hiperemesis gravidaru1fix

16
 HIPEREMESIS GRAVIDARUM A. De fi ni si Hi peremesis gr avi darum (HG) ada la h mual dan munt ah yang terj adi pad a awal kehamilan sampai umur kehamilan 20 minggu. Keluhan muntah kadang-kadang begitu hebat di mana segala apa yang dimakan dan diminum dimuntahkan sehingga dapat mempengaruhi keadaan umum dan mengganggu pekerjaan sehari-hari, berat badan menurun, dehidrasi, dan ter dapa t asetn dal am uri n bahkan sepert i geja la peny aki t ape ndi sit is, piel iti tis , dan sebagainya. !  B. Epidemio logi Hiper emesi s gravi darum terjadi pada 0,"-2# kehamilan , dengan variasi dalam kejadi an yang timbul dari kriteria diagnstik yang berbeda dan variasi etnis. $enelitian menemukan  pertambahan sebanyak 0,%# untuk kejadian hiperemesis gravidarum dan rata-rata ! rumah sakit per satu pasien hipere mesis , rata-rat a rawat inap di rumah sakit sel ama &-' hari. $ada  penelitian yang lain, ditemukan bahwa dari di merika erikat, sebanyak 0,*-2# dipeng aruhi leh hiperemesis gravidarum (sekitar " per !000 kehamilan). 2 +nsuden bervariasi sesuai ppulasi, dan tampaknya terdapat predileksi etnis atau amilial. alam studi-studi berbasis ppulasi dari alirnia dan /va tia, angka rawat inap untuk  pasien H1G adalah 0," sampai 0,% persen. awat inap lebih jarang pada wanita dengan be si tas. $ada wani ta ya ng pernah di ra wat- inap kar ena hi pereme si s pad a kehamil an sebelumnya, hamper 20 persen memerlukan rawat inap pada kehamilan berikutnya. * C. Eti opa togen esi s 1tipa tgene sis dari hipere mesis gravi darum kemungk inan  multi akt rial dan tentu membingungkan. /ampaknya menjadi terkait dengan naiknya kadar serum atau peningkatan  pesat hrmn yang berhubungan dengan kehamilan.  $eny ebab diduga ter mas uk human hrini gnadtrpin (hG), estrgen, prgestern, leptin, pertumbuhan plasenta  hrmn,

Upload: istiqomah-kalalla

Post on 03-Nov-2015

228 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

-

TRANSCRIPT

HIPEREMESIS GRAVIDARUM

A. DefinisiHiperemesis gravidarum (HG) adalah mual dan muntah yang terjadi pada awal kehamilan sampai umur kehamilan 20 minggu. Keluhan muntah kadang-kadang begitu hebat di mana segala apa yang dimakan dan diminum dimuntahkan sehingga dapat mempengaruhi keadaan umum dan mengganggu pekerjaan sehari-hari, berat badan menurun, dehidrasi, dan terdapat aseton dalam urin bahkan seperti gejala penyakit apendisitis, pielititis, dan sebagainya.1 B. EpidemiologiHiperemesis gravidarum terjadi pada 0,5-2% kehamilan, dengan variasi dalam kejadian yang timbul dari kriteria diagnostik yang berbeda dan variasi etnis. Penelitian menemukan pertambahan sebanyak 0,8% untuk kejadian hiperemesis gravidarum dan rata-rata 1 rumah sakit per satu pasien hiperemesis, rata-rata rawat inap di rumah sakit selama 6-4 hari. Pada penelitian yang lain, ditemukan bahwa dari di Amerika Serikat, sebanyak 0,3-2% dipengaruhi oleh hiperemesis gravidarum (sekitar 5 per 1000 kehamilan).2Insuden bervariasi sesuai populasi, dan tampaknya terdapat predileksi etnis atau familial. Dalam studi-studi berbasis populasi dari California dan Nova Scotia, angka rawat inap untuk pasien HEG adalah 0,5 sampai 0,8 persen. Rawat inap lebih jarang pada wanita dengan obesitas. Pada wanita yang pernah dirawat-inap karena hiperemesis pada kehamilan sebelumnya, hamper 20 persen memerlukan rawat inap pada kehamilan berikutnya.3C. EtiopatogenesisEtiopatogenesis dari hiperemesis gravidarum kemungkinan multifaktorial dan tentu membingungkan. Nampaknya menjadi terkait dengan naiknya kadar serum atau peningkatan pesat hormon yang berhubungan dengan kehamilan. Penyebab diduga termasuk human chorionic gonadotropin (hCG), estrogen, progesteron, leptin, pertumbuhan plasenta hormon, prolaktin, tiroksin, dan hormon adrenocortical. Baru-baru ini terlibat adalah hormon lainnya yang mencakup ghrelins, leptin, nesfatin-1, dan PYY-3.3Etiologi terjadinya hiperemesis hingga saat ini belum jelas. Keadaan ini biasanya terjadi pada trimester pertama, kehamilan pertama, riwayat keluarga hiperemesis gravidarum, mola hidatidosa dan kehamilan multipel, dan kehamilan yang tidak direncanakan. Menurut teori yang lain, mual dan muntah pada masa kehamilan, juga memungkinkan merupakan sebuah adaptasi evolusioner yang mencegah masuknya makanan yang dapat membahayakan. Substansi berbahaya seperti mikroorganisme patogenik pada daging dan toxin pada sayur dan minuman yang diawetkan. Maka dari itu, dengan menghindari menelan komponen berbahaya tersebut,proses mual dan muntah tersebut menjadi perlindungan terhadap embrio dari keguguran. Wawancara yang dilakukan pada 5400 wanita hamil yang mengikuti 20 penelitian tentang gestational aversion, dan juga didapatkan 6200 wanita hamil yang didapatkan dari 21 penelitian tentang gestational cravings, menunjukkan bahwa kebanyakan wanita selama hamil memilih kategori makanan yang seperti kurang mengandung substansi toxic. Walaupun demikian,HEG pada tingkat yang lebih berat, selalu lebih memerlukan intervensi medis.4Penyebab hiperemesis gravidarum belum diketahui secara pasti. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 1.301 kasus hiperemesis gravidarum di Canada diketahui beberapa hal yang menjadi faktor risiko terjadinya hiperemesis gravidarum diantaranya komplikasi dari kelainan hipertiroid, gangguan psikiatri, kelainan gastrointestinal, dan diabetes pregestasional. Tidak ada bukti bahwa penyakit ini disebabkan oleh faktor toksik, juga tidak ditemukan kelainan biokimia.10Beberapa faktor predisposisi dan faktor lain yang telah ditemukan adalah sebagai berikut10:1. Primigravida, mola hidatidosa, dan kehamilan ganda. Pada mola hidatidosa dankehamilan ganda, faktor hormon memegang peranan dimana hormon khorionik gonadotropin dibentuk berlebihan.2. Masuknya vili khorialis dalam sirkulasi maternal dan perubahan metabolik akibathamil serta resistensi yang menurun dari pihak ibu terhadap perubahan tersebut.3. Alergi, sebagai salah satu respons dari jaringan ibu terhadap anak.4. Faktor psikologisFaktor psikologis seperti depresi, gangguan psikiatri, rumah tangga yang retak, kehilangan pekerjaan, takut terhadap kehamilan dan persalinan, takut terhadap tanggung jawab sebagai ibu, tidak siap untuk menerima kehamilan memegang peranan yang cukup penting dalam menimbulkan hiperemesis gravidarum.Patofisiologi dasar hiperemesis gravidarum hingga saat ini masih kontroversial. Hiperemesis gravidarum dapat menyebabkan cadangan karbohidrat dan lemak habis terpakai untuk keperluan energi. Karena oksidasi lemak yang tidak sempurna, maka terjadilah ketosis dengan tertimbunya asam aseton asetik, asam hidroksi butirik, dan aseton dalam darah. Kekurangan cairan yang diminum dan kehilangan cairan akibat muntah akan menyababkan dehidrasi, sehingga cairan ekstra vaskuler dan plasma akan berkurang.10Natrium dan khlorida darah turun, demikian juga dengan klorida urine. Selain itu dehidrasi menyebabkan hemokonsentrasi, sehigga aliran darah ke jaringan berkurang. Hal ini menyebabkan zat makanan dan oksigen ke jaringan berkurang dan tertimbunya zat metabolik dan toksik. Kekurangan kalium sebagai akibat dari muntah dan bertambahnya ekskresi lewat ginjal, meningkatkan frekuensi muntah yang lebih banyak, merusak hati, sehigga memperberat keadaan penderita.10

1) Human Chorionic Gonadotrophin (HCG)Merupakan faktor endokrin yang paling sering dikaitkan dengan perkembangan HEG. Kesimpulan ini berdasar pada pengamatan asosiasi antara peningkatan produksi HCG (seperti pada mola dan kehamilan multiple) dan faktanya bahwa insidensi hiperemesis tertinggi pada saat produksi HCG mencapai puncak selama kehamilan (sekitar minggu ke-9 kehamilan). Walaupun demikian, tidak terdapat bukti yang mendukung hipotesis ini dan beberapa wanita hamil tidakmengalami mual dan muntah walaupun level HCG mengalami peningkatan. Sebagai tambahan, pasien yang mengalami chrionic carcinoma-penyakit yang juga berhubungan dengan peningkatan HCG- biasanya tidak mengalami muntah. Penemuan kontroversi tersebut mungkin disebabkan aktivitas biological yang bervariasi dari isoform HCG yang berbeda, seperti sensitivitas pada stimulus emetogenik. Tambahan, interaksi reseptor hormon dapat mempengaruhi efek dari HCG pada beberapa kasus HEG namun tidak mempunyai konsekuensi emetic pada yang lain.4

2) Infeksi Helicobacter PyloriInfeksi kronik dari H. pylori dapat menyebabkan HEG. Pemeriksaan histology pada mukosa lambung dari total 30 wanita hamil (20 pasin HEG dan 10 relawan wanita hamil) menunjukkan bahwa bakteri terdapat pada 95% pasien HEG. Perbedaan antara 2 grup secara statistik signifikan.4Sebuah studi lain yang menarik menemukan adanya hubungan antara infeksi kronik Helicobacter pylori dengan terjadinya hiperemesis gravidarum. Pada studi tersebut, sebanyak 61,8% perempuan hamil dengan hiperemesis gravidarum menunjukkan hasil tes deteksi genom H. pylori yang positif,3 namun studi tersebut masih kontroversial. Sebuah studi lain di Amerika Serikat mendapatkan tidak terdapat hubungan antara hiperemesis gravidarum dengan infeksi H. pylori.5Hubungan infeksi H. pylori telah diajukan, tetapi bukti belum ada. Goldberd, dkk menunjukkan studi 14 kasus kontrol. Meskipun analisis diindikasikan, hubungan antara H. pylori dan hiperemesis, heterogenisitas antara beberapa kelompok studi ekstensif. Pada waktu ini, kami tidak mendiagnosis dan merawat infeksi gaster pada perempuan dengan hiperemesis. Selain itu, H. pylori juga berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya preeklampsia. Pada studi oleh Dodds dkk, insiden hipertensi dalam kehamilan tidak berbeda antara kelompok kasus dan kontrol. H. pylori juga berhubungan dengan defisiensi besi pada kehamilan.1,4 3) Faktor HormonalBeberapa hormone dapat menyebabkan hiperemesis. Hormon tersebut ada;ah estrogen, progesterone, hormon adrenocorticotropic (ACTH), cortisol, growth hormone dan prolactin. Bukti keterlibatan serotonin pada kemoterapi menginduksi mual dan muntah, telah ditemukan beberapa tahun yang lalu, yang secara tidak langsung, hormone ini mungkin mempunyai peran penting pada HEG namun hasil penelitiannya selalu berubah-ubah. Pada sebuah penelitian prospektif pada total 33 wanita (13 mengalami hyperemesis, 10 wanita hamil sehat, dan 10 wanita tidak hamil) kadar serotonin diperiksa. Hasil menunjukkan tidak ada perbedaan antara ketiga kelompok tersebut.a) Progesterone Penurunan dan peningkatan kadar hormone telah dilaporkan pada pasien hiperemesis. Perubahan ini terjadi karena perubahan yang berhubungan dengan kehamilan pada system imun ibu. Pada sebuah studi pada 44 perempuan hamil (22 perempuan hiperemesis, dan 22 perempuan hamil sehat) menunjukkan bahwa perempuan hiperemesis mempunya kadar progesteron lebih tinggi dibandingkan perempuan tanpa hiperemesis. Meskipun demikian, terdapat penelitian lain yang membuktikan sebaliknya. Progesteron mungkin mengurangi motilitas gastrointestinal selama kehamilan.4b) EstrogenPeningkatan kadar estrogen dan estradiol diketahui menyebabkan mual dan muntah selama kehamilan. Adanya hubungan antara fetus perempuan dengan mual dan muntah, menjelaskan terjadinya peningkatan konsentrasi estrogen in utero.4 c) HipertiroidismeFungsi tiroid secara fisiologis berubah selama kehamilan, termasuk stimulasi oleh HCG. Hipertiroidisme dengan fT3 dan fT4, tetapi kadar TSH menurun, mungkin berimplikasi pada hiperemesis gravidarum. THHG (transient hyperthyroidism of hyperemesis gravidarum) adalah penemuan berdasarkan skrining pada perempuan dengan peningkatan kadar HCG dan fT4. THHG mungkin bertahan hingga minggu 18 kehamilan, dan tidak membutuhkan pengobatan. Kondisi ini mungkin sebagian disebabkan oleh kadar HCG yang tinggi dan sering dijumpai pada pasien dengan hiperemesis gravidarum karena HCG dan TSH mempunya struktur protein yang mirip, sehingga HCG mampu bertindak seperti TRH dan terjadi hiperstimulasi tiroid. THHG didiagnosis berdasarkan:a. Serologi patologis selama hiperemesis;b. Tidak ada riwayat hipertiroid sebelum kehamilan;c. Tidak adanya antibodi tiroid.64) PsikogenikTidak diragukan bahwa tidak semua kasus berat, terdapat hubungan psikologis. Pada beberapa kasus, hiperemesis merupakan alasan untuk terminasi elektif.3,4 5) Defisiensi dietDiduga cadangan karbohidrat sedikit. Selain itu, defisiensi vitamin B6, vitamin B1, dan protein mungkin juga memberikan efek.1,5

6) Alergi atau imunologiLaporan terbaru menunjukkan hubungan antara keparahan hiperemesis dengan konsentrasi sel-sel bebas DNA fetus. DNA fetus berasal dari destruksi trofoblas villi yang membatas rongga intervilli diisi dengan darah maternal. DNA fetus dihancurkan oleh sistem imun maternal yang hiperaktif. Aktivasi fungsional dari natural killer dan sel T-sitotoksik ditemukan lebih jelas pada perempuan hiperemesis daripada tanpa hiperemesis. Secara klinis, keparahan hiperemesis berhubungan dengan peningkatan DNA fetus. Jika sistem imun maternal telah mentoleransi fetus, miometrium diinvasi oleh pertumbuhan trofoblas, tetapi adanya interaksi imun antara ibu dan fetus, invasi trofoblas ke miometrium akan menyebabkan peningkatakan konsentrasi DNA fetus dalam plasma maternal. Hiperaktivasi sistem imun maternal akan menyebabkan hiperemesis. Lebih lanjut, kadar TNF-alfa ditemukan lebih tinggi pada pasien dengan hiperemesis, dan dapat menjadi etiologi. Kadar IL-6 juga ditemukan memperkuat sekresi -hCG dari sel trofoblas.5

7) Faktor lainFaktor-faktor lain yang meningkatkan risiko perawatan adalah hipertiroidisme, riwayat kehamilan mola, diabetes, penyakit gastrointestinal, dan asma. Untuk sebab yang tidak jelas, pada fetus perempuan risiko terjadinya hiperemesis meningkat hingga 1.5 kali.1D. Perubahan Metabolisme, Biokimia, dan SirkulasiTidak adekuatnya asupan makanan menyebabkan kekurangan glikogen. Suplai energi, simpanan lemak dipecah. Karena karbohidrat yang rendah, terdapat oksidasi tidak lengkap dari lemak dan akumulasi badan keton dalam darah. Aseton biasanya diekskresikan melalui ginjal dan pernapasan. Selain itu, terjadi pula peningkatan metabolisme protein dari jaringan endogen sehingga terjadi ekskresi berlebihan dari nitrogen nonprotein dalam urine. Hilangnya air dan garam melalui muntah menyebabkan penurunan natrium, kalium, dan klorida plasma. Klorida urine mungkin dibawah normal 5 mg/liter atau mungkin tidak ada. Disfungsi hepar menyebakan asidosis dan ketosis sehingga terjadi peningkatan urea darah dan asam urat, hipoglikemia, hipoproteinemia, hipovitaminosis, dan hiperbilirubinemia. Dalam sistem sirkulasi, dapat terjadi hemokonsentrasi sehingga terjadi peningkatan persentase hemoglobin, jumlah sel darah merah dan nilai hematokrit. Selain itu, terdapat jumlah sel darah putih dengan peningkatan eosinofil. Selain itu, terjadi pengurangan cairan ekstraseluler.7

E. DiagnosisDiagnosis hiperemesis gravidarum ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang1,11: AnamnesisDari anamnesis didapatkan amenorea, tanda kehamilan muda, mual, dan muntah. Kemudian diperdalam lagi apakah mual dan muntah terjadi terus menerus, dirangsang oleh jenis makanan tertentu, dan mengganggu aktivitas pasien seharihari. Selain itu dari anamnesis juga dapat diperoleh informasi mengenai hal-hal yang berhubungan dengan terjadinya hiperemesis gravidarum seperti stres, lingkungan sosial pasien, asupan nutrisi dan riwayat penyakit sebelumnya (hipertiroid, gastritis, penyakit hati, diabetes mellitus, dan tumor serebri). Pemeriksaan FisikPada pemeriksaan fisik perhatikan keadaan umum pasien, tanda-tanda vital, tanda dehidrasi, dan besarnya kehamilan. Selain itu perlu juga dilakukan pemeriksaan tiroid dan abdominal untuk menyingkirkan diagnosis banding. Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan penunjang dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding. Pemeriksaan yang dilakukan adalah darah lengkap, urinalisis, gula darah, elektrolit, USG (pemeriksaan penunjang dasar), analisis gas darah, tes fungsi hati dan ginjal. Pada keadaan tertentu, jika pasien dicurigai menderita hipertiroid dapat dilakukan pemeriksaan fungsi tiroid dengan parameter TSH dan T4. Pada kasus hiperemesis gravidarum dengan hipertiroid 50-60% terjadi penurunan kadar TSH. Jika dicurigai terjadi infeksi gastrointestinal dapat dilakukan pemeriksaan antibodi Helicobacter pylori. Pemeriksaan laboratorium umumnya menunjukan tanda-tanda dehidrasi dan pemeriksaan berat jenis urin, ketonuria, peningkatan blood urea nitrogen, kreatinin dan hematokrit. Pemeriksaan USG penting dilakukan untuk mendeteksi adanya kehamilan ganda ataupun mola hidatidosa.

F. Diagnosis BandingKeluhan muntah yang berat dan persisten tidak selalu menandakan hiperemesis gravidarum. Penyebab-penyebab lain seperti penyakit gastrointestinal, pielonefritis dan penyakit metabolik perlu dieksklusi. Satu indikator sederhana yang berguna adalah awitan mual dan muntah pada hiperemesis gravidarum biasanya dimulai dalam delapan minggu setelah hari pertama haid terakhir. Karena itu, awitan pada trimester kedua atau ketiga menurunkan kemungkinan hiperemesis gravidarum. Demam, nyeri perut atau sakit kepala juga bukan merupakan gejala khas hiperemesis gravidarum. Pemeriksaan ultrasonografi perlu dilakukan untuk mendeteksi kehamilan ganda atau mola hidatidosa.5Diagnosis banding hiperemesis gravidarum antara lain ulkus peptikum, kolestasis obstetrik, perlemakan hati akut, apendisitis akut, diare akut, hipertiroidisme dan infeksi Helicobacter pylori. Ulkus peptikum pada ibu hamil biasanya adalah penyakit ulkus peptikum kronik yang mengalami eksaserbasi sehingga dalam anamnesis dapat ditemukan riwayat sebelumnya. Gejala khas ulkus peptikum adalah nyeri epigastrium yang berkurang dengan makanan atau antasid dan memberat dengan alkohol, kopi atau obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS). Nyeri tekan epigastrium, hematemesis dan melena dapat ditemukan pada ulkus peptikum. Pada kolestasis dapat ditemukan pruritus pada seluruh tubuh tanpa adanya ruam. ikterus, warna urin gelap dan tinja berwarna pucat disertai peningkatan kadar enzim hati dan bilirubin.5Pada perlemakan hati akut ditemukan gejala kegagalan fungsi hati seperti hipoglikemia, gangguan pembekuan darah, dan perubahan kesadaran sekunder akibat ensefalopati hepatik. Keracunan parasetamol dan hepatitis virus akut juga dapat menyebabkan gambaran klinis gagal hati. Pasien dengan apendisitis akut biasanya mengalami demam dan nyeri perut kanan bawah. Nyeri dapat berupa nyeri tekan maupun nyeri lepas dan lokasi nyeri dapat berpindah ke atas sesuai usia kehamilan karena uterus yang semakin membesar. Apendisitis akut pada kehamilan memiliki tanda-tanda yang khas, yaitu tanda Bryan (timbul nyeri bila uterus digeser ke kanan) dan tanda Alder (apabila pasien berbaring miring ke kiri, letak nyeri tidak berubah)5Meskipun jarang, penyakit Graves juga dapat menyebabkan hiperemesis. Oleh karena itu, perlu dicari apakah terdapat peningkatan FT4 atau penurunan TSH. Kadar FT4 dan TSH pada pasien hiperemesis gravidarum dapat sama dengan pasien penyakit Graves, tetapi pasien hiperemesis tidak memiliki antibodi tiroid atau temuan klinis penyakit Graves, seperti proptosis dan pembesaran kelenjar tiroid. Jika kadar FT4 meningkat tanpa didapatkan bukti penyakit Graves, pemeriksaan tersebut perlu diulang pada usia gestasi yang lebih lanjut, yaitu sekitar 20 minggu usia gestasi, saat kadar FT4 dapat menjadi normal pada pasien tanpa hipertiroidisme. Pemberian propiltiourasil pada pasien hipertiroidisme dapat meredakan gejala-gejala hipertiroidisme, tetapi tidak meredakan mual dan muntah.5

G. Manifestasi Klinis Batasan seberapa banyak terjadinya mual muntah yang disebut hiperemesis gravidarum belum ada kesepakatannya. Akan tetapi jika keluhan mual muntah tersebut sampai mempengaruhi keadaan umum ibu dan sampai mengganggu aktivitas sehari-hari sudah dapat dianggap sebagai hiperemesis gravidarum. Hiperemesis gravidarum, menurut berat ringannya gejala dapat dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu10: Tingkat I.Muntah terus menerus yang mempengaruhi keadaan umum penderita, ibu merasa lemah, nafsu makan tidak ada, berat badan menurun dan merasa nyeri pada epigastrium. Nadi meningkat sekitar 100 per menit, tekanan darah sistolik menurun, turgor kulit menurun, lidah mengering dan mata cekung. Tingkat II.Penderita tampak lebih lemas dan apatis, turgor kulit lebih menurun, lidah mengering dan nampak kotor, nadi kecil dan cepat, suhu kadang-kadang naik dan mata sedikit ikterus. Berat badan turun dan mata menjadi cekung, tensi turun, hemokonsentrasi, oliguria dan konstipasi. Aseton dapat tercium dalam bau pernapasan, karena mempunyai aroma yang khas dan dapat pula ditemukan dalam kencing. Tingkat III.Keadaan umum lebih buruk, muntah berhenti, kesadaran menurun dari somnolen sampai koma, nadi kecil dan cepat, suhu meningkat dan tensi menurun. Komplikasi fatal terjadi pada susunan saraf yang dikenal sebagai Encephalopathy Wernicke dengan gejala nistagmus, diplopia, dan perubahan mental. Keadaan ini terjadi akibat defisiensi zat makanan, termasuk vitamin B kompleks. Timbulnya ikterus menunjukan adanya gangguan hati.

H. Penatalaksanaan a) Non FarmakologiTata laksana awal dan utama untuk mual dan muntah tanpa komplikasi adalah istirahat dan menghindari makanan yang merangsang, seperti makanan pedas, makanan berlemak, atau suplemen besi.Perubahan pola diet yang sederhana, yaitu mengkonsumsi makanan dan minuman dalam porsi yang kecil namun sering cukup efektif untuk mengatasi mual dan muntah derajat ringan. Jenis makanan yang direkomendasikan adalah makanan ringan, kacang-kacangan, produk susu, kacang panjang, dan biskuit kering. Minuman elektrolit dan suplemen nutrisi peroral disarankan sebagai tambahan untuk memastikan terjaganya keseimbangan elektrolit dan pemenuhan kebutuhan kalori. Menu makanan yang banyak mengandung protein juga memiliki efek positif karena bersifat eupeptic dan efektif meredakan mual. Manajemen stres juga dapat berperan dalam menurunkan gejala mual..4Diet pada hiperemesis gravidarum bertujuan untuk mengganti persediaan glikogen tubuh dan mengontrol asidosis secara berangsur memberikan makanan berenergi dan zat gizi yang cukup. Diet hiperemesis gravidarum memiliki beberapa syarat, diantaranyanadalah: Karbohidrat tinggi Lemak rendah Protein sedang Makanan diberikan dalam bentuk kering; pemberian cairan disesuaikan dengan keadaan pasien, yaitu 7-10 gelas per hari Makanan mudah cerna, tidak merangsang saluran pencernaan, dan diberikan sering dalam porsi kecil Bila makan pagi dan siang sulit diterima, pemberian dioptimalkan pada makan malam dan selingan malam. Makanan secara berangsur ditingkatkan dalam porsi dan nilai gizi sesuai dengan keadaan dan kebutuhan gizi pasienAda 3 macam diet pada hiperemesis gravidarum, yaitu : DietbHiperemesisbIDiet hiperemesis I diberikan kepada pasien dengan hiperemesis gravidarum berat. Makanan hanya terdiri dari roti kering, singkong bakar atau rebus, ubi bakar atau rebus, dan buah-buahan. Cairan tidak diberikan bersama makanan tetapi 1-2 jam sesudahnya. Karena pada diet ini zat gizi yang terkandung di dalamnya kurang, maka tidak diberikan dalam waktu lama. DietbHiperemesisbIIDiet ini diberikan bila rasa mual dan muntah sudah berkurang. Diet diberikan secara berangsur dan dimulai dengan memberikan bahan makanan yang bernilai gizi tinggi. Minuman tidak diberikan bersamaan dengan makanan. Pemilihan bahan makanan yang tepat pada tahap ini dapat memenuhi kebutuhan gizi kecuali kebutuhan energi. DietbHiperemesisbIIIDiet hiperemesis III diberikan kepada pasien hiperemesis gravidarum ringan. Diet diberikan sesuai kesanggupan pasien, dan minuman boleh diberikan bersama makanan. Makanan pada diet ini mencukupi kebutuhan energi dan semua zat gizi.

b) FarmakologiPasien hiperemesis gravidarum harus dirawat inap dirumah sakit dan dilakukan rehidrasi dengan cairan natrium klorida atau ringer laktat, penghentian pemberian makanan per oral selama 24-48 jam, serta pemberian antiemetik jika dibutuhkan. Penambahan glukosa, multivitamin, magnesium, pyridoxine, atau tiamin perlu dipertimbangkan. Cairan dekstrosa dapat menghentikan pemecahan lemak. Untuk pasien dengan defisiensi vitamin, tiamin 100 mg diberikan sebelum pemberian cairan dekstrosa. Penatalaksanaan dilanjutkan sampai pasien dapat mentoleransi cairan per oral dan didapatkan perbaikan hasil laboratorium.Resusitasi cairan merupakan prioritas utama, untuk mencegah mekanisme kompensasi yaitu vasokonstriksi dan gangguan perfusi uterus. Selama terjadi gangguan hemodinamik, uterus termasuk organ non vital sehingga pasokan darah berkurang.2 Pada kasus hiperemesis gravidarum, jenis dehidrasi yang terjadi termasuk dalam dehidrasi karena kehilangan cairan (pure dehidration). Maka tindakan yang dilakukan adalah rehidrasi yaitu mengganti cairan tubuh yang hilang ke volume normal, osmolaritas yang efektif dan komposisi cairan yang tepat untuk keseimbangan asam basa. Pemberian cairan untuk dehidrasi harus memperhitungkan secara cermat berdasarkan: berapa jumlah cairan yang diperlukan, defisit natrium, defisit kalium dan ada tidaknya asidosis.5Berikan cairan parenteral yang cukup elektrolit, karbohidrat, dan protein dengan glukosa 5% dalam cairan garam fisiologis sebanyak 2-3 liter sehari. Bila perlu dapat ditambahkan kalium dan vitamin, terutama vitamin B kompleks dan vitamin C, dapat diberikan pula asam amino secara intravena apabila terjadi kekurangan protein.5Pemberian obat secara intravena dipertimbangkan jika toleransi oral pasien buruk. Obat-obatan yang digunakan antara lain adalah vitamin B6 (piridoksin), antihistamin dan agen-agen prokinetik. American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) merekomendasikan 10 mg piridoksin ditambah 12,5 mg doxylamine per oral setiap 8 jam sebagai farmakoterapi lini pertama yang aman dan efektif. Dalam sebuah randomized trial, kombinasi piridoksin dan doxylamine terbukti menurunkan 70% mual dan muntah dalam kehamilan. Suplementasi dengan tiamin dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi berat hiperemesis, yaitu Wernickes encephalopathy. Komplikasi ini jarang terjadi, tetapi perlu diwaspadai jika terdapat muntah berat yang disertai dengan gejala okular, seperti perdarahan retina atau hambatan gerakan ekstraokular. Antiemetik konvensional, seperti fenotiazin dan benzamin, telah terbukti efektif dan aman bagi ibu. Antiemetik seperti proklorperazin, prometazin, klorpromazin menyembuhkan mual dan muntah dengan cara menghambat postsynaptic mesolimbic dopamine receptors melalui efek antikolinergik dan penekanan reticular activating system. Obat-obatan tersebut dikontraindikasikan terhadap pasien dengan hipersensitivitas terhadap golongan fenotiazin, penyakit kardiovaskuler berat, penurunan kesadaran berat, depresi sistem saraf pusat, kejang yang tidak terkendali, dan glaucoma sudut tertutup. Namun, hanya didapatkan sedikit informasi mengenai efek terapi antiemetik terhadap janin.Fenotiazin atau metoklopramid diberikan jika pengobatan dengan antihistamin gagal. Prochlorperazine juga tersedia dalam sediaan tablet bukal dengan efek samping sedasi yang lebih kecil. Dalam sebuah randomized trial, metoklopramid dan prometazin intravena memiliki efektivitas yang sama untuk mengatasi hiperemesis, tetapi metoklopramid memiliki efek samping mengantuk dan pusing yang lebih ringan. Studi kohort telah menunjukkan bahwa penggunaan metoklopramid tidak berhubungan dengan malformasi kongenital, berat badan lahir rendah, persalinan preterm, atau kematian perinatal. Namun, metoklopramid memiliki efek samping tardive dyskinesia, tergantung durasi pengobatan dan total dosis kumulatifnya. Oleh karena itu, penggunaan selama lebih dari 12 minggu harus dihindari. Antagonis reseptor 5-hydroxytryptamine (5HT3) seperti ondansetron mulai sering digunakan, tetapi informasi mengenai penggunaannya dalam kehamilan masih terbatas. Seperti metoklopramid, ondansetron memiliki efektivitas yang sama dengan prometazin, tetapi efek samping sedasi ondansetron lebih kecil. Ondansetron tidak meningkatkan risiko malformasi mayor pada penggunaannya dalam trimester pertama kehamilan. Droperidol efektif untuk mual dan muntah dalam kehamilan, tetapi sekarang jarang digunakan karena risiko pemanjangan interval QT dan torsades de pointes. Pemeriksaan elektrokardiografi sebelum, selama dan tiga jam setelah pemberian droperidol perlu dilakukan. Untuk kasus-kasus refrakter, metilprednisolon dapat menjadi obat pilihan. Metilprednisolon lebih efektif daripada promethazine untuk penatalaksanaan mual dan muntah dalam kehamilan. Efek samping metilprednisolon sebagai sebuah glukokortikoid juga patut diperhatikan. Dalam sebuah metaanalisis dari empat studi, penggunaan glukokortikoid sebelum usia gestasi 10 minggu berhubungan dengan risiko bibir sumbing dan tergantung dosis yang diberikan. Oleh karena itu, penggunaan glukokortikoid direkomendasikan hanya pada usia gestasi lebih dari 10 minggu.5

Gambar 1. Algoritme terapi farmakologi untuk mual dan muntah dalam kehamilan 5

Tabel 1. Obat-obatan untuk tatalaksana mual dan muntah dalam kehamilan 5c) Terapi alternatifTerapi alternatif seperti akupunktur dan jahe telah diteliti untuk penatalaksanaan mual dan muntah dalam kehamilan. Akar jahe (Zingiber officinale Roscoe) adalah salah satu pilihan nonfarmakologik dengan efek yang cukup baik. Bahan aktifnya, gingerol, dapat menghambat pertumbuhan seluruh galur H. pylori, terutama galur Cytotoxin associated gene (Cag) A+ yang sering menyebabkan infeksi. Empat randomized trials menunjukkan bahwa ekstrak jahe lebih efektif daripada plasebo dan efektivitasnya sama dengan vitamin B6. Efek samping berupa refluks gastroesofageal dilaporkan pada beberapa penelitian, tetapi tidak ditemukan efek samping signifikan terhadap keluaran kehamilan Dosisnya adalah 250 mg kapsul akar jahe bubuk per oral, empat kali sehari. Terapi akupunktur untuk meredakan gejala mual dan muntah masih menjadi kontroversi. Penggunaan acupressure pada titik akupuntur Neiguan P6 di pergelangan lengan menunjukkan hasil yang tidak konsisten dan penelitiannya masih terbatas karena kurangnya uji yang tersamar. Dalam sebuah studi yang besar didapatkan tidak terdapat efek yang menguntungkan dari penggunaan acupressure, namun The Systematic Cochrane Review mendukung penggunaan stimulasi akupunktur P6 pada pasien tanpa profilaksis antiemetik. Stimulasi ini dapat mengurangi risiko mual. Terapi stimulasi saraf tingkat rendah pada aspek volar pergelangan tangan juga dapat menurunkan mual dan muntah serta merangsang kenaikan berat badan.5I. KomplikasiMuntah berkepanjangan, sering, dan memberat dan beberapa komplikasi fatal dapat terjadi. Derajat yang berbeda dari kerusakan ginjal akut dari dehidrasi dapat terjadi. Kemungkinan yang lain yaitu pneumothorax, pneumomediastinum, diaphragmatic rupture, dan rupture gastroesophageal, yaitu Boerhaave syndrome.3Pada beberapa kasus yang berat, kadar plasma zink meningkat, Cu menurun, dan kadar magnesium stabil. Setidaknya, pada dua kasus defisiensi vitamin, dilaporkan terjadi bersamaan dengan HEG. Frekuensi kejadian Encephalopathy Wernicke akibat defisiensi vitamin, telah dilaporkan meningkat. Pada review 49 kasus serupa, dilaporkan bahwa setengahnya mengalami trias confusion, ocular findings, dan ataxia. Dengan encephalopathy ini, didpatkan hasil EEG abnormal. Setidaknya 3 kematian maternal telah diuraikan, dengan sequele jangka panjang yaitu kebutaan, kejang, dan koma. Terakhir, defisiensi vitamin K telah dilaporkan menyebabkan koagulopati maternal dan perdarahan intrakranium janin.3

Gambar 1. Gambaran endoskopik rebokan Mallory-Weiss3