jbptunpaspp gdl trisvapara 1815 1 babi
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Kota Bandung adalah kota jasa yang merupakan salah satu pusat
perbelanjaan terbesar di Indonesia, dilihat dari mal-mal yang banyak didirikan dan
dipenuhi oleh sektor formal. Pada umumnya sektor formal menggunakan
teknologi maju, modal yang banyak, dan mendapat perlindungan pemerintah.
Bertumbuhnya sektor formal yang mendapat dukungan khusus oleh pemerintah,
belum secara tegas dibandingkan dengan dukungan terhadap sektor informal
jalan. Sektor informal adalah kegiatan perdagangan yang bersifat mudah dan
praktis karena menyangkut jenis barang, tata ruang, dan waktu, dan lebih banyak
ditangani oleh masyarakat golongan bawah, yang merupakan wujud dari
Pedagang Kaki Lima.
Permasalahan yang dihadapi Kota Bandung sebagai Ibu Kota Propinsi
Jawa Barat adalah permasalahan-permasalahan yang ditimbulkan oleh tumbuh
dan berkembangnya penduduk. Berdasarkan data dari Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil, jumlah penduduk kota Bandung tahun 2009 berjumlah 2.244.760
jiwa, pada tahun 2010 jumlah penduduk kota bandung mengalami peningaktan
sebesar 2.390.441 jiwa, dan hasil pemutakhiran data Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil Kota Bandung sampai akhir tahun 2011 jumlah penduduk Kota
Bandung sebanyak 2.537.232 jiwa. Pertumbuhan dan perkembangan penduduk
tersebut sebagai faktor alami dan faktor urbanisasi yang sulit terkendalikan.
2
Angka pertambahan penduduk urban Kota Bandung cukup tinggi. Jumlah data
penduduk kaum urban sebesar 292.472 jiwa yang terhitung dari pertambahan
penduduk selama tiga tahun terakhir yakni dari tahun 2009 hingga tahun 2011
(berdasarkan data dari Dinas Kependudukan Catatan Sipil Kota Bandung).
Pertumbuhan dan perkembangan penduduk merupakan potensi, tapi disisi lainnya
merupakan beban dan menjadi permasalahan kota. Salah satu yang menjadi
permasalahan adalah masalah pedagang kaki lima atau yang biasa disebut oleh
masyarakat PKL.
Kegiatan berdagang apabila ditata dan dikelola dengan baik akan
menimbulkan suatu dampak positif bagi perekonomian suatu daerah, begitu pun
sebaliknya apabila tidak ditata dan dikelola dengan baik maka kegiatan berdagang
ini dapat menimbulkan permasalahan bagi suatu daerah, terutama kawasan
perkotaan. Masalah tersebut dapat timbul diakibatkan pedagang tidak tepat dalam
memlih tempat usaha untuk menawarkan atau menjual barang dagangannya
kepada konsumen. Pedagang dapat digolongkan kedalam dua jenis, yaitu
pedagang yang menetap pada satu tempat yang memang diperuntukkan untuk
berdagang dan pedagang yang mobile yaitu pedagang yang berpindah-pindah dan
tidak memiliki tempat yang tetap, jenis pedagang yang kedua ini dapat disebut
sebagai pedagang kaki lima (PKL). Pedagang kaki lima ketika menawarkan atau
menjual barang dagangannya kepada konsumen cenderung selalu menempati
ruang publik sehingga keberadaannya sangat mengganggu aktivitas publik.
Beberapa tahun belakangan ini pemerintah kota Bandung disibukkan oleh
permasalahan menjamur serta merebaknya para pedagang kaki lima. Untuk
3
menyikapi permasalahan tersebut diperlukan suatu peraturan dan tindakan tegas
untuk melakukan penanganan terhadap pedagang kaki lima yang ada di kota
Bandung. Tindakan penanganan pedagang kaki lima didasari atas suatu kebijakan
publik, yaitu berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan
Daerah. Merujuk kepada peraturan dalam penanganan pedagang kaki lima
diantaranya adalah Keputusan Walikota Bandung No. 511.23/Kep.1779.Huk/2003
Tentang Pembentukan Tim Penertiban Dan Penataan Pedagang Kaki Lima Kota
Bandung yang diperkuat dengan Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 03 tahun
2005 yang isinya mengatur tentang Penyelenggaraan kebersihan, ketertiban dan
keindahan telah mendapat beberapa perubahan ketentuan yaitu keluarannya Perda
No. 11 Tahun 2005. Kebijakan publik tersebut tidak serta merta dibuat. Perlu
adanya implementasi agar kebijakan tersebut dapat berjalan. Oleh karena itu,
implementasi kebijakan perlu dilaksanakan agar kebijakan yang dimaksud benar-
benar dapat berjalan efektif untuk menanggulangi gangguan-gangguan yang
terjadi dan berfungsi sebagai alat untuk merealisasikan harapan atau tujuan yang
diinginkan.
Permasalahan pedagang kaki lima telah masuk ke dalam permasalahan
ketertiban umum, maka berdasarkan Peraturan Daerah kota Bandung No. 04
Tahun 2005 Tentang Pembentukan Dan Susunan Organisasi Satuan Polisi
Pamong Praja Kota Bandung, dibentuklah suatu organisasi Satuan Polisi Pamong
Praja Kota Bandung yang mempunyai tugas pokok memelihara dan
menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban umum, menegakkan Peraturan
Daerah, Peraturan Walikota dan Keputusan Walikota sebagai pelaksana Peraturan
4
Daerah. Berdasarkan Keputusan Walikota Bandung No.
511.23/Kep.1779.Huk/2003 Tentang Pembentukan Tim Penertiban Dan Penataan
Pedagang Kaki Lima Kota Bandung, menjelasakan bahwa pada susunan Tim
Penertiban Dan Penataan Pedagang Kaki Lima Kota Bandung, pelaksana harian
operasional di lapangan dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja Kota
Bandung.
Keputusan Walikota Bandung No. 511.23/Kep.1322-Huk/2001 Tentang
Lokasi Bebas Dari Kegiatan Pedagang Kaki Lima di Kota Bandung, menegaskan
tentang lokasi yang tidak boleh digunakan untuk berjualan. Lokasi bebas dari
kegiatan pedagang kaki lima ini dikenal dengan kawasan 7 titik, yaitu antara lain:
1. Kawasan Alun-alun kota Bandung dan sekitarnya
2. Jl. Dalem Kaum dan Jl. Dewi Sartika
3. Jl. Kepatihan
4. Jl. Asia-Afrika
5. Jl. Otto Iskandardinata, mulai dari pintu kereta api sampai dengan
Tegallega
6. Jl. Jendral Sudirman
7. Merdeka (BIP), mulai dari persimpangan Jl. Ir. H. Juanda dan Jl. L.L.R.E
Martadinata (Riau) sampai dengan Jl. Aceh.
Mempertimbangkan jumlah lokasi bebas dari kegiatan pedagang kaki lima
yang berjumlah 7 titik, maka untuk memfokuskan pembahasan ini peneliti
memilih beberapa tempat dalam pembahasan penertiban pedagang kaki lima di
kota Bandung. Adapun lokasi yang dipilih adalah 1 titik lokasi bebas dari kegiatan
5
pedagang kaki lima dari keseluruhan 7 titik lokasi bebas dari kegiatan pedagang
kaki lima yang ada di kota Bandung.
Lokasi yang dipilih oleh peneliti adalah kawasan Alun-alun kota Bandung
dan sekitarnya. Peneliti merasa tertarik untuk memilih kawasan Alun-alun kota
Bandung dan sekitarnya karena keberadaan lokasi tersebut sebagai pusatnya kota
Bandung yang memiliki nilai sejarah yang cukup kuat berkaitan dengan
perkembangan kota Bandung sejak zaman dulu, kawasan Alun-alun kota Bandung
sebagai pusat kota Bandung juga dapat berperan sebagai simbol kota Bandung
pada umumnya, di kawasan Alun-alun kota Bandung juga terdapat Masjid Raya
Propinsi Jawa Barat yang selain berfungsi sebagai tempat ibadah juga berfungsi
sebagai objek wisata religi yang memiliki daya tarik bagi masyarakat (wisata
keluarga) dari kota Bandung maupun dari luar kota Bandung, di kawasan Alun-
alun kota Bandung sebelah selatan juga terdapat Pendopo sebagai rumah dinas
dari Walikota Bandung. Tetapi sekarang ini di kawasan Alun-alun kota Bandung
banyak terdapat pedagang kaki lima yang tidak tertib dan berjualan seenaknya
sehingga memberikan kesan yang kumuh dan mengganggu kebersihan dan
keindahan kota, banyak pedagang kaki lima yang melanggar peraturan, khususnya
peraturan tentang lokasi kawasan Alun-alun dan sekitarnya yang harus bebas dari
kegiatan berjualan para pedagang kaki lima.
Mengingat keberadaan lokasi kawasan Alun-alun kota Bandung dan
sekitarnya sebagai pusat kota Bandung, sebagai ruang publik yang sering
digunakan masyarakat dan sebagai objek wisata religi serta bersebelahan dengan
Pendopo atau rumah dinas dari Walikota Bandung, maka keberadaan pedagang
6
kaki lima di kawasan tersebut harus ditangani dan ditertibkan agar di kawasan
Alun-alun kota Bandung dan sekitarnya dapat tercipta suatu kondisi yang tertib,
kondusif dan, tertata dengan baik, khususnya untuk mewujudkan kawasan Alun-
alun kota Bandung dan sekitarnya menjadi bersih dan indah serta untuk
mewujudkan kota Bandung sebagai kota jasa yang genah merenah tumaninah.
Berdasarkan hasil pengamatan yang peneliti lakukan pada Seksi Penertiban
Bidang Operasional Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandung, peneliti
menemukan permasalahan belum optimalnya kinerja pegawai. Permasalahan
tersebut dapat dilihat dari indikasi sebagai berikut :
1. Quality of work, hal ini terlihat dari pekerjaan yang dihasilkan pegawai
tidak sesuai dengan yang diharapkan. Contoh: Berdasarkan hasil
wawancara dengan Kepala Bidang Operasional, diketahui bahwa upaya
penertiban pedagang kaki lima berdasarkan Perda nomor 03 tentang K3
tahun 2005 pasal 37 dilakukan melalui razia rutin setiap hari mulai dari
pagi sampai dengan siang hari. Tetapi razia rutin yang dilakukan belum
menunjukkan keberhasilan, misalnya dengan masih banyaknya pedagang
kaki lima yang berjualan. Hal ini dari hasil pengamatan peneliti
menunjukkan bahwa pedagang kaki lima masih banyak yang berjualan,
disetiap kawasan tujuh titik seperti di halaman depan Masjid Raya Propinsi
Jawa Barat.
2. Quantity of work, jumlah kerja yang dilakukan dalam suatu periode tidak
tepat pada waktu yang telah ditentukan. Contohnya berdasarkan hasil
wawancara dengan Kepala Bidang Operasional dan berdasarkan prosedur
7
tetap (PROTAP) operasional tentang cara pelaksanaan ketertiban umum,
diketahui bahwa sebelum dilakukan tindakan penertiban pedagang kaki
lima maka terlebih dahulu dilakukan sosialisasi produk hukum (peraturan
daerah) dan adanya penetapan waktu pelaksanaan sosialisasi. Selama ini
pola sosialisasi yang dilakukan berdasarkan tiga tahapan, sosialisasi tahap
pertama yaitu berbentuk himbauan/peringatan kepada pedagang kaki lima
untuk tidak berjualan di tempat-tempat yang dilarang untuk berjualan dan
sosialisasi tahap pertama ini berlaku untuk jangka waktu 7 hari, apabila
himbuan atau peringatan tersebut tidak dihiraukan sesuai dengan jangka
waktu yang telah ditetapkan, maka dilakukan sosialisasi tahap kedua yang
sama dengan sosialisasi tahap pertama yaitu himbauan/peringatan dan
berlaku untuk jangka waktu 7 hari, kemudian apabila masih tidak
dihiraukan maka dilakukan sosialisasi tahap ketiga yaitu berbentuk
perintah kepada pedagang kaki lima untuk mengosongkan tempat yang
dilarang untuk berjualan dan perintah ini berlaku untuk jangka waktu 3
hari, apabila peringatan tahap tiga ini masih tidak dihiraukan maka
selanjutnya akan dilakukan tindakan represif penertiban pedagang kaki
lima. Kemudian berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Seksi
Penertiban Bidang Operasional bahwa seharusnya setelah perintah
pengosongan dengan penetapan jangka waktu 3 hari dan masih tidak
dihiraukan, maka pada hari ke-4 langsung dilakukan tindakan penertiban,
tetapi pada kenyataannya penertiban baru dilakukan pada harike-7 bahkan
8
terkadang lebih. Hal ini menunjukkan bahwa pegawai dalam melaksanakan
pekerjaan tidak sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.
Berdasarkan indikator-indikator diatas, masalah tersebut diduga oleh
implementasi kebijakan kawasan tujuh titik yang belum dilaksanakan secara
optimal. Hal ini terlihat dari, sebagai berikut :
1. Kurangnya sumber daya yang dimiliki. Sumber daya yang dimaksud
mencakup faktor-faktor yang mendorong dan memperlancar implementasi
kebijakan seperti jumlah pegawai/personil, sarana atau perlengkapan serta
dana yang dimiliki. Contohnya sumber-sumber kebijakan yang dimiliki
oleh pegawai Seksi Penertiban Bidang Operasional dalam upaya penertiban
pedagang kaki lima masih sangat kurang, jumlah pegawai/personil yang
dimiliki hanya berjumlah 170 orang padahal yang dibutuhkan bidang
operasional khususnya seksi penertiban membutuhkan ± 1000 personil dan
jumlah pegawai/personil tersebut bukan hanya melakukan tugas untuk
menertibkan pedagang kaki lima saja. Kemudian sarana atau perlengkapan
yang dimiliki masih kurang, Seksi Penertiban Bidang Operasional hanya
memiliki kendaraan operasional jenis mobil truk angkutan personil hanya 2
unit, kendaraan truk untuk mengangkut barang sebanyak 5 unit (rusak berat
2 unit), mobil operasional jenis kijang yang digunakan untuk berpatroli
yang berjumlah 4 unit dan diperuntukkan bagi Kepala Bidang Operasional
sebanyak 1 unit, Kepala Seksi sebanyak 2 unit, dan 1 unit lagi digunakan
untuk operasional bagi pegawai yang memerlukan, kemudian sepeda motor
operasional patroli sebanyak 18 unit, sepeda motor non patroli 12 unit,
9
sedangkan perlengkapan pakaian yang dimiliki seperti pakaian anti huru-
hara, tameng, helm, pentungan, pisau dan dahrim yang berfungsi sebagai
pelindung bagi pegawai di lapangan hanya berjumlah 50 pasang. Hal
tersebut diatas tentu saja menunjukkan bahwa jumlah pegawai atau personil
serta sarana atau perlengkapan yang dimiliki kurang sekali dan dirasa tidak
seimbang bila dibandingkan dengan lingkup tugas pegawai Seksi
Penertiban Bidang Operasional yang mencakup wilayah kota Bandung
secara keseluruhan dan dihadapkan pada jumlah pedagang kaki lima yang
semakin banyak. Kemudian berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala
Bidang Operasional, diketahui bahwa untuk mengajukan penambahan
jumlah pegawai atau personil untuk mencapai jumlah yang ideal dan
penambahan sarana atau perlengkapan operasional terkendala dengan dana
yang sangat terbatas.
2. Disposisi atau sikap para pelaksana di lapangan cenderung kurang bersikap
tegas terhadap pedagang kaki lima yang melakukan pelanggaran,
Contohnya untuk mensukseskan penertiban pedagang kaki lima, pegawai
Seksi Penertiban Bidang Operasional telah membangun pos di samping
kawasan Alun-alun kota Bandung, beberapa pleton pegawai/personil dan
kendaraan operasional pun selalu siap siaga di kawasan Alun-alun kota
Bandung. Tetapi berdasarkan hasil pengamatan yang peneliti lakukan,
bahwa kenyataan di lapangan pegawai/personil yang ada di kawasan Alun-
alun kota Bandung hanya berjaga-jaga di pos, ada juga yang hanya duduk
sambil mengobrol di dalam kendaraan operasional, di sekitar taman dan di
10
trotoar sebelah selatan kawasan Alun-alun kota Bandung tanpa menindak
tegas atau melakukan penertiban terhadap pedagang kaki lima yang
berjualan di kawasan tersebut. Hal ini tentu saja menunjukkan sikap yang
tidak tegas dari pegawai sehingga memberikan keleluasaan kepada
pedagang kaki lima untuk tetap berjualan.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih lanjut
permasalahan tersebut, untuk itu peneliti mengadakan penelitian yang hasilnya
dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul:
PENGARUH IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KAWASAN TUJUH TITIK
TERHADAP KINERJA PEGAWAI SEKSI PENERTIBAN BIDANG
OPERASIONAL PADA KANTOR SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KOTA
BANDUNG
1.2. Perumusan dan Identifikasi Masalah
1.2.1. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian sebagaimana diuraikan diatas,
maka yang menjadi masalah (problem statement) dalam penelitian ini adalah
Kinerja Pegawai Seksi Penertiban Bidang Operasional Pada Kantor Satuan
Polisi Pamong Praja Kota Bandung rendah. Hal ini diduga belum
dilaksanakannya implementasi kebijakan secara secara optimal.
1.2.2. Identifikasi Masalah
1. Bagaimana pengaruh implementasi kebijakan kawasan tujuh titik terhadap
kinerja pegawai seksi penertiban pada Satuan Polisi Pamong Praja Kota
Bandung.
11
2. Hambatan-hambatan apa saja yang menjadi penghambat dalam usaha
meningkatkan kinerja pegawai seksi penertiban pada Satuan Polisi
Pamong Praja Kota Bandung.
3. Usaha-usaha apa saja yang dilakukan untuk menanggulangi hambatan-
hambatan pengaruh implementasi kebijakan kawasan tujuh titik terhadap
kinerja pegawai seksi penertiban pada Satuan Polisi Pamong Praja Kota
Bandung.
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian
a) Menemukan data dan Informasi tentang sejauh mana pengaruh
implementasi kebijakan kawasan tujuh titik terhadap kinerja pegawai
seksi penertiban pada Kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kota
Bandung.
b) Mengembangkan data dan informasi mengenai pengaruh implementasi
kebijakan kawasan tujuh titik terhadap kinerja pegawai seksi penertiban
pada Kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandung.
c) Menerapkan data dan informasi mengenai pengaruh Implementasi
Kebijakan kawasan tujuh titik terhadap kinerja pegawai seksi penertiban
pada Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandung.
1.3.2. Kegunaan Penelitian.
a). Kegunaan Teoritis :
12
Memberikan sumbangan pemikiran dan memperkaya kepustakaan
dalam bidang Ilmu Administrasi Negara, khususnya tentang
implementasi kebijakan kawasan tujuh titik.
b). Kegunaan Praktis :
Diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran untuk menjadi
bahan alternatif pemikiran atau pertimbangan sebagai masukan bagi
kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandung yang berkaitan
dengan Pengaruh Implementasi Kebijakan Kawasan Tujuh Titik dan
kinerja pegawai.
c). Bagi Penulis :
Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk menambahkan wawasan
pengetahuan dan pengalaman yang berharga dalam menganalisis suatu
fenomena administrasi dan membandingkan dengan teori-teori yang
diperoleh sebelumnya.
1.4. Kerangka Pemikiran
Fokus dan lokus terhadap suatu sasaran dalam memecahkan masalah yang
dikemukakan peneliti, diperlukan adanya suatu anggapan dasar atau kerangka
pemikiran yang berupa dalil, hukum, teori serta pendapat dari para ahli yang
kebenarannya tidak dapat diragukan lagi. Kaitan dengan topik penyusunan bahan
usulan penelitian mengenai implementasi kebijakan kawasan tujuh titik terhadap
kinerja pegawai seksi penertiban bidang operasional pada Satuan Polisi Pamong
13
Praja Kota Bandung, maka peneliti mengemukakan pengertian yang berpedoman
kepada pendapat para ahli.
Menurut pendapat dari Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier yang
dikutip oleh Solihin Abdul Wahab (2001:65) dalam bukunya : Analisis
Kebijaksanaan Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara
sebagai berikut :
Implementasi adalah memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijaksanaan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan- kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.
Menurut pendapat Carl Fredrich mengenai kebijakan dalam Analisis
Kebijaksanaan Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara,
yang dikutip oleh Solihin Abdul Wahab (2001:3) mengemukakan sebagai
berikut :
Kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan.
Pelaksanaan kebijakan yang dikemukakan oleh Van Mater yang dikutip
oleh Solihin Abdul wahab (2001:65) dalam bukunya “Analisis Kebijaksanaan
dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara”, adalah sebagai
berikut:
14
Implementasi kebijaksanaan merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang sudah digariskan dalam keputusan kebijakan.
Menurut George C. Edward III yang dikutip oleh Widodo dalam bukunya
Analisis Kebijakan Publik” (1980:79), mengemukakan beberapa model yang
dapat mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi kebijakan, yaitu:
1. Komunikasi, Komunikasi diartikan sebagai proses penyampaian informasi komunikator kepada komunikan.;
2. Sumber daya, sumber daya itu dibagi menjadi beberapa bagaian, diantaranya : sumber daya meliputi sumber daya manusia, sumber daya anggaran, sumber daya sarana dan prasarana, sumber daya informasi, dan juga sumber daya kewenagan;
3. Disposisi atau sikap, merupakan kemauan, keinginan, dan kecenderungan para pelaku kebijakan untuk melaksanakan kebijakan secara bersungguh-sungguh sehingga apa yang menjadi tujuan kebijakan dapat diwujudkan;
4. Struktur Birokrasi, mencakup aspek-aspek seperti struktur organisasi, pembagian kewenangan, hubungan antara unit-unit organisasi yang ada dalam organisasi yang bersangkutan, dan hubungan organisasi dengan organisasi luar dan sebagainya.
Pengertian Kinerja yang dikemukakan oleh Bernandin & Russell yang
dikutip oleh Faustino Cardoso Gomes dalam bukunya “Manajemen
Sumbedaya Manusia” (2003:135) memberikan definisi Performansi sebagai
berikut:
“Performansi atau kinerja adalah catatan outcome yang dihasilkan dari fungsi suatu pekerjaan tertentu atau kegiatan selama satu periode waktu tertentu. Sedangkan penilaian performansi adalah suatu cara mengukur kontribusi-kontribusi dari individu-individu anggota organisasi kepada organisasinya. Jadi, penilaian performansi ini diperlukan untuk menentukan tingkat kontribusi individu, atau performansi.”
15
Berbicara tentang kinerja personil, erat kaitannya dengan cara
mengadakan penilaian terhadap pekerjaan seseorang sehingga perlu
ditetapkan standar kinerja atau standar performance.
Pengukuran kinerja merupakan salah satu faktor penting dalam
meningkatkan daya saing sebuah organisasi. Rancangan sistem pengukuran
kinerja yang akurat dan kontekstual merupakan jembatan emas kearah mana
keunggulan sebuah organisasi akan dibawa. Sehubungan dengan hal tersebut
menurut Gomes (2003:142) dalam bukunya Manajemen Sumber Daya
Manusia, mendefinisikan ke dalam delapan dimensi kinerja pegawai, yaitu :
1. Quantity of work, jumlah kerja yang dilakukan dalam suatu periode waktu yang ditentukan;
2. Quality of work, kualitas kerja yang dicapai berdasarkan syarat-syarat kesesuaian dan kesiapannya;
3. Job knowledge, luasnya pengetahuan mengenai pekerjaan dan keterampilan;
4. Creativeness, keaslian gagasan-gagasan yang dimunculkan dan tindakan-tindakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul;
5. Cooparation, kesediaan untuk bekerjasama dengan orang lain (sesama anggota organisasi);
6. Dependability, kesadaran dan dapat dipercaya dalam hal kehadiran dan penyelesaian kerja;
7. Initiative, semangat untuk melaksanakan tugas-tugas baru dan dalam memperbesar tanggungjawabnya;
8. Personal qualities, menyangkut kepribadian, kepemimpinan, keramah tamahan, dan integritas pribadi;
1.5. Keterkaitan Antara Kebijakan Publik Dan Kinerja Pegawai
Kebijakan publik yang berkualitas tidaklah hanya berisi cetusan pikiran
atau pendapat para administrator publik, tetapi harus berisi pula opini publik
16
sebagai representasi dari kepentingan publik. Oleh karena itu tugas utama
administrator atau pelaku yang melaksanakan kebijakan publik mempunyai
hubungan yang sangat erat sekali dengan kepentingan publik, dan untuk itu ia
harus memerhatikan terhadap masalah-masalah, kebutuhan-kebutuhan, dan
tuntutan-tuntutan yang ada dilingkungannya. Administrator publik sebagai pelaku
kebijakan merupakan salah satu komponen dari sistem kebijakan publik.
Menurut Goggin yang dikutip oleh Tacjhan (2008 : 82) dalam bukunya
implementasi kebijakan publik mengemukakan :
Dalam implementasi kebijakan publik, organisasi (birokrasi) publik yang berperan dominan sebagai implementator, kinerjanya secara internal akan ditentukan oleh kapasitas organisasi yang dimiliknya.
Dalam pendapat Goggin, kinerja organisasi secara internal akan ditentukan
oleh kapasitas organisasi atau administratif yang dimilkinya, adapun kapasitas
organisasi tersebut adalah mengacu pada kemampuan tindakan yang dimaksudkan
oleh organisasi. Dimana kapasitas ini merupakan suatu fungsi dari struktur,
personil, dan karakteristik finansial yang dimiliki oleh badan pemerintahan
sebagai implementing organization.
Berdasarkan kepada teori-teori yang telah dikemukakan diatas, dapat
dikemukakan bahwa, kapasitas organisasi (birokrasi) publik dalam mencapai
kinerjanya dalam implementasi kebijakan publik secara internal akan ditentukan
oleh struktur organisasi (birokrasi), sumber daya organisasi (birokrasi), dan
budaya organisasi (birokrasi).
17
1.6. Hipotesis
Berdasarkan identifikasi masalah dan kerangka pemikiran diatas, maka
dapat disusun hipotesis penelitian ini sebagai berikut :
Jika implementasi kebijakan berdasarkan model implementasi kebijakan
maka kinerja pegawai seksi penertiban bidang operasional pada Kantor Satuan
Polisi Pamong Praja Kota Bandung meningkat.
Berdasarkan hipotesis tersebut, maka untuk mempermudah dalam
pengajuan hipotesis, peneliti mengajukan definisi operasional sebagai berikut :
1. Pengaruh adalah menunjukan seberapa besar keterkaitan atau pengaruh
antara implementasi kebijakan kawasan tujuh titik terhadap kinerja Pegawai
di Kantor Satuan Polisi Pamong Praja.
2. Implementasi kebijakan adalah pelaksanaan dan pengendalian arah tindakan
kebijakan yang dilakukan oleh pegawai Satuan Polisi Pamong Praja Kota
Bandung langsung dilaksanakan dilapangan untuk menertibkan sesuatu
yang melanggar peraturan yang telah ditetapkan. Hal itu didasarkan pada
dimensi-dimensi sebagai berikut : komunikasi, sumber daya, disposisi atau
sikap, dan struktur birokrasi.
3. Kinerja pegawai tentang penertiban adalah hasil kerja yang dapat dicapai
oleh Pegawai Kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandung, sesuai
dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam rangka upaya
mencapai tujuan Satuan Polisi Pamong Praja secara legal, tidak melanggar
hukum sesuai dengan moral maupun etika serta berdasarkan dimensi-
dimensi yang memengaruhi kinerja pegawai yaitu : quantity of work, quality
18
of work, job knowledge, creativeness, cooperations, dependabiliity,
initiative, dan personal qualities.
1.7. Lokasi Dan Lamanya Penelitian
1.7.1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian di Kantor Satuan Polisi Pasmong Praja Kota Bandung di
Jl. Pelajar Pejuang 45 Buah Batu Bandung.
1.7.2. Lamanya Penelitian
Lamanya penelitian yaitu, tahap Penjajagan yang dilaksanakan pada
tanggal 10 Januari 2012 s/d 25 Januari 2012, dan pelaksanaan penelitian dari
bulan Januari sampai dengan bulan Mei 2012.