crohn's disease

25
Bagian Radiologi Fakultas Kedokteran Bandung 2005 BAB I TINJAUAN KLINIS CROHN’S DISEASE 1.1. DEFINISI Crohn’s disease merupakan penyakit inflamasi kronis transmural pada saluran cerna dengan etiologi yang tidak diketahui. Crohn’s disease dapat melibatkan setiap bagian dari saluran cerna mulai dari mulut hingga anus tetapi paling sering menyerang usus halus dan colon ([1] ) . 1.2. ASPEK SEJARAH CROHN’S DISEASE Kasus Crohn’s disease pertama kali didokumentasikan dan dideskripsikan oleh Morgagni pada tahun 1761. Pada tahun 1931, Dalziel, seorang ahli bedah berkebangsaan Skotlandia, mendeskripsikan sembilan kasus penyakit inflamasi saluran cerna. Deskripsi mengenai gambaran klinis dan patologis yang terperinci mengenai penyakit ini dilakukan oleh Crohn, Ginzburg, dan Oppenheimer pada tahun 1932 (1) . Meskipun penyakit ini akhirnya diberi nama Crohn’s disease, namun masih belum dibedakan secara sempurna dari penyakit colitis ulcerativa hingga tahun 1959 ([2] ) . Saat ini, diagnosis Crohn’s disease mencakup aspek klinis, radiologis, endoskopis, patologis, dan pemeriksaan spesimen faeces. Radiografi dengan menggunakan zat kontras dapat

Upload: greyfrey

Post on 01-Jul-2015

554 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: crohn's disease

Bagian Radiologi

Fakultas Kedokteran

Bandung

2005

BAB I 

TINJAUAN KLINIS CROHN’S DISEASE

1.1. DEFINISI

Crohn’s disease merupakan penyakit inflamasi kronis transmural pada saluran cerna

dengan etiologi yang tidak diketahui. Crohn’s disease dapat melibatkan setiap bagian dari

saluran cerna mulai dari mulut hingga anus tetapi paling sering menyerang usus halus dan

colon ([1]).

1.2. ASPEK SEJARAH CROHN’S DISEASE

Kasus Crohn’s disease pertama kali didokumentasikan dan dideskripsikan oleh

Morgagni pada tahun 1761. Pada tahun 1931, Dalziel, seorang ahli bedah berkebangsaan

Skotlandia, mendeskripsikan sembilan kasus penyakit inflamasi saluran cerna. Deskripsi

mengenai gambaran klinis dan patologis yang terperinci mengenai penyakit ini dilakukan oleh

Crohn, Ginzburg, dan Oppenheimer pada tahun 1932 (1). Meskipun penyakit ini akhirnya diberi

nama Crohn’s disease, namun masih belum dibedakan secara sempurna dari penyakit colitis

ulcerativa hingga tahun 1959 ([2]).

Saat ini, diagnosis Crohn’s disease mencakup aspek klinis, radiologis, endoskopis,

patologis, dan pemeriksaan spesimen faeces. Radiografi dengan menggunakan zat kontras dapat

menentukan luasnya kelainan, tingkat keparahan dan perjalanan penyakit. Pencitraan computed

tomography (CT scanning) memungkinkan pencitraan potong lintang untuk menentukan

keterlibatan mural dan ekstramural. Endoskopi memungkinkan visualisasi langsung ke mukosa

dan memungkinkan pengambilan spesimen biopsi untuk kepentingan pemeriksaan histologis.

Page 2: crohn's disease

Ultrasonografi and MRI memberikan alternatif pencitraan potong lintang terhadap individu-

individu yang tidak memungkinkan menerima paparan radiasi (2).

1.3. EPIDEMIOLOGI

Secara umum Crohn’s disease merupakan penyakit bedah primer usus halus, dengan

insidens sekitar 100.000 kasus per tahun. Insidens tertinggi didapatkan di Amerika Utara dan

Eropa Utara (1). Di Amerika Serikat, dan Eropa Barat insidens Crohn’s disease mencapai 2 kasus

per 100.000 populasi, dengan prevalensi sekitar 20 – 40 kasus per 100.000 populasi (2).

Dilaporkan bahwa telah terjadi peningkatan insidens Crohn’s disease secara dramatis di Amerika

Serikat antara tahun 1950-an hingga 1970-an, untuk selanjutnya menjadi stabil pada tahun 1980-

an ([3]).

Menurut jenis kelamin, insidens Crohn’s disease lebih tinggi pada perempuan

dibandingkan dengan laki-laki, dengan rasio 1,1 – 1,8 : 1. Beberapa ahli percaya bahwa distribusi

jenis kelamin ini berhubungan dengan proses-proses autoimun yang terjadi pada Crohn’s

disease (2).

Crohn’s disease mempunyai 2 puncak insidens berdasarkan kelompok usia. Puncak

insidens pertama adalah pada 18 – 25 tahun. Puncak usia berikutnya adalah antara 60 – 80 tahun.

Pada pasien yang berusia lebih muda dari 20 tahun Crohn’s disease lebih banyak menyerang

usus halus, sedangkan pada yang berusia diatas 40 tahun Crohn’s disease lebih banyak

menyerang colon. Penyebab perbedaan lokasi penyakit ini tidak diketahui (2,3).

Meskipun Crohn’s disease dapat menyerang setiap bagian dari saluran cerna, namun

terdapat tiga lokasi primer baik secara klinis maupun anatomis yang paling sering, yaitu hanya

usus halus saja (30%), usus halus bagian distal dan colon (45%), dan hanya colon saja (25%).

30% dari seluruh kasus Crohn’s disease terjadi bersamaan dengan penyakit rektal, dan 33 – 50%

terjadi bersamaan dengan penyakit perianal seperti fisura ani, abses perianal, dan fistula

perianal (1,2).

Page 3: crohn's disease

1.4. ETIOLOGI DAN FAKTOR-FAKTOR RISIKO

Etiologi dari Crohn’s disease masih belum diketahui (1,2,3,[4]). Terdapat beberapa penyebab

potensial yang diperkirakan secara bersama-sama menimbulkan Crohn’s disease, yang paling

mungkin adalah infeksi, imunologis, dan genetik. Kemungkinan lain adalah faktor lingkungan,

diet, merokok, penggunaan kontrasepsi oral, dan psikososial. (1,2,3,[5]).

1.4.1. Faktor Infeksi

Meskipun terdapat beberapa agen-agen infeksi yang diduga merupakan penyebab

potensial Crohn’s disease, namun terdapat dua agen infeksi yang paling menarik perhatian yaitu

mycobacteria, khususnya Mycobacterium paratuberculosisdan virus measles (1). Infeksi lain yang

diperkirakan menjadi penyebab Crohn’s disease adalah Chlamydia, Listeria

monocytogenes, Pseudomonas sp, dan retrovirus (3).

1.4.2. Faktor Imunologis

Kelainan-kelainan imunologis yang telah ditemukan pada pasien-pasien dengan Crohn’s

disease mencakup reaksi-reaksi imunitas humoral dan seluler yang menyerang sel-sel saluran

cerna, yang menunjukkan adanya proses autoimun. Faktor-faktor yang diduga berperanan pada

respons inflamasi saluran cerna pada Crohn’s disease mencakup sitokin-sitokin, seperti

interleukin (IL)-1, IL-2, IL-8, dan TNF (tumor necroting factor). Peranan respons imun pada

Crohn’s disease masih kontroversial, dan mungkin timbul sebagai akibat dari proses penyakit

dan bukan merupakan penyebab penyakit (1).

1.4.3. Faktor Genetik

Faktor genetik tampaknya memegang peranan penting dalam patogenesis Crohn’s

disease, karena faktor risiko tunggal terkuat untuk timbulnya penyakit ini adalah adanya riwayat

keluarga dengan Crohn’s disease (1). Sekitar 1 dari 5 pasien dengan Crohn’s disease (20%)

mempunyai setidaknya satu anggota keluarga dengan penyakit yang sama (3). Pada berbagai

penelitian didapatkan bahwa Crohn’s disease berhubungan dengan kelainan pada gen-gen HLA-

DR1 dan DQw5 (2).

Page 4: crohn's disease

1.4.4. Faktor-faktor Lain

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian ASI merupakan faktor proteksi

terhadap timbulnya Crohn’s disease (3). Merokok dan penggunaan kontrasepsi oral meningkatkan

risiko timbulnya Crohn’s disease dan risiko ini meningkat sejalan dengan lamanya

penggunaan (2).

1.5. PATOLOGI

Stadium dini Crohn’s disease ditandai dengan limfedema obstruktif dan pembesaran

folikel-folikel limfoid pada perbatasan mukosa dan submukosa. Ulserasi mukosa yang menutupi

folikel-folikel limfoid yang hiperplastik menimbulkan pembentukkan ulkus aptosa. Pada

pemeriksaan mikroskopis, ulkus aptosa terlihat sebagai ulkus-ulkus kecil yang berbatas tegas dan

tersebar, dengan diameter sekitar 3 mm dan dikelilingi oleh daerah eritema. Sebagai tambahan,

lapisan mukosa menebal sebagai akibat dari inflamasi dan edema, dan proses inflamasi tersebut

meluas hingga melibatkan seluruh lapisan usus (3,5).

Ulkus aptosa cenderung membesar atau saling bersatu, menjadi lebih dalam dan sering

menjadi bentuk linear. Sejalan dengan makin buruknya penyakit, dinding usus menjadi semakin

menebal dengan adanya edema dan fibrosis, dan cenderung menimbulkan pembentukkan

striktura. Karena lapisan serosa dan mesenterium juga mengalami inflamasi, maka lengkungan-

lengkungan usus menjadi saling menempel. Akibatnya, ulkus-ulkus yang telah meluas hingga

keseluruhan dinding usus akan membentuk fistula antar lengkungan usus yang saling menempel.

Tetapi lebih sering terjadi saluran sinus yang berakhir buntu ke dalam suatu cavitas abses di

dalam ruang peritoneal, mesenterium, atau retroperitoneum (5).

1.6. DIAGNOSIS

1.6.1. Anamnesis

Gambaran klinis umum pada Crohn’s disease adalah demam, nyeri abdomen, diare, dan

penurunan berat badan. Diare dan nyeri abdomen merupakan gejala utama keterlibatan colon.

Page 5: crohn's disease

Perdarahan per rectal lebih jarang terjadi. Keterlibatan usus halus dapat berakibat nyeri yang

menetap dan terlokalisasi pada kuadran kanan bawah abdomen (2,3,5).

1.6.2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri pada kuadran kanan bawah abdomen yang

dapat disertai rasa penuh atau adanya massa. Pasien juga dapat menderita anemia ringan,

leukositosis, dan peningkatan LED (2).

Obstruksi saluran cerna merupakan komplikasi yang paling sering terjadi. Pada stadium

dini, obstruksi pada ileum yang terjadi akibat edema dan inflamasi bersifat reversibel. Sejalan

dengan makin memburuknya penyakit, akan terbentuk fibrosis, yang berakibat menghilangnya

diare yang digantikan oleh konstipasi dan obstruksi sebagai akibat penyempitan lumen usus (2).

Pembentukkan fistula sering terjadi dan menyebabkan abses, malabsorpsi, fistula

cutaneus, infeksi saluran kemih yang menetap, atau pneumaturia. Meskipun jarang, dapat terjadi

perforasi usus sebagai akibat dari keterlibatan transmural dari penyakit ini (2,3).

1.6.3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang disarankan adalah x-foto polos, x-foto kontras tunggal

saluran cerna bagian atas dengan follow-though usus halus atau enteroclysisdengan CT, dan

pemeriksaan kontras ganda usus halus. USG dan MRI dapat digunakan sebagai penunjang jika

terdapat masalah dengan penggunaan kontras.

Hingga saat ini tidak ada pemeriksaan laboratorium spesifik yang berguna dalam

diagnosis Crohn’s disease, atau yang berhubungan dengan aktivitas klinis penyakit.

Pemeriksaan radiologi pada Crohn’s disease akan dibahas lebih lanjut pada Bab II.

1.7. DIAGNOSIS BANDING

Penyakit-penyakit yang harus dipikirkan sebagai doagnosis banding Crohn’s disease

antara lain (2):

 Cholangitis

 Colitis iskemik

 Colitis pseudomembranosa

Page 6: crohn's disease

 Diverticulitis colon

 Tuberculosis gastrointestinalis

 Colitis ulserativa

 Enteritis infeksiosa

 Colitis infeksiosa

1.8. PENATALAKSANAAN

1.8.1. Terapi Medikamentosa

Penatalaksanaan medikamentosa Crohn’s disease dapat dibagi menjadi terapi terhadap

kekambuhan akut dan terapi pemeliharaan. Dalam terapi terhadap kekambuhan akut, pemicu-

pemicu seperti infeksi yang mendasari, fistula, perforasi, dan proses patologi lainnya harus

dihilangkan terlebih dahulu sebelum dilakukannya terapi glukokortikoid intravena (2).

Obat-obatan yang digunakan dalam terapi terapi Crohn’s disease mencakup antibiotika,

aminosalisilat, kortikosteroid, dan imunomodulator (3).

Sebagai terapi utama pada kondisi akut, hidrokortison atau metilprednisolon intravena

sering digunakan sebagai tambahan terhadap metronidazole dan pengistirahatan usus.

Penggunaan terapi steroid terbatas untuk mencapai respons yang cepat dalam waktu singkat

karena pada penggunaan jangka lama mempunyai berbagai efek samping, seperti osteonekrosis,

myopati, osteoporosis, dan gangguan pertumbuhan. Dapat pula digunakan inhibitor imunitas

yang diperantarai sel yaitu cyclosporine secara intravena jika pasien menunjukkan respons yang

buruk terhadap terapi kortikosteroid (2,3).

Tujuan dari terapi kronis adalah menghilangkan inflamasi usus. Aminosalisilat

merupakan terapi pilihan karena aktivitas antiinflamasinya. Berbagai obat telah digunakan, yang

masing-masing mempunyai target lokasi yang berbeda pada usus. Sulfasalazine dan balsalazide

terutama dilepaskan di colon. Dipentum dan Asacol terutama dilepaskan di ileum distal dan

colon. Pentasa dapat dilepaskan di duodenum hingga colon bagian distal, sementara Rowasa

secara spesifik digunakan untuk rectum dan colon bagian distal (2,3).

Page 7: crohn's disease

Methotrexate, azathioprine, dan 6-mercaptopurine adalah modulator sistem imun non-

steroid yang dapat ditoleransi dengan baik. Azathioprine, yang secara non-enzymatis dikonversi

di dalam tubuh menjadi 6-mercaptopurine, selanjutnya dimetabolisme menjadi asam

thioinosinic, yang merupakan zat inhibitor sintesa purin. Efek samping dari azathioprine and 6-

mercaptopurine jarang terjadi dibandingkan dengan steroid (2,3).

Methotrexate, efektif untuk pasien-pasien yang tidak memberikan respons terhadap

azathioprine dan 6-mercaptopurine. Efek samping utamanya mencakup leukopenia, nyeri pada

saluran cerna, dan pneumonitis hipersensitivitas (2,3).

Terapi yang baru adalah Infliximab, Etanercept dan CDP571 yang merupakan anti TNF-

α, yang semakin luas dipergunakan dan menunjukkan hasil yang menjanjikan, dengan adanya

peningkatan tingkat remisi hingga 48% setelah 4 minggu terapi dan dengan penutupan fistula

secara sempurna pada 55% pasien setelah 80 hari pemberian infliximab. Obat-obat lain seperti

mycophenolate telah dikembangkan untuk menghambat sintesa nukleotida guanin dan oleh

karena itu menghambat limfosit B dan T(2,3).

1.8.2. Terapi Bedah

Antara 70 – 80% pasien dengan Crohn’s disease membutuhkan terapi bedah. Indikasi

terapi bedah pada Crohn’s disease mencakup kegagalan terapi medikamentosa dan/atau

timbulnya komplikasi, seperti obstruksi saluran cerna, perforasi usus dengan pembentukan fistula

atau abses, perforasi bebas, perdarahan saluran cerna, komplikasi-komplikasi urologis, kanker,

dan penyakit-penyakit perianal (1,2). Terapi bedah pada pasien dengan Crohn’s disease harus

ditujukan kepada komplikasinya, hanya segmen usus yang terlibat dalam komplikasi saja yang

direseksi dan tidak boleh lebih luas, untuk menghindari terjadinya short bowel syndrome (1).

Anak-anak penderita Crohn’s disease dengan gejala-gejala sistemik seperti gangguan

tumbuh-kembang, akan mendapatkan keuntungan dengan menjalani terapi bedah reseksi usus.

Meskipun komplikasi ekstraintestinal Crohn’s disease bukan merupakan indikasi utama terapi

bedah, namun sering mengalami perbaikan setelah reseksi usus (1).

Reseksi segmental usus yang terbukti terlibat penyakit yang diikuti dengan anastomosis

merupakan prosedur pilihan dalam terapi bedah Crohn’s disease. Alternatif prosedur lain dari

Page 8: crohn's disease

reseksi segmental dari lesi-lesi yang mengobstruksi adalah stricturoplasty. Teknik ini

memungkinkan ditinggalkannya daerah permukaan usus dan terutama cocok untuk pasien

dengan penyakit yang menyebar luas dan telah mengalami striktura fibrotik yang mungkin telah

pernah menjalani operasi sebelumnya dan dalam risiko timbulnya short bowel syndrome. Namun

teknik stricturoplasty mempunyai risiko kekambuhan yang cukup tinggi. Prosedur-

prosedur bypass usus kadang-kadang perlu dilakukan jika telah terjadi abses-abses

intramesenterial atau jika usus yang sakit telah bersatu membentuk massa inflamasi yang padat,

yang tidak memungkinkan dilakukannya mobilisasi usus. Prosedur bypass (gastrojejunostomy)

juga digunakan jika telah terjadi striktura duodenum, dimana prosedur stricturoplasty maupun

reseksi segmental sulit dilakukan. Sejak tahun 1990-an, telah dilakukan prosedur operasi

laparoskopik terhadap pasien-pasien dengan Crohn’s disease, namun hasilnya masih belum

memuaskan dan teknik operasinya sulit (3).

1.9. KOMPLIKASI

Manifestasi ekstraintestinal Crohn’s disease mencakup aptosa oral, ulkus, eritema

nodosum, osteomalacia dan anemia sebagai akibat dari malabsorpsi kronis; osteonekrosis

sebagai akibat terapi steroid kronis; pembentukkan batu empedu sebagai akibat keterlibatan ileus

yang menyebabkan gangguan reabsorpsi garam empedu; batu oksalat ginjal sebagai akibat dari

penyakit colon; pancreatitis sebagai akibat dari terapi sulfasalazine, mesalamine, azathioprine

atau 6-mercaptopurine; pertumbuhan bakteri yang berlebihan rebagai akibat reseksi bedah; dan

manifestasi-manifestasi lainnya seperti amyloidosis, komplikasi tromboembolik, penyakit

hepatobiliaris, dan kolangitis sklerosis primer (1,2,3,5).

1.9.1. Abses

Abses terbentuk pada sekitar 15 – 20% pasien dengan Crohn’s disease sebagai akibat

dari pembentukkan saluran sinus atau sebagai komplikasi pembedahan. Abses dapat ditemukan

di mesenterium, cavum peritoneal, atau retroperitoneum, atau di lokasi ekstraperitoneal. Lokasi

tersering abses retroperitoneal adalah fossa ischiorectal, ruang presacral, dan regio iliopsoas.

Page 9: crohn's disease

Ileum terminal merupakan lokasi tersering sumber abses. Abses merupakan salah satu penyebab

utama kematian pada Crohn’s disease(2).

1.9.2. Obstruksi

Obstruksi terjadi pada 20 – 30% pasien dengan Crohn’s disease. Pada awal perjalanan

penyakit, terlihat adanya obstruksi yang reversibel dan hilang timbul pada saat setelah makan,

yang disebabkan oleh edema dan spasme usus. Setelah beberapa tahun, inflamasi yang menetap

ini akan secara bertahap memburuk hingga terjadi penyepitan dan striktur lumen akibat

fibrostenotik (2).

1.9.3. Fistula

Pembentukkan fistula merupakan komplikasi yang sering dari Crohn’s disease pada

colon. Komplikasi fistula yang disertai abses atau penyakit berat paling sulit ditangani. Hal ini

terjadi pada pasien dengan Crohn’s disease. Peranan terapi medikamentosa hanyalah untuk

mengontrol obstruksi, inflamasi, atau proses-proses supuratif sebelum dilakukannya terapi

definitif, yaitu pembedahan. Perlu dilakukan operasi untuk meng-evakuasi abses dan, jika tidak

ada kontraindikasi berupa sepsis, dilanjutkan dengan reseksi usus yang sakit. Fistula dapat

berakibat perforasi usus spontan pada 1 – 2% pasien (2).

1.9.4. Keganasan

Keganasan saluran cerna merupakan penyebab utama kematian pada Crohn’s disease.

Adenocarcinoma biasanya timbul pada daerah-daerah dimana terjadi penyakit kronis.

Sayangnya, sebagian besar kanker yang berhubungan dengan Crohn’s disease tidak terdeteksi

hingga tahap lanjut dan mempunyai prognosis yang buruk. Selain keganasan saluran cerna,

keganasan ekstraintestinal (misalnya, squamous cell carcinoma pada pasien dengan penyakit

kronis di daerah perianal, vulva atau rectal) dan limfoma Hodgkin atau non-Hodgkin juga

terbukti lebih sering terjadi pada pasien-pasien dengan Crohn’s disease (2).

1.10. PROGNOSIS

Rata-rata timbulnya komplikasi pada pasien dengan Crohn’s disease yang sudah

menjalani terapi bedah adalah antara 15 – 30%. Komplikasi bedah yang paling sering terjadi

Page 10: crohn's disease

adalah infeksi luka operasi, pembentukkan abses-abses intraabdominal, dan kebocoran

anastomosis (1,3).

Sebagian besar pasien yang telah menjalani reseksi usus mengalami kekambuhan

penyakit, yaitu 70% dalam waktu 1 tahun setelah operasi dan 85% dalam waktu 3 tahun setelah

operasi. Kekambuhan klinis ditandai dengan berulangnya gejala-gejala Crohn’s disease. Sekitar

⅓ pasien membutuhkan operasi ulang dalam waktu 5 tahun setelah operasi yang pertama (1,3).

BAB II 

PEMERIKSAAN RADIOLOGI 

PADA CROHN’S DISEASE

2.1. X-FOTO

Peranan x-foto polos dalam mengevaluasi Crohn’s disease adalah terbatas. Dua

keunggulan utama x-foto polos adalah (1) untuk memastikan adanya obstruksi usus dan (2)

untuk mengevaluasi adanya pneumoperitoneum sebelum dilakukannya pemeriksaan radiologis

lanjutan. Melalui x-foto polos dapat pula diketahui adanya sacroiliitis atau batu ginjal oksalat

yang mungkin terjadi pada penderita Crohn’s disease(1,2).

Pemeriksaan barium enema kontras ganda bermanfaat dalam mendiagnosis penyakit

inflamasi usus dan untuk membedakan antara Crohn’s disease dengan colitis ulcerativa,

khususnya pada tahap dini penyakit. Pada pemeriksaan kontras ganda, Crohn’s disease tahap dini

ditandai dengan adanya ulkus aptosa yang tersebar, yang terlihat sebagai bintik-bintik barium

yang dikelilingi oleh edema yang radiolusen. Ulkus-ulkus aptosa seringkali terpisah oleh

jaringan usus yang normal dan terlihat sebagai skip lesions (2,5).

Page 11: crohn's disease

Gambar 2. 1. Pemeriksaan barium enema kontras ganda pada Crohn’s disease menunjukkan

sejumlah ulkus aptosa

Gambar 2. 2. Pemeriksaan barium enema kontras ganda pada Crohn’s disease menunjukkan

ulserasi, inflamasi, dan penyempitan lumen colon kanan.

Sejalan dengan makin parahnya penyakit, ulkus-ulkus yang kecil akan membesar, lebih

dalam, dan saling berhubungan menjadi ulkus-ulkus yang berbentuk seperti bintang,

Page 12: crohn's disease

berpinggiran tajam, atau linear. Ulkus-ulkus ini paling sering terlihat di daerah ileum terminal

disepanjang perbatasan mesenterium. Gambaran ini patognomonik dari Crohn’s disease.

Sebagaimana inflamasi menembus lapisan submukosa dan muskularis, ulkus-ulkus tersebut

terpisah satu sama lain oleh edema pada dinding usus dan pada pemeriksaan dengan kontras

terlihat gambaran pola-pola “cobblestone” atau nodular, yaitu pengisian kontras pada lekukan

ulkus yang terlihat radioopaque dikelilingi mukosa usus yang radiolusen (2,5).

Gambar 2. 3. Pemeriksaan small-bowel follow-through dengan fokus pada ileum terminalis

memperlihatkan ulserasi linear, longitudinal dan transversal yang membentuk

“cobblestone appearance”.

Kadang-kadang terjadi inflamasi transmural yang berakibat pengecilan diameter lumen

usus dan distensinya menjadi terbatas. Hal ini tampak sebagai “string sign” (2,5).

Page 13: crohn's disease

Gambar 2. 4. Pemeriksaan small-bowel follow-through dengan fokus pada ileum terminalis

memperlihatkan beberapa penyempitan dan striktura, yang memberikan

gambaran “string sign”.

Gambar 2. 5. Pemeriksaan small-bowel follow-through dengan fokus pada ileum terminalis

memperlihatkan gambaran “string sign”.

Ulkus Aptoid dapat terdeteksi melalui pemeriksaan barium enema pada 25 – 50% pasien

dengan Crohn’s disease. Secara umum, didapatkan hasil negatif palsu sebanyak 18 – 20% kasus.

Akan tetepi, barium enema mempunyai akurasi sebesar 95% dalam membedakan antara Crohn’s

disease dengan colitis ulserativa (2).

Page 14: crohn's disease

2.2. CT-SCAN

Peranan pencitraan CT dalam evaluasi Crohn’s disease telah diterima secara luas.

Kemampuan CT untuk mencitrakan keterlibatan usus dan patologi ekstraluminal (misalnya,

abses, obstruksi, fistula) membuatnya menjadi cara pencitraan yang penting. Hasil pencitraan CT

pada Crohn’s disease tahap dini adalah penebalan dinding usus, yang biasanya melibatkan usus

halus bagian distal dan colon, meskipun setiap segmen pada saluran cerna dapat terlibat.

Biasanya, penebalan dinding usus mencapai 5 – 15 mm (2,5).

Gambar 2. 6. Gambaran CT Scan pada pasien dengan Crohn’s disease, tampak penebalan

dinding ileum dan inflamasi mesenterium.

Ulserasi pada mukosa dapat terdeteksi pada potongan tipis CT. dapat pula terlihat

adanya lilitan mesenterium, penebalan lapisan lemak mesenterium, adenopati lokal, fistula, dan

abses (2,5).

Page 15: crohn's disease

Gambar 2. 7. CT scan pada Crohn’s disease menunjukkan penebalan dinding usus halus, dan

inflamasi dan adenopati pada mesenterium.

Edema atau inflamasi jaringan lemak mesenterium menimbulkan peningkatan hilangnya

densitas lemak, yang disebut “hazy fat” pada CT. Inflammasi atau fibrosis jaringan lemak yang

lebih besar menimbulkan menghilangnya densitas pita linear jaringan lunak yang melintasi

mesenterium. Pada CT, sebuah massa yang berbatas kabur dengan densitas campuran dapat

menunjukkan adanya flegmon atau tahap dini pembentukan abses. Pembesaran kelenjar limfe

biasanya terlihat proksimal terhadap dinding usus disepanjang sisi mesenterium (2,5).

Pada CT scan, abses-abses terlihat sebagai massa berbentuk bulat atau oval dengan

densitas rendah, berbatas jelas, dan seringkali multilokus. Terlihatnya gambaran gelembung-

gelembung gas menunjukkan adanya hubungan fistula dengan usus atau, lebih jarang, timbul dari

infeksi oleh mikroorganisme yang menghasilkan gas (2).

Gambar 2. 8. CT scan pada Crohn’s disease menunjukkan penebalan dinding colon kanan

dengan inflamasi pada jaringan lemak mesenterium yang berhubungan.

Page 16: crohn's disease

Gambar 2. 9. CT scan pada Crohn’s disease fase kronis menunjukkan penebalan dinding colon

kanan tanpa inflamasi pada jaringan lemak mesenterium yang berhubungan, dan

sejumlah besar proliferasi lemak disekeliling colon kanan yang memisahkan

colon dari keseluruhan usus, sehingga disebut “creeping fat”.

CT Scan merupakan prosedur radiologis pilihan pertama pada pasien-pasien dengan

gejala-gejala akut Crohn’s disease. Kemampuan CT Scan dalam mencitrakan dinding usus,

organ-organ abdomen yang lokasinya berdekatan dengan usus, mesenterium dan retroperitoneum

membuatnya lebih unggul terhadap pemeriksaan radiologi konvensional dengan kontras barium

dalam mendiagnosis komplikasi-komplikasi yang menyertai Crohn’s disease. CT Scan dapat

secara langsung menunjukkan penebalan dinding usus, edema mesenterika, limfadenopati,

phlegmon dan abses. Sensitivitas CT Scan untuk Crohn’s disease adalah sekitar 71% (2).

CT Scan tidak hanya merupakan prosedur diagnostik terpilih, tetapi dapat pula

digunakan dalam penatalaksanaan abses, yaitu melalui prosedur CT-guided percutaneous

abscess drainage, yang telah menampakkan hasil yang sangat memuaskan (2).

2.3. MRI

Secara tradisional, MRI hanya memberikan manfaat yang terbatas dalam pemeriksaan

abdomen karena banyaknya artefak yang bergerak. Dengan adanya peningkatan gradien dan

pencitraan dengan menahan napas telah memungkinkan pencitraan MRI terhadap abdomen dan

pelvis pada sebagian besar pasien. Serbagai tambahan, untuk mencapai pencitraan yang optimal

Page 17: crohn's disease

dengan MRI seringkali membutuhkan penggunaan sejumlah besar volume zat kontras positif

atau negatif yang diberikan baik secara oral atau melalui selang nasojejunal atau rectal. Akan

tetapi, pasien dengan penyakit akut mungkin tidak dapat men-toleransi pemberian sejumlah besar

cairan per oral. Jika terjadi distensi usus suboptimal, akan terjadi gangguan dalam mendeteksi

segmen-segmen usus yang ter-inflamasi (2).

Secara tradisional, MRI dapat mengevaluasi komplikasi-komplikasi anorectal Crohn’s

disease dengan baik. MRI dengan teknik regular fast spin-echo,dapat mendeteksi adanya fistula,

saluran sinus, dan abses pada regio anorectal (2,5).

Saluran sinus dan fistula sering terlihat hiperintense pada pencitraan T1-weighted dan

hiperintense pada T2-weighted karena kandungan cairannya. Dengan supresi lemak, sinyal cairan

dapat di-intensifikasi dan dengan mudah terlihat hiperintense pada pencitraan T2-weighted.

Suatu abses sering terlihat sebagai pengumpulan yang terisolasi dari daerah-daerah dengan

intensitas sinyal tinggi (high-signal-intensity areas) pada pencitraan T2-weighted, khususnya

pada fossa ischioanal (2)

Parameter-parameter penyakit aktif mencakup penebalan dinding, proliferasi fibrosa dan

lemak, dan enhancement dinding usus dengan zat kontras gadolinium-based. Selama fase

inflamasi aktif, enhancement gadolinium dinding usus dapat pula terlihat pada pencitraan T2-

weighted, dan dapat dengan mudah dibedakan dari usus yang normal.

Pola enhancement dideskripsikan oleh Koh et al sebagai “berlapis-lapis” dan spesifik untuk

Crohn’s disease (2,)

Page 18: crohn's disease

Gambar 2. 10. Pencitraan MRI pada pasien dengan Crohn’s disease menunjukkan penebalan

dinding colon kanan dengan peningkatan sinyal intramural pada

pencitraan T1-weighted. Hal ini dipercaya sebagai gambaran adanya

deposisi lemak intramural.

Gadolinium-enhanced spoiled gradient-echo MRI mempunyai sensitivitas sekitar 85 –

89%, spesifisitas sekitar 96 – 94%, dan akurasi sekitar 94 – 91% untuk mendeteksi penyakit

akut. Sementara single-shot fast spin-echo MRI mempunyai sensitivitas sekitar 51 – 52%,

spesifisitas sekitar 98 – 96%, dan akurasi sekitar 83 – 84%. Hasil positif palsu paling sering

terjadi jika terdapat enhancement gadolinium tanpa adanya penebalan usus. Hasil negatif palsu

paling sering terjadi jika terdapat distensi usus yang suboptimal (2)

2.4. USG

Hasil pemeriksaan USG mempunyai variabilitas yang tinggi, yang tergantung pada

keahlian pemeriksa dalam mendeteksi perubahan-perubahan pada dinding usus.

USG dapat menjadi alternatif dari CT Scan dalam mengevaluasi manifestasi-manifestasi

intra dan ekstra luminal dari Crohn’s disease. Dinding saluran cerna yang normal terlihat sebagai

5 konsentris dari lapisan-lapisan echogenic dan hypoechoic yang berseang-seling; gambaran ini

dikenal sebagai “the gut signature”. Dinding saluran cerna yang normal mempunyai ketebalan

kurang dari 5 mm (2,)

Pada kasus Crohn’s disease aktif, ketebalan dinding usus berkisar antara 5 mm hingga 2

cm dengan gambaran lapisan-lapisan yang menghilang sebagian atau seluruhnya, yang

merefleksikan adanya edema transmural, inflamasi, atau fibrosis. Jika terjadi inflamasi yang

hebat, dinding usus akan tampak hypoechoic merata dengan garis hyperechoic ditengahnya yang

berhubungan dengan penyempitan lumen. Gerakan peristalsis menurun atau menghilang, dan

segmen usus yang sakit tidak dapat dikompresi dan kaku dengan hilangnya haustra (2).

Page 19: crohn's disease

Gambar 2. 11. A dan B, hasil pencitraan USG pada pasien dengan Crohn’s disease, terlihat

adanya penebalan dinding usus yang hypoechoic, hilangnya “gut signature”,

dan garis hyperechoic yang menunjukkan penyempitan lumen usus.

USG dapat mencitrakan adanya “ballooning” dari segmen-segmen yang tidak terlibat,

yang terlihat sebagai kantung-kantung fokal. Hasil pemeriksaan ini merefleksikan “skip lesions”

pada Crohn’s disease. Akurasi USG dapat ditingkatkan dengan menggunakan pencitraan

berwarna Doppler, yang dapat bermanfaat dalam mendeteksi dinding usus yang hiperemis atau

terinflamasi selama fase aktif penyakit (2).

Dengan adanya inflamasi transmural, terjadilah edema and fibrosis dari mesenterium

yang berhubungan, berakibat adanya proyeksi jaringan lemak mesenterium yang terlihat seperti

jari-jari yang mencengkram permukaan serosa usus. Pada ultrasonogram, gambaran ini tampak

sebagai massa yang hyperechoic, yang secara klasik terlihat pada batas cephalic ileum terminal.

Page 20: crohn's disease

Dengan penyakit yang telah berlangsung lama, gambaran ini akan terlihat lebih heterogen atau

bahkan hypoechoic(2).

2.5. RADIONUKLIR

Leukosit yang diberi penanda technetium-99m-HMPAO atau indium-111 dapat

digunakan untuk menentukan inflamasi aktif usus pada inflammatory bowel disease.

Dibandingkan dengan penanda 111In, penanda 99mTc HMPAO mempunyai karakteristik pencitraan

yang lebih baik dan dapat lebih cepat dicitrakan segera setelah injeksinya. Akan tetapi, biasanya

pencitraan harus dilakukan dalam waktu beberapa jam setelah injeksi leukosit berlabel 99mTc

HMPAO sebagaimana telah terjadi ekskresi normal ke usus, tidak seperti leukosit berlabel 111In,

yang tidak mempunyai ekskresi ke usus (2).

Molnar dkk menemukan bahwa pencitraan leukosit berlabel 99mTc HMPAO pada

Crohn’s disease yang aktif mempunyai sensitivitas 76,1% dan spesifisitas 91,0%, dan lebih baik

dalam mendeteksi aktivitas inflamasi segmental dibandingkan dengan CT Scan, sementara CT

Scan lebih unggul dalam mendeteksi adanya komplikasi (2).

Positif palsu dapat terlihat pada perdarahan saluran cerna, tertelannya leukosit (misalnya,

dari uptake yang berhubungan dengan sinusitis atau nasogastric tubes), atau aktivitas yang

berhubungan dengan pelepasan enteric tubes. Sebagai tambahan, uptake leukosit tidak spesifik

untuk Crohn’s disease dan akan terlihat pada sebagian besar proses-proses infeksius atau

inflamasi usus (2).

DAFTAR PUSTAKA

[1]. Sabiston. Textbook of Surgery. 17th ed. Ch. 43. WB Saunders. Philadelphia.2002. pp 888 –

95.

[2]. Yung-Hsin C. Crohn

Disease. 2004.http://www.emedicine.com/radio/topic197.htm [ONLINE]

Page 21: crohn's disease

[3]. Kodner IJ, Fry RD, Fleshman JW, Birnbaum EH, Read TE. Colon, Rectum, and

Anus. Schwartz Principles of Surgery. 7th Ed. Vol. 2. Ch. 26. McGraw-Hill.Singapore. pp

1318 – 28.

[4]. Crohn’s Disease. http://seniorhealth.about.com/cs/digestivetract/a/crohns.htm[ONLINE]

[5]. Taveras JM, Kelvin FM. Crohn’s Disease. Radiology on CD-ROM. Lippincott-

Raven. Philadelphia-Pennsylvania. 1994. [ONLINE]