Download - Fess Revisi2
BEDAH SINUS ENDOSKOPI FUNGSIONAL PADA RINOSINUSITIS KRONIS
Dewi Sinaga, Denny S Utama
Bagian IKTHT- KL FK Unsri/Departemen KTHT-KL RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang
AbstrakBedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) adalah prosedur operasi sinus invasif minimal dengan prinsip mengembalikan ventilasi dan drainase melalui ostium alami serta mengembalikan fungsi mucocilliary clearance. Indikasi terutama pada rinosinusitis kronik dan rinosinusitis akut rekuren. Teknik operasi BSEF bertahap dari yang paling ringan yaitu infundibulektomi, BSEF mini sampai frontosfenoidektomi total. Pemeriksaan pencitraan seperti Tomografi Komputer sinus paranasal merupakan baku emas dalam tindakan BSEF untuk mengidentifikasi penyakit, perluasannya serta mengetahui landmark dan variasi anatomi sinus paranasal serta untuk menghindari terjadinya komplikasi BSEF. Dilaporkan 2 kasus RSK pada wanita dengan DM tipe II dan laki-laki dengan Hipertensi yang ditatalaksana dengan BSEF. Paska operasi tampak perbaikan pada kedua kasus baik dari keluhan subjektif maupun pemeriksaan nasoendoskopi. Kata kunci : BSEF, Rinosinusitis kronis
Abstract Functional endoscopic sinus surgery (BSEF) is a minimally invasive sinus surgery procedure, with the principle of restoring ventilation and drainage through natural ostia and restore function mucocilliary clearance. Indications, especially in chronic rhinosinusitis and recurrent acute rhinosinusitis. BSEF surgery techniques gradually from the lightest is infundibulektomi, mini BSEF to frontosfenoidektomi total. Computer tomography imaging examinations such as the paranasal sinuses is the gold standard in action BSEF to identify the disease, its expansion and to know the anatomical landmarks and variations of paranasal sinuses and to avoid complications BSEF. Reported two cases of RSK in women with type II diabetes mellitus and men with hypertension are treated by BSEF. Postoperative improvement in both cases looks better than the subjective complaints and inspection nasoendoskopi.
Key word : FESS, Chronic Rhinosinusitis
1
PENDAHULUAN
Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) merupakan suatu prosedur
operasi yang invasif minimal. Saat ini merupakan teknik operasi yang sangat
populer dalam penatalaksanaan rinosinusitis kronis, polip hidung, tumor pada
hidung dan sinus paranasal, dan kelainan lainnya. Operasi sinus endoskopi ini
diawali oleh Messerklinger sebelum tahun 1970, kemudian teknik ini
dipopulerkan dan distandarisasi mulai tahun 1980 oleh Kennedy di USA dan oleh
Stammberger, Wigand serta Hosemann di Eropa. Sejak tahun 1990 sudah mulai
diperkenalkan dan dikembangkan di Indonesia.1-3 Prinsip bedah sinus endoskopi
ini adalah membuka dan membersihkan daerah kompleks osteomeatal yang
menjadi sumber penyumbatan dan infeksi sehingga ventilasi dan drainase sinus
dapat lancar kembali melalui ostium alami serta mengembalikan fungsi
mucocilliary clearance. Teknik operasi sinus konvensional lainnya yang bersifat
invasif radikal seperti operasi Caldwel-Luc, Fronto-etmoidektomi eksternal dan
lainnya, maka BSEF merupakan terapi yang lebih bersifat konservatif sehingga
tingkat morbiditasnya lebih minimal.2-5
Data dari CDC (The Center for Disease Control), menunjukkan terdapat
32 juta penderita rinosinusitis kronis dewasa di USA ( sekitar 16% dari populasi
dewasa) yang dapat menghabiskan biaya 5,8 hingga 6 miliar setiap tahunnya dan
hal ini dapat menjadi beban ekonomi yang besar. Penggunaan BSEF saat ini
merupakan suatu perubahan yang besar terhadap pendekatan terapi pada penyakit
ini, dan berdasarkan beberapa laporan dari penelitian menunjukkan tingkat
keberhasilan yang baik terhadap penatalaksanaan penyakit ini dengan pendekatan
BSEF.6-8 Dengan alat endoskopi maka mukosa yang sakit dan polip-polip yang
menyumbat diangkat sedangkan mukosa sehat tetap dipertahankan agar
transportasi mukosiliar tetap berfungsi dengan baik sehingga fungsi ventilasi dan
drainase tetap terjadi melalui ostium alami. Keuntungan dari teknik BSEF ini
adalah dengan penggunaan alat endoskopi bersudut dan sumber cahaya yang
terang maka visualisasi terhadap kondisi didalam rongga hidung, sinus dan daerah
sekitarnya dapat tampak jelas. Dengan demikian diagnosis lebih akurat dan
diharapkan operasi lebih teliti dan bersih sehingga hasil dapat lebih maksimal.2,9
2
Terris dan Davidson tahun 1994 menganalisis terhadap 1713 pasien RSK
dalam 10 seri yang dilakukan operasi BSEF, menunjukkan peningkatan perbaikan
gejala sampai 91%, dari jumlah tersebut 63% sangat baik, dan 28% baik,
sementara hanya 9% yang tidak ada perbaikan.10 Sedangkan Penttila tahun 1994
membandingkan teknik Caldwell-luc (CWL) dengan BSEF dan didapatkan 23%
dari 115 penderita yang dilakukan tindakan CWL menderita terus menerus yaitu
nyeri pipi, adanya sensasi terhadap perubahan suhu atau tekanan sebagai akibat
dari operasi sedangkan untuk kelompok BSEF menunjukkan perbaikan gejala
dengan morbiditas yang rendah.11 Sementara itu Lund dan Scadding tahun 1994
melaporkan terjadi peningkatan dalam CBF (Ciliary Beat Frequency) dari rata-
rata 13,1 Hz sampai 15 Hz pada 95 pasien yang dilakukan BSEF untuk kasus
RSK dimana ada perbaikan signifikan setelah 6 bulan paska operasi.12 Bersamaan
hasilnya seperti yang ditemukan oleh Abdel-Hak dkk tahun 1998 pada 70 pasien
yang diamati bersama.13
Vleming dkk tahun 1993 mencoba menghubungkan gambaran endoskopi
pada 131 pasien yang dilakukan BSEF untuk RSK, dimana 46% ditemukan
objektif yang baik dan adanya perbaikan keluhan subjektif, sementara 20%
gambaran objektif yang kurang baik meskipun keluhan pasien membaik dan 12%
tidak ada perbaikan.14 Forsgren dkk tahun 1995, membandingkan gambaran
histologikal pada mukosa yang dilakukan BSEF dan CWL, suatu parameter
reduksi inflamasi yang besar yang ditemukan pada CWL tetapi tidak ada
hubungan dengan perbaikan gejala maupun perbaikan endoskopi.15 Ada beberapa
penelitian yang membandingkan sebelum dan sesudah operasi dari gambaran
Tomografi Komputer (TK) sinus paranasal seperti Ikeda dkk melihat dari 32
pasien sebelum dan sesudah operasi terlihat suatu reduksi yang signifikan pada
nilai perluasan penyakit dan rata-rata 82% tiga bulan paska operasi.16
Modalitas pencitraan sangat diperlukan untuk mengkonfirmasi antara
temuan klinis dan endoskopi dengan pencitraan. Tersedianya alat diagnostik
Tomografi Komputer (TK) telah membuat pencitraan sinus paranasal lebih jelas
dan terinci, sedangkan dengan adanya alat endoskopi untuk operasi bedah sinus
menciptakan tindakan pengobatan yang tidak radikal tetapi dapat lebih tuntas.
3
Pencitraan dengan TK sinus paranasal diperlukan juga untuk mengidentifikasi
penyakit dan perluasannya serta mengetahui landmark dan variasi anatomi organ
sinus paranasal dan hubungannya dengan dasar otak dan orbita serta mempelajari
daerah-daerah rawan tembus kedalam orbita dan intra kranial. Namun seiring
perkembangannya BSEF juga dapat menimbulkan komplikasi yang dapat terjadi
selama atau setelah prosedur operasi, baik komplikasi intranasal,
periorbita/orbital, intrakranial, vaskular dan sistemik, sehingga perawatan paska
operasi yang baik untuk memperoleh hasil yang optimal.2,9
ANATOMI
Banyaknya variabilitas anatomi dan hubungan antar sinus, maka teknik
bedah endoskopi memerlukan pengetahuan yang rinci mengenai anatomi untuk
menghindari komplikasi potensial. Hidung dibagi atas hidung bagian luar dan
hidung bagian dalam. Hidung bagian luar dibentuk oleh kerangka tulang dan
tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat, dan beberapa otot kecil yang
berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Rongga hidung
berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi
dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Tiap kavum nasi
memiliki 4 dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior.17,18
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya
paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media,
lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka
suprema yang biasanya rudimenter. Diantara konka-konka dan dinding lateral
hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus,
ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior
terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga
hidung, dan pada meatus inferior terdapat ostium duktus nasolakrimalis. Meatus
medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada
meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila, dan sinus etmoid
anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior
dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.17-19
4
Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina
kribriformis merupakan tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Di
bagian posterior atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid. Celah pada dinding
lateral hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea disebut
sebagai kompleks ostiomeatal (KOM). Struktur anatomi yang penting membentuk
KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula
etmoid, agger nasi dan resesus frontal. KOM merupakan unit fungsional yang
tempat ventilasi dan drainase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus
maksila, etmoid anterior dan frontal. Jika terjadi obstruksi pada celah yang sempit
ini maka akan terjadi perubahan patologis yang signifikan pada sinus-sinus yang
terkait.17,19-21
Prosesus unsinatus paling baik dinilai dengan memaparkan secara sagital
setelah memindahkan konka media kearah superior. Bagian posterior bebas
sedangkan batas anterior berbatasan dari hiatus semilunaris. Prosesus unsinatus
membentuk dinding medial dari infundibulum etmoid. Menempel bagian anterior
superior pada krista etmoid dari maksila, dibawahnya prosesus unsinatus
bergabung dengan bagian posterior tulang lakrimal. Sedangkan bagian anterior
inferior tidak memiliki perlekatan tulang. Pada bagian superior medial merupakan
lantai dari resesus frontal yang sangat penting diperhatikan saat pembedahan
resesus frontal. Bagian tengah sejajar dengan bula etmoid, ini yang menjadi alasan
pembuangan prosesus unsinatus adalah salah satu tahap pertama pada
pembedahan sinus endoskopi karena memberikan akses bedah dari bula etmoid
dan struktur etmoid yang lebih dalam. Bagian inferior berbatasan dengan bagian
medial dari sinus maksila. Ostium sinus maksila terletak medial dan superior
terhadap bagian ini, dengan demikian bagian ini harus dibuang untuk
memperlebar ostium alami.18,19
Infundibulum etmoid dinding anterior dibentuk oleh prosesus unsinatus,
dinding medial dibentuk oleh prosesus frontalis os maksila dan lamina papiracea.
Dibatasi secara medial oleh prosesus unsinatus yang terlindungi mukosa, secara
lateral oleh lamina orbitalis, secara anterior dan superior oleh resesus frontal dari
5
maksila dan tulang lakrimal secara superolateral. Infundibulum etmoid bergabung
dengan meatus medius melewati hiatus semilunaris.18,19 Bula etmoid adalah salah
satu sel udara etmoid yang paling konstan dan besar, terletak diantara meatus
medius dan secara langsung berada dibagian posterior prosesus unsinatus dan
anterior terhadap lamina basalis. Dinding anterior dari bula etmoid dapat
mengalami perpanjangan sampai basis kranii dan membentuk batas posterior dari
resesus frontal. Jika bula tidak mencapai basis kranii, sebuah resesus suprabular
terbentuk diantara basis kranii dan permukaan superior dari bula. Hiatus
semilunaris adalah celah berbentuk bulan sabit diantara batas bebas bagian
posterior dari prosesus unsinatus dan dinding anterior dari bula etmoid. Hiatus
semilunaris melewati celah dua dimensi yang berorientasi secara sagital atau jalur
dimana meatus media bergabung dengan infundibulum etmoid.18-20
Resesus frontal merupakan bagian paling anterior dan superior dari sinus
etmoid anterior yang berhubungan dengan sinus frontal. Resesus frontal adalah
ruang diantara sinus frontalis dan hiatus semilunaris yang menuju ke aliran sinus.
Bagian anterior dibatasi oleh sel agger nasi, superior oleh sinus frontalis, bagian
medial oleh konka media, dan bagian lateral dengan lamina papiracea. Struktur
yang anomali seperti sinus lateralis (bagian posterior ke resesus frontalis didasar
tengkorak) dan bula frontalis (bagian posterior ke resesus didasar sinus frontalis)
menyebabkan salah interpretasi seperti sinus frontalis saat operasi sinus.18,19
Sel Agger nasi dijumpai di os lakrimal anterior dan superior persimpangan
dari konka media dengan dinding lateral nasal. Sel ini tersembunyi di belakang
anterior prosesus unsinatus dan mengalirkan ke dalam hiatus semilunaris. Ini
merupakan sel yang pertama pneumatisasi pada bayi yang baru lahir dan terdapat
satu sampai tiga sel. Dinding sel posterior membentuk dinding anterior dari
resesus frontalis. Atap sel agger nasi adalah dasar dari sinus frontal, yang
merupakan tanda penting untuk operasi sinus frontal.18,19
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsikan karena bentuknya yang bervariasi untuk tiap individu. Ada empat
pasang sinus paranasal, yaitu : sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid, dan
sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi
6
tulang-tulang kepala sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus
mempunyai muara ke dalam rongga hidung. Secara embriologis sinus paranasal
berasal dari invaginasi rongga hidung dan perkembangan dimulai sejak fetus
berusia 3-4 bulan kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal.18-20
Sinus maksilaris orang dewasa adalah berbentuk piramida mempunyai
volume kira-kira 15 ml (34x33x23 mm). Dasar dari piramida adalah dinding nasal
dengan puncak yang menujuk ke arah prosesus zigomatikum. Dinding anterior
mempunyai foramen infraorbital berada pada bagian midsuperior dimana nervus
infraorbital berjalan diatas atap sinus dan keluar melalui foramen itu. Saraf ini
dapat dehisense (14%). Bagian yang tertipis dari dinding anterior adalah sedikit
diatas fosa kanina. Atap dibentuk oleh dasar orbita dan ditranseksi oleh nervus
infraorbita. Dinding posterior tidak bisa ditandai. Cabang dari arteri maksilaris
interna mendarahi sinus ini. Termasuk infraorbital yang berjalan bersama dengan
nervus infraorbital, cabang lateral sfenopalatina, palatina mayor, vena axillaris,
dan vena jugularis sistem dural sinus. Sinus maksilaris disarafi oleh cabang dari
nervus palatina mayor dan nervus infraorbital. Ostium maksilaris terletak dibagian
superior dari dinding medial sinus. Intranasal biasanya terletak pertengahan
posterior infundibulum etmoidalis, atau dibawah 1/3 bawah prosesus unsinatus.
Tepi posterior dari ostium ini berlanjut dengan lamina papiracea, sekaligus ini
menjadi tanda (landmark) untuk batas lateral dari diseksi pembedahan. Ukuran
ostium ini rata-rata 2,4 mm tetapi bervariasi antara 1-17 mm. Ostium ini jauh
lebih kecil dibanding defek pada tulang sebab mukosa mengisi area ini dan
menggambarkan tingkat dari pembukaan itu. 88% dari ostium bersembunyi
dibelakang prosesus unsinatus oleh karena itu tidak terlihat secara endoskopi.18,19,20
Sel etmoid bervariasi dan sering ditemukan diatas orbita, sfenoid lateral,
ke atap maksila, dan sebelah anterior diatas sinus frontal. Sel ini disebut sel
supraorbital dan ditemukan 15% dari pasien. Penyebaran sel etmoid ke dasar sinus
frontal disebut frontal bula. Penyebaran ke konka media disebut konka bullosa.
Sel yang berada pada dasar sinus maksila (infraorbita) disebut sel Haller dan
dijumpai pada 10% populasi. Sel-sel ini dapat menyumbat ostium maksila dan
membatasi infundibulum mengakibatkan gangguan pada fungsi sinus. Sel yang
7
meluas ke anterior lateral sinus sfenoid disebut sel Onodi. Sel Onodi adalah sel-
sel etmoid yang terletak anterolateral menuju sinus sfenoidalis. Struktur penting
seperti arteri karotis dan nervus optikus bisa melalui sel ini. Struktur ini sering
dehisense. Perlu tindakan yang hati-hati di area ini dan pemeriksaan radiografi
yang baik untuk menghindari hasil yang tidak diinginkan. Variasi dari sel ini
penting pada saat preoperatif untuk memperjelas anatomi pasien secara
individu.18,19
Aliran darah sinus etmoid berasal dari arteri karotis eksterna dan interna,
arteri opthalmika dan arteri sfenopalatina, pembuluh vena mengikuti arterinya.
Persarafan dilakukan oleh nervus V1 dan V2. Nervus V1 mensarafi bagian superior
sedangkan V2 mensarafi bagian inferior. Persarafan parasimpatis melalui nervus
Vidian, sedangkan saraf simpatis melalui ganglion simpatetik servikal dan
berjalan bersama pembuluh darah menuju mukosa sinus. Struktur yang
memisahkan antara sel etmoid anterior dengan sel etmoid posterior disebut
sebagai lamella basalis.18,19
Sinus frontalis dibentuk dari perkembangan keatas oleh sel-sel etmoid
anterior. Volume sinus ini sekitar 6-7 ml (28 x 24 x 20 mm). Anatomi sinus ini
sangat bervariasi namun secara umum ada dua sinus. Sinus frontal mendapat
perdarahan dari arteri optalmika melalui arteri supraorbita dan suprathroklear.
Aliran vena melalui vena optalmika superior menuju sinus kavernosus dan
melalui vena-vena kecil didalam dinding posterior yang mengalir ke sinus
dural.18,19
Sinus sfenoidalis adalah struktur yang unik yang tidak dibentuk dari
kantong rongga hidung. Sinus ini dibentuk didalam kapsul rongga hidung dari
hidung janin. Tidak berkembang hingga usia 3 tahun. Usia 7 tahun pneumatisasi
mencapai sella turcica. Usia 18 tahun sinus sudah mencapai ukuran penuh.
Volume sinus sfenoidalis 7,5 ml (23 x 20 x 17 mm). Secara umum terletak
posterosuperior dari rongga hidung. Ostium sinus ini bermuara ke resesus
sfenoetmoidalis, ukurannya 0,5-4 mm dan letaknya sekitar 10 mm dari dasar
sinus. Arteri etmoidalis posterior mendarahi atap sinus sfenoidalis. Bagian lain
8
sinus mendapat aliran darah dari arteri sfenopalatina. Aliran vena melalui vena
maksilaris ke vena jugularis dan pleksus pterigoid.18-20
FUNGSI SINUS PARANASAL
Fisiologi dan fungsi sinus paranasal meliputi kelembaban udara inspirasi,
membantu pengaturan tekanan intranasal, mendukung pertahanan imun,
meningkatkan area permukaan mukosa, meringankan volume tenggkorak,
memberi resonansi suara, menyerap goncangan, mendukung perkembangan
masase muka. Hidung adalah suatu alat pelembab udara. Produksi mukosa sinus
yang berlimpah akan berperan dalam pertahanan imun dan penyaringan udara.
Hidung dan mukosa sinus terdiri dari sel silia yang berfungsi untuk menggerakkan
mukosa ke koana. Lapisan superfisial yang dikentalkan oleh mukosa hidung yang
berperan menjerat bakteri dan partikel yang mengandung unsur yang kaya dengan
sel imun, antibodi dan protein antibakteri.19,22
INDIKASI OPERASI
Indikasi operasi pada umumnya adalah untuk rinosinusitis kronik,
rinosinusitis akut berulang dan polip hidung yang telah diberi terapi
medikamentosa yang optimal. Indikasi lain BSEF adalah rinosinusitis dengan
komplikasi dan perluasannya, mukokel, sinusitis jamur yang invasif dan
neoplasia. Saat ini indikasi BSEF sudah meluas antara lain untuk mengangkat
tumor pada hidung dan sinus paranasal, menambal kebocoran likuor
serebrospinal, tumor hipofisa, tumor dasar otak sebelah anterior, media bahkan
posterior, dakriosistorinostomi, dekompresi orbita, dekompresi nervus optikus,
dan kelainan kongenital (atresia koana).2,22,23
Rinosinusitis kronis (RSK) adalah sekumpulan gejala yang ditandai
dengan adanya proses inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang
menyebabkan suatu penyumbatan atau obstruksi pada ostium sinus sehingga
menyebabkan terjadinya gangguan drainase dari rongga sinus.3,6,8,22,24 Diagnosis
RSK ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, endoskopi, dan
modalitas pencitraan. Gejala klinis suatu RSK dibuat berdasarkan kriteria mayor
9
dan kriteria minor dan setidaknya RSK ditegakkan berdasarkan 2 kriteria mayor
atau lebih, atau 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor seperti yang ditetapkan
oleh Rhinosinusitis Task Force (RSTF) tahun 1997.3,6,9,25 Adapun kriteria mayor
adalah hidung tersumbat (blockade), sekret di hidung (purulen), hiposmia atau
anosmia, wajah terasa penuh (facial congestion/fullness), nyeri wajah (facial
pain). Sedangkan gejala minor adalah demam, halitosis, sakit kepala, batuk,
lelah/letih, nyeri gigi, nyeri telinga atau rasa tertekan atau penuh pada telinga. Dan
gejala klinis yang persisten ini berlangsung lebih dari 12 minggu. 22,26-28
Pemeriksaan fisik berupa rinoskopi anterior dapat terlihat adanya sekret di
meatus medius atau meatus superior, mungkin terlihat adanya polip yang
menyertai rinosinusitis kronik. Pemeriksaan nasoendoskopi sangat dianjurkan
karena dapat menunjukkan kelainan yang tidak dapat terllihat dengan rinoskopi
anterior, misalnya sekret purulen minimal di meatus medius atau superior, polip
kecil, ostium asesorius, edema prosesus unsinatus, konka bulosa, konka
paradoksikal, dan spina septum.2,29
Modalitas pencitraan juga sangat diperlukan untuk mengkonfirmasi antara
temuan klinis dan endoskopi dengan pencitraan. Pemeriksaan TK sinus paranasal
dianjurkan dan merupakan baku emas untuk pasien RSK yang tidak ada perbaikan
dengan terapi medikamentosa. Dengan potongan koronal sudah dapat diketahui
dengan jelas perluasan penyakit didalam rongga sinus dan adanya kelainan di
KOM (kompleks osteomeatal ).2,6,29
Staging untuk RSK dapat diklasifikasikan berdasarkan gambaran TK
menurut Lund-Mackay. Setiap grup sinus (maksilaris, etmoid anterior, etmoid
posterior, sfenoid, dan frontal) dibagi atas 3 grade yaitu: Grade 0 adalah normal,
grade 1 adalah parcial opacification, grade 2 adalah total opacification. Untuk
daerah KOM dibagi 2 grade yaitu nilai 0 berarti normal (no occlusion), nilai 2
bila ada opacification. Variasi anatomi seperti konka bulosa, konka media
paradoksikal, dicatat sebagai nilai 0 (absent) dan nilai 1 (present). Selain itu ada
pembagian lain RSK berdasarkan sistem Glicklick dan Metson yang terdiri dari :
1). Stadium 0 bila kurang dari 2 mm ketebalan mukosa pada beberapa dinding
sinus. 2). Stadium 1 dimana penyakit unilateral dan atau abnormalitas anatomi. 3).
10
Stadium 2 yaitu penyakit bilateral terbatas pada sinus etmoid atau sinus maksila.
4). Stadium 3 yaitu penyakit bilateral dengan keterlibatan sedikitnya satu sfenoid
atau sinus frontal. 5). Stadium 4 adalah bila mengenai seluruh sinus
(pansinusitis).6,28,30,31
KONTRA INDIKASI
Kontra indikasi BSEF adalah osteitis atau osteomielitis tulang frontal yang
disertai pembentukan sekuester, paska operasi radikal dengan rongga sinus yang
mengecil (hipoplasia), Penderita yang disertai hipertensi maligna, diabetes
mellitus, kelainan hemostasis yang tidak terkontrol, dan riwayat merokok juga
merupakan kontra indikasi relatif karena tingginya insidensi terbentuknya skar,
jaringan granulasi, dan rekurensi penyakit.2,9
PERSIAPAN OPERASI
Sebelum dilakukan operasi kondisi pasien perlu dipersiapkan dengan
sebaik-baiknya. jika ada tanda-tanda inflamasi maupun infeksi harus diatasi
dahulu. Perlunya pemeriksaan nasoendoskopi sebelum operasi untuk menilai
anatomi dinding lateral hidung dan variasi anatominya. Hal ini untuk
memprediksi dan mengantisipasi kesulitan dan kemungkinan komplikasi yang
terjadi saat operasi, seperti meatus medius yang sempit karena deviasi septum,
konka media bulosa, polip meatus medius, konka media paradoksikal dan
lainnya.2,9
Pemeriksaan pencitraan seperti Tomografi Komputer sinus paranasal
merupakan baku emas dalam tindakan BSEF. Hal ini diperlukan untuk
mengidentifikasi penyakit dan perluasannya serta mengetahui landmark dan
variasi anatomi sinus paranasal dan hubungannya dengan dasar otak dan orbita
serta mempelajari daerah-daerah rawan tembus ke dalam orbita dan intrakranial.
Konka-konka, meatus-meatus terutama meatus media beserta kompleks
ostiomeatal dan variasi anatomi seperti kedalaman fossa olfaktorius, adanya sel
Onodi, sel Haller dan lainnya perlu diketahui dan di identifikasi, demikian pula
11
lokasi arteri etmoid anterior, nervus optikus, dan arteri karotis interna penting
diketahui.2,32
Gambar TK penting sebagai panduan yang akurat untuk operator saat
melakukan tindakan operasi. Berdasarkan gambar TK tersebut operator dapat
mengetahui daerah-daerah rawan tembus dan dapat menghindari daerah tersebut
atau bisa bersikap lebih hati-hati untuk menghindari komplikasi. Untuk menilai
tingkat keparahan inflamasi dapat menggunakan beberapa sistem gradasi seperti
staging Lund-Mackay. Sedangkan untuk menilai kedalaman olfaktorius dipakai
sistem kerose.2,32
TAHAPAN OPERASI
Tujuan BSEF adalah membersihkan penyakit di kompleks osteomeatal
dengan panduan endoskopi dan memulihkan kembali drainase dan ventilasi sinus
besar yang sakit secara alamiah. Prinsip BSEF adalah bahwa hanya jaringan
patologik yang diangkat sedangkan jaringan sehat dipertahankan agar tetap
berfungsi. Teknik operasi BSEF adalah secara bertahap mulai dari yang paling
ringan yaitu infundibulektomi, BSEF mini sampai frontosfenoidektomi total.
Tahap operasi disesuaikan dengan luasnya penyakit. Berikut ini dijelaskan
tahapan operasi yaitu : 1) Unsinektomi, 2) Antrostomi meatus medius, 3)
Etmoidektomi anterior, 4) Etmoidektomi posterior, 5) Sfenoidektomi, 6) Bedah
sinus frontal.2,9,18,33
Indikasi tahapan tersebut tergantung dari luasnya penyakit dan variasi
anatomi. Cara melakukan tahapan BSEF tersebut tergantung dari teknik operasi
yang dikuasai operator dan ketersediaan alat yang memadai. BSEF sebaiknya
dilakukan dalam anestesi umum, sebelum dilakukan pembedahan diberikan
dekongestan terhadap hidung dengan menggunakan oksimetazolin. Dinding
lateral hidung di infiltrasi dengan menggunakan xylocain 1% dengan epinefrin
1:100.000 pada anterior dari perlekatan konka media, anterior dari bagian inferior
prosesus unsinatus, bagian inferior dari konka media dan pertengahan dasar konka
inferior. Berikut tahapan operasi sebagai berikut: 2,18,33
12
Infundibulektomi dan Unsinektomi
Langkah pertama diperhatikan akses ke meatus medius, jika sempit akibat
deviasi septum, konka bulosa, atau polip, koreksi atau angkat polip dahulu. Tidak
setiap deviasi septum dikoreksi kecuali diduga sebagai penyebab penyakit atau
dianggap akan menggangu prosedur endoskopik. Tahap awal operasi adalah
membuka rongga infundibulum yang sempit dengan cara mengangkat prosesus
unsinatus sehingga akses ke ostium sinus maksila terbuka. Selanjutnya ostium
dinilai apakah perlu diperlebar atau dibersihkan dari jaringan patologik.2,18
Unsinektomi atau infundibulotomi dilakukan dengan pisau sabit (sickle
knife), dimulai dari ujung atas perlekatan konka media pada dinding lateral
hidung, insisi kearah inferior menyusuri batas depan prosesus unsinatus
selanjutnya ke posterior sejajar batas bawah konka media. Prosesus unsinatus di
luksasi dulu dengan ostium seeker, dengan cara menyelipkan ujung bengkoknya
ke bibir dalam prosesus unsinatus melalui hiatus semilunaris, lalu tarik prosesus
unsinatus ke medial, selanjutnya prosesus unsinatus dipotong dengan back bitting.
Tujuan unsinektomi adalah membuka rongga infundibulum yang sempit sehingga
drainase dan ventilasi sinus maksila terbuka, membuka akses ke ostium sinus
maksila dan evaluasi ostium, apakah terbuka, tertutup, atau sempit, sehingga perlu
diperlebar.2,18,33
Antrostomi meatus medius
Mengidentifikasi batas potongan prosesus unsinatus dan menariknya
kearah medial menggunakan ball-tipped seeker (ball point probe). Apabila ostium
tidak terlihat pada bagian lateral sisa prosesus unsinatus dilakukan penekanan
pada fontanela posterior untuk melihat adanya gelembung. Kemudian dilakukan
reseksi pada sisa prosesus unsinatus menggunakan forsep back bitting, kemudian
memperluas antrostomi secara inferior dan posterior apabila diperlukan.
Antrostomi sebaiknya dilakukan setelah unsinektomi dan sebelum etmoidektomi,
karena identifikasi ostium lebih mudah jika masih ada bula etmoid. Setelah ostium
tampak, perhatikan bentuk dan besarnya, apakah perlu diperlebar. Kenali
fontanela anterior dan fontanela posterior, yaitu dinding medial sinus maksilaris
13
disisi anterior dan posterior ostium yang tidak mengandung tulang. Bila ada
ostium asesori akan tampak di area ini.2,34
Penetrasi sinus maksilaris melalui meatus medius dimulai dengan hati-
hati, medialisasi konka media dengan menggunakan elevator freer, hati-hati
fraktur tulang konka media. Prosesus unsinatus di identifikasi dan hiatus
semilunaris dan bula etmoid divisualisasi. Prosesus unsinatus dapat dimedialisasi
dengan ballpoint probe dan di insisi sepanjang insersi dinding lateral hidung
menggunakan sickle knife atau elevator sharp, kemudian forsep blakesley
digunakan untuk memobilisasi insersi bagian superior dan inferior prosesus
unsinatus dengan gerakan memutar.9,34
Sesudah mengangkat prosesus unsinatus, ostium alami sinus maksilaris
akan terlihat dan dipalpasi dengan ballpoint probe atau curved suction. Sinus
maksilaris kemudian diperlebar dengan forsep sharp cutting, bagian inferior,
posterior dan anterior. Jika ada ostium asesorius akan diperluas kearah posterior
sehingga bersatu dengan ostium alami. Ostium yang baru diameternya setidaknya
lebih dari 1 cm akan mengurangi resiko stenosis karena skar.2,34
Selanjutnya isi antrum dievaluasi dengan teleskop 30°, perhatian ditujukan
pada kondisi mukosa, apakah ada polip, kista dan lain-lain. Dapat dinilai juga
gambaran kanal jalan arteri dan nervus infraorbitalis di atap antrum. Jika ada
ostium asesori, maka harus disatukan dengan ostium asli, diperlebar hingga
keduanya bersatu. Sebenarnya prosedur pelebaran ostium ini tidak rutin
dikerjakan kecuali ostium tersumbat oleh jaringan edema, hipertrofi atau ada
massa polip, jika perlu diperlebar dianjurkan ke arah anterior memotong fontanela
anterior dan ke arah posterior dengan memotong fontanela posterior.2,33,34
Etmoidektomi anterior
Apabila ditemukan sinusitis etmoid maupun polip, operasi dilanjutkan
dengan etmoidektomi, sel-sel sinus dibersihkan termasuk resessus frontal jika ada
sumbatan didaerah ini dan jika disertai sinusitis frontal. Gunakan teleskop 0°
sampai teridentifikasi daerah mayor. Kemudian identifikasi dan membuka bula
dengan menggunakan forsep atau mikrodebrider. Identifikasi juga dinding orbital
14
medial sedini mungkin saat dilakukan prosedur. Dengan menggunakan teleskop
0° dinding anterior bula etmoid ditembus dan diangkat sampai tampak dinding
belakangnya yaitu lamina basalis yang membatasi sel-sel etmoid anterior dan
posterior. Jika ada sinus lateralis maka lamina basalis akan berada dibelakang
sinus lateralis ini.2,18,35
Etmoidektomi posterior
Apabila sudah memasuki etmoid posterior, maka teleskop secara perlahan
ditarik agar didapatkan pandangan keseluruhan dari lamina basalis. Lamina
basalis tampak tipis keabu-abuan, lamina basalis ditembus dibagian infero-medial
untuk membuka sinus etmoid posterior. Selanjutnya sel-sel etmoid posterior
(umumnya sel-selnya besar) diobservasi dan jika ada kelainan sel-selnya
dibersihkan dan atap sinus etmoid posterior yang merupakan dasar otak di
identifikasi sebagai tulang keras yang letaknya agak horizontal. Saat diseksi di
sinus etmoid posterior, harus di ingat adanya sel Onodi. Jika ada sel etmoid yang
sangat berpneumatisasi, berbentuk piramid dengan dasarnya menghadap ke
endoskopi, ini adalah sel Onodi. Sebaiknya hindari trauma pada daerah ini karena
dapat terjadi trauma pada arteri karotis interna dan nervus optikus.2,18,35
Sfenoidektomi
Teknik yang biasa dilakukan adalah sfenoidotomi bukan sfenodektomi,
yaitu hanya membuka sinus sfenoid. Ini bukan prosedur rutin BSEF. Didalam
sinus ada kanal nervus optikus dan arteri karotis sehingga manipulasi daerah ini
dapat berakibat kebutaan, kebocoran likuor atau perdarahan hebat. Sfenodektomi
memerlukan perencanaan yang matang. Metode paling aman untuk memasuki
sfenoid adalah dari dalam sinus etmoid. Mengidentifikasi meatus superior dan
konka superior dengan meraba kearah medial diantara konka medius dan superior.
Kemudian dilakukan reseksi bagian inferior dari konka superior dengan
menggunakan forsep atau mikrodebrider. Raba ostium sinus sfenoid pada bagian
medial dimana konka superior direseksi. Pelebaran ostium dengan menggunakan
Stammberger mushroom punch dan Hajek rotating sphenoid punch.2,18,33
15
Bedah sinus frontal
Untuk memperbaiki drainase sinus frontal dan membuka ostium sinus
frontal, resesus frontal harus dibersihkan terlebih dahulu. Diseksi disini
menggunakan cunam Blakesley upturned dipandu endoskop 30°. Setelah sel-sel
resesus frontal dibersihkan, ostium biasanya langsung tampak. Lokasi ostium
dapat di identifikasi berdasar tempat perlekatan superior dari prosesus unsinatus.
Jika perlekatan tersebut pada orbita maka drainase dan lokasi ostium ada
disebelah medial perlekatan unsinatus. Jika unsinatus melekat pada dasar otak
atau konka media, maka drainase dan ostium ada disebelah lateral perlekatan.
Panduan ini terutama diperlukan jika ostium tersembunyi oleh polip, sel-sel
frontal dan variasi anatomi.2,33,35
Beberapa penyebab ostium sinus frontal tersembunyi adalah jaringan
edema, polip, sisa prosesus unsinatus di bagian superior, variasi anatomi seperti
sel-sel agger nasi yang meluas ke posterior, bula etmoid meluas ke anterior, sel
supra orbital sangat cekung menyerupai kedalaman sinus frontal. Semua ini
dibersihkan dengan cunam Blekesley upturned, cunam-cunam jerapah atau kuret J
dipandu endoskop 30° dan 70°, dengan memperhatikan luasnya sinus frontal pada
gambar TK, serta mengingat lokasi drainase sinus frontal. Adanya gelembung
udara atau turunnya sekret menunjukkan lokasi ostium yang sebenarnya. Setelah
resesus frontal dan infundibulum dibersihkan maka jalan ke sinus frontal dan
maksila sudah terbuka, drainase dan ventilasi akan pulih dan kelainan patologik di
kedua sinus tersebut akan sembuh sendiri dalam beberapa minggu tanpa dilakukan
suatu tindakan didalamnya.2,18,33
Pada operasi sesungguhnya perhatian ditujukan pada sinus frontal di
gambaran TK, disesuaikan dengan yang ditemukan saat operasi, agar tidak keliru
menduga sel etmoid supra/retro orbital sebagai sinus frontal. Pada TK harus tetap
diperhatikan lengkung dasar otak yang menghubungkan atap etmoid dengan
lamina kribrosa. Lengkung ini (lamina lateralis kribrosa) yang panjangnya
bervariasi antara 3-16 mm dan sangat tipis, sehingga rawan tembus ke intrakranial
(ada 3 tipe bentuk lengkung atau disebut 3 tipe Kerose). 2,33
16
PERAWATAN PASKA OPERATIF
Perawatan paska operatif bedah sinus endoskopi sangat penting dan
berbeda setiap individu. Penggunaan tamponasi (nasal packing) dianjurkan oleh
beberapa peneliti sementara beberapa peneliti lainnya tidak menganjurkan
pemasangan tampon. Jika memakai tampon harus diangkat antara 1-7 hari paska
operasi atau rata-rata 2-3 hari untuk hemostat. Pada beberapa kasus, tampon
sebaiknya minimal bila intraoperatif dapat dikontrol perdarahannya. Biasanya 1
minggu paska operatif kita mulai melakukan aspirasi sekresi luka dan melepaskan
atau mengangkat krusta dengan instrumen dibawah pandangan endoskopi dengan
menggunakan teleskop. Sebaiknya tidak ada trauma baru yang terjadi selama
melakukan prosedur ini. Biasanya kontrol endoskopi pertama paska operasi
memberikan kesan apakah memerlukan penanganan yang lebih sering dengan
interval yang lebih pendek atau tidak.33,36
Operasi rongga hidung membutuhkan pembersihan sesudah pengangkatan
tampon, menggunakan cairan saline (NaCl 0,9%) untuk melembabkan bekuan
darah dan krusta-krusta akibat operasi. Semua pasien paska operatif endoskopi
dilakukan cuci hidung dan diberikan terapi medikamentosa dan follow up selama
minimal 3 bulan. Penilaian gejala klinis dan pemeriksaan endoskopi dilakukan
bervariasi dan berbeda setiap individu dan dinilai setiap 2 minggu, 1 bulan, 2
bulan dan 3 bulan paska operatif. Ada 2 situasi dimana dibutuhkan perawatan
paska operasi yang lebih panjang jika pembedahan pada resesus frontalis dan
ostium sinus frontal, misalnya terhalangi jaringan parut yang hebat oleh karena
operasi sebelumnya karena adanya massa. Untuk kasus ini perawatan paska
operasi dengan interval yang pendek dianjurkan untuk mencegah stenosis.33,36
Perawatan lokal terhadap mukosa termasuk debridemen krusta dibawah
anestesi lokal, juga untuk membuka sinekia jika mulai terbentuk dan suctioning
ostium yang baru (neo ostium). Edema mukosa hidung dan pembentukan jaringan
granulasi dapat diterapi dengan pemberian antibiotik dan kortikosteroid. Peri dan
paska operatif pemberian antibiotik sistemik tidaklah merupakan prosedur rutin
operasi endonasal, tetapi di indikasikan pada kasus-kasus infeksi purulen atau
17
osteomyelitis. Pemberian kortikosteroid sistemik dapat di indikasikan pada kasus-
kasus poliposis yang banyak pada beberapa hari paska operasi.33,36
KOMPLIKASI
Seiring dengan kemajuan yang pesat dari teknik BSEF ini, para ahli juga
banyak melakukan penelitian mengenai komplikasi yang terjadi dari prosedur
operasi ini. Namun pemahaman yang mendalam tentang anatomi bedah sinus,
persiapan operasi yang baik dan tentunya pengalaman ahli dalam melakukan
bedah sinus akan mengurangi dan mencegah terjadinya komplikasi. Komplikasi
BSEF dapat dikategorikan menjadi komplikasi intranasal, periorbital atau orbital,
intrakranial, vaskular dan sistemik.2,3,9,22
Komplikasi intranasal seperti sinekia, yang merupakan masalah yang sering
timbul. Hal ini disebabkan melekatnya dua permukaan luka yang saling
berdekatan, umumnya permukaan konka media dan dinding lateral hidung. Selain
itu komplikasi lain adalah stenosis ostium sinus maksila, Kerusakan duktus
nasolakrimalis.3,9,34
Komplikasi periorbital atau orbital seperti edema kelopak mata, ekimosis,
emfisema, perdarahan retrobulbar, kerusakan nervus optikus dan gangguan
pergerakan bola mata. Sedangkan komplikasi intrakranial merupakan komplikasi
yang sering terjadi pada pemula. Kebocoran cairan serebrospinal selama prosedur
bedah merupakan komplikasi yang jarang terjadi. Komplikasi sistemik walaupun
jarang, namun dapat juga terjadi infeksi dan sepsis yang mungkin terjadi pada
setiap prosedur bedah. Pemakaian tampon hidung yang lama dapat menyebabkan
toxic shock syndrome (TSS).2,33
LAPORAN KASUS 1
Kasus pertama datang seorang laki-laki usia 70 tahun pada tanggal 3
Februari 2012 ke poliklinik THT RSMH dengan keluhan kedua hidung tersumbat
sudah dialami pasien selama lebih 3 bulan. Ingus kental, sakit kepala dan
gangguan penciuman dialami pasien (penurunan penciuman sejak 3 bulan
terakhir), ingus berbau dan riwayat bersin berulang tidak didapatkan, rasa penuh
18
pada wajah, mulut berbau, riwayat sakit gigi dan merokok didapati, riwayat alergi
pada keluarga tidak didapati, riwayat hipertensi dialami pasien lebih dari 5 tahun,
riwayat diabetes mellitus tidak ada. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan
umum baik, kompos mentis, TD 140/90 mmHg (dibawah obat anti hipertensi dan
rata-rata TD sistol 140-170 dan diastol 90-100 mmHg), pemeriksaan telinga tidak
terdapat kelainan, pada rongga hidung kanan dan kiri lapang, sekret kental
didapati berwarna kekuningan, tampak gambaran massa berwarna putih keabuan,
mengkilat, permukaan licin, tidak mudah berdarah, tidak nyeri, tidak mengecil
saat dilakukan tes efedrin dan memenuhi seluruh rongga hidung kanan dan kiri.
Pasase hidung kanan dan kiri tidak dijumpai. Pada daerah tenggorok arkus faring
simetris, uvula ditengah, tonsil T1-T1 tenang, tidak hiperemis, dinding faring
tenang. Pemeriksaan nasoendoskopi tampak massa polip memenuhi rongga
hidung kanan dan kiri, KOM tertutup.
Dilakukan pemeriksaan TK sinus paranasal tanggal 10 Februari 2012 no.
6087, kesan : Polip nasi disertai sinusitis maksilaris kanan dan kiri serta sinusitis
etmoidalis kanan dan kiri dan sinusitis sfenoidalis kiri, tulang-tulang baik. Pasien
didiagnosis dengan polip nasi bilateral grade 3 dan rinosinusitis kronik dengan
hipertensi stage I. Pasien direncanakan tindakan operasi polipektomi dan bedah
sinus endoskopi fungsional. Dilakukan persiapan operasi dengan melakukan
pemeriksaan laboratorium darah dan rontgen thorax. Hasil laboratorium darah
tanggal 16 Februari 2012 sebagai berikut : Hb: 10,8g/dl, Ht: 35 vol%, Leukosit
8500/mm3, trombosit : 294.000/mm3, CT: 9 menit, BT: 2 menit, BSS: 92 mg/dl,
SGOT: 19 U/l, SGPT: 17 U/l, Na: 134 mmol/l, K: 4,3 mmol/l. Hasil rontgen
thorax tanggal 18 Februari 2012 no. 5192, kesan : Cor pulmo normal, fibrotik
superior hilus kiri, bekas KP. Selanjutnya pasien dikonsulkan ke bagian Penyakit
dalam untuk rencana operasi, kesan : cor dan pulmo fungsional kompensata,
hipertensi stage I, terapi diberikan amlodipin 1x10mg dan captopril 2x12,5 mg.
kemudian pasien dikonsulkan ke bagian Anestesi kesan: Setuju tindakan operasi,
ASA2.
Pada tanggal 1 Maret 2012 dilakukan operasi polipektomi dan bedah sinus
endoskopi fungsional. Intraoperatif, setelah dilakukan pemasangan tampon
19
adrenalin 1: 100.000, dilakukan identifikasi massa polip, konka inferior, konka
media, dan area KOM. Tampak polip nasi dekstra dan sinistra memenuhi seluruh
rongga hidung. Infiltrasi dilakukan dengan injeksi pehacain masing-masing 2
ampul pada setiap rongga hidung. Injeksi dilakukan di bagian atas perlekatan
konka media, bagian bawah konka media, pada konka media, juga pada konka
inferior dan sebagian pada massa polip. Dilakukan ekstirpasi massa polip dengan
menggunakan tang polip dengan panduan endoskopi untuk visualisasi, massa
polip diekstirpasi sampai bersih. Perdarahan diatasi sementara dengan tampon
efedrin, kemudian dievaluasi ulang. Identifikasi ulang konka media, prosesus
unsinatus, meatus medius dan meatus superior. Dilakukan insisi pada prosesus
unsinatus (unsinektomi) dengan freer, tampak muara meatus medius, kemudian
dilanjutkan antrostomi meatus inferior dan irigasi dengan cairan NaCl 0,9%.
Evaluasi ulang dengan sinuskopi tampak mukosa sinus mengalami penebalan.
Perdarahan diatasi dengan pemasangan tampon efedrin, kemudian dievaluasi
kembali dan terakhir dipasang tampon antibiotik pada kedua rongga hidung
sebanyak 9/9.
Paska operasi pasien diberikan terapi Ceftriaxon 2x1gr, ketorolak 2x1
ampul didrip, asam traneksamat 3x 500mg (intravena) ditambah terapi dari bagian
penyakit dalam dengan amlodipin 1x10mg dan captopril 2x12,5mg. Satu hari
paska operasi, keluhan nyeri hidung minimal, terapi masih dilanjutkan. Hari
ketiga paska operasi, keluhan nyeri hidung berkurang, dilakukan pengangkatan
tampon anterior bertahap, perdarahan aktif dijumpai, diatasi dengan pemasangan
tampon ulang dan perdarahan berhenti. Hari ke enam paska operasi dilakukan
pengangkatan seluruh tampon anterior, perdarahan aktif tidak dijumpai. Pasien
dinyatakan rawat jalan pada hari ke tujuh dan diberikan terapi ciprofloxacin
2x500mg, parasetamol 3x 500mg, cuci hidung NaCl 0,9% 2x sehari dan
amlodipin 1x10mg ditambah captopril 2x12,5mg.
Satu minggu paska operasi pasien kontrol, keluhan nyeri hidung, hidung
tersumbat tidak didapati, pasase hidung lancar. Pada pemeriksaan rinoskopi
anterior tampak krusta-krusta pada kavum nasi, dilakukan irigasi kavum nasi
dengan menggunakan cairan NaCl 0,9% sampai bersih. Terapi masih dilanjutkan
20
dengan pemberian cuci hidung cairan NaCl fisiologis 2x sehari, ciprofloxacin
2x500mg, parasetamol 3x 500mg. Dua minggu paska operasi pasien kontrol lagi
keluhan nyeri hidung, hidung tersumbat tidak didapati. Pada pemeriksaan
rinoskopi anterior mukosa rongga hidung tidak hiperemis, edema mukosa dan
sekret hidung tidak didapati. Nasoendoskopi tampak daerah KOM terbuka, muara
meatus medius terbuka. Pasien diberikan cuci hidung NaCl 0,9% 2x sehari.
LAPORAN KASUS 2
Kasus kedua datang seorang wanita usia 60 tahun pada tanggal 16
Februari 2012 ke poliklinik THT RSMH dengan keluhan kedua hidung tersumbat
sudah dialami pasien selama lebih 6 bulan. Ingus kental dan berbau didapati,
riwayat bersin berulang tidak didapati, gangguan penghidu (penurunan penciuman
sejak 5 bulan terakhir), sakit kepala, rasa penuh pada wajah didapati, riwayat
alergi pada keluarga dan riwayat hipertensi tidak didapati, riwayat diabetes
mellitus dialami sejak 2 tahun yang lalu, dengan riwayat berobat tidak teratur.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, kompos mentis, TD
120/80 mmHg, nadi: 84x/menit, RR: 20x/menit. Pemeriksaan telinga tidak
terdapat kelainan, pada rongga hidung kanan dan kiri lapang, sekret kental
berwarna kekuningan pada rongga hidung kanan, tidak tampak massa polip,
Pasase hidung kanan tidak ada sedangkan kiri lancar. Pada daerah tenggorok
arkus faring simetris, uvula ditengah, tonsil T1-T1 tenang, tidak hiperemis,
dinding faring tenang. Pemeriksaan nasoendoskopi tampak deviasi septum pada
rongga hidung sebelah kanan, konka media bentuk paradoksikal, daerah KOM
sebelah kanan tertutup.
Dilakukan pemeriksaan TK sinus paranasal tanggal 18 Februari 2012 no.
8087, kesan : sinusitis maksilaris kanan. Pasien di diagnosis dengan rinosinusitis
kronik dengan diabetes mellitus tipe II. Pasien direncanakan tindakan operasi
bedah sinus endoskopi fungsional. Dilakukan persiapan operasi dengan
melakukan pemeriksaan laboratorium darah dan rontgen thorax. Hasil
laboratorium darah tanggal 16 Februari 2012 sebagai berikut : Hb: 11,8g/dl, Ht:
35 vol%, Leukosit 9500/mm3, trombosit: 274.000/mm3, CT: 9 menit, BT: 2 menit,
21
BSS: 183 mg/dl, SGOT: 21 U/l, SGPT: 19 U/l, Na: 140 mmol/l, K: 4,0 mmol/l.
Hasil rontgen thorax tanggal 17 Februari 2012 no. 31091, kesan : Cardiomegali.
Selanjutnya pasien dikonsulkan ke bagian Penyakit dalam untuk rencana operasi,
kesan : DM tipe II terkontrol diet dan ASHD kompensata, saran : periksa BSN,
BSPP, profil lipid, EKG, cek ulang BSS sebelum operasi, diet DM 1900 kalori
dan rawat bersama divisi endokrin PDL. Hasil laboratorium tanggal 23 Februari
2012, BSS : 83mg/dl. Kemudian pasien dikonsulkan kebagian Anestesi kesan:
Setuju tindakan operasi, ASA2.
Pada tanggal 1 maret dilakukan tindakan bedah sinus endoskopi
fungsional. Intraoperatif, setelah dilakukan pemasangan tampon adrenalin
dilanjutkan dengan identifikasi kavum nasi. Pada rongga hidung bagian kanan
tampak lapang, konka inferior eutropi, deviasi septum ditemukan, konka media
paradoksikal, ostium medius tertutup. Dilakukan infiltrasi dengan injeksi pehacain
masing-masing 4 ampul pada rongga hidung kanan dan kiri. Injeksi dilakukan
pada bagian atas/ perlekatan konka media, bagian bawah konka media, konka
inferior, bagian atas prosesus unsinatus dan bagian bawah prosesus unsinatus.
Kemudian dilakukan insisi pada prosesus unsinatus mulai dari bagian atas sampai
bagian bawah prosesus unsinatus dengan menggunakan freer. Tampak muara
ostium medius terbuka dan bula etmoid tampak jelas. Dilakukan peruntuhan bula
etmoid dan pembersihan sel-sel etmoid (etmoidektomi anterior) dan ditemukan
adanya massa polip pada etmoid anterior kanan. Setelah ditemukan lamina basalis
yang ditandai sebagai tulang yang keras dan berwarna keabuan. Identifikasi dan
pembersihan juga dilakukan pada resesus frontalis, tampak muara ostium superior
terbuka. Kemudian melalui lamina basalis memasuki sel-sel etmoid posterior
(etmoidektomi posterior), sel-sel etmoid posterior juga dibersihkan sampai
ditemukan ostium sinus sfenoid terbuka (sfenodotomi). Kemudian dilakukan
antrostomi meatus inferior dan keluar cairan kekuningan yang berbau, dilanjutkan
irigasi dengan cairan NaCl fisiologis sampai bersih, dievaluasi dengan sinuskopi,
tampak mukosa sinus maksila masih baik, tidak tampak massa polip. Operasi
selesai diakhiri dengan pemasangan tampon anterior 1/1 dengan rapid nose.
22
Paska operasi pasien diberikan cefotaxime 2x1gr (intravena), asam
traneksamat 3x 500mg (intravena), analgetik ketorolak 30 mg 3x1 ampul drip.
Hari ke empat paska operasi, keluhan sakit kepala minimal, dilakukan
pengangkatan tampon anterior sekaligus, perdarahan aktif tidak didapati, krusta-
krusta dirongga hidung dibersihkan dengan cairan NaCl fisiologis.
Telenasoendoskopi tampak daerah KOM terbuka, muara ostium medius terbuka.
Hari ke lima paska opersai pasien rawat jalan diberikan terapi cuci hidung dengan
NaCl fisiologis 2x sehari, klindamisin 3x300mg, parasetamol 3x500mg. Satu
minggu paska operasi pasien kontrol, keluhan sakit kepala minimal,
nasoendoskopi, kavum nasi kanan dan kiri lapang, mukosa tampak hiperemis
minimal, deviasi septum nasi sebelah kanan, KOM terbuka, muara ostium medius
terbuka, pasase hidung kanan dan kiri lancar.
Dua minggu paska operasi pasien kontrol, keluhan sakit kepala minimal,
hidung tersumbat tidak dijumpai, pasase hidung lancar. Pemeriksaan rinoskopi
anterior mukosa baik, edema tidak dijumpai, sekret hidung tidak dijumpai.
Nasoendoskopi tampak muara ostium medius terbuka, sekret tidak dijumpai.
Pasien diberikan terapi cuci hidung cairan NaCl fisiologis 2 x sehari.
DISKUSI
Rinosinusitis kronis (RSK) adalah suatu penyakit yang muncul dengan
prevalensi dan biaya serta beban sosial yang tinggi. Terapi bedah fungsional
dengan operasi sinus endoskopi adalah salah satu pilihan penatalaksanaan
terhadap RSK yang tidak respon terhadap terapi medikamentosa. BSEF adalah
operasi bedah sinus endoskopi yang bersifat invasif minimal yang diharapkan
dapat memberikan hasil yang optimal dengan morbiditas yang minimal, serta
tingkat rekurensi yang rendah.
Dilaporkan 2 kasus RSK yang ditatalaksanai dengan pendekatan BSEF.
Pasien pertama laki-laki usia 70 tahun, sesuai kriteria Task Force tahun 1997
terdapat 3 kriteria mayor yaitu hidung tersumbat, sekret purulen di hidung,
gangguan penghidu dan terdapat 2 kriteria minor yaitu sakit kepala dan halitosis
selama lebih 3 bulan. Memenuhi kategori sebagai RSK. Pada pemeriksaan
23
penunjang dilakukan TK sinus paranasal dengan kesan : Polip nasi disertai
sinusitis maksilaris kanan dan kiri serta sinusitis etmoidalis kanan dan kiri dan
sinusitis sfenoidalis kiri, tulang-tulang baik. Berdasarkan sistem staging Lund
Mackay tampak gambaran total opacification pada sinus paranasal (grade 2).
Sedangkan menurut kriteria Glicklich dan Metson termasuk RSK stadium 3 yaitu
penyakit bilateral dengan keterlibatan sedikitnya satu sinus sfenoid. Menurut
sistem Kerose termasuk Keros tipe 2. Pada pasien ini ditemukan riwayat sakit gigi
dan merokok yang diduga pencetus timbulnya RSK pada pasien ini.
Penyulit pada pasien ini adalah penyakit sistemik yaitu hipertensi. Salah
satu kontra indikasi BSEF adalah hipertensi maligna, tetapi pada pasien ini
dilakukan stabilisasi tekanan darah preoperatif, sehingga saat operasi tekanan
darah sudah terkontrol (dilakukan stabilisasi tekanan darah selama hampir 2
minggu) sehingga persiapan preoperatif pasien ini lebih lama dilakukan. Pasien
diterapi dengan BSEF (mini BSEF) yaitu unsinektomi dan antrostomi meatal
inferior. BSEF dilakukan dalam narkose dengan pendekatan teknik hipotensi sulit
dicapai pada saat intraoperatif sehingga prosedur BSEF hanya dilakukan sampai
mini BSEF karena perdarahan. Paska operatif pemasangan tamponasi pada pasien
ini lebih lama dilakukan yaitu selama 6 hari dikarenakan timbulnya perdarahan
aktif saat dilakukan pengangkatan tampon bertahap oleh karena instabilitas
tekanan darah paska operatif. Follow up pasien selama 2 minggu paska operatif
didapatkan perbaikan baik gejala klinis (keluhan subjektif) maupun dari
pemeriksaan fisik (rinoskopi anterior).
Pasien kedua wanita usia 60 tahun, sesuai kriteria Task Force tahun 1997
terdapat 4 kriteria mayor yaitu hidung tersumbat, sekret purulen di hidung,
gangguan penghidu dan ingus berbau serta terdapat 1 kriteria minor yaitu sakit
kepala selama lebih 6 bulan. Memenuhi kategori sebagai RSK. Pada pemeriksaan
penunjang dilakukan TK sinus paranasal dengan kesan : sinusitis maksilaris
kanan. Berdasarkan sistem staging Lund Mackay tampak gambaran total
opacification pada sinus paranasal (grade 2), kondisi KOM tampak adanya
opasifikasi dan ditemukan variasi anatomi yaitu konka media paradoksikal dan
deviasi septum. Sedangkan menurut kriteria Glicklich dan Metson termasuk RSK
24
stadium 1 yaitu penyakit unilateral dan atau abnormalitas anatomi. Menurut
sistem Kerose termasuk Keros tipe 2.
Pasien diterapi dengan BSEF (unsinektomi, etmoidektomi, antrostomi
meatal inferior, frontosfenodotomi). Penyulit pada pasien ini adalah penyakit
sistemik yaitu DM tipe II. Salah satu kontra indikasi BSEF adalah Diabetes
Mellitus, tetapi pada pasien ini dilakukan stabilisasi gula darah preoperatif selama
2 minggu, sehingga saat intraoperatif gula darah sudah terkontrol. Selain itu
variasi anatomi seperti konka media paradoksikal dan adanya deviasi septum pada
rongga hidung sebelah kanan diduga sebagai faktor predisposisi tertutupnya
daerah KOM sehingga menyebabkan terjadinya gangguan drainase dan ventilasi
yang berakhir dengan terjadinya rinosinusitis.
Follow up pasien selama 2 minggu paska operatif didapatkan perbaikan
baik gejala klinis (keluhan subjektif) maupun dari pemeriksaan fisik (rinoskopi
anterior). Dibutuhkan follow up berkelanjutan pada pasien-pasien paska operatif
BSEF minimal selama 3 bulan sampai terjadi perbaikan mukosa rongga hidung
secara optimal.
.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Damm M, Quante G, Jungehuelsing M, Slennert E. Impact of functional
endoscopic sinus surgery on symptoms and quqlity of life in CRS. The
Laryngologica. 2002;112:310-15
2. Endoskopic sinus surgery workshop. Bandung ORL-HNS week. 2009
3. Nair SC, Bhadauria RS, Sharma LC. Impact of endoscopic sinus surgery
on symptom manifestation of chronic rhinosinusitis.MJAFI. 2010;66:41-
45
4. Forsgren K, Fukami M, Penttila M, Kumlien J, Stiena P. Endoscopic and
Caldwell-Luc approaches in chronic maxillary sinusitis: a comparative
histopathologic study on preoperative and postoperative mucosal
morphology. Ann Otol Rhinol.Laryngol. 1995;104:350-57
5. Lund J, Valerie. Evidence-Based Surgery in Chronic rhinosinusitis. Acta
Otolaryngol. 2001;121:5-9
6. Souza CD, Rosemarie. Rhinosinusitis in: Rhinology and facial plastic
surgery. Berlin: 2009:p 190-95
7. Nair S, Dutta A, Rajagopalan R, Nambiar S. Endoscopic sinus surgery in
chronic rhinosinusitis and nasal polyposis : a comparative study. Indian J
Otolaryngol Head Neck Surgery.2011;63:50-55
8. Badari YA, Samaha M. Outcome of endoscopic sinus surgery for chronic
rhinosinusitis patient: a Canadian experience the journal of laryngology
and otology. 2010;124:1095-1099
9. Lee JT, Kennedy DW, Bayle, Byron. Endoscopic sinus surgery In : Head
and Neck Surgery Otolaryngology. 4th ed. 2006 : p 460-475
10. Terris MH, Davidson TM. Review of published result for endoscopic sinus
surgery.Ear Nose Throat. 1994;73:574-80
26
11. Penttila MA, Rautiainen MEP, Pukander JS, Karma PH. Endoscopic
versus Caldwell-Luc approach in chronic maxillary sinusitis: Comparison
of symptoms at one-year follow up. Rhinology. 1994;32:161-65
12. Lund VJ, Scadding GK. Objective assessment of endoscopic sinus
surgery. JR Soc Med 1994;108:749-53
13. Abdel-Hak B, Gunkel A, Kanonier G, Schrott, Fischer A, Ulmer H,
Thumfat W. Cilliary beat frequency, olfaction and endoscopic sinus
surgery. ORL J Otorhinolaryngol Relat Spee. 1998;60:202-5
14. Vleming M, Middelweerd MJ, de-Vries N. Good results of endoscopic
paranasal sinus surgery for chronic or recurrent sinusitis and for nasal
polyps. Ned Tijdschr Geneeskd.1993;137:1453-6
15. Forsgren K, Fukami M, Penttila M, Kumlien J, Stierna P. Endoscopic and
Caldwell-Luc approaches in chronic maxillary sinusitis: a comparative
histopathologic study on post operative mucosal morphology. Ann Otol
Rhinol Laryngol. 1995;104:350-7
16. Ikeda K, Kondo Y, Sinuse H, Hirano K, Oshima T, Shimomur A.
Subjective and objective evaluation sinus surgery. Am.J Rhinol.
1996;10:217-220
17. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinus paranasal. Buku ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi 6. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007;h 145-48
18. Lee KJ. The nose and paranasal sinuses. In Essential Otolaryngology
Head and Neck Surgery. 9th Ed. 1999: p365-371
19. Prescher A. Nasal and paranasal sinus anatomy for the endoscopic sinus
surgery. in: Rhinology and facial plastic surgery. Berlin: 2009:p 496-503
20. Ballenger JJ. Aplikasi klinis anatomi dan fisiologi hidung dan sinus
paranasal. Edisi 13. Philadephia : Stephen Yeh, 1994 ;h 1-15.
21. Probst R, Grevers G. Basic anatomy of the nose paranasal sinuses and
face. in: Basic Otorhinolaryngology a step by step learning guide. New
York. 2006:p 4-7
27
22. Khalil H, Nunez DA. Functional endoscopic sinus surgery for chronic
rhinosinusitis (review) the Cochrane collaboration.2009;3:1-9
23. Dijksta MD, Ebbens FA, Poublon ML. Fluticasone propionate aqueous
nasal spray does not influence the recurrence rate of chronic rhinosinusitis
and nasalpolyps 1 year after FESS.2004;34:1396-1400
24. Stafferi A, Marino F, Giacomelli L, Allexandro ED. The effect of the
sulfurous-arsenical-ferruginous thermal water nasal irrigation in wound
healing after functional endoscopic sinus surgery for chronic
rhinosinusitis; a prospective randomized study. American journal of
otolaryngology head and neck medicine and surgery 2008;29:223-229
25. Suh JD, Chin AG. Acute and chronic. In Current Diagnosis and treatment.
Otolaryngology head and neck surgery. 3th ed. 2012 : p291-299
26. Ling FTK, Kountakis SE. Important clinical symptom in patients
undergoing functional endoscopic sinus surgery for chronic rhinosinusitis.
The Laryngoscope.2007;117:1090-1093
27. Lusk RP, Marcella RB, Piccirillo J. Long term follow up for children
treated with surgical intervention for chronic rhinosinusitis. The
Laryngoscope. 2006;116:2099-2107
28. Battacharyya N. Symptom outcome after FESS for CRS. Arch
Otolaryngol Head and Neck Surg.2004;130:329-333
29. Daniel L, Hamilos. Chronic rhinosinusitis, pathogenesis and medical
management. USA, New York. 2007
30. Gosepath J, Pogodsky T, Mann WJ. Characteristic of recurrent chronic
rhinosinusitis after previous surgical therapy. Acta Oto Laryngologica.
2008;128:778-784
31. Liang KL, Chang M, Tseng HC. Impact of pulsatile nasal irrigation on the
prognosis of functional endoscopic sinus surgery. Journal of
Otolaryngology Head and Neck surgery. 2008;37:148-153
32. Hofmann E. Radiology of the nose and paranasal sinuses for the
endoscopic sinus surgeon. in: Rhinology and facial plastic surgery. Berlin:
2009:p 507-509
28
33. Stammberger MD. Tehnic Messerklinger in FESS. Endoscopic diagnostic
and surgery of the paranasal sinuses and anterior skull base. University
Ear, Nose and Throat hospital. Graz. Austria.1996:p 54-55
34. Constantinidis J. Endonasal maxillary sinus surgery. in: Rhinology and
facial plastic surgery. Berlin: 2009:p 554-557
35. Alessandro V. Etmoid sinus surgery. in: Rhinology and facial plastic
surgery. Berlin: 2009:p 560-564
36. Stammberger MD. FESS ” uncapping the egg” the endoscopic approach to
frontal recess and sinuses. Graz. Austria.2011:p 9-29
29