hipertensi
DESCRIPTION
hipertensiTRANSCRIPT
A. Pengertian
Hipertensi atau penyakit darah tinggi sebenarnya adalah suatu gangguan pada
pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh
darah terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkan. Hipertensi sering kali
disebut sebagai pembunuh gelap (Silent Killer), karena termasuk penyakit yang
mematikan tanpa disertai dengan gejala-gejalanya lebih dahulu sebagai peringatan bagi
korbannya (Lanny Sustrani, dkk, 2004).
Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah meningkat melebihi batas
normal. Batas tekanan darah normal bervariasi sesuai dengan usia. Berbagai faktor
dapat memicu terjadinya hipertensi, walaupun sebagian besar (90%) penyebab
hipertensi tidak diketahui (hipertensi essential). Penyebab tekanan darah meningkat
adalah peningkatan kecepatan denyut jantung, peningkatan resistensi (tahanan) dari
pembuluh darah dari tepi dan peningkatan volume aliran darah (Kurniawan, 2002).
Hipertensi atau darah tinggi adalah penyakit kelainan jantung dan pembuluh
darah yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah. WHO (World Health
Organization) memberikan batasan tekanan darah normal adalah 140/90 mmHg.
Batasan ini tidak membedakan antara usia dan jenis kelamin (Marliani, 2007).
Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan
sistoliknya di atas 140 mmHg dan diastolik di atas 90 mmHg
Penyakit hipertensi merupakan penyakit kelainan jantung yang ditandai oleh
meningkatnya tekanan darah dalam tubuh. Seseorang yang terjangkit penyakit ini
biasanya berpotensi mengalami penyakit-penyakit lain seperti stroke, dan penyakit
jantung (Rusdi dan Nurlaela, 2009).
Dari definisi-definisi diatas dapat diperoleh kesimpulan bahwa hipertensi
adalah suatu keadaan di mana tekanan darah menjadi naik karena gangguan pada
pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh
darah terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkannya.
B. Klasifikasi
Beberapa klasifikasi hipertensi:
a. Klasifikasi Menurut Joint National Commite 7
Komite eksekutif dari National High Blood Pressure Education Program
merupakan sebuah organisasi yang terdiri dari 46 professionalm sukarelawan, dan
agen federal. Mereka mencanangkan klasifikasi JNC (Joint Committe on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure) pada
tabel 1, yang dikaji oleh 33 ahli hipertensi nasional Amerika Serikat (Sani, 2008).
Tabel 1Klasifikasi Menurut JNC (Joint National Committe on Prevention, Detection,
Evaluatin, and Treatment of High Blood Pressure)
Kategori Tekanan Darah menurut JNC 7
Kategori Tekanan Darah menurut JNC 6
Tekanan Darah Sistol (mmHg)
dan/ atau
Tekanan Darah Diastol (mmHg)
Normal Optimal < 120 dan < 80Pra-Hipertensi 120-139 atau 80-89- Nornal < 130 dan < 85- Normal-Tinggi 130-139 atau 85-89Hipertensi: Hipertensi:Tahap 1 Tahap 1 140-159 atau 90-99Tahap 2 - ≥ 160 atau ≥ 100- Tahap 2 160-179 atau 100-109
Tahap 3 ≥ 180 atau ≥ 110 (Sumber: Sani, 2008)
Data terbaru menunjukkan bahwa nilai tekanan darah yang sebelumnya
dipertimbangkan normal ternyata menyebabkan peningkatan resiko komplikasi
kardiovaskuler. Data ini mendorong pembuatan klasifikasi baru yang disebut pra
hipertensi (Sani, 2008).
b. Klasifikasi Menurut WHO (World Health Organization)
WHO dan International Society of Hypertension Working Group (ISHWG)
telah mengelompokkan hipertensi dalam klasifikasi optimal, normal, normal-
tinggi, hipertensi ringan, hipertensi sedang, dan hipertensi berat (Sani, 2008).
Tabel 2Klasifikasi Hipertensi Menurut WHO
Kategori Tekanan Darah Sistol (mmHg)
Tekanan Darah Diatol (mmHg)
OptimalNormalNormal-Tinggi
< 120< 130130-139
< 80< 8585-89
Tingkat 1 (Hipertensi Ringan)Sub-group: perbatasan
140-159140-149
90-9990-94
Tingkat 2 (Hipertensi Sedang) 160-179 100-109Tingkat 3 (Hipertensi Berat) ≥ 180 ≥ 110Hipertensi sistol terisolasi(Isolated systolic hypertension)Sub-group: perbatasan
≥ 140
140-149
< 90
<90(Sumber: Sani, 2008)
c. Klasifikasi Menurut Chinese Hypertension Society
Menurut Chinese Hypertension Society (CHS) pembacaan tekanan darah
<120/80 mmHg termasuk normal dan kisaran 120/80 hingga 139/89 mmHg
termasuk normal tinggi (Shimamoto, 2006).
Tabel 3Klasifikasi Hipertensi Menurut CHS
Tekanan Darah Sistol (mmHg)
Tekanan Darah Diastol (mmHg)
CHS-2005
< 120 < 80 Normal120-129 80-84 Normal-Tinggi130-139 85-89
Tekanan Darah Tinggi140-159 90-99 Tingkat 1
160-179 100-109 Tingkat 2≥ 180 ≥ 110 Tingkat 3≥ 140 ≤ 90 Hypertensi Sistol
Terisolasi(Sumber: Shimamoto, 2006)
d. Klasifikasi menurut European Society of Hypertension (ESH)
Klasifikasi yang dibuat oleh ESH adalah:
1. Jika tekanan darah sistol dan distol pasien berada pada kategori yang berbeda,
maka resiko kardiovaskuler, keputusan pengobatan, dan perkiraan afektivitas
pengobatan difokuskan pada kategori dengan nilai lebih.
2. Hipertensi sistol terisolasi harus dikategorikan berdasarkan pada hipertensi
sistol-distol (tingkat 1, 2 dan 3). Namun tekanan diastol yang rendah (60-70
mmHg) harus dipertimbangkan sebagai resiko tambahan.
3. Nilai batas untuk tekanan darah tinggi dan kebutuhan untuk memulai
pengobatan adalah fleksibel tergantung pada resiko kardiovaskuler total.
Tabel 4Klasifikasi menurut ESH
Kategori Tekanan Darah Sistol (mmHg)
Tekanan Darah Diastol(mmHg)
Optimal < 120 dan < 80Normal 120-129 dan/atau 80-84Normal-Tinggi 130-139 dan/atau 85-89Hipertensi tahap 1 140-159 dan/atau 90-99Hipertensi tahap 2 160-179 dan/atau 100-109Hipertensi tahap 3 ≥ 180 dan/atau ≥ 110Hipertensi sistol terisolasi
≥ 140 Dan < 90
(Sumber: Mancia G, 2007)
e. Klasifikasi menurut International Society on Hypertension in Blcks (ISHIB)
(Douglas JG, 2003)
Klasifikasi yang dibuat oleh ISHIB adalah:
1) Jika tekanan darah sistol dan diastole pasien termasuk ke dalam dua kategori
yang berbeda, maka klasifikasi yang dipilih adalah berdasarkan kategori yang
lebih tinggi.
2) Diagnosa hipertensi pada dasarnya adalah rata-rata dari dua kali atau lebih
pengukuran yang diambil pada setiap kunjunga.
3) Hipertensi sistol terisolasi dikelompokkan pada hipertensi tingkat 1 sampai 3
berdasarkan tekanan darah sistol (≥ 140 mmHg) dan diastole ( < 90 mmHg).
4) Peningkatan tekanan darah yang melebihi target bersifat kritis karena setiap
peningkatan tekanan darah menyebabkan resiko kejadian kardiovaskuler.
Tabel 5Klasifikasi Hipertensi Menurut ISHIB
Kategori Tekanan Darah Sistol (mmHg)
Tekanan Darah Diastol (mmHg)
Optimal < 120 dan < 80Normal < 130 dan/atau < 85Normal-Tinggi 130-139 dan/atau 85-89Hipertensi Tahap 1 140-159 dan/atau 90-99Hipertensi Tahap 2 160-179 dan/atau 100-109Hipertensi Tahap 3 ≥ 180 dan/atau ≥ 110Hipertensi Sistol terisolasi
≥ 140 dan < 90
(Sumber: Douglas JG, 2003)
f. Klasifikasi berdasarkan hasil konsesus Perhimpunan Hipertensi Indonesia (Sani,
2008).
Pada pertemuan ilmiah Nasional pertama perhimpunan hipertensi Indonesia
13-14 Januari 2007 di Jakarta, telah diluncurkan suatu konsensus mengenai
pedoman penanganan hipertensi di Indonesia yang ditujukan bagi mereka yang
melayani masyarakat umum:
1) Pedoman yang disepakati para pakar berdasarkan prosedur standar dan
ditujukan untuk meningkatkan hasil penanggulangan ini kebanyakan diambil
dari pedoman Negara maju dan Negara tetangga, dikarenakan data penelitian
hipertensi di Indonesia yang berskala Nasional dan meliputi jumlah penderita
yang banyak masih jarang.
2) Tingkatan hipertensi ditentukan berdasarkan ukuran tekanan darah sistolik dan
diastolik dengan merujuk hasil JNC dan WHO.
3) Penentuan stratifikasi resiko hipertensi dilakukan berdasarkan tingginya
tekanan darah, adanya faktor resiko lain, kerusakan organ target dan penyakit
penyerta tertentu.
Tabel 6Klasifikasi Hipertensi Menurut Perhimpunan Hipertensi Indonesia
Kategori Tekanan Darah Sistol (mmHg)
dan/atau Tekanan Darah Diastol (mmHg)
Normal <120 Dan <80Prehipertensi 120-139 Atau 80-89Hipertensi Tahap 1 140-159 Atau 90-99Hipertensi Tahap 2 ≥160-179 Atau ≥100Hipertensi Sistol terisolasi
≥140 Dan <90
(Sumber: Sani, 2008)
Klasifikasi hipertensi menurut bentuknya ada dua yaitu hipertensi sistolik dan
hipertensi diastolik (Smith, Tom, 1986:7). Pertama yaitu hipertensi sistolik adalah
jantung berdenyut terlalu kuat sehingga dapat meningkatkan angka sistolik. Tekanan
sistolik berkaitan dengan tingginya tekanan pada arteri bila jantung berkontraksi
(denyut jantung). Ini adalah tekanan maksimum dalam arteri pada suatu saat dan
tercermin pada hasil pembacaan tekanan darah sebagai tekanan atas yang nilainya
lebih besar.
Kedua yaitu hipertensi diastolik terjadi apabila pembuluh darah kecil
menyempit secara tidak normal, sehingga memperbesar tahanan terhadap aliran darah
yang melaluinya dan meningkatkan tekanan diastoliknya. Tekanan darah diastolik
berkaitan dengan tekanan dalam arteri bila jantung berada dalam keadaan relaksasi
diantara dua denyutan. Sedangkan menurut Arjatmo T dan Hendra U (2001) faktor
yang mempengaruhi prevalensi hipertensi antara lain ras, umur, obesitas, asupan
garam yang tinggi, adanya riwayat hipertensi dalam keluarga.
Klasifikasi hipertensi menurut sebabnya dibagi menjadi dua yaitu sekunder
dan primer. Hipertensi sekunder merupakan jenis yang penyebab spesifiknya dapat
diketahui (Lanny Ssustrani, dkk, 2004).
Klasifikasi hipertensi menurut gejala dibedakan menjadi dua yaitu hipertensi
Benigna dan hipertensi Maligna. Hipertensi Benigna adalah keadaan hipertensi yang
tidak menimbulkan gejala-gejala, biasanya ditemukan pada saat penderita dicek up.
Hipertensi Maligna adalah keadaan hipertensi yang membahayakan biasanya disertai
dengan keadaan kegawatan yang merupakan akibat komplikasi organ-organ seperti
otak, jantung dan ginjal (Mahalul Azam,2005).
C. Patofisiologi
Kaplan menggambarkan beberapa faktor yang berperan dalam pengendalian
tekanan darah yang mempengaruhi rumus dasar: Tekanan Darah = Curah Jantung x
Tahanan Perifer. (Yogiantoro, 2006).
Mekanisme patofisiologi yang berhubungan dengan peningkatan hipertensi
esensial antara lain :
1) Curah jantung dan tahanan perifer
Keseimbangan curah jantung dan tahanan perifer sangat berpengaruh terhadap
kenormalan tekanan darah. Pada sebagian besar kasus hipertensi esensial curah jantung
biasanya normal tetapi tahanan perifernya meningkat. Tekanan darah ditentukan oleh
konsentrasi sel otot halus yang terdapat pada arteriol kecil. Peningkatan konsentrasi sel
otot halus akan berpengaruh pada peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler.
Peningkatan konsentrasi otot halus ini semakin lama akan mengakibatkan penebalan
pembuluh darah arteriol yang mungkin dimediasi oleh angiotensin yang menjadi awal
meningkatnya tahanan perifer yang irreversible (Gray, et al. 2005).
2) Sistem Renin-Angiotensin
Ginjal mengontrol tekanan darah melalui pengaturan volume cairan
ekstraseluler dan sekresi renin. Sistem Renin-Angiotensin merupakan sistem endokrin
yang penting dalam pengontrolan tekanan darah. Renin disekresi oleh juxtaglomerulus
aparantus ginjal sebagai respon glomerulus underperfusion atau penurunan asupan
garam, ataupun respon dari sistem saraf simpatetik (Gray, et al. 2005).
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II
dari angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). ACE memegang
peranan fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung
angiotensinogen yang diproduksi hati, yang oleh hormon renin (diproduksi oleh ginjal)
akan diubah menjadi angiotensin I (dekapeptida yang tidak aktif). Oleh ACE yang
terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II (oktapeptida yang
sangat aktif). Angiotensin II berpotensi besar meningkatkan tekanan darah karena
bersifat sebagai vasoconstrictor melalui dua jalur, yaitu:
a. Meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH
diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk mengatur
osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang
diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis) sehingga urin menjadi pekat dan tinggi
osmolalitasnya. Untuk mengencerkan, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan
dengan cara menarik cairan dari bagian instraseluler. Akibatnya volume darah
meningkat sehingga meningkatkan tekanan darah.
b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron
merupakan hormon steroid yang berperan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume
cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara
mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan
kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya
akan meningkatkan volume dan tekanan darah (Gray, et al. 2005).
3) Sistem Saraf Otonom
Sirkulasi sistem saraf simpatetik dapat menyebabkan vasokonstriksi dan
dilatasi arteriol. Sistem saraf otonom ini mempunyai peran yang penting dalam
pempertahankan tekanan darah. Hipertensi dapat terjadi karena interaksi antara sistem
saraf otonom dan sistem renin-angiotensin bersama – sama dengan faktor lain termasuk
natrium, volume sirkulasi, dan beberapa hormon (Gray, et al. 2005).
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah
terletak dipusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor ini
bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan
Renin
Angiotensin I
Angiotensin II
↑ Sekresi hormone ADH rasa haus Stimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal
Urin sedikit → pekat & ↑osmolaritas
Mengentalkan
Menarik cairan intraseluler → ekstraseluler
Volume darah ↑
↑ Tekanan darah
↓ Ekskresi NaCl (garam) dengan mereabsorpsinya di tubulus ginjal
↑ Konsentrasi NaCl di pembuluh darah
Diencerkan dengan ↑ volume ekstraseluler
↑ Volume darah
↑ Tekanan darah
Angiotensin I Converting Enzyme (ACE)
keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia simpatis di toraks dan abdomen.
Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke
bawah melalui sistem saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron
preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca
ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya noreepineprin
mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan
ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang
vasokonstriksi. Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin,
meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi. Pada saat
bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai
respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan
tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medulla adrenal mensekresi epinefrin, yang
menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid
lainnya, yang dapat memperkuat respons vasokonstriktor pembuluh darah.
Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan
pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian
diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya
merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan
retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume
intra vaskuler.
4) Disfungsi Endotelium
Pembuluh darah sel endotel mempunyai peran yang penting dalam
pengontrolan pembuluh darah jantung dengan memproduksi sejumlah vasoaktif lokal
yaitu molekul oksida nitrit dan peptida endotelium. Disfungsi endotelium banyak
terjadi pada kasus hipertensi primer. Secara klinis pengobatan dengan antihipertensi
menunjukkan perbaikan gangguan produksi dari oksida nitrit (Gray, et al. 2005).
5) Substansi vasoaktif
Banyak sistem vasoaktif yang mempengaruhi transpor natrium dalam
mempertahankan tekanan darah dalam keadaan normal. Bradikinin merupakan
vasodilator yang potensial, begitu juga endothelin. Endothelin dapat meningkatkan
sensitifitas garam pada tekanan darah serta mengaktifkan sistem renin-angiotensin
lokal. Arterial natriuretic peptide merupakan hormon yang diproduksi di atrium
jantung dalam merespon peningkatan volum darah. Hal ini dapat meningkatkan
ekskresi garam dan air dari ginjal yang akhirnya dapat meningkatkan retensi cairan dan
hipertensi (Gray, et al. 2005).
6) Hiperkoagulasi
Pasien dengan hipertensi memperlihatkan ketidaknormalan dari dinding
pembuluh darah (disfungsi endotelium atau kerusakan sel endotelium),
ketidaknormalan faktor homeostasis, platelet, dan fibrinolisis. Diduga hipertensi dapat
menyebabkan protombotik dan hiperkoagulasi yang semakin lama akan semakin parah
dan merusak organ target. Beberapa keadaan dapat dicegah dengan pemberian obat
anti-hipertensi (Gray, et al. 2005).
7) Disfungsi diastolik
Hipertropi ventrikel kiri menyebabkan ventrikel tidak dapat beristirahat ketika
terjadi tekanan diastolik. Hal ini untuk memenuhi peningkatan kebutuhan input
ventrikel, terutama pada saat olahraga terjadi peningkatan tekanan atrium kiri melebihi
normal, dan penurunan tekanan ventrikel (Gray, et al. 2005).
D. Penyebab Hipertensi
Penyebab hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi essensial
(primer) merupakan hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya dan ada
kemungkinan karena faktor keturunan atau genetik (90%). Hipertensi sekunder yaitu
hipertensi yang merupakan akibat dari adanya penyakit lain. Faktor ini juga erat
hubungannya dengan gaya hidup dan pola makan yang kurang baik. Faktor makanan
yang sangat berpengaruh adalah kelebihan lemak (obesitas), konsumsi garam dapur
yang tinggi, merokok dan minum alkohol. Apabila riwayat hipertensi didapatkan pada
kedua orang tua, maka kemungkinan menderita hipertensi menjadi lebih besar. Faktor-
faktor lain yang mendorong terjadinya hipertensi antara lain stress, kegemukan
(obesitas), pola makan, merokok (M.Adib,2009).
E. Penggolongan Hipertensi
Hipertensi dapat didiagnosa sebagai penyakit yang berdiri sendiri, tetapi
lebih sering dijumpai terkait dengan penyakit lain, misalnya obesitas, dan diabetes
melitus. Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dapat dikelompokkan menjadi dua
golongan, yaitu:
a. Hipertensi esensial atau hipertensi primer
Hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya (Gunawan, 2001). Sebanyak 90-
95 persen kasus hipertensi yang terjadi tidak diketahui dengan pasti apa penyebabnya.
Para pakar menunjuk stress sebagai tuduhan utama, setelah itu banyak faktor lain
yang mempengaruhi, dan para pakar juga menemukan hubungan antara riwayat
keluarga penderita hipertensi (genetik) dengan resiko untuk menderita penyakit ini.
Onset hipertensi essensial biasanya muncul pada usia antara 25-55 tahun,
sedangkan usia di bawah 20 tahun jarang ditemukan. Patogenesis hipertensi essensial
adalah multifaktorial. Faktor-faktor yang terlibat dalam pathogenesis hipertensi
essensial antara lain faktor genetik, hiperaktivitas sistem saraf simpatis, sistem renin
angiotensin, defek natriuresis, natrium dan kalsium intraseluler, serta konsumsi
alkohol secara berlebihan.
b. Hipertensi renal atau hipertensi sekunder
Yaitu hipertensi yang disebabkan oleh penyakit lain (Gunawan, 2001). Pada
5-10 persen kasus sisanya , penyebab spesifiknya sudah diketahui, yaitu gangguan
hormonal, penyakit jantung, diabetes, ginjal, penyakit pembuluh darah atau
berhubungan dengan kehamilan. Garam dapur akan memperburuk hipertensi, tapi
bukan faktor penyebab. Hipertensi sekunder memiliki patogenesis yang spesifik.
Hipertensi sekunder dapat terjadi pada individu dengan usia sangat muda tanpa
disertai riwayat hipertensi dalam keluarga. Penyebab hipertensi sekunder antara lain
penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskuler ginjal,
hiperaldosteronisme primer dan sindroma cushing, feokromsitoma, koarktasio
aorta, kehamilan, serta penggunaan obatobatan.
F. Gejala Hipertensi
Hipertensi sulit disadari oleh seseorang karena hipertensi tidak memiliki
gejala khusus. Menurut Sutanto (2009), gejala-gejala yang mudah diamati antara
lain yaitu : gejala ringan seperti, pusing atau sakit kepala, sering gelisah, wajah merah,
tengkuk terasa pegal, mudah marah, telinga berdengung, sukar tidur, sesak napas, rasa
berat ditengkuk, mudah lelah, mata berkunang-kunang, mimisan (keluar darah dari
hidung).
G. Faktor Resiko Terjadinya Hipertensi
Menurut Elsanti (2009), faktor resiko yang mempengaruhi hipertensi yang dapat
dan tidak dapat dikontrol, antara lain:
a. Faktor resiko yang tidak dapat dikontrol:
1) Jenis kelamin
Hipertensi lebih banyak terjadi pada pria bila terjadi pada usia dewasa
muda. Tetapi lebih banyak menyerang wanita setelah umur 55 tahun, sekitar 60%
penderita hipertensi adalah wanita. Hal ini sering dikaitkan dengan perubahan
hormone estrogen setelah menopause.(Marliani,2007). Peran hormone estrogen
adalah meningkatkan kadar HDL yang merupakan faktor pelindung dalam
pencegahan terjadinya proses aterosklerosis. Efek perlindungan hormone estrogen
dianggap sebagai adanya imunitas wanita pada usia premenopause. Pada
premenopause, wanita mulai kehilangan sedikit demi sedikit hormon estrogen yang
selama ini melindungi pembuluh darah dari kerusakan.
Proses ini terus berlanjut dimana terjadi perubahan kuantitas hormon estrogen
sesuai dengan umur wanita secara alami. Umumnya, proses ini mulai terjadi pada
wanita umur 45-55 tahun (Kumar,2005).
2) Umur
Semakin tinggi umur seseorang semakin tinggi tekanan darahnya, jadi orang yang
lebih tua cenderung mempunyai tekanan darah yang tinggi dari orang yang berusia
lebih muda.. Hal ini disebabkan pada usia tersebut ginjal dan hati mulai menurun,
karena itu dosis obat yang diberikan harus benar-benar tepat. Tetapi pada
kebanyakan kasus , hipertensi banyak terjadi pada usia lanjut. Pada wanita,
hipertensi sering terjadi pada usia diatas 50 tahun. Hal ini disebabkan terjadinya
perubahan hormon sesudah menopause. Kondisi yang berkaitan dengan usia ini
adalah produk samping dari keausan arteriosclerosis dari arteri-arteri utama,
terutama aorta, dan akibat dari berkurangnya kelenturan. Dengan mengerasnya
arteri-arteri ini dan menjadi semakin kaku, arteri dan aorta itu kehilangan daya
penyesuaian diri. Arteri kehilangan elastisitas atau kelenturan serta tekanan darah
meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Peningkatan kasus hipertensi akan
berkembang pada umur lima puluhan dan enampuluhan. Dengan bertambahnya
umur, dapat meningkatkan resiko hipertensi (Elsanti,2009). Prevalensi di kalangan usia
lanjut cukup tinggi yaitu sekitar 40 % dengan kematian sekitar 50 % diatas umur 60
tahun.
3) Keturunan (Genetik)
Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akan menyebabkan keluarga itu
mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan dengan peningkatan
kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara potasium terhadap sodium
Individu dengan orang tua dengan hipertensi mempunyai risiko dua kali lebih
besar untuk menderita hipertensi dari pada orang yang tidak mempunyai keluarga
dengan riwayat hipertensi. Selain itu didapatkan 70-80% kasus hipertensi esensial
dengan riwayat hipertensi dalam keluarga. Seseorang akan memiliki kemungkinan
lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya adalah penderita
hipertensi (Marliani, 2007).
Menurut Rohaendi (2008), mengatakan bahwa Tekanan darah tinggi
cenderung diwariskan dalam keluarganya. Jika salah seorang dari orang tua ada yang
mengidap tekanan darah tinggi, maka akan mempunyai peluang sebesar 25% untuk
mewarisinya selama hidup anda. Jika kedua orang tua mempunyai tekanan darah
tingi maka peluang untuk terkena penyakit ini akan meningkat menjadi 60%.
b. Faktor resiko yang dapat dikontrol:
1).Merokok
Fakta otentik menunjukan bahwa merokok dapat menyebabkan tekanan
darah tinggi. Kebanyakan efek ini berkaitan dengan kandungan nikotin. Asap rokok
(CO) memiliki kemampuan menarik sel darah merah lebih kuat dari
kemampuan menarik oksigen, sehingga dapat menurunkan kapasitas sel darah
merah pembawa oksigen ke jantung dan jaringan lainnya. Laporan dari Amerika
Serikat menunjukkan bahwa upaya menghentikan kebiasaan merokok dalam
jangka waktu 10 tahun dapat menurunkan insiden penyakit jantung koroner (PJK)
sekitar 24.4% (Karyadi 2002). Tandra (2003) menyatakan bahwa nikotin
mengganggu sistem saraf simpatis yang mengakibatkan meningkatnya kebutuhan
oksigen miokard. Selain menyebabkan ketagihan merokok, nikotin juga
meningkatkan frekuensi denyut jantung, tekanan darah, dan kebutuhan oksigen
jantung, merangsang pelepasan adrenalin, serta menyebabkan gangguan irama
jantung. Nikotin juga mengganggu kerja saraf, otak, dan banyak bagian tubuh
lainnya.
2).Status Gizi
Masalah kekurangan atau kelebihan gizi pada orang dewasa merupakan
masalah penting karena selain mempunyai resiko penyakitpenyakit tertentu juga dapat
mempengaruhi produktivitas kerja. Oleh karena itu, pemantauan keadaan tersebut
perlu dilakukan secara berkesinambungan. Salah satu cara adalah dengan
mempertahankan berat badan yang ideal atau normal. Indeks Massa Tubuh (IMT)
adalah salah satu cara untuk mengukur status gizi seseorang. Seseorang dikatakan
kegemukan atau obesitas jika memiliki nilai IMT≥25.0. Obesitas merupakan
faktor risiko munculnya berbagai penyakit degeneratif, seperti hipertensi, penyakit
jantung koroner dan diabetes mellitus.
Data dari studi Farmingham (AS) yang diacu dalam Khomsan (2004)
menunjukkan bahwa kenaikan berat badan sebesar 10% pada pria akan
meningkatkan tekanan darah 6.6 mmHg, gula darah 2 mg/dl, dan kolesterol darah 11
mg/dl. Prevalensi hipertensi pada seseorang yang memiliki IMT>30 pada laki-laki
sebesar 38% dan wanita 32%, dibanding dengan 18% laki-laki dan 17%
perampuan yang memiliki IMT<25 (Krummel 2004).
3). Konsumsi Na (Natrium)
Pengaruh asupan garam terhadap terjadinya hipertensi melalui peningkatan
volume plasma, curah jantung dan tekanan darah. Faktor lain yang ikut berperan
yaitu sistem renin angiotensin yang berperan penting dalam pengaturan tekanan
darah. Produksi rennin dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain stimulasi saraf
simpatis. Renin berperan dalam proses konversi angiotensin I menjadi angiotensin
II. Angiotensin II menyebabkan sekresi aldosteron yang mengakibatkan menyimpan
garam dalam air. Keadaan ini yang berperan pada timbulnya hipertensi (Susalit
dkk,2001).
4).Stres
Hubungan antara stress dan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis
peningkatan saraf dapat menaikkan tekanan darah secara intermiten (tidak menentu).
Stres yang berkepanjangan dapat mengakibatkan tekanan darah yang menetap
tinggi. Walaupun hal ini belum terbukti tetapi angka kejadian masyarakat di
perkotaan lebih tinggi dari pada di pedesaan. Hal ini dapat dihubungkan dengan
pengaruh stres yang dialami kelompok masyarakat yang tinggal di kota (Roehandi,
2008). Menurut Anggraini (2009) mengatakan stres akan meningkatkan resistensi
pembuluh darah perifer dan curah jantung sehingga akan menstimulasi aktivitas
saraf simpatis.
H. Komplikasi Hipertensi
Kondisi hipertensi yang berkepanjangan sangat berpotensi menyebabkan
gangguan pembuluh darah di seluruh organ tubuh. Secara umum kondisi darah
tinggi tidak bisa diprediksi secara dini akan menyerang organ bagian mana,
tergantung organ mana yang terlebih dahulu merespon tekanan yang abnormal.
Angka kematian yang tinggi pada penderita darah tinggi terutama disebabkan oleh
gangguan jantung.
a. Organ Jantung
Kompensasi jantung terhadap kerja yang keras akibat hipertensi berupa
penebalan pada otot jantung kiri. Kondisi ini akan memperkecil rongga jantung
untuk memompa, sehingga jantung akan semakin membutuhkan energi yang besar.
Kondisi ini disertai dengan adanya gangguan pembuluh darah jantung sendiri
(koroner) akan menimbulkan kekurangan oksigen dari otot jantung dan berakibat rasa
nyeri. Apabila kondisi dibiarkan terus menerus akan menyebabkan kegagalan
jantung untuk memompa dan menimbulkan kematian.
b. Sistem Saraf
Gangguan dari sistem saraf terjadi pada sistem retina (mata bagian dalam) dan
sistem saraf pusat (otak). Didalam retina terdapat pembuluh-pembuluh darah tipis
yang akan menjadi lebar saat terjadi hipertensi, dan memungkinkan terjadinya pecah
pembuluh darah yang akan menyebabkan gangguan pada organ pengelihatan.
c. Sistem Ginjal
Hipertensi yang berkepanjangan akan menyebabkan kerusakan dari pembuluh
darah pada organ ginjal, sehingga fungsi ginjal sebagai pembuang zat-zat racun
bagi tubuh tidak berfungsi dengan baik. Akibat dari gagalnya sistem ginjal akan terjadi
penumpukan zat yang berbahaya bagi tubuh yang dapat merusak organ tubuh lain
terutama otak.
I. Kerusakan Organ Target
Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, naik secara langsung
maupun secara tidak langsung. Kerusakan organ target yang umum ditemui pada pasien
hipertensi adalah:
1. Penyakit ginjal kronis
2. Jantung
a. Hipertrofi ventrikel kiri
b. Angina atau infark miokardium
c. Gagal jantung
3. Otak
a. Strok
b. Transient Ischemic Attack (TIA)
4. Penyakit arteri perifer
5. Retinopati (Yogiantoro, 2006).
Beberapa penelitian menemukan bahwa penyebab kerusakan organ-organ
tersebut dapat melalui akibat langsung dari kenaikan tekanan darah pada organ, atau
karena efek tidak langsung, antara lain adanya autoantibodi terhadap reseptor ATI
angiotensin II, stress oksidatif, down regulation dari ekspresi nitric oxide synthase, dan
lain-lain. Penelitian lain juga membuktikan bahwa diet tinggi garam dan sensitivitas
terhadap garam berperan besar dalam timbulnya kerusakan organ target, misalnya
kerusakan pembuluh darah akibat meningkatnya ekspresi transforming growth factor-β (TGF-β) (Yogiantoro, 2006).