crs bedah

29
1 BAB I Status Pasien I. Identitas Pasien Nama : Tn. H Umur : 32 tahun MRS : 13/12/2012 II. Anamnesis a. Keluhan Utama : Benjolan di leher b. RPS : 5 tahun yang lalu timbul benjolan di leher, awalnya kecil Lama-lama membesar. Benjolan tidak nyeri, tidak mengganggu waktu bernafas ataupun menelan. Suara penderita tidak terganggu dan tidak terjadi perubahan suara selama terdapat benjolan. Penderita tidak mempunyai riwayat jantung berdebar, tangan gemetaran, mata melotot, susah tidur, sensitif terhadap suhu dingin, berkeringat banyak, nafsu makan menurun, mudah lelah, sering diare, penurunan berat badan, kepanasan ataupun kedinginan.

Upload: nolita-yulia-sunarno

Post on 08-Aug-2015

16 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: crs bedah

1

BAB I

Status Pasien

I. Identitas Pasien

Nama : Tn. H

Umur : 32 tahun

MRS : 13/12/2012

II. Anamnesis

a. Keluhan Utama : Benjolan di leher

b. RPS : 5 tahun yang lalu timbul benjolan di leher, awalnya kecil

Lama-lama membesar. Benjolan tidak nyeri, tidak

mengganggu waktu bernafas ataupun menelan. Suara

penderita tidak terganggu dan tidak terjadi perubahan suara

selama terdapat benjolan. Penderita tidak mempunyai

riwayat jantung berdebar, tangan gemetaran, mata melotot,

susah tidur, sensitif terhadap suhu dingin, berkeringat

banyak, nafsu makan menurun, mudah lelah, sering diare,

penurunan berat badan, kepanasan ataupun kedinginan.

Riwayat penyakit serupa pada keluarga disangkal.

III. Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Baik

Kesadaran : Composmentis

Tanda Vital :

TD: 110/80 mmHg Nadi: 76x/menit Suhu: 36,30C RR: 21x/menit

Kepala :

o Mata : konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, tidak ada eksoftalmus

o Telinga : lubang telinga normal, pendengaran normal

o Hidung : tidak ada bau, secret maupun perdarahan

Page 2: crs bedah

2

o Mulut : mukosa bibir tidak pucat, tidak hiperemis, tidak ada sianosis.

o Leher : simetris, tidak ada kaku kuduk. Tampak benjolan pada leher bagian depan yang ikut bergerak saat menelan.

o Thorax:

Cor: I : Iktus cordis tidak tampak

P: Iktus cordis teraba MCL ICS IV

P: Sonor

A: BJ1-2 regulerer

Pulmo: I : Simetris, tidak ada retraksi, tidak ada ketinggalan gerak

P: Fremitus raba +/+

P: Sonor +/+

A: Vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-

o Abdomen : I: Flat

A: BU (+) N

P: Timpani

P: Soepel, Hepar/Lien/Renal tidak teraba

o Anogenital : dalam batas normal

o Ekstremitas: Akral hangat pada keempat ekstremitas, tidak tremor , tidak

ditemukan oedema pada keempat ekstremitas

Status Lokalis: R. Colli :

o Inspeksi: Terdapat massa berbentuk bulat dengan ukuran 10 x 8 cm

cm, warna sama dengan sekitar, bergerak saat menelan(-) ,

discharge (-)

o Palpasi: Konsistensi kenyal, mobile, tidak melekat pada dasar atau kulit,

tidak nyeri,tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening

regional.

Page 3: crs bedah

3

Hematologi

WBC

RBC

HGB

HCT

PLT

PCT

MCV

MCH

MCHC

RDW

Kimia

SGPT (ALT)

SGOT (AST)

Ureum

Kreatinin

T3

T4

TSH

15,3

4,52

12,9

39,9

22,0

149

92

29,7

32,2

12,5

14

23

19

1,0

1,08 91,93

2,0-10,0 103/mm3

3,80-5,80 106/mm3

11,0-16,5% g/dl

35,0-50,0 %

150-390 103/mm3

0,100-0,500 %

80-97 um3

26,5-33,5 pg

31,5-35,0 g/dl

10,0-15,0 %

<40 U/l

<35 U/l

20 - 50 mg/dl

0,5 - 1,5 mg/d

IV. Pemeriksaan Radiologi

Foto Roentgen thorax : Sinus, diafragma, dan cor normal

Kedua hilus normal

Tak tampak proses spesifik aktif di kedua paru

Tak tampak infiltrasi di paru-paru

Kesan: Cor/pulmo normal

Page 4: crs bedah

4

V. Diagnosa Kerja

Struma nodosa non-toksik (SNNT)

VI. Prognosis

Quo ad vitam : bonam

Quo ad functionam : bonam

Page 5: crs bedah

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Kelainan glandula tyroid dapat berupa gangguan fungsi seperti tiritosikosis

atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya, seperti penyakit tyroid

noduler. Berdasarkan patologinya, pembesaran tyroid umumnya disebut struma. 1

2.2 Embriologi

Kelenjar tyroid berkembang dari endoderm pada garis tengah usus depan.

Kelenjar tyroid mulai terlihat terbentuk pada janin berukuran 3,4-4 cm, yaitu pada

akhir bulan pertama kehamilan. Kelenjar tyroid berasal dari lekukan faring antara

branchial pouch pertama dan kedua. Dari bagian tersebut timbul divertikulum,

yang kemudian membesar, tumbuh ke arah bawah mengalami desensus dan

akhirnya melepaskan diri dari faring. Sebelum lepas, berbentuk sebagai duktus

tyroglossus yang berawal dari foramen sekum di basis lidah. Duktus ini akan

menghilang setelah dewasa, tetapi pada keadaan tertentu masih menetap. Dan

akan ada kemungkinan terbentuk kelenjar tyroid yang letaknya abnormal, seperti

persisten duktud tyroglossus, tyroid servikal, tyroid lingual, sedangkan desensus

yang terlalu jauh akan membentuk tyroid substernal. Branchial pouch keempat

ikut membentuk kelenjar tyroid, merupakan asal sel-sel parafolikular atau sel C,

yang memproduksi kalsitonin. Kelenjar tyroid janin secara fungsional mulai

mandiri pada minggu ke-12 masa kehidupan intrauterin. 1,2

2.3 Anatomi

Kelenjar tyroid terletak dibagian bawah leher, antara fascia koli media dan

fascia prevertebralis. Didalamruang yang sama terletak trakhea, esofagus,

pembuluh darah besar, dan syaraf. Kelenjar tyroid melekat pada trakhea sambil

melingkarinya dua pertiga sampai tiga perempat lingkaran. Keempat kelenjar

paratyroid umumnya terletak pada permukaan belakang.

Page 6: crs bedah

6

Gambar 1 Anatomi Kelenjar Tiroid

Tyroid terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh istmus dan menutup

cincin trakhea 2 dan 3. Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fasia

pretrakhea sehingga pada setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan

terangkatnya kelenjar kearah kranial. Sifat ini digunakan dalam klinik untuk

menentukan apakah suatu bentukan di leher berhubungan dengan kelenjar tyroid

atau tidak.2

Vaskularisasi kelenjar tyroid berasal dari a. Tiroidea Superior (cabang dari

a. Karotis Eksterna) dan a. Tyroidea Inferior (cabang a. Subklavia). Setiap folikel

lymfoid diselubungi oleh jala-jala kapiler, dan jala-jala limfatik, sedangkan sistem

venanya berasal dari pleksus perifolikular.2

Nodus Lymfatikus tyroid berhubungan secara bebas dengan pleksus

trakhealis yang kemudian ke arah nodus prelaring yang tepat di atas istmus, dan

ke nl. Pretrakhealis dan nl. Paratrakhealis, sebagian lagi bermuara ke nl.

Brakhiosefalika dan ada yang langsung ke duktus thoraksikus. Hubungan ini

penting untuk menduga penyebaran keganasan.

Histologi Kelenjar Tiroid

Page 7: crs bedah

7

Secara histologi, parenkim kelenjar ini terdiri atas:2

1. Folikel-folikel dengan epithetlium simplex kuboideum yang mengelilingi suatu

massa koloid. Sel epitel tersebut akan berkembang menjadi bentuk kolumner

katika folikel lebih aktif (seperti perkembangan otot yang terus dilatih).

2. Cellula perifolliculares (sel C) yang terletak di antara beberapa folikel yang

berjauhan.

Gambar 2 Histologi Kelenjar Tiroid

2.4 Fisiologi Hormon Tiroid

Kelenjar tyroid menghasilkan hormon tyroid utama yaitu Tiroksin (T4).

Bentuk aktif hormon ini adalah Triodotironin (T3), yang sebagian besar berasal

dari konversi hormon T4 di perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh

kelenjar tyroid. Iodida inorganik yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan

baku hormon tyroid. Iodida inorganik mengalami oksidasi menjadi bentuk organik

dan selanjutnya menjadi bagian dari tyrosin yang terdapat dalam tyroglobulin

sebagai monoiodotirosin (MIT) atau diiodotyrosin (DIT). Senyawa DIT yang

terbentuk dari MIT menghasilkan T3 atau T4 yang disimpan di dalam koloid

kelenjar tyroid.

Sebagian besar T4 dilepaskan ke sirkulasi, sedangkan sisanya tetap

didalam kelenjar yang kemudian mengalami diiodinasi untuk selanjutnya

menjalani daur ulang. Dalam sirkulasi, hormon tyroid terikat pada globulin,

Page 8: crs bedah

8

globulin pengikat tyroid (thyroid-binding globulin, TBG) atau prealbumin

pengikat tiroksin (Thyroxine-binding pre-albumine, TPBA). 1

Ada 4 macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid :

1. TRH (Thyrotrophin releasing hormone) Tripeptida yang disentesis oleh

hipothalamus. Merangsang hipofisis mensekresi TSH (thyroid stimulating

hormone) yang selanjutnya kelenjar tiroid teransang menjadi hiperplasi dan

hiperfungsi

2. 2. TSH (thyroid stimulating hormone) Glikoprotein yang terbentuk oleh dua sub

unit (alfa dan beta). Dalam sirkulasi akan meningkatkan reseptor di permukaan sel

tiroid (TSH-reseptor-TSH-R) dan terjadi efek hormonal yaitu produksi hormon

meningkat

3. Umpan Balik sekresi hormon (negative feedback). Kedua hormon (T3 dan T4) ini

menpunyai umpan balik di tingkat hipofisis. Khususnya hormon bebas. T3

disamping berefek pada hipofisis juga pada tingkat hipotalamus. Sedangkan T4

akan mengurangi kepekaan hipifisis terhadap rangsangan TSH.

4. Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri. Produksi hormon juga diatur oleh

kadar iodium intra tiroid

Efek metabolisme Hormon Tyroid :

1. Kalorigenik

2. Termoregulasi

3. Metabolisme protein. Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolik, tetapi

dalam dosis besar bersifat katabolik

4. Metabolisme karbohidrat. Bersifat diabetogenik, karena resorbsi intestinal

meningkat, cadangan glikogen hati menipis, demikian pula glikogen otot menipis

pada dosis farmakologis tinggi dan degenarasi insulin meningkat.

5. Metabolisme lipid. T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses degradasi

kolesterol dan ekspresinya lewat empedu ternyata jauh lebih cepat, sehingga pada

hiperfungsi tiroid kadar kolesterol rendah. Sebaliknya pada hipotiroidisme

kolesterol total, kolesterol ester dan fosfolipid meningkat.

6. Vitamin A. Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati memerlukan

hormon tiroid. Sehingga pada hipotiroidisme dapat dijumpai karotenemia.

Page 9: crs bedah

9

7. Lain-lain : gangguan metabolisme kreatin fosfat menyebabkan miopati, tonus

traktus gastrointestinal meninggi, hiperperistaltik sehingga terjadi diare, gangguan

faal hati, anemia defesiensi besi dan hipotiroidisme.

2.5 Klasifikasi Struma.3,4

Pembesaran kelenjar tiroid (kecuali keganasan).

Menurut American society for Study of Goiter membagi :

1. Struma Non Toxic Diffusa

2. Struma Non Toxic Nodusa

3. Stuma Toxic Diffusa

4. Struma Toxic Nodusa

Istilah Toksik dan Non Toksik dipakai karena adanya perubahan dari segi

fungsi fisiologis kelenjar tiroid seperti hipertiroid dan hipotyroid, sedangkan

istilah nodusa dan diffusa lebih kepada perubahan bentuk anatomi.

1. Struma non toxic nodusa

Adalah pembesaran dari kelenjar tiroid yang berbatas jelas tanpa gejala-

gejala hipertiroid. Etiologi : Penyebab paling banyak dari struma non toxic adalah

kekurangan iodium. Akan tetapi pasien dengan pembentukan struma yang

sporadis, penyebabnya belum diketahui. Struma non toxic disebabkan oleh

beberapa hal, yaitu :

a) Kekurangan iodium: Pembentukan struma terjadi pada difesiensi sedang yodium

yang kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi berat iodium adalah kurang dari

25 mcg/d dihubungkan dengan hypothyroidism dan cretinism.

b) Kelebihan yodium: jarang dan pada umumnya terjadi pada preexisting penyakit

tiroid autoimun

c) Goitrogen :

Obat : Propylthiouracil, litium, phenylbutazone, aminoglutethimide,

expectorants yang mengandung yodium

Agen lingkungan : Phenolic dan phthalate ester derivative dan resorcinol

berasal dari tambang batu dan batubara.

Page 10: crs bedah

10

Makanan, Sayur-Mayur jenis Brassica ( misalnya, kubis, lobak cina,

brussels kecambah), padi-padian millet, singkong, dan goitrin dalam

rumput liar.

Dishormonogenesis: Kerusakan dalam jalur biosynthetic hormon kelejar

tiroid.

Riwayat radiasi kepala dan leher : Riwayat radiasi selama masa kanak-

kanak mengakibatkan nodul benigna dan maligna.

2. Struma Non Toxic Diffusa

Etiologi :

a) Defisiensi Iodium.

b) Autoimmun thyroiditis: Hashimoto oatau postpartum thyroiditis.

c) Kelebihan iodium (efek Wolff-Chaikoff) atau ingesti lithium, dengan

penurunan pelepasan hormon tiroid.

d) Stimulasi reseptor TSH oleh TSH dari tumor hipofisis, resistensi hipofisis

terhadap hormo tiroid, gonadotropin, dan/atau tiroid-stimulating

immunoglobulin

e) Inborn errors metabolisme yang menyebabkan kerusakan dalam

biosynthesis hormon tiroid.

f) Terpapar radiasi.

g) Penyakit deposisi.

h) Resistensi hormon tiroid.

i) Tiroiditis Subakut (de Quervain thyroiditis).

j) Silent thyroiditis.

k) Agen-agen infeksi

l) Suppuratif Akut : bacterial.

m) Kronik: mycobacteria, fungal, dan penyakit granulomatosa parasit.

n) .Keganasan Tiroid.

3. Struma Toxic Nodusa

Etiologi :

Page 11: crs bedah

11

a) Defisiensi iodium yang mengakibatkan penurunan level T4.

b) Aktivasi reseptor TSH.

c) Mutasi somatik reseptor TSH dan Protein Ga.

d) Mediator-mediator pertumbuhan termasuk : Endothelin-1 (ET-1), insulin

like growthfactor-1, epidermal growth factor, dan fibroblast growth factor.

4. Struma Toxic Diffusa

Yang termasuk dalam struma toxic difusa adalah grave desease, yang

merupakan penyakit autoimun yang masih belum diketahui penyebab pastinya.

Adapun klasifikasi klinisnya adalah ebagai berikut:

a. Grade 0 : tidak teraba struma, atau bila teraba besarnya normal

b. Grade IA : teraba struma, tapi tak terlihat

c. .Grade IB : teraba struma, tapi baru dapat dilihat apabila posisi kepala

menengadah

d. Grade II : struma dapat dilihat dalam posisi biasa

e. Grade III : struma dapat dilihat dalam posisi biasa dalam jarak 6 meter

f. Grade IV : struma yang amat besar

2.6 Patofisiologi3,4

Gangguan pada jalur TRH-TSH hormon tiroid ini menyebabkan

perubahan dalam struktur dan fungsi kelenjar tiroid gondok. Rangsangan TSH

reseptor tiroid oleh TSH, TSH-Resepor Antibodi atau TSH reseptor agonis,

seperti chorionic gonadotropin, akan menyebabkan struma diffusa. Jika suatu

kelompok kecil sel tiroid, sel inflamasi, atau sel maligna metastase ke kelenjar

tiroid, akan menyebabkan struma nodusa.

Defesiensi dalam sintesis atau uptake hormon tiroid akan menyebabkan

peningkatan produksi TSH. Peningkatan TSH menyebabkan peningkatan jumlah

dan hiperplasi sel kelenjar tyroid untuk menormalisir level hormon tiroid. Jika

proses ini terus menerus, akan terbentuk struma. Penyebab defisiensi hormon

tiroid termasuk inborn error sintesis hormon tiroid, defisiensi iodida dan

goitrogen.

Page 12: crs bedah

12

Struma mungkin bisa diakibatkan oleh sejumlah reseptor agonis TSH.

Yang termasuk stimulator reseptor TSH adalah reseptor antibodi TSH, kelenjar

hipofise yang resisten terhadap hormon tiroid, adenoma di hipotalamus atau di

kelenjar hipofise, dan tumor yang memproduksi human chorionic gonadotropin.

2.7 Diagnosis

Dalam membuat diagnosis kerja pada penderita struma, maka hendaknya

bisa menyampaikan kondisi struma tersebut dari aspek morfologi, aspek fungsi,

dan kalau memang memungkinkan aspek histopatologinya. Dalam melakukan

diagnosis untuk penderita struma, usahakan untuk bisa mencantumkan diagnosis

mencakup ketiga aspek tersebut.

Diagnosis struma nodosa non toksik ditegakkan berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik, penilaian resiko keganasan, dan pemeriksaan penunjang.

Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi

multinoduler pada saat dewasa. Struma multinodosa biasanya terjadi pada wanita

berusia lanjut dan perubahan yang terdapat pada kelenjar berupa hiperplasia

sampai bentuk involusi. Kebanyakan struma multinodosa dapat dihambat oleh

tiroksin. Sekitar 5 % dari struma nodosa mengalami keganasan. Tanda keganasan

ialah setiap perubahan bentuk, perdarahan lokal dan tanda penyusupan di kulit, n.

rekurens, trakea atau esofagus. Diagnosis disebut lengkap apabila dibelakang

struma dicantumkan keterangan lainnya, yaitu

morfologi dan faal struma.

Dikenal beberapa morfologi (konsistensi) berdasarkan gambaran

makroskopis yang diketahui

dengan palpasi atau auskultasi :

1. Bentuk kista : Struma kistik

Mengenai 1 lobus

Bulat, batas tegas, permukaan licin, sebesar kepalan

Kadang Multilobaris

Fluktuasi (+)

2. Bentuk Noduler : Struma nodusa

Page 13: crs bedah

13

Batas Jelas

Konsistensi kenyal sampai keras

Bila keras curiga neoplasma, umumnya berupa adenocarcinoma tiroidea

3. Bentuk diffusa : Struma diffusa

Batas tidak jelas

Konsistensi biasanya kenyal, lebih kearah lembek

4. Bentuk vaskuler : Struma vaskulosa

Tampak pembuluh darah

Berdenyut

Auskultasi : Bruit pada neoplasma dan struma vaskulosa

Kelejar getah bening : Para trakheal dan jugular vein

2.8 Pemeriksaan Penunjang

Pemerikasaan penunjang yang digunakan dalam diagnosis penyakit tiroid

terbagi atas:

a) Pemeriksaan laboratorium untuk mengukur fungsi tiroid: Pemerikasaan hormon

tiroid dan TSH paling sering menggunakan radioimmuno-assay (RIA) dan cara

enzyme-linked immuno-assay (ELISA) dalam serum atau plasma darah.

Pemeriksaan T4 total dikerjakan pada semua penderita penyakit tiroid, kadar

normal pada orang dewasa 60-150 nmol/L atau 50-120 ng/dL; T3 sangat

membantu untuk hipertiroidisme, kadar normal pada orang dewasa antara 1,0-2,6

nmol/L atau 0,65-1,7 ng/dL; TSH sangat membantu untuk mengetahui

hipotiroidisme primer di mana basal TSH meningkat 6 mU/L. Kadang-kadang

meningkat sampai 3 kali normal.

b) Pemeriksaan laboratorium untuk menunjukkan penyebab gangguan tiroid:

Antibodi terhadap macam-macam antigen tiroid ditemukan pada serum penderita

dengan penyakit tiroid autoimun.

- antibodi tiroglobulin

- antibodi mikrosomal

- antibodi antigen koloid ke dua (CA2 antibodies)

- antibodi permukaan sel (cell surface antibody)

Page 14: crs bedah

14

- thyroid stimulating hormone antibody (TSA)

c) Pemeriksaan radiologis dengan foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi

trakea, atau pembesaran struma retrosternal yang pada umumnya secara klinis pun

sudah bisa diduga. Foto rontgen leher posisi AP dan Lateral diperlukan untuk

evaluasi kondisi jalan nafas sehubungan dengan intubasi anastesinya. Bahkan

tidak jarang untuk konfirmasi diagnostik tersebut sampai memerlukan CT-scan

leher.

d) USG bermanfaat pada pemeriksaan tiroid untuk:

menentukan jumlah nodul

membedakan antara lesi tiroid padat dan kistik,

mengukur volume dari nodul tiroid

Dapat dipakai sebagai pengamatan lanjut hasil pengobatan.

e) Pemeriksaan dengan sidik tiroid sama dengan uji tangkap tiroid, yaitu dengan

prinsip daerah dengan fungsi yang lebih aktif akan menangkap radioaktivitas yang

lebih tinggi. Metabolisme hormon tiroid sangat erat hubungannya dengan yodium,

sehingga dengan yodium yang dimuati bahan radioaktif kita bisa mengamati

aktivitas kelenjar tiroid maupun bentuk lesinya.

f) Pemeriksaan histopatologis dengan biopsi jarum halus (fine needle aspiration

biopsy FNAB) akurasinya 80%. Hal ini perlu diingat agar jangan sampai

menentukan terapi definitif hanya berdasarkan hasil FNAB saja.

g) Pemeriksaan potong beku (VC = Vries coupe) pada operasi tiroidektomi

diperlukan untuk meyakinkan bahwa nodul yang dioperasi tersebut suatu

keganasan atau bukan. Lesi tiroid atau sisa tiroid yang dilakukan VC dilakukan

pemeriksaan patologi anatomis untuk memastikan proses ganas atau jinak serta

mengetahui jenis kelainan histopatologis dari nodul tiroid dengan parafin block.

2.9 Penatalaksanaan Pilihan terapi nodul tiroid:

Page 15: crs bedah

15

a. Terapi supresi dengan hormon levotirosin

b. Pembedahan

c. Iodium radioaktif

A. Terapi Supresi dengan Hormon Levothyroxine Terapi dengan Levothyroxine (LT4) kombinasi dengan serum TSH (<0.1

μIU/mL) masih dalam kontroversi. Tujuannya adalah untuk mengecilkan nodul

tiroid dan mencegah kembali munculnya nodul baru atau pertumbuhan kecil

massa yang serupa dengan nodul awal.

Beberapa laporan menyebutkan bahwa pengecilan nodul tiroid lebih sering

terjadi pada penderita dengan kombinasi terapi long-term-TSH di banding dengan

penderita yang tanpa kombinasi TSH. Lebih dari 50% kasus nodul dapat

mengecil, tetapi jika hanya dengan terapi Levothyroxine (LT4) saja maka

persentase keberhasilannya hanya 20%.

Pemberian Levothyroxine (LT4) hendaknya setengah sampai satu jam

sebelum makan (kondisi lambung kosong) agar absorbsinya maksimal.

Disarankan agar minum tablet Levothyroxine (LT4) dengan menggunan segelas

air agar tablet lebih mudah larut dan mudah terserap. Jangan mengkonsumsi tablet

calcium, iron supplements, dan antasida karena akan menghambat absorbsi obat

Levothyroxine (LT4). Dosis maksimum yang diberikan adalah 400 microgram per

hari.

Saat ini, pengobatan Levothyroxine (LT4) secara rutin pada penderita

dengan nodule tiroid tidak direkomendasikan. Pengunaan Levothyroxine (LT4)

harus dihindari pada penderita: (1) dengan nodule yang besar (large nodule), (2)

pada kasus long-standing goiter, (3) jika level TSH <1 μIU/mL, (4) wanita post-

menopause, (5) penderita usia lebih dari 60 tahun, (6) penderita dengan

osteoporosis, (7) penderita dengan penyakit kardiovaskuler, dan (8) penderita

dengan systemic illness.

Berikut ini adalah hal-hal penting lain yang perlu diperhatikan terhadap

penggunaan Levothyroxine (LT4), antara lain: Pengobatan dengan Levothyroxine

Page 16: crs bedah

16

(LT4) hanya menunjukkan hasil klinis yang signifikan pada minoritas jumlah

penderita dan variasi respons-nya belum diketahui dengan baik. Pengobatan

dengan Levothyroxine (LT4) hendaknya tidak boleh terlalu suppressive karena

akan menimbulkan adverse effect. Jika nodul tiroid tidak mengecil dengan

pemberian Levothyroxine (LT4.

B. Pembedahan

Operasi tiroid (tiroidektomi) merupaka operasi bersih dan tergolong

operasi besar. Berapa luas kelenjar tiroid yang akan diambil tergantung patologiya

serta ada tidaknya penyebaran dari karsinomanya. Ada 6 macam operasi, yaitu:

a. Lobektomi subtotal; pengangkatan sebagian lobus tiroid yang

mengandung jaringan patologis

b. . Lobektomi total (Hemitiroidektomi, ismolobektomi); pengangkatan

satu sisi lobus tiroid

c. Tiroidektomi subtotal; pengangkatan sebagian kelenjar tiroid yang

mengandung jaringan patologis,meliputi kedua lobus tiroid

d. Tiroidektomi near total; pengangkatan seluruh lobus tiroid yang

patologis berikut sebagian besar lobus kontralateralnya.

e. Tiroidektomi total; pengangkatan seluruh kelenjar tiroid

f. Operasi yang sifatnya ”extended”:

Tiroidektomi total + laringektomi total

Tiroidektomi total + reseksi trakea

Tiroidektomi total + sternotomi

Tiroidektomi total + FND atau RND

Indikasi operasi pada struma adalah:

a. struma difus toksik yang gagal dengan terapi medikamentosa

b. struma uni atau multinodosa dengan kemungkinan keganasan

c. struma dengan gangguan tekanan

d. kosmetik.

Page 17: crs bedah

17

Kontraindikasi operasi pada struma:

a. struma toksika yang belum dipersiapkan sebelumnya

b. struma dengan dekompensasi kordis dan penyakit sistemik yang lain yang

belum terkontrol

c. struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga sulit

digerakkan yang biasanya karena karsinoma. Karsinoma yang demikian

biasanya sering dari tipe anaplastik yang jelek prognosanya. Perlekatan

pada trakea ataupun laring dapat sekaligus dilakukan reseksi trakea atau

laringektomi, tetapi perlekatan dengan jaringan lunak leher yang luas sulit

dilakukan eksisi yang baik.

d. struma yang disertai dengan sindrom vena kava superior. Biasanya karena

metastase luas ke mediastinum, sukar eksisinya biarpun telah dilakukan

sternotomi, dan bila dipaksakan akan memberikan mortalitas yang tinggi

dan sering hasilnya tidak radikal

C. Terapi dengan Iodium Radioaktif (Radioiodine 131)

Pengobatan dengan radioiodine 131 diindikasikan untuk: (1) small goiter

(volume <100 mL), (2) tanpa ada kecurigaan malignancy, (3) penderita dengan

riwayat operasi sebelumnya, (4) penderita dengan resiko tindakan bedah

Jika penderita mempunyai lesi nodul yang besar maka ia akan

membutuhkan radioiodine dalam jumlah banyak dan hal ini dapat menyebabkan

terjadinya efek resiten terhadap terapi. Satu satunya kontra indikasi prosedur ini

adalah kehamilan dan laktasi, yang bisa dideteksi segera dengan tes kehamilan

pada penderita.

Terapi dengan radioiodine berhasil pada 85% - 100% penderita tiroid

nodul. Masa nodul dapat mengecil sebesar 35% setelah tiga bulan, bahkan

mengecil sampai 45% setelah 24 bulan terapi). Pengobatan ini efektif dan aman,

meskipun penelitian lain melaporkan bahwa pengunaan dosis tinggi dapat

menyebabkan thyroid cancer, leukemia; namun demikian, studi epidemiologi

tidak menunjukkan efek klinis yang signifikan terhadap timbulnya carcinoma dan

leukemia.

Page 18: crs bedah

18

Penggunaan high-iodine-content-drugs (misalnya: amiodarone) hendaknya

dihindari sebelum melakukan prosedur terapi dengan radioiodine, agar tidak

mempengaruhi thyroid radioiodine uptake. Jika mungkin, obat anti-tiroid

hendaknya distop tiga mingu sebelim prosedur pengobatan, dan tidak boleh

diberikan selama 3-5 hari pasca prosedur terapi dengan radioiodine, untuk

mencegah menurunnya efektifitas terapi. (AME Guideline, 2006)

2.10 Komplikasi

Pada tindakan operasi tiroidektomi, bisa dijumpai komplikasi awal dan

lanjut. Disamping itu ada pula yang membagi komplikasi yang terjadi dalam

metabolik dan non metabolik. Komplikasi awal antara lain:

a. perdarahan

b. paralise n. laringeus rekuren, paralise n. rekuren superior

c. trakeomalasia

d. infeksi

e. tetani hipokalsemia

f. krisis tiroid (thyroid storm)

Sedangkan komplikasi lanjut berupa:

a. keloid;

b. hipotiroiditi;

c. hipertiroiditi yang kambuh

BAB III

PEMBAHASAN

Page 19: crs bedah

19

Tn. H masuk rumah sakit dengan keluhan benjolan di leher sejak 5

tahun yang lalu. Benjolan dirasakan tidak nyeri, tidak mengganggu menelan, tidak

juga ditemukan gejala hipertiroid, maupun keganasan lainnya, ditunjang dengan

pemeriksaan T3, T4, TSH dan USG yang mengarahkan hasil pada suatu diagnosa

SNNT. Pada tanggal 13 desember os telah menjalani pengangkatan tiroid dengan

metode operasi subtotal tiroidektomi. Pasca operasi perlu dilakuakn pemberian

cairan pada pasien ini dengan tujuan untuk mengganti kehilangan cairan tubuh

yang disebabkan oleh proses patologis sebagai cairan pengganti dengan tujuan

mengganti konsentrasi natrium

Kebutuhan cairan pada pasien ini adalah

Maintenance cairan adalah : (10 kg x 4 ml) + (10 kg x 2 ml) + (25 kg x 1ml) =

85 ml/jam. Harus diperhatikan Output (urin minimal 22 ml/jam), drainase,

NGT. Serta pematauan terhadap hemodinamik. Pemilihan terapi cairan pada

pasien ini dapat diberikan kristaloid (misalnya Ringer laktat).

Pasca bedah sekitar 10-16 jam akan timbul nyeri yang bersifat ringan

sampai sedang maka dapat diberikan analgetik golongan AINS (anti inflamasi non

steroid) misalnya ketorolak 10-30 mg iv atau im dapat diulang 4-6 jam. Serta

dapat ditambahkan tramadol, tramadol adalah analgetik sentral dengan afinitas

rendah pada reseptor mu. Dapat diberikan secara im atau iv dengan dosis 50-100

mg dan dapat diulang setiap 4-6 jam.