bab ii 1100002 -...
TRANSCRIPT
BAB II
LANDASAN TEORI TENTANG GANGGUAN MENTAL
DAN BIMBINGAN KONSELING ISLAM
2.1. GANGGUAN MENTAL (MENTAL DISORDER)
1.1. Definisi Gangguan Mental (Mental Disorder)
Istilah gangguan mental (mental disorder) atau gangguan
jiwa merupakan istilah resmi yang digunakan dalam PPDGJ (Pedoman
Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa). Definisi gangguan mental
(mental disorder) dalam PPDGJ II yang merujuk pada DSM-III
adalah:
“Gangguan mental (mental disorder) atau gangguan jiwa adalah sindrom atau pola perilaku, atau psikologik seseorang, yang secara klinik cukup bermakna, dan secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya (impairment/disability) di adalm satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia. Sebagai tambahan, disimpulkan bahwa disfungsi itu adalah disfungsi dalam segi perilaku, psikologik, atau biologik, dan gangguan itu tidak semata-mata terletak di dalam hubungan orang dengan masyarakat”. (Maslim, tth:7).
Dari penjelasan di atas, kemudian dirumuskan bahwa di
dalam konsep gangguan mental (mental disorder) terdapat butir-butir
sebagai berikut:
1. Adanya gejala klinis yang bermakna, berupa: - Sindrom atau pola perilaku - Sindrom atau pola psikologik
2. Gejala klinis tersebut menimbulkan “penderitaan” (distress), antara lain berupa: rasa nyeri, tidak nyaman, tidak tentram, terganggu, disfungsi organ tubuh, dll.
18
19
3. Gejala klinis tersebut menimbulkan “disabilitas” (disability) dalam aktivitas kehidupan sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan kelangsungan hidup (mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri, dll). (Maslim, tth:7).
Secara lebih luas gangguan mental (mental disorder) juga
dapat didefinisikan sebagai bentuk penyakit, gangguan, dan kekacauan
fungsi mental atau kesehatan mental, disebabkan oleh kegagalan
mekanisme adaptasi dari fungsi-fungsi kejiwaan/mental terhadap
stimuli ekstern dan ketegangan-ketegangan; sehingga muncul
gangguan fungsional atau struktural dari satu bagian, satu orang, atau
sistem kejiwaan/mental (Kartono, 2000:80). Pendapat yang sejalan
juga dikemukakan Chaplin (1981) (dalam Kartono, 2000:80), yaitu:
“Gangguan mental (mental disorder) ialah sebarang bentuk ketidakmampuan menyesuaikan diri yang serius sifatnya terhadap tuntutan dan kondisi lingkungan yang mengakibatkan ketidakmampuan tertentu. Sumber gangguan/kekacauannya bisa bersifat psikogenis atau organis, mencakup kasus-kasus reaksi psikopatis dan reaksi-reaksi neurotis yang gawat”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gangguan mental
(mental disorder) adalah ketidakmampuan seseorang atau tidak
berfungsinya segala potensi baik secara fisik maupun phsikis yang
menyebabkan terjadinya gangguan dalam jiwanya.
1.2. Macam-Macam Gangguan Mental (Mental Disorder).
Dalam menjelaskan macam-macam gangguan mental (mental
disorder), penulis merujuk pada PPDGJ III (dalam Rusdi Maslim,
tth:10), yang digolongkan sebagai berikut:
20
1. Gangguan mental organik dan simtomatik;
Gangguan mental organik adalah gangguan mental yang berkaitan dengan penyakit atau gangguan sistematik atau otak yang dapat di diagnosis secara tersendiri. Sedangkan gangguan simtomatik adalah gangguan yang diakibatkan oleh pengaruh otak akibat sekunder dari penyakit atau gangguan sistematik di luar otak (extracerebral). (Maslim, tth:22).
2. Gangguan mental dan perilaku akibat zat psikoaktif.
“Gangguan yang disebabkan karena penggunaan satu atau lebih zat psikoaktif (dengan atau tidak menggunakan resep dokter).” (Maslim, tth:36).
3. Gangguan skizofrenia dan gangguan waham.
“Gangguan skizofrenia adalah gangguan yang pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted).” (Maslim, tth:46). Sedangkan gangguan waham adalah gejala ganguan jiwa di mana jalan pikirannya tidak benar dan penderita itu tidak mau di koreksi bahwa hal itu tidak betul; suatu jalan pikiran yang tidak beralasan. (Sudarsono, 1993:272).
4. Gangguan suasana perasaan (mood/afektif).
“Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) adalah perubahan suasana perasaan (mood) atau afek, biasanya kearah depresi (dengan atau tanpa anxietas yang menyertainya), atau kearah elasi (suasana perasaan yang meningkat).” (Maslim, tth:60).
5. Gangguan neurotik, somatoform dan gangguan stres.
“Gangguan neurotik, somatoform dan gangguan stes merupakan satu kesatuan dari gangguan jiwa yang disebabkan oleh faktor psikologis.” (Maslim, tth:72).
6. Sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik.
“Gangguan mental yang biasanya ditandai dengan mengurangi berat badan dengan segaja, dipacu dan atau dipertahankan oleh penderita”. (Maslim, tth:90).
21
7. Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa
“Suatu kondisi klinis yang bermakna dan pola perilaku yang cenderung menetap, dan merupakan ekspresi dari pola hidup yang khas dari seseorang dan cara-cara berhubungan dengan diri-sendiri maupun orang lain.” (Maslim, tth:102).
8. Retardasi mental
“Retardasi mental adalah keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap, terutama ditandai oleh terjadinya hendaya keterampilan selama masa perkembangan sehingga berpengaruh pada tingkat keceradsan secara menyeluruh.” (Maslim, tth:119).
9. Gangguan perkembangan psikologis.
“Gangguan yang disebabkan kelambatan perkembangan fungsi-fungsi yang berhubungan erat dengan kematangan biologis dari susunan saraf pusat, dan berlangsung secara terus menerus tanpa adanya remisi dan kekambuhan yang khas. Yang dimaksud “yang khas” ialah hendayanya berkurang secara progresif dengan bertambahnya usia anak (walaupun defisit yang lebih ringan sering menetap sampai masa dewasa).” (Maslim, tth:122).
10. Gangguan perilaku dan emosional dengan onset masa kanak-
kanak.
“Gangguan yang dicirikan dengan berkurangnya perhatian dan aktivitas berlebihan. Berkurangnya perhatian ialah dihentikannya terlalu dini tugas atau suatu kegiatan sebelum tuntas/selesai. Aktivitas berlebihan (hiperaktifitas) ialah bentuk kegelisahan yang berlebihan, khususnya dalam situasi yang menuntut keadaan yang relatif tenang.” (Maslim, tth:136).
Berkaitan dengan pemaparan di atas, Sutardjo A.
Wiramihardja (2004:15-16), mengungkapkan bahwa gangguan mental
(mental disorder) memiliki rentang yang lebar, dari yang ringan
sampai yang berat. Secara ringkas dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
22
1. Gangguan emosional (emotional distubance) merupakan integrasi kepribadian yang tidak adekuat (memenuhi syarat) dan distress personal. Istilah ini lebih sering digunakan untuk perilaku maladaptif pada anak-anak.
2. Psikopatologi (psychopathology), diartikan sama atau sebagai kata lain dari perilaku abnormal, psikologi abnormal atau gangguan mental.
3. Sakit mental (mental illenes), digunakan sebagai kata lain dari gangguan mental, namun penggunaannya saat ini terbatas pada gangguan yang berhubungan dengan patologi otak atau disorganisasi kepribadian yang berat.
4. Gangguan mental (mental disorder) semula digunakan untuk nama ganggua-gangguan yang berhubungan dengan patologi otak, tetapi saat ini jarang digunakan. Nama inipun sering digunakan sebagai istilah yng umum untuk setiap gangguan dan kelainan.
5. Ganguan prilaku (behavior disorder), digunakan secara khusus untuk gangguan yang berasal dari kegagalan belajar, baik gagal mempelajari kompetensi yang dibutuhkan ataupun gagal dalam mempelajari pola penanggulangan masalah yang maladaptif.
6. Gila (insanity), merupakan istilah hukum yang mengidentifikasikan bahwa individu secara mental tidak mampu untuk mengelolah masalah-masalahnya atau melihat konsekuensi-konsekuensi dari tindakannya. Istilah ini menunjuk pada gangguan mental yang serius terutama penggunaan istilah yang bersangkutan dengan pantas tidaknya seseorang yang melakukan tindak pidana di hukum atau tidak.
1.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Timbulnya Gangguan
Mental (Mental Disorder)
Untuk mendapatkan jawaban mengenai faktor faktor-faktor
yang mempengaruhi timbulnya gangguan mental (mental disorder),
maka yang perlu ditelusuri pertama kali adalah faktor dominan yang
dapat mempengaruhi kepribadian seseorang. Dalam hal ini, penulis
merujuk pada pendapat Kartini Kartono (1982:81), yang membagi
faktor dominan yang mempengaruhi timbulnya gangguan mental
(mental disorder) ke dalam dua faktor, yaitu:
23
1. Faktor Organis (somatic), misalnya terdapat kerusakan pada otak
dan proses dementia.
2. Faktor-faktor psikis dan struktur kepribadiannya, reaksi neuritis
dan reaksi psikotis pribadi yang terbelah, pribadi psikopatis, dan
lain-lain. Kecemasan, kesedihan, kesakitan hati, depresi, dan
rendah diri bisa menyebabkan orang sakit secara psikis, yaitu yang
mengakibatkan ketidakseimbangan mental dan desintegrasi
kepribadiannya. Maka sruktur kepribadian dan pemasakan dari
pengalaman-pengalaman dengan cara yang keliru bisa membuat
orang terganggu psikisnya. Terutama sekali apabila beban psikis
ternyata jauh lebih berat dan melampaui kesanggupan memikul
beban tersebut.
3. Faktor-faktor lingkungan (milieu) atau faktor-faktor sosial.
Usaha pembangunan dan modernisasi, arus urbanisasi dan
industialisasi menyebabkan problem yang dihadapi masyarakat
modern menjadi sangat kompleks. Sehingga usaha penyesuaian diri
terhadap perubahan-perubahan sosial dan arus moderenisasi
menjadi sangat sulit. Banyak orang mengalami frustasi, konflik
bathin dan konflik terbuka dengan orang lain, serta menderita
macam-macam gangguan psikis.
1.4. Pencegahan Gangguan Mental
Tujuan utama pencegahan gangguan mental adalah
membimbing mental yang sakit agar menjadi sehat mental dan
24
menjaga mental yang sehat agar tetap sehat. Namun sebelumnya akan
penulis paparkan terlebih dahulu tentang pengertian pencegahan
gangguan mental.
1. Pengertian Pencegahan Gangguan Mental
Dalam dunia kesehatan mental pencegahan didefinisikan
sebagai upaya mempengaruhi dengan cara yang positif dan
bijaksana dari lingkungan yang dapat menimbulkan kesulitan atau
kerugian. (Prayitno, 1994:205).
Sementara AF. Jaelani (2000:87), berpendapat bahwa
pencegahan mempunyai pengertian sebagai metode yang
digunakan manusia untuk menghadapi diri sendiri dan orang lain
guna meniadakan atau mengurangi terjadinya gangguan kejiwaan.
Dengan demikian pencegahan gangguan mental didasarkan
pada upaya individu terhadap diri dan orang lain untuk menekan
serendah mungkin agar tidak terjadi gangguan mental sesuai
dengan kemampuannya.
2. Upaya pencegahan
Banyak para ahli yang memberikan metode upaya
pencegahan mulai dari faktor yang mempengaruhi sampai akibat
yang ditimbulkan. Pada dasarnya upaya pencegahan ialah
didasarkan pada prinsip-prinsip kesehatan mental. Prinsip-prinsip
yang dimaksud adalah:
25
a. Gambaran dan sikap baik terhadap diri-sendiri; orang yang
memiliki kemampuan mnyesuaikan diri, baik dengan diri
sendiri maupun hubungan dengan orang lain, hubungan dengan
alam lingkungan, serta hubungan dengan Tuhan. Hal ini dapat
diperoleh dengan cara penerimaan diri, keyakinan diri dan
kepercayaan kepada diri-sendiri (Yahya, 1993:83).
b. Keterpaduan atau integrasi diri; berarti adanya keseimbangan
antara kekuatan-kekuatan jiwa dalam diri, kesatuan pandangan
(falsafah dalam hidup) dan kesanggupan mengatasi ketegangan
emosi (stres) (Yahya, 1993:84).
c. Pewujudan diri (aktualisasi) diri merupakan sebuah proses
pematangan diri dapat berarti sebagai kemampuan
mempengaruhi potensi jiwa dan memiliki gambaran dan sikap
yang baik terhadap diri-sendiri serta meningkatkan motivasi
dan semangat hidup. Oleh karena itu, agar terhindar dari
gangguan mental, maka sedapat mungkin mengaktualisasikan
diri dan memenuhi kebutuhan dengan baik dan memuaskan
(Kartono, 1986:231).
Dengan demikian upaya pencegahan dapat berhasil
apabila manusia dapat berpotensi untuk menjadikan dirinya
sebagai yang terbaik dan tidak hanya pasrah pada kemampuan
dasar manusia seperti menggembangkan bakat dan sebagainya.
26
d. Kemampuan menerima orang lain, melakukan aktivitas sosial
dan menyesuaikan diri dengan lingkunagn tempat tinggal.
Lingkungan di samping sebagai faktor penyebab
timbulnya gangguan mental, juga memiliki peran penting
dalam usaha mencegah timbulnya gangguan mental. Sebab
bagi individu yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan
lingkungannya, dapat menyebabkan timbulnya kecemasan dan
kesulitan dalam mengahadapi tuntutan dan persoalan yang
dapat terjadi setiap hari. (Syukur, 2000:13). Dalam ungkapan
kata lain disebtkan bahwa mereka yang tidak mempunyai
ikatan status di masyarakat dan mereka yang tidak mempunyai
fungsi atau peran dalam masyarakat lebih mudah mengalami
gangguan kejiwaan. (Hawari, 1999:11).
Sebagai upaya pencegahannya manusia sedapat
mungkin menghindarinya, yaitu dengan melakukan aktivitas
sosial dalam masyarakat, dan lain sebagainya.
e. Agama dan falsafah hidup.
Dalam hal ini agama berfungsi sebagai therapy bagi
jiwa yang gelisah dan terganggu. Selain itu agama juga
berperan sebagai alat pencegah (preventif) terhadap
kemungkinan gangguan mental dan merupakan faktor
pembinaan (konstruktif) bagi kesehatan mental. (Daradjat,
1975:80). Dengan keyakinan beragama, berarti seseorang telah
27
hidup dekat dengan Tuhan serta tekun menjalankan agama.
Pada akhirnya akan terwujud kesehatan mental secara utuh.
Sedangkan falsafah hidup merupakan wujud dari
kumpulan prinsip atau nilai-nilai. Sehingga setiap orang
berusaha sesuai dengan ketentuannya. Dengan demikian
apabila seseorang memiliki falsafah hidup, maka akan dapat
menghadapi tantangannya dengan mudah (Fahmi, 1982:92).
f. Pengawasan diri
Agar dapat terhindar dari gangguan mental, maka
sedapat mukin melindungi diri dari dorongan dan keinginan
atau berbuat maksiat dengan mengawasi diri kita. Secara umum
orang yang wajar adalah orang yang mampu mengendalikan
keinginannya dan mampu menunda sebagian dari pemenuhan
kebutuhannya, serta bersedia meninggalkan kelezatan-
kelezatan dengan segera, demi untuk mencapai keuntungan
(pahala) yang lebih lama sifatnya serta lebih kekal. (Fahmi,
1982:114).
Manfaat lain dari pengawasan diri adalah
menghindarkan seseorang dari perbuatan-perbuatan yang
bertentangan dengan norma dan adat yang berlaku.
Berdasarkan pada eksplorasi di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa pencegahan gangguan mental dimaksudkan
untuk mewujudkan kesehatan mental yang didasarkan pada
28
kemauan dan kemampuan setiap pribadi untuk merubah dari
masalah yang buruk agar menjadi baik.
1.5. Sehat Mental
Sebenarnya agak sulit merumuskan secara tepat apa yang
dimaksud dengan sehat mental (normal) dan mental tidak sehat
(abnormal). Namun demikian diperlukan patokan atau ukuran untuk
membedakan antara sehat mental (normal) dan mental tidak sehat
(abnormal).
Secara umum sehat mental dapat diartikan sebagai kondisi
mental yang tumbuh dan didasari motivasi yang kuat ingin meraih
kualitas diri yang lebih baik, baik dalam lingkungan keluarga,
kehidupan kerja/profesi, maupun sisi kehidupan lainnya. Orang yang
disebut memiliki mental yang tidak sehat ialah orang yang meskipun
secara potensial memiliki kemampuan, tetapi tidak punya keinginan
dan usaha mengaktualisasikan potensinya secara optimal. Sementara
orang yang disebut sakit mental adalah orang yang secara mental
memiliki berbagai macam unsur yang saling bertentangan dan dengan
demikian, sering merusak atau menghambat, sehingga perilakunya
tidak menentu. (Wiramihardja, 2004:23).
Secara konseptual, keadaan sehat mental dan tidak sehat
mental dirumuskan oleh sebagai berikut:
1. World Federation for Mental Health, pada tahun 1948 dalam konfensinya di London mengemukakan bahwa sehat mental adalah suatu kondisi yang optimal dari aspek intelektual, yaitu siap untuk
29
digunakan, dan aspek emosional yang cukup mantap atau stabil, sehingga perilakuny tidak mudah tergoncang oleh situasi yang berubah dilingkunganya, tidak sekedar bebas atau tidak adanya gangguan kejiwaan, sepanjang tidak menggangu lingkungannya.
2. Karl Menninger, seorang psikiater, mendefinisikan sehat mental sebagai penyesuaian manusia terhadap lingkungannya dan orang lain dengan keefektifan dan kebahagiaan yang optimal. Tidak sekedar efesiensi atau sekedar kegembiraan atau ketaatan atas aturan permainan. Dalam mental yang sehat terdapat kemampuan ntuk memelihara watak, inteligensi yang siap untuk digunakan, perilaku yang dipertimbangkan secara sosial dan disposisi yang bahagia.
3. HB. English, seorang psikolog, menyatakan sehat mental sebagai keadaan yang secara relatif menetap di mana seseorang dapat menyesuaikan diri dengan baik, memiliki semangat hidup yang tinggi dan terpelihara dan berusaha untuk mencapai aktualisasi diri atau realisasi diri yang optimal. Hal ini merupakan keadaan positif dan bukan sekedar tidak adanya gangguan mental.
4. W.W. Boehm, seorang pekerja sosial menyatakan bahwa sehat mental adalah kondisi dan taraf pemfungsian sosial yang diterima secara sosial dan memberikan kebahagiaan secara pribadi. (Supratiknya, 2003:13 dan Wiramihardja, 2003:10).
Menurut penulis beberapa rumusan di atas ialah menekankan
pada sisi normalitas sebagai keadaan sehat, yang secara umum ditandai
dengan kefektifan dalam menyesuaikan diri, yakni menjalankan
tuntutan hidup sehari-hari, sehingga menimbulkan perasaan puas dan
bahagia.
Sementara untuk mengetahui rumusan tentang mental yang
tidak sehat ialah dengan menentukan atau mengukur abnormalitas
melalui beberapa kriteria. (Coleman, Winkel dalam Supratiknya,
2003:11). Kriteria yang dimaksud ialah penyimpangan dari norma-
norma sosial, gejala “sala-suai” (maladjusment), tekanan batin, dan
ketidakmatangan. Secara lebih jelas dapat dijabarkan sebagai berikut:
30
a. Penyimpangan dari norma-norma sosial; Menurut kriteria ini, abnormal diartikan sebagai non-konfomitas, yaitu sifat tidak patuh atau tidak sejalan dengan norma sosial.
b. Gejala “Sala-Suai” (Maladjusment); Di sini abnormalitas dipandang sebagai ketidakefektifan individu dalam menghadapi, menanggapi atau melaksanakan tuntutan-tuntutan dari lingkungan fisik dan sosialnya maupun bersumber dari berbagai kebutuhannya sendiri.
c. Tekanan batin; Di sini abnormalitas dipandang berwujud perasaan-perasaan cemas, defresi atau sedih, atau rasa bersalah yang mendalam.
d. Ketidakmatangan; Di sini seseorang disebut abnormal bila perilakunya tidak sesuai dengan tingkat usianya.
1.6. Ciri-ciri orang yang sehat mental
Orang yang sehat mental biasa di sebut individu yang normal.
Yakni orang yang mampu memperlihatkan kematangan emosional,
kemampuan menerima realitas, kesenangan hidup bersama orang lain,
dan memiliki filsafat atau pegangan hidup pada saat ia mengalami
komplikasi kehidupan sehari-hari sebagai gangguan (Killander dalam
Wiramihardja, 2004:25).
Secara lebih jelas ciri-ciri tersebut dapat dijabarkan sebagai
berikut:
1. Kematangan emosional.
Terdapat tiga dasar emosi, yaitu cinta, takut, dan marah.
Fungsi cinta ialah apabila kita mencintai suatu hal yang membuat
senang, takut kalu ada hal yang mengancam rasa aman kit, dan
marah kalau ada yang mengganggu atau menghambat jalan usaha
untuk mencapai apa yang kita inginkan.
31
Dengan dimikian orang yang disebut emosinya matang
ialah orang yang memiliki dispilin diri, determinasi diri, dan
kemandirian. Seseorang yang memiliki dispilin diri dapat mengatur
dirinya, hidup teratur, mentaati hukum dan peraturan. Sedangkan
orang yang memiliki determinasi diri akan membuat keputusan
sendiri dalam memecahkan masalah dan melakukan apa yang telah
diputuskan. Ia tidak mudah menyerah dan akan menganggap
masalah baru lebih sebagi tantangan daripada sebagai ancaman.
Sementara orang yang memiliki sikap kemandirian ialah orang
yang mampu berdiri di atas kaki sendiri. Artinya tidak bergantung
pada orang lain.
Berkaitan dengan pendapat di atas, Garious (dalam Najati,
2003:3) memberikan indikator tentang kematangan emosional,
sebagai berikut:
“Individu disebut memiliki kematangan emosional apabila individu mampu menerima kenyataan yang berkaitan dengan kemampuan dan potensi kepribadiannya, mampu menikmati hubungan-hubungan sosialnya baik di dalam maupun di luar keluarga, mampu bersikap positif terhadap kehidupan, sanggup menghadapi situasi yang tidak diperkirakan, berani dan mampu mengemban tanggung jawab, teguh dan konsisten, mampu mewujudkan keseimbangan dan keharmonisan di antara berbagai tuntutan kebutuhan dan motivasi kehidupan, memiliki perhatian yang seimbang terhadap berbagai macam kegiatan intelektual, kerja, hiburan, dan sosial, memiliki pendangan hidup yang kuat dan integral”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa orang yang
memiliki kematangan emosional adalah orang yang tidak banyak
menggantungkan diri pada bimbingan dan kendali orang lain,
32
melainkan lebih mendasarkan diri pada kemampuan, kemauan dan
kekuatannya sendiri.
2. Kemampuan menerima realitas.
Adanya perbedaan antara dorongan, keinginan, dan ambisi
di satu pihak, serta peluang dan kemampuan di pihak lainnya,
adalah hal yang bisa terjadi. Bagi orang yang memiliki kemampuan
untuk menerima realitas sudah pasti akan memperlihatkan perilaku
yang mencerminkan kemampuan dalam memecahkan masalah,
yakni dengan segera menerima tanggung jawab, menyesuaikan diri
dengan lingkungannya, bersifat terbuka dalam menerima
pengalaman dan gagasan baru, membuat tujuan-tujuan yang
realistis, serta melakukan yang terbaik sampai merasa puas atas
hasil usahanya tersebut.
3. Hidup bersama dan bekerja sama dengan orang lain.
Yakni memiliki kemampuan dan kemauan untuk
mempertimbangkan minat dan keinginan orang lain dalam
tindakan-tindakan sosialnya, mampu menemukan dan
memanfaatkan perbedaan-perbedaan pandangan dengan orang lain,
serta mempunyai tanggung jawab sosial serta merasa bertanggung
jawab terhadap nasib orang lain.
4. Memiliki filsafat atau pegangan hidup.
Yang dimaksud dengan memiliki filsafat atau pegangan
hidup ialah memiliki pegangan hidup yang dapat senantiasa
33
membimbingnya untuk berada dalam jalan yang benar, terutama
saat menghadapi atau dalam situasi berada yang mengganggu atau
membebani. Sehingga tidak terbawa oleh arus situasi yang
berkembang dilingkungan serta suasana hati yang bersifat sesaat.
1.7. Sifat-sifat orang yang sehat mental
Setelah memaparkan ciri-ciri orang yang sehat mental, maka
perlu pula dijabarkan mengenai sifat-sifat yang dimiliki oleh orang
yang sehat secara mental. menurut Coleman dan Broen (dalam
Wiramihardja, 2004:23), sifat-sifat tersebut antara lain:
1. Sikap terhadap diri sendiri yang positif (positif attitude toward self), menekankan pada penerimaan diri, identitas diri yang adekuat, penghargaan yang realistik terhadap kelebihan dan kekurangan orang lain.
2. Persepsi asalitas (perception of reality), yaitu suatu pandangan realistik atas diri sendiri dan dunia, orang, serta benda-benda yang yang nyata ada di lingkungannya.
3. Keutuhan (integration), yaitu kesatuan dari kepribadian, bebas dari ketidakmampuan menghadapi konflik dalam diri (inner conflict) dan toleransi yang baik terhadap stres.
4. Kompetensi, ialah adanya perkembangan kompetensi, baik fisik intelektual, emosional, sosial untuk menanggulangi masalah-masalah kehidupan. Kompetensi mengandung pengetahuan keterampilan, sikap dan perilaku yang sesuai dan memadai.
5. Otonomi, ialah keyakinan diri, rasa tanggung jawab, dan pengaturan diri yang adekuat, bersama-sama dengan kemandirian yang memadai menyangkut pengaruh sosial.
6. Pertumbuhan atau aktualisasi diri, ialah menekankan pada kecenderungan terhadap kematangan yang meningkat, perkembangan potensialitas, dan kepuasan sebagai pribadi.
34
2.2. BIMBINGAN KONSELING ISLAM
2.1. Definisi Bimbingan Konseling Islam
Bimbingan Konseling Islam diartikan sebagai suatu aktivitas
memberikan bimbingan, pelajaran, dan pedoman kepada individu yang
meminta bantuan (klien) dalam hal bagaimana seharusnya seorang
klien dapat mengembangkan potensi akal pikirannya, kejiwaannya,
keimanan, dan keyakinannya serta dapat menanggulangi problematika
hidup dengan baik dan benar secara mandiri yang berpandangan pada
al-Qur’an dan Sunah Rasul SAW (Adz-Dzaky, 2001:189).
Ahli lain berpendapat bahwa Bimbingan Konseling Islam
diartikan sebagai proses pemberian bantuan kepada individu agar
mampu hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah, sehingga
dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat (Faqih, 2001:
4).
Bimbingan Konseling Islam juga dapat diartikan sebagai
suatu aktivitas memberikan bimbingan, pelajaran, dan pedoman
kepada individu yang meminta bimbingan (klien) yang mengalami
penyimpangan perkembangan fitrah beragama, dengan
mengembangkan potensi akal pikiran kepribadiannya, keimanan dan
keyakinan yang dimilikinya, sehingga klien dapat menanggulangi
problematika hidup secara mandiri yang berpandangan pada al-Qur’an
dan Sunah Rasul SAW, demi tercapainya kebahagiaan hidup di dunia
dan akhirat (Mustahidin, 2004: 57).
35
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa
bimbingan konseling Islam merupakan proses pemberian bantuan
kepada individu baik yang mengalami permasalahan ataupun tidak
dengan cara mengembangkan potensi fitrah yang dimilikinya, agar
senantiasa selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah, sehingga
dengan cara yang mandiri individu mampu memecahkan permasalahan
yang dihadapinya serta mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat.
2.2. Tujuan dan Fungsi Bimbingan Konseling Islam
Menurut Hallen (2003:34) bimbingan konseling Islam
sifatnya hanya merupakan bantuan saja, sedangkan tanggung jawab
dan penyelesaian masalah terletak pada diri individu (klien) yang
bersangkutan.
Secara garis besar, tujuan bimbingan konseling Islam dapat
dirumuskan untuk membantu individu mewujudkan dirinya sebagai
manusia seutuhnya agar mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat. Sedangkan tujuan khususnya dapat dirinci sebagai berikut:
a. Membantu individu agar dapat terhindar dari masalahnya b. Membantu individu mengatasi masalah yang sedang dihadapinya c. Membantu individu memelihara dan mengembangkan situasi dan
kondisi yang baik atau yang telah baik agar tetap baik atau menjadi lebih baik sehingga tidak akan menjadi sumber masalah bagi dirinya dan orang lain. (Adzaky:2001:180).
36
Dengan memperhatikan tujuan dari bimbingan konseling
Islam, maka dapat dirumuskan beberapa fungsi bimbingan konseling
Islam. Menurut Hatcher dalam Abimanyu (2003:56), adalah:
1. Fungsi preventif; dari bimbingan konseling Islam terfokus pada penyesuaian diri, menyembuhkan masalah psikologis yang dihadapi, mengembalikan kesehatan mental dan mengatasi gangguan emosional.
2. Fungsi edukatif; merupakan suatu upaya pemberian bantuan kepada individu sebelum mereka mencapai masalah. Upaya ini meliputi pengembangan strategi-strategi dan program-program yang dapat digunakan untuk mengantisipasi dan mengelakkan resiko-resiko hidup yang tidak perlu terjadi.
3. Fungsi rehabilitasi; terfokus pada upaya pemberian bantuan kepada individu dengan cara meningkatkan keterampilan dalam kehidupannya, mengidentifikasi, memecahkan masalah hidup dan membantu meningkatkan kemampuannya menghadapi transisi dalam hidup untuk keperluan hidup jangka pendek.
Sementara Aunur Rokhim Faqih (2001:37), menyebutkan
bahwa fungsi bimbingan konseling Islam terdiri dari:
1. Fungsi preventif; dapat diartikan sebagai membantu individu menjaga atau mencegah timbulnya masalah bagi dirinya sendiri.
2. Fungsi kuratif; diartikan sebagai membantu individu dalam memecahkan masalah yang sedang dihadapinya.
3. Fungsi preservatif; diartikan sebagai upaya membantu individu menjaga agar kondisi yang semula tidak baik menjadi baik dan kebaikan itu bertahan lama.
4. Fungsi developmental; diartikan sebagai upaya untuk membantu individu memelihara dan mengembangkan situasi dan kondisi yang telah baik agar tetap baik atau menjadi lebih baik, sehingga tidak memungkinkannya menjadi sebab munculnya permasalahan baginya.
2.3. Landasan Dasar Bimbingan Konseling Islam
Thohari Musnamar (1992:5), menjelaskan bahwa landasan
dasar bimbingan konseling Islam adalah al-Qur’an dan as-Sunnah.
Sebab keduanya merupakan sumber dari segala sumber pedoman
37
hidup bagi umat Islam. Lebih dari itu, munculnya gagasan, tujuan dan
konsep-konsep bimbingan konseling Islam yaitu bersumber dari al-
Qur’an dan as-Sunnah. Pendapat yang sama juga dikemukan Rachman
(1996:3), landasan utama bimbingan dan konseling Islam adalah al-
Qur’an dan as-Sunnah, sebab keduanya merupakan sumber pedoman
atau otoritas puncak umat Islam.
Proses bimbingan konseling Islam yang berlandaskan pada
al-Qur’an dan as-Sunnah juga berkaitan dengan upaya melakukan
pengembangan terhadap individu sebagai usaha terencana untuk
meningkatkan wawasan, pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang
mencerminkan kedewasaan pribadi guna meraih kondisi yang lebih
baik lagi dalam mewujudkan citra diri yang diidam-idamkan. Usaha ini
dilandasi oleh kesadaran bahwa manusia sebagai the self determining
being. Yakni memiliki kemampuan untuk menentukan apa yang paling
baik untuk dirinya dalam rangka mengubah nasibnya menjadi lebih
baik lagi. (Bastaman,1995:127).
Prinsip ini tampaknya sesuai dengan prinsip mengubah nasib
yang terungkap dalam Al-Qur’an:
������������� �������������������������� ������������� !"���#�$ Artinya, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum
sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”. (Q.S. Ar-Ra’d:11) (Yayasan Penterjemah Al-Qur’an, 1421: 370).
Dengan memperhatikan arti pada ayat di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa bimbingan konseling Islam yang berlandaskan
38
pada al-Qur’an sebagai kegiatan membantu klien dalam melakukan
perubahan ke arah yang lebih baik ialah bergantung pada kemauan dan
kemampuan klien untuk merubahnya, artinya bimbingan konseling
Islam sifatnya hanya membantu saja.
2.4. Asas-Asas Bimbingan Konseling Islam
Dalam menjelaskan asas-asas bimbingan konseling Islam,
penulis merujuk pada pendapat yang dikemukakan Thohari
Musnamar 1992:5-8) yaitu terdapat lima belas asas yang berkaitan
dengan kegiatan bimbingan konseling Islam. Asas-asas yang dimaksud
antara lain:
1. Asas kebahagiaan dunia dan akhirat; Bimibingan dan konseling Islam bertujuan membantu klien dapat hidup dalam keseimbangan, keselarasan, keserasian antara kehidupan dunia dan akhirat.
2. Asas fitrah; Bimibingan dan konseling Islam merupakan bantuan kepada klien untuk mengenal, memahami dan menghayati fitrahnya, sehingga segala gerak tingkah laku dan tindakannya sejalan dengan fitrahnya tersebut.
3. Asas lillahi ta’ala; Bimibingan dan konseling Islam bertujuan semata-mata karena Allah. Konsekuensi dari asas ini berarti pembimbing melakukan tugasnya dengan penih keikhlasan, tanpa pamri, sementara yang dibimbingpun menerima atau meminta bimbingan dan atau konseling pun dengan ikhlas dan rela pula,karena semua pihak merasa bahwa semua yang di lakukan adalah karena untuk pengabdian kepada Allah semata.
4. Asas bimbingan seumur hidup; Manusia pada dasarnya tidak sempurna dan tidak selalu bahagia. Dalam kehidupannya mungkin saja akan menemui kesulitan dan kesusahan. Oleh karena itu, bimbingan konseling diperlukan selama hayat masih dikandung badan.
5. Asas kesatuan jasmani dan ruhani; bimbingan konseling Islam memperlakukan kliennya sebagai mahluk jasmani dan rohani, tidak memandangnya sebagai mahluk biologis semata atau mahluk rohaniah semata. Dalam hal ini, bimbingan konseling Islam membantu individu untuk hidup dalam keseimbangan jasmani dan rohani tersebut.
39
6. Asas keseimbangan ruhaniah; Bimbingan konseling Islam mengarahkan atau mengajak klien untuk menginternalisasikan norma dengan mempergunakan semua kemampuan atau potensial rohaniahnya.
7. Asas kemaujudan individu; Bimbingan konseling Islam berlangsung pada citra manusia menurut Islam, memandang seseorang individu sesuai maujud (eksistensi) tersendiri.
8. Asas sosialitas manusia; manusia merupakan mahluk sosial. Hal ini diakui dan diperhatikan dalam bimbingan dan konseling Islami. Dengan kata lain, dalam bimbingan dan konseling Islami sosialitas manusia diakui dengan memperhatikan hak individu dan hak tanggung jawab sosial.
9. Asas kekhalifahan manusia; Manusia diberikan kedudukan yang tinggi sekaligus tanggung jawab yang besar, yaitu sebagai pengelola alam semesta (khâlifah fil ardi). Dengan kata lain, manusia dipandang sebagai makhluk berbudaya yang menggelola alam sekitar sebaik-baiknya. Sebagai khalifah, manusia harus memelihara keseimbangan ekosistem. Sebab problem-problem kehidupan kerap kali muncul dari ketidak seimbanggan ekosistem tersebut yang di perkuat oleh manusia itu sendiri. Untuk itu bimbingan konseling Islam berfungsi untuk menuntun kebahagiaan dirinya dan umatnya.
10. Asas keselarasan dan keadilan; Bimbingan konseling Islam bertujuan untuk mewujudkan keharmonisan, keselarasan, keseimbangan, keserasian dalam segala segi. Baik terhadap dirinya, orang lain, alam semesta dan kepada Allah.
11. Asas pembinaan akhlaqul-karimah; bimbingan konseling Islam membantu klien memelihara, mengembangkan, menyempunakan sifat-sifat yang baik (akhlaqul-karimah).
12. Asas kasih sayang; Bimbingan konseling Islam dilakukan dengan berlandaskan kasih dan sayang. Sebab hanya dengan dengan kasih sayanglah bimbingan konseling Islam dapat berhasil.
13. Asas saling menghargai dan menghormati; Dalam bimbingan dan konseling Islam konselor dan klien memiliki kedudukan sama. Perbedaannya hanya terletak pada fungsinya saja, yakni konselor memberikan bantuan, sedangkan klien adalah pihak yang menerima bantuan.
14. Asas musyawarah; Bimbingan konseling Islam di lakukan dengan asas musyawarah, artinya antara pembimbing (konselor) dengan yang di bimbing (klien) terjadi diolog yang baik. Dengan kata lain, satu sama lain tidak saling mendiktekan, tidak ada perasaan tertekan dan keinginan tertekan.
15. Asas keahlian; Bimbingan konseling Islam di lakukan oleh orang yang memiliki kemampuan atau keahlian dibidang tersebut. Meliputi keahlian dalam metodologi, teknik-teknik bimbingan dan
40
konseling, maupun dalam bidang yang menjadi permasalahan (objek, materi) bimbingan dan konseling.
Asas-asas di atas merupakan salah satu faktor pendukung
bagi keberhasilan bimbingan dan konseling Islam, dalam hal ini
konselor diharuskan memiliki komitmen yang tinggi untuk
menghayatii dan menjalaninya.
2.5. Teknik Bimbingan Konseling Islam
Bimbingan konseling Islam merupakan suatu aktifitas yang
hidup dan mengharapkan akan lahirnya perubahan-perubahan dan
perbaikan-perbaikan yang sangat didambakan oleh konselor dan klien.
Untuk itu agar tujuan tersebut dapat tercapai, maka diperlukan teknik
yang memadai. Sebaliknya, apabila tidak didukung dengan teknik-
teknik memadai, maka tujuan utama kegiatan bimbingan konseling
Islam tidak akan dapat tercapai dengan baik. (Adzaky, 2001:154).
Teknik bimbingan konseling Islam yang dimaksud ialah :
1. Teknik yang bersifat lahir; dalam prakteknya, teknik yang bersifat
lahir ialah menggunakan alat yang dapat dilihat, didengar, atau
dirasakan oleh klien, yaitu dengan menggunakan tangan atau lisan.
Secara luas makna penggunaan tangan dapat dilakukan dengan
cara:
a. Menggunakan kekuatan (power) dan otoritas melalui kekuasaan atau pengaruh.
b. Keinginan, kesungguhan dan usaha yang keras. c. Sentuhan tangan dengan maksud untuk memberikan sugesti.
Misalnya: berjabat tangan sebelum melakukan kegiatan bimbingan. (Adzaky, 2001:156).
41
Sedangkan penggunaan teknik lisan dalam kegiatan
bimbingan konseling Islam dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
a. Memberikan nasehat atau ajakan yang baik dan benar. b. Membaca doa atau berdoa dengan menggunakan lisan.
(Adzaky, 2001:158).
2. Teknik yang bersifat batin adalah teknik yang dilakukan dalam hati
melalui do’a dan harapan, sehingga tidak ada usaha atau upaya
konkrit. Mengenai teknik bimbingan dan konseling yang bersifat
umum, W.S. Wenkel dalam M. Hamdani Bakran Adzaky
(2001:154) membagi teknik konseling menjadi dua bagian, yaitu:
a. Konseling yang bersifat verbal yaitu; berupa tanggapan apa saja secara verbal yang diberikan oleh konselor, yang merupakan perwujudan kongkrit dari maksud, pikiran dan perasaan yang berbentuk dalam batin konselor. Dengan kata lain merupakan tanggapan batin untuk membantu proses bimbingan dan konseling pada saat tertentu. Tanggapan tersebut bisa berupa pertanyaan atau kalimat tanya.
b. Konseling bersifat non verbal yaitu: teknik yang lebih menonjolkan sikap dari konselor. Seperti senyuman, cara duduk anggukan kepala, gerak-gerik tangan, berdiam diri, mimik atau ekspresi wajah, pandangan mata, variasi nada suara dan sentuhan. (Adzaky, 2001:163).
Berdasarkan pada penjelasan mengenai pengertian, landasan
dasar, asas-asas serta tujuan dan fungsi bimbingan konseling Islam,
maka penulis berpendapat bahwa pendekatan tersebut sangat relevan
apabila digunakan sebagai pendekatan dalam menganalisa konsep
kecerdasan emosi dan spritual (ESQ) Ary Ginanjar Agustian sebagai
metode pencegahan gangguan mental.
42