ipd- dm indo

12
II. Diagnosis Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadarglukosa darah, tidak dapat ditegakkan hanya atas dasar adanya glukosuriasaja. Dalam menegakkan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darahyang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis DM,pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan caraenzimatik dengan bahan glukosa darah plasma vena. Untuk memastikandiagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah seyogyanya dilakukan dilaboratorium klinik yang terpercaya . Untuk memantau kadar glukosa darahdapat dipakai bahan darah kapiler. Saat ini banyak dipasarkan alatpengukur kadar glukosa darah cara reagen kering yang umumnya sederhanadan mudah dipakai. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah memakaialat-alat tersebut dapat dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan denganbaik dan cara pemeriksaan sesuai dengan cara standar yang dianjurkan.Secara berkala , hasil pemantauan dengan cara reagen kering perludibandingkan dengan cara konvensional. A. Pemeriksaan Penyaring Pemeriksaanpenyaring yang khusus ditujukan untuk DM pada penduduk umumnya(mass-screening = pemeriksaan penyaring) tidak dianjurkan karenadisamping biaya yang mahal, rencana tindak lanjut bagi mereka yangpositif belum ada. Bagi mereka yang mendapat kesempatan untukpemeriksaan penyaring bersama penyakit lain (general check up) , adanyapemeriksaan penyaring untuk DM dalam rangkaian pemeriksaan tersebutsangat dianjurkan. Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok dengan salah satu faktor risiko untuk DM, yaitu : - kelompok usia dewasa tua (>45 tahun ) - kegemukan {BB (kg)>120% BB idaman atau IMT>27 (kg/m 2 )} - tekanan darah tinggi (>140/90 mmHg) - riwayat keluarga DM - riwayat kehamilan dengan BB lahir bayi>4000 gram - riwayat DM pada kehamilan - dislipidemia (HDL<35 mg/dl dan atau Trigliserida>250 mg/dl - pernah TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) atau GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu) B. Langkah-langkah untuk menegakkan diagnosis Diabetes Melitus Diagnosisklinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupapoliuria, polidipsia, polifagia, lemah, dan penurunan berat badan yangtidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakanpasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur dan impotensia pada pasienpria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan khas,pemeriksaan glukosa darah sewaktu³ 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa ³126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompoktanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satukali saja abnormal , belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis klinisDM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan menddapatkan sekali lagiangka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa³126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu³200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) yang abnormal. Cara pelaksanaan TTGO (WHO 1985) - 3 (tiga) hari sebelumnya makan seperti biasa, kegiatan jasmani secukupnya, seperti yang biasa dilakukan - puasa semalam, selama 10-12 jam - kadar glukosa darah puasa diperiksa - diberikan glukosa 75 gram atau 1,75 gram/kgBB, dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum selama/dalam waktu 5 menit - diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa; selama pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok. Hasil pemeriksaan glukosa darah setelah 2 jam pasca pemberian pembebanan dibagi menjadi 3 yaitu apabila hasil glukosa darah < 140 mg/dl, maka dinyatakan normal ; 140 - <200 mg/dl maka dinyatakan adanya toleransi glukosa darah terganggu ; > 200 mg/dl dinyatakan DM.

Upload: hildan-marley

Post on 15-Jan-2016

78 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

penyakit diabetes melitus penatalaksanaan, diagnosis, manifestasi klinis

TRANSCRIPT

Page 1: IPD- dm indo

II. Diagnosis

Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadarglukosa darah, tidak dapat ditegakkan hanya atas dasar adanya glukosuriasaja. Dalam menegakkan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darahyang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis DM,pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan caraenzimatik dengan bahan glukosa darah plasma vena. Untuk memastikandiagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah seyogyanya dilakukan dilaboratorium klinik yang terpercaya . Untuk memantau kadar glukosa darahdapat dipakai bahan darah kapiler. Saat ini banyak dipasarkan alatpengukur kadar glukosa darah cara reagen kering yang umumnya sederhanadan mudah dipakai. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah memakaialat-alat tersebut dapat dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan denganbaik dan cara pemeriksaan sesuai dengan cara standar yang dianjurkan.Secara berkala , hasil pemantauan dengan cara reagen kering perludibandingkan dengan cara konvensional.

A. Pemeriksaan Penyaring

Pemeriksaanpenyaring yang khusus ditujukan untuk DM pada penduduk umumnya(mass-screening = pemeriksaan penyaring) tidak dianjurkan karenadisamping biaya yang mahal, rencana tindak lanjut bagi mereka yangpositif belum ada. Bagi mereka yang mendapat kesempatan untukpemeriksaan penyaring bersama penyakit lain (general check up) , adanyapemeriksaan penyaring untuk DM dalam rangkaian pemeriksaan tersebutsangat dianjurkan.

Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok dengan salah satu faktor risiko untuk DM, yaitu :

- kelompok usia dewasa tua (>45 tahun ) - kegemukan {BB (kg)>120% BB idaman atau

IMT>27 (kg/m2)} - tekanan darah tinggi (>140/90 mmHg) - riwayat keluarga DM - riwayat kehamilan dengan BB lahir bayi>4000 gram - riwayat DM pada kehamilan - dislipidemia (HDL<35 mg/dl dan atau

Trigliserida>250 mg/dl - pernah TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) atau

GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu)

B. Langkah-langkah untuk menegakkan diagnosis Diabetes Melitus

Diagnosisklinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupapoliuria, polidipsia, polifagia, lemah, dan penurunan berat badan yangtidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakanpasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur dan impotensia pada pasienpria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan khas,pemeriksaan glukosa darah sewaktu³ 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa ³126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompoktanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satukali saja abnormal , belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis klinisDM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan menddapatkan sekali lagiangka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa³126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu³200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) yang abnormal.

Cara pelaksanaan TTGO (WHO 1985)

- 3 (tiga) hari sebelumnya makan seperti biasa, kegiatan jasmani secukupnya, seperti yang biasa dilakukan

- puasa semalam, selama 10-12 jam - kadar glukosa darah puasa diperiksa - diberikan glukosa 75 gram atau 1,75

gram/kgBB, dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum selama/dalam waktu 5 menit

- diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa; selama pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.

Hasil pemeriksaan glukosa darah setelah 2 jam pasca pemberian pembebanan dibagi menjadi 3 yaitu apabila hasil glukosa darah < 140 mg/dl, maka dinyatakan normal ; 140 - <200 mg/dl maka dinyatakan adanya toleransi glukosa darah terganggu ; > 200 mg/dl dinyatakan DM.

Page 2: IPD- dm indo

Kriteria diagnostik Diabetes Melitus*

1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena)³200 mg/dl , atau 2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena)³126 mg/dl (Puasa berarti tidak ada masukan kalori sejak 10 jam terakhir ) atau Kadar glukosa plasma³200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram pada TTGO**

* Kriteria diagnostik tsb harusdikonfirmasi ulang pada hari yang lain, kecuali untuk keadaan khashiperglikemia dengan dekompensasi metabolik akut, seperti ketoasidosisatau berat badan yang menurun cepat. **Cara diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin diklinik. Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada semua individu dewasa dengan IMT > 25 kg/m2 dengan faktor resiko lain sebagai berikut : 1) aktivitas fisik kurang, 2) riwayat keluarga mengidap DM pada keuturunan pertama, 3) masuk kelompok etnik resiko tinggi, 4) wanita dengan riwayat melahirkan bayi dengan berat >4000 gram awau riwayat diabetes melitus gestasional, 5) Hipertensi, 6) Kolesterol HDL <35mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL, 7) Wanita dengan sindrom kistik ovarium, 8) riwayat Toleranesi glukosa terganggu atau glukosa darah puasa terganggu, 9) keadaan lain yang berhubungan dengan resistensi insulin, dan 10) riwayat penyakit kardiovaskular.

Diagnosis Banding

Diabetes melitus tipe lain selain tipe dua memiliki banyak kesamaan dalam gejala-gejala yang timbul dan manifestasi klinis. Manifestasi klinis setiap diabetes melitus yaitu peningkatan kadar glukosa darah yang akan menyebabkan berbagai komplikasi akut dan komplikasi kronis. Diabetes yang sering ditemukan yaitu diabetes tipe 1 dan diabetes tipe 2. Meski sama-sama berhubungan dengan kelebihan gula di dalam darah, diabetes tipe 1 dan 2 punya beberapa perbedaan yang sangat mendasar. Penyebabnya sangat berbeda, pengobatan dan cara pencegahannya juga tidak bisa disamakan begitu saja. Perbedaan pertama terletak pada usia pasien saat pertama kali didiagnosis. Diabetes tipe 1 lebih banyak menyerang pasien di bawah umur 20 tahun sehingga sering disebut juvenile onset, sebaliknya tipe 2 menyerang usia 35 tahun ke atas atau disebut adult onset. Penggunaan istilah juvenile onset dan adult onset saat ini sudah dihilangkan, sebab pada kenyataannya diabetes tipe 1 dan 2 bisa menyerang usia berapapun. Hanya saja, kecenderungannya masih sama yakni tipe satu lebih banyak menyerang di usia muda dan tipe 2 di usia tua. Selanjutnya adalah postur dan perawakan pengidapnya. Pasien diabetes tipe 1 umumnya memiliki perawakan kurus, sedangkan diabetes tipe 2 lebih banyak menyerang orang-orang bertubuh besar yang dikategorikan kelebihan berat badan (overweight) maupun obesitas. Diabetes tipe 1 dan 2 juga dibedakan berdasarkan penyebabnya. Diabetes tipe 1 disebabkan oleh kerusakan pankreas sehingga produksi insulin berkurang, sementara tipe 2 disebabkan oleh resistensi insulin dalam arti insulinnya cukup tetapi tidak bekerja dengan baik dalam mengontrol kadar gula darah. Karena penyebabnya berbeda, pengobatan kedua tipe diabetes ini juga tidak sama. Pengidap diabetes tipe 1 membutuhkan insulin dalam bentuk suntikan maupun pompa insulin sedangkan pasien diabetes tipe 2 cukup mengonsumsi obat oral atau obat telan. Diabetes tipe 1 susah diprediksi dan dicegah, sebab merupakan kelainan genetik yang dibawa sejak lahir. Lain halnya dengan diabetes tipe 2 yang sangat bisa dicegah, karena biasanya menyerang orang-orang dengan pola makan tidak sehat dan jarang berolahraga. Dilihat dari perbandingan jumlah kasus, diabetes tipe 1 mencakup 10-15 persen dari jumlah seluruh pengidap diabetes. Dikutip dari ABC News, Senin (20/2/2012), jumlah kasus diabetes tipe 2 terutama di negara maju dan berkembang mencapai 85-90 persen dari seluruh

Page 3: IPD- dm indo

pengidap diabetes semua tipe. Pada diabetes tipe 2 faktor predisposisi yang sangat mencolok adalah adanya obesitas sedangkan hal terserbut tidak ditemukan pada diabetes tipe 1. Komplikasi-komplikasi akut seperti adanya koma ketoasidosis, koma hiperosmolar lebih sering ditemukan pada diabetes tipe 1. hal ini terjadi karena adanya kerusakan dari sel beta pankreas. Kerusakan ini menyebabkan tidak terkendalinya diabetes melitus dengan kadar gula darah yang biasanya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan diabetes tipe lainnya. Kerusakan ini biasanya ditimbulkan oleh adanya antibodi terhadap sel beta pankreas, dan tidak ditemukan pada diabetes tipe 2.

Page 4: IPD- dm indo

Etiologi & Klasifikasi Diabetes Melitus Secara klinis terdapat duam macam diabetes tetapi sebenarnya ada yang berpendapat diabetes hanya merupakan spektrum defisiensi insulin. Indifidu yang kekurangan insulin secara total atau hampir total dikatakan sebagai diabetes “Juvenile onset” atau “insulin dependent” atau “ketosis prone”, karena tanpa insulin dapat terjadi kematian dalam beberapa hari yang disebabkan ketoasidosis. Pada ekstrem yang lain terdapat individu yang “stable” atau “maturity onset” atau “non insulin dependent”. Orang-orang ini hanya menunjukan defisiensi insulin yang relatif dan walaupun banyak diantara mereka mungkon memerlukan suplementasi insulin, tidak akan terjadi kematian karena ketoasidosis walaupun insulin eksogen dihentikan. Bahkan diantara mereka mungkin terdapat kenaikan jumlah insulin secara absolut bila dibandingkan dengan orang normal, tetapi ini biasanya berhubungan dengan obesitas dan atau inaktifitas fisik. Kedua kelompok besar diatas dapat dibagi lagi atas kelompok kecil. Pada satu kelompok besar “IDDM: atau Diabetes tipe 1, terdapat hubungan dengan HLA tertentu pada kromosom enam dan benerapa auto imunitas serologik dan cell-mediated. Infeksi virus pada atau dekat sebelum onset juga disebut-sebut berhubungan dengan patogenesis diabetes. Pada percobaan binatang, virus dan toksin diduga berpengaruh pada kerentanan proses auto-imunitas ini. Kelompok besar lainnya (NIDDM atau diabetes tipe 2) tidak mempunyai hubungan dengan HLA, virus atau autoimunitas dan biasanya mempunyai sel beta yang masih berfungsi, sering memerlukan insulin tetapi tidak bergantung pada insulin seumur hidup.

Page 5: IPD- dm indo

Patogenesis

Insulin sendiri memiliki beberapamekanisme kerja dalam mengatur homeostatsis tubuh antara lain yaitu pada sel lemak, otot dan hati. Pada jaringan lemak akan meningkatkan uptake glukosa, lipogenesis dan menurunkan lipolisis. Insulin pada sel otot akan meningkatkan sintesis dari glikogen, ambilan glukosa dan sintesis protein otot. Sedangkan pada hati akan menurunkan glukoneogenesis, sintesis glikogen dan penurunan lipogenesis. Keseluruhan mekanisme kerja dari insulin ini menyebabkan penurunan kadar glukosa darah. Oleh karena itu apabila terjadi kerusakan dari sel beta langerhans akan menyebabkan kekurangan insulin dalam darah. Kekurangan insulin dalam darah akan mempengaruhi sel otot, sel lemak dan sel hati dengan efek yang terjadi merupakan kebalikan dari efek kerja insulin seperti yang telah disebutkan diatas. Kekurangan pembentukan sel otot, sel lemak dan pemecahan glikogen hati akan menyebabkan polifagia. Efek langsung dari insulin yaitu menyebabkan hiperglikemia. Ditambah dengan peningkatan glukoneogenesis akan meningkatkan pembentukan benda keton dari pemecahan lemak akan menyebabkan kerusakan dari ginjal. Kerusakan ginjal akan menyebabkan salah satu gejala khas dari DM sendiri yaitu poliuria. Poliuria akan menyebabkan kekurangan cairan tubuh yang hebat. Kekurangan ini disertai dengan peningkatan ktekanan osmotik dari darah akan menyebabkan rasa haus yang hebat. Apabila jumlah intake cairan mencukupi dan ditambah dengan ketosis maka akan menyebabkan koma diabetes.

I.Hiperglikemia : pemicu progresi disfungsi sel beta pankreas Disfungsi sel beta tahap awal seperti telah dikemukakan, didapatkan dalam bentuk abnormalitas fase 1 dari sekresi insulin ( acute insulin responce = AIR ). Kelainan ini merupakan penyebab dari meningkatnya kadar glukosa darah secara berlebihan segera sesudah makan, yang disebut hiperglikemia akut postprandial ( HAP ). Perlu diingat bahwa disfungsi sel beta tidak bekerja sendiri, tapi disertai defek genetik lainnya yakni faktor insulin resistance, menyebabkan terjadinya hiperglikemia. Hiperglikemia sebagai manifestasi gangguan metabolisme karbohidrat, bila tidak tertanggulangi, segera akan diikuti pula oleh gangguan metabolisme lainnya seperti lipid. Akibatnya, keadaan akan semakin diperburuk oleh beban biokimiawi ganda yang merusak kinerja sel beta. Hiperglikemia yang diikuti oleh hiperlipidemia, dalam hal ini peningkatan asam lemak bebas dalam darah, akan berakibat gangguan fungsi sel beta. Hal ini disebabkan oleh terjadinya peningkatan kadar glukosa ataupun asam lemak bebas secara berlebihan (excess fuel substrate) dalam sel beta, suasana yang justru akan menjadi penghambat proses sekresi insulin.

Secara pasti, bagaimana tahapan perjalanan penyakit seseorang sampai diabetes muncull kepermukaan, masih belum begitu jelas.Tidak dapat diramalkan bahwa perjalanan diabetes seseorang akan persis sama dengan yang lainnya dalam hal bentuk dan waktu munculnya satu kelainan. Berbagai variasi perjalanan penyakit justeru merupakan cerminan dari berbagai

Page 6: IPD- dm indo

variasii faktor etiologi ( poligenik ), serta faktor lingkungan yang berperan. Namun satu hal disepakati, bahwa gangguan sekresi dan gangguan aksi insulin yang bersifat genetik telah harus diterima sebagaimana adanya ( unmodifiable ), sedangkan faktor lingkungan ( acquired ) dapat diintervensi. Kombinasi kedua faktor tersebut merupakan elemen yang penting dalam patogenesis. Perjalanan penyakit ditentukan oleh dampak interaksi antara faktor genetik dengan faktor lingkungan. Intervensi terhadap life style, pola makan yang kelebihan kalori, termasuk pengendalian glukosa darah, terbukti memberi dampak positif terhadap perjalanan penyakit. Dengan perkataan lain, hadirnya faktor ini akan memperburuk toleransi tubuh terhadap glukosa, yang berarti mempercepat laju perjalanan penyakit Apa yang terjadi akibat buruknya pola makan ataupun faktor lingkungan lainnya, adalah perubahan pada homeostasis terutama diawali oleh hiperglikemia. Lingkungan ( homeostasis ) dengan kadar glukosa yang tinggi bersifat toksik terhadap tubuh secara langsung atau tidak langsung Glucose toxicity merupakan faktor penting yang berperan dalam proses kemunduran fungsi sell beta dalam sekresi insulin. Pada keadaan normal, glukosa diperlukan sebagai stimulator sel beta dalam produksi insulin. Glukosa ekstraseluler dengan bantuan GLUT 2 akan berada didalam sel beta untuk kemudian akan menjalani proses fosforilasi dan glikolisis. Proses yang menghasilkan ATP ini yang nantinya menyebabkan insulin disekresikan dari sel beta. Ini terjadi melalui rangsangan yang menutup K channel , berlanjut dengan depolarisasi membran sel, sehingga Ca channel jadi membuka untuk memungkinkan masuknya Ca ++ yang berguna bagi pelepasan insulin keluar melewati membran. Proses yang fisiologis ini tidaklah terjadi seperti demikian pada mereka yang memiliki defek genetik pada sel beta. Dimana persisnya lokasi defek tersebut sampai saat ini belum dapt dipastikan. Kemungkinan tempat terjadinya kelainan adalah pada tahap glucose signaling atau pada tahap depolarisasi membran atau mungkin juga pada tahap sintesis dari insulin itu sendiri. Penelitian menunjukkan bahwa pada tahap TGT, transportasi glukosa oleh GLUT 2 dan ekspresi dari glukokinase masih berlangsung normal. Kemungkinan kelainan terdapat pada proses transkripsi dan translasi.

Telah dikemukakan diatas, bahwa defek yang terjadi berjalan tahap demi tahap, sehingga dari waktu kewaktu terjadi peningkatan intoleransi terhadap glukosa. Meningkatnya kadar glukosa intrasel ( beta ) merupakan faktor yang menyebabkan proses perburukan kinerja sel beta dalam sekresi insulin. Kerusakan pada tahap permulaan masih sebatas tidak adekuatnya fase 1, yang makin lama makin mengalami defisiensi, namun masih diusahakan kompensasi pada fase 2. Pada tahap lanjut bahkan fase 2 pun kepayahan ( exhausted ) sehingga terjadi defisiensi insulin secara absolut. Kelainan metabolisme yang terlihat dimulai dari toleransi glukosa normal, diikuti toleransi glukosa terganggu, dan akhirnya diabetes. Keadaan patologis diatas diperkirakan dapat berlangsung secara cepat atau lambat tergantung pada faktor pemicu ( trigger ) kerusakan, dalam hal ini seberapa tinggi derajat hiperglikemia dan seberapa lama keadaan tersebut dibiarkan berlangsung. Disamping itu, terdapat satu hal penting lainnya, faktor yang justru tidak dapat dikendalikan, yakni seberapa besar faktor genetik yang melatar belakanginya. Secara tidak langsung, akibat gangguan metabolisme karbohidrat pada gilirannya akan berpengaruh pada metabolisme lainnya termasuk lipid. Gangguan pada metabolsme lipid akan meningkatkan pelepasan asam lemak bebas kedalam darah. Peningkatan asam lemak bebas ( free fatty acid = FFA ) dalam darah kemudian dalam sel beta, berdampak sama dengan glukosa, yakni memperburuk fungsi sel beta dalam sekresi insulin ( lipotoxicity )

Page 7: IPD- dm indo

Seperti dikemukakan diatas, masih banyak yang belum begitu jelas mengenai mekanisme sesungguhnya dari insulin resistance. Bagian yang paling rumit dan masih belum terungkap secara jelas adalah pada fase 2 ( post signaling ) dari proses utilisasi glukosa dalam sel ( Suryohudoyo, 2000 ) Insulin resistance secara patogenesis mengalami peningkatan oleh karena adanya interaksi faktor genetik dengan faktor lingkungan ( enviromental factors ).Salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh adalah obesitas yang terkait dengan kebiasaan makan berlebihan dan kekurangan aktifitas fisik. Interaksi kedua faktor tersebut secara klinis akan memberikan gejala hiperglikemia yang terjadi secara langsung atau tidak langsung Hiperglikemia yang kronis ( glucose toxicity ), pada gilirannya akan memberi dampak desensitisasi jaringan terhadap insulin ( insulin desensitisizer ).

II.Hiperglikemia : pemicu proses penurunan aksi insulin

Disamping peningkatan kadar glukosa plasma, asam lemak bebas yang ditemukan dalam serum dengan kadar tinggi juga berkaitan dengan insulin resistance . Hiperlikemia kronis ( glucose toxicity ) akan berakibat penurunan ambilan glukosa di otot oleh karena terjadinya gangguan pada translokasi GLUT 4, aktifasi protein kinase C yang pada gilirannya meningkatkan fosforilasi dari serine dan menurunkan aktifitas reseptor insulin dan juga IRS-1. Hiperglikemia juga memberi peluang bagi peningkatan glucosamine pathway sehingga meningkatkan resitensi insulin. Seperti disinggung diatas, gejala ikutan atau dampak tidak langsung dari gangguan metabolisme karbohidrat, adalah gangguan metabolisme lemak yang dapat memberikan gejala peningkatan kadar asam lemak bebas serum. Keadaan ini juga dapat menyebabkan menurunnya transportasi glukosa intrasel serta juga gangguan pada proses fosforilasi. Kapasitas asam lemak bebas yang menghambat proses glikolisis juga berperan dalam meningkatkan insulin resistance. Obesitas sendiri diperkirakan menyebabkan peningkatan resistensi insulin melalui jalur gangguan pada aktifitas insulin reseptor kinase . Terdapat bukti bahwa semakin tinggi indeks massa tubuh maka semakin tinggi tingkat resistensi insulin. Terdapat satu komponen metabolik lainnya yang juga memberi dampak negatif terhadap sensitifitas jaringan terhadap insulin yakni keadaan hiperinsulinemia itu sendiri. Hiperinsulinemia merupakan bagian dari sindroma resistensi insulin, dan sering ditemukan pada tahap pradiabetes atau diabetes tahap awal. Hiperinsulinemia sesungguhnya adalah bagian dari gangguan dinamika sekresi insulin, diawali oleh tidak adekuatnya AIR, diikuti oleh HAP, kemudian muncul mekanisme kompensasi pada fase 2 sekresi insulin sebagai antisipasi. Mekanisme

kompensasi inilah yang makin lama semakin menurun sejalan dengan perjalanan penyakit DMT2 sampai bahkan pada tahap hipoinsulinemia. III. Hiperglikemia: pemicu kerusakan jaringan tubuh Sel endotel kapiler retina, sel mesangial glomerulus neuron dan sel Schwann saraf perifer misalnya, rawan kerusakan. Sel sel tersebut tidak mereduksi transportasi glukosa yang berlebihan dari darah ke dalam sel, seperti yang dilakukan jaringan lainnya yang tidak rentan. Proses glikolisis didalam sel berlangsung secara normal kalau enzim glyceraldehyde-3 phosphate dehydrogenase (GADPH) cukup. Bila ada gangguan, proses glikolisis macet dan mencari jalan hulu (upstream) yang abnormal. Mekanisme tersebut terjadi apabila enzim GADPH tidak mencukupi karena proses glucotoxicity Kadar glukosa yang tinggi dalam sel, produksi superoksida mitokhondria yang berlebihan, kerusakan DNA, dan aktivasi PARP, merupakan urutan proses yang menghambat GADPH ( 9 ).

Unifying mechanism menjelaskan aktivasi dari keempat jalur kerusakan akibat hiperglikemia intra sel, disebabkan inaktivasi GAPDH oleh aktivasi PARP yang meningkat karena kerusakan DNA oleh ROS yang dihasilkan mitokhondria. Jadi, dalam hal ini kerusakan bermula dari hambatan yang terjadi pada jalur normal glikolisis dimana enzim GAPDH berperan sebagai katalisator.

Page 8: IPD- dm indo

PENGOBATAN DIABETES MELITUS SERTA PENCEGAHANNYA

Pilar penatalaksanaan DM

1. Edukasi

2. Terapi gizi medis

3. Latihan jasmani

4. Intervensi farmakologis

Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien, sedangkan pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.

1. Edukasi

Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006 yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi.

2. Terapi Gizi Medis

Terapi Gizi Medis merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara total. Kunci keberhasilan terapi gizi medis adalah keterlibatan

secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain dan pasien itu sendiri). Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat terapi gizi medis sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Dengan prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.

Asupan karbohidrat sangat berpengaruh terhadap kadar gula dalam darah. Oleh karena itu karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi. Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan dan makanan harus mengandung karbohidrat haruslah yangberserat tinggi. Pemberian gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandangdiabetes dapat makan sama dengan makanan keluarga yang lain. Pemberian gula hanya sebagai penyedap hanya dibatasi dan tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi. Oleh karena itu pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula,asal tidak melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted Daily Intake). Pemberian karbohidrat ini diberikan pada saat makan yaitu tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari. Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.

Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energi. Dimana lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori dan lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal. Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain : daging berlemak dan susu penuh (whole milk). Kolesterol tetap sangat dibutuhkan oleh tubuh dengan anjuran konsumsi kolesterol < 300 mg/hari.

Asupan protein dibutuhkan sebesar 10 – 20% total asupan energi.dengan sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi,dll), daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak,

Page 9: IPD- dm indo

kacang-kacangan, tahu, tempe. Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupanprotein menjadi 0,8 g/kg BB perhari atau 10% dari kebutuhanenergi dan 65% hendaknya bernilai biologik tinggi.

Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis bergizi dan pemanis tak bergizi. Termasuk pemanis bergizi adalah gula alkohol dan fruktosa. Dimana gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan xylitol. Dalam penggunaannya, pemanis bergizi ini perlu diperhitungkan kandungan kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari. Sedangkan pemanis tak bergizi termasuk: aspartam, sakarin, acesulfame potassium, sukralose, neotame. Pengunaan pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman(Accepted Daily Intake / ADI )

Pada penderita diabetes melitus penting untuk dilakukan penghitungan jumlah kaloriAda beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori / kg BB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor yai tu jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll. Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang dimodifikasi adalah sbb:

• Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.

• Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm, rumus dimodifikasi menjadi : Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.

• BB Normal : BB ideal ± 10 % • Kurus : < BBI - 10 % • Gemuk : > BBI + 10 % • Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus:

IMT = BB(kg)/TB(m2) • Klasifikasi IMT* • q BB Kurang <18,5 • q BB Normal 18,5-22,9 • q BB Lebih >23,0 • v Dengan risiko 23,0-24,9 • v Obes I 25,0-29,9 • v Obes II >30

Faktor-faktor lain juga menentukan kebutuhan kalori antara lain jenis kelamin, aktivitas fisik, umurdan berat badan. Dimana kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/ kg

BB. Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk dekade antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk usia 60 s/d 69 tahun dan dikurangi 20%, di atas 70 tahun. Hal yang paling penting yang mempengaruhi kebutuhan kalori yaitu aktivitas fisik atau pekerjaan. Dimana penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada kedaaan istirahat, 20% pada pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas sedang, dan 50% dengan aktivitas sangat berat. Berat badan juga dipertimbangkan dalam mengatur jumlah kalori yang dibutuhkan. Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% ber-gantung kepada tingkat kegemukan. Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB. Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 1000 - 1200 kkal perhari untuk wanita dan 1200 - 1600 kkal perhari untuk pria.

Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%) dan sore (25%) serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%) di antaranya. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien, sejauh mungkin perubahan dilakukan sesuai dengan kebiasaan. Untuk penyandang diabetes yang mengidap penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya.

3. Latihan jasmani

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti: jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalasmalasan.

Page 10: IPD- dm indo

4. Intervensi Farmakologis

Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani.

Obat pertama yang dapat digunakan adalah obat hipoglikemik oral. Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan yaitu : A. pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) antara lain sulfonilurea dan glinid; B. penambah sensitivitas terhadap insulin: metformin, tiazolidindion; C. penghambat glukoneogenesis (metformin); D. penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.

Pemicu sekresi insulin yang pertama merupakan obat golongan sulfonilurea. Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.

A. Pemicu Sekresi Insulin

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati.

Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma(PPAR-γ), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak.Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer.

Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung klas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.

B. Penambah sensitivitas terhadap insulin

Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin > 1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro- vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan.

C. Penghambat glukoneogenesis

Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens.

D. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)

Insulin dapat juga diberikan pada pasien hiperglikemik yang disebabkan oleh diabetes melitus tipe 2. Pemberian insulin diperlukan pada keadaan: Penurunan berat badan yang cepat, hiperglikemia berat yang disertai ketosis, ketoasidosis diabetik, hiperglikemia hiperosmolar non ketotik, hiperglikemia dengan asidosis laktat, gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal, Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA,stroke), kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan perencanaan makan, gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat, dan kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO. Jenis dan lama kerja insulin dapat dibagi menjadi insulin kerja cepat (rapid acting insulin), insulin kerja pendek (short acting insulin), insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin), insulin kerja panjang (long acting insulin), insulin

Page 11: IPD- dm indo

campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin). Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia. Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.

Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah kulit (subkutan), dengan arah alat suntik tegak lurus terhadap cubitan permukaan kulit. Pada keadaan khusus diberikan intramuskular atau intravena secara bolus atau drip. Terdapat sediaan insulin campuran (mixed insulin) antara insulin kerja pendek dan kerja menengah, dengan perbandingan dosis yang tertentu. Apabila tidak terdapat sediaan insulin campuran tersebut atau diperlukan perbandingan dosis yang lain, dapat dilakukan pencampuran sendiri antara kedua jenis insulin tersebut. Lokasi penyuntikan, cara penyuntikan maupun cara penyimpanan insulin harus dilakukan dengan benar, demikian pula mengenai rotasi tempat suntik. Apabila diperlukan, sejauh sterilitas penyimpanan terjamin, semprit insulin dan jarumnya dapat dipakai lebih dari satu kali oleh penyandang diabetes yang sama. Harus diperhatikan kesesuaian konsentrasi insulin (jumlah unit/mL) dengan semprit yang dipakai (jumlah unit/mL dari semprit). Dianjurkan dipakai konsentrasi yang tetap. Saat ini yang tersedia hanya U100.

Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi, harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinik di mana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai dipilih terapi dengan kombinasi tiga OHO.

Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal

insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka obat hipoglikemik oral dihentikan dan diberikan insulin saja.

Pencegahan

Pencegahan terhadap penyakit diabetes melitus dapat dilakukan dengan beberapa cara, dan terbagi menjadi beberapa tipe.

Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan kepada orang-orang yang termasuk ke dalam kategori beresiko tinggi, yaitu orang-orang yang belum terkena penyakit ini tapi berpotensi untuk mendapatkannya. Untuk pencegahan secara primer, sangat perlu diketahui terlebih dahulu faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap terjadinya diabetes melitus, serta upaya yang dilakukan untuk menghilangkan faktor-faktor tersebut. Edukasi berperan penting dalam pencegahan secara primer.

Pencegahan sekunder merupakan suatu upaya pencegahan dan menghambat timbulnya penyakit dengan deteksi dini dan memberikan pengobatan sejak awal. Deteksi dini dilakukan dengan pemeriksaan penyaring. Hanya saja pemeriksaan tersebut membutuhkan biayayang cukup besar. Pengobatan penyakit sejak awal harus segera dilakukan untuk mencegah kemungkinan terjadinya penyakit menahun. Edukasi mengenai diabetes melitus dan pengelolaannya, akan mempengaruhi peningkatan kepatuhan pasien untuk berobat.

Pencegahan tersier merupakan suatu pencegahan dengan tujuan mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut dan merehabilitasi penderita sedini mungkin sebelum penderita mengalami kecacatan yang menetap. Pencegahan semacam ini yang disebut dengan pencegahan tersier. Contohnya saja, acetosal dosis rendah (80 – 325 mg) dapat diberikan secara rutin bagi pasien diabetes melitus yang telah memiliki penyakit makroangiopati (pembuluh darah jantung, pembuluh darah tepi, pembuluh darah otak, pembuluh darah kapiler retina mata, pembuluh darah kapiler ginjal). Pelayanan

Page 12: IPD- dm indo

kesehatan yang holistik dan terintegrasi antar disiplin terkait sangat diperlukan.

Prognosis

Diabetes melitus tipe 2 jarang menyebabkan komplikasi akut yang menyebabkan kematian yang mendadak. Sebagian besar kematian pada diabetes melitus tipe dua disebabkan oleh ketidakterkontrolannya gula darah. Oleh karena itu, menjaga kadar gula darah plasma dalam batas normal akan memperlambat timbulnya komplikasi kronis. Sebagian besar komplikasi kronis baru akan terlihat setelah 10-15 tahun apabila gula darah tidak dikontrol dengan baik. Apabila kadar gula darah dikontrol dengan baik, maka morbiditi dan mortaliti dari diabetes melitus akan jauh berkurang dibandingkan dengan pasien yang tidak terkontrol. Pencegahan dan pencyuluhan juga menjadi sangat penting untuk mengedukasi pasien tentang penyakit yang dideritanya.

Kesimpulan

Diabetes Melitus menjadi masalah utama di negara berkembang maupun negara maju karena jumlahna yang terus meningkat, terutama dinegara berkembang karena berubahnya pola hidup dan gaya hidup. Diabetes melitus tipe 2 merupakan diabetes melitus yang disebabkan oleh berkurangnya respon jaringan terhadap insulin. Penatalaksanaan dibagi menjadi 4 pilar utama yaitu olahraga, diet, edukasi, dan pengungaan terapi farmakologis. Dengan mengunakan keemat dasar penatalaksanaan diharapkan komplikasi baik akut maupun kronis dapat berkurang secara signifikan