fess revisi2

48
BEDAH SINUS ENDOSKOPI FUNGSIONAL PADA RINOSINUSITIS KRONIS Dewi Sinaga , Denny S Utama Bagian IKTHT- KL FK Unsri/ Departemen KTHT-KL RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Abstrak Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) adalah prosedur operasi sinus invasif minimal dengan prinsip mengembalikan ventilasi dan drainase melalui ostium alami serta mengembalikan fungsi mucocilliary clearance. Indikasi terutama pada rinosinusitis kronik dan rinosinusitis akut rekuren. Teknik operasi BSEF bertahap dari yang paling ringan yaitu infundibulektomi, BSEF mini sampai frontosfenoidektomi total. Pemeriksaan pencitraan seperti Tomografi Komputer sinus paranasal merupakan baku emas dalam tindakan BSEF untuk mengidentifikasi penyakit, perluasannya serta mengetahui landmark dan variasi anatomi sinus paranasal serta untuk menghindari terjadinya komplikasi BSEF. Dilaporkan 2 kasus RSK pada wanita dengan DM tipe II dan laki-laki dengan Hipertensi yang ditatalaksana dengan BSEF. Paska operasi tampak perbaikan pada kedua kasus baik dari keluhan subjektif maupun pemeriksaan nasoendoskopi. Kata kunci : BSEF, Rinosinusitis kronis Abstract Functional endoscopic sinus surgery (BSEF) is a minimally invasive sinus surgery procedure, with the principle of restoring ventilation and drainage through natural ostia and restore function mucocilliary clearance. Indications, especially in chronic rhinosinusitis and recurrent acute rhinosinusitis. BSEF surgery techniques gradually from the lightest is infundibulektomi, mini BSEF to frontosfenoidektomi total. Computer tomography imaging examinations such as the paranasal sinuses is the 1

Upload: dewi-sinaga

Post on 04-Jan-2016

233 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: Fess Revisi2

BEDAH SINUS ENDOSKOPI FUNGSIONAL PADA RINOSINUSITIS KRONIS

Dewi Sinaga, Denny S Utama

Bagian IKTHT- KL FK Unsri/Departemen KTHT-KL RSUP Dr. Mohammad Hoesin

Palembang

AbstrakBedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) adalah prosedur operasi sinus invasif minimal dengan prinsip mengembalikan ventilasi dan drainase melalui ostium alami serta mengembalikan fungsi mucocilliary clearance. Indikasi terutama pada rinosinusitis kronik dan rinosinusitis akut rekuren. Teknik operasi BSEF bertahap dari yang paling ringan yaitu infundibulektomi, BSEF mini sampai frontosfenoidektomi total. Pemeriksaan pencitraan seperti Tomografi Komputer sinus paranasal merupakan baku emas dalam tindakan BSEF untuk mengidentifikasi penyakit, perluasannya serta mengetahui landmark dan variasi anatomi sinus paranasal serta untuk menghindari terjadinya komplikasi BSEF. Dilaporkan 2 kasus RSK pada wanita dengan DM tipe II dan laki-laki dengan Hipertensi yang ditatalaksana dengan BSEF. Paska operasi tampak perbaikan pada kedua kasus baik dari keluhan subjektif maupun pemeriksaan nasoendoskopi. Kata kunci : BSEF, Rinosinusitis kronis

Abstract Functional endoscopic sinus surgery (BSEF) is a minimally invasive sinus surgery procedure, with the principle of restoring ventilation and drainage through natural ostia and restore function mucocilliary clearance. Indications, especially in chronic rhinosinusitis and recurrent acute rhinosinusitis. BSEF surgery techniques gradually from the lightest is infundibulektomi, mini BSEF to frontosfenoidektomi total. Computer tomography imaging examinations such as the paranasal sinuses is the gold standard in action BSEF to identify the disease, its expansion and to know the anatomical landmarks and variations of paranasal sinuses and to avoid complications BSEF. Reported two cases of RSK in women with type II diabetes mellitus and men with hypertension are treated by BSEF. Postoperative improvement in both cases looks better than the subjective complaints and inspection nasoendoskopi.

Key word : FESS, Chronic Rhinosinusitis

1

Page 2: Fess Revisi2

PENDAHULUAN

Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) merupakan suatu prosedur

operasi yang invasif minimal. Saat ini merupakan teknik operasi yang sangat

populer dalam penatalaksanaan rinosinusitis kronis, polip hidung, tumor pada

hidung dan sinus paranasal, dan kelainan lainnya. Operasi sinus endoskopi ini

diawali oleh Messerklinger sebelum tahun 1970, kemudian teknik ini

dipopulerkan dan distandarisasi mulai tahun 1980 oleh Kennedy di USA dan oleh

Stammberger, Wigand serta Hosemann di Eropa. Sejak tahun 1990 sudah mulai

diperkenalkan dan dikembangkan di Indonesia.1-3 Prinsip bedah sinus endoskopi

ini adalah membuka dan membersihkan daerah kompleks osteomeatal yang

menjadi sumber penyumbatan dan infeksi sehingga ventilasi dan drainase sinus

dapat lancar kembali melalui ostium alami serta mengembalikan fungsi

mucocilliary clearance. Teknik operasi sinus konvensional lainnya yang bersifat

invasif radikal seperti operasi Caldwel-Luc, Fronto-etmoidektomi eksternal dan

lainnya, maka BSEF merupakan terapi yang lebih bersifat konservatif sehingga

tingkat morbiditasnya lebih minimal.2-5

Data dari CDC (The Center for Disease Control), menunjukkan terdapat

32 juta penderita rinosinusitis kronis dewasa di USA ( sekitar 16% dari populasi

dewasa) yang dapat menghabiskan biaya 5,8 hingga 6 miliar setiap tahunnya dan

hal ini dapat menjadi beban ekonomi yang besar. Penggunaan BSEF saat ini

merupakan suatu perubahan yang besar terhadap pendekatan terapi pada penyakit

ini, dan berdasarkan beberapa laporan dari penelitian menunjukkan tingkat

keberhasilan yang baik terhadap penatalaksanaan penyakit ini dengan pendekatan

BSEF.6-8 Dengan alat endoskopi maka mukosa yang sakit dan polip-polip yang

menyumbat diangkat sedangkan mukosa sehat tetap dipertahankan agar

transportasi mukosiliar tetap berfungsi dengan baik sehingga fungsi ventilasi dan

drainase tetap terjadi melalui ostium alami. Keuntungan dari teknik BSEF ini

adalah dengan penggunaan alat endoskopi bersudut dan sumber cahaya yang

terang maka visualisasi terhadap kondisi didalam rongga hidung, sinus dan daerah

sekitarnya dapat tampak jelas. Dengan demikian diagnosis lebih akurat dan

diharapkan operasi lebih teliti dan bersih sehingga hasil dapat lebih maksimal.2,9

2

Page 3: Fess Revisi2

Terris dan Davidson tahun 1994 menganalisis terhadap 1713 pasien RSK

dalam 10 seri yang dilakukan operasi BSEF, menunjukkan peningkatan perbaikan

gejala sampai 91%, dari jumlah tersebut 63% sangat baik, dan 28% baik,

sementara hanya 9% yang tidak ada perbaikan.10 Sedangkan Penttila tahun 1994

membandingkan teknik Caldwell-luc (CWL) dengan BSEF dan didapatkan 23%

dari 115 penderita yang dilakukan tindakan CWL menderita terus menerus yaitu

nyeri pipi, adanya sensasi terhadap perubahan suhu atau tekanan sebagai akibat

dari operasi sedangkan untuk kelompok BSEF menunjukkan perbaikan gejala

dengan morbiditas yang rendah.11 Sementara itu Lund dan Scadding tahun 1994

melaporkan terjadi peningkatan dalam CBF (Ciliary Beat Frequency) dari rata-

rata 13,1 Hz sampai 15 Hz pada 95 pasien yang dilakukan BSEF untuk kasus

RSK dimana ada perbaikan signifikan setelah 6 bulan paska operasi.12 Bersamaan

hasilnya seperti yang ditemukan oleh Abdel-Hak dkk tahun 1998 pada 70 pasien

yang diamati bersama.13

Vleming dkk tahun 1993 mencoba menghubungkan gambaran endoskopi

pada 131 pasien yang dilakukan BSEF untuk RSK, dimana 46% ditemukan

objektif yang baik dan adanya perbaikan keluhan subjektif, sementara 20%

gambaran objektif yang kurang baik meskipun keluhan pasien membaik dan 12%

tidak ada perbaikan.14 Forsgren dkk tahun 1995, membandingkan gambaran

histologikal pada mukosa yang dilakukan BSEF dan CWL, suatu parameter

reduksi inflamasi yang besar yang ditemukan pada CWL tetapi tidak ada

hubungan dengan perbaikan gejala maupun perbaikan endoskopi.15 Ada beberapa

penelitian yang membandingkan sebelum dan sesudah operasi dari gambaran

Tomografi Komputer (TK) sinus paranasal seperti Ikeda dkk melihat dari 32

pasien sebelum dan sesudah operasi terlihat suatu reduksi yang signifikan pada

nilai perluasan penyakit dan rata-rata 82% tiga bulan paska operasi.16

Modalitas pencitraan sangat diperlukan untuk mengkonfirmasi antara

temuan klinis dan endoskopi dengan pencitraan. Tersedianya alat diagnostik

Tomografi Komputer (TK) telah membuat pencitraan sinus paranasal lebih jelas

dan terinci, sedangkan dengan adanya alat endoskopi untuk operasi bedah sinus

menciptakan tindakan pengobatan yang tidak radikal tetapi dapat lebih tuntas.

3

Page 4: Fess Revisi2

Pencitraan dengan TK sinus paranasal diperlukan juga untuk mengidentifikasi

penyakit dan perluasannya serta mengetahui landmark dan variasi anatomi organ

sinus paranasal dan hubungannya dengan dasar otak dan orbita serta mempelajari

daerah-daerah rawan tembus kedalam orbita dan intra kranial. Namun seiring

perkembangannya BSEF juga dapat menimbulkan komplikasi yang dapat terjadi

selama atau setelah prosedur operasi, baik komplikasi intranasal,

periorbita/orbital, intrakranial, vaskular dan sistemik, sehingga perawatan paska

operasi yang baik untuk memperoleh hasil yang optimal.2,9

ANATOMI

Banyaknya variabilitas anatomi dan hubungan antar sinus, maka teknik

bedah endoskopi memerlukan pengetahuan yang rinci mengenai anatomi untuk

menghindari komplikasi potensial. Hidung dibagi atas hidung bagian luar dan

hidung bagian dalam. Hidung bagian luar dibentuk oleh kerangka tulang dan

tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat, dan beberapa otot kecil yang

berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Rongga hidung

berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi

dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Tiap kavum nasi

memiliki 4 dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior.17,18

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya

paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media,

lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka

suprema yang biasanya rudimenter. Diantara konka-konka dan dinding lateral

hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus,

ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior

terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga

hidung, dan pada meatus inferior terdapat ostium duktus nasolakrimalis. Meatus

medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada

meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila, dan sinus etmoid

anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior

dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.17-19

4

Page 5: Fess Revisi2

Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina

kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina

kribriformis merupakan tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Di

bagian posterior atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid. Celah pada dinding

lateral hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea disebut

sebagai kompleks ostiomeatal (KOM). Struktur anatomi yang penting membentuk

KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula

etmoid, agger nasi dan resesus frontal. KOM merupakan unit fungsional yang

tempat ventilasi dan drainase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus

maksila, etmoid anterior dan frontal. Jika terjadi obstruksi pada celah yang sempit

ini maka akan terjadi perubahan patologis yang signifikan pada sinus-sinus yang

terkait.17,19-21

Prosesus unsinatus paling baik dinilai dengan memaparkan secara sagital

setelah memindahkan konka media kearah superior. Bagian posterior bebas

sedangkan batas anterior berbatasan dari hiatus semilunaris. Prosesus unsinatus

membentuk dinding medial dari infundibulum etmoid. Menempel bagian anterior

superior pada krista etmoid dari maksila, dibawahnya prosesus unsinatus

bergabung dengan bagian posterior tulang lakrimal. Sedangkan bagian anterior

inferior tidak memiliki perlekatan tulang. Pada bagian superior medial merupakan

lantai dari resesus frontal yang sangat penting diperhatikan saat pembedahan

resesus frontal. Bagian tengah sejajar dengan bula etmoid, ini yang menjadi alasan

pembuangan prosesus unsinatus adalah salah satu tahap pertama pada

pembedahan sinus endoskopi karena memberikan akses bedah dari bula etmoid

dan struktur etmoid yang lebih dalam. Bagian inferior berbatasan dengan bagian

medial dari sinus maksila. Ostium sinus maksila terletak medial dan superior

terhadap bagian ini, dengan demikian bagian ini harus dibuang untuk

memperlebar ostium alami.18,19

Infundibulum etmoid dinding anterior dibentuk oleh prosesus unsinatus,

dinding medial dibentuk oleh prosesus frontalis os maksila dan lamina papiracea.

Dibatasi secara medial oleh prosesus unsinatus yang terlindungi mukosa, secara

lateral oleh lamina orbitalis, secara anterior dan superior oleh resesus frontal dari

5

Page 6: Fess Revisi2

maksila dan tulang lakrimal secara superolateral. Infundibulum etmoid bergabung

dengan meatus medius melewati hiatus semilunaris.18,19 Bula etmoid adalah salah

satu sel udara etmoid yang paling konstan dan besar, terletak diantara meatus

medius dan secara langsung berada dibagian posterior prosesus unsinatus dan

anterior terhadap lamina basalis. Dinding anterior dari bula etmoid dapat

mengalami perpanjangan sampai basis kranii dan membentuk batas posterior dari

resesus frontal. Jika bula tidak mencapai basis kranii, sebuah resesus suprabular

terbentuk diantara basis kranii dan permukaan superior dari bula. Hiatus

semilunaris adalah celah berbentuk bulan sabit diantara batas bebas bagian

posterior dari prosesus unsinatus dan dinding anterior dari bula etmoid. Hiatus

semilunaris melewati celah dua dimensi yang berorientasi secara sagital atau jalur

dimana meatus media bergabung dengan infundibulum etmoid.18-20

Resesus frontal merupakan bagian paling anterior dan superior dari sinus

etmoid anterior yang berhubungan dengan sinus frontal. Resesus frontal adalah

ruang diantara sinus frontalis dan hiatus semilunaris yang menuju ke aliran sinus.

Bagian anterior dibatasi oleh sel agger nasi, superior oleh sinus frontalis, bagian

medial oleh konka media, dan bagian lateral dengan lamina papiracea. Struktur

yang anomali seperti sinus lateralis (bagian posterior ke resesus frontalis didasar

tengkorak) dan bula frontalis (bagian posterior ke resesus didasar sinus frontalis)

menyebabkan salah interpretasi seperti sinus frontalis saat operasi sinus.18,19

Sel Agger nasi dijumpai di os lakrimal anterior dan superior persimpangan

dari konka media dengan dinding lateral nasal. Sel ini tersembunyi di belakang

anterior prosesus unsinatus dan mengalirkan ke dalam hiatus semilunaris. Ini

merupakan sel yang pertama pneumatisasi pada bayi yang baru lahir dan terdapat

satu sampai tiga sel. Dinding sel posterior membentuk dinding anterior dari

resesus frontalis. Atap sel agger nasi adalah dasar dari sinus frontal, yang

merupakan tanda penting untuk operasi sinus frontal.18,19

Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit

dideskripsikan karena bentuknya yang bervariasi untuk tiap individu. Ada empat

pasang sinus paranasal, yaitu : sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid, dan

sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi

6

Page 7: Fess Revisi2

tulang-tulang kepala sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus

mempunyai muara ke dalam rongga hidung. Secara embriologis sinus paranasal

berasal dari invaginasi rongga hidung dan perkembangan dimulai sejak fetus

berusia 3-4 bulan kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal.18-20

Sinus maksilaris orang dewasa adalah berbentuk piramida mempunyai

volume kira-kira 15 ml (34x33x23 mm). Dasar dari piramida adalah dinding nasal

dengan puncak yang menujuk ke arah prosesus zigomatikum. Dinding anterior

mempunyai foramen infraorbital berada pada bagian midsuperior dimana nervus

infraorbital berjalan diatas atap sinus dan keluar melalui foramen itu. Saraf ini

dapat dehisense (14%). Bagian yang tertipis dari dinding anterior adalah sedikit

diatas fosa kanina. Atap dibentuk oleh dasar orbita dan ditranseksi oleh nervus

infraorbita. Dinding posterior tidak bisa ditandai. Cabang dari arteri maksilaris

interna mendarahi sinus ini. Termasuk infraorbital yang berjalan bersama dengan

nervus infraorbital, cabang lateral sfenopalatina, palatina mayor, vena axillaris,

dan vena jugularis sistem dural sinus. Sinus maksilaris disarafi oleh cabang dari

nervus palatina mayor dan nervus infraorbital. Ostium maksilaris terletak dibagian

superior dari dinding medial sinus. Intranasal biasanya terletak pertengahan

posterior infundibulum etmoidalis, atau dibawah 1/3 bawah prosesus unsinatus.

Tepi posterior dari ostium ini berlanjut dengan lamina papiracea, sekaligus ini

menjadi tanda (landmark) untuk batas lateral dari diseksi pembedahan. Ukuran

ostium ini rata-rata 2,4 mm tetapi bervariasi antara 1-17 mm. Ostium ini jauh

lebih kecil dibanding defek pada tulang sebab mukosa mengisi area ini dan

menggambarkan tingkat dari pembukaan itu. 88% dari ostium bersembunyi

dibelakang prosesus unsinatus oleh karena itu tidak terlihat secara endoskopi.18,19,20

Sel etmoid bervariasi dan sering ditemukan diatas orbita, sfenoid lateral,

ke atap maksila, dan sebelah anterior diatas sinus frontal. Sel ini disebut sel

supraorbital dan ditemukan 15% dari pasien. Penyebaran sel etmoid ke dasar sinus

frontal disebut frontal bula. Penyebaran ke konka media disebut konka bullosa.

Sel yang berada pada dasar sinus maksila (infraorbita) disebut sel Haller dan

dijumpai pada 10% populasi. Sel-sel ini dapat menyumbat ostium maksila dan

membatasi infundibulum mengakibatkan gangguan pada fungsi sinus. Sel yang

7

Page 8: Fess Revisi2

meluas ke anterior lateral sinus sfenoid disebut sel Onodi. Sel Onodi adalah sel-

sel etmoid yang terletak anterolateral menuju sinus sfenoidalis. Struktur penting

seperti arteri karotis dan nervus optikus bisa melalui sel ini. Struktur ini sering

dehisense. Perlu tindakan yang hati-hati di area ini dan pemeriksaan radiografi

yang baik untuk menghindari hasil yang tidak diinginkan. Variasi dari sel ini

penting pada saat preoperatif untuk memperjelas anatomi pasien secara

individu.18,19

Aliran darah sinus etmoid berasal dari arteri karotis eksterna dan interna,

arteri opthalmika dan arteri sfenopalatina, pembuluh vena mengikuti arterinya.

Persarafan dilakukan oleh nervus V1 dan V2. Nervus V1 mensarafi bagian superior

sedangkan V2 mensarafi bagian inferior. Persarafan parasimpatis melalui nervus

Vidian, sedangkan saraf simpatis melalui ganglion simpatetik servikal dan

berjalan bersama pembuluh darah menuju mukosa sinus. Struktur yang

memisahkan antara sel etmoid anterior dengan sel etmoid posterior disebut

sebagai lamella basalis.18,19

Sinus frontalis dibentuk dari perkembangan keatas oleh sel-sel etmoid

anterior. Volume sinus ini sekitar 6-7 ml (28 x 24 x 20 mm). Anatomi sinus ini

sangat bervariasi namun secara umum ada dua sinus. Sinus frontal mendapat

perdarahan dari arteri optalmika melalui arteri supraorbita dan suprathroklear.

Aliran vena melalui vena optalmika superior menuju sinus kavernosus dan

melalui vena-vena kecil didalam dinding posterior yang mengalir ke sinus

dural.18,19

Sinus sfenoidalis adalah struktur yang unik yang tidak dibentuk dari

kantong rongga hidung. Sinus ini dibentuk didalam kapsul rongga hidung dari

hidung janin. Tidak berkembang hingga usia 3 tahun. Usia 7 tahun pneumatisasi

mencapai sella turcica. Usia 18 tahun sinus sudah mencapai ukuran penuh.

Volume sinus sfenoidalis 7,5 ml (23 x 20 x 17 mm). Secara umum terletak

posterosuperior dari rongga hidung. Ostium sinus ini bermuara ke resesus

sfenoetmoidalis, ukurannya 0,5-4 mm dan letaknya sekitar 10 mm dari dasar

sinus. Arteri etmoidalis posterior mendarahi atap sinus sfenoidalis. Bagian lain

8

Page 9: Fess Revisi2

sinus mendapat aliran darah dari arteri sfenopalatina. Aliran vena melalui vena

maksilaris ke vena jugularis dan pleksus pterigoid.18-20

FUNGSI SINUS PARANASAL

Fisiologi dan fungsi sinus paranasal meliputi kelembaban udara inspirasi,

membantu pengaturan tekanan intranasal, mendukung pertahanan imun,

meningkatkan area permukaan mukosa, meringankan volume tenggkorak,

memberi resonansi suara, menyerap goncangan, mendukung perkembangan

masase muka. Hidung adalah suatu alat pelembab udara. Produksi mukosa sinus

yang berlimpah akan berperan dalam pertahanan imun dan penyaringan udara.

Hidung dan mukosa sinus terdiri dari sel silia yang berfungsi untuk menggerakkan

mukosa ke koana. Lapisan superfisial yang dikentalkan oleh mukosa hidung yang

berperan menjerat bakteri dan partikel yang mengandung unsur yang kaya dengan

sel imun, antibodi dan protein antibakteri.19,22

INDIKASI OPERASI

Indikasi operasi pada umumnya adalah untuk rinosinusitis kronik,

rinosinusitis akut berulang dan polip hidung yang telah diberi terapi

medikamentosa yang optimal. Indikasi lain BSEF adalah rinosinusitis dengan

komplikasi dan perluasannya, mukokel, sinusitis jamur yang invasif dan

neoplasia. Saat ini indikasi BSEF sudah meluas antara lain untuk mengangkat

tumor pada hidung dan sinus paranasal, menambal kebocoran likuor

serebrospinal, tumor hipofisa, tumor dasar otak sebelah anterior, media bahkan

posterior, dakriosistorinostomi, dekompresi orbita, dekompresi nervus optikus,

dan kelainan kongenital (atresia koana).2,22,23

Rinosinusitis kronis (RSK) adalah sekumpulan gejala yang ditandai

dengan adanya proses inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang

menyebabkan suatu penyumbatan atau obstruksi pada ostium sinus sehingga

menyebabkan terjadinya gangguan drainase dari rongga sinus.3,6,8,22,24 Diagnosis

RSK ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, endoskopi, dan

modalitas pencitraan. Gejala klinis suatu RSK dibuat berdasarkan kriteria mayor

9

Page 10: Fess Revisi2

dan kriteria minor dan setidaknya RSK ditegakkan berdasarkan 2 kriteria mayor

atau lebih, atau 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor seperti yang ditetapkan

oleh Rhinosinusitis Task Force (RSTF) tahun 1997.3,6,9,25 Adapun kriteria mayor

adalah hidung tersumbat (blockade), sekret di hidung (purulen), hiposmia atau

anosmia, wajah terasa penuh (facial congestion/fullness), nyeri wajah (facial

pain). Sedangkan gejala minor adalah demam, halitosis, sakit kepala, batuk,

lelah/letih, nyeri gigi, nyeri telinga atau rasa tertekan atau penuh pada telinga. Dan

gejala klinis yang persisten ini berlangsung lebih dari 12 minggu. 22,26-28

Pemeriksaan fisik berupa rinoskopi anterior dapat terlihat adanya sekret di

meatus medius atau meatus superior, mungkin terlihat adanya polip yang

menyertai rinosinusitis kronik. Pemeriksaan nasoendoskopi sangat dianjurkan

karena dapat menunjukkan kelainan yang tidak dapat terllihat dengan rinoskopi

anterior, misalnya sekret purulen minimal di meatus medius atau superior, polip

kecil, ostium asesorius, edema prosesus unsinatus, konka bulosa, konka

paradoksikal, dan spina septum.2,29

Modalitas pencitraan juga sangat diperlukan untuk mengkonfirmasi antara

temuan klinis dan endoskopi dengan pencitraan. Pemeriksaan TK sinus paranasal

dianjurkan dan merupakan baku emas untuk pasien RSK yang tidak ada perbaikan

dengan terapi medikamentosa. Dengan potongan koronal sudah dapat diketahui

dengan jelas perluasan penyakit didalam rongga sinus dan adanya kelainan di

KOM (kompleks osteomeatal ).2,6,29

Staging untuk RSK dapat diklasifikasikan berdasarkan gambaran TK

menurut Lund-Mackay. Setiap grup sinus (maksilaris, etmoid anterior, etmoid

posterior, sfenoid, dan frontal) dibagi atas 3 grade yaitu: Grade 0 adalah normal,

grade 1 adalah parcial opacification, grade 2 adalah total opacification. Untuk

daerah KOM dibagi 2 grade yaitu nilai 0 berarti normal (no occlusion), nilai 2

bila ada opacification. Variasi anatomi seperti konka bulosa, konka media

paradoksikal, dicatat sebagai nilai 0 (absent) dan nilai 1 (present). Selain itu ada

pembagian lain RSK berdasarkan sistem Glicklick dan Metson yang terdiri dari :

1). Stadium 0 bila kurang dari 2 mm ketebalan mukosa pada beberapa dinding

sinus. 2). Stadium 1 dimana penyakit unilateral dan atau abnormalitas anatomi. 3).

10

Page 11: Fess Revisi2

Stadium 2 yaitu penyakit bilateral terbatas pada sinus etmoid atau sinus maksila.

4). Stadium 3 yaitu penyakit bilateral dengan keterlibatan sedikitnya satu sfenoid

atau sinus frontal. 5). Stadium 4 adalah bila mengenai seluruh sinus

(pansinusitis).6,28,30,31

KONTRA INDIKASI

Kontra indikasi BSEF adalah osteitis atau osteomielitis tulang frontal yang

disertai pembentukan sekuester, paska operasi radikal dengan rongga sinus yang

mengecil (hipoplasia), Penderita yang disertai hipertensi maligna, diabetes

mellitus, kelainan hemostasis yang tidak terkontrol, dan riwayat merokok juga

merupakan kontra indikasi relatif karena tingginya insidensi terbentuknya skar,

jaringan granulasi, dan rekurensi penyakit.2,9

PERSIAPAN OPERASI

Sebelum dilakukan operasi kondisi pasien perlu dipersiapkan dengan

sebaik-baiknya. jika ada tanda-tanda inflamasi maupun infeksi harus diatasi

dahulu. Perlunya pemeriksaan nasoendoskopi sebelum operasi untuk menilai

anatomi dinding lateral hidung dan variasi anatominya. Hal ini untuk

memprediksi dan mengantisipasi kesulitan dan kemungkinan komplikasi yang

terjadi saat operasi, seperti meatus medius yang sempit karena deviasi septum,

konka media bulosa, polip meatus medius, konka media paradoksikal dan

lainnya.2,9

Pemeriksaan pencitraan seperti Tomografi Komputer sinus paranasal

merupakan baku emas dalam tindakan BSEF. Hal ini diperlukan untuk

mengidentifikasi penyakit dan perluasannya serta mengetahui landmark dan

variasi anatomi sinus paranasal dan hubungannya dengan dasar otak dan orbita

serta mempelajari daerah-daerah rawan tembus ke dalam orbita dan intrakranial.

Konka-konka, meatus-meatus terutama meatus media beserta kompleks

ostiomeatal dan variasi anatomi seperti kedalaman fossa olfaktorius, adanya sel

Onodi, sel Haller dan lainnya perlu diketahui dan di identifikasi, demikian pula

11

Page 12: Fess Revisi2

lokasi arteri etmoid anterior, nervus optikus, dan arteri karotis interna penting

diketahui.2,32

Gambar TK penting sebagai panduan yang akurat untuk operator saat

melakukan tindakan operasi. Berdasarkan gambar TK tersebut operator dapat

mengetahui daerah-daerah rawan tembus dan dapat menghindari daerah tersebut

atau bisa bersikap lebih hati-hati untuk menghindari komplikasi. Untuk menilai

tingkat keparahan inflamasi dapat menggunakan beberapa sistem gradasi seperti

staging Lund-Mackay. Sedangkan untuk menilai kedalaman olfaktorius dipakai

sistem kerose.2,32

TAHAPAN OPERASI

Tujuan BSEF adalah membersihkan penyakit di kompleks osteomeatal

dengan panduan endoskopi dan memulihkan kembali drainase dan ventilasi sinus

besar yang sakit secara alamiah. Prinsip BSEF adalah bahwa hanya jaringan

patologik yang diangkat sedangkan jaringan sehat dipertahankan agar tetap

berfungsi. Teknik operasi BSEF adalah secara bertahap mulai dari yang paling

ringan yaitu infundibulektomi, BSEF mini sampai frontosfenoidektomi total.

Tahap operasi disesuaikan dengan luasnya penyakit. Berikut ini dijelaskan

tahapan operasi yaitu : 1) Unsinektomi, 2) Antrostomi meatus medius, 3)

Etmoidektomi anterior, 4) Etmoidektomi posterior, 5) Sfenoidektomi, 6) Bedah

sinus frontal.2,9,18,33

Indikasi tahapan tersebut tergantung dari luasnya penyakit dan variasi

anatomi. Cara melakukan tahapan BSEF tersebut tergantung dari teknik operasi

yang dikuasai operator dan ketersediaan alat yang memadai. BSEF sebaiknya

dilakukan dalam anestesi umum, sebelum dilakukan pembedahan diberikan

dekongestan terhadap hidung dengan menggunakan oksimetazolin. Dinding

lateral hidung di infiltrasi dengan menggunakan xylocain 1% dengan epinefrin

1:100.000 pada anterior dari perlekatan konka media, anterior dari bagian inferior

prosesus unsinatus, bagian inferior dari konka media dan pertengahan dasar konka

inferior. Berikut tahapan operasi sebagai berikut: 2,18,33

12

Page 13: Fess Revisi2

Infundibulektomi dan Unsinektomi

Langkah pertama diperhatikan akses ke meatus medius, jika sempit akibat

deviasi septum, konka bulosa, atau polip, koreksi atau angkat polip dahulu. Tidak

setiap deviasi septum dikoreksi kecuali diduga sebagai penyebab penyakit atau

dianggap akan menggangu prosedur endoskopik. Tahap awal operasi adalah

membuka rongga infundibulum yang sempit dengan cara mengangkat prosesus

unsinatus sehingga akses ke ostium sinus maksila terbuka. Selanjutnya ostium

dinilai apakah perlu diperlebar atau dibersihkan dari jaringan patologik.2,18

Unsinektomi atau infundibulotomi dilakukan dengan pisau sabit (sickle

knife), dimulai dari ujung atas perlekatan konka media pada dinding lateral

hidung, insisi kearah inferior menyusuri batas depan prosesus unsinatus

selanjutnya ke posterior sejajar batas bawah konka media. Prosesus unsinatus di

luksasi dulu dengan ostium seeker, dengan cara menyelipkan ujung bengkoknya

ke bibir dalam prosesus unsinatus melalui hiatus semilunaris, lalu tarik prosesus

unsinatus ke medial, selanjutnya prosesus unsinatus dipotong dengan back bitting.

Tujuan unsinektomi adalah membuka rongga infundibulum yang sempit sehingga

drainase dan ventilasi sinus maksila terbuka, membuka akses ke ostium sinus

maksila dan evaluasi ostium, apakah terbuka, tertutup, atau sempit, sehingga perlu

diperlebar.2,18,33

Antrostomi meatus medius

Mengidentifikasi batas potongan prosesus unsinatus dan menariknya

kearah medial menggunakan ball-tipped seeker (ball point probe). Apabila ostium

tidak terlihat pada bagian lateral sisa prosesus unsinatus dilakukan penekanan

pada fontanela posterior untuk melihat adanya gelembung. Kemudian dilakukan

reseksi pada sisa prosesus unsinatus menggunakan forsep back bitting, kemudian

memperluas antrostomi secara inferior dan posterior apabila diperlukan.

Antrostomi sebaiknya dilakukan setelah unsinektomi dan sebelum etmoidektomi,

karena identifikasi ostium lebih mudah jika masih ada bula etmoid. Setelah ostium

tampak, perhatikan bentuk dan besarnya, apakah perlu diperlebar. Kenali

fontanela anterior dan fontanela posterior, yaitu dinding medial sinus maksilaris

13

Page 14: Fess Revisi2

disisi anterior dan posterior ostium yang tidak mengandung tulang. Bila ada

ostium asesori akan tampak di area ini.2,34

Penetrasi sinus maksilaris melalui meatus medius dimulai dengan hati-

hati, medialisasi konka media dengan menggunakan elevator freer, hati-hati

fraktur tulang konka media. Prosesus unsinatus di identifikasi dan hiatus

semilunaris dan bula etmoid divisualisasi. Prosesus unsinatus dapat dimedialisasi

dengan ballpoint probe dan di insisi sepanjang insersi dinding lateral hidung

menggunakan sickle knife atau elevator sharp, kemudian forsep blakesley

digunakan untuk memobilisasi insersi bagian superior dan inferior prosesus

unsinatus dengan gerakan memutar.9,34

Sesudah mengangkat prosesus unsinatus, ostium alami sinus maksilaris

akan terlihat dan dipalpasi dengan ballpoint probe atau curved suction. Sinus

maksilaris kemudian diperlebar dengan forsep sharp cutting, bagian inferior,

posterior dan anterior. Jika ada ostium asesorius akan diperluas kearah posterior

sehingga bersatu dengan ostium alami. Ostium yang baru diameternya setidaknya

lebih dari 1 cm akan mengurangi resiko stenosis karena skar.2,34

Selanjutnya isi antrum dievaluasi dengan teleskop 30°, perhatian ditujukan

pada kondisi mukosa, apakah ada polip, kista dan lain-lain. Dapat dinilai juga

gambaran kanal jalan arteri dan nervus infraorbitalis di atap antrum. Jika ada

ostium asesori, maka harus disatukan dengan ostium asli, diperlebar hingga

keduanya bersatu. Sebenarnya prosedur pelebaran ostium ini tidak rutin

dikerjakan kecuali ostium tersumbat oleh jaringan edema, hipertrofi atau ada

massa polip, jika perlu diperlebar dianjurkan ke arah anterior memotong fontanela

anterior dan ke arah posterior dengan memotong fontanela posterior.2,33,34

Etmoidektomi anterior

Apabila ditemukan sinusitis etmoid maupun polip, operasi dilanjutkan

dengan etmoidektomi, sel-sel sinus dibersihkan termasuk resessus frontal jika ada

sumbatan didaerah ini dan jika disertai sinusitis frontal. Gunakan teleskop 0°

sampai teridentifikasi daerah mayor. Kemudian identifikasi dan membuka bula

dengan menggunakan forsep atau mikrodebrider. Identifikasi juga dinding orbital

14

Page 15: Fess Revisi2

medial sedini mungkin saat dilakukan prosedur. Dengan menggunakan teleskop

0° dinding anterior bula etmoid ditembus dan diangkat sampai tampak dinding

belakangnya yaitu lamina basalis yang membatasi sel-sel etmoid anterior dan

posterior. Jika ada sinus lateralis maka lamina basalis akan berada dibelakang

sinus lateralis ini.2,18,35

Etmoidektomi posterior

Apabila sudah memasuki etmoid posterior, maka teleskop secara perlahan

ditarik agar didapatkan pandangan keseluruhan dari lamina basalis. Lamina

basalis tampak tipis keabu-abuan, lamina basalis ditembus dibagian infero-medial

untuk membuka sinus etmoid posterior. Selanjutnya sel-sel etmoid posterior

(umumnya sel-selnya besar) diobservasi dan jika ada kelainan sel-selnya

dibersihkan dan atap sinus etmoid posterior yang merupakan dasar otak di

identifikasi sebagai tulang keras yang letaknya agak horizontal. Saat diseksi di

sinus etmoid posterior, harus di ingat adanya sel Onodi. Jika ada sel etmoid yang

sangat berpneumatisasi, berbentuk piramid dengan dasarnya menghadap ke

endoskopi, ini adalah sel Onodi. Sebaiknya hindari trauma pada daerah ini karena

dapat terjadi trauma pada arteri karotis interna dan nervus optikus.2,18,35

Sfenoidektomi

Teknik yang biasa dilakukan adalah sfenoidotomi bukan sfenodektomi,

yaitu hanya membuka sinus sfenoid. Ini bukan prosedur rutin BSEF. Didalam

sinus ada kanal nervus optikus dan arteri karotis sehingga manipulasi daerah ini

dapat berakibat kebutaan, kebocoran likuor atau perdarahan hebat. Sfenodektomi

memerlukan perencanaan yang matang. Metode paling aman untuk memasuki

sfenoid adalah dari dalam sinus etmoid. Mengidentifikasi meatus superior dan

konka superior dengan meraba kearah medial diantara konka medius dan superior.

Kemudian dilakukan reseksi bagian inferior dari konka superior dengan

menggunakan forsep atau mikrodebrider. Raba ostium sinus sfenoid pada bagian

medial dimana konka superior direseksi. Pelebaran ostium dengan menggunakan

Stammberger mushroom punch dan Hajek rotating sphenoid punch.2,18,33

15

Page 16: Fess Revisi2

Bedah sinus frontal

Untuk memperbaiki drainase sinus frontal dan membuka ostium sinus

frontal, resesus frontal harus dibersihkan terlebih dahulu. Diseksi disini

menggunakan cunam Blakesley upturned dipandu endoskop 30°. Setelah sel-sel

resesus frontal dibersihkan, ostium biasanya langsung tampak. Lokasi ostium

dapat di identifikasi berdasar tempat perlekatan superior dari prosesus unsinatus.

Jika perlekatan tersebut pada orbita maka drainase dan lokasi ostium ada

disebelah medial perlekatan unsinatus. Jika unsinatus melekat pada dasar otak

atau konka media, maka drainase dan ostium ada disebelah lateral perlekatan.

Panduan ini terutama diperlukan jika ostium tersembunyi oleh polip, sel-sel

frontal dan variasi anatomi.2,33,35

Beberapa penyebab ostium sinus frontal tersembunyi adalah jaringan

edema, polip, sisa prosesus unsinatus di bagian superior, variasi anatomi seperti

sel-sel agger nasi yang meluas ke posterior, bula etmoid meluas ke anterior, sel

supra orbital sangat cekung menyerupai kedalaman sinus frontal. Semua ini

dibersihkan dengan cunam Blekesley upturned, cunam-cunam jerapah atau kuret J

dipandu endoskop 30° dan 70°, dengan memperhatikan luasnya sinus frontal pada

gambar TK, serta mengingat lokasi drainase sinus frontal. Adanya gelembung

udara atau turunnya sekret menunjukkan lokasi ostium yang sebenarnya. Setelah

resesus frontal dan infundibulum dibersihkan maka jalan ke sinus frontal dan

maksila sudah terbuka, drainase dan ventilasi akan pulih dan kelainan patologik di

kedua sinus tersebut akan sembuh sendiri dalam beberapa minggu tanpa dilakukan

suatu tindakan didalamnya.2,18,33

Pada operasi sesungguhnya perhatian ditujukan pada sinus frontal di

gambaran TK, disesuaikan dengan yang ditemukan saat operasi, agar tidak keliru

menduga sel etmoid supra/retro orbital sebagai sinus frontal. Pada TK harus tetap

diperhatikan lengkung dasar otak yang menghubungkan atap etmoid dengan

lamina kribrosa. Lengkung ini (lamina lateralis kribrosa) yang panjangnya

bervariasi antara 3-16 mm dan sangat tipis, sehingga rawan tembus ke intrakranial

(ada 3 tipe bentuk lengkung atau disebut 3 tipe Kerose). 2,33

16

Page 17: Fess Revisi2

PERAWATAN PASKA OPERATIF

Perawatan paska operatif bedah sinus endoskopi sangat penting dan

berbeda setiap individu. Penggunaan tamponasi (nasal packing) dianjurkan oleh

beberapa peneliti sementara beberapa peneliti lainnya tidak menganjurkan

pemasangan tampon. Jika memakai tampon harus diangkat antara 1-7 hari paska

operasi atau rata-rata 2-3 hari untuk hemostat. Pada beberapa kasus, tampon

sebaiknya minimal bila intraoperatif dapat dikontrol perdarahannya. Biasanya 1

minggu paska operatif kita mulai melakukan aspirasi sekresi luka dan melepaskan

atau mengangkat krusta dengan instrumen dibawah pandangan endoskopi dengan

menggunakan teleskop. Sebaiknya tidak ada trauma baru yang terjadi selama

melakukan prosedur ini. Biasanya kontrol endoskopi pertama paska operasi

memberikan kesan apakah memerlukan penanganan yang lebih sering dengan

interval yang lebih pendek atau tidak.33,36

Operasi rongga hidung membutuhkan pembersihan sesudah pengangkatan

tampon, menggunakan cairan saline (NaCl 0,9%) untuk melembabkan bekuan

darah dan krusta-krusta akibat operasi. Semua pasien paska operatif endoskopi

dilakukan cuci hidung dan diberikan terapi medikamentosa dan follow up selama

minimal 3 bulan. Penilaian gejala klinis dan pemeriksaan endoskopi dilakukan

bervariasi dan berbeda setiap individu dan dinilai setiap 2 minggu, 1 bulan, 2

bulan dan 3 bulan paska operatif. Ada 2 situasi dimana dibutuhkan perawatan

paska operasi yang lebih panjang jika pembedahan pada resesus frontalis dan

ostium sinus frontal, misalnya terhalangi jaringan parut yang hebat oleh karena

operasi sebelumnya karena adanya massa. Untuk kasus ini perawatan paska

operasi dengan interval yang pendek dianjurkan untuk mencegah stenosis.33,36

Perawatan lokal terhadap mukosa termasuk debridemen krusta dibawah

anestesi lokal, juga untuk membuka sinekia jika mulai terbentuk dan suctioning

ostium yang baru (neo ostium). Edema mukosa hidung dan pembentukan jaringan

granulasi dapat diterapi dengan pemberian antibiotik dan kortikosteroid. Peri dan

paska operatif pemberian antibiotik sistemik tidaklah merupakan prosedur rutin

operasi endonasal, tetapi di indikasikan pada kasus-kasus infeksi purulen atau

17

Page 18: Fess Revisi2

osteomyelitis. Pemberian kortikosteroid sistemik dapat di indikasikan pada kasus-

kasus poliposis yang banyak pada beberapa hari paska operasi.33,36

KOMPLIKASI

Seiring dengan kemajuan yang pesat dari teknik BSEF ini, para ahli juga

banyak melakukan penelitian mengenai komplikasi yang terjadi dari prosedur

operasi ini. Namun pemahaman yang mendalam tentang anatomi bedah sinus,

persiapan operasi yang baik dan tentunya pengalaman ahli dalam melakukan

bedah sinus akan mengurangi dan mencegah terjadinya komplikasi. Komplikasi

BSEF dapat dikategorikan menjadi komplikasi intranasal, periorbital atau orbital,

intrakranial, vaskular dan sistemik.2,3,9,22

Komplikasi intranasal seperti sinekia, yang merupakan masalah yang sering

timbul. Hal ini disebabkan melekatnya dua permukaan luka yang saling

berdekatan, umumnya permukaan konka media dan dinding lateral hidung. Selain

itu komplikasi lain adalah stenosis ostium sinus maksila, Kerusakan duktus

nasolakrimalis.3,9,34

Komplikasi periorbital atau orbital seperti edema kelopak mata, ekimosis,

emfisema, perdarahan retrobulbar, kerusakan nervus optikus dan gangguan

pergerakan bola mata. Sedangkan komplikasi intrakranial merupakan komplikasi

yang sering terjadi pada pemula. Kebocoran cairan serebrospinal selama prosedur

bedah merupakan komplikasi yang jarang terjadi. Komplikasi sistemik walaupun

jarang, namun dapat juga terjadi infeksi dan sepsis yang mungkin terjadi pada

setiap prosedur bedah. Pemakaian tampon hidung yang lama dapat menyebabkan

toxic shock syndrome (TSS).2,33

LAPORAN KASUS 1

Kasus pertama datang seorang laki-laki usia 70 tahun pada tanggal 3

Februari 2012 ke poliklinik THT RSMH dengan keluhan kedua hidung tersumbat

sudah dialami pasien selama lebih 3 bulan. Ingus kental, sakit kepala dan

gangguan penciuman dialami pasien (penurunan penciuman sejak 3 bulan

terakhir), ingus berbau dan riwayat bersin berulang tidak didapatkan, rasa penuh

18

Page 19: Fess Revisi2

pada wajah, mulut berbau, riwayat sakit gigi dan merokok didapati, riwayat alergi

pada keluarga tidak didapati, riwayat hipertensi dialami pasien lebih dari 5 tahun,

riwayat diabetes mellitus tidak ada. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan

umum baik, kompos mentis, TD 140/90 mmHg (dibawah obat anti hipertensi dan

rata-rata TD sistol 140-170 dan diastol 90-100 mmHg), pemeriksaan telinga tidak

terdapat kelainan, pada rongga hidung kanan dan kiri lapang, sekret kental

didapati berwarna kekuningan, tampak gambaran massa berwarna putih keabuan,

mengkilat, permukaan licin, tidak mudah berdarah, tidak nyeri, tidak mengecil

saat dilakukan tes efedrin dan memenuhi seluruh rongga hidung kanan dan kiri.

Pasase hidung kanan dan kiri tidak dijumpai. Pada daerah tenggorok arkus faring

simetris, uvula ditengah, tonsil T1-T1 tenang, tidak hiperemis, dinding faring

tenang. Pemeriksaan nasoendoskopi tampak massa polip memenuhi rongga

hidung kanan dan kiri, KOM tertutup.

Dilakukan pemeriksaan TK sinus paranasal tanggal 10 Februari 2012 no.

6087, kesan : Polip nasi disertai sinusitis maksilaris kanan dan kiri serta sinusitis

etmoidalis kanan dan kiri dan sinusitis sfenoidalis kiri, tulang-tulang baik. Pasien

didiagnosis dengan polip nasi bilateral grade 3 dan rinosinusitis kronik dengan

hipertensi stage I. Pasien direncanakan tindakan operasi polipektomi dan bedah

sinus endoskopi fungsional. Dilakukan persiapan operasi dengan melakukan

pemeriksaan laboratorium darah dan rontgen thorax. Hasil laboratorium darah

tanggal 16 Februari 2012 sebagai berikut : Hb: 10,8g/dl, Ht: 35 vol%, Leukosit

8500/mm3, trombosit : 294.000/mm3, CT: 9 menit, BT: 2 menit, BSS: 92 mg/dl,

SGOT: 19 U/l, SGPT: 17 U/l, Na: 134 mmol/l, K: 4,3 mmol/l. Hasil rontgen

thorax tanggal 18 Februari 2012 no. 5192, kesan : Cor pulmo normal, fibrotik

superior hilus kiri, bekas KP. Selanjutnya pasien dikonsulkan ke bagian Penyakit

dalam untuk rencana operasi, kesan : cor dan pulmo fungsional kompensata,

hipertensi stage I, terapi diberikan amlodipin 1x10mg dan captopril 2x12,5 mg.

kemudian pasien dikonsulkan ke bagian Anestesi kesan: Setuju tindakan operasi,

ASA2.

Pada tanggal 1 Maret 2012 dilakukan operasi polipektomi dan bedah sinus

endoskopi fungsional. Intraoperatif, setelah dilakukan pemasangan tampon

19

Page 20: Fess Revisi2

adrenalin 1: 100.000, dilakukan identifikasi massa polip, konka inferior, konka

media, dan area KOM. Tampak polip nasi dekstra dan sinistra memenuhi seluruh

rongga hidung. Infiltrasi dilakukan dengan injeksi pehacain masing-masing 2

ampul pada setiap rongga hidung. Injeksi dilakukan di bagian atas perlekatan

konka media, bagian bawah konka media, pada konka media, juga pada konka

inferior dan sebagian pada massa polip. Dilakukan ekstirpasi massa polip dengan

menggunakan tang polip dengan panduan endoskopi untuk visualisasi, massa

polip diekstirpasi sampai bersih. Perdarahan diatasi sementara dengan tampon

efedrin, kemudian dievaluasi ulang. Identifikasi ulang konka media, prosesus

unsinatus, meatus medius dan meatus superior. Dilakukan insisi pada prosesus

unsinatus (unsinektomi) dengan freer, tampak muara meatus medius, kemudian

dilanjutkan antrostomi meatus inferior dan irigasi dengan cairan NaCl 0,9%.

Evaluasi ulang dengan sinuskopi tampak mukosa sinus mengalami penebalan.

Perdarahan diatasi dengan pemasangan tampon efedrin, kemudian dievaluasi

kembali dan terakhir dipasang tampon antibiotik pada kedua rongga hidung

sebanyak 9/9.

Paska operasi pasien diberikan terapi Ceftriaxon 2x1gr, ketorolak 2x1

ampul didrip, asam traneksamat 3x 500mg (intravena) ditambah terapi dari bagian

penyakit dalam dengan amlodipin 1x10mg dan captopril 2x12,5mg. Satu hari

paska operasi, keluhan nyeri hidung minimal, terapi masih dilanjutkan. Hari

ketiga paska operasi, keluhan nyeri hidung berkurang, dilakukan pengangkatan

tampon anterior bertahap, perdarahan aktif dijumpai, diatasi dengan pemasangan

tampon ulang dan perdarahan berhenti. Hari ke enam paska operasi dilakukan

pengangkatan seluruh tampon anterior, perdarahan aktif tidak dijumpai. Pasien

dinyatakan rawat jalan pada hari ke tujuh dan diberikan terapi ciprofloxacin

2x500mg, parasetamol 3x 500mg, cuci hidung NaCl 0,9% 2x sehari dan

amlodipin 1x10mg ditambah captopril 2x12,5mg.

Satu minggu paska operasi pasien kontrol, keluhan nyeri hidung, hidung

tersumbat tidak didapati, pasase hidung lancar. Pada pemeriksaan rinoskopi

anterior tampak krusta-krusta pada kavum nasi, dilakukan irigasi kavum nasi

dengan menggunakan cairan NaCl 0,9% sampai bersih. Terapi masih dilanjutkan

20

Page 21: Fess Revisi2

dengan pemberian cuci hidung cairan NaCl fisiologis 2x sehari, ciprofloxacin

2x500mg, parasetamol 3x 500mg. Dua minggu paska operasi pasien kontrol lagi

keluhan nyeri hidung, hidung tersumbat tidak didapati. Pada pemeriksaan

rinoskopi anterior mukosa rongga hidung tidak hiperemis, edema mukosa dan

sekret hidung tidak didapati. Nasoendoskopi tampak daerah KOM terbuka, muara

meatus medius terbuka. Pasien diberikan cuci hidung NaCl 0,9% 2x sehari.

LAPORAN KASUS 2

Kasus kedua datang seorang wanita usia 60 tahun pada tanggal 16

Februari 2012 ke poliklinik THT RSMH dengan keluhan kedua hidung tersumbat

sudah dialami pasien selama lebih 6 bulan. Ingus kental dan berbau didapati,

riwayat bersin berulang tidak didapati, gangguan penghidu (penurunan penciuman

sejak 5 bulan terakhir), sakit kepala, rasa penuh pada wajah didapati, riwayat

alergi pada keluarga dan riwayat hipertensi tidak didapati, riwayat diabetes

mellitus dialami sejak 2 tahun yang lalu, dengan riwayat berobat tidak teratur.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, kompos mentis, TD

120/80 mmHg, nadi: 84x/menit, RR: 20x/menit. Pemeriksaan telinga tidak

terdapat kelainan, pada rongga hidung kanan dan kiri lapang, sekret kental

berwarna kekuningan pada rongga hidung kanan, tidak tampak massa polip,

Pasase hidung kanan tidak ada sedangkan kiri lancar. Pada daerah tenggorok

arkus faring simetris, uvula ditengah, tonsil T1-T1 tenang, tidak hiperemis,

dinding faring tenang. Pemeriksaan nasoendoskopi tampak deviasi septum pada

rongga hidung sebelah kanan, konka media bentuk paradoksikal, daerah KOM

sebelah kanan tertutup.

Dilakukan pemeriksaan TK sinus paranasal tanggal 18 Februari 2012 no.

8087, kesan : sinusitis maksilaris kanan. Pasien di diagnosis dengan rinosinusitis

kronik dengan diabetes mellitus tipe II. Pasien direncanakan tindakan operasi

bedah sinus endoskopi fungsional. Dilakukan persiapan operasi dengan

melakukan pemeriksaan laboratorium darah dan rontgen thorax. Hasil

laboratorium darah tanggal 16 Februari 2012 sebagai berikut : Hb: 11,8g/dl, Ht:

35 vol%, Leukosit 9500/mm3, trombosit: 274.000/mm3, CT: 9 menit, BT: 2 menit,

21

Page 22: Fess Revisi2

BSS: 183 mg/dl, SGOT: 21 U/l, SGPT: 19 U/l, Na: 140 mmol/l, K: 4,0 mmol/l.

Hasil rontgen thorax tanggal 17 Februari 2012 no. 31091, kesan : Cardiomegali.

Selanjutnya pasien dikonsulkan ke bagian Penyakit dalam untuk rencana operasi,

kesan : DM tipe II terkontrol diet dan ASHD kompensata, saran : periksa BSN,

BSPP, profil lipid, EKG, cek ulang BSS sebelum operasi, diet DM 1900 kalori

dan rawat bersama divisi endokrin PDL. Hasil laboratorium tanggal 23 Februari

2012, BSS : 83mg/dl. Kemudian pasien dikonsulkan kebagian Anestesi kesan:

Setuju tindakan operasi, ASA2.

Pada tanggal 1 maret dilakukan tindakan bedah sinus endoskopi

fungsional. Intraoperatif, setelah dilakukan pemasangan tampon adrenalin

dilanjutkan dengan identifikasi kavum nasi. Pada rongga hidung bagian kanan

tampak lapang, konka inferior eutropi, deviasi septum ditemukan, konka media

paradoksikal, ostium medius tertutup. Dilakukan infiltrasi dengan injeksi pehacain

masing-masing 4 ampul pada rongga hidung kanan dan kiri. Injeksi dilakukan

pada bagian atas/ perlekatan konka media, bagian bawah konka media, konka

inferior, bagian atas prosesus unsinatus dan bagian bawah prosesus unsinatus.

Kemudian dilakukan insisi pada prosesus unsinatus mulai dari bagian atas sampai

bagian bawah prosesus unsinatus dengan menggunakan freer. Tampak muara

ostium medius terbuka dan bula etmoid tampak jelas. Dilakukan peruntuhan bula

etmoid dan pembersihan sel-sel etmoid (etmoidektomi anterior) dan ditemukan

adanya massa polip pada etmoid anterior kanan. Setelah ditemukan lamina basalis

yang ditandai sebagai tulang yang keras dan berwarna keabuan. Identifikasi dan

pembersihan juga dilakukan pada resesus frontalis, tampak muara ostium superior

terbuka. Kemudian melalui lamina basalis memasuki sel-sel etmoid posterior

(etmoidektomi posterior), sel-sel etmoid posterior juga dibersihkan sampai

ditemukan ostium sinus sfenoid terbuka (sfenodotomi). Kemudian dilakukan

antrostomi meatus inferior dan keluar cairan kekuningan yang berbau, dilanjutkan

irigasi dengan cairan NaCl fisiologis sampai bersih, dievaluasi dengan sinuskopi,

tampak mukosa sinus maksila masih baik, tidak tampak massa polip. Operasi

selesai diakhiri dengan pemasangan tampon anterior 1/1 dengan rapid nose.

22

Page 23: Fess Revisi2

Paska operasi pasien diberikan cefotaxime 2x1gr (intravena), asam

traneksamat 3x 500mg (intravena), analgetik ketorolak 30 mg 3x1 ampul drip.

Hari ke empat paska operasi, keluhan sakit kepala minimal, dilakukan

pengangkatan tampon anterior sekaligus, perdarahan aktif tidak didapati, krusta-

krusta dirongga hidung dibersihkan dengan cairan NaCl fisiologis.

Telenasoendoskopi tampak daerah KOM terbuka, muara ostium medius terbuka.

Hari ke lima paska opersai pasien rawat jalan diberikan terapi cuci hidung dengan

NaCl fisiologis 2x sehari, klindamisin 3x300mg, parasetamol 3x500mg. Satu

minggu paska operasi pasien kontrol, keluhan sakit kepala minimal,

nasoendoskopi, kavum nasi kanan dan kiri lapang, mukosa tampak hiperemis

minimal, deviasi septum nasi sebelah kanan, KOM terbuka, muara ostium medius

terbuka, pasase hidung kanan dan kiri lancar.

Dua minggu paska operasi pasien kontrol, keluhan sakit kepala minimal,

hidung tersumbat tidak dijumpai, pasase hidung lancar. Pemeriksaan rinoskopi

anterior mukosa baik, edema tidak dijumpai, sekret hidung tidak dijumpai.

Nasoendoskopi tampak muara ostium medius terbuka, sekret tidak dijumpai.

Pasien diberikan terapi cuci hidung cairan NaCl fisiologis 2 x sehari.

DISKUSI

Rinosinusitis kronis (RSK) adalah suatu penyakit yang muncul dengan

prevalensi dan biaya serta beban sosial yang tinggi. Terapi bedah fungsional

dengan operasi sinus endoskopi adalah salah satu pilihan penatalaksanaan

terhadap RSK yang tidak respon terhadap terapi medikamentosa. BSEF adalah

operasi bedah sinus endoskopi yang bersifat invasif minimal yang diharapkan

dapat memberikan hasil yang optimal dengan morbiditas yang minimal, serta

tingkat rekurensi yang rendah.

Dilaporkan 2 kasus RSK yang ditatalaksanai dengan pendekatan BSEF.

Pasien pertama laki-laki usia 70 tahun, sesuai kriteria Task Force tahun 1997

terdapat 3 kriteria mayor yaitu hidung tersumbat, sekret purulen di hidung,

gangguan penghidu dan terdapat 2 kriteria minor yaitu sakit kepala dan halitosis

selama lebih 3 bulan. Memenuhi kategori sebagai RSK. Pada pemeriksaan

23

Page 24: Fess Revisi2

penunjang dilakukan TK sinus paranasal dengan kesan : Polip nasi disertai

sinusitis maksilaris kanan dan kiri serta sinusitis etmoidalis kanan dan kiri dan

sinusitis sfenoidalis kiri, tulang-tulang baik. Berdasarkan sistem staging Lund

Mackay tampak gambaran total opacification pada sinus paranasal (grade 2).

Sedangkan menurut kriteria Glicklich dan Metson termasuk RSK stadium 3 yaitu

penyakit bilateral dengan keterlibatan sedikitnya satu sinus sfenoid. Menurut

sistem Kerose termasuk Keros tipe 2. Pada pasien ini ditemukan riwayat sakit gigi

dan merokok yang diduga pencetus timbulnya RSK pada pasien ini.

Penyulit pada pasien ini adalah penyakit sistemik yaitu hipertensi. Salah

satu kontra indikasi BSEF adalah hipertensi maligna, tetapi pada pasien ini

dilakukan stabilisasi tekanan darah preoperatif, sehingga saat operasi tekanan

darah sudah terkontrol (dilakukan stabilisasi tekanan darah selama hampir 2

minggu) sehingga persiapan preoperatif pasien ini lebih lama dilakukan. Pasien

diterapi dengan BSEF (mini BSEF) yaitu unsinektomi dan antrostomi meatal

inferior. BSEF dilakukan dalam narkose dengan pendekatan teknik hipotensi sulit

dicapai pada saat intraoperatif sehingga prosedur BSEF hanya dilakukan sampai

mini BSEF karena perdarahan. Paska operatif pemasangan tamponasi pada pasien

ini lebih lama dilakukan yaitu selama 6 hari dikarenakan timbulnya perdarahan

aktif saat dilakukan pengangkatan tampon bertahap oleh karena instabilitas

tekanan darah paska operatif. Follow up pasien selama 2 minggu paska operatif

didapatkan perbaikan baik gejala klinis (keluhan subjektif) maupun dari

pemeriksaan fisik (rinoskopi anterior).

Pasien kedua wanita usia 60 tahun, sesuai kriteria Task Force tahun 1997

terdapat 4 kriteria mayor yaitu hidung tersumbat, sekret purulen di hidung,

gangguan penghidu dan ingus berbau serta terdapat 1 kriteria minor yaitu sakit

kepala selama lebih 6 bulan. Memenuhi kategori sebagai RSK. Pada pemeriksaan

penunjang dilakukan TK sinus paranasal dengan kesan : sinusitis maksilaris

kanan. Berdasarkan sistem staging Lund Mackay tampak gambaran total

opacification pada sinus paranasal (grade 2), kondisi KOM tampak adanya

opasifikasi dan ditemukan variasi anatomi yaitu konka media paradoksikal dan

deviasi septum. Sedangkan menurut kriteria Glicklich dan Metson termasuk RSK

24

Page 25: Fess Revisi2

stadium 1 yaitu penyakit unilateral dan atau abnormalitas anatomi. Menurut

sistem Kerose termasuk Keros tipe 2.

Pasien diterapi dengan BSEF (unsinektomi, etmoidektomi, antrostomi

meatal inferior, frontosfenodotomi). Penyulit pada pasien ini adalah penyakit

sistemik yaitu DM tipe II. Salah satu kontra indikasi BSEF adalah Diabetes

Mellitus, tetapi pada pasien ini dilakukan stabilisasi gula darah preoperatif selama

2 minggu, sehingga saat intraoperatif gula darah sudah terkontrol. Selain itu

variasi anatomi seperti konka media paradoksikal dan adanya deviasi septum pada

rongga hidung sebelah kanan diduga sebagai faktor predisposisi tertutupnya

daerah KOM sehingga menyebabkan terjadinya gangguan drainase dan ventilasi

yang berakhir dengan terjadinya rinosinusitis.

Follow up pasien selama 2 minggu paska operatif didapatkan perbaikan

baik gejala klinis (keluhan subjektif) maupun dari pemeriksaan fisik (rinoskopi

anterior). Dibutuhkan follow up berkelanjutan pada pasien-pasien paska operatif

BSEF minimal selama 3 bulan sampai terjadi perbaikan mukosa rongga hidung

secara optimal.

.

25

Page 26: Fess Revisi2

DAFTAR PUSTAKA

1. Damm M, Quante G, Jungehuelsing M, Slennert E. Impact of functional

endoscopic sinus surgery on symptoms and quqlity of life in CRS. The

Laryngologica. 2002;112:310-15

2. Endoskopic sinus surgery workshop. Bandung ORL-HNS week. 2009

3. Nair SC, Bhadauria RS, Sharma LC. Impact of endoscopic sinus surgery

on symptom manifestation of chronic rhinosinusitis.MJAFI. 2010;66:41-

45

4. Forsgren K, Fukami M, Penttila M, Kumlien J, Stiena P. Endoscopic and

Caldwell-Luc approaches in chronic maxillary sinusitis: a comparative

histopathologic study on preoperative and postoperative mucosal

morphology. Ann Otol Rhinol.Laryngol. 1995;104:350-57

5. Lund J, Valerie. Evidence-Based Surgery in Chronic rhinosinusitis. Acta

Otolaryngol. 2001;121:5-9

6. Souza CD, Rosemarie. Rhinosinusitis in: Rhinology and facial plastic

surgery. Berlin: 2009:p 190-95

7. Nair S, Dutta A, Rajagopalan R, Nambiar S. Endoscopic sinus surgery in

chronic rhinosinusitis and nasal polyposis : a comparative study. Indian J

Otolaryngol Head Neck Surgery.2011;63:50-55

8. Badari YA, Samaha M. Outcome of endoscopic sinus surgery for chronic

rhinosinusitis patient: a Canadian experience the journal of laryngology

and otology. 2010;124:1095-1099

9. Lee JT, Kennedy DW, Bayle, Byron. Endoscopic sinus surgery In : Head

and Neck Surgery Otolaryngology. 4th ed. 2006 : p 460-475

10. Terris MH, Davidson TM. Review of published result for endoscopic sinus

surgery.Ear Nose Throat. 1994;73:574-80

26

Page 27: Fess Revisi2

11. Penttila MA, Rautiainen MEP, Pukander JS, Karma PH. Endoscopic

versus Caldwell-Luc approach in chronic maxillary sinusitis: Comparison

of symptoms at one-year follow up. Rhinology. 1994;32:161-65

12. Lund VJ, Scadding GK. Objective assessment of endoscopic sinus

surgery. JR Soc Med 1994;108:749-53

13. Abdel-Hak B, Gunkel A, Kanonier G, Schrott, Fischer A, Ulmer H,

Thumfat W. Cilliary beat frequency, olfaction and endoscopic sinus

surgery. ORL J Otorhinolaryngol Relat Spee. 1998;60:202-5

14. Vleming M, Middelweerd MJ, de-Vries N. Good results of endoscopic

paranasal sinus surgery for chronic or recurrent sinusitis and for nasal

polyps. Ned Tijdschr Geneeskd.1993;137:1453-6

15. Forsgren K, Fukami M, Penttila M, Kumlien J, Stierna P. Endoscopic and

Caldwell-Luc approaches in chronic maxillary sinusitis: a comparative

histopathologic study on post operative mucosal morphology. Ann Otol

Rhinol Laryngol. 1995;104:350-7

16. Ikeda K, Kondo Y, Sinuse H, Hirano K, Oshima T, Shimomur A.

Subjective and objective evaluation sinus surgery. Am.J Rhinol.

1996;10:217-220

17. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinus paranasal. Buku ajar Ilmu

Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi 6. Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007;h 145-48

18. Lee KJ. The nose and paranasal sinuses. In Essential Otolaryngology

Head and Neck Surgery. 9th Ed. 1999: p365-371

19. Prescher A. Nasal and paranasal sinus anatomy for the endoscopic sinus

surgery. in: Rhinology and facial plastic surgery. Berlin: 2009:p 496-503

20. Ballenger JJ. Aplikasi klinis anatomi dan fisiologi hidung dan sinus

paranasal. Edisi 13. Philadephia : Stephen Yeh, 1994 ;h 1-15.

21. Probst R, Grevers G. Basic anatomy of the nose paranasal sinuses and

face. in: Basic Otorhinolaryngology a step by step learning guide. New

York. 2006:p 4-7

27

Page 28: Fess Revisi2

22. Khalil H, Nunez DA. Functional endoscopic sinus surgery for chronic

rhinosinusitis (review) the Cochrane collaboration.2009;3:1-9

23. Dijksta MD, Ebbens FA, Poublon ML. Fluticasone propionate aqueous

nasal spray does not influence the recurrence rate of chronic rhinosinusitis

and nasalpolyps 1 year after FESS.2004;34:1396-1400

24. Stafferi A, Marino F, Giacomelli L, Allexandro ED. The effect of the

sulfurous-arsenical-ferruginous thermal water nasal irrigation in wound

healing after functional endoscopic sinus surgery for chronic

rhinosinusitis; a prospective randomized study. American journal of

otolaryngology head and neck medicine and surgery 2008;29:223-229

25. Suh JD, Chin AG. Acute and chronic. In Current Diagnosis and treatment.

Otolaryngology head and neck surgery. 3th ed. 2012 : p291-299

26. Ling FTK, Kountakis SE. Important clinical symptom in patients

undergoing functional endoscopic sinus surgery for chronic rhinosinusitis.

The Laryngoscope.2007;117:1090-1093

27. Lusk RP, Marcella RB, Piccirillo J. Long term follow up for children

treated with surgical intervention for chronic rhinosinusitis. The

Laryngoscope. 2006;116:2099-2107

28. Battacharyya N. Symptom outcome after FESS for CRS. Arch

Otolaryngol Head and Neck Surg.2004;130:329-333

29. Daniel L, Hamilos. Chronic rhinosinusitis, pathogenesis and medical

management. USA, New York. 2007

30. Gosepath J, Pogodsky T, Mann WJ. Characteristic of recurrent chronic

rhinosinusitis after previous surgical therapy. Acta Oto Laryngologica.

2008;128:778-784

31. Liang KL, Chang M, Tseng HC. Impact of pulsatile nasal irrigation on the

prognosis of functional endoscopic sinus surgery. Journal of

Otolaryngology Head and Neck surgery. 2008;37:148-153

32. Hofmann E. Radiology of the nose and paranasal sinuses for the

endoscopic sinus surgeon. in: Rhinology and facial plastic surgery. Berlin:

2009:p 507-509

28

Page 29: Fess Revisi2

33. Stammberger MD. Tehnic Messerklinger in FESS. Endoscopic diagnostic

and surgery of the paranasal sinuses and anterior skull base. University

Ear, Nose and Throat hospital. Graz. Austria.1996:p 54-55

34. Constantinidis J. Endonasal maxillary sinus surgery. in: Rhinology and

facial plastic surgery. Berlin: 2009:p 554-557

35. Alessandro V. Etmoid sinus surgery. in: Rhinology and facial plastic

surgery. Berlin: 2009:p 560-564

36. Stammberger MD. FESS ” uncapping the egg” the endoscopic approach to

frontal recess and sinuses. Graz. Austria.2011:p 9-29

29