farmakologi analgesik opioid

31
1 PENDAHULUAN Istilah “narkotik”, sering digunakan dalam hubungannya dengan golongan obat analgesik opiod, dan istilah ini merupakan istilah yang tepat, karena “narkosis” berarti juga sebagai suatu keadaan penurunan kesadaran. Istilah “opiat” dan “analgesik opioid” merupakan istilah yang lebih tepat, karena termasuk obat yang menghilangkan nyeri tanpa menyebabkan tidur atau kehilangan kesadaran. Analgesik opioid biasanya memberi pengertian untuk mencakup semua turunan alkaloid alamiah dan semisintetik dari opium sama halnya dengan pengganti-penggantinya dengan efek-efek yang menyamai morfin. Istilah opioat digunakan untuk obat-obat yang diturunkan dari alkaloid opium poppy . Dalam tahun-tahun terakhir, analgesik yang juga mempunyai sifat-sifat anatagonis (campuran agonis-antagonis) telah dipakai dalam keadaan-keadaan klinik di mana obat-obat ini dapat menggantikan penggunaan morfin. Selanjutnya dengan adanya peptida-peptida endogen dengan sifat-sifat analgesik menunjukkan bahwa peptide-peptida sintetik dengan karakteristik opioid yang mungkin pada waktu yang akan dating juga dimasukkan dalam golongan ini. Diantara

Upload: andhia-dhiya

Post on 24-Oct-2015

91 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Farmakologi Analgesik Opioid

1

PENDAHULUAN

Istilah “narkotik”, sering digunakan dalam hubungannya dengan golongan obat

analgesik opiod, dan istilah ini merupakan istilah yang tepat, karena “narkosis” berarti

juga sebagai suatu keadaan penurunan kesadaran. Istilah “opiat” dan “analgesik opioid”

merupakan istilah yang lebih tepat, karena termasuk obat yang menghilangkan nyeri

tanpa menyebabkan tidur atau kehilangan kesadaran. Analgesik opioid biasanya memberi

pengertian untuk mencakup semua turunan alkaloid alamiah dan semisintetik dari opium

sama halnya dengan pengganti-penggantinya dengan efek-efek yang menyamai morfin.

Istilah opioat digunakan untuk obat-obat yang diturunkan dari alkaloid opium poppy .

Dalam tahun-tahun terakhir, analgesik yang juga mempunyai sifat-sifat anatagonis

(campuran agonis-antagonis) telah dipakai dalam keadaan-keadaan klinik di mana obat-

obat ini dapat menggantikan penggunaan morfin. Selanjutnya dengan adanya peptida-

peptida endogen dengan sifat-sifat analgesik menunjukkan bahwa peptide-peptida

sintetik dengan karakteristik opioid yang mungkin pada waktu yang akan dating juga

dimasukkan dalam golongan ini. Diantara opioid-opioid, dimasukkan opioat-

opioat(diturunkan dari alkaloid opium), opioid sintetik (agonis, campuran agonis-

antagonis dan antagonis), dan opiopeptin( seperti -endorfin dan enkefalin). Morfin

dianggap sebagai prototip agonis.

Page 2: Farmakologi Analgesik Opioid

2

SEJARAH DAN KIMIA

1. Sejarah

Sumber opium, zat-zat dari opium yang belum diolah dan morfin bersumber dari

bunga Papaver somniverum. Setelah sayatan biji poppy  pod yang mengeluarkan zat

putih yang dapat berubah menjadi permen cokelat dari opium mentah. Opium

mengandung banyak alkaloid, terutama menjadi morfin yang mengandung konsentrasi

sekitar  10%.  Kodein disintesis secara komersial dari morfin. Tanaman ini telah

digunakan selama lebih dari 6000 tahun, dan penggunaannya terdapat dalam dokumen-

dokumen Mesir kuno , Yunani, dan Romawi. Yang menarik pada opium ialah bahwa

sampai pada abad ke 18 belum ada perhatian akan kecenderungan adiksi opium. Dasar

dari farmakologi modern telah diletakkan oleh Sertuner, seorang ahli Jerman, yang

mengisolasi suatu zat alkali murni yang aktif dari opium pada tahun 1803. Hal ini

merupakan peristiwa penting di mana telah dimungkinkan untuk menstandarisasi potensi

suatu produk alamiah. Setelah melakukan pengujian pada dirinya sendiri dan beberapa

kawannya, Sertuner mengajukan nama “morfin” untuk senyawa ini, yang berasal dari

bahasa Yunani; Morpheus yang berarti mimpi dari Dewa ( God of dreams).

Page 3: Farmakologi Analgesik Opioid

3

2. Kimia

Dari Tabel 1.1 diterakan daftar tentang sifat-sifat agonis, campuran agonis-

antagonis, atau antagonis dari senyawa- senyawa opioid. Beberapa sifat farmakologinya

diringkaskan dalam Tabel 1.2. Perubahan molekular yang relative kecil dapat

mengakibatkan perubahan-perubahan yang drastic dari efek senyawa-senyawa ini, dari

suatu efek agonis berubah menjadi antagonis atau menjadi suatu senyawa dengan efek-

efek agonis dan anatagonis (campuran agonis-antagonis).Sifat- sifat anatagonis disertai

dengan penggantian subtitusi metil pada atom nitrogen dengan gugusan-gugusan yang

lebih besar, seperti alil dalam hal nalorfin dan nalokson; metilsiklopropan atau

metilsiklobutan untuk beberapa senyawa lain. Subtitusi gugusan hidroksil pada atom C3

dan C6 pada molekul morfin dengan jelas mengubah sifat-sifat farmakokinetik morfin.

Subtitusi metil pada hidroksil fenolik pada C3 mengurangi kepekaan molekul terhadap

metabolism hepar first –pass dengan konjugasi glukuronid pada posisi ini. Oleh karena itu

obat-obat seperti kodein dan oksikodon mempunyai rasio potensi oral, parenteral yang

lebih tinggi. Asetilasi kedua gugusan hidroksil pada morfin menghasilkan heroin, dengan

penetrasi ke dalam sawar darah - otak lebih cepat daripada morfin. Kemudian heroin ini

dengan cepat dihidrolisis dalam otak menjadi monoasetilmorfin dan morfin.

Page 4: Farmakologi Analgesik Opioid

4

Tabel 1.1 Struktur- struktur kimia analgesik opioid dan anatagonis

Struktur

dasar

Agonis kuat Agonis ringan

hingga sedang

Campuran

Agonis-

Antagonis

Antagonis

Morfin

Hidromorfon

Oksimorfon

Kodein

Oksikodon

Hidrokodon

Nabulfin

Buprenorfin

Nalorfin

Nalokson

Naltrekson

Fenil

heptamin

Metadon Propoksifen

Page 5: Farmakologi Analgesik Opioid

5

Fenil

piperidin

Meperidin Difenoksilat

Morfinan

Levorfanol Butorfanol

Benzomorfan

Pentazosin

Tabel 1.2 Analgesik- Analgesik opioid yang umum terdapat

Page 6: Farmakologi Analgesik Opioid

6

Ket: 1. + + +, + +, +, agonis kuat, ±, agonis parsial, -, antagonis.

2. Penggunaan dalam bentuk berkelanjutan-release, morfin (MS Contin), oxycodone (Oxy Contin).

3. Administrasi sebagai infus di 0,025-0,2 mcg / kg / menit.

4. Durasi tergantung pada konteks-sensitif setengah waktu 3-4 menit.

5.Penggunaan dalam tablet yang mengandung acetaminophen (Norco, Vicodin, Lortab, lain-lain).

6. Penggunaan dalam tablet yang mengandung acetaminophen (Percocet), aspirin (Percodan).

Page 7: Farmakologi Analgesik Opioid

7

FARMAKODINAMIK

A. Mekanisme Kerja

Morfin dan penggantinya berikatan secara selektif pada banyak tempat-tempat

diseluruh tubuh menghasilkan efek farmakologi. Pada umumnya tempat yang

memperlihatkan afinitas yang tinggi untuk ligan opioid seperti morfin, juga mengandung

peptide endogen dalam konsentrasi yang mempunyai sifat seperti opioid. Nama generik

yang dipakai untuk zat-zat ini adalah endorpin (morfin endogen). Walaupun demikian

istilah ini telah menyebabkan kekacauan karena hubungannya dengan salah satu

prototype peptide opioid utama -endorfin nampaknya paling mirip dengan morfin.

Peptida terkecil yang mempunyai aktifitas opioid langsung adalah metionin-

enkefalin dan leusi-enkelfalin. Dengan pengecualian gugusan terminal metionin atau

leusin, rangkaian asam amino enkefalin adalah identik. Salah satu atau kedua peptide ini

mengandung tiga protein prekurson utama yang mempun yai asam amino antra 257 dan

256 dengan urutan rangkaian peptide berlainan.

1. Tipe-tipe reseptor

Ligan-ligan eksogen dan endogen berikatan pada lokus ini dalam tingkat yang

bervariasi, dominasi, dan sifat kombinasi antara senyawa utama dari reseptor spesifik

memberikan profil farmakologi khas. Analgesia pada tingkat supraspinal maupun sifat-

sifat euforia, depresi pernapasan, dan ketergantungan fisik dari sifat morfin terutama

sebgai kombinasi reseptor mu dan delta. Reseptor juga mempentarai analgesi spinal dari

opioid. Reseptor kappa juga memperantarai analgesia tingkat spinal. Ketiga reseptor ini

Page 8: Farmakologi Analgesik Opioid

8

telah dapat diisolasi dan dibuat klonnya. Reseptor ke 4 yaitu reseptor sigma dikaitkan

dengan efek-efek opioid berupa disforik, halusigonik, dan stimulasi jantung.

Tabel 1.3 Klasifikasi Reseptor opioid Subtipe dan Tindakan dari Model Hewan

Ket: Tindakan terdaftar untuk antagonis terlihat dengan antagonis saja. Semua korelasi dalam tabel ini didasarkan pada studi pada tikus yang kadang-kadang menunjukkan perbedaan spesies. Dengan demikian, setiap ekstensi asosiasi ini untuk manusia tentatif. Studi klinis tidak menunjukkan bahwa reseptor menimbulkan analgesia spinally dan supraspinally, tindakan awal dengan peptida opioid sintetik, [D-Ala2, D-Leu5] enkephalin, menunjukkan bahwa intratekal delta agonis bersifat analgesik pada manusia.

2. Distribusi reseptor

Tempat-tempat ikatan opioid terdapat pada saraf trans misi nyeri medulla spinalis

dan pada aferen-aferen primer yang merelai nyeri yang disampaikan pada tempat ini.

Tempat-tempat di otak yang terlibat dalam perubahan reaktivitas terhadap nyeri kurang

dapat diidentifikasi dengan baik dibandingkan yang berkaitan dengfan transmisi nyeri.

3. Efek-efek selular

Opioid tampak memperlihatkan efek-efeknya dengan hiperpolarisasi dan

penghambatan saraf pascasinaptik atau mengurangi masuknya Ca2+ ke dalam ujung saraf

presinaptik dank arena itu mengurangi pembebasan transmitter. Kerja presinaptik

Page 9: Farmakologi Analgesik Opioid

9

menekan pembebasan transmiiter yang telah diperlihatkan untuk sejumlah besar

neurotransmitter ,termasuk asetilkolin, norepinefrin, dopamine , serotonin.

B. Efek-efek Sistem Organ dari Morfin dan Penggantinya

1. Efek-efek pada SSP

Efek-efek utama analgesik opioid dengan afinitas pada reseptor mu adalah pada SSP

yang terpenting ialah analgesia, euphoria, sedasi, dan depresi pernapasan.

a. Analgesia

Analgesia opioid memberikan efek analgesia terhadap sensari nyeri hebat yang

berasal dari manapun termasuk nyeri yang berasal dari luar ditambah dengan reaksi

organisme terhadap stimulus . Dengan adanya analgesic yang efektif , nyeri mungkin

masih dirasakan, tetapi nyeri yang sangat hebat dan asupan sensoris nyeri yang merusak

tidak lama diderita pasien.

b. Euforia

Disforik adalah suatu keadaan tidak dapat tenang yang disertai dengan

kegelisahan dan perasaan lemas. Jika jelas ada indikasi penggunaannya, maka pada

umumnya respons afektif yang umum adalah euforia.

Page 10: Farmakologi Analgesik Opioid

10

Tabel 1.4 Toleransi yang terjadi pada beberapa efek opioid-opioid

c. Depresi pernapasan

Depresi pernapasan bergantung pada dosis dan dipengaruhi dengan jelas oleh

derajat masukan sensoris lain pada waktu yang sama. Bila rangsangan nyeri lebih besar

dihilangkan, maka depresi pernapasan dengan tiba-tiba menjadi jelas.

d. Penekanan batuk

Penekanan refleks batuk merupakan efek analgesic opioid yang telah diketahui

dengan baik. Kodein terutama telah digunakan dan bermanfaat pada orang-orang yang

menderita batuk patologis dan pada pasien-pasien yang perlu untuk mempertahankan

ventilasi pada endotracheal tube.

e. Mual dan Muntah

Analgesik opioid dapat aktif pada chemoreceptor trigger zone di batang otak

menimbulkan mual dan muntah. Mungkin terdapat komponen lain pada efek-efek ini yang

meningkatkan insiden mual dan muntah.

Page 11: Farmakologi Analgesik Opioid

11

2. Efek- Efek Perifer

a. Sistem kardiovaskular

Tekanan darah biasanya dipertahankan pada subyek-subyek yang menerima opioid

kecuali sitem kardiovaskular ditekan, pada kasus mana dapat terjadi hipotensi. Efek

hipotensi ini mungkin disebabkan oleh dilatasi arterial dan vena yang telah membantu

beberapa mekanisme, termasuk pembebasan histamin dan depresi sentral mekanisme

stabilisasi vasomotor.

b. Saluran cerna

Reseptor-reseptor opioid memperlihatkan densitas yang tinggi dalam saluran cerna,

dan efek konstipasi opioid diperantarai melalui efeknya pada sistem saraf enterik lokal

maupun SSP . Pada lambung, motilitas dapat menurun tetapi tonus dapat meninggi

terutama di bagian sentral sedangkan sekresi asam hidroklorid berkurang.

c. Saluran biliar

Opioid menyebabkan konstriksi otot polos saluran biliar yang dapat menimbulkan

kolik biliar. Sfingter Oddi dapat berkontriksi menyebabkan refluks sekresi biliar dan

pankreas serta meningkatkan kadar amylase dan lipase dalam plasma.

d. Uterus

Analgesik opioid dapat memperlama partus. Mekanisme kerja ini belum jelas, tetapi

diketahui bahwa efek perifer dan efek sentral dapat mengurangi tonus uterus

Page 12: Farmakologi Analgesik Opioid

12

FARMAKOKINETIK

A. Penyerapan

Kebanyakan analgesik opioid diserap dengan baik bila diberikan oleh subkutan,

intramuskular, dan lisan rute. Namun, karena First-pass effect dosis oral dari opioid

(misalnya, morfin) dapat harus jauh lebih tinggi daripada dosis parenteral untuk

mendapatkan terapi efek. Variabilitas interpatient yang cukup besar ada di first-pass

metabolisme opioid, membuat prediksi oral yang efektif Dosis sulit. Analgesik tertentu

seperti kodein dan oxycodone efektif secara lisan karena mereka telah mengurangi

metabolisme pertama-pass. Insuflasi hidung opioid tertentu dapat mengakibatkan cepat

tingkat darah terapeutik dengan menghindari metabolisme pertama-pass. Lain rute

administrasi opioid termasuk mukosa oral melalui lozenges, dan transdermal patch

transdermal melalui. Yang terakhir ini dapat memberikan pengiriman analgesik kuat

selama beberapa hari. Baru-baru ini iontophoretik sistem transdermal telah

diperkenalkan, yang memungkinkan bebas jarum pengiriman fentanil untuk analgesia

yang dikontrol oleh pasien.

B. Distribusi

Penyerapan opioid oleh berbagai organ dan jaringan adalah fungsi dari kedua faktor

fisiologis dan kimia. Meskipun semua opioid mengikat protein plasma dengan berbagai

afinitas, obat cepat meninggalkan kompartemen darah dan melokalisasi dalam

konsentrasi tertinggi pada jaringan yang sangat perfusi seperti otak, paru-paru, hati,

ginjal, dan limpa. Konsentrasi obat pada otot rangka mungkin jauh lebih rendah, tetapi

Page 13: Farmakologi Analgesik Opioid

13

jaringan ini berfungsi sebagai reservoir utama karena curah lebih besar. Meskipun aliran

darah ke jaringan lemak jauh lebih rendah dibandingkan dengan jaringan yang sangat

perfusi, akumulasi dapat menjadi sangat penting, terutama setelah dosis tinggi

administrasi atau infus kontinu opioid yang sangat lipofilik yang lambat dimetabolisme,

misalnya, fentanil.

C. Metabolisme

Opioid dikonversi sebagian besar untuk metabolit polar (kebanyakan glucuronides),

yang kemudian mudah diekskresikan oleh ginjal. Sebagai contoh, morfin, yang berisi bebas

hidroksil kelompok, terutama konjugasi morfin-3-glukuronida (M3G), suatu senyawa

dengan sifat neuroexcitatory. The neuroexcitatory efek M3G tampaknya tidak dimediasi

oleh reseptor melainkan oleh sistem GABA / glycinergic. Sebaliknya, sekitar 10% dariμ

morfin dimetabolisme menjadi morfin- 6-glukuronida (M6G), metabolit aktif dengan

potensi analgesic empat sampai enam kali bahwa senyawa induknya. Namun, ini relatif

metabolit kutub memiliki kemampuan terbatas untuk menyeberangi bloodbrain yang

penghalang dan mungkin tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap biasa SSP efek

morfin diberikan akut. Namun demikian, akumulasi metabolit ini dapat menghasilkan tak

terduga yang merugikan efek pada pasien dengan gagal ginjal atau bila sangat besar dosis

morfin diberikan atau dosis tinggi diberikan dalam waktu lama. Hal ini dapat

mengakibatkan M3G diinduksi SSP eksitasi (kejang) atau tindakan opioid ditingkatkan dan

berkepanjangan diproduksi dengan M6G. SSP penyerapan M3G dan, pada tingkat lebih

rendah, M6G dapat ditingkatkan dengan tugas pembantuan dengan probenesid atau

dengan obat yang menghambat transporter obat P-glikoprotein. Seperti morfin,

hydromorphone dimetabolisme melalui konjugasi, menghasilkan hydromorphone- 3-

Page 14: Farmakologi Analgesik Opioid

14

glukuronida (H3G), yang memiliki SSP rangsang properti. Namun, hydromorphon belum

terbukti untuk membentuk sejumlah besar metabolit 6-glukuronida.

D. Ekskresi

Metabolit polar, termasuk konjugat glukuronida analgesik opioid, diekskresikan terutama

di urin. Sejumlah kecil tidak berubah Obat ini juga dapat ditemukan dalam urin. Selain itu,

glukuronida konjugasi ditemukan dalam empedu, tetapi sirkulasi enterohepatik mewakili

hanya sebagian kecil dari proses ekskretoris.

Page 15: Farmakologi Analgesik Opioid

15

EFEK SAMPING DAN TOKSISITAS

A. Toleransi dan Ketergantungan

Ketergantungan obat jenis opioid ditandai dengan toleransi, sindrom putus obat

atau sindrom abstinensia yang relative spesifik yang mencerminkan ketergantungan fisik,

kerinduan yang memuncak atau ketergantungan psikologik. Diantara berbagai opioid juga

terdapat perbedaan dalam potensi penyalahgunaan dan beratnya efek-efek putus obat.

Sebagai contoh putus obat dari ketergantungan pada agonis kuat disertai dengan tanda-

tanda dan gejala putus obat berat daripada agonis ringan atau sedang. Pemberian

antagonis opioid pada seseorang yang bergantung pada opioid diikuti oleh tanda-tanda

putus obat yang berat. Propoksifen suatu agonis opioid lemah, memberikan gejala

ketergantungan yang kurang berat, tetapin sindrom putus obat tampaknya secara

kualitatif sama dengan opioid lain.

1. Toleransi

Toleransi terhadap efek euphoria dan pernapasan dari opioid menghilang dalam

beberapa hari setelah obat dihentikan. Toleransi terhadap efek emetik dapat menetap

selama beberapa bulan setelah penghentian obat. Kecepatan muncul dan menghilangnya

toleransi, maupun tingkat toleransi juga dapat berbeda-beda diantara obat-obat analgesik

opioid.

2. Ketergantungan Fisik

Perkembangan fisik tetap menyertai toleransi terhadap opioid dari tipe mu ( )

setelah pemberiaanya yang terus-menerus. Kegagalan pemberian obat terus-menerus

menimbulkan suatu sindrom putus obat atau sindrom abstinensia yang khas yang

mencerminkan suatu rebound efek-efek farmakologi akut yang berlebih-lebihan dari

Page 16: Farmakologi Analgesik Opioid

16

opioid. Ledakan sindrom abstinensia yang bersifat sementara dapat diinduksi oleh suatu

anatagonis yang mempercepat gejala putus obat pada subyek ketergantungan fisik akan

opioid dengan pemberian nalokson atau antagonis lain. Tiga menit setelah suntikan

anatagonis opioid, muncul tanda-tanda dan gejala yang sama seperti terlihat pada

penghentian mendadak pemberian opioid, mencapai puncaknya dalam 10-20 menit dan

sebagian besar mengurang setelah 1 jam. Berbeda dengan kasus metadon, penghentian

obat menghasilkan sindrom abstinensia yang relatif ringan sedangkan pemberian

antagonis opioid akan mempercepat timbulnya sindrom abstinesia.

3. Ketergantungan Psikologik

Euforia, sikap acuh tak acuh terhadap rangsangan dan sedasi biasanya

ditimbulkan oleh analgesik opioid terutama bila disuntikan secara intravena, memberikan

kecenderungan untuk penggunaannya yang kompulsif . Faktor-faktor ini merupakan

sebab-sebab utama untuk kecenderungan penyalahgunaan opioid dan ini sangat diperkuat

dengan timbulnya ketergantungan fisik, karena itu penerusan penggunaan obat oleh

pemakai obat merupakan hal yang rasional untuk maksud pencegahan gejala-gejala

abstinensia yaitu agar mereka tetap “ normal”.

B. Diagnosis dan Pengobatan Keracunan Opioid

Pengobatan keracunan opioid ialah dengan nalokson secara intravena dengan

dosis 0,4-0,8 mg dan diulang bila perlu. Penggunaan nalokson pada bayi baru lahir yang

mengalami depresi berat, penting untuk memulai dengan dosis 5-10 mikrogram/ kg dan

bila tidak ada respons dapat dipertimbangan pemberian dosis kedua sampai mencapai 25

mikrogram/kg.

Page 17: Farmakologi Analgesik Opioid

17

C. Kontraindikasi dan Peringatan dalam terapi :

1. Penggunaan agonis murni bersama dengan campuran agonis-antagonis

Bila campuran obat agonis- antagonis seperti pentazosin diberikan pada pasien

yang juga mendapat agonis, kemungkinan pengurangan analgesia atau mungkin

menginduksi suatu keadaan adanya penghentian obat, sehingga bila memang diperlukan

kombinasi agonis dengan campuran agonis-antagonis opioid, maka pemberiaanya harus

berhati-hati.

2. Penggunaan pada pasien dengan trauma pada kepala

Retensi CO2 menyebabkan depresi pernapasan yang menimbulkan vasodilatasi

serebral pada pasien dengan tekanan intrakranial yang meninggi dapat menimbulkan

perubahan fungsi otak yang fatal.

3. Penggunaan pada pasien dengan gangguan fungsi paru

Pada pasien-pasien dengan cadangan pernapasan yang terbatas, sifat depresan

dari analgesik opioid dapat menyebabkan terjadinya kelemahan pernapasan akut.

4. Penggunaan pada pasien-pasien dengan gangguan fungsi hati dan ginjal

Morfin dan turunannnya dimetabolisme terutama dalam hepar dengan cara

konjugasi dengan glukoronid, sehingga penggunaannya pada pasien dengan koma

prehepatik dapat dipertanyakan.

5. Penggunaan pada penyakit endokrin

Pasien-pasien dengan infusiensi adrenal dan pada pasien dengan hipotirodisme

respons terhadap opioid dapat diperpanjang dan berlebihan.

Page 18: Farmakologi Analgesik Opioid

18

PENGGUNAAN KLINIK

A. Analgesia

Nyeri yang berat dan menetap biasanya dihilangkan dengan opioid yang efeknya

lebih tinggi, namun nyeri yang tajam dan intermitten tampaknya tidak dapat dihilangkan

dengan mudah. Harus diusahakan untuk menentukan kualitas nyeri, dan informasi ini

harus digunakan untuk memilih obat yang layak dan dimonitor efeknya.

Nyeri yang menyertai kanker, dan penyakit terminal lain harus diobati secara

adekuat, serta pertimbangan mengenai toleransi dan ketergantungan fisik harus

dikesampingkan untuk menyokong usaha membuat pasien senyaman mungkin. Nyeri

yang berat pada kolik renal dan biliar sering memerlukan agonis opioid kuat yang cukup

untuk menghilangkan nyeri. Walaupun demikian, obat yang menginduksi peningkatan

tonus otot polos dapat menyebabkan suatu paradoksal peningkatan nyeri sekunder

terhadap spasme yang meninggi. Peningkatan dosis opioid biasanya berhasil untuk

menghilangkan nyeri.

B. Edema paru akut

Hilangnya dispenia pada edema paru yang menyertai kegagalan ventrikel kiri

dengan pemberian suntikan intravena morfin benar-benar merupakan hal yang luar biasa.

Mekanisme belum jelas , tetapi mungkin melibatkan pengurangan persepsi pendeknya

napas dan ansietas yang berhubungan dengan gejala ini maupun berhubungan dengan

pengurangan preload dan afterload.

Page 19: Farmakologi Analgesik Opioid

19

C. Batuk

Penekanan batuk dapat diperoleh dengan dosis lebih rendah daripada yang

diperlukan untuk analgesi. Tetapi, dalam tahun-tahunterakhir ini penggunaaan analgesic

opioid untuk menghilangkan batuk sangat berkurang karena telah dikembangkan

beberapa senyawa sintetik baru yang efektif serta tidak mempunyai efek analgesik

maupun adiksi.

D. Diare

Diare yang ditimbulkan oleh hamper semua penyebab dapat dikontrol dengan

analgesic opioid, tetapi diare yang berhubungan dengan infeksi penggunaan analgesic ini

tidak dianjurkan dan diganti dengan kemoterapi yang sesuai. Preparat opium(seperti

paregoric) telah lama digunakan untuk mengontrol diare, tetapi pada tahun-tahun

terakhir ini telah ditemukan preparat sintetik sebgai pengganti dengan efek-efek yang

lebih selektif pada saluran cerna dan sedikit atau tidak mempunyai efek pada SSP,

misalnya difenoksilat.

E. Pemakaian dalam Anestesi

Opioid sering digunakan sebagai obat premedikasi sebelum anestesi dan

pembedahan karena sifat-sifat sedasi, ansiolitik dan analgesiknya. Opioid-opioid juga

digunakan intraoperatif sebgai pembantu obat anestesi lain dan morfin dalam dosis tinggi

(misalnya 1-3 mg/kg morfin, atau 0,02-0,075 mg/kg fentanil) yang paling sering

digunakan pada pembedahan kardiovaskular dan operasi lain yang berisiko tinggi di mana

tujuan utama adalah untuk memperkecil depresi kardiovaskular.

Page 20: Farmakologi Analgesik Opioid

20

Karena efeknya langsung pada medulla spinalis, opioid-opioid dapat juga

digunakan sebagai analgesik regional dengan pemberian ke dalam ruang epidural atau

subarakhonid kolumna spinalis. Pada permulaanya diasumsikan bahwa pemberian opioid

melalui epidural dapat menghasilkan analgesik tanpa menganggu fungsi motorik,

otonomik, atau sensorik lain tanpa nyeri.

Tabel 1.5 Dosis Data Analgesik Opioid

Ket: Tabel Diterbitkan bervariasi dalam dosis yang disarankan equianalgesic dengan morfin. Respon klinis adalah kriteria yang harus diterapkan untuk setiap pasien, dengan respon klinis diperlukan. Karena tidak ada toleransi silang yang lengkap antara obat ini, biasanya diperlukan untuk menggunakan lebih rendah dari dosis equianalgesic ketika mengubah obat-obatan dan untuk respon ulang .

Perhatian: dosis yang direkomendasikan tidak berlaku untuk pasien dengan insufisiensi ginjal atau hati atau kondisi lain yang mempengaruhi metabolisme obat dan kinetika.

1Perhatian: Dosis yang terdaftar untuk pasien dengan berat badan kurang dari 50 kg tidak dapat digunakan sebagai dosis awal awal pada bayi kurang dari 6 bulan. Konsultasikan Pedoman Praktek Klinis untuk Akut

Page 21: Farmakologi Analgesik Opioid

21

2.Manajemen nyeri: Prosedur Operatif atau Medis dan Trauma pada bagian pengelolaan nyeri pada neonatus untuk rekomendasi.

3.Untuk Morfin : hidromorfon, dan oxymorphone, pemberian rektal merupakan alternatif untuk pasien tidak dapat mengambil obat oral, tetapi dosis equianalgesic mungkin berbeda dari lisan dan parenteraldosis karena perbedaan farmakokinetik.

4. Perhatian: dosis Codeine atas 65 mg sering tidak tepat karena mengurangi analgesia tambahan dengan dosis meningkat namun terus meningkat sembelit dan efek samping lainnya.

5. Perhatian: Dosis aspirin dan acetaminophen dalam kombinasi persiapan opioid / NSAID juga harus disesuaikan dengan berat badan pasien. Maksimum dosis acetaminophen: 4 gram / hari pada orang dewasa,90 mg / kg / hari pada anak-anak.

6 .Dosis untuk nyeri sedang tidak selalu setara dengan 30 mg lisan atau 10 mg morfin parenteral.7. Risiko kejang: formulasi parenteral tidak tersedia di AS8. OXYCONTIN adalah persiapan extended-release mengandung sampai 160 mg per tablet oksikodon dan

direkomendasikan untuk menggunakan setiap 12 jam. Ini telah tunduk pada penyalahgunaan substansial.

SINGKATAN: q=setiap, Im=intramascular, sq=subkutan.

Page 22: Farmakologi Analgesik Opioid

22

KESIMPULAN

Jadi zat-zat dari opium yang belum diolah dan morfin bersumber dari bunga

Papaver somniverum. Setelah sayatan biji poppy  pod yang mengeluarkan zat putih

yang dapat berubah menjadi permen cokelat dari opium mentah. Opium

mengandung banyak alkaloid, terutama menjadi morfin yang mengandung konsentrasi

10%. Kemudian diantara opioid-opioid, dimasukkan opioat-opioat(diturunkan dari

alkaloid opium), opioid sintetik (agonis, campuran agonis-antagonis dan antagonis), dan

opiopeptin( seperti -endorfin dan enkefalin).

Page 23: Farmakologi Analgesik Opioid

23

DAFTAR PUSTAKA

1. Katzung,Betram.G . 1998. Farmakologi Dasar Dan Klinik Edisi VI . EGC Penerbit

Buku Kedokteran. Jakarta

2. Katzung,Betram G & Trevor, Anthony.J . 2011. Basic and Clinical Pharmacology 12

Th edition. McGraw-Hill Medica. University of California, San Francisco 

3. Goodman & Gillman. 2008. Manual of Pharmacology and Theraupetics. McGraw-Hill

Medica .New York Chicago San Francisco