terhadap keseluruhan pelaksanaan
kewenangan dan tanggung jawab sekolah.13
Dalam konteks pendidikan, pengertian MBS dalam usaha peningkatan
mutu pendidikan mencakup antara lain: Input, proses dan Output pendidikan.
Input pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena
dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Sesuatu yang dimaksud berupa
sumberdaya dan perangkat lunak serta harapan-harapan sebagai pemandu bagi
berlangsungnya proses. Input sumberdaya meliputi sumberdaya manusia
(kepala sekolah, guru termasuk guru BP, karyawan, siswa) dan sumberdaya
selebihnya (peralatan, perlengkapan, uang, bahan dan sebagainya). Input
perangkat lunak meliputi struktur organisasi sekolah, peraturan perundang-
undangan, deskripsi tugas, rencana, program dan sebagainya. Input harapan-
harapan berupa visi misi, tujuan dan sasaran-sasaran yang ingin dicapai
sekolah.14
Kesiapan input sangat diperlukan agar proses dapat berlangsung
dengan baik. Oleh karena itu, tinggi rendahnya mutu input dapat diukur dari
tingkat kesiapan input, makin tinggi tingkat kesiapan input, makin tinggi pula
mutu input tersebut.
13 Ibrahim Bafadal., Op.Cit., hlm. 82 14 Ibid., hlm. 26
26
Proses pendidikan merupakan berubahnya sesuatu menjadi sesuatu
yang lain. Sesuatu yang berpengaruh terhadap berlangsungnya proses disebut
input. Sedang sesuatu dan hasil proses disebut output. Dalam pendidikan
berskala mikro (tingkat sekolah), proses yang dimaksud adalah proses
pengambilan keputusan, proses pengelolaan kelembagaan, proses pengelolaan
program, proses belajar mengajar, proses monitoring dan evaluasi, dengan
catatan bahwa proses belajar mengajar memiliki tingkat kepentingan tertinggi
dibandingkan dengan proses-proses lainnya.
Proses dikatakan bermutu tinggi apabila pengkoordinasian dan
penyerasian serta pemaduan input sekolah (guru, siswa, kurikulum, uang,
peralatan dan sebagainya) dilakukan secara harmonis sehingga mampu
menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning),
mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar mampu
memberdayakan peserta didik.
Output pendidikan adalah merupakan kinerja sekolah. Kinerja sekolah
adalah prestasi yang dihasilkan dan proses atau perilaku sekolah. Kinerja
sekolah dapat diukur dari kualitas efektivitasnya, produktivitasnya,
efisiensinya, inovasinya, kualitas kehidupan kerjanya, dan moral kerjanya.15
Antara proses dan hasil pendidikan yang bermutu saling berhubungan,
akan tetapi agar proses yang baik itu tidak salah arah, maka mutu dalam artian
hasil (output) harus dirumuskan lebih dahulu oleh sekolah, dan harus jelas
target yang akan dicapai untuk setiap tahun atau kurun waktu lainnya.16
15 Ibid., hlm. 7 16 Suryosubroto, Op.Cit., hlm. 210
27
Secara visual dapat dilihat tabel 3 berikut ini: 17
Tabel 3
Fungsi-fungsi yang di Desentralisasikan ke Sekolah
Input Proses Output
( Sumber : Suryosubroto, 2004 )
Berbagai input dan proses harus mengacu pada mutu hasil (output)
yang ingin dicapai. Dengan kata lain tanggung jawab sekolah dalam school
based quality improvement bukan hanya pada proses, tetapi tanggung jawab
akhirnya adalah pada hasil yang dicapai.
Untuk mengetahui hasil atau prestasi yang dicapai oleh sekolah,
terutama yang menyangkut aspek kemampuan akademik atau “kognitif” dapat
dilakukan benchmarking (menggunakan titik acuan standar), misalnya: NEM
untuk nasional, atau hasil ulangan umum bersama yang dirancang oleh PKG
atau MGMP. Evaluasi terhadap seluruh hasil pendidikan pada tiap sekolah
baik yang sudah ada patokannya (benchmarking) maupun yang lain (kegiatan
ekstra – kurikuler) dilakukan oleh individu sekolah sebagai evaluasi diri dan
dimanfaatkan untuk memperbaiki target mutu dan proses pendidikan tahun
berikutnya. 18
17 Umaedi., Op.Cit., hlm. 24 18 Suryosubroto, Op.Cit.,hlm. 211
Perencanaan dan evaluasi
kurikulum ketenangan
fasilitas keuangan
kesiswaan hubungan
sekolah, masyarakat iklim
sekolah
Proses
Belajar
Mengajar
Prestasi
siswa
28
B. Dasar dan Tujuan Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah
1. Dasar MBS
Bukti empirik lemahnya pola lama manajemen pendidikan nasional
dan digulirkannya otonomi daerah, maka sebagai konsekuensi logis bagi
manajemen pendidikan di Indonesia adalah perlu dilakukannyan
penyesuaian diri dari pola lama manajemen pendidikan masa depan yang
lebih bernuansa otonomi dan yang lebih demokratis. Tabel 4 berikut
menunjukkan dimensi-dimensi perubahan pola manajemen, dari yang lama
menuju yang baru.19
Tabel 4
Dimensi-dimensi Perubahan Pola Manajemen Pendidikan
Pola Lama Menuju Pola Baru Subordinasi Otonomi Pengambilan keputusan terpusat Pengambilan keputusan
partisipatif Ruang gerak kaku Ruang gerak luwes Pendekatan birokratik Pendekatan profesional Sentralistik Desentralistik Diatur Motivasi diri Ovveregulasi Deregulasi Mengontrol Mempengaruhi Mengarahkan Menfasilitasi Menghindari resiko Mengelola resiko Menggunakan uang semuanya Gunakan uang seefisien
mungkin Individual yang cerdas Teamwork yang cerdas Informasi terpribadi Informasi terbagi Pendelegasian Pemberdayaan terbagi Organisasi hirarkis Organisasi datar
( Sumber : Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Tahun 2001.Konsep dan
pelaksanaan, WWW.DEPDIKNAS.CO.ID )
19 Umaedi., op.cit., hlm. 7
29
Yang menjadi dasar dari MBS adalah otonomi sekolah. MBS dapat
didefinisikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih
besar kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan
pengambilan keputusan secara partisipatif untuk memenuhi kebutuhan
mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalam rangka
pendidikan nasional. Karena itu, esensi MBS: otonomi sekolah dan
pengembalian keputusan partisipatif untuk mencapai sasaran mutu
sekolah.20
Mengapa yang terpenting otonomi sekolah bukan otonomi
pendidikan? Karena otonomi sekolah mensyaratkan proses pembelajaran
berlangsung secara efektif-aktif dan menyenangkan. Artinya, waktu
pelajaran yang ada atau tersedia digunakan sepenuhnya oleh guru dan
murid menempuh proses pembelajaran. Sekolah dan guru-guru
mempunyai kebebasan mengatur keseluruhan kurikulum demi terciptanya
proses pembelajaran yang efektif-aktif menyenangkan.21
Otonomi sekolah menjadi tuntutan logis manakala peningkatan
mutu akademik diinginkan, sedangkan otonomi pendidikan menunjuk
pada konsekuensi politik, manakala UU No. 2 tahun 1999 tentang otonomi
daerah dilaksanakan. Jadi tidak dengan sendirinya otonomi sekolah terjadi
ketika otonomi pendidikan ditegaskan secara politis di Kabupaten / Kota.
Otonomi pendidikan sebagai keputusan politis daerah dapat
membawa serta otonomi sekolah:
a. Keputusan itu serta merta mendorong terbentuk dan berfungsinya
komite sekolah di tiap sekolah
b. Tertuang secara jelas komitmen Pemda untuk meningkatkan partisipasi
masyarakat terhadap sekolah-sekolah di wilayahnya
c. Semua anggota terdorong memiliki rencana pengembangan induk
sekolah, dan
20 Umaedi, Op. Cit., hlm. 9 21 Eddy Warsono dan Karsidi Budi Anggoro, Otonomi Pendidikan di Era Otonomi Daerah,
(Semarang : Yayasan Jurnalistik Kita, Semarang, 2000), hlm. 12
30
d. Terbentuk model-model sekolah yang secara mandiri mampu
mengembangkan aspek-aspek manajerial kurikulum, kepala sekolah,
informasi pendidikan, dan pembinaan profesionalisme guru.22
Jadi otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur
dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan pendidikan nasiosnal yang berlaku.23
BPPN (Badan Penyelenggaraan Pendidikan Nasional) bekerja
sama dengan Bank Dunia mengkaji beberapa faktor-faktor dasar yang
perlu diperhatikan sehubungan dengan manajemen berbasis sekolah.
Faktor-faktor tersebut berkaitan dengan kewajiban sekolah, kewajiban dan
prioritas pemerintah, peran orang tua dan masyarakat, peranan
profesionalisme dan manajerial, serta pengembangan profesi.24
2. Tujuan MBS
Manajemen Berbasis Sekolah merupakan salah satu upaya
pemerintah untuk mencapai keunggulan masyarakat bangsa dalam
penguasaan ilmu dan teknologi, yang dinyatakan dalam GBHN. Hal
tersebut diharapkan dapat dijadikan landasan dalam pengembangan
pendidikan di Indonesia yang berkualitas dan berkelanjutan, baik secara
makro, maupun mikro.
Manajemen berbasis sekolah, yang ditandai dengan otonomi
sekolah dan pelibatan masyarakat merupakan respons pemerintah terhadap
gejala-gejala yang muncul di masyarakat, bertujuan untuk meningkatkan
efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Pendidikan efisiensi, antara
lain diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya partisipasi
masyarakat dan pemberdayaan birokrasi. Sementara peningkatan mutu
dapat diperoleh, antara lain, melalui partisipasi orang tua terhadap sekolah,
22 Ibid., hlm. 13 23 Umaedi, Op.Cit., hlm. 9 24 Mulyasa, Maanajemen Berbasis Sekolah, Konsep, Strategi dan Implementesi , (Bandung
:PT. Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 26
31
fleksibilitas pengelolaan sekolah dan kelas, peningkatan profesionalisme
guru dan kepala sekolah, berlakunya sistem intensif serta disintensif.
Peningkatan pemerataan antara lain diperoleh melalui peningkatan
partisipasi masyarakat yang memungkinkan pemerintah lebih
berkonsentrasi pada kelompok tertentu. Hal ini dimungkinkan karena pada
sebagian masyarakat tumbuh rasa memiliki yang tinggi terhadap sekolah.25
Manajemen pendidikan berbasis sekolah bertujuan untuk
memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian
kewenangan (otonomi) kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk
melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif lebih rincinya,
MBS bertujuan untuk:
a. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia
b. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama.
c. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya, dan
d. Meningkatkan kompetisi yang sehat antara sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.26
Dalam pengambilan keputusan partisipatif menurut Simon (1993)
dalam bukunya Safarudin dan Anzizhan, menggunakan istilah yang sangat
luas untuk mencakup tiga bidang cakupan masalah, pertama menemukan
masalah yang menarik perhatian dan yang menyertai masalah tersebut.
kedua, bagian dari proses pengambilan keputusan. Ketiga, evaluasi
terhadap solusi dan pilihan terhadap berbagai solusi.27
Menurut Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah
(2000) MBS bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah
melalui pemberian wewenang, keluwesan, dan sumber daya untuk
meningkatkan mutu sekolah.
25 Ibid., hlm. 25 26 Umaedi., Op.Cit., hlm. 4 27 Safarudin dan Anzizhan, Sistem Pengambilan Keputusan Pendidikan, (Jakarta :
Grasindo, 2004), hlm. 46
32
Dengan kemandiriannya, diharapkan:
a. Sekolah sebagai lembaga pendidikan yang lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman bagi dirinya untuk kemudian dapat mengoptimalkan sumberdaya yang tersedia untuk memajukan sekolah
b. Sekolah dapat mengembangkan sendiri program-program sesuai dengan kebutuhannya
c. Sekolah dapat bertanggung jawab tentang mutu pendidikan masing-masing kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah serta
d. Sekolah dapat melakukan persaingan sehat dengan sekolah lain untuk meningkatkan mutu pendidikan.28
Menurut Levacic (1995) yang ditulis oleh Ibrahim Bafadal,
mengidentifikasi tiga tujuan manajemen berbasis sekolah, yaitu (1)
Efisiensi, (2) Efektifitas dan (3) Tanggung jawab. Pertama, dengan
manajemen berbasis sekolah, proses peningkatan mutu pendidikan akan
berlangsung secara efisien, terutama dalam penggunaan sumberdaya
manusia. Kedua, dengan manajemen berbasis sekolah, mutu pendidikan
sekolah dapat meningkat, melalui peningkatan kualitas proses
pembelajaran. Ketiga, dengan manajemen berbasis sekolah respon
terhadap siswa lebih besar.29
C. Karakteristik MBS
Manajemen Berbasis Sekolah yang ditawarkan sebagai bentuk
operasional desentralisasi pendidikan akan memberikan wawasan baru
terhadap sistem yang sedang berjalan selama ini. Hal ini diharapkan dapat
membawa dampak terhadap peningkatan efisiensi dan efektifitas kinerja
sekolah, dengan menyediakan layanan pendidikan komprehensif dan tanggap
terhadap kebutuhan masyarakat sekolah setempat, karena peserta didik
biasanya datang dari berbagai latar belakang kesukaan dan tingkat sosial, salah
satu perhatian sekolah harus ditujukan pada asas pemerataan, baik dalam
bidang sosial, ekonomi, maupun politik. Di sisi lain, sekolah juga harus
28 Ibrahim Bafadal, Op.Cit., hlm. 84 29 Ibid., hlm. 86
33
meningkatkan efisiensi, partisipasi, dan mutu, serta tanggung jawab kepada
masyarakat dan pemerintah.
Karakteristik MBS bisa diketahui antara lain dari berbagai sekolah
dapat mengoptimalkan kinerja organisasi sekolah, proses belajar-mengajar.
Pengelolaan sumber daya manusia, dan pengelolaan sumber daya dan
administrasi.30
Menurut Tim Teknis Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(BPPN) bekerjasama dengan Bank Dunia (1999), karakteristik manajemen
berbasis sekolah dirumuskan sebagai berikut:
1. Pengoptimalan kinerja organisasi sekolah meliputi a. Menyediakan manajemen organisasi transformasional dalam mencapai
tujuan sekolah b. Menyusun rencana sekolah dan merumuskan kebijakan untuk
sekolahnya sendiri c. Mengelola kegiatan operasional sendiri d. Menjamin adanya komunikasi yang efektif antar sekolah dan
masyarakat terkait (School Community) e. Menjamin akan terpeliharanya sekolah yang bertanggung jawab
(accountability) kepada masyarakat dan pemerintah.
2. Pengoptimalan proses belajar mengajar meliputi : a. Meningkatkan kualitas belajar siswa b. Mengembangkan kurikulum yang cocok dan tanggap terhadap
kebutuhan siswa dan masyarakat sekolah c. Menyelenggarakan pengajaran yang efektif d. Menyediakan program pengembangan yang diperlukan siswa e. Program pengembangan yang diperlukan siswa.
3. Pengoptimalan sumberdaya manusia meliputi : a. Memberdayakan staf dan menempatkan personal yang dapat melayani
keperluan semua siswa b. Memilih staf yang memiliki wawasan manajemen berbasis sekolah c. Menyediakan kegiatan untuk pengembangan profesi pada semua staf d. Menjamin kesejahteraan staf dan siswa
4. Pengoptimalan sumberdaya dan administrasi meliputi : a. Mengidentifikasi sumberdaya yang diperlukan dan mengalokasikan
sumberdaya tersebut sesuai dengan kebutuhan b. Mengelola dana sekolah
30 Mulyasa, Op.Cit., hlm. 29
34
c. Menyediakan dukungan administratif d. Mengelola dan memelihara gedung dan sarana lainnya.31
Melalui penerapan Manajemen Berbasis Sekolah akan nampak karakteristik
lainnya dari profil sekolah mandiri, diantaranya sebagai berikut:
1. Pengelolaan sekolah akan lebih desentralistik. 2. Perubahan sekolah akan lebih didorong oleh motivasi internal daripada
diatur oleh luar sekolah. 3. Regulasi pendidikan lebih sederhana 4. Peranan para pengawas bergeser dari mengontrol jadi mempengaruhi,
dari mengarahkan menjadi menfasilitasi dan dari menghindari resiko menjadi mengelola resiko.
5. Akan mengalami peningkatan manajemen. 6. Dalam bekerja, akan menggunakan tim work. 7. Pengelolaan informasi akan lebih mengarah kesemua kelompok
kepentingan sekolah. 8. Manajemen sekolah akan lebih menggunakan pemberdayaan dan
struktur organisasi akan lebih datar sehingga akan lebih sederhana dan efisien.32
Menurut Umaedi manajemen peningkatan mutu pendidikan
berbasis sekolah memiliki karakteristik yang perlu dipahami oleh sekolah
yang akan menerapkannya. Dengan kata lain, jika sekolah ingin sukses dalam
menerapkan MBS maka sejumlah karakteristik MBS berikut perlu dimiliki.
Berbicara karakteristik MBS tidak dapat dipisahkan dengan karakteristik
sekolah efektif (effective school). Jika MBS merupakan wadah atau
kerangkanya, maka sekolah efektif merupakan isinya. Oleh karena itu,
karakteristik MBS berikut memuat secara inklusif elemen-elemen sekolah
efektif, yang dikategorikan menjadi input, proses dan output.33
Model konteks Input Proses output Outcome dalam pendidikan
dijelaskan melalui tabel 5 berikut ini: 34
31 Ibid., hlm. 30
32 http / / www.depdiknas.go.id/file: //A :\MANAJEMEN PENDIDIKAN MASA DEPAN.htm
33 Umaedi., Op.Cit., hlm. 11 34 Jaap Scheerens, Menjadikan Sekolah Efektif, (Jakarta : Logos, 2003), hlm. 104
35
Tabel 5
Model Konteks Input Proses Output Outcome dalam pendidikan
Konteks
Input Proses Output Outcame
( Sumber : Jaap Scheerens, 2003 )
Dalam menguraikan karakteristik MBS, pendekatan sistem yaitu input
– proses – output digunakan untuk memandunya. Hal ini disadari oleh
pengertian bahwa sekolah merupakan sebuah sistem, sehingga penguraian
karakteristik MBS (yang juga karakteristik sekolah efektif) mendasarkan pada
input, proses, dan output. Uraian berikut ini dimulai dari output dan diakhiri
input mengingat output memiliki tingkat kepentingan tertinggi, sedang proses
memiliki tingkat kepentingan satu tingkat lebih rendah dari output dan input
memiliki tingkat kepentingan dua tingkat lebih rendah dari output.
1. Output yang diharapkan
Output sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan oleh proses
pembelajaran dan manajemen di sekolah, pada umumnya output dapat
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu output berupa prestasi akademik
Misalnya permintaan konsumen, lingkungan sekolah, pengukuran kebijakan di tingkat administrasi lebih tinggi
Kualitas sumberdaya
guru
Kurikulum organisasi
sekolah. Iklim sekolah
Ukuran prestasi atau
capaian
Perolehan pekerjaan
36
(academic achievement) dan output berupa prestasi non-akademik (non-
academic achievement)
2. Proses
Menurut Umaedi pada proses yang kedua, ada beberapa karakter yang
harus diperhatikan diantaranya: Efektivitas proses belajar mengajar,
kepemimpinan sekolah yang kuat, lingkungan sekolah yang aman dan
tertib, pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif, sekolah memiliki
budaya mutu. Sekolah memiliki kewenangan (kemandirian) dan
keterbukaan (transparansi) manajemen, sekolah memiliki kemauan untuk
berubah, sekolah melakukan responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan,
dan sekolah memiliki akuntabilitas dan sustainabilitas
3. Input (masukan) kependidikan
Input pendidikan merupakan bagian yang tidak kalah penting dari proses
dan output yang merupakan indikator input diantaranya yaitu keadaan guru
secara fisik, psikis, sosial, ekonomi, dan profesionalismenya, kondisi
siswa, sarana dan prasarana yang memadai.
Menurut Umaedi bagian-bagian yang penting dalam input yaitu
sekolah harus memiliki kebijakan mutu, sumber daya yang tersedia, harapan
prestasi yang tinggi, fokus pada pelanggaran (khususnya peserta didik), input
manajemen.35
D. Langkah-Langkah MBS
1. Perencanaan (Planning)
Salah satu fungsi manajemen adalah perencanaan, program
kegiatan apapun perlu direncanakan dengan baik, sehingga semua
kegiatan terarah bagi tercapainya tujuan. Merencanakan pada dasarnya
menentukan kegiatan yang hendak dilakukan pada masa depan.
35 Umaedi, Op.Cit., hlm. 20
37
Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengatur berbagai sumber daya agar
hasil yang dicapai sesuai dengan harapan.36
Rencana merupakan pedoman kerja bagi para pelaksana terkait,
baik manajer, maupun staf dalam melaksanakan fungsi dan tugas masing-
masing. Selain itu rencana merupakan acuan dalam upaya mengendalikan
kegiatan lembaga, sehingga tidak menyimpang dari pencapaian tujuan
yang telah ditetapkan.37
Oleh karena itu perencanaan dapat didefinisikan sebagai
keseluruhan proses pemikiran dan penentuan semua aktifitas yang akan
dilakukan pada masa yang akan datang dalam rangka mencapai tujuan.
Keberhasilan perencanaan sangat menunjang keberhasilan kegiatan
manajemen secara keseluruhan.
Perencanaan yang baik seharusnya dibuat oleh orang-orang yang
memahami organisasi, memahami perencanaan, disertai dengan rincian
yang teliti, tidak lepas dari pemikiran pelaksanaan, terdapat tempat
pengambilan resiko, sederhana, luwes, dan praktis, didasarkan pada
keadaan nyata masa kini dan masa depan, dibuat bersama dan
direkomendasi oleh penguasa tertinggi.38
Perencanaan merupakan sebuah proses memikirkan dan
menetapkan kegiatan untuk masa yang akan datang. Oleh karena itu,
perencanaan merupakan sebuah proses, ada beberapa langkah yang harus
ditempuh dalam membuat perencanaan adalah: memperkirakan masa
depan, menganalisa kondisi lembaga, merumuskan tujuan secara
operasional, merumuskan dan menetapkan alternatif program, menyusun
jadwal pelaksanaan program.39
36 Nanang Fatah, Landasan Manajemen Pendidikan, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya,
2000), hlm. 49 37 Ibrahim Bafadal, Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah Dasar, dari Sentralisasi
Menuju Desentralisasi, (Jakarta, Bumi Aksara, 2003), hlm. 42. 38 Ibid., hlm. 43. 39 Nunung Fatah, op.cit., hlm. 71.
38
2. Pengorganisasian (Organizing)
Istilah organisasi mempunyai dua pengertian umum, Pertama
organisasi diartikan sebagai suatu lembaga atau kelompok fungsional,
misalnya sebuah pengakuan, sebuah sekolah, sebuah perkumpulan, badan-
badan pemerintahan, kedua merujuk pada proses pengorganisasian yaitu
bagaimana pekerjaan diatur dan dialokasikan diantara para anggota,
sehingga tujuan organisasi itu dapat tercapai secara efektif. Sedangkan
organisasi itu sendiri diartikan sebagai kumpulan orang dengan sistem
kerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Dalam sistem kerjasama
secara jelas diatur siapa menjalankan apa, siapa bertanggung jawab atas
siapa, arus komunikasi, dan memfokuskan sumbernya pada tujuan.
Pengorganisasian merupakan keseluruhan proses pengelompokan
semua tugas, tanggung jawab, wewenang dan komponen dalam proses
kerjasama sehingga tercipta suatu sistem kerja yang baik dalam rangka
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pengorganisasian dilakukan
berdasarkan tujuan dan program kerja sebagaimana dihasilkan dalam
perencanaan.
Menurut Siagian (1981) dalam bukunya Ibrahim Bafadal
Pengorganisasian suatu program dapat dilakukan melalui prosedur sebagai
berikut:
1. Mengidentifikasi pekerjaan atau tugas yang perlu dilakukan untuk
mencapai tujuan.
2. Mengelompokkan tugas serta fungsi yang sama.
3. Memberikan nama tertentu bagi setiap kelompok pekerjaan atau tugas
dengan nama yang kurang lebih menggambarkan fungsinya masing-
masing.
4. Menentukan orang-orang yangakan ditunjuk menyelesaikan setiap
kelompok kerja atau tugas, salah satu diantara mereka perlu ditunjuk
sebagai penanggung jawabnya (pendistribusian tugas dan tanggung
jawab).
39
5. Mendistribusikan fasilitas atau peralatan yang diperlukan untuk
menyelesaikan pekerjaan.
6. Menetapkan aturan kerja.
7. Menetapkan hubungan kerja.40
Sedangkan proses pengorganisasian dapat digambarkan pada bagan
sebagai berikut:
Tahap pertama, yang harus dilakukan dalam merinci pekerjaan
adalah menentukan tugas-tugas apa yang harus dilakukan untuk mencapai
tujuan organisasi. Tahap kedua, membagi seluruh beban kerja menjadi
kegiatan-kegiatan yang dapat dilaksanakan oleh perseorangan atau
kelompok. Disini perlu diperhatikan bahwa orang-orang yang akan
diserahi tugas harus didasarkan pada kualifikasi, tidak dibebani terlalu
berat dan juga tidak terlalu ringan. Tahap ketiga, menggabungkan
pekerjaan para anggota dengan cara rasionalisasi. Tahap keempat,
menetapkan mekanisme yang harmonis. Tahap kelima, melakukan
40 Ibrahim Bafadal, op.cit., hlm. 44.
1.Pemerincihan Pekerjaan
5.Monitoring dan reorganisasi
2.Pembagian Kerja
4.Koordinasi Pekerjaan
3.Penyatuan Pekerjaan
40
monitoring dan mengambil langkah penyusunan untuk mempertahankan
dan meningkatkan efektifitas. Karena pengorganisasian merupakan suatu
proses yang berkelanjutan, diperlukan penilaian ulang terhadap keempat
langkah sebelumnya secara terprogram/ berkala, untuk menjamin
konsistensi, efektif, efisien dalam memenuhi kebutuhan.41
3. Pelaksanaan (Actuating)
Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), sebagaimana telah
diuraikan diatas, esensinya adalah otonomi sekolah + pengambilan secara
partisipatif. Konsep ini membawa konsekuensi bahwa pelaksanaan MBS
sudah sepantasnya menerapkan pendekatan “idiograpik” (membolehkan
adanya berbagai cara melaksanakan MBS) dan bukan lagi mendapatkan
pendekatan “monotetik” (cara melaksanakan MBS yang cenderung
seragam / konvermitas untuk semua sekolah) 42
Oleh karena itu, dalam arti yang sebenarnya tidak ada satu resep
pelaksanaan MBS yang sama untuk diberlakukan ke semua sekolah.
Tetapi satu hal yang perlu diperhatikan, bahwa mengubah pendekatan
manajemen berbasis pusat menjadi peningkatan mutu berbasis sekolah
bukanlah merupakan proses sekali jadi dan bagus hasilnya ( one-shot
and quick fix ), akan tetapi merupakan proses yang berlangsung secara
terus menerus dan melibatkan semua pihak yang bertanggungjawab dalam
penyelenggaraan pendidikan persekolahan.
Hal ini didasarkan pada ajaran Islam yang mengajarkan tentang
kebaikan yakni saling tolong menolong dan kerjasama antara satu dengan
yang lain. Begitu juga pada pelaksanaan MBS, sebagaimana
didiskripsikan dalam sebuah hadist:
41 Nunung Fatah, op.cit., hlm. 73. 42 Ibid, hlm 27
41
43)رواه البخارى(المؤمن للمؤمن آالبنيان يشد بعضه بعضا “Mukmin yang satu dengan yang lain bagaikan bangunan yang kokoh yang saling menguatkan satu dengan yang lain.” (HR. Bukhari)
Pelaksanaan MBS tidak lepas dari keterlibatan kepala sekolah, wakil
kepala sekolah, guru, komite sekolah, orang tua, OSIS, tata usaha dan tokoh
masyarakat sekitar ( Stakeholder ). Oleh sebab itu ada beberapa tahapan dalam
pelaksanaan MBS yang sifatnya masih “umum" dan "luwes". Sekolah dapat
melakukan penyesuaian – penyesuaian tahapan berikut sesuai dengan sekolah
masing – masing.
1. Merumuskan Visi dan Misi Sekolah.
Setiap sekolah harus memiliki Visi dan Misi yang jelas. Visi
adalah wawasan yang menjadi sumber arahan bagi sekolah dan digunakan
untuk memandu rumusan Misi sekolah. Visi merupakan gambaran masa
depan yang diinginkan oleh sekolah, agar sekolah yang bersangkutan
dapat menjamin kelangsungan hidup dan perkembangannya. Sedangkan
Misi adalah tindakan untuk mewujudkan / merealisasikan Visi tersebut.
Misi merupakan bentuk layanan untuk memenuhi tuntutan yang
dituangkan dalam Visi dengan berbagai indikatornya
2. Menganalisa tantangan nyata.
Pada tahapan ini, sekolah melakukan analisis output sekolah yang
hasilnya berupa identifikasi tantangan nyata yang dihadapi oleh sekolah.
Pada umumnya, tantangan sekolah bersumber dari output sekolah yang
dapat dikategorikan menjadi empat, yaitu: kualitas, produktivitas,
efektivitas, dan efisiensi.
3. Menetapkan sasaran dan target.
Sasaran / target/ tujuan situasional / tujuan jangka pendek
merupakan penjabatan tujuan, yakni sesuatu yang akan dihasilkan / dicapai
oleh sekolah dalam jangka waktu lebih singkat dibandingkan tujuan
sekolah. Rumusan sasaran harus selalu mengandung peningkatan, baik
43 Imam Abi Abdillah bin Ismail, Shahih Bukhari, Juz VII, (Beirut : Darul Maktabah,
1981), hlm. 80
42
peningkatan kualitas, efektifitas, produktivitas, maupun efisiensi (bisa
salah satu atau kombinasi).
4. Melakukan identifikasi fungsi yang diperlukan setiap sasaran.
Setelah sasaran dipilih, maka langkah berikutnya adalah
mengidentifikasi fungsi – fungsi yang perlu dilibatkan untuk mencapai
sasaran dan yang masih perlu diteliti tingkat kesiapannya.
5. Melakukan analisis SWOT
Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity and Threat)
dilakukan dengan maksud untuk mengenali tingkat kesiapan setiap fungsi
dari keseluruhan fungsi sekolah yang diperlukan untuk mencapai sasaran
yang telah ditetapkan.
6. Mengidentifikasi alternatif / langkah pemecahan masalah.
Dan hasil analisis SWOT, maka langkah berikutnya adalah
memilih langkah – langkah pemecahan persoalan (peniadaan) persoalan,
yakni tindakan yang diperlukan untuk mengubah fungsi yang tidak siap
menjadi fungsi yang siap. Langkah – langkah pemecahan persoalan, yang
hakekatnya merupakan tindakan mengatasi kelemahan dan ancaman, agar
menjadi kekuatan atau peluang yakni dengan memanfaatkan adanya satu
atau lebih factor yang bermakna kakuatan dan atau peluang.
7. Menyusun rencana pengembangan sekolah
Berdasarkan langkah – langkah pemecahan persoalan tersebut,
sekolah bersama – sama dengan semua unsur– unsurnya membuat rencana
untuk jangka pendek, menengah, panjang beserta program – programnya
untuk merealisasikan rencana tersebut. Rencana yang dibuat harus
menjelaskan secara detail dan tugas tentang aspek - aspek mutu yang ingin
dicapai, kegiatan yang harus dilakukan, siapa yang harus melaksanakan,
kapan dan dimana pelaksanaannya dan berapa biaya yang diperlukan
untuk melaksakan kegiatan tersebut.44
44 Hadiyanto, Mencari sosok Desentralisasi Manajemen Pendidikan Di Indonesia,
(Jakarta : Rineka Cipta 2004) hlm. 74
43
Hal pokok yang perlu diperhatikan oleh sekolah dalam menyusun rencana
adalah keterbukaan semua pihak yang menjadi Stakeholder pendidikan,
khususnya orang tua siswa dan masyarakat (BP3/Komite sekolah) pada
umumnya.45
Secara visual, alur berfikir pembuatan rencana dan program sekolah, dapat
dilihat pada table berikut ini.
45 Umaedi, Op. Cit, hlm. 43
44
Tabel 6
Sumber : Umaedi, Manajemen Peningkatan mutu berbasis sekolah konsep dan pelaksanaan, Departemen pendidikan Nasional Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Tahun 2001.
Landasan yuridis pendidikan (undang-undang dan peraturan-peraturan
- Tantangan masa depan / globalisasi
- Nilai dan harapan masyarakat
Visi dan Misi Sekolah
Tujuan Sekolah
Sasaran 1 Sasaran 2 Sasaran 3 Sasaran 4
Identifikasi fungsi-fungsi untuk mencapai setiap sasaran
Tantangan nyata yang dihadapi sekolah
Analisis SWOT setiap fungsi dan faktornya
Output sekolah saat ini (kenyataan) Alternatif langkah-
langkah pemecahan masalah
Rencana, program dan anggaran utk masing-masing sasaran
45
4. Pengawasan (Controlling)
Pada dasarnya rencana dan pelaksanaan merupakan satu kesatuan
tindakan, pengawasan diperlukan untuk melihat sejauh mana hasil
tercapai. Menurut Murdick dalam bukunya Nanang Fatah pengawasan
merupakan proses dasar yang secara esensial tetap diperlukan
bagaimanapun rumit dan luasnya suatu organisasi. Proses dasarnya terdiri
dari tiga tahap (1) Menetapkan standar pelaksanaan (2) Pengukuran
pelaksanaan pekerjaan dibandingkan dengan standar, dan (3) Menentukan
kesenjangan (deviasi) antara pelaksanaan dengan standar dan rencana.46
Pengawasan dapat diartikan sebagai proses monitoring kegiatan-
kegiatan, tujuannya untuk menentukan harapan-harapan yang secara nyata
dicapai dan dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap penyimpangan-
penyimpangan yang terjadi. Harapan-harapannya dimaksud adalah tujuan-
tujuan yang telah ditetapkan untuk dicapai dan program-program yang
telah direncanakan untuk dilakukan dalam periode tertentu.47
Dengan demikian, pengawasan alam konteks pendidikan itu
merupakan proses monitoring kegiatan-kegiatan untuk mengetahui
program-program lembaga pendidikan yang telah diselesaikan dan tujuan-
tujuan yang telah dicapai.
Tujuan pengawasan adalah membantu mempertahankan hasil atau
output yang sesuai syarat-syarat sistem.48 Pengawasan (Controlling) harus
dilakukan dengan sebaik-baiknya, sehingga pengawasan yang pada
dasarnya dilakukan untuk memantau, mengarahkan, dan membina kinerja,
tidak dipandang sebagai satu kegiatan yang menakutkan. Oleh karena itu,
ada beberapa prinsip-prinsip yang harus dipegang, sebagai berikut: prinsip
manajerial, prinsip organisasional, prinsip obyektif dan keterbukaan,
46 Ibid., hlm. 101. 47 Ibrahim Bafadal, op.cit., hlm. 46. 48 Nunung Fatah, op.cit., hlm. 103.
46
prinsip pencegahan dan perbaikan, serta prinsip efisiensi dan
fleksibilitas.49
Adapun proses pengawasan ada empat langkah dalam
melakukannya, yaitu (1) menetapkan standart performa, (2) mengukur
performa aktual, (3) membandingkan performa aktual dengan standar
performa yang telah ditetapkan, dan (4) melakukan perbaikan apabila
ternyata performa aktual tidak sesuai dengan standar. Untuk lebih jelasnya
dapat dilukiskan dengan bagan berikut:
49 Ibrahim Bafadal, op.cit., hlm. 48.
Menetapkan standar untuk mengatur prestasi
Ambil tindakan korektif
Tidak berbuat apa-apa
Mengukur prestasi kerja
Apakah prestasi memenuhi standar
tidak
ya