bab ii sumiati -...

27
13 BAB II IBU TIRI DAN KEPRIBADIAN ANAK A. Ibu Tiri Dalam Keluarga 1. Pengertian Keluarga Dalam setiap masyarakat manusia, pasti akan dijumpai keluarga. Keluarga merupakan kelompok sosial kecil yang terdiri dari suami, istri beserta anak-anaknya yang belum menikah. Keluarga, lazimnya juga disebut rumah tangga, yang merupakan unit terkecil dalam masyarakat sebagai wadah dan proses pergaulan hidup. 1 Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan manusia, tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial di dalam hubungan interaksi dengan kelompoknya. 2 Keluarga mempunyai peranan penting untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani anak serta menciptakan kesehatan jasmani dan rohani yang baik. 3 Keluarga merupakan kelembagaan (institusi) primer yang sangat penting dalam kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun masyarakat. 4 Sebenarnya keluarga mempunyai fungsi yang tidak hanya terbatas selaku penerus keturunan saja. Dalam bidang pendidikan, keluarga merupakan sumber pendidikan utama, karena segala pengetahuan dan kecerdasan intelektual manusia diperoleh pertama-tama dari orang tua dan anggota keluarganya. 5 Lima ciri khas yang dimiliki keluarga, yaitu (1) adanya hubungan berpasangan antara kedua jenis kelamin; (2) adanya 1 Soerjono Soekanto, Sosiologi Keluarga tentang Hal Ikhwal Keluarga, Remaja dan Anak, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, hlm.1. 2 W.A.Gerungan, Psikologi Sosial, PT.al-Maarif, Bandung, 1978, hlm. 180 3 Ramayulis, Pendidikan Islam dalam Rumah Tangga, Kalam Mulia, Jakarta, 1990, hlm. 79 4 Tarya J.Sugarda, “Kata Sambutan Dosen Sosiologi Keluarga Program Pasca Sarjana UNPAD”, dalam Hendi Suhendi dan Ramdani Wahyu, Pengantar Studi Sosiologi Keluarga, Pustaka Setia, Bandung, 2001, hlm. 5. 5 NY.Singgih D.Gunarsa, Psikologi Keluarga, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1986, hlm. 1

Upload: dinhmien

Post on 12-Mar-2019

213 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

13

BAB II

IBU TIRI DAN KEPRIBADIAN ANAK

A. Ibu Tiri Dalam Keluarga

1. Pengertian Keluarga

Dalam setiap masyarakat manusia, pasti akan dijumpai keluarga.

Keluarga merupakan kelompok sosial kecil yang terdiri dari suami, istri

beserta anak-anaknya yang belum menikah. Keluarga, lazimnya juga

disebut rumah tangga, yang merupakan unit terkecil dalam masyarakat

sebagai wadah dan proses pergaulan hidup.1 Keluarga merupakan

kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan manusia, tempat ia

belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial di dalam hubungan

interaksi dengan kelompoknya.2 Keluarga mempunyai peranan penting

untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani anak serta

menciptakan kesehatan jasmani dan rohani yang baik.3

Keluarga merupakan kelembagaan (institusi) primer yang sangat

penting dalam kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun

masyarakat. 4 Sebenarnya keluarga mempunyai fungsi yang tidak hanya

terbatas selaku penerus keturunan saja. Dalam bidang pendidikan,

keluarga merupakan sumber pendidikan utama, karena segala pengetahuan

dan kecerdasan intelektual manusia diperoleh pertama-tama dari orang tua

dan anggota keluarganya.5 Lima ciri khas yang dimiliki keluarga, yaitu (1)

adanya hubungan berpasangan antara kedua jenis kelamin; (2) adanya

1Soerjono Soekanto, Sosiologi Keluarga tentang Hal Ikhwal Keluarga, Remaja dan

Anak, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, hlm.1. 2W.A.Gerungan, Psikologi Sosial, PT.al-Maarif, Bandung, 1978, hlm. 180 3Ramayulis, Pendidikan Islam dalam Rumah Tangga, Kalam Mulia, Jakarta, 1990,

hlm. 79 4Tarya J.Sugarda, “Kata Sambutan Dosen Sosiologi Keluarga Program Pasca Sarjana

UNPAD”, dalam Hendi Suhendi dan Ramdani Wahyu, Pengantar Studi Sosiologi Keluarga, Pustaka Setia, Bandung, 2001, hlm. 5.

5NY.Singgih D.Gunarsa, Psikologi Keluarga, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1986, hlm. 1

14

perkawinan yang mengokohkan hubungan tersebut; (3) pengakuan

terhadap keturunan, (4) kehidupan ekonomi bersama; dan (5) kehidupan

berumah tangga.6

Menurut Moeljono Notosoedirdjo dan Latipun bahwa tata cara

kehidupan keluarga akan memberikan suatu sikap serta perkembangan

kepribadian anak yang tertentu pula. Dalam hubungan ini Moeljono

Notosoedirdjo dan Latipun meninjau tiga jenis tata cara kehidupan

keluarga, yaitu tata cara kehidupan keluarga yang (1) demokratis, (2)

membiarkan dan (3) otoriter. Anak yang dibesarkan dalam susunan

keluarga yang demokratis, membuat anak mudah bergaul, aktif dan ramah

tamah. Anak belajar menerima pandangan-pandangan orang lain, belajar

dengan bebas mengemukakan pandangannya sendiri dan mengemukakan

alasan-alasannya. Hal ini bukan berarti bahwa anak bebas melakukan

segala-galanya, bimbingan kepada anak tentu harus diberikan. Anak yang

mempunyai sikap agresif atau dominasi, kadang-kadang tampak tetapi hal

ini kelak akan mudah hilang bila dia dibesarkan dalam keluarga yang

demokratis. Anak lebih mudah melakukan kontrol terhadap sifat-sifatnya

yang tak disukai oleh masyarakat. Anak yang dibesarkan dalam. susunan

keluarga yang demokratis merasakan akan kehangatan pergaulan.7

Adapun keluarga yang sering membiarkan tindakan anak, maka

anak yang dibesarkan dalam keluarga yang demikian ini akan membuat

anak tidak aktif dalam kehidupan sosial, dan dapat dikatakan anak menarik

diri dari kehidupan sosial. Perkembangan fisik anak yang dibesarkan

dalam keluarga ini menunjukkan terhambat. Anak mengalami banyak

frustrasi dan mempunyai kecenderungan untuk mudah membenci

seseorang. Dalam lingkungan keluarga anak tidak menunjukkan

agresivitasnya tetapi dalam pergaulan sosialnya kelak anak banyak

6Syahrin Harahap, Islam Dinamis Menegakkan Nilai-Nilai Ajaran al-Qur’an Dalam

Kehidupan Modern di Indonesia, PT.Tiara Wacana, Yogyakarta, 1997, hlm. 35. 7Moeljono Notosoedirdjo dan Latipun, Kesehatan Mental Konsep dan Penerapan,

Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, 2002, hlm. 175.

15

mendapatkan kesukaran. Dalam kehidupan sosialnya, anak tidak dapat

mengendalikan agresivitasnya dan selalu mengambil sikap ingin menang

dan benar, tidak seperti halnya dengan anak yang dibesarkan dalam

susunan keluarga yang demokratis. Hal ini terjadi karena anak tidak dapat

mendapatkan tingkat interaksi sosial yang baik di keluarganya. Sedangkan

anak yang dibesarkan dalam keluarga yang otoriter, biasanya akan bersifat

tenang, tidak melawan, tidak agresif dan mempunyai tingkah laku yang

baik. Anak akan selalu berusaha menyesuaikan pendiriannya dengan

kehendak orang lain (yang berkuasa, orang tua). Dengan demikian

kreativitas anak akan berkurang, daya fantasinya kurang, dengan demikian

mengurangi kemampuan anak untuk berpikir abstrak. Sementara itu, pada

keluarga yang demokratis anak dapat melakukan banyak eksplorasi. 8

Tipe kepemimpinan orang tua yang otoriter, meski tidak disukai

oleh kebanyakan orang, karena menganggap dirinya sebagai orang tua

paling berkuasa, paling mengetahui dalam segala hal, tetapi dalam etnik

keluarga tertentu masih terlihat dipraktikkan. Dalam praktiknya tipe

kepemimpinan orang tua yang otoriter cenderung ingin menguasai anak.

Perintahnya hars selalu dituruti dan tidak boleh dibantah. Anak kurang

diberikan kesempatan untuk memberikan tanggapan dalam bentuk

penjelasan, pandangan, pendapat atau saran-saran. Tanpa melihat

kepentingan pribadi anak, yang penting instruksi orang tua harus dituruti.

Tipe kepemimpinan orang tua yang otoriter selain ada keuntungannya,

juga ada kelemahannya. Anak yang selalu taat perintah adalah di antara

keuntungannya. Sedangkan kelemahannya adalah kehidupan anak statis,

hanya menunggu perintah, kurang kreatif, pasif, miskin inisiatif, tidak

percaya diri, dan sebagainya. 9

8Ibid, hlm. 176 9Syaiful Bahri Djamarah, Pola Komunikasi Orang Tua & Anak Dalam Keluarga,

Rineka Cipta, Jakarta, 2004, hlm. 70.

16

Dari tiga jenis tersebut di atas Baldwin yang dikutip Moeljono

Notosoedirdjo dan Latipun mengatakan bahwa lingkungan keluarga yang

demokratis merupakan tata cara yang terbaik bagi anak untuk memberikan

kemampuan menyesuaikan diri. Namun demikian, tata cara susunan

keluarga ini kenyataannya tidak terbagi secara tajam berdasarkan ciri-ciri

keluarga dalam tiga jenis tersebut. Yang terbanyak ialah campuran dari

tiga jenis tersebut, dan dalam hal yang demikian ini akan ditentukan oleh

mana yang paling menonjol atau yang paling kuat yang ada dalam

susunan suatu keluarga.10

Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa peranan

keluarga sangat besar pengaruhnya dalam mewarnai perilaku anak, karena

itu keluarga merupakan benteng utama dalam membangung pribadi anak.

2. Peran Ibu Tiri Dalam Keluarga

Seorang anak yang dibesarkan, dipelihara dan dididik dalam

rumah tangga yang aman tenteram, penuh dengan kasih sayang akan

tumbuh dengan baik dan pribadinya akan terbina dengan baik pula.

Namun bagaima dengan anak dibesarkan oleh ibu tiri.11 Inilah masalah

menarik ketika masalah keluarga menyangkut soal ibu tiri, karena macam-

macam ceritera dan legenda tentang ibu tiri yang ganas-jahat dijumpai

pada hampir setiap bangsa di dunia. Ceritera-ceritera itu memberikan

gambaran tentang penderitaan dan kesengsaraan yang harus dialami oleh

anak tiri, serta penampilan kekejaman ibu-ibu tiri dalam menyiksa dan

menyakiti anak tirinya. Bahkan tidak jarang ibu-ibu ini berusaha dengan

segala macam daya dan akal untuk menyingkirkan dan membunuh, anak

tirinya. Maka perumpamaan yang menyatakan bahwa ibu-ibu tiri itu suka

"menggodog anak tirinya dalam kuali panjang" yang sangat populer di

tengah masyarakat, memang mendekati realitas nyata. Hal ini

10Moeljono Notosoedirdjo dan Latipun, op. cit, hlm. 176 11Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama Dalam Pembinaan Mental, Bulan Bintang,

Jakarta, 1975, hlm. 68

17

menunjukkan, bahwa dalam kenyataannya ibu tiri itu sering menyebabkan

azab sengsara kepada anak-anak tirinya.

Ceritera-ceritera sihir dan dongeng-dongeng yang sangat terkenal

tentang ibu tiri yang ganas-jahat, sangat digemari oleh anak-anak di

seluruh dunia: antara lain ialah: Klenting Kuning, Bawang Merah dan

Bawang Putih, Panji Semirang atau Galuh Candrakirana, Puteri Salju

(Snow White), Cinderella, dan lain-lain. Relasi yang sangat buruk terutama

sekali dijumpai di antara ibu tiri dengan anak tiri perempuan. Pada banyak

ceritera klasik dikisahkan, bahwa anak-anak tiri itu hampir selalu

menderita azab-sengsara; dan oleh rasa putus asa melakukan usaha bunuh

diri karena tidak tahan lagi menanggung dera siksaan dari ibu tirinya.

Dalam cerita lain dikisahkan. bahwa anak tiri (seorang gadis) harus

melakukan pekerjaan-pekerjaan yang paling kotor dan paling hina, diberi

pakaian yang paling buruk; bahkan sering mukanya dicoreng-coreng agar

kelihatan sangat jelek. Dimaki-maki serta diperhinakan setiap hari.12

Dalam hubungannya ibu tiri dengan anak tiri, bahwa anak tiri

adalah anak yang dibawa serta dalam perkawinan baru, maka ia menjadi

anak tiri bagi sang suami atau sang istri. Yang menimbulkan problem

adalah ketika anak itu dibawa hidup dalam rumah tangga baru ini beserta

ibu tiri dan bapak kandungnya. Dalam keadaan demikian, bagi mereka

berdua hal ini tidak menimbulkan masalah, tetapi jika mereka

mendapatkan anak lain timbul problem terutama jika anak tiri ini adalah

anak dari suami. Sang istri lebih cemburu, karena ia selalu berhadapan

dengan anak-anak di dalam segala keadaan. Di sini timbul hasut, dengki

dan perbuatan yang tidak baik. Kemungkinan anak tiri tersiksa jiwa dan

perasaan, karena diskriminasi yang diterima dari ibu tirinya.13

Dari sini muncul konflik antara ibu tiri dengan anak tiri, dan

konflik akan terus berkepanjangan jika motif utama semua tingkah

12Kartini Kartono, Psikologi Wanita Mengenal Wanita Sebagai Ibu & Nenek, jilid 2,

Mandar Maju, Bandung, 1992, hlm. 279 – 280. 13Fuad Mohd. Fachruddin, Masalah Anak Dalam Hukum Islam, Anak Kandung, Anak

Tiri, Anak Angkat dan Anak Zina, CV Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, 1995, hlm. 75 – 76.

18

keganasan ibu tiri ini terutama ialah: iri hati dan dengki. Khususnya ibu

tiri tersebut sama sekali tidak menghendaki suaminya memberikan kasih-

sayang kepada anaknya sendiri. Sebab ia ingin memonopoli suaminya,

Ibu-ibu tiri itu selalu saja berusaha dengan cara-cara yang licik untuk

menyingkirkan dan menyisihkan anak tirinya; dan selanjutnya

mengangkangi semua hak prerogatif yang menjadi milik anak tirinya

untuk diri sendiri.

Kesimpulannya ialah, apakah seorang wanita itu kelak menjadi

seorang ibu tiri yang baik ataukah menjadi seorang ibu tiri yang ganas,

tidak hanya tergantung pada konstitusi psikis wanita itu sendiri, akan

tetapi juga dipengaruhi oleh semua faktor lingkungan sosialnya. Karena

itu ibu tiri bukan satu fenomena yang terisolasi atau berdiri sendiri. Akan

tetapi gejala ibu tiri itu hendaknya difahami secara psikologis dalam

relasinya dengan lingkungan dan keluarganya; yaitu dengan ayah. nenek-

kakek, ibu, atau ibunya yang sudah meninggal, kakak-kakak, adik dan lain

sebagainya.

B. Anak Dalam Keluarga

1. Perkembangan Anak

Menurut Elisabeth B. Hurlock, Istilah perkembangan berarti

serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses

kematangan dan pengalaman.14 Selanjutnya Elisabeth B. Hurlock dengan

mengutip perkataan Van den Daele menyatakan:

Perkembangan berarti perubahan secara kualitatif, ini berarti bahwa perkembangan bukan sekedar penambahan beberapa sentimeter pada tinggi badan seseorang atau peningkatan kemampuan seseorang, melainkan suatu proses integrasi dari banyak struktur dan fungsi yang kompleks. Pada dasarnya ada dua proses perkembangan yang saling bertentangan yang terjadi secara

14Elisabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan, Suautu Pendekatan Sepanjang

Rentang Kehidupan, edisi kelima, alih bahasa, Istiwidayanti, Soedjarwo, Erlangga, Jakarta, tth, hlm. 2

19

serempak selama kehidupan, yaitu pertumbuhan atau evolusi dan kemunduran atau involusi.15

Menurut Andi Mappiare sebagaimana mengutip Elizabeth

B.Hurlock bahwa jika dibagi berdasarkan bentuk-bentuk perkembangan

dan pola-pola perilaku yang nampak khas bagi usia-usia tertentu, maka

rentangan kehidupan terdiri atas sebelas masa yaitu :

Prenatal : Saat konsepsi sampai lahir.

Masa neonatal : Lahir sampai akhir minggu kedua setelah lahir.

Masa bayi : Akhir minggu kedua sampai akhir tahun kedua.

Masa kanak-kanak awal : Dua tahun sampai enam tahun.

Masa kanak-kanak akhir : Enam tahun sampai sepuluh atau sebelas tahun.

Pubertas/preadolescence : Sepuluh atau dua belas tahun sampai tiga belas

atau empat belas tahun

Masa remaja awal : Tiga belas atau empat belas tahun sampai tujuh

belas tahun.

Masa remaja akhir :Tujuh belas tahun sampai Dua puluh satu tahun.

Masa dewasa awal : Dua puluh satu tahun sampai empat puluh tahun.

Masa setengah baya : Empat puluh sampai enam puluh tahun

Masa tua : Enam puluh tahun sampai meninggal dunia.16

Dalam pembagian rentangan usia menurut Hurlock di atas, terlihat

jelas masa kanak-kanak awal: dua tahun sampai enam tahun, dan masa

kanak-kanak akhir: enam tahun sampai sepuluh atau sebelas tahun

Y. Byl yang dikutip Abu Ahmadi membagi fase anak sebagai

berikut:

a. Fase bayi 0,0 - 0,2.

b. Fase tetek 0,2 - 1,0.

c. Fase pencoba 1,0 - 4,0.

d. Fase menentang 2,0 - 4,0.

15Ibid, hlm. 2 16Andi Mappiare, Psikologi Remaja, Surabaya: Usaha Nasional, 1982, hlm. 24 –25.

Penjelasan yang lebih rinci dapat dilihat Elisabeth B. Hurlock, op. cit, hlm. 27, 51, 75, 107, 145, 183, 205, dan seterusnya.

20

e. Fase bermain 4,0 - 7,0.

f. Fase sekolah 7,0 - 12,0.

g. Fase pueral 11,0 - 14,0.

h. Fase pubertas 15,0 - 18,0.17

Dengan melihat pembagian yang berbeda-beda antara ahli satu

dengan lainnya, Asnely mengambil kesimpulan dengan melakukan

pembagian:

1. Fase pranatal;

2. fase awal masa kanak-kanak, umur 0-5 tahun;

3. fase akhir masa kanak-kanak, umur 6-12 tahun;

4. fase remaja dan dewasa, umur 13-18 tahun.18

Pembagian perkembangan ke dalam masa-masa perkembangan

hanyalah untuk memudahkan mempelajari dan memahami jiwa anak-

anak. Walaupun perkembangan itu dibagi-bagi ke dalam masa-masa

perkembangan, namun tetap merupakan kesatuan yang hanya dapat

dipahami dalam hubungan keseluruhan.19

Dalam perspektif Islam, perjalanan hidup manusia dibagi menjadi

empat priode:20

a. Periode Kandungan

Periode kandungan ialah suatu periode di ketika manusia

masih berada di dalam kandungan ibunya. 21

b. Periode Thufulah (kanak-kanak)

Periode ini dimulai semenjak seseorang lahir ke dunia. Dengan

lahirnya itu, maka telah sempurnalah sifat kemanusiaannya, karena ia

telah terpisah dari tubuh ibunya. Namun demikian, kemampuan

17Abu Ahmadi, Psikologi Belajar, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, hlm. 47 18Asnelly Ilyas, Mendambakan Anak Saleh, Al-Bayan, Bandung, 1997, hlm. 48. 19Zulkifli, Psikologi Perkembangan, CV Remaja Karya, Bandung, 1986, hlm. 23. 20Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh, Jilid 2, PT Dhana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1995,

hlm. 1. 21Zahri Hamid, Peribadatan Dalam Agama Islam, PT al-Ma'arif, Bandung, 1980,

hlm. 23

21

akalnya belum ada, kemudian berkembang sedikit demi sedikit.

Periode ini berlangsung sampai seseorang mencapai masa tamyiz.22

c. Periode Tamyiz.

Dalam masa ini seseorang mempunyai kemampuan berbuat

tidak penuh. Perbuatannya ada kalanya berhubungan dengan hak

Allah atau dengan hak manusia.23

Periode tamyiz dimulai dari seseorang mampu membedakan

antara sesuatu yang baik dengan yang buruk dan antara sesuatu yang

bermanfaat dengan yang madlarat. Pada periode ini kemampuan akal

seseorang belum sempurna, karena periode ini adalah masa mulai dan

semakin bersinarnya cahaya kemampuan akal seseorang. Karena itu

daya fikirnya masih dangkal, yakni masih terbatas pada hal-hal yang

nampak saja.24 Sedangkan berakhirnya periode tamyiz, yaitu apabila

seseorang telah mencapai masa baligh.

d. Periode Baligh

Dalam masa ini dimana seseorang telah mencapai

kedewasaannya, ia mempunyai kemampuan berbuat sepenuhnya, baik

yang berhubungan dengan ibadat ataupun muamalat. Dalam masa

inilah, ia menjadi mukallaf yang sebenarnya.25

2. Karakteristik Anak Pada Setiap Perkembangan

Keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan anak,

tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Dalam

keluarga, umumnya anak ada dalam hubungan interaksi yang intim.

Segala sesuatu yang diperbuat anak mempengaruhi keluarganya dan

sebaliknya. Keluarga memberikan dasar pembentukan tingkah-laku,

watak, moral dan pendidikan kepada anak. Pengalaman interaksi di dalam

22Zakiah Daradjat, op. cit, hlm. 1-2. 23Hanafie, Ushul Fiqh, Bina Grafika, Jakarta, 2001, hlm. 26 24Zakiah Daradjat. op. cit, hlm. 2-3 25Hanafie, op. cit, hlm. 27

22

keluarga akan menentukan pula pola tingkah-laku anak terhadap orang

lain dalam masyarakat.26

Sebenarnya sejak anak masih dalam kandungan telah banyak

pengaruh-pengaruh yang di dapat dari orang tuanya. Misalnya situasi

kejiwaan orang tua (terutama ibu) bila mengalami kesulitan, kekecewaan,

ketakutan, penyesalan, terhadap kehamilan tentu saja memberi pengaruh.

Juga kesehatan tubuh, gizi makanan ibu akan memberi pengaruh terhadap

bayi tentu saja mengakibatkan kurangnya perhatian, pemeliharaan, kasih

sayang. Padahal segala perlakuan sikap sekitar itu akan memberi andil

terhadap pembentukan pribadi anak, bila bayi sering mengalami

kekurangan, kekecewaan, tak terpenuhinya kebutuhan secara wajar tentu

saja akan memberi pengaruh yang tidak sedikit dalam penyesuaian

selanjutnya. Pada masa anak sangat sensitif apa yang dirasakan orang

tuanya. Dengan kedatangan kelahiran adiknya sering perhatian orang tua

berkurang, hal ini akan dirasakan oleh anak dan mempengaruhi

perkembangan.27

Seirama dengan perkembangan ini, anak tersebut membutuhkan

beberapa hal yang sering dilupakan oleh orang tua. Kebutuhan ini

mencakup rasa aman, dihargai, disayangi, dan menyatakan diri. Rasa

aman ini dimaksudkan rasa aman secara material dan mental. Aman

secara material berarti orang tuanya memberikan kebutuhannya seperti

pakaian, makanan dan lainnya. Aman secara mental berarti harus

memberikan perlindungan emosional, menjauhkan ketegangan-

ketegangan, membantu dalam menyelesaikan problem mental

emosional.28

Pada tulisan ini sesuai dengan tema skripsi bahwa penulis hanya

akan mengetengahkan fase ketiga dari perkembangan anak yaitu fase

26A.L.S. Soesilo, dalam Kartini Kartono (penyunting), Seri Psikologi Terapan 1,

Peranan Keluarga Memandu Anak, CV Rajawali, Jakarta, 1985, hlm. 19. 27Siti Sundari, Kesehatan Mental Dalam Kehidupan, Rineka Cipta, Jakarta, 2005,

hlm. 65 28B. Simanjuntak dan I.L. Pasaribu, Pengantar Pesikologi Perkembangan, CV

Tarsito, Bandung, 1984, hlm. 282.

23

akhir masa kanak-kanak. Fase ini adalah permulaan anak bersekolah yang

berkisar antara umur 5 sampai 12 tahun. Pada fase ini pendidikan anak

tidak hanya terfokus pada keluarga, tetapi lebih luas lagi yaitu

mempersiapkan anak untuk mengikuti kewajiban bersekolah.

Yang menjadi fokus pembahasan pada pasal ini adalah

perkembangan anak dari aspek jasmani, intelektual, dan akhlak

Banyak ahli menganggap masa ini sebagai masa tenang, dimana

apa yang telah terjadi dan dipupuk pada masa-masa sebelumnya akan

berlangsung terus untuk masa-masa selanjutnya.29

1. Perkembangan Jasmani

Anak umur 5-7 tahun perkembangan jasmaninya cepat,

badannya bertambah tinggi, meski beratnya berkurang sehingga ia

kelihatan lebih tinggi dan kurus dari masa-masa sebelumnya, tampak

sekali terlihat pada wajahnya.30 Menurut FJ.Monks, A.M.P.Knoers,

dan Siti Rahayu Haditomo bahwa sampai umur 12 tahun anak

bertambah panjang 5 sampai 6 cm tiap tahunnya. Sampai umur 10

tahun dapat dilihat bahwa anak laki-laki agak lebih besar sedikit

daripada anak wanita, sesudah itu maka wanita lebih unggul dalam

panjang badan, tetapi sesudah 15 tahun anak laki-laki mengejarnya

dan tetap unggul daripada anak wanita.31

Kekuatan badan dan tangan anak laki-laki bertambah cepat

pada umur 6-12 tahun. Dalam masa ini juga ada perubahan dalam sifat

dan frekuensi motorik kasar dan halus. Ternyata bahwa kecakapan-

kecakapan motorik ini mulai disesuaikan dengan keleluasaan

lingkungan. Gerakan motorik sekarang makin tergantung dari aturan

formal atau yang telah ditetapkan.32

29Singgih D. Gunarsa dan Ny. Y. Singgih D. Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak

dan Remaja, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, hlm. 13. 30Asnelly Ilyas, op. cit, hlm. 57 31FJ.Monks, A.M.P.Knoers, Siti Rahayu Haditomo. Psikologi Perkembangan

Pengantar dalam Berbagai Bagiannya, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2002, hlm. 177

32Ibid

24

Bermain merupakan suatu cara untuk mempersiapkan anak

terhadap pekerjaan-pekerjaannya di masa, datang, sebab dengan

bermain, anak dididik dalam berbagai segi seperti jasmani, akal-

perasaan, dan sosial-kemasyarakatan. Kemudian bermain dapat

menguatkan otot-otot tubuh anak dan melatih panca inderanya untuk

mengetahui hubungan sesuatu dengan yang lainnya. Pada fase ini anak

juga cenderung berpindah dari permainan sandiwara kepada

permainan sesungguhnya seperti bola kaki, bulu tangkis, dan lain-lain.

2. Perkembangan Intelektual, Fantasi, dan Perasaan.

Dalam keadaan normal, pikiran anak pada masa ini

berkembang secara berangsur-angsur dan tenang. Anak betul-betul

berada dalam stadium belajar. Di samping keluarga, sekolah

memberikan pengaruh yang sistematis terhadap pembentukan akal-

budi anak. Pengetahuannya bertambah secara pesat. Banyak

ketrampilan mulai dikuasainya, dan kebiasaan-kebiasaan tertentu

mulai dikembangkannya. Dari keadaan egosentris anak memasuki

dunia objektivitas dan dunia pikiran orang lain. Hasrat untuk

mengetahui realitas benda dan peristiwa-peristiwa mendorong anak

untuk meneliti dan melakukan eksperimen.

Kartini Kartono menjelaskan:

Minat anak pada periode tersebut terutama sekali tercurah pada segala sesuatu yang dinamis bergerak. Anak pada usia ini sangat aktif dan dinamis. Segala sesuatu yang aktif dan bergerak akan sangat menarik minat perhatian anak. Lagi pula minatnya banyak tertuju pada macam-macam aktivitas. Dan semakin banyak dia berbuat, makin bergunalah aktivitas tersebut bagi proses pengembangan kepribadiannya.33

Tentang ingatan anak pada usia ini, ia juga menjelaskan:

Ingatan anak pada usia ini mencapai intensitas paling besar dan paling kuat. Daya menghafal dan memorisasi (dengan sengaja memasukkan dan melekatkan pengetahuan dalam.

33Kartini Kartono, Psikologi Anak, Mandar Maju, Bandung, 1995, hlm. 138

25

ingatan) adalah paling kuat. Dan anak mampu memuat jumlah materi ingatan paling banyak.34

. 3. Perkembangan akhlak

Konsep moral pada akhir masa kanak-kanak sudah jauh

berbeda, tidak lagi sesempit pada masa sebelumnya. Menurut Piaget,

anak usia 5-12 tahun konsepnya tentang keadilan sudah berubah.

Pengertian yang kaku tentang benar dan salah yang dipelajari dari

orang-tua menjadi berubah. Anak mulai memperhitungkan keadaan

khusus di sekitar pelanggaran moral. Relativisme moral meringankan

nilai moral yang kaku. Misalnya bagi anak umur 5 tahun berbohong

selalu buruk, sedang anak yang lebih besar sadar bahwa dalam

beberapa situasi berbohong dibenarkan dan tidak selalu buruk.35

Elizabeth B. Hurlock mengatakan bahwa anak yang masih

berada pada fase awal masa kanak-kanak melakukan pelanggaran

disebabkan ketidaktahuan terhadap peraturan. Dengan meningkatnya

usia anak, ia cenderung lebih banyak melanggar peraturan-peraturan

di rumah dan di sekolah ketimbang perilakunya waktu ia masih lebih

muda. Pelanggaran di rumah sebagian, karena anak ingin menegakkan

kemandiriannya, dan sebagian lagi karena anak sering menganggap

peraturan tidak adil, terutama apabila berbeda dengan peraturan-

peraturan rumah yang diharapkan dipatuhi oleh semua teman.

Meningkatnya. pelanggaran di sekolah disebabkan oleh kenyataan

bahwa anak yang lebih besar tidak lagi menyenangi sekolah seperti

ketika masih kecil, dan tidak lagi menyukai guru seperti ketika masih

duduk di kelas yang lebih rendah. Menjelang akhir masa kanak-kanak

pelanggaran semakin berkurang. Menurunnya pelanggaran adalah

karena adanya kematangan fisik dan psikhis, tetapi lebih sering karena

kurangnya tenaga yang merupakan ciri pertumbuhan pesat yang

34Ibid 35Elisabeth B. Hurlock, op. cit, hlm. 163

26

mengiringi bagian awal dari masa puber. Banyak anak prapuber yang

sama sekali tidak mempunyai tenaga untuk nakal.36

Dari uraian di atas, tentang perkembangan akhlak anak pada

akhir masa kanak-kanak, jelaslah bahwa anak berusaha untuk

menyesuaikan diri dengan aturan-aturan sosial di sekitarnya yang

apabila terjadi sesuatu pelanggaran akan mengakibatkan adanya

sanksi. Sebagai salah satu usaha untuk mengatasi pelanggaran,

diterapkan suatu disiplin yang disesuaikan dengan tingkat

perkembangan anak. Di samping itu, orang-tua perlu memberikan

pengertian tentang nilai-nilai kepada anak, dan membiasakan untuk

melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pada saatnya anak perlu diberi

ganjaran seperti pujian atas perlakuannya melaksanakan nilai-nilai

tersebut, yang sudah barang tentu pujian tersebut disesuaikan dengan

tingkat perkembangan anak.

Dengan demikian nyatalah bahwa perkembangan anak pada

fase ini baik perkembangan jasmani, intelektual, fantasi maupun

perasaan dan akhlak sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak

pada fase-fase berikutnya.

C. Kepribadian

1. Pengertian Kepribadian

Setiap orang dikenali dengan identitas masing-masing, tetapi

pengenalan kita terhadap seseorang sering tidak utuh sehingga "siapa dia"

yang sebenarnya sesungguhnya tidak dikenali. Ada seorang isteri yang

sudah hidup serumah dengan suaminya selama belasan tahun, tetapi tetap

belum mengenali suaminya secara utuh, dan kemudian pada usia

perkawinannya yang ke-20 ia dibuat kaget setelah mengenal "siapa"

sebenarnya suaminya itu. Siapa dia seutuhnya dari seseorang itulah yang

biasanya disebut sebagai kepribadian, atau syahshiyyah, atau personality.

Manusia sebagai makhluk yang berfikir dan merasa memang bisa

36Ibid, hlm. 163 – 164.

27

dibentuk kepribadiannya melalui proses pendidikan, atau tepatnya, bahwa

corak perjalanan hidup seseorang sangat besar peranannya dalam

membentuk kepribadiannya.37

Kepribadian38 merupakan terjemahan dari personality (Inggris),

persoonlijkheid (Belanda); personnalita (Prancis); personlichkeit

(Jerman); personalita (Itali); dan personalidad (Spanyol).39 Akar kata

masing-masing sebutan itu berasal dari kata Latin "persona" yang berarti

“kedok” atau "topeng", yaitu tutup muka yang sering dipakai oleh pemain

panggung, yang maksudnya untuk menggambarkan perilaku, watak atau

pribadi seseorang. Hal itu dilakukan karena terdapat ciri-ciri yang khas

yag hanya dimiliki oleh seseorang tersebut baik dalam arti kepribadian

yang baik, ataupun yang kurang baik. Misalnya untuk membawakan

kepribadian yang angkara murka, serakah dan sebagainya sering

ditopengkan dengan gambar raksasa, sedangkan untuk perilaku yang baik,

budiluhur, suka menolong, berani berkorban dan sebagainya ditopengkan

dengan seorang ksatria, dan sebagainya.40

Dengan demikian “topeng” yang dimaksud di atas yaitu topeng

yang dipakai oleh aktor drama atau sandiwara. Atau juga dari kata Latin

"personare" yang berarti to sound through (suara tembus). Dalam bahasa

Arab kontemporer, kepribadian ekuivalen dengan istilah syakhshiyyah.

Term syakhshiyyah bukan satu-satunya term yang dipergunakan untuk

menunjukkan makna personality. Ronald Alan Nicholson sebagaimana

dikutip Abdul Mujib misalnya, menyebut dua istilah yang menjadi

sinonimnya, yaitu al-huwiyyah dan al-dzatiyyah. Sementara dalam

37Achmad Mubarok, Psikologi Qur'ani, Pustaka Firdaus, Jakarta, hlm.82. 38Istilah "kepribadian" dalam beberapa literatur memiliki ragam makna dan

pendekatan. Sebagian psikolog ada yang menyebutnya dengan (1) personality (kepribadian) sendiri, sedang ilmu yang membahasnya disebut dengan The psychology of personality, atau theory of personality; (2) character (watak atau perangai), sedang ilmu yang membicarakannya disebut dengan the psychology of character atau characterologi; (3) type (tipe), sedang ilmu yang membahasnya disebut dengan typologi. Lihat Sumadi Suryabrata, Psikologi Kepribadian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1988, hlm. 1.

39Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 17

40Agus Sujanto, Halem Lubis dan Taufik Hadi, Psikologi Kepribadian, Bumi Aksara, Jakarta, 2004, hlm. 10

28

leksikologi bahasa Arab, dikenal juga istilah nafsiyyah yang berasal dari

kata nafs, istilah aniyyah (ada yang menyebut iniyyah) dari kata "ana",

dan istilah khuluqiyyah atau akhlaq. Istilah yang terakhir ini (akhlak) lebih

banyak ditemukan di dalam literatur Islam klasik.41

Adapun kata personality berasal dari kata "person" yang secara

bahasa memiliki arti: (1) an individual human being (sosok manusia

sebagai individu); (2) a common individual (individu secara umum); (3) a

living human body (orang yang hidup); (4) self (pribadi); (5) personal

existence or identity (eksistensi atau identitas pribadi); dan (6) distinctive

personal character (kekhususan karakter individu). Atau personality: (1)

Existence as a person (eksistensi sebagai orang); (2) The assemblage of

qualities, physical, mental, and moral, that set one apart from others

(kumpulan dari kualitas, phisik, mental, dan moral, yang menetapkan satu

terlepas dari orang yang lain); (3) Distinctive individuality, as, he is a man

of strong personality (Ciri khas yang membedakan, sebab ia adalah suatu

orang berprinsip kepribadian yang kuat); (4) A too intimate or offensive

remark about a person, as, don't indulge in personalities (Seorang teman

karib atau komentar yang menyerang tentang seseorang, jangan menurut

kesenangan diri kepribadian).42

Sedangkan dalam bahasa Arab, pengertian etimologis kepribadian

dapat dilihat dari pengertian term-term padanannya, seperti huwiyah,

aniyyah, dzatiyyah, nafsiyyah, khuluqiyyah, dan syakhshiyyah sendiri.

Masing-masing term ini meskipun memiliki kemiripan makna dengan kata

syakhsiyyah, tetapi memiliki keunikan tersendiri.43

Pengertian kepribadian dari sudut terminologi memiliki banyak

definisi, karena hal itu berkaitan dengan konsep-konsep empiris dan

41Abdul Mujib, op. cit, hlm. 18. 42Edward N. Teall, A.M. and C. Ralph Taylor A.M. (Editors), Webster's New

American Dictionary, Book, Inc, New York, 1958, hlm. 722. 43Masing-masing istilah itu jika disebut secara bersamaan maka masing-masing

istilah memiliki makna tersendiri, sesuai dengan spesifikasi masing-masing istilah. Namun apabila disebut salah satunya maka istilah yang disebut itu mewakili istilah yang lain.

29

filosofis tertentu yang merupakan bagian dari teori kepribadian. Konsep-

konsep empiris dan filosofis di sini meliputi dasar-dasar pemikiran

mengenai wawasan, landasan, fungsi-fungsi, tujuan, ruang lingkup, dan

metodologi yang dipakai perumus. Oleh sebab itu, tidak satu pun definisi

yang subtantif kepribadian dapat diberlakukan secara umum, sebab

masing-masing definisi dilatarbelakangi oleh konsep-konsep empiris dan

filosofis yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, tidak berkelebihan jika

Gordon W Allport (1897 – 1967) dalam studi kepustakaannya

menemukan sejumlah 50 definisi mengenai kepribadian yang berbeda-

beda yang digolongkan ke dalam sejumlah kategori.44

Dengan meminjam definisi Allport, kepribadian secara sederhana

dapat dirumuskan dengan definisi "what a man really is" (manusia

sebagaimana adanya). Maksudnya, manusia sebagaimana sunnah atau

kodratnya, yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Akan tetapi definisi itu oleh

Allport dianggap terlalu singkat untuk dapat digunakan, maka sampailah

ia pada definisi yang lebih terkenal berikut ini:

Kepribadian adalah organisasi yang dinamis dalam diri individu yang terdiri dari sistem-sistem psiko-fisik yang menentukan cara penyesuaian diri yang khas (unik) dari individu tersebut terhadap lingkungannya.45 Kata dinamis menunjukkan bahwa kepribadian bisa berubah-ubah,

dan antar berbagai komponen kepribadian (yaitu sistem-sistem psikofisik)

terdapat hubungan yang erat. Hubungan-hubungan itu terorganisir

sedemikian rupa sehingga secara bersama-sama mempengaruhi pola

perilakunya dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan.

44Menurut Allport definisi kepribadian dapat digolongkan menjadi tujuh macam,

yaitu; (1) arti etimologi dan sejarah timbulnya pengertian itu; (2) arti-arti teologis; (3) arti-arti filosofis; (4) arti-arti yuridis; (5) arti-arti sosiologis; (6) arti-arti lahiriah; dan (7) arti-arti psikologis. Sedangkan Sarlito Wirawan Sarwono mengategorikan definisi-definisi kepribadian dengan: (1) definisi anekawarna; (2) definisi integratif dan konfiguratif yang menekankan pada pengorganisasian sifat-sifat yang ada pada pribadi seseorang; (3) definisi hierarki; dan (4) definisi penyesuaian diri. Calvin S. Hall dan Gadner Lindzey, Teori-teori Sifat dan Behavioristik, jilid 3, Terj. Yustinus, judul asli, Theories of Personality, Kanisius, Yogyakarta,1993, hlm. 24. (selanjutnya disebut Hall dan Lindzey, Sifat). Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Umum Psikologi, Bulan Bintang, Jakarta,1982, hlm. 87.

45Hall dan Lindzey, Sifat, op.cit., hlm. 24.

30

Definisi yang luas dapat berpijak pada struktur kepribadian, yaitu

integrasi sistem kalbu, akal, dan hawa nafsu manusia yang menimbulkan

tingkah laku." Definisi ini sebagai bandingan dengan definisi yang

dikemukakan oleh para psikolog Psikoanalitik seperti Sigmund Freud46

dan Carl Gustav Jung.47

Dalam diri manusia terdapat elemen jasmani sebagai struktur

biologis kepribadiannya dan elemen ruhani sebagai struktur psikologis

kepribadiannya. Sinergi kedua elemen ini disebut dengan nafsani yang

merupakan struktur psikopisik kepribadian manusia. Struktur Nafsani

memiliki tiga daya, yaitu (1) qalbu yang memiliki fitrah ketuhanan

(ilahiyah) sebagai aspek supra-kesadaran manusia yang berfungsi sebagai

daya emosi (rasa); (2) akal yang memiliki fitrah kemanusiaan (insaniah}

sebagai aspek kesadaran manusia yang berfungsi sebagai daya kognisi

(cipta); dan (3) nafsu yang memiliki fitrah kehewanan (hayawaniyyah)

sebagai aspek pra atau bawah-kesadaran manusia yang berfungsi sebagai

daya konasi (karsa), Ketiga komponen fitrah nafsani ini berintegrasi untuk

mewujudkan suatu tingkah laku.

Jadi, dari sudut tingkatannya maka kepribadian itu merupakan

integrasi dari aspek-aspek supra-kesadaran (ketuhanan), kesadaran

(kemanusiaan), dan pra-atau bawah kesadaran (kebinatangan). Sedang

dari sudut fungsinya, kepribadian merupakan integrasi dari daya-daya

emosi, kognisi, dan konasi, yang terwujud dalam tingkah laku luar

(berjalan, berbicara, dan sebagainya) maupun tingkah laku dalam (pikiran,

perasaan, dan sebagainya).

46Kepribadian adalah "integrasi dari id, ego, dan super ego". J.P. Chaplin, Kamus

Lengkap Psikologi, Terj. Kartini Kartono, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1981, hlm. 362. 47Kepribadian adalah "integrasi dari ego, ketidaksadaran pribadi, ketidaksadaran

kolektif, kompleks-kompleks, arkhetip-arkhetip (archetypes), persona, dan anima." Ibid. .

31

2. Teori-Teori Kepribadian dan Pembentukannya

Memang agak aneh bahwa untuk menjelaskan keunikan individu,

para ahli belum memperoleh suatu pendekatan yang disepakati bersama.

Penelitian-penelitian sudah lama dan banyak sekali dilakukan. Hasil yang

diperoleh adalah banyaknya teori kepribadian yang ditawarkan. Tetapi

harus dikatakan bahwa tidak ada satu teoripun yang sempurna. Clifford T.

Morgan dkk (1986), memberi alasan bahwa kita tidak akan mampu

menguji semua teori yang disajikan secara menyeluruh. Itulah sebabnya

Sarlito Wirawan Sarwono menegaskan bahwa kepribadian adalah sebuah

konsep yang sangat sukar dimengerti dalam psikologi, meskipun istilah ini

digunakan sehari-hari.48

Ternyata dalam setiap teori kepribadian jelas terlihat bahwa ahli

yang bersangkutan menaruh perhatian khusus pada satu aspek atau

beberapa aspek kepribadian saja, maka teori-teori yang ada dapat

dipandang saling melengkapi dan bisa berguna pada tuntutan situasi-

situasi yang berlainan. Teori-teori kepribadian di antaranya:

a Teori Pendekatan Tipologis dan "Trait"

Teori kepribadian yang bersifat tipologis maupun "trait" lebih

menaruh perhatian pada ciri-ciri umum dari perilaku seseorang sehingga

bisa dikelompokkan dalam klasifikasi tertentu. Selain itu, pendekatan ini

memang lebih menekankan pada usaha-usaha untuk mendeskripsikan

kepribadian serta meramalkan perilaku dan kurang memperhatikan segi

proses serta perkembangannya.

Pendekatan tipologis sudah pernah dilakukan oleh Hipocrates

(460-377 SM), Bapak Ilmu Kedokteran, pada abad ke IV SM. la

mendasarkan tipologinya pada cairan-cairan tubuh yang mempengaruhi

temperamen seseorang. la membagi kepribadian menjadi empat tipe

menurut nama cairan yang mempengaruhinya, yaitu;

(1) Melankolik dipengaruhi oleh empedu hitam (murung, depresif)

48Sarlito Wirawan Sarwono, op. cit, hlm. 87

32

(b) Sanguinis dipengaruhi oleh darah (gembira, optimistik)

(c) Kholerik dipengaruhi oleh empedu kuning (mudah marah)

(d) Phlegmatik dipengaruhi oleh cairan lendir (tenang, lamban, tidak

mudah dirangsang)

Pada tahun 1935 seorang ahli bernama Kretchmer

mengemukakan teori kepribadian yang didasarkan pada bentuk tubuh

seseorang. Mereka yang berbentuk tubuh gemuk dan bulat digolongkan

sebagai Endomorph yaitu orang-orang yang mudah bergaul, periang,

dan santai. Sedangkan orang-orang yang tinggi kurus digolongkan

sebagai Ectomorph yang sangat serius, senang menyendiri, selalu

menjaga jarak dengan orang lain, dan amat perasa. Kemudian orang-

orang yang berbadan tegap dan atletis digolongkan sebagai Mesomorph,

agak cerewet, agresif, dan sangat aktif secara fisik.49

Tipologi Kretschmer (1925)

Pendekatan ini populer cukup lama, tetapi saat ini sudah tidak

digunakan lagi. Pendekatan tipologis yang saat ini banyak digunakan

adalah tipologi Introvert-Ekstrovert yang mula-mula dikembangkan oleh

Carl Gustav Jung (1875-1961) lalu dilanjutkan oleh H.J. Eyesenck. C.G.

Jung pada tahun 1921 menerbitkan bukunya Psychological Types.

Dalam buku ini ia mengatakan bahwa kepribadian manusia dapat dibagi

menjadi dua kecenderungan ekstrim berdasarkan reaksi individu

terhadap pengalamannya.

Pada kutub ekstrim pertama adalah kecenderungan introversi,

yaitu menarik diri dan tenggelam dalam pengalaman-pengalaman

batinnya sendiri. Orang yang mempunyai kecenderungan ini biasanya

tertutup, tidak terlalu memperhatikan orang lain, dan agak pendiam.

Kutub ekstrim yang lain adalah ekstroversi yaitu membuka dm dalam

49Irwanto dkk, Psikologi Umum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991, hlm. 229 –

230.

33

kontak dengan orang-orang, peristiwa-peristiwa, dan benda-benda di

sekitarnya.

Jung menambah 4 fungsi psikis yang mempengaruhi tipologinya,

yaitu sensasi dan intuisi sebagai faktor yang mempengaruhi bagaimana

individu mencerna informasi dari lingkungannya, serta berpikir dan

merasa sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi pertimbangan-

pertimbangannya dalam menghadapi pengalaman.

Bila keempat fungsi psikis tersebut kita gabungkan ke dalam

kategori ektroversi-inrroversi, maka akan terdapat delapan tipologi

kepribadian. Kalau tipologi Jung nampaknya terkotak-kotak secara

kaku, maka E.J. Eysenck beranggapan bahwa ektroversi-introversi

merupakan dua kutub dalam satu skala. Kebanyakan orang akan berada

di tengah-tengah skala itu, hanya sedikit orang-orang yang benar-benar

ekstrovert atau introvert.

Eysenck juga menambahkan dua dimensi baru yaitu stability

(keajegan) dan instability (ketakajegan) atau neurotisme. Jika kedua

dimensi ini digabungkan maka akan terbentuk suatu salib-sumbu (sistem

bidang ordinat) yang memiliki empat kuadran (bidang). Dalam tiap-tiap

bidang terdapat ciri-ciri kepribadian tertentu. Karena pendekatan seperti

ini Eysenck dianggap menjalankan pendekatan tipologis dan 'trait'

sekaligus.50

Pendekatan yang didasarkan pada trait juga berusaha

mendiskripsikan kepribadian. Suatu trait adalah karakteristik individu

yang sifatnya secara relatif tetap dan konsisten serta berbeda dari orang

yang satu dengan yang lainnya. Teoritisi yang melakukan pendekatan

salah satunya adalah Gordon W. Allport.

Cattell telah melakukan berbagai penelitian untuk menemukan

ciri-ciri dalam kepribadian manusia. Untuk memperoleh semua traits

yang ia pelajari Cattell menggunakan tiga sumber daya, yaitu: life

record data (L-data); question-nairre data (Q-data); dan objective test

50Agus Sujanto, op. cit, hlm. 24.

34

data (OT-data) dan semua data tersebut kemudian dianalisis

menggunakan metode statistik yang amat kompleks seperti analisis

faktorial dan multivariat.

Semua data yang terkumpul disebutnya sebagai personality

sphere yang terdiri dari berbagai traits. Beberapa trait hanya dimiliki

oleh orang-orang tertentu. Traits seperti ini, disebut source traits,

membedakan antara individu yang satu dengan yang lainnya. Source

traits tadi dalam perilaku sehari-hari tercermin dalam perilaku-perilaku

yang nampaknya sama dengan orang-orang lain, ini yang disebut

sebagai surface traits.

Pada tahun 1936, Allport dan Odbert mendaftar 17.953 kata

dalam bahasa Inggris yang digunakan untuk melukiskan perilaku

manusia. Setelah dikurangi oleh kata-kata yang mempunyai arti

tumpang tindih, tinggal 171 kata. Setiap kata dalam daftar ini dianggap

dapat mewakili suatu trait. Kemudian Allport berusaha

mengelompokkan trait itu ke dalam tiga kategori besar.

Ada traits yang amat dominan sehingga hampir semua perilaku

manusia dapat ditelusuri kembali ke arah traits ini. Traits yang sangat

luas cakupannya tetapi sangat berpengaruh ini disebut cardinal traits

dan biasanya diberi istilah mengikuti nama dari seorang tokoh sejarah,

seperti: Christlike; Machiavellian, Nixonian dsb.

Kategori kedua adalah central traits, suatu ciri-ciri kepribadian

yang cukup menonjol tetapi tidak seluas cardinal traits. Istilah yang

digunakan untuk melukiskan traits ini sama dengan yang dipakai dalam

suatu surat rekomendasi yang baik atau yang dipakai seorang rater

dalam menilai tingkah laku seseorang. Menurut Allport, jarang ada

orang yang memiliki lebih dari 12 central traits.51

Kategori terakhir adalah secondary traits, ciri-ciri yang hanya

berpengaruh pada situasi-situasi yang amat terbatas, seperti: "senang

cokelat", "suka mobil Jepang", dan sebagainya. Pada umumnya,

51Irwanto, dkk, op. cit, hlm.

35

pendekatan tipologis dan trait dikritik karena secara metodologis

diragukan reliabilitas pengambilan istilah-sitilah yang dipakai untuk

melukiskan trait. Selain itu pertanyaan filosofis timbul. Apakah

kepribadian kita sama dengan sejumlah trait yang kita miliki? Ada ahli

yang mengajukan 5 trait, tetapi ada juga yang lebih dari 20.

b Teori psikodinamika

Teori kepribadian yang bersifat psikodinamik berasal dari para

ahli yang sangat dipengaruhi oleh Sigmund Freud (1856-1939),

Bapak Psikoanalisis yang amat terkenal. Teori psikologi Freud

didasarkan atas keyakinannya bahwa dalam diri manusia terdapat suatu

energi psikis yang sangat dinamik. Sebagaimana hukum konservasi

energi, Freud juga beranggapan bahwa energi psikis bersifat kekal, tidak

bisa dihilangkan, dan bila dihambat akan mencari saluran lain.

Energi psikis inilah yang mendorong individu untuk bertingkah

laku. Menurut psikoanalisis energi psikis itu bersumber pada fungsi

psikis yang berbeda, yaitu: Id; Ego; dan Superego. Id merupakan bagian

yang paling primitif dalam kepribadian. Id merupakan sumber energi

utama yang memungkinkan manusia untuk bertahan hidup. Dorongan-

dorongan biologis dasar seperti untuk makan, minum dan seksual adalah

bagian dari Id Freud juga beranggapan bahwa agresivitas merupakan

suatu dorongan biologis, oleh karena itu ada dalam Id.

Karena agresivitas mengancam kelangsungan hidup organisme,

sedang dorongan-dorongan lain justru bermaksud menjamin

kelangsungan hidupnya, maka Freud beranggapan bahwa dalam Id

terdapat dua jenis energi yang bertentangan yaitu instink kehidupan dan

instink kematian. Instink kehidupan ini disebut libido. Kedua macam

instink ini sangat mempengaruhi kehidupan individu.52

Dorongan-dorongan dalam Id selalu ingin segera dipuaskan, dan

dalam pemuasannya Id selalu berusaha untuk menghindari

52Agus Sujanto, op. cit, hlm. 59 – 60

36

pengalaman-pengalaman yang tidak menyenangkan. Cara pemuasan

dorongan seperti ini disebut menuruti suatu prinsip kesenangan. Ada

dua cara pemuasan. Pertama pemuasan dilakukan lewat refleks-refleks

yang memang sudah ada sejak anak dilahirkan (refleks menghisap,

misalnya). Melalui refleks-refleks ini ketegangan yang timbul karena

munculnya dorongan atau kebutuhan dapat diturunkan (dikurangi).

Kedua, dengan cara menyajikan gambaran mental tentang objek yang

diinginkan. Ini disebut proses primer, dan pengalaman yang diperoleh

disebut wish-fulfillment (pemenuhan harapan).

Semakin anak berkembang proses primer bukan merupakan

sarana yang memuaskan untuk memenuhi kebutuhan dan mengurangi

tegangan. Dorongan untuk mendapat objek kebutuhan yang sebenarnya

makin kuat. Oleh karena itu, individu harus secara realistis berhubungan

dengan lingkungan. la harus dapat membedakan objek imajiner dengan

objek yang sebenarnya dalam lingkungan. Kebutuhan ini menghasilkan

suatu sumber energi psikis baru yang disebut Ego.

Ego adalah bagian "eksekutif" dari kepribadian. la berfungsi

secara logis/rasional berdasarkan prinsip kenyataan (reality principle)

dan proses sekunder yaitu suatu proses logis untuk melihat pada

kenyataan (reality testing) dalam usahanya menemukan cara pemuasan

dorongan Id secara realistis. Fungsi Ego ini berguna untuk menyaring

dorongan-dorongan yang ingin dipuaskan oleh Id berdasarkan

kenyataan.53

Pendidikan oleh orang tua maupun masyarakat atau lembaga

pendidikan formal pada tahap-tahap perkembangan selanjutnya

membantu individu mengembangkan sumber energi yang lain, yaitu

Superego. Pada bagian ini terdapat nilai-nilai moral, yang memberikan

batasan baik dan buruk. Nilai-nilai yang ada dalam Superego mewakili

nilai-nilai ideal. Oleh karena itu. Superego selalu berorientasi pada

kesempurnaan. Cita-cita dirinya pun diarahkan pada nilai-nilai ideal itu

53E. Koswara, Teori-Teori Kepribadian, PT Eresco, Bandung, 1991, hlm. 32 - 33

37

sehingga setiap orang memiliki suatu gambaran tentang dirinya yang

paling ideal (Ego ideal). Hadiah atau hukuman yang diterima

sehubungan dengan nilai-nilai ideal itu akan membentuk dalam dirinya

suara hati (concience). Inilah yang menyebabkan seorang bila

melanggar nilai-nilai tersebut akan timbul rasa bersalah.54

Bersama-sama dengan ego, superego mengatur dan

mengarahkan tingkah laku manusia yang bermaksud memuaskan

dorongan-dorongan dari Id, yaitu melalui aturan-aturan dalam

masyarakat, agama, atau keyakinan-keyakinan tertentu mengenai

perilaku yang baik dan buruk.

Selain membagi struktur kepribadian manusia berdasarkan

sumber energi psikisnya, Freud juga membagi aktivitas mental individu

dalam beberapa tingkatan berdasarkan sejauh mana individu menyadari

gejala-gejala psikis yang timbul.

Pertama adalah tingkat sadar atau kesadaran (conscious level).

Pada tingkat ini aktivitas mental bisa kita sadari setiap saat seperti

berpikir, dan persepsi. Sebagian dari Ego dan Superego kita selalu

berada pada tingkatan ini. Kedua adalah tingkat prasadar (preconsious

level), di mana kita bisa menyadari gejala-gejala psikis yang timbul

hanya bila kita memperhatikannya. Gejala-gejala seperti itu adalah

memori, pengetahuan-pengetahuan yang telah dipelajari, dan lain-lain.

Sebagian besar ego dan superego berada dalam tingkatan ini, yaitu

pengetahuan yang telah kita simpan dalam memori dan norma-norma

moral yang tidak kita butuhkan dalam situasi sehari-hari.55

Struktur kesadaran menurut Freud

Ketiga adalah tingkat tidak disadari (unconscious level), di mana

timbulnya gejala-gejala psikis sama sekali tidak kita sadari, sulit untuk

54Achmad Mubarok, Psikologi Dakwah, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1999, hlm. 53 - 55, 55Agus Sujanto, op. cit, hlm. 61 - 63

38

dijelaskan. Gejala-gejala seperti itu misalnya dorongan-dorongan moral,

pengalaman-pengalaman yang memalukan, harapan-harapan yang

irasional, dorongan-dorongan seksual yang tidak sesuai dengan norma-

norma masyarakat, dan lain-lain. Kecuali dalam situasi khusus, misalnya

dalam rangka suatu konseling atau psikoterapi, atau usaha-usaha yang

benar-benar diarahkan untuk mencari gejala-gejala seperti itu, maka kita

tidak menyadarinya. Dari tingkat inilah dorongan-dorongan Id kita

bermuara.

Tingkatan tak disadari ini merupakan objek studi utama

psikoanalisis. Ini dikatakan oleh Freud sendiri pada tahun 1942:

"Psikoanalisa bertujuan tak lebih untuk mencapai dan dapat

mengungkap kehidupan mental yang tidak disadari". Freud yakin bahwa

banyak perilaku manusia yang didorong oleh bagian ini.

Dalam perkembangan selanjutnya, teori Freud mengalami

banyak perubahan, baik oleh dirinya sendiri, maupun oleh para

pengikutnya seperti: Alfred Adier; Karen Homey; Erich Fromm, dan

lain-lain. Perubahan penting yang dilakukannya sendiri adalah mengenai

konsep libido. Pada mulanya Freud beranggapan bahwa libido ini

berasal dari dorongan seksual semata. Tetapi akhirnya Freud sendiri

beranggapan bahwa libido merupakan dorongan kehidupan yang jauh

lebih luas daripada dorongan-dorongan seksual.

Para pengikut Freud, seperti Karen Homey dan Erich Fromm,

menekankan pentingnya pengaruh lingkungan sosial terhadap

perkembangan kepribadian individu. Hal ini tidak disinggung secara

luas oleh Freud, bahkan ada kesan bahwa ia lebih mengandalkan pada

dorongan-dorongan yang bersifat biologis.56

Teori psikoanalisis Freud mempunyai dampak yang luar biasa

terhadap ilmu pengetahuan. Meskipun demikian banyak kritik

dilontarkan karena ia juga memakai metode instrospeksi, yang sulit

dibuktikan kebenarannya secara empiris, dan observasinya dilakukan

56Irwanto, op. cit, hlm. 241

39

hanya terhadap pasien-pasien yang terganggu emosinya. Oleh karena

itu, teori kepribadiannya agak diragukan. Kritik lain yang dikemukakan

adalah besarnya peranan libido sebagai dorongan seksual dan biologis

dasar dalam menentukan perilaku. Tetapi konsep ini telah ia perbaiki.