crs epistaksis
DESCRIPTION
crsTRANSCRIPT
Case Report Session
Epistaksis
Oleh :
Nova Elisa
Diana Melisa
Chris Riyandi Putra
Pembimbing :
dr.Effy Huriyati, SpTHT-KL
BAGIAN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROKBEDAH KEPALA DAN LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALASRS DR M DJAMIL PADANG
2010
1
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Definisi
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung yang merupakan gejala atau manifestasi penyakit
lain, penyebabnya bisa lokal atau sistemik. Perdarahan bisa ringan sampai serius dan bila tidak segera
ditolong dapat berakibat fatal. Sumber perdarahan biasanya berasal dari bagian depan atau bagian
belakang hidung.1,2,3,4
1.2. Epidemiologi
Epistaksis atau perdarahan hidung dilaporkan timbul pada 60% populasi umum. Puncak kejadian
dari epistaksis didapatkan berupa dua puncak (bimodal) yaitu pada usia <10 tahun dan >50 tahun. Kira-
kira 10% dari penduduk dunia mempunyai riwayat hidung berdarah beberapa kali dalam hidupnya.
Sekitar 30% anak-anak umur 0-5 tahun, 56% umur 6-10 tahun, dan 64 % berumur 11-15 tahun
mengalami sekurang-kurangnya satu kali epistaksis. Sebagai tambahan, 56% orang dewasa dengan
perdarahan hidung berulang pernah mengalami kejadian serupa pada saat kecil.1
Epistaksis jarang terjadi pada bayi, namun terdapat kecenderungan peningkatan insiden epistaksis
seiring dengan pertambahan usia. Epistaksis anterior lebih sering terjadi pada anak-anak dan dewasa
muda, sedangkan epistaksis posterior lebih sering terjadi pada usia yang lebih tua, terutama pada laki-laki
berusia ≥50 tahun dengan penyakit hipertensi dan arteriosklerosis. Pasien yang menderita alergi,
inflamasi hidung, dan penyakit sinus lebih rentan terhadap resiko terjadinya epistaksis karena mukosanya
lebih mudah kering dan hiperemis yang disebabkan oleh reaksi inflamasi.1
2
1.3. Anatomi Hidung
1.3.1.Kerangka hidung
Kerangka hidung berbentuk seperti tenda dengan dua os nasale yang bersatu pada garis tengah
dan berartikulasio di superior dengan pars nasalis os frontalis dan processus “ ascending’’ maxilla di
lateral. Tulang menyususn sepertiga superior hidung sedangkan dua pertiga bagian bawah merupakan
tulang rawan. Kartilago nasi lateralis superior dan bawah septum membagi hidung kedalam dua ruangan
yang disebut vestibulum. Seperti sisi lateral hidung, septum terdiri dari kartilago di anterior dan tulang di
posterior.1,2
1.3.2. Hidung Interna
Lubang luar yang menuju ke sisi dalam hidung dinamai nares anterior, sementara lubang
posterior dari hidung ke nasopharink dinamai choana. Tepat setelah nares anterior, terdapat area kulit
yang dinamai vestibulum dan berlapis yang mengandung bulu hidung atau vibrise yang penting secara
klinik karena folikel rambut ini dapat terinfeksi.
Permukaan medial tiap ruang lingkup dibentuk oleh septum nasi. Sering septum berdeviasi, yang
menyebabkan terjadinya obstruksi saluran pernafasan nasal. Sisi lateral tiap cavitas nasalis terdiri dari
sejumlah struktur yang penting secara klinik. Biasanya ada tiga konvolusi mukosa yang tegas yang
dinamai concha. Fungsinya untuk meningkatkan luas permukaan hidung dan dinamai menurut lokasinya
yaitu inferior, medialis, superior dan suprema. Diantara concha terdapat lekukan pada dinding hidung
(meatus). Pada meatus inferior terdapat muara atau ostium duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak
diantara konka media dan dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus media terdapat muara sinus
frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara
konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sphenoid.
3
Gambar 1. Dinding Lateral Kavum Nasi
1.3.3 Anatomi Vaskuler
Vaskularisasi cavum nasi berasal dari system carotis interna dan eksterna. Arteri carotis interna
bercabang menjadi arteri oftalmika yang kemudian bercabang lagi menjadi arteri etmoidalis anterior dan
posterior, yang mendarahi septum dan dinding lateral superior. Arteri karotis eksterna memberikan suplai
darah terbanyak pada cavum nasi melalui :1,2
1. Arteri sphenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris yang berjalan melalui foramen
sphenopalatina yang memperdarahi septum tiga perempat posterior dan dinding lateral hidung.
2. Arteri palatina desenden memberikan cabang arteri palatina mayor, yang berjalan melalui kanalis
incisivus palatum durum dan menyuplai bagian inferoanterior septum nasi.
Dua area pada kavum nasi merupakan tempat tersering perdarahan hidung yaitu pleksus Kiesselbach dan
pleksus Woodruff
1. Pleksus Kiesselbach adalah wilayah anastomosis yang berlokasi pada dinding anterior-inferior
septum yang memberikan lebih dari 90% episode perdarahan. Dibentuk oleh pleksus dari arteri
4
sphenopalatina, palatina mayor, labialis superior, dan ethmoidalis anterior. Wilayah ini mudah
terlihat dan terjangkau, menjadikan perdarahan anterior lebih mudah untuk dikontrol.
2. Pleksus Woodruff adalah anastomosis posterior dari hidung posterior, arteri sphenopalatina dan
pharyngeal asenden melalui posterior konka medial. Wilayah ini sukar dilihat sehingga sulit
untuk ditangani. Tempat perdarahan tersering dari bagian posterior adalah cabang posterior
lateral dari arteri sphenopalatina.
Gambar 3. Pleksus Kiesselbach dan Pleksus Woodruff
1.4 Klasifikasi
Epistaksis dibedakan atas dasar sumber pendarahan atau tempat pendarahan. Sumber perdarahan
dapat berasal dari bagian anterior atau bagian posterior hidung 1
Epistaksis Anterior
Epistaksis ini dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach, merupakan sumber perdarahan paling
sering dijumpai pada anak-anak. Perdarahan dapat berhenti sendiri (spontan) dan dapat
dikendalikan dengan tindakan sederhana.
Epistaksis Posterior
Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina (area Woodruff, dibawah bagian
5
posterior konka nasalis inferior) atau arteri etmoid posterior. Perdarahan biasanya hebat dan
jarang berhenti dengan sendirinya. Pasien terus mengeluhkan darah mengalir dibelakang
tenggorokkannya. Epistaksis ini sering ditemukan pada pasien hipertensi, arteriosclerosis atau
pasien dengan penyakit kardiovaskuler.
Gambar 4. Epistaksis anterior (atas) dan Epistaksis posterior (bawah)
1.5. Etiopatogenesis
Perdarahan hidung diawali dengan pecahnya pembuluh darah di selaput mukosa hidung. Delapan
puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh darah pleksus Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach terletak
di septum nasi bagian anterior, di belakang persambungan mukokutaneus tempat pembuluh darah yang
kaya anastomosis.
Epistaksis dapat disebabkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau kelainan sistemik.1,2,3
6
1.5.1 Lokal
a. Trauma
- Epistaksis dapat terjadi setelah trauma ringan, misalnya waktu mengeluarkan ingus
dengan kuat, bersin, mengorek hidung atau sebagai akibat trauma yang hebat, seperti
terpukul, jatuh, kecelakaan lalu lintas.
- Trauma yang terus menerus dapat merusak perikondrium sehingga menyebabkan tulang
rawan terekspos dan terjadinya perforasi. Aliran udara terganggu, terjadi turbulensi dan
kekeringan lebih jauh, menyebabkan terbentuknya keropeng dan perdarahan.
b. Infeksi
Infeksi hidung dan sinus paranasal, rhinitis, sinusitis, serta granuloma spesifik seperti sifilis,
lepra, dan lupus dapat menyebabkan epistaksis.
c. Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermiten, kadang-kadang
disertai mucus yang bernoda darah. Hemangioma, karsinoma, dan angiofibroma dapat
menyebabkan epistaksis berat.
d. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah teleangiektasis hemoragik
herediter. Penyakit ini adalah penyakit autosomal dominan. Kelainannya terletak pada minimnya
elemen kontraktil (jaringan elastik dan muskular) pada dinding pembuluh darah mulai dari
kapiler hingga arteri, yang kemudian menimbulkan formasi telengiektasia (dilatasi venula dan
kapiler) dan malformasi arteriovenous pada kulit atau lapisan mukosa saluran aerodigestivus.
Keadaan ini menyebabkan mudahnya terjadi perdarahan, bahkan oleh trauma kecil sekalipun.
e. Sebab-sebab lain termasuk benda asing dan perforasi septum
Perforasi septum dan benda asing hidung dapat menjadi predisposisi perdarahan hidung. Bagian
anterior septum nasi, bila mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar aliran udara pernafasan
yang cenderung mengerikan aliran sekresi hidung. Pembentukan krusta yang keras dan usaha
7
pelepasan krusta dengan jari dapat menimbulkan trauma. Pengeluaran krusta berulang
menyebabkan erosi membrane mukosa septum dan menyebabkan perdarahan. Epistaksis sering
juga terjadi karena adanya spina septum yang tajam. Perdarahan dapat terjadi di tempat spina itu
sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan bila konka itu sedang mengalami
pembengkakan.
f. Faktor lingkungan
Misalnya tinggal di daerah tinggi, tekanan udara rendah atau lingkungan udaranya sangat kering.
1.5.2. Sistemik
a.Kelainan darah
Kelainan darah penyebab epistaksis, misalnya trombositopenia, hemofilia dan leukemia. Obat-
obatan seperti terapi antikoagulan, aspirin dan fenilbutazon dapat pula mempredisposisi epistaksis
berulang.
b. Penyakit kardiovaskular
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada arteriosklerosis, nefritis kronis, sirosis
hepatis, sifilis, diabetes melitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi
biasanya hebat, sering kambuh dan prognosinya kurang baik.
c. Infeksi sistemik
yang paling sering menyebabkan epistaksis adalah demam berdarah dengue, selain itu juga
morbili, demam tifoid dan influensa dapat juga disertai adanya epistaksis.
d. Gangguan endokrin
Wanita hamil,menars dan menopause sering juga dapat menimbulkan epistaksis.
e. Perubahan tekanan atmosfir
Contoh dalam hal ini adalah Caisson Disease (pada penyelam)
f. Alkohol
8
Efek dari alkohol dapat berupa mengurangi agregasi trombosit dan memperpanjang waktu
perdarahan dan juga perubahan hemodinamik seperti vasodilatasi dan perubahan tekanan darah.
1.6 Diagnosis
Anamnesis yang lengkap sangat membantu dalam menentukan sebab-sebab perdarahan.
Keadaan umum, tensi dan nadi perlu diperiksa. Dan untuk pemeriksaan, alat-alat yang diperlukan adalah
lampu kepala, spekulum hidung dan alat penghisap. Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan penunjang
laboratorium yaitu pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hemostatis.1
a. Anamnesis
Suatu anamnesis yang cermat akan sangat membantu penanganan epistaksis secara tepat .
Beberapa hal penting yang harus ditanyakan pada pasien epistaksis, antara lain:
Apakah darah terutama mengalir ke dalam tenggorok (posterior) atau keluar dari hidung depan
(anterior) bila pasien duduk tegak
Lama perdarahan dan frekuensinya
Riwayat perdarahan sebelumnya
Kecenderungan perdarahan
Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
Riwayat trauma hidung yang belum lama
Riwayat hipertensi
Riwayat diabetes mellitus
Riwayat penyakit hati
Riwayat penggunaan alcohol dan obat-obatan, misalnya; aspirin dan fenilbutazon atau
penggunaan anti koagulan
Trauma hidung yang belum lama
9
Aspek anamnesis yang mungkin penting dalam melokalisasi tempat perdarahan bisa didapat
dengan menanyakan :
1. Sewaktu anda membungkuk apakah ada darah yang keluar dari hidung? (menggambarkan
sumber perdarahan anterior)
2. Apakah darah menuruni tenggorokan anda ? (menggambarkan perdarahan dari sisi posterior
cavitas nasalis)
Pada pasien yang telah mengalami epistaksis berulang harus ditanyakan mengenai riwayat
keluarga dengan kelainan perdarahan, riwayat perdarahan berlebihan pasca pencabutan gigi atau
sirkumsisi, serta riwayat menstruasi berlebihan.
Riwayat trauma harus ditanyakan secara terperinci pada pasien epistaksis. Kebanyakan kasus
epistaksis timbul sekunder trauma yang disebabkan oleh mengorek hidung menahun atau mengorek
krusta yang telah terbentuk akibat pengeringan mukosa hidung berlebihan.
Pada pasien epistaksis juga untuk penting mengetahui riwayat pengobatan atau penyalahgunaan
alkohol terperinci harus dicari. Banyak pasien minum aspirin secara teratur untuk banyak alasan. Aspirin
merupakan penghambat fungsi trombosit dan dapat menyebabkan pemanjangan atau perdarahan. Penting
mengenal bahwa efek ini berlangsung beberapa waktu dan bahwa aspirin ditemukan sebagai komponen
dalam sangat banyak produk. Alkohol merupakan senyawa lain yang banyak digunakan, yang mengubah
fungsi pembekuan secara bermakna.
b. Pemeriksaan Fisik
Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan belakang hidung.
Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya perdarahan atau pada
hidung yang terbanyak mengeluarkan darah.1
Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi dan ketinggian yang
memudahkan pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk mengobservasi atau mengeksplorasi sisi
10
dalam hidung. Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan semua kotoran
dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku; sesudah dibersihkan semua
lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor penyebab perdarahan. Setelah
hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu larutan
pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk
menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan dapat
berhenti untuk sementara. Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan
evaluasi. 1
Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung yang bersifat kronik
memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien dengan perdarahan hidung aktif yang prioritas
utamanya adalah menghentikan perdarahan.
Pemeriksaan yang diperlukan berupa:1
a. Rinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa
hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konkha inferior harus diperiksa dengan
cermat.
b. Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan epistaksis
berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma.
c. Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena hipertensi dapat
menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang.
d. Rontgen sinus
Rontgen sinus penting mengenali neoplasma atau infeksi.
e. Skrining terhadap koagulopati
Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu tromboplastin parsial, jumlah
11
platelet dan waktu perdarahan.
f. Riwayat penyakit
Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan yang mendasari
epistaksis
b. Pemeriksaan Penunjang
Tes laboratorium tertentu bermanfaat dalam mengevaluasi pasien epistaksis. Tes diagnostik
seharusnya mencakup sel darah lengkap untuk memantau derajat perdarahan dan apakah pasien anemia.
Jika ada kemungkinan koagulopati sistematik, maka harus dilakukan pemeriksaan pembekuan darah. Jika
pemeriksaan ini abnormal, maka harus dilakukan kosultasi yang tepat. Terakhir jika massa terlihat pada
pemeriksaan, maka harus dilakukan politomografi dan/atau CT scan untuk menggambarkan luas lesi ini.5
1.7 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan epistaksis ialah memperbaiki keadaan umum, mencari sumber
perdarahan, menghentikan perdarahan, mencari faktor penyebab untuk mencegah berulangnya
perdarahan.1,2,3,4,5,6
Bila pasien datang dengan epistaksis perhatikan keadaan umumnya, nadi, pernafasan serta
tekanan darahnya. Bila ada kelainan atasi terlebih dahulu, misalnya dengan memasang infus. Jalan nafas
dapat tersumbat oleh darah atau bekuan darah, perlu dibersihkan atau dihisap. 4
Prinsip dari penatalaksanaan epistaksis yang pertama adalah menjaga ABC, yakni :
-A (airway) : pastikan jalan napas tidak tersumbat/bebas, posisikan duduk menunduk
-B (breathing) : pastikan proses bernapas dapat berlangsung, batukkan atau keluarkan darah yang
mengalir ke belakang tenggorokan
-C (circulation) : pastikan proses perdarahan tidak mengganggu sirkulasi darah tubuh, pastikan pasang
12
jalur infus intravena (infus) apabila terdapat gangguan sirkulasi.
Menghentikan Perdarahan
Menghentikan perdarahan secara aktif, seperti kaustik dan pemasangan tampon lebih baik
daripada pemberian obat hemostatik sambil menunggu epistaksis berhenti dengan sendirinya.
Pasien sendiri dapat menghentikan perdarahan bagian depan hidungnya dengan menjepit bagian
itu dengan sebuah jari tangan dan ibu jari serta meletakkan sebuah cawan untuk menampung tetesan
darah dari hidungnya. Pasien dilarang menelan karena dapat menggeser bekuan darah yang terbentuk.
Menelan dapat dicegah dengan menempatkan sebuah gabus diantara kedua barisan gigi depan (metode
Trotter).
Jika seorang pasien datang dengan epistaksis maka pasien harus diperiksa dalam keadaan duduk,
sedangkan jika terlalu lemah dapat dibaringkan dengan meletakkan bantal di belakang punggungnya
kecuali bila sudah dalam keadaan syok.6
Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap dan untuk membersihkan hidung dari
bekuan darah. Kemudian tampon kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1/10.000 dan lidocain atau
pantocain 2% dimasukkan ke dalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa
nyeri pada waktu tindakan selanjutnya . Tampon ini dibiarkan selama 3-5 menit. Dengan cara ini dapatlah
ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya di bagian anterior atau di bagian posterior. 1,6
Perdarahan anterior
Perdarahan anterior seringkali berasal dari septum bagian depan. Apabila tidak berhenti dengan
sendirinya, perdarahan anterior terutama pada anak dapat dicoba dihentikan dengan menekan hidung dari
luar selama 10-15 menit dan seringkali berhasil. 6
Semprotan dekongestif dan aplikasi topikal gulungan kapas yang dibasahi kokain biasanya akan
cukup menimbulkan efek anestesi dan vasokonstriksi. Sekarang bekuan darah dapat di aspirasi. Bila
13
sumbernya terlihat tempat asal perdarahan dikaustik dengan larutan Nitras Argenti 20-30% atau dengan
Asam Trikolasetat 10% atau dapat juga dengan elektrokauter. Jika pembuluh menonjol pada kedua sisi
septum diusahakan agar tidak mengkauter daerah yang sama pada kedua sisi. Sekalipun menggunakan zat
kauterisasi dengan penetrasi rendah, namun daerah yang dicakup kauterisasi harus dibatasi. Sebaliknya,
maka dengan rusaknya silia dan pembentukan epitel gepeng diatas jaringan parut sebagai jaringan
pengganti mukosa saluran nafas normal, akan terbentuk titik-titik akumulasi dalam aliran lapisan mucus.
Dengan melambatnya atau terhentinya aliran mukus pada daerah-daerah yang sebelumnya mengalami
kauterisasi, akan terbentuk krusta pada septum. Pasien kemudian akan mengorek hidungnya dengan
megelupaskan krusta, mencederai lapisan permukaan dan menyebabkan perdarahan baru. Menentukan
lokasi perdarahan mungkin semakin sulit pada pasien dengan deviasi septum yang nyata dan perforasi
septum.6,7
Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka diperlukan pemasangan tampon
anterior, dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin atau salap antibiotika. Tampon mudah dibuat
dari lembaran kasa steriil bervaselin, berukuran 72 x 0,5 inchi disusun dari dasar hingga atap hidung
meluas hingga keseluruh panjang rongga hidung. Pemakaian vaselin atau salep pada tampon berguna agar
tampon tidak melekat, untuk menghindari berulangnya perdarahan ketika tampon dicabut. suatu tampon
hidung anterior harus memenuhi seluruh rongga hidung.6,7
14
Gambar 5. Tampon anterior
Tampon dimasukkan sebanyak 2-4 buah, disusun dengan teratur dan harus dapat menekan asal
perdarahan. Tampon dipertahankan selama 2x24 jam, harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung.
Jika lokasi perdarahan telah ditemukan, vasokonstriktor harus diberikan bersamaan dengan obat-obat
topikal seperti larutan kokain 4% atau oxymetazolin atau phenylephrine. Perdarahan yang lebih aktif
perlu diberikan anestesi topikal yang adekuat. Obat-obat intravena bisa diberikan pada kasus yang sulit
atau pada penderita yang cemas.6
Perdarahan Posterior
Tempat perdarahan tidak mudah dikenal pada epistaksis posterior. Penting menempatkan pasien
dengan tepat. Kecuali hipovolemia, ia harus duduk tegak, sehingga darah tidak menuju kembali ke
tenggorokkannya.4,5
Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon posterior yang disebut
tampon bellocq. Tampon ini harus tepat menutup koana (nares posterior). Tampon Bellocq terbuat dari
kassa pada berbentuk bulat atau kubus dengan ukuran 3x2x2 cm. Pada tampon ini terdapat 3 utas benang ,
yaitu 2 utas pada satu sisi dan seutas benang pada sisi yang lain.4,5
Teknik pemasangan
Untuk memasang tampon Bellocq dimasukkan kateter karet melalui nares anterior sampai tampak di
orofaring dan kemudian ditarik ke luar melalui mulut. Ujung kateter kemudian diikat pada dua buah
benang yang terdapat pada satu sisi tampon Bellocq dan kemudian kateter ditarik keluar hidung. Benang
yang telah keluar melalui hidung kemudian ditarik, sedang jari telunjuk tangan yang lain membantu
mendorong tampon ini kearah nasofaring. Jika masih terjadi perdarahan dapat dibantu dengan
pemasangan tampon anterior, kemudian diikat pada sebuah kain kasa yang diletakkan didepan lubang
hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak bergerak. Benang yang terdapat pada rongga
mulut terikat pada sisi lain dari tampon Bellocq, diletakkan pada pipi pasien.Gunanya untuk menarik
tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari. Hati-hati mencabut tampon karena dapat menyebabkan
laserasi mukosa. Selama pemasangan itu pasien akan terganggu kenyamananya dan perlu diberi sedative
15
dan analgetika.1
Sebagai pengganti tampon bellocq, dapat digunakan kateter folley dengan balon. Akhir-akhir ini
juga banyak tersedia tampon buatan pabrik dengan balon yang khusus untuk hidung atau tampon dari
bahan gel hemostatik.1
Pada epistaksis yang berat dan berulang yang tidak dapat diatasi dengan pemasangan tampon
anterior maupun posterior, dilakukan ligasi arteri. Ligasi arteri etmoid anterior dan posterior dapat
dilakukan dengan membuat sayatan didekat kantus medius dan kemudian mencari kedua pembuluh darah
tersebut didinding medial orbita. Ligasi arteri maksila interna yang tetap di fossa pterigomaksila dapat
dilakukan melalui operasi Caldwell-Luc dan kemudian mengangkat dinding posterior sinus maksila. 4,5
Dengan semakin meningkatnya pemakaian endoskop, akhir-akhir ini juga dikembangkan teknik
kauterisasi atau ligasi arteri sfenopalatina dengan panduan endoskop.
Gambar 6. Tampon Posterior
Penatalaksanaan Bedah
16
Pembedahan dilakukan pada kasus epistaksis berulang, namun beberapa prosedur bedah untuk
tindakan darurat untuk mengontrol kasus epistaksis berat dilakukan untuk mencegah waktu perawatan
yang lama sekaligus untuk meningkatkan daya tahan pasien. Wong dan Vogel (1981) menemukan bahwa
angka kegagalan tindakan pembedahan lebih rendah ( 14% dibandingkan 26%), menurunkan angka
komplikasi (40% dibandingkan 68%) dan waktu perawatan di RS menjadi 2,2% lebih rendah pada pasien
dengan epistaksis posterior.2,3
Sebelum memutuskan arteri mana yang harus diligasi dalam penatalaksanaan epistaksis, lokasi
perdarahan harus ditentukan terlebih dahulu. Jika perdarahan terjadi pada cavum nasi dapat berasal dari
arteri etmoid anterior maupun posterior. Darah yang berasal dari kavum nasi inferior atau posterior
berasal dari arteri karotis eksterna atau arteri maksillaris interna. Umumnya, lebih dipilih ligasi yang
sedekat mungkin dengan lokasi perdarahan disebabkan sulitnya mengontrol sirkulasi kontralateral seperti
pada ligasi yang lebih proksimal. Septoplasty dan reseksi mukosa/submukosa mungkin diperlukan untuk
memperbaiki deviasi septum dan dapat menggantikan tampon. Pengangkatan penutup mukosa dengan
reseksi submukosa dapat mengurangi frekuensi epistaksis pada beberapa pasien melalui pengangkatan
bekas luka.2,3
Ligasi arteri maksillaris interna biasanya menyebakan penurunan gradien tekanan pada pembuluh
darah dan dapat menyebabkan terbentuknya bekuan darah. Rata-rata kejadian berulangnya epistaksis
berkisar 5%-13%. Ligasi arteri etmoid dilakukan melalui insisi yang dipertimbangkan pada pasien yang
mengalami perdarahan ulang setelah ligasi arteri maksillaris interna, dimana terdapat juga epistaksis
kavum nasal superior atau pada sambungan ligasi arteri maksilaris interna ketika lokasi perdarahan telah
ditemukan. 2,3
Ligasi arteri carotis eksterna dilakukan melalui insisi yang dibuat di sepanjang garis anterior otot
sternokleidomastoideus. Setelah dikenali 2 cabang arteri karotis eksterna untuk mencegah terligasinya
arteri karotis internal, arteri karotis eksternal diligasi. 2,3
Angiografi selektif dapat digunakan sebagai alat diagnostik dan terapi untuk mengontrol
epistaksis. Embolisasi lebih efektif pada pasien dengan epistaksis yang berulang setelah ligasi arteri,
17
daerah perdarahan sulit untuk dicapai dengan bedah, atau epistaksis yang disebabkan gangguan
perdarahan sistemik. Setelah anatominya dikenali, lokasi perdarahan di embolisasi dengan polyvinyl
alcohol, partikel gel-foam, atau kawat gulung. Prosedur ini dapat menyumbat pembuluh darah dekat
dengan daerah perdarahan sehingga dapat meminimalisasi kolateral. Prosedur ini efektif hanya ketika
rata-rata perdarahan >0,5 ml/menit. Angka keberhasilan sekitar 90% dengan angka komplikasi sekitar 0,1
%. Kerugiannya adalah arteri karotis eksterna atau cabangnya dapat tersumbat dan menimbulkan
komplikasi yang berat seperti hemiplegi, paralisis nervus fasialis, dan nekrosis kulit.2,3
Septodermoplasty sering digunakan pada pasien dengan HHT, setelah teleangiektasis pada
mukosa nasal anterior diangkat dari setengah anterior septum, dasar hidung, dan dinding lateral,
kemudian diletakkan skin graft. Pasien dapat mengalami epistaksis berulang yang disebabkan
pertumbuhan teleangiektasis ke dalam graft atau flap, namun keparahan dan frekuensi perdarahan
berkurang secara signifikan. Laser Neodymium-yttrium-garnet (Nd-YAG) atau laser argon telah
digunakan untuk fotokoagulasi lesi epistaksis, terutama pada pasien dengan HHT. Penatalaksanaan
kembali biasanya dibutuhkan namun tingkat keparahan dan frekuensi perdarahan umumnya meningkat. 2,3
1.8 Komplikasi
Dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha penanggulangannya. Sebagai
akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan anemia. Tekanan darah yang turun mendadak dapat
menimbulkan iskemia otak, insufisiensi koroner dan infark miokard dan akhirnya kematian. Harus segera
dilakukan pemberian infus atau transfusi darah. Komplikasi lain terjadi aspirasi yaitu darah tersedak
masuk ke dalam paru-paru.1,2
Pemasangan tampon dapat menimbulkan sinustis, otitis media, bahkan septikemia. Oleh karena
itu pada setiap pemasangan tampon harus selalu diberikan antibiotik dan setelah 2-3 hari harus dicabut
meskipun akan dipasang tampon baru bila masih berdarah. Selain itu dapat juga terjadi hemotimpanum
sebagai akibat mengalirnya darah retrograd melalui tuba Eustachius dan air mata yang berdarah (bloody
18
tears) sebagai akibat mengalirnya darah secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis. Pada waktu
pemasangan tampon Bellocq dapat terjadi laserasi palatum mole dan sudut bibir karena benang terlalu
kencang dilekatkan.1,2
1.9 Prognosis
Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri. Pada pasien hipertensi
dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering kambuh dan prognosisnya buruk.
BAGIAN TELINGA HIDUNG TENGGOROKBEDAH KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALASPADANG
STATUS PASIEN PRESENTASI KASUS
IDENTITAS PASIEN Tanggal Pemeriksaan:30-11-2010
Nama : Ny. A
Umur : 60 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku Bangsa : Minang
Alamat : Lubuk Minturun, Koto Tangah, kotamadya Padang
ANAMNESIS
Seorang pasien perempuan berumur 60 tahun datang ke IGD RSUP M. Djamil Padang pada
tanggal 30 November 2010, pukul 17.45 WIB dengan:
Keluhan Utama :
Keluar darah dari hidung sejak 6 jam sebelum masuk rumah sakit
Riwayat Penyakit Sekarang :
Keluar darah dari hidung sejak 6 jam sebelum masuk rumah sakit, terus menerus, warna
merah segar, jumlah ± 1 gelas
Keluar darah lebih banyak dari lubang hidung kanan dibanding lubang hidung kiri
Keluar darah dari mulut ada
Darah juga terasa mengalir ke tenggorok
19
Sebelumnya hidung pasien terasa gatal, kemudian pasien mencuci muka, sambil
menggosok- gosok hidungnya. Tiba- tiba keluar darah yang banyak dari lubang hidung
sebelah kanan, kemudian juga mengalir darah dari lubang hidung sebelah kiri.
Riwayat trauma sebelumnya tidak ada
Demam, batuk, dan pilek, sejak 4 hari yang lalu, diikuti sakit gigi 1 hari setelahnya.
kemudian pasien berobat ke bidan, diberikan 3 macam obat, parasetamol, amoksisilin,
dan satu lagi tidak diketahui pasien apa namanya. Saat ini demam tidak ada lagi, sakit
gigi, batuk dan pilek masih ada.
Riwayat bersin-bersin lebih dari 5 kali di pagi hari dirasakan 3 hari dalam 1 minggu,
hidung tersumbat, gatal pada hidung, hidung berair, mata berair dan gatal ada sejak 5
tahun terakhir, keluhan ini belum mengganggu aktivitas sehari hari.
Riwayat darah sukar membeku tidak ada
Riwayat hipertensi tidak ada
Riwayat telinga berdenging, pandangan ganda, sulit menelan tidak ada
Riwayat minum obat aspirin dan antikoagulan tidak ada
Riwayat diabetes mellitus tidak ada
Pasien berobat ke RSUD Air Pecah, dilakukan pemasangan tampon anterior pada lubang
hidung kanan, namun setelah 3 jam, darah tidak kunjung berhenti, dan tampon terlepas,
lalu pasien dirujuk ke RSUP M. Djamil.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada keluarga yang menderita kelainan pembekuan darah
Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, dan Kebiasaan:
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : CMC
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Frekuensi nadi : 100 x/menit
20
Frekuensi nafas : 24 x/menit
Suhu : 36.8 °C
Pemeriksaan sistemik
Kepala : tidak ada kelainan
Mata : Konjungtiva anemis, Sklera tidak ikterik
Toraks : dalam batas normal
Jantung : dalam batas normal
Abdomen : dalam batas normal
Extremitasa : tidak ada kelainan, edema (–)
STATUS LOKALIS THT
Telinga
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Daun Telinga
Kel. Kongenital - -
Trauma - -
Radang - -
Kel. Metabolik - -
Nyeri tarik - -
Nyeri tekan - -
Dinding Liang
Telinga
Cukup lapang (N) Cukup lapang Cukup lapang
Sempit - -
Hiperemi - -
Edema - -
Massa - -
Sekret / Serumen Bau - -
Warna kuning Kuning
Jumlah Sedikit Sedikit
21
Jenis Lunak lunak
Membran Timpani
Utuh
Warna Putih Putih
Refleks cahaya + +
Bulging - -
Retraksi - -
Atrofi - -
Perforasi (tidak ada)
Jumlah perforasi
Jenis
Kwadran
Pinggir
Gambar
Mastoid
Tanda radang - -
Fistel - -
Sikatrik - -
Nyeri tekan - -
Nyeri ketok - -
Tes Garpu tala
Rinne + +
Schwabach Sama dengan
pemeriksa
Sama dengan pemeriksa
Weber Tidak ada lateralisasi
Kesimpulan Pendengaran normal
Audiometri Tidak dilakukan
Hidung
Pemeriksaan Kelainan Dextra Sinistra
Hidung luar Deformitas - -
22
Kelainan kongenital - -
Trauma - -
Radang - -
Massa - -
Sinus Paranasal
Pemeriksaan Dextra Sinistra
Nyeri tekan - -
Nyeri ketok - -
Rinoskopi Anterior
Vestibulum Vibrise + +
Radang - -
Kavum nasi Cukup lapang (N) Cukup lapang Sempit
Sempit - -
Lapang - -
Sekret Lokasi Pleksus Kieselbach Mengalir dari arah
nasofaring
Jenis darah darah
Jumlah banyak sedikit
Bau - -
Konka inferior Ukuran Eutrofi Hipertrofi
Warna Merah Merah
Permukaan Licin Licin
Edema - -
Konka media Ukuran Eutrofi Eutrofi
Warna Merah Merah
Permukaan Licin Licin
Edema - -
23
Septum lurus/deviasi Cukup lurus
Permukaan Licin Licin
Warna Merah muda Merah muda
Spina - -
Krista - -
Abses - -
Perforasi - -
Massa Lokasi - -
Bentuk - -
Ukuran - -
Permukaan - -
Warna - -
Konsistensi - -
Mudah digoyang - -
Pengaruh
vasokonstriktor
- -
Rinoskopi Posterior
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Koana
Cukup lapang (N) Cukup Lapang Cukup Lapang
Sempit - -
Lapang
Mukosa
Warna Merah muda Merah muda
Edema - -
Jaringan granulasi - -
Konkha superior
Ukuran eutropi eutropi
Warna Merah muda Merah muda
Permukaan licin licin
Edema - -
Adenoid Ada/tidak Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
24
Muara tuba eustachiusTertutup secret - -
Edema mukosa - -
Massa (tidak ada)
Lokasi
Ukuran
Bentuk
Permukaan
Post Nasal Drip Ada/tidak Tidak ada Tidak ada
Jenis
Darah Ada/tidak
clotting
Ada
ada
Ada
ada
Gambar
Orofaring dan Mulut
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Palatum mole + Arkus
faring
Simetris/tidak Simetris
Warna Merah muda Merah muda
Edema - -
Bercak/eksudat - -
Dinding Faring,
tampak darah
mengalir, clotting (+)
Warna Merah muda Merah muda
Permukaan Licin Licin
Tonsil Ukuran T1 T1
Warna Merah muda Merah muda
Permukaan rata rata
Muara kripti Tidak Melebar Tidak Melebar
Detritus - -
25
Eksudat - -
Perlengketan dg pilar + +
Peritonsil Warna Merah muda Merah muda
Edema - -
Abses - -
Tumor (tidak ada) Lokasi
Bentuk
Ukuran
Permukaan
Konsistensi
Gigi
Atas : tersisa molar 3
kanan dan kiri
Bawah : lengkap
Karies/radiks - -
Gusi Hiperemis (rahang
atas)
Hiperemis
(rahang atas)
Kesan Higienis baik Higienis baik
Lidah
Warna Merah muda Merah muda
Bentuk Normal Normal
Deviasi - -
Massa - -
Gambar
Laringoskopi Indirek , terdapat darah mengalir dan clotting
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Epiglottis Bentuk Seperti kubah
Warna Merah muda
Edema -
26
Pinggir rata/tidak Rata
Massa -
Aritenoid
Warna Merah muda Merah muda
Edema - -
Massa - -
Gerakan Normal Normal
Ventrikular Band
Warna Merah muda Merah muda
Edema - -
Massa - -
Plika Vokalis
Warna Putih Putih
Gerakan Normal Normal
Pinggir medial Normal Normal
Massa - -
Subglotis/tracheaMassa -
Sekret ada/tidak Tidak ada
Sinus piriformisMassa Sukar dinilai
Sekret
Valekule Massa Sukar dinilai
27
Sekret (jenisnya)
Gambar
Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening Leher
Pada inspeksi tidak terlihat pembesaran kelenjar getah bening leher.
Pada palpasi tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening leher.
28
RESUME
(DASAR DIAGNOSIS)
Anamnesis :
Hidung keluar darah sejak 6 jam yang lalu, jumlah ± 1 gelas
Sebelumnya pasien menggaruk- garuk hidungnya
Demam, pilek dan batuk sejak 4 hari yang lalu, diikuti sakit gigi
Bersin -bersin lebih dari 5 kali di pagi hari dirasakan 3 hari dalam 1 minggu, hidung
tersumbat, gatal pada hidung, hidung berair, mata berair dan gatal ada sejak 5 tahun
terakhir dan belum mengganggu aktivitas sehari-hari.
Pemeriksaan Fisik :
Darah mengalir dari pleksus Kieselbach cavum nasi dextra, laserasi sulit dinilai, clotting
(+)
Dinding posterior faring tampak darah mengalir, clotting (+)
Diagnosis Kerja : Trauma hidung dengan Epistaksis anterior massif
Pemeriksaan laboratorium:
Darah rutin
Hb : 6.7 gr/ dl
Ht : 21
Leukosit : 9400
Trombosit : 330.000
Darah lengkap
GDR :125
Na/ K/ Cl :139/4.4/114
Diagnosis Tambahan : Anemia sedang ec perdarahan akut
Rinitis alergi intermitten ringan
Diagnosis Banding : Epistaksis anterior massif ec gangguan pembekuan darah
Epistaksis anterior massif ec rhinitis
Susp. Carcinoma Nasofaring
29
Pemeriksaan Anjuran : pemeriksaan PTT dan APTT
Nasoendoskopi
Terapi :
Pasang tampon anterior lubang hidung kanan dipertahankan 2 hari
Inj transamin 1 amp
IVFD RL 12 Jam/ kolf
Transfusi darah hingga Hb ≥ 10
Ciprofloxacine 2x500mg
Asam mefenamat 3x500mg
Prognosis
Quo ad Vitam : bonam
Quo ad Sanam: bonam
Nasehat :
Istirahat
Follow up pasien
1/12/2010
S :
Darah mengalir dari hidung tidak ada
Darah mengalir di tenggorok tidak ada
Demam tidak ada
Sakit gigi tidak ada
O :
Ku : sedang
Ks : cmc
TD : 120/80, Nadi : 88x/menit, Nafas :20x/menit, T : 36,6
Hidung :
30
Kavum nasi dextra : terpasang tampon
Kavum nasi sinistra : cukup lapang, konka inferior hipertrofi, darah mengalir (-), clotting
(+)
Tenggorok :
Arcus faring simetris, uvula di tengah, tonsil T1-T1 tidak hiperemis, darah mengalir (-)
Laboratorium :
Hb : 8
Ht : 25
Leukosit : 13.500
Trombosit : 285.000
B/ E/ Nb/Ns/L/M : 0/0/0/88/10/2
Eritrosit : 2,91 juta
MCV : 86
MCH :28
MCHC : 32
Kesan eritrosit darah tepi:normokrom, anisositosis.
PT /APTT: 12,4/36,4 (tidak memanjang)
A : Trauma Hidung dengan Epistaksis Anterior Massif
P : transfusi 1 kantong PRC
2/12/2010
S :
Darah mengalir dari hidung tidak ada
Darah mengalir di tenggorok tidak ada
Demam tidak ada
Sakit gigi tidak ada
O :
31
Ku : sedang
Ks : cmc
TD : 100/60, Nadi : 82x/menit, Nafas :22x/menit, T : 36,8
Hidung :
Kavum nasi dextra : terpasang tampon
Kavum nasi sinistra : cukup lapang, konka inferior hipertrofi, darah mengalir (-), clotting
(+)
Tenggorok :
Arcus faring simetris, uvula di tengah, tonsil T1-T1 tidak hiperemis, darah mengalir (-)
Laboratorium :
Hb : 9,6
A : Trauma Hidung dengan Epistaksis Anterior Massif
P : buka tampon
Nasoendoskopi
3/12/2010
S :
Darah mengalir dari hidung tidak ada
Darah mengalir di tenggorok tidak ada
Demam tidak ada
Sakit gigi tidak ada
O :
Ku : sedang
Ks : cmc
TD : 100/60, Nadi : 82x/menit, Nafas :22x/menit, T : 36,8
Hidung :
Kavum nasi dextra : cukup lapang, konka inferior eutrofi, darah mengalir (-), clotting (-)
Kavum nasi sinistra : cukup lapang, konka inferior hipertrofi, darah mengalir (-), clotting
(-)
Tenggorok :
32
Arcus faring simetris, uvula di tengah, tonsil T1-T1 tidak hiperemis, darah mengalir (-)
Nasoendoskopi:
Pemeriksaan Dextra Sinistra
Kavum nasi Cukup lapang Cukup lapang
Septum Tidak tampak deviasi Tidak tampak deviasi
Konka inferior Eutrofi, Tampak laserasi,
darah(-), clotting(-)
Eutrofi, laserasi (-)
Konka media Eutrofi Eutrofi
Konka superior Eutrofi Eutrofi
Meatus inferior Terbuka, sekret (-) Terbuka, ecret (-)
Meatus media Terbuka, sekret (-) Terbuka, sekret (-)
Meatus superior Terbuka, sekret (-) Terbuka, sekret (-)
A : Trauma Hidung dengan Epistaksis Anterior Massif
P : pasien dipulangkan.
DISKUSI
33
Pada kasus di atas, diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
Dari anamnesis didapatkan pasien datang dengan keluhan keluar darah dari hidung sejak
6 jam sebelum masuk RS, warna merah segar, jumlah kurang lebih 1 gelas, dan sebelumnya
pasien menggosok –gosok hidungnya. Demam, batuk, dan pilek, sejak 4 hari yang lalu, diikuti
sakit gigi 1 hari setelahnya. Riwayat bersin-bersin lebih dari 5 kali di pagi hari dirasakan 3 hari
dalam 1 minggu, hidung tersumbat, gatal pada hidung, hidung berair, mata berair dan gatal ada
sejak 5 tahun terakhir dan belum mengganggu aktivitas sehari-hari.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum sedang, vital sign tekanan darah
110/80 mmHg, frekuensi nadi 100 x/menit, frekuensi nafas 24 x/menit, Suhu : 36.8 °C.
Konjungtiva anemis. Pada status lokalis THT- KL, pada hidung didapatkan darah mengalir dari
pleksus Kieselbach cavum nasi dextra, laserasi sulit dinilai, clotting (+), darah mengalir di
dinding faring posterior, dan clotting (+).
Pasien didiagnosis kerja sebagai epistaksis anterior massif ec. Trauma, dengan diagnosis
tambahan rhinitis alergi intermiten ringan. Dari pemeriksaan laboratorium darah rutin didapatkan
Hb 6.7 gr/ dl, Ht 21, leukosit : 9400 dan trombosit 330.000, dan ditegakkan diagnosis tambahan
anemia sedang ec. Perdarahan akut..
Tindakan yang dilakukan pada pasien ini adalah identifikasi sumber perdarahan dengan
suction kemudian memencet hidung selama 15 menit. Karena perdarahan tidak berhenti,
dipasang tampon anterior yang telah diolesi Kemicetine dan dipertahankan selama dua hari.
Pasien dirawat untuk dilakukan transfusi darah. Selain itu, pasien juga diberikan obat anti
perdarahan transamin 1 amp iv, antibiotic ciprofloxacin 2x 500 mg.
Pasien juga mendapatkan transfusi PRC 2 kantong, hingga Hb pasien saat ini adalah 9.6.
Pada hari ketiga perawatan tampon coba dilepaskan, perdarahan tidak ada lagi baik dari
hidung, maupun yang mengalir di tenggorok. Nasoendoskopi dilakukan untuk memastikan
sumber perdarahan dan ditemukan adanya laserasi pada konka inferior dextra.
DAFTAR PUSTAKA
34
1. Ikhsan M, 2001. Cermin Dunia Kedokteran. Diakses dari: http ://www.kalbe.co.id/files/15
Penatalaksanaan Epistaksis.pdf/15 Penatalaksanaan Epistaksis.html. Diakses tanggal 11 April
2016
2. Stephanie,C. Epistaxis. Department of otolaryngology, UTMB; Grand Rounds diakses dari
www.emedicine.com. Diakses tanggal 11 April 2016
3. Gifford TO, et al. Epistaxis. Division of Otolaryngology Head and Neck Surgery University of
Utah School of Medicine In : Otolaryngologic Clinic of North America. 2008, ed 41, Pg 525-36
4. Ho EC, Han JY. Front Line Epistaxis Management : Lets Not Forget the Bassic. In :The Journal
of Laryngology and Otology. 2008
5. Middleton PM. Epistaxis.In Emergency Medicine Australia. 2004. Ed 16, Pg 428-40
6. Evans AS, et al. Is the nasal tampon a suitable treatment for epistaxis in Accident and
Emergency? A comparison of outcomes for ENT and A&E packed patients. In : The Journal of
Laryngology & Otology. 2004, Vol 118, Pg 12-4
7. Monux A, et al. Conservative Management of Epistaxis. In : The Journal of Laryngology and
Otology. 1990, Vol 104, Pg 868-70
35