vascular disease

102
VASCULAR DISEASE IN BRAIN Disusun oleh: Galdy Wafie 090100100 Nanda Meutia 090100228 Fitri Rahmariani 090100234 Rina Sundari 090100262 Raja Hasayangan Siregar 090100357 DEPARTEMEN ILMU BEDAH SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN

Upload: fitri-rahmariani

Post on 26-Dec-2015

23 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Vascular Disease

TRANSCRIPT

Page 1: Vascular Disease

VASCULAR DISEASE IN BRAIN

Disusun oleh:

Galdy Wafie 090100100

Nanda Meutia 090100228

Fitri Rahmariani 090100234

Rina Sundari 090100262

Raja Hasayangan Siregar 090100357

DEPARTEMEN ILMU BEDAH SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014

Page 2: Vascular Disease

ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas

berkat dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat penulis selesaikan tepat pada

waktunya.

Pada kesempatan ini, penulis menyajikan makalah berjudul Vascular

Disease in Brain. Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi

tugas kepaniteraan klinik Departemen Ilmu Bedah Saraf, Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara, Medan.

Besar harapan, melalui makalah ini, pengetahuan dan pemahaman kita

mengenai Vascular Disease in Brain terutama mengenai intracranial aneurysm,

AVM’s, spontaneous ICH, dan moya-moya semakin bertambah.

Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih belum sempurna,

baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan

segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun

demi perbaikan makalah ini. Atas bantuan dan segala dukungan dari berbagai

pihak baik secara moral maupun spiritual, penulis ucapkan terima kasih. Semoga

makalah ini dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan

khususnya kesehatan.

Medan, Juli 2014

Penulis

Page 3: Vascular Disease

iii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................... i

KATA PENGANTAR......................................................................... ii

DAFTAR ISI........................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................... 1

1.1. Latar Belakang........................................................................ 1

1.2. Tujuan..................................................................................... 2

1.3. Manfaat................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................ 3

2.1 Intracranial Aneurysm............................................................. 3

2.2 Arteriovenous Malformations.................................................. 36

2.3 Spontaneous Intracerebral Hemorrhage................................. 41

2.4 Moyamoya Disease.................................................................. 54

BAB III KESIMPULAN..................................................................... 60

DAFTAR PUSTAKA

Page 4: Vascular Disease

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit serebrovaskular mencakup sekelompok gangguan fungsi otak,

baik secara sementara maupun secara permanen, yang berhubungan dengan

penyakit pembuluh darah yang menyuplai otak. Penyakit serebrovaskular

merupakan penyebab gangguan neurologis yang paling sering dijumpai dan juga

penyebab kematian ketiga di Amerika Serikat. Setiap tahun, diperkirakan 157.803

orang di Amerika Serikat meninggal akibat penyakit serebrovaskular.1

Begitu banyak kondisi yang dapat menyebabkan gangguan vaskularisasi

otak. Beberapa penyakit serebrovaskular yang dapat terjadi tersebut antara lain

intracranial aneurysm, arterivenous malformations (AVMs), moyamoya disease,

dan spontaneous intracerebral hemorrhage.

Aneurisma otak merupakan pelebaran abnormal dari sebuah arteri yang

berhubungan dengan kelemahan pada dinding arteri yang terjadi di otak. Pecahnya

aneurisma intrakranial ini berkaitan dengan perdarahan subarachnoid. Perdarahan

akibat pecahnya aneurisma ini memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas yang

tinggi.2

Selain aneurisma intrakranial, arteriovenous malformations (AVMs) juga

merupakan salah satu penyakit serebrovaskular yang dapat menyebabkan

kematian pada pasien yang mengalami perdarahan sebesar 10-15%.1

Perdarahan intraserebral merupakan perdarahan parenkim otak yang

mungkin dapat meluas ke ventrikel. Perdarahan intraserebral ini sering

dihubungkan dengan kejadian peningkatan angka kematian dan merupakan 10-

15% seluruh kasus stroke.3

Penyakit moyamoya merupakan penyakit serebrovaskular yang umumnya

menyerang anak-anak, tetapi juga dapat terjadi pada orang dewasa usia 20-40

tahun. Prevalensi dan insidensi penyakit ini dilaporkan masing-masing sekitar

3,16 kasus dan 0,35 kasus per 100.000 orang dengan rasio kejadian antara

perempuan dan laki-laki adalah 1,8:1.4

Page 5: Vascular Disease

2

1.2. Tujuan

Tujuan dari penyusunan laporan kasus ini adalah sebagai berikut ini.

1. Mengetahui dan memahami beberapa penyakir serebrovaskular, yaitu

intracranial aneurysm, arterivenous malformations, moyamoya disease, dan

spontaneous intracerebral hemorrhage.

2. Sebagai salah satu tugas Kepaniteraan Klinik Senior di bagian Ilmu Bedah

Saraf RSUP Haji Adam Malik Medan

1.3. Manfaat

Diharapkan dengan pembuatan makalah ini, para pembaca, khususnya yang

terlibat dalam bidang medis dan masyarakat secara umumnya, dapat lebih

mengetahui dan memahami lebih mendalam mengenai penyakit-penyakit tersebut.

Page 6: Vascular Disease

3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Intracranial Aneurysm

2.1.1. Definisi

Aneurisma adalah suatu kantung yang terbentuk oleh dilatasi dinding

arteri, vena, atau jantung; terisi oleh cairan atau darah yang membeku, sering

membentuk tumor yang berdenyut.5

Aneurisma serebral merupakan pelebaran yang terjadi pada pembuluh

darah sehingga mengembang seperti balon karena disebabkan adanya kelemahan

pada struktur dinding pembuluh darah tersebut, dan biasanya terjadi pada arteri di

Circulus Willisi.6

2.1.2. Epidemiologi

Pada otopsi di Amerika Serikat, kejadian aneurisma intrakranial ditemukan

pada sekitar 1% populasi.7 Insidensi perdarahan subarachnoid disebabkan

rupturnya aneurisma sekitar 6-16% per 100.000 orang per tahunnya.7 Secara

internasional, insidensi perdarahan subarachnoid (PSA) karena aneurisma

bervariasi, berkisar 3.9-19.4 per 100,000 orang, dengan tingkat kejadian paling

tinggi dilaporkan di Finlandia dan Jepang dan secara keseluruhan tingkat kejadian

sekitar 10.5 per 100,000 orang.6

Aneurisma lebih banyak didapatkan pada wanita dibandingkan laki-laki

dengan ratio 3:2. Namun, pada usia kurang dari 40 tahun, kejadian aneurisma

lebih banyak pada laki-laki, sedangkan pada usia diatas 40 tahun, prevalensi lebih

banyak pada wanita.5 Aneurisma sakular pada arteri communicans anterior atau

arteri serebri anterior lebih sering terjadi pada pria, sementara persambungan

antara arteri carotis interna dengan arteri communicans posterior adalah lokasi

tersering aneurisma sakular pada wanita.Aneurisma raksasa (Giant aneurysms)

adalah 3 kali lebih sering pada wanita. Prognosis PSA karena rupturnya aneurisma

lebih buruk pada wanita.

Page 7: Vascular Disease

4

Aneurisma tunggal lebih sering terjadi pada sirkulasi anterior otak

dibandingkan sirkulasi posterior. Pada sirkulasi anterior, pembuluh darah yang

paling sering terjadi kelainan ini adalah pada arteri carotis interna diikuti arteri

communicans anterior, bifurkasio arteri cerebri media, dan arteri cerebri anterior

distal, sedangkan pada sirkulasi anterior kelainan ini paling sering ditemukan pada

apeks basilaris.7

Berikut ini adalah lokasi aneurisma sakular.8

1. 20-25% pada tifurkasio dan bifurkasio arteri cerebri media.

2. 35-49% pada arteri cerebri anterior (aretri communicans anterior dn

pericallosal arteri.

3. 30% pada arteri carotis interna (arteri communicans posterior, bifurkasi carotis,

arteri choroid anterior dan arteri opthalmica)

4. 10% pada sirkulasi posterior (arteri basilaris dan arteri cerebelli posterior

inferior)

Gambar 2.1. Lokasi tersering aneurisma intracranial pada Circulus Willisi5

Page 8: Vascular Disease

5

Multiple aneurisma diperkirakan terjadi pada sekitar 30% pasien dengan

perdarahan subarachnoid melalui angiography¹. Diperkirakan tingkat persentase

kejadian aneurisma multipel berkisar antara 8-19%.7

Peningkatan insidensi aneurisma serebral terkait dengan beberapa penyakit

seperti vasculitis dengan ditemukannnya arteritis sel raksasa, sistemik lupus

eritematosus, aortitis atau poliarteritis nodosa, Sindrom Ehlers-Sanlos, penyakit

fibromuskular, hereditery hemorrhagic teleangiectasiea, penyakit Moya-moya,

penyakit ginjal polikistik dewasa, sklerosis tuberosa.7

Berdasarkan ras, predileksi rasial kejadian aneurisma belum diketahui luas,

meskipun didapatkan tingkat kejadian yang paling tinggi pada Afro-Amerika,

dengan rasio 2.1.

2.1.3. Morfologi

Aneurisma intracranial biasanya berbentuk sakular dan terjadi pada

percabangan pembuluh darah. Ukuran suatu aneurysma bervariasi dari beberapa

millimeter sampai beberapa sentimeter. Suatu aneurysma yang melebihi 2,5 cm

disebut aneurysma raksasa (giant aneurysm). Dilatasi fusiform dan ektasia carotid

dan arteri basilaris dapat terjadi setelah atherosclerosis.Jenis aneurysma ini jarang

pecah. Mycotic aneurysm, yang berkembang sekunder dari infeksi dinding

pembuluh darah, mucul dari penyebaran hematogenous seperti subacute bacterial

endocarditis.

Pecahnya aneurisma biasanya terjadi pada daerah fundus dari aneurysma

dan resiko pecahnya berkaitan dengan ukuran suatu aneurysma, rupture jarang

terjadi pada aneurysma yang berukuran > 6 mm. Pada beberapa pasien ruptur

aneurysma terjadi saat beraktifitas, mengedan atau coitus.Giant aneurysm jarang

pecah kemungkinan berhubungan dengan lapisan yang multiple dari thrombus

memperkuat dinding dalam.

Bentuk lain dari aneurisma makroskopik adalah sebagai berikut.

1. Aneurisma Difus atau Fusiform.

Aneurisma difus atau fusiform adalah dilatasi sirkumferensial pembuluh darah

biasanya terjadi pada arteri carotis, basilaris atau vertebralis. Atherosklerosis

Page 9: Vascular Disease

6

mungkin berperan penting dalam pembentukannya tetapi defek perkembangan

pada dinding dapat muncul pada suatu hari.Aneurisma difus atau fusiform

sering teroklusi oleh thrombus dan jarang pecah.

2. Aneurisma Mikotik

Aneurisma mikotik disebabkan oleh septic emboli dimana sering disebabkan

oleh endocarditis bakterialis.Biasanya berukuran hanya beberapa mm dan

berpotensi terjadi pada cabang distal pembuluh darah, terutama arteri cerebri

media.Operasi karena itu lebih mudah dilakukan dibandingankan aneurisma

sakular.Karena tingkat fatalitas yang disebabkan rupturnya aneurisma mikotik

tinggi (80%) maka arteriography cerebral harus dilakukan pada endocarditis

dengan keluhan sakit kepala, kaku kuduk, kejang, simtom neurologist fokal

atau pleositosis CSS.Aneurisma mikotik multiple atau yang teltak di dasar otak

dirawat secara konservatif dan diikuti arteriography serial untuk mendeteksi

pembesaran.

2.1.4. Klasifikasi

Aneurisma dapat dikelompokkan berdasarkan morfologi, ukuran, etiologi

dan lokasinya  seperti yang ditunjukkan pada tabel 2.1 berikut.

Tabel 2.1. Klasifikasi Aneurisma Intraserebral

Berdasarkan Pengelompokkan

1. Morfologi Sakular (aneurisma berry)

Sangat kecil < 2mm

Kecil 2-6 mm

Medium 6-15mm

Besar 15-25mm

Sangat besar (giant) 25-40 mm

Sangat besar sekali (supergiant) > 40 mm

2. Etiologi Sakular (degenerasi dinding)

Atherosklerotik

Page 10: Vascular Disease

7

Dissecting

Infeksi (mycotic)

Neoplastik

3. Lokasi 1. Sirkulasi Anterior

a. Arteri carotis interna

Petrous

Sinus cavernosus

Tanpa cabang pembuluh darah

Opthalmica

Hipofisis superior

Arteri communicans posterior

Arteri choroidalis anterior

Bifurkasio

b. Arteri cerebri anterior

A1

Regio arteri communicans anterior

Arteri communicans anterior itu sendiri atau beserta

cabang-cabangnya (A1 atau A2)

A2

Arteri cerebri anterior distal (pericallosal

callosomarginal junction)

c. Arteri cerebri media

M1

Bifurkasio / Trifurkasio

Distal

2. Sirkulasi Posterior

a. Arteri vertebralis dan cabangnya

arteri vertebralis tanpa cabangnya

arteri cerebelli posterior inferior

arteri vertebrobasilar

Page 11: Vascular Disease

8

b. Trunkus basilaris termasuk arteri cerebelli anterior

inferior

c. Regio apeks basilaris

Apeks basilaris (caput)

Arteri cerebelli superior-basilaris

d. Arteri cerebri posterior

P1

P2

P3

2.1.5. Etiologi, Faktor Predisposisi, dan Faktor Risiko

Ada dua tampilan dasar dari suatu aneurisma sakular, yaitu sebagai

berikut.

1. Aneurisma sering terjadi pada titik percabangan arteri besar terutama pada

dasar otak.

2. Aneurisma terjadi pada permukaan konveks pada arteri.

3. Area terbentuknya aneurisma merupakan area pembuluh darah yang paling

maksimal stress hemodinamiknya.

Penyebab pasti pembentukan aneurysma mungkin multifaktorial. Ada dua

teori yang telah diajukan sebagai dasar pembentukan aneurisma yaitu teori

kongenital dan teori degeneratif. Meskipun demikian, disepakati secara umum

bahwa pada pembentukan aneurisma maka lamina elastika interna harus

terganggu. Degenerasi lamina elastika umum ditemukan pada aneurisma berry.

1. Teori Kongenital

Aneurisma dulunya dikira merupakan kelainan kongenital karena adanya

temuan defek perkembangan pada tunica media. Defek ini terjadi pada apeks

bifurkasio pembuluh darah sama dengan aneurisma, tetapi mereka juga

ditemukan pada pembuluh darah ekstrakranial sama seperti pembuluh darah

intracranial; aneurisma sakular dengan kontras jarang ditemukan di luar

Page 12: Vascular Disease

9

calvaria. Defek tunika media sering ditemukan pada anak-anak, namun

aneurisma jarang pada kelompok umur ini.

2. Teori Degeneratif

Sekarang berkembang bahwa defek pada lamina elastika interna merupakan hal

yang penting pada pembentukan aneurysma dan ini kemungkinan berhubungan

dengan kerusakan atherosklerotik. Aneurisma sering terbentuk pada sisi

dimana terjadi stress hemodinamik sebagai contohnya, pembuluh darah

hipoplastik congenital menyebabkan aliran yang berlebihan pada suatu arteri.

Hipertensi juga berperan, lebih dari ½ pasien dengan ruptur aneurisma

memiliki bukti sebelumnya terjadi peningkatan tekanan darah (terbentuknya

aneurisma umum terjadi pada pasien dengan hipertensi karena koarktasio

aorta)

Beberapa penelitian tampaknya menunjukkan bahwa teori degeneratif

memiliki beberapa kelebihan dibandingkan teori kongenital, yaitu sebagai berikut.

1. Pemeriksaan arteri otak pada neonatus gagal mengidentifikasi adanya

aneurisma berry.

2. Kebanyakan aneurisma menjadi perhatian klinis pada usia 40-70 tahun

menunjukkan bahwa lesi ini didapat.

3. Insidensi aneurisma familial sifatnya sporadik dan jarang ditemukan.

Faktor predisposisi terjadinya aneurisma adalah sebagai berikut.

1. Kongenital atau riwayat keluarga

2. Atherosclerosis dan hipertensi

3. Penyakit ginjal polikistik autosomal dominan

4. Vasculopati

5. Arteriovenous malformasi

6. Penyakit kelainan jaringan ikat

7. Anemia bulan sabit

8. Infeksi

9. Trauma

Page 13: Vascular Disease

10

10. Neoplasma

11. Merokok

12. Penyalahgunaan obat dan alcohol

2.1.6. Manifestasi Klinis

Suatu aneurisma dapat diidentifikasi secara tidak sengaja. Gambaran klinik

suatu aneurisma dapat berupa sebagai efek kompresi massa, penyebab transient

iskemik serebral (thrombus/emboli), perdarahan karena rupture ataupun

asimtomatik.7 Sebanyak 90% pasien dengan aneurysma biasanya terjadi

perdarahan subarachnoid dan 7% memiliki gejala atau tanda dari kompresi

struktur terdekat¹.Sisanya ditemukan secara kebetulan.Gejala dini dari suatu

aneurisma dapat berupa adanya sakit kepala yang terjadi tiba-tiba, terutama pada

kasus pecahnya suatu aneurisma.

1. Rupture (90%)

Kejadian ruptur paling sering terjadi antara usia 40-60 tahun tapi kejadian

pecahnya suatu aneurisma dapat terjadi pada semua usia namun jarang pada anak-

anak.8 Ruptur aneurisma dapat menyebabkan perdarahan intraparenkim (lebih

sering pada aneurisma distal), intraventricular hemorrhage (13-28%), atau

subdural hematoma (2-5%).6

Gambar 2.2. Ruptur aneurisma

Page 14: Vascular Disease

11

Gejala suatu aneurisma yang pecah sangat bervariasi tergantung

keparahan, pembuluh darah otak mana yang pecah, dan lokasi perdarahan.

Gambaran klinik perdarahan subarachnoid meliputi onset yang tiba-tiba dari sakit

kepala hebat, diikuti penurunan kesadaran, mual, muntah, kaku

kuduk,fotofobia,  tanda-tanda fokal dan epilepsi. Temuan klinik tergantung

tingkat keparahan perdarahan subarachnoid, adanya hematom intraserebral dan

lokasinya, ada tidaknya hidrosefalus, dan waktu pemeriksaan berhubungan

dengan perdarahan.

Sejak keparahan perdarahan berkaitan dengan keadaan klinis pasien dan

dalam hal ini akhirnya berhubungan dengan hasil akhir perawatan, banyak

penelitian yang menggelompokkan pasien ke dalam 5 level seperti oleh Hunt dan

Ness yang telah dipergunakan luas oleh klinisi.  

Tabel 2.2. Skala tingkat keparahan perdarahan subarachnoid Hunt dan Ness7

Grade Kondisi klinik

0 Aneurisma yang tidak pecah

1 Asimptomatik atau sakit kepala ringan dan kaku kuduk ringan

2 Kaku kuduk dan sakit kepala sedang/berat; cranial neuropathy,

tidak ada defisit fokal

3 Delirium, bingung, atau defisit fokal ringan

4 Stupor, hemiparesis sedang sampai berat

5 Koma dalam, postur deserebrasi.

Akhir-akhir ini ada juga skala baru telah disusun dan diakui oleh World

Federation of Neurosurgeont (WFN) melibatkan Glasgow Coma Scale.

Tabel 2.3. Skala tingkat keparahan perdarahan subarachnoid WFN8

WFN Grade GCS Motor defisit

I 15 Tidak ada

II 14-13 Tidak ada

III 14-13 Ada

Page 15: Vascular Disease

12

IV 12-7 Ada/tidak ada

V 6-3 Ada/tidak ada

Skala ini berhubungan dengan hasil akhir dan menyediakan indeks

prognostik bagi para klinisi. Sebagai tambahan, skala ini dapat mencocokkan

kelompok pasien untuk membandingkan efek dari teknik penanganan yang

berbeda.

Ada juga pengelompokkan berdasarkan hasil temuan CT scan seperti yang

ditunjukkan pada tabel 2.4 berikut ini.

Tabel 2.4. Skala tingkat keparahan perdarahan subarachnoid berdasarkan Fisher6

Grade Temuan CT scan

1 Tidak ada darah yang terdeteksi

2 Lapisan tipis perdarahan di subarachnoid

3 Thrombus terlokalisir atau lapisan tebal perdarahan

subarachnoid

4 Perdarahan intracerebral atau intraventricular dengan

perdarahan difus di subarachnoid / tidak ada

2. Kompresi karena kantung aneurisma (7%)

Suatu aneurysma arteri carotis interna yang besar (atau arteri

communicans anterior) dapat menekan:

a. Tangkai pituitary atau hypothalamus menyebabkan hypopituitarysm

b. Nervus oticus atau chiasma opticum menyebabkan defek lapang pandang.

c. Aneurisma arteri basilaris dapat menekan midbrain, pons, atau nervus III

menyebabkan kelemahan tungkai atau gangguan pergerakan bola mata.

d. Aneurisma intracavernosa dapat menekan nervus III, IV, VI, divisi pertama

n.V dan ganglion trigeminalis menyebabkan opthalmoplegia dan nyeri

fasial. Aneurisma intracavernosa dapat menyebabkan nyeri fasial

menyerupai neuralgia trigeminal.

Page 16: Vascular Disease

13

e. Aneurisma arteri communicans posterior dapat menyebabkan n.III palsy. Ini

mengindikasikan adanya perluasan aneurysma dan memerlukan penanganan

yang darurat.

f. Aneurisma juga dapat menekan jaringan otak di sekitarnya atau hiposifis,

menyebabkan tanda neurologist fokal, kejang, gejala neuroendokrinologik,

atau pembesaran sella tursica.9

3. Thrombosis

Thrombosis pada aneurisma seringkali mengirimkan emboli ke daerah

distal arteri, menyebabkan TIA (transient iskemik attack) atau infark. Pada

beberapa pasien yang tidak ditemukan perdarahan subarachnoid, menunjukkan

gejala sakit kepala tanpa kaku kuduk, mungkin berhubungan dengan pembesaran

aneurisma, thrombosis atau iritasi meningeal.

4. Penemuan yang tidak sengaja (3%)

Angiography dapat menunjukkan hal yang berbeda selain SAH seperti

penemuan penyakit iskemik atau neoplastik, yang pada awalnya tidak dapat

mendeteksi suatu aneurysma.

Simptom yang berhubungan dengan aneurisma antara lain sebagai berikut.

1. Nyeri kepala: karakteristiknya adalah nyeri hebat dengan onset yang akut,

dimana pasien sering mendeskripsikannya sebagai nyeri kepala terhebat

dalam hidupnya." Perluasan aneurysma, thrombosis, atau intramural

hemorrhage dapat menyebabkan nyeri kepala subacute, unilateral, periorbital.

Nyeri kepala tidak selalu mengikuti PSA aneurisma.

2. Nyeri pada wajah: aneurisma cavernous-carotid dapat menyebabkan nyeri

pada wajah.

3. Perubahan tingkat kesadaran: Peningkatan mendadak tekanan intracranial

sehubungan dengan ruptur aneurisma dapat menurunkan perfusi serebral

menyebabkan syncope (50% kasus). Bingung atau penuruunan kesadaran

ringan mungkin juga dapat terjadi.

Page 17: Vascular Disease

14

4. Kejang fokal atau umum terjadi pada 25% kasus PSA aneurisma, dengan

kejadian paling sering terjadi selam 24 jam pertama

5. Manifestasi iritasi meningeal: nyeri leher atau kaku kuduk, photophobia,

sonophobia, atau hyperesthesia dapat terjadi pada PSA aneurisma.

6. Gangguan otonom: akumulasi agent-agent yang mendegradasi darah pada

subarachnoid dapat menimbulkan demam. Nausea atau vomitus, berkeringat,

kepanasan, and cardiac arrhythmias juga dapat muncul.

7. Keluhan neurologis fokal: Hemorrhage atau ischemia dapat bermanifestasi

sebagai deficit neurologist fokal seperti kelemahan, kehilangan hemisensorik,

gangguan bahasa, neglect, kehilangan ingatan, gangguan olfaktorius. Simtom

fokal sering terjadi pada giant aneurysma.

8. Simtom visual: pandangan yang kabur, diplopia, defek lapang pandang dapat

muncul

9. Disfungsi respirasi atau instabilitas cardiac. Hal ini merupakan tanda

kompresi batang otak

10. Disfungsi hormonal: aneurisma intrasellar dapat mengganggu fungsi

hipofisis.

11. Epistaxis: biasanya berhubungan dengan aneurisma traumatik

Secara pemeriksaan fisik mungkin dapat ditemukan hal-hal sebagai

berikut.

1. Pemeriksaan fisik umum sering menunjukkan gejala atau tanda subacute

bacterial endocarditis, trauma, atau penyakit vaskuler kolagen.

2. Pemeriksaan fisik umum yang spesifik dapat meliputi prominent scalp veins,

tanda gagal jantung kongestif (vein of Galen aneurysma), atau bruit orbital

(pada aneurisma cavernous carotid ).

3. Temuan pemeriksaan neurologist bervariasi tergantung karakteristik aneurisma

itu masing-masing.

a. PSA aneurisma mungkin dapat ditemukan kaku kuduk, penurunan

kesadaran, subhyaloid hemorrhages, abnormalitas pupil (dilatasi pupil),

ophthalmoplegia, neuropati kranialis, dan defisit fokal lainnya.

Page 18: Vascular Disease

15

b. Giant aneurysma atau dolichoectatic aneurysma mungkin dapat

menyebabkan efek massa atau thromboembolism distal dengan defisit fokal,

atropi optik ataupun kelainan neuropati kranialis lainnya, atau kompresi

batang otak.

4. Sindrom spesifik berkaitan dengan lokasi aneurisma terjadi.

a. Arteri communicans anterior: Tempat tersering PSA aneurisma (34%).

Biasanya aneurisma pada daerah ini tersembunyi sampai mereka ruptur.

Tekanan suprachiasmatic dapat menyebabkan defek lapang pandang, abulia

atau akinetic mutism, sindrom amnestia, atau disfungsi hipotalamus. Defisit

neurologis aneurisma yang pecah dapat mereflesikan perdarahan

intraventricular (79%), perdarahan intraparenchymal (63%), acute

hydrocephalus (25%), atau stroke lobus frontal (20%).

b. Arteri cerebri anterior: Aneurisma pada pembuluh ini, merupakan sekitar

5% dari keseluruhan kejadian aneurisma. Kebanyakan asymptomatic sampai

mereka rupture, meskipun demikian sindrom lobus frontal, anosmia, atau

defisit motorik mungkin saja muncul.

c. Arteri cerebri media:  Aneurisma arteri ini terjadi sekitar 20% kasus

aneurisma, secara khusus sering terjadi divisi pertama atau kedua fissura

sylvia. Aphasia, hemiparesis, kehilangan hemisensorik, anosognosia, atau

defek lapang pandang dapat terjadi.

d. Arteri communicans posterior : Aneurisma pada lokasi ini terjadi sebanyak

23% kasus cerebral aneurisma. Dilatasi pupil, ophthalmoplegia, ptosis,

mydriasis, dan hemiparesis dapat terjadi.

e. Arteri carotis interna: aneurisma pada daerah ini terjadi pada 4% kasus

cerebral aneurisma. Aneurisma supraclinoid dapat menyebabkan

ophthalmoplegia sehugungan dengan kompresi nervus III atau defek lapang

pandang dan atropi optic karena kompresi N.II.Kompresi chiasma opticum

dapat menyebabkan bilateral temporal hemianopsia.Hypopituitari atau

anosmia dapat terjadi pada giant aneurysma. Efek massa aneurisma

cavernous-carotid di sinus cavernosa, menyebabkan ophthalmoplegia dan

Page 19: Vascular Disease

16

kehilangan sensorik wajah. Rupture aneurisma ini umumnya menyebabkan

carotid-cavernous fistula, PSA, atau epistaxis.

f. Arteri basilaris: merupakan aneurisma tersering pada sirkulasi posterior,

sekitar 5% kasus aneurisma. Temuan klinik biasanya berkaitan dengan PSA,

meskipun bitemporal hemianopsia atau parese okulomotorik dapat terjadi.

Dolichoectatic aneurysma dapat menyebabkan disfungsi bulbar, kesulitan

respirasi, or neurogenic pulmonary edema.

g. Arteri vertebralis atau arteri cerebellaris posterior inferior: Aneurysma pada

segmen arteri ini umumnya menyebabkan ataxia, disfungsi bulbar, dan

keterlibatan spinal.

h. Tanda lokalisasi palsu: dapat berhubungan dengan parese N.III dan

hemiparesis karena herniasi uncus, parese CN IV dengan peningkatan

tekanan intrakranial, homonymous hemianopsia disebabkan kompresi arteri

cerebri posterior sepanjang tepi tentorium, disfungsi batang otak berkaitan

dengan herniasi tonsilar dan vasospasme.

Gambar 2.3. Gambaran funduskopi mata kanan pada wanita 45 tahun dengan

perdarahan subhyaloid karena rupture aneurisma arteri cerebri media.5

Page 20: Vascular Disease

17

2.1.7. Diagnosis

Diagnosis suatu aneurisma ataupun komplikasi yang disebabkannya

mungkin memerlukan alat bantu penunjang antara lain sebagai berikut.

1. CT scan

2. CT Angiography

3. MRI / MR Angiography

4. Cerebral Angiography

5. Lumbal punksi

6. Lab

7. EEG

8. EKG

9. Alat bantu penunjang diagnosa lainnya

Kemajuan dalam teknik neuroradiologi telah banyak membantu dalam

mendiagnosis aneurisma. Metode noninvasive angiographic, seperti computed

tomographic angiography (CTA) dan magnetic resonance angiography (MRA),

memungkinkan deteksi karakteristik aneurisma  secara 3D untuk mengevaluasi

morfologi aneurisma. CT scan atau MRI juga memberikan informasi yang penting

dalam perencanaan operasi. Tetapi, perdarahan minor aneurisma tidak dapat

dideteksi dengan metode noninvasive . Dengan kombinasi beberapa diagnosa

penunjang ini maka 97% kasus dapat teridentifikasi tepat.7

Tiga teknik yang sering digunakan untuk mendiagnosis aneurisma

intracranial adalah cerebral angiography konvensional, MRI angiography,

dan helical (spiral) CT angiography.

1. CT-Scan

PSA aneurisma dapat dideteksi pada 90-95% kasus. Jika CT scan negative

dan PSA diduga maka lakukan lumbal punksi (LP). Baik nonkontras maupun

kontras CT scan harus dilakukan. Edema sekitar dan reaksi inflamasi dapat

terlihat dengan kontras setelah pemeriksaan nonkontras dilakukan.

CT scan dapat menunjukkan hematom intraparenkim atau ekstraparenkim

atau pada perdarahan subarachnoid berat dapat muncul pada sisterna basalis,

Page 21: Vascular Disease

18

fissura interhemisfer/Slyvian atau bahkan melalui konveksitas serebral.CT scan

juga dapat mendeteksi infark serebri yang terjadi kemudian karena vasospasme

atau hidrosefalus progresif.Perdarahan subarachnoid lama sulit dideteksi dengan

MRI. CT scan terkadang juga tidak dapat mendeteksi perdarahan subarachnoid

disebabkan beberapa alasan, yaitu juga darah intracranial yang terlalu sedikit, area

perdarahan seperti fossa posterior sulit untuk tergambarkan, jarak waktu

pemeriksaan CT scan dengan terjadinya PSA terlalu lama dan darah tidak terlihat

lagi. Setelah 6-10 hari perdarahan CT scan tidak dapat memperlihatkan PSA.Jika

PSA diduga terjadi namun temuan CT scan normal maka MRI dapat

mengidentifikasi perdarahan.

2. Computed Tomography Angiography (CTA)

Dewasa ini, helical CT angiography telah digunakan untuk mendeteksi

intracranial aneurysms, dan laporan awal menyebutkan tingkat kemampuan

mendeteksi alat ini sama dengan MRI angiography. keuntungan helical CT

angiography pada perencanaan operatif adalah kemampuannya untuk

memperlihatkan aneurisma pada struktur tulang dasar otak. Helical CT

angiography juga berguna untuk skrining aneurisma baru pada pasien dengan

aneurisma awal yang ditatalaksana dengan ferromagnetic clips; Klip tua ini adalah

kontraindikasi absolut untuk MRI angiography. Bagaimanapun, MRI dapat

digunakan secara aman umumnya pada pasien dengan nonferromagnetic metallic

clips. Conventional CT scanning adalah metode terpilih untuk mendeteksi

kalsifikasi di dalam dinding aneurisma. CTA dapat mendeteksi aneurisma

berukuran > 3 mm, menyediakan informasi lengkap seperti arteri asal dan lebar

leher aneurisma.CTA dapat mendeteksi lebih dari 95% aneurisma. CTA lebih baik

dibandingkan MRA karena waktu pemeriksaan yang lebih singkat, artefak yang

lebih sedikit, dan demostrasi tempat lain lebih baik. Tetapi struktur tulang dan

vena dapat menyulitkan pembacaan.

Page 22: Vascular Disease

19

3. MRI

Karena tidak memerlukan injeksi bahan kontras secara intravascular, MRI

angiography adalah diagnosa penunjang yang lebih menyenangkan bagi pasien

dan tidak beresiko. Sekarang  MRI angiography dapat mendeteksi intracranial

aneurysms dengan diameter 2 atau 3 mm tetapi pada beberapa studi menunjukkan

teknik ini paling baik untuk mendeteksi aneurisma diameter 5 mm. Kadang-

kadang beberapa aneurisma kecil dapat tidak terdeteksi dengan MRI angiography.

Meskipun teknik ini sering digunakan untuk diagnosa dan skrining

intracranialaneurysma, MRI angiography jarang digunakan untuk perencanaan

operasi.MRI standar adalah teknik yang paling baik untuk memperlihatkan

thrombus di dalam kantong aneurysmal. Meskipun jarang kadang ada beberapa

kandungan thrombus intracranial aneurysma yang tidak dapat terlihat dengan

angiography tetapi dapat terlihat dengan jelas melalui MRI.   MRA dapat

mendeteksi aneurisma ukuran 4 mm / lebih secara 3-D.

4. Angiography

Cerebral angiography konvensional merupakan pilihan utama dalam

mendiagnosa aneurisma intracranial dan lokasi anatomisnya. Lokasi, ukuran, dan

morfologi aneurisma dapat dideteksi baik pada keadaan akut maupun chronic

dengan modalitas ini. Aneurisma besar terkadang dapat terdeteksi dengan CT scan

atau MRI tetapi cerebral angiography tetap merupakan prosedur diagnostik tetap.

Arteriography serebral dapat memperlihatkan 90% kasus aneurisma. Karena

sering terdapat lebih dari satu aneurisma maka keseluruhan sistem arterial serebri

harus diperiksa. Vasospasme sering mengaburkan adanya aneurisma, karena itu

hasil arteriogram awal yang negatif harus diulang 1 atau 2 minggu kemudian.

 Beberapa resiko cerebral angiography konvensional meliputi infark

serebri, terjadinya  hematoma atau pseudoaneurisma pada tempat penyuntikan,

dan gagal ginjal. Pada kebanyakan kasus, tingkat mortalitas kurang dari 0,1 %,

dan tingkat kerusakan neurologist diperkirakan sekitara 0,5 %.

Kebanyakan komplikasi terjadi pada pasien usia tua dengan penyakit

atherosclerotic, tetapi tidak pada pasien dengan intracranial aneurysms.

Page 23: Vascular Disease

20

Bagaimanapun resiko yang berkaitan dengan angiography kadang tinggi pada

beberapa pasien intracranial aneurysms, contohnya pada pasien dengan kelainan

jaringan ikat luas seperti Ehlers–Danlossyndrome).

5. Alat Bantu Penunjang Lainnya

a. Transcranial Doppler ultrasonography: TCD membantu diagnosis

vasospasme dan monitoring lanjutan aliran darah cerebral.

b. Single-photon emission computed tomography (SPECT), positron emission

tomography (PET), xenon-CT (XeCT): Dengan pemeriksaan ini dapat

ditemukan iskemik berkaitan dengan vasospasme, meskipun modalitas ini

tidak dilakukan rutin.

c. Foto radiologik vertebra servikal: penilaian radiografik vertebra cervical

harus dilakukan pada setiap pasien coma yang tidak diketahui pasti

penyebabnya.

d. EKG: Cardiac arrhythmias dan myocardial ischemia dapat terlihat.

Aneurysmal SAH dapat berhubungan dengan beberapa perubahan ECG

meliputi puncak gelombang P, QT interval yang memanjang.

e. Echocardiography: sumber emboli cardiak, termasuk endocarditis dan

myxomas, dapat terlihat pada aneurisma infeksi atau neoplastik.

f. Evoked potentials dan EEG: pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi

kelainan kejang akibat komplikasi PSA aneurisma.

g. Lumbal punksi (LP). Jika MRI gagal atau tidak ada maka lumbal punksi

dapat dilakukan. LP dapat membantu diagnosis PSA aneurisma dengan

tanpa tanda-tanda fokal dan efek massa. Cairan serebrospinal (CSS)

biasanya dapat terlihat xantokrom atau adanya eritrosit pada CSS namun

kadang-kadang dapat terlambat dalam beberapa jam baru

muncul. Xantokrom ini dapat terlihat 12-33 hari dengan puncaknya hari ke-

23. Tekanan CSS biasanya selalu tinggi, terdapat elevasi protein dan

hipoglikemia. Awalnya proporsi leukosit dengan eritrosit seperti pada darah

tepi, lebih lanjut akan terjadi pleositosis reaktif. Sel darah merah dan

Page 24: Vascular Disease

21

xantokrom menghilang sekitar 2 minggu setelah perdarahan. Kultur dapat

menunjukkan etiologi infeksi.

h. Laboratorium

1) Hitung jenis dan trombosit: monitor adanya infeksi, anemia, dan resiko

perdarahan.

2) Prothrombin time (PT)/activated partial thromboplastin time (aPTT):

mengidentifikasi resiko perdarahan.

3) elektrolit dan osmolaritas: monitor hyponatremia, address

arrhythmogenic abnormalities, glucosa darah, dan monitor terapi

hyperosmolar untuk pengingkatan tekanan intracranial.

4) Liver function test: mengidentifikasi disfungsi hepatik yang dapat

memparah komplikasi.

5) Analisa gas darah untuk melihat kadar oksigen.

6. Skrining

Skrining untuk aneurisma intracranial asymptomatik harus dilakukan

karena PSA memiliki prognosis yang buruk, sementara penatalaksanaan

aneurisma intracranial asymptomatik berhubungan erat dengan tingkat morbiditas

(< 5 %) dan mortalitas (< 2 %).7

Skrining harus disarankan pada pasien dengan resiko tinggi terjadinya

aneurisma.Dua kelompok utama yang harus diskrining adalah mereka yang

memiliki riwayat keluarga aneurisma intrakranial dan mereka dengan penyakit

ginjal polikistik autosomal dominan² Sekitar 5 -10 % orang dewasa dengan

asimptomatik penyakit ginjal polikistik autosomal dominan memiliki kelainan

aneurisma sakular.7

2.1.8. Morbiditas dan Mortalitas Aneurisma yang Pecah

Perdarahan subarachnoid (PSA) yang disebabkan pecahnya suatu

aneurisma  memiliki resiko mortalitas yang tinggi yang secara terjadi secara

bertahap tergantung waktu. Dari pasien yang selamat pada perdarahan awal,

rebleeding dan infark serebri menjadi penyebab utama kematian. Dari hasil studi

Page 25: Vascular Disease

22

pada tahun 1960 dari 100 pasien dengan aneurismal SAH yang dirawat secara

konservatif didapatkan hasil 15 orang di antaranya meninggal sebelum mencapai

rumah sakit, 15 orang meninggal dalam 24 jam pertama di RS, 15 orang

meninggal antara 24 jam pertama-2 minggu, 15 orang meninggal antara 2

minggu-2 bulan, 15 orang lagi meninggal antara 2 bulan-2 tahun kejadian dan

hanya 25 orang yang selamat tapi dengan defisit neurologis menetap.8

2.1.9. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan suatu aneurisma meliputi hal-hal berikut.

1. Monitor tanda-tanda vital dan neurology terus menerus.

2. Jalan napas, pernapasan dan sirkulasi harus dimonitor ketat dan dilakukan

intubasi endotrakea.

3. Pilihan terapi harus didasarkan kondisi klinis pasien, anatomi vaskuler

aneurisma, dan pertimbangan teknik bedah atau endovascular.

4. PSA aneurisma harus dirawat di ICU dengan monitoring jantung.

5. Sebelum terapi definitive dilakukan maka harus dijaga agar tidak ada

hipertensi dengan pemberian calcium channel blocker, dan pencegahan

kejang.

6. Induksi hypertensi, hypervolemia, dan hemodilution ("triple-H therapy")

bertujuan untuk menjaga tekanan perfusi otak pada keadaan autoregulasi

cerebrovascular yang terganggu.

7. Intraarterial papaverine atau endovascular balloon angioplasty dapat

digunakan untuk merawat vasospasm pada beberapa pasien tertentu

8. Pada aneurisma infeksi harus dihindarkan pengunaan antikoagulan. Begitu

infeksi dapat terkontrol dengan antibiotic maka terapi bedah harus

dilakukan. Regresi atau evolusi aneurysma harus dimonitor dengan serial

angiography.

9. Penatalaksanaan aneurysma intracranial yang belum pecah masih menjadi

kontroversial. International Study of Unruptured Intracranial Aneurysms

(ISUIA) mengindikasikan bahwa tingkat kejadian rupture aneurisma ukuran

kecil sangat kecil. Aneurisma dengan ukuran < 10 mm memiliki tingkat

Page 26: Vascular Disease

23

kejadian rupture tahunan sekitar 0.05%. Penatalaksanaan profilaksisnya

meliputi teknik bedah / endovaskular.

Tujuan utama penatalaksanaan aneurisma adalah mengeluarkan kantung

aneurisma dari sirkulasi intracranial sambil menjaga arteri utama.Penatalaksanaan

aneurisma sejak lama dilakukan bidang bedah saraf tetapi sejak tahun 1990,

neuroradiologis telah menggunakan teknsik endovascular pasien dengan

intracranial aneurysma yang jumlahnya terus meningkat.Operasi merupakan terapi

definitif untuk penatalaksanaan aneurisma sakular.

1. Operasi

Penempatan klip melintasi leher aneurisma adalah terapi definitif dan

pilihan utama karena efikasi jangka panjangnya yang telah terbukti.Pada tahun

1936, Walter Dandy melakukan operasi pertama pada intracranial aneurysm

dengan meletakkan klip perak yang dibuat oleh Harvey Cushing, melintasi leher

aneurisma pada persambungan arteri carotis interna dengan arteri communicans

posterior pada pasien dengan parese N.III.5Sejak itu teknik operasi untuk

aneurisma telah berkembang pesat menggunakan teknik bedah mikro,  mikroskop

operasi, koagulasi bipolar dan klip aneurisma yang bervariasi..Tingkat keamanan

beberapa operasi aneurisma tergantung ukuran, lokasi atau konfigurasi,  dan teknik

tambahan yang sulit seperti teknik bypass vascular grafting atau hypothermic

cardiac arrest yang harus digunakan. Operasi darurat harus dilakukan pada pasien

yang menunjukkan gejala klinis karena efek massa hematomaintracerebral atau

subdural.

2. Terapi Endovascular

Terapi endovaskuler terkini melibatkan insersi kawat halus ke dalam

lumen aneurisma.5 Kemudian melalui proses elektrothrombosis, thrombus lokal

terbentuk di sekitar kawat di dalam aneurysm. Tujuan utama teknik ini adalah

obliterasi sempurna (thrombosis) kantung aneurisma. Banyak factor yang

memperngaruhi keberhasilan obliterasi tapiyang terpenting adalah rasio leher

dengan fundus aneurisma. Aneurisma dengan leher yang luas sering tidak

Page 27: Vascular Disease

24

terobliterasi sempurna. Embolisasi dengan teknik endovascular memiliki resiko

yang lebih sedikit tetapi efektifitas jangka panjangnya belum terbukti.5

Penatalaksanaan meliputi pencegahan peningkatan tekanan intracranial

seperti tirah baring total, sedatif, analgesik, laksatif, antitusif, antiemetik,

antikonvulsan. Penatalaksanaan hipertensi juga dapat menurunkan resiko

perdarahan ulang tetapi mengandung resiko infark serebri pada pasien dengan

vasospasme serebri. Antifibrinolitik seperti epsilon aminocaproic acid (EACA)

dan asam traneksamat mencegah bekuan aneurisma lisis dan karena itu mencegah

rupture kembali. Tetapi mereka juga menunda lisis bekuan sisternal dan

meningkatkan vasospasme.

Bahan-bahan vasoaktif yang terdapat pada bekuan darah sisternal meliputi

oksihemoglobin, serotonin, cathecolamine, prostaglandin, substansi P, calcitonin

gen peptide, endothelin, platelet-derived growth factor, dan peptide lainnya telah

terbukti menebabkan vasospasme. Penatalaksanaannya meliputi reserpine,

kanamycin, aminophylin, isoproterenol, prostacyclin, naloxone, lidocaine,

diprydamole, dan tromboxane synthetase inhibitor. Tetapi tidak keuntungan yang

jelas ditunjukkan oleh regimen ini. Penggunaan nimodipine dan nicardipine lebih

menjanjikan karena dapat mengurangi isnsidensi defisit iskemik persisten setelah

PSA.

Operasi yang cepat juga memungkinkan evakuasi hematoma. Sebelum

operasi pasien dijaga supaya tetap euvolemik dan diberikan nimodipine. Selama

operasi mereka mendapat manitol dan drainase CSS melalui kateter spinal.

Page 28: Vascular Disease

25

Gambar 2.4. Penatalaksanaan aneurisma intracranial menggunakan kliping atau

endovascular coil2

Keterangan:

a. Angiogram carotid lateral wanita 35- tahun menunjukkan 17-mm

supraclinoid aneurisma arteri carotis interna sebelum diterapi

b. Setelah penempatan sebuah Sundt–Kees clip

c. Angiograms anteroposterior pada wanita usia 53 tahun menunjukkan

aneurisma basilaris ukuran 13sebelum diterapi

d. Setelah penempatan 4 Guglielmi detachable coils dengan panjang total 90

cm

e. Coil yang tampak padat dapat terlihat mudah dengan foto plos kepala biasa

f. Angiogram carotid lateral wanita 35 tahun menunjukkan 17 mm

supraclinoid aneurisma arteri carotis interna sebelum diterapi

g. Setelah penempatan sebuah Sundt–Kees clip

Page 29: Vascular Disease

26

h. Angiograms anteroposterior pada wanita usia 53 tahun menunjukkan

aneurisma basilaris ukuran 13sebelum diterapi

i. Setelah penempatan 4 Guglielmi detachable coils dengan panjang total 90

cm

j. Coil yang tampak padat dapat terlihat mudah dengan foto plos kepala biasa

3. Konsultasi

Pendekatan multidisiplin harus dilakukan untuk penatalaksanaan

aneurisma meliputi:

a. Bedah saraf

b. Interventional neuroradiologis

c. Ahli saraf

d. Spesialis rehabilitasi medik

4. Diet

Pasien dengan kemungkinan operasi harus puasa. NGT harus terpasang

pada pasien penurunan kesadaran.

5. Aktivitas

a. Tirah baring total setelah PSA aneurisma.

b. Lakukan gerakan pasif.

c. Setelah tindakan bedah saraf atau endovascular dilakukan maka pasien

harus dilakukan:

1) Pemeriksaan neurologi serial

2) Hindari hypotensi atau hypertensi (tekanan arteri rata-rata [MAP] harus

berkisar antara 70-130 mm Hg)

3) Penggunaan larutan isotonik, seperti saline normal, untuk meminimalisir

cerebral edema.

4) Terapi atau profilaksis kejang

5) Terapi infeksi saluran kencing

6) Pencegahan thrombosis vena

Page 30: Vascular Disease

27

7) Profilaksis untuk ulkus gastrikum

8) Terapi fisik, okupasi dan wicara

9) CT scan ulang pada deteriorasi klinik

2.1.10. Komplikasi Perdarahan Aneurisma Subarachnoid

Komplikasi intracranial meliputi perdarahan ulang, iskemia

cerebral/infark, hydrocephalus, hematoma yang meluas, epilepsy.

1. Perdarahan Ulang

Perdarahan ulang adalah masalah utama yang mengikuti aneurismal

PSA.Dalam 28 hari pertama (pada pasien yang tidak dirawat) sekitar 30% pasien

akan menglami perdarahan ulang, sisanya 70% meninggal. Sebagai contoh, jika

pasien selamat melewati 30 hari pertama setelah perdarahan, masih ada 20%

kemungkinan perdarahan ulang terjadi dalam 5 bulan mendatang. Meskipun jika

pasien selamat melewati periode resiko tingi dalam 6 bulan pertama tetap masih

ada kemungkinan perdarahan ulang dan kematian dala satu tahun tersebut. Pada

perdarahan ulang resiko kematian meningkat 2 kali dibandingkan dengan

perdarahan awal.8

Tingkat kejadian perdarahan ulang dipengaruhi beberapa faktor seperti

identifikasi yang tepat onset perdarahan awal, identifikasi yang tepat adanya

perdarahan ulang, terapi medis dan pembedahan, kondisi neurologis pasien dan

pemberian antifibrinolitik. Laporan kumulatif tingkat perdarahan ulang selama 2

minggu pertama setelah perdarahan awal berkisar antara 17-22%.7

Setiap pasien yang mengalami penurunan kesadaran tiba-tiba memerlukan

pemeriksaan CT scan. CT scan membantu mendiagnosis perdarahan ulang dan

menyingkirkan penyebab lain deteriorisasi seperti acute hydrocephalus.

2. Iskemik / Infark Serebri

Setelah PSA, pasien memiliki resiko tinggi untuk terjadi infark/iskemik

serebri dan hal ini merupakan faktor yang berkontribusi penting pada tingkat

mortalitas dan morbiditas. Infark/ iskemik serebri dapat terjadi secara cepat atau

langsung sebagai hasil dari perdarahan, tetapi lebih sering berkembang 4-12 hari

Page 31: Vascular Disease

28

setelah onset, baik sebelum atau sesudah operasi disebut ”delayed cerebral

ischemia”. Diperkirakan sekitara 25% pasien terjadi iskemik/infark serebri dan dri

25% kelompok ini akan meninggal kemudian. Sekitar 19% yang selamat akan

cacat permanen.

Beberapa faktor kemungkinan berperan pada perkembangan

iskemia/infark serebral. Vasospasme arterial pada angiography terjadi pada > 60%

pasien setelah SAH baik focal maupun difus. Perkembangan vasospasme

menunjukkan pola yang sama terlambatnya dengna iskemik serebral. Patogenesis

terjadinya vasospasme arteri sangat kompleks. Banyak substansi vasokonstriktor

yang dilepaskan dari dinding pembuluh darah atau bekuan darah yang muncul

pada CSF setelah SAH seperti serotonin, prostaglandin, oxyhaemoglobin, tetapi

pada beberapa penelitian membuktikan bahwa antagonist vasokonstriktor telah

gagal mengembalikan penyempitan angiographic atau mengurangi insiden

iskemik. Kegagalan ini mungkin hasil perubahan arteriopathic yang telah diamati

terjadi pada dinding pembuluh darah. Hanya antagonois calcium yang muncul

yang memiliki efek menguntungkan. Semakin tinggi jumlah darah yang terlihat

pada cisterna basalis (CT scan) semakin tinggi insiden penyempitan arteri dan

defisik iskemik.

3. Hypovolemia

Hyponatremia yang berkembang setelah SAH pada banyak pasien karena

sekresi sodium renal yang berlebihan daripada efek dilusi karena sekresi ADH

yang tidak berimbang. Kehilangan cairan dan penurunan volume plasma

kemudian terjadi. Pasien ini kemungkinan pada resiko tinggi trjadinya iskemik

serebral, sehungungan dengan hasil peningkatan viskositas darah.

4. Penurunan Tekanan Perfusi Serebral

Setelah SAH, hematoma intracranial atau hydrocephalus dapat

menyebabkan peningkatan pada tekanan intrakranial. Efek klinik dari cerebral

iskemik/ infark tergantung dari daerah perdarahan arteri tersebut. Pada daerah

serebri anterior dapat menyebabkan kelemahan tungkai bawah, inkontinensia,

Page 32: Vascular Disease

29

bingung, dan akinetic mutisme. Pada daerah serebri media dapat menyebabkan

hemiparesis, hemiplegia, dysphasia (pada hemisfer dominan). Gambaran klinis

pada kedua daerah ini dapat merupakan gambaran kelainan klinik sebagai hasil

perluasan kelainan pada arteri carotis dengnan edema hemisfer.

Umumnya iskemik terjadi pada berbagai area, seringnya pada kedua

hemisfer. Ini berhubungan dengan pola spasme arterial.

Transcranial Doppler : peningkatan signifikan dari kecepatan velositas di

dalam pembuluh darah dapat mengindikasikan terjadinya vasospasme meskipun

gambaran klinik belum berkembang, dan memungkinkan deteksi awal kelainan ini

untuk pencegahan kerusakan lebih lanjut.

5. Hydrocephalus

Setelah SAH, aliran cairan serebrospinal (CSF) dapat terganggu oleh:

a. bekuan darah pada cisterna basalis (communicating hydrocephalus)

b. obstruksi pada villi arachnoidalis(communicating hydrocephalus)

c. bekuan darah di dalam sistem ventrikular (obstruktif hydrocephalus)

Hidrosefalus akut terjadi pada sekitar 20% pasien, biasanya pada beberapa

hari pertama setelah onset, biasanya merupkan komplikasi lanjut. Hanya 1/3

pasien yang menunjukkan gejala sakit kepala, tingkat kesadaran yang terganggu,

inkontinensia, atau gait ataksia berat. Lebih lanjut lagi sekitar 10% pasien

hidrosefalusnya berkembang terlambat yaitu bulanan atau bahkan tahunan setelah

perdarahan.

6. Hematoma Intracranial yang Meluas

Pembengkakan otak di sekitar hematoma intracerebral dapat menyebabkan

efek massa dari hematoma. Ini dapat menyebabkan deteriorasi progresif pada

tingkat kesadaran atau progresi tanda fokal.

Page 33: Vascular Disease

30

7. Epilepsi

Epilepsi dapat terjadi pada stadium manapun setelah SAH, khusunya jika

hematoma menyebabkan kerusakan cortikal. Kejang dapat umum maupun parsial

(focal)

Komplikasi ekstracranial meliputi infark miokard, cardiac arritmia, oedem

pulmoner, perdarahan lambung (stress ulcer).

1. Infark myocard/aritmia cordis: EKG dan patologis myocardium sering

ditemukan setelah SAH, dan fibrilasi ventrikel sering terdeteksi. Kelainan ini

dapat muncul sekunder dari pelepasan cathecolamin setelah kerusakan

iskemik hypothalamus.

2. Edema pulmoner: biasanya terjadi stelah SAH, kemungkinan sebagai hasil

gangguan simpatetik masif.

3. Perdarahan lambung: perdarahan dari erosi gastric biasanya terjadi setelah

SAH tetapi jarang mengancam jiwa.

2.1.11. Penanganan Aneurisma Pasca Perdarahan Subarachnoid

Nyeri kepala memerlukan analgetik kuat seperti codein atau

dihydrocodeine. Analgesik yang lebih kuat dapat menekan tingkat kesadaran dan

menutupi deteriosasi neurologis. Penanganan lebih ditujukan untuk pencegahan

komplikasi.

1. Pencegahan Perdarahan

a. Tirah baring (bed rest)

b. Antifibrinolytic agents : asam traneksamat, epsilon aminocaproic acid.

Obat-obatan ini telah digunakan bertahun-tahun untuk mencegah perdarahan

ulang dengan memperlambat disolusi bekuan darah sekitar fundus

aneurysma. Antifibrinolytic mengurangi resiko perdarahan ulang sampai

50%.

c. Operasi

Kliping leher aneurysma adalah salah satu cara mencegah perdarahan ulang

tetapi teknik ini tidak selalu mungkin bisa dilakukan dan metode lain

Page 34: Vascular Disease

31

kadang digunakan. Waktu untuk memulai operasi masih merupakan hal

yang kontroversial sampai sekarang.

Metode perbaikan aneurysma adalah sebagai berikut.

1) Kliping langsung leher aneurysma adalah metode terbaik untuk

penanganan dan mencegah ruptur aneurysma lebih lanjut; klip aneurysma

jarang lepas setelah pemasangan. Diseksi secara hati-hati jaringan

arachnoid sekitar leher aneurysma memunkginkan pemasangan klip

secara akurat.

2) Ballon embolisation : Pengembangan balon yang dimasukkan melalui

cateter angiographyc khusus ke dalam kantong aneurysma jarang

berhasil. Teknik ini berisiko menyebabkan aneurysma tiba-tiba pecah

atau menyebabkan lepasnya fragmen balon ke sirkulasi distal

menyebabkan stroke emboli.

3) Coil embolisation : Dalam tahun-tahun terakhir, radiologis telah berhasil

memasukkan coil helical platinum single / multiple ke dalam aneurysma

untuk menginduksi thrombosisi. Meskipun hal ini masih dalam tahap

percobaan tetapi hasil teknik ini menjanjikan.Sebuah kateter penuntun

dimasukkan melalui leher aneurysma. Coil dilekatkan pada ujung kawat

penghantar dimasukkan melalui kateter kedalam fundus

aneurysma.Setelah penempatan tepat maka aliran listrik tertentu dapat

melepaskan elektrokimia dari kawat penghantar. Komplikasi masih dapat

terjadi selama prosedur dan jika fundus tidak terobliterasi sempurna

maka perdarahan ulang dapat terjadi. Semakin luas leher aneurysma dan

semakin besar ukurannya maka semakin kecil kemungkinan menghasilka

obliterasi sempurna.

4) Trapping : mengklip bagian proksimal dan distal pembuluh darah adalah

satu-satunya cara pengangan pada beberapa aneurysma seperti giant dan

intracavernosa aneurysma. Ini mencegah perdarahan ulang tetapi

memiliki resiko tinggi menghasilkan defisit iskemik. Prosedur bypass :

anastomosis  arteri temporalis superficialis dengan arteri cerebri media

sebelum trapping dapat meminimalisir komplikasi tersebut.

Page 35: Vascular Disease

32

5) Proksimal occlusion-ligasi carotis communis. : teknik ini digunakan

untuk aneurysma yang muncul langsung dari arteri carotis diaman kliping

telah gagal atau tidak mungkin dilakukan seperti pada aneurysma

intracavernosa atau aneurysma arteri opthalmica raksasa. Kebanyakan

pasien dapat bertoleransi baik denganoklusi ateri carotid communis;

sirkulasi kolateral melalui sirkulus Willisi dan mungkin dari aliran balik

pada ateri carotis eksterna biasanya menyediakan aliran darah hemisfer

yang cukup untuk mencegah komplikasi emik. Oklusi balon pada arteri

carotis intera adalah salah satu teknik alternatif. Penelitian mengenai

aliran darah cerebral selama oklusi temporal atau oklusi sementara

dibawah anestesi lokal dapat mempresikdsi pasien yang gagal

bertoleransi dengan teknik ini tetapi metode ini sulit dan defisit iskemik

lanjut sering terjadi. Ligasi carotis mencegah pasien dari perdarahan

ulang pada periode resiko tinggi.

Para ahli menyatakan bahwa operasi yang dilakukan pada hari pertama

atau kedua perdarahan mengandung resiko tinggi.8 Tingkat mortalitas operasi

menurun ketika operasi ditunda beberapa minggu. Semakin lama ditunda semakin

baik hasilnya tetapi semakin lama ditunda semakin besar kemungkinan kematian

karena perdarahan ulang.

Kondisi klinik pasien juga memegang peranan penting, semakin berat

kondisi klinik pasien maka semakin jelek hasil akhirnya. Sebagai hasilnya ahli

bedah sering mempertimbangkan periode pelambatan optimal untuk operasi

sekitar 6-14 hari sejak perdarahan, waktu yang pasti tergantung kondisi klinis

pasien.

Pada tahun-tahun terakhir dengan semakin majunya teknik anestesi dan

operasi, maka operasi awal dalam beberapa hari dapat dilakukan. Kebanyakan ahli

bedah sekarang menyarankan operasi dalam 3 hari memungkinkan jika pasien

dalam grade I atau II. Resiko tambahan yang muncul kecil dan lebih

menguntungkan karena dapat mencegah perdarahan ulang. Begitu aneurysma

diklip, maka metode agresif untuk merawat iskemik dapat menginduksi hipertensi

Page 36: Vascular Disease

33

dapat dilakukan. Waktu optimal untuk operasi pada pasien yang kondisinya jelek

dan berada pada grade jelek tetap menjadi kontroversi dan memerlukan penelitian

lebih lanjut.

          

2. Pencegahan Iskemik/Infark Cerebri

Iskemik cerebral masih merupakan penyebab utama morbiditas dan

mortalitas setelah perdarahan subarachnoid.

a. Calcium antagonis : Nimodipine telah terbukti meningkatkan hasil akhir

perwatan dan mengurangi deficit neurologist jika diberikan pada 21 hari

pertama setelah PSA terjadi. Beberapa penelitian menyatakan bahwa

Nimodipine dan Nicardipine keduanya dapat mengurangi 1/3 insidensi

infark cerebri dan meningkatkan hasil akhir. Mekanismenya melalui

peningkatan sirkulasi kolateral dengan mengurangi efek berbahaya dari

peningkatan kalsium ke dalam sel-sel otak dengan mengurangi vasospasme.7

b. Menghindari terapi antihipertensi : Terapi antihipertensi dulu digunakan

luas setelah SAH untuk mengurangi reactive hipertensi dan secara teoritis

mengurangi resiko perdarahan ulang. Pada seseorang yang normal saat

terjadi penurunan tekanan darah maka akan terjadi vasodilatasi cerebral

untuk mempertahankan aliran cerebral (autoregulasi). Setelah SAH,

autoregulasi ini sering terganggu, penurunan tekanan darah menyebabkan

pengurangan aliran darah otak dengan resiko iskemik yang tinggi. Beberapa

bukti menyebutkan bahwa pasien dengan SAH yang menggunakan obat-

obat antihipertensi memiliki resiko signifikan untuk terjadinya infark.8

c. Mencegah hypovolemia dengan intake cairan yang tinggi : maintenance

pemasukan cairan yang banyak (3 liter per hari) dapat membantu mencegah

penurunan volume plasma yang disebabkan oleh kehilangan sodium dan

cairan. Jika hiponatremia terjadi jangan membatasi cairan, hal ini secara

signifikan meningkatkan infark serebri. Jika level sodium di bawah 130

mmol/L berikan fludorocortisone atau saline hipertonik.

d. Peningkatan volume plasma : peningkatan volume plasma dengan koloid

seperti protein plasma, dekstran 70, Haemacel dapat meningkatkan tekanan

Page 37: Vascular Disease

34

darah dan meningkatkan aliran darah otak. Ini harus diberikan sebagai

profilaksis pada pasien dengan resiko tinggi (kelebihan berat darah sisternal

dengna CT scan atau Doppler velositas tinggi) atau pada tanda klinis awal

iskemik.

Jika terdapat bukti klinik bahwa iskemik berkembang walaupun telah

diterapi dengan cara ini maka dapat dikombinasi dengan.

a. Terapi hipertensi : perawatan dengan agen inotropik seperti dobutamine

meningkatkan cardiac output dan tekanan darah. Sejak autoregulasi otak

gagal setelah PSA, meningkatkan tekanan  darah dapat  meningkatkan aliran

darah otak. Sampai 70% desifit neurologis karena iskemik yang terjadi

setelah operasi aneurysma dapat diturunkan dengan menginduksi hipertensi

sampai tingkat kritis tekanan darah.8 Pengenalan dini dan penatalaksanaan

defisit neurologis dapat mencegah progresi iskemik menjadi infark.

Penatalaksanaan yang terlambat dapat memicu edema vasogenik pada

daerah iskemik.

b. Neuroprotektor : beberapa neuroprotektor baru ( selain antagonis calcium)

sekarang sedang dalam penelitian pada pasien dengan PSA tetapi kegunaan

mereka masih belum diketahui.

3. Hidrosefalus

Hidrosefalus menyebabkan deteriosasi akut memerlukan drainase cairan

serebrospinal (CSS) yang darurat dengan kateter ventrikuler (lumbal punksi

sementara dapat memguntungkan sementara). Deteriosasi bertahap atau kegagalan

yang meningkat mengindikasikan drainase CSS permanen dengan

ventriculoperitoneal atau lumboperitoneal shunt.

4. Perluasan Hematom Intracerebral

Page 38: Vascular Disease

35

Hematoma intraserebral yang berasal dari ruptur aneurysma tidak

memerlukan penatalaksanaan spesifik kecuali efek massa menyebabkan

deteriosasi tingkat kesadaran. Ini memerlukan angiography darurat diikuti

pengeluaran hematom dengan atau tanpa kliping simultan, dibawah kondisi ini

mortalitas operasi sangat tinggi.

2.1.12. Prognosis

Prognosis suatu aneurisma tergantung dari:10

1. Usia

2. Status neurologikus dalam perawatan

3. Lokasi aneurisma

4. Selang waktu antara awal kejadian perdarahan subarachnoid dengan

penatalaksanaan medis

5. Adanya hipertensi dan penyakit lain

6. Tingkat vasospasme

7. Adanya perdarahan ulang atau tidak

8. Tingkat perdarahan subarachnoid

9. Adanya perdarahan intraventrikular atau intraparenkimal

Pasien dengan status klinis grade I (sakit kepala ringan atau meningismus

ringan), II (sakit kepala berat, meningismus, atau neuropati kranial), III (letargi,

bingung, atau tanda neurologik fokal) memiliki prognosa yang lebih baik

dibandingkan dengan pasien grade IV (penurunan kesadaran yang buruk) danV

(koma dengan flaksiditas atau postur tubuh abnormal). Pasien grade IV dan V

memiliki kecenderungan hasil yang buruk meskipun mereka mendapat perawatan

apapun². Tingkat mortalitas operatif sendiri berkisar antara 8-45% tergantung

kondisi klinis dan waktu pasien.8

2.2. Arteriovenous Malformation

Page 39: Vascular Disease

36

2.2.1.Definisi

Arteriovenous Malformation (AVMs) adalah lesi kongenital yang terdiri

dari jalinan kompleks arteri dan vena yang dihubungkan oleh satu atau lebih

fistula. Hal ini paling sering terjadi pada dewasa muda, dengan morbiditas dan

kematian yang terjadi masing-masing pada 30-50% dan 10-15% pasien.11

2.2.2.Epidemiologi

Tingkat deteksi dilaporkan berkisar antara 0.89 dan 1.24 per 100.000

orang-tahun menurut laporan dari Australia, Swedia, dan Skotlandia. Prevalensi

AVMs otak di Skotlandia telah diperkirakan 18 per 100.000 orang-tahun.

Meskipun 300.000 orang di Amerika Serikat mungkin menderita AVMs,

hanya 12% dari AVMs diperkirakan menimbulkan gejala. Kematian terjadi pada

10-15% dari pasien yang memiliki perdarahan, dan morbiditas dari berbagai

tingkat terjadi pada sekitar 30-50%. Dalam studi berbasis populasi, 38-70% dari

AVMs otak muncul awalnya dengan perdarahan. Risiko keseluruhan perdarahan

intrakranial pada pasien yang dikenal AVM adalah 2-4% per tahun. Pasien dengan

pendarahan mempunyai peningkatan risiko untuk perdarahan ulang, terutama

selama tahun pertama setelah perdarahan awal (tingkat perdarahan berulang dalam

waktu 12 bulan setelah perdarahan awal pasien dengan perdarahan presentasi 7-

33%; pasien dengan presentasi nonhemorrhagic 0-3%).11,12

2.2.3.Etiologi

Tidak ada faktor risiko genetik, demografi, atau lingkungan untuk cerebral

AVM telah diidentifikasi dengan jelas.

Dalam sebagian kecil kasus, AVMs serebral berhubungan dengan kelainan

bawaan lainnya, seperti sindrom Osler-Weber-Rendu (yaitu, hemoragik herediter

telangiectasia), penyakit Sturge-Weber, neurofibromatosis, sindrom von Hippel

dan-Lindau.

2.2.4.Patofisiologi

Page 40: Vascular Disease

37

AVMs adalah lesi kongenital yang terdiri dari jalinan kompleks arteri dan

vena yang dihubungkan oleh satu atau lebih fistula. Kumpulan pembuluh darah

disebut nidus. Nidus tidak memiliki capillary bed.13 Arteri kekurangan lapisan

muskularis. Saluran Vena sering melebar karena kecepatan tinggi aliran darah

melalui fistula tersebut. Bagaimana pembuluh yang abnormal muncul atau kapan

tepatnya proses dimulai tidak diketahui.

AVMs menyebabkan disfungsi neurologis melalui 3 mekanisme utama.14

Pertama, perdarahan dapat terjadi dalam ruang subarachnoid, atau ruang

intraventrikular, paling sering, parenkim otak. Kedua, dengan tidak adanya

perdarahan, kejang dapat terjadi sebagai akibat dari AVM: sekitar 15-40% dari

pasien datang dengan gangguan kejang. Akhirnya, tapi jarang, defisit neurologis

yang progresif dapat terjadi pada 6-12% dari pasien selama beberapa bulan

sampai beberapa tahun.

2.2.5.Diagnosis Banding

1. Amyloid Angiopathy

2. Anterior Circulation Stroke

3. Cardioembolic Stroke

4. Cavernous Sinus Syndromes

5. Cerebral Aneurysms

6. Cerebral Venous Thrombosis

7. Chronic Paroxysmal Hemicrania

8. Cluster Headache

9. Dissection Syndromes

10. Fibromuscular Dysplasia

11. Headache: Pediatric Perspective

12. Intracranial Hemorrhage

13. Migraine Headache

14. Migraine Headache: Neuro-Ophthalmic Perspective

15. Migraine Headache: Pediatric Perspective

16. Migraine Variants

Page 41: Vascular Disease

38

17. Moyamoya Disease

18. Posterior Cerebral Artery Stroke

19. Subarachnoid Hemorrhage

20. Vein of Galen Malformation

2.2.6.Diagnosis

1. Radiologi

a. CT Scan

CT scan dengan mudah mengidentifikasi perdarahan intraserebral,

menimbulkan kecurigaan dari AVM pada orang yang lebih muda atau

pasien tanpa faktor risiko yang jelas untuk perdarahan. CT scan hanya dapat

mengidentifikasi AVMs besar.

b. MRI

MRI sangat penting untuk diagnosis awal AVMs. AVMs muncul sebagai

massa tidak teratur atau globoid dimana saja dalam belahan atau batang

otak, seperti yang ditunjukkan pada gambar di bawah.

Gambar 2.5. Axial T2 MRI menunjukkan malformasi arteriovenosa dengan

perdarahan, di wilayah arteri serebral posterior kiri.

Page 42: Vascular Disease

39

Gambar 2.6. T1 aksial MRI menunjukkan malformasi arteriovenous subkortikal

kecil di lobus frontal kanan.

Gambar 2.7. T2 MRI koronal menunjukkan malformasi arteriovenous di kiri lobus

temporal medial.

c. MRA

Magnetic resonance angiography (MRA) dapat mengidentifikasi AVMs lebih

besar dari 1 cm, seperti pada gambar di bawah, tetapi tidak memadai untuk

menggambarkan morfologi feeding arteri dan draining vena; aneurisma kecil

dapat terjawab dengan mudah.

Page 43: Vascular Disease

40

Gambar 2.8. Magnetic resonance angiography menunjukkan malformasi medial

temporal yang arteriovenosa kiri.

d. Cerebral angiography

Angiogram, ditunjukkan di bawah ini, diperlukan untuk penilaian

hemodinamik, yang penting untuk perencanaan perawatan.

Gambar 2.9. Angiogram (lihat anteroposterior) menunjukkan malformasi

arteriovenous di wilayah arteri dalam otak kiri tengah berukuran sekitar 3 cm,

dengan deep draining vein (panah).

Page 44: Vascular Disease

41

2.2.7.Penatalaksanaan

1. Medikamentosa

a. Antikonvulsan

b. Tatalaksana nyeri kepala (headache management)

2. Bedah

2.3. Spontaneous ICH

2.3.1.Definisi

Perdarahan intracerebral nontraumatik adalah perdarahan ke dalam

parenkim otak yang mungkin dapat meluas ke dalam ventrikel dan pada kasus

yang jarang dapat juga pada ruang subarachnoid.3

2.3.2.Epidemiologi

Perdarahan intracerebral merupakan 10 sampai 15% dari seluruh kasus

stroke dan dihubungkan dengan meningkatnya tingkat kematian dengan hanya

38% pasien yg dapat bertahan dalam satu tahun pertama. Perdarahan intracerebral

primer terdiri dari 78 sampai 88 % kasus, berasal dari ruptur spontan dari

pembuluh darah kecil yang rusak akibat hipertensi kronik dan angiopathy

amiloid.3

Di seluruh dunia insiden perdarahan intracerebral berkisar 10 sampai 20

kasus per 100.000 penduduk dan meningkat seiring dengan usia. Perdarahan

intracerebral lebih sering terjadi pada pria daripada wanita, terutama yang lebih

tua dari 55 tahun, dan dalam populasi tertentu, termasuk orang kulit hitam dan

Jepang. Selama periode 20 tahun studi the National Health and Nutrition

Examination Survey Epidemiologic menunjukkan insiden perdarahan

intracerebral antara orang kulit hitam adalah 50 per 100.000, dua kali insiden

orang kulit putih. Perbedaan dalam prevalensi hipertensi dan tingkat pendidikan

berhubungan dengan perbedaan resiko. Peningkatan resiko terkait dengan tingkat

pendidikan yang lebih rendah mungkin terkait dengan kurangnya kesadaran akan

pencegahan primer dan akses ke perawatan kesehatan. Insiden perdarahan

intracerebral di Jepang yaitu 55 per 100.000 jumlah ini sama dengan orang kulit

Page 45: Vascular Disease

42

hitam. Tingginya prevalensi hipertensi dan pengguna alcohol pada populasi

Jepang dikaitkan dengan insiden. Rendahnya observasi kadar kolesterol serum

pada populasi ini juga dapat meningkatkan resiko perdarahan intracerebral.3

2.3.3.Faktor Risiko

Hipertensi merupakan faktor risiko terpenting untuk perdarahan

intracerebral spontan. Hipertensi meningkatkan risiko perdarahan intracerebral,

terutama pada orang yang tidak mendapatkan obat-obatan antihipertensi yang

sesuai, usia 55 tahun atau lebih muda, atau perokok. Peningkatan kontrol terhadap

hipertensi mengurangi insiden dari perdarahan intracerebral. Dalam deteksi

hipertensi dan tindak lanjut program, orang-orang dengan hipertensi

(didefinisikan sebagai tekanan darah diastolik minimal 95 mm Hg) berusia 30

sampai 69 tahun dan yang menerima terapi antihipertensi standar mempunyai

risiko stroke (termasuk pendarahan intracerebral) dari 1,9%, dibandingkan dengan

risiko 2,9 % orang pada mereka yang tidak mendapatkan terapi. Pendekatan ini

dikaitkan dengan pengurangan risiko absolut dari 46 % pada orang berusia 65

tahun atau lebih. Hipertensi sistolik pada lansia, merupakan penyebab dari semua

stroke, termasuk perdarahan intracerebral pada pasien yang lebih tua dari 60 tahun

yang memiliki tekanan darah sistolik minimal 160 mm Hg. 5,2% dengan terapi

antihipertensi dan 8,2% diobati dengan plasebo.15

Konsumsi alkohol yang berlebihan juga meningkatkan resiko perdarahan

intracerebral dengan mempengaruhi koagulasi dan secara langsung mempengaruhi

integritas pembuluh darah otak. Faktor resiko lain yaitu kadar kolesterol serum

kurang dari 160 mg perdesiliter (4,1 mmol per liter) khususnya pada pasien

dengan hipertensi dan faktor genetic seperti mutasi pada gen encoding subunit

factor XIII (yang terlibat dalam pembentukan fibrin cross-linked). Angiopathy

Cerebral amyloid, yang dicirikan oleh pengendapan protein b-amyloid di

pembuluh darah korteks serebral dan leptomeninges, merupakan faktor risiko

untuk perdarahan intracerebral, terutama pada orang lanjut usia (Gambar 2.10).

O'Donnell et al. melaporkan bahwa kehadiran e 4 alel e 2 dan E gen

apolipoprotein dikaitkan dengan tiga kali lipat risiko perdarahan berulang di

Page 46: Vascular Disease

43

antara pasien yang selamat dari perdarahan intracerebral lobar terkait dengan

angiopathy amiloid. Alel ini berhubungan dengan peningkatan deposit dari protein

β amiloid dan perubahan degeneratif (seperti nekrosis fibrinoid) di dinding

pembuluh darah. Ekspresi kedua alel tampaknya meningkatkan resiko perdarahan

intracerebral dengan meningkatkan efek deposit amyloid vasculopathic di

pembuluh otak.15

Gambar 2.10. Spesimen dari Matriks Hematoma (Amyloid Angiopathy)

2.3.4.Patofisiologi

Perdarahan intracerebral biasanya terjadi pada lobus serebral, ganglia

basal, thalamus, batang otak (terutama pons) dan cerebellum (Gambar 2.11).

Perluasan kedalam vetrikel dihubungkan dengan kedalaman dan luas hematom.

Edema parenkim sering mengalami perubahan warna disebabkan oleh pemecahan

hemoglobin yang terlihat dekat dengan bekuan darah. Pada pemeriksaan histologi

tampak adanya edema, kerusakan saraf, makrofag dan neutrofil di wilayah sekitar

hematoma.3

a. Asal hematom

Page 47: Vascular Disease

44

Perdarahan intraparenkim berasal dari penetrasi akibat rupturnya arteri

basiler,atau arteri cerebri anterior, media atau posterior. Perubahan degeneratif

pada pembuluh darah disebabkan oleh hipertensi kronis yang mengurangi

compliance dan meningkatkan kemungkinan ruptur spontan.3

Gambar 2.11. Sumber dan Lokasi Perdarahan Paling Sering pada Perdarahan

Intraserebral

b. Perkembangan hematom

Awalnya, perdarahan intracerebral dianggap sebagai peristiwa

monophasic yang berhenti dengan cepat sebagai hasil dari pembekuan dan

tamponade oleh daerah sekitarnya. Kesan ini tidak benar, seperti yang

ditunjukkan oleh computed tomography (CT) scan menunjukkan bahwa

hematoma berkembang dari waktu ke waktu (Gambar 2.12). Dalam sebuah

penelitian terhadap 103 pasien, Brott et al. Menemukan bahwa hematoma

diperluas dalam 26 % pasien dalam waktu 1 jam setelah awal CT scan dan di

12% dalam waktu 20 jam. Kazui et al melaporkan terdapat perluasan

hematoma pada 41 pasien dari 204 pasien (20%) dengan perdarahan

Page 48: Vascular Disease

45

intracerebral, terjadi pada 36 % pasien dalam waktu tiga jam setelah onset

perdarahan dan 11% dari mereka yang memiliki onset lebih dari tiga jam.

Perluasan ini disebabkan pendarahan lanjutan dari sumber utama dan gangguan

mekanik pembuluh darah sekitarnya. Hipertensi akut, defisit koagulasi lokal,

atau keduanya dapat berhubungan dengan perluasan hematoma.3

Gambar 2.12. Perluasan Hematoma

c. Kerusakan Neuron Sekunder Setelah Perdarahan Intracerebral

Adanya hematom menyebabkan terjadinya edema dan kerusakan

neuron di sekitar parenkim. Cairan mulai mengumpul dengan cepat di daerah

sekitar hematom, dan edema biasanya berlangsung selama lima hari, meskipun

telah diamati selama dua minggu setelah stroke. Edema awal disekitar

hematom merupakan hasil dari pelepasan dan pengumpulan osmotic aktif

protein serum dari bekuan darah. Selanjutnya akan terbentuk edema vasogenik

dan edema sitotoksik karena kerusakan sawar darah otak, kegagalan pompa

natrium dan kematian neuron. Penghambat rusaknya sawar darah otak dan

perluasan edema cerebri setelah perdarahan intracerebral mungkin dikarenakan

adanya mediator sekunder dari cedera neurologis dan edema. Diperkirakan

Page 49: Vascular Disease

46

bahwa iskemia otak terjadi sebagai akibat dari kompresi mekanis di daerah

sekitar hematoma, namun studi terbaru pada hewan dan manusia belum

mengkonfirmasi hal ini. Darah dan plasma memediasi proses sekunder yang

dimulai setelah perdarahan intracerebral. kematian neuronal di wilayah sekitar

hematoma terutama nekrotik, dengan bukti baru-baru ini, menunjukkan adanya

kematian sel (apoptosis) yang berhubungan dengan ekspresi factor nuklear β

dalam inti sel-sel saraf.3

2.3.5.Gejala Klinis

1. Status Neurologis

Pasien dengan hematoma luas biasanya memiliki penurunan kesadaran

dikarenakan tekanan intracranial yang meningkat dan kompresi langsung atau

distorsi dari thalamus dan batang otak. Penurunan pusat reseptor benzodiazepine

pada neuron kortikal juga dapat mempengaruhi kesadaran. Pasien dengan

pendarahan intracerebral supratentorial yang melibatkan putamen, dan caudatus

memiliki defisit motorik dan sensorik kontralateral dengan tingkat keparahan

yang berbeda karena keterlibatan kapsul interna. Kelainan yang menunjukkan

disfungsi korteks yang lebih tinggi, termasuk aphasia, penyempitan lapangan

pandang, dan hemianopia, dapat terjadi sebagai akibat dari terganggunya serat-

serat penghubung di subkorteks, dan adanya supresi pada korteks yang dikenal

sebagai diaschisis.3

Pada pasien dengan perdarahan intracerebral infratentorial, terdapat tanda-

tanda disfungsi batang otak termasuk gangguan penglihatan, gangguan nervus

cranialis, dan defisit motorik kontralateral. Ataksia, nistagmus, dan dismetria,

tampak jelas jika perdarahan intracerebral mengenai cerebellum. Gejala umum

spesifik seperti sakit kepala, muntah biasanya dikarenakan tekanan intracranial

yang meningkat dan meningismus disebabkan darah yang berada di ventrikel.3

2. Kerusakan Sekunder

Dalam seperempat pasien dengan perdarahan intracerebral yang awalnya

sadar, penurunan tingkat kesadaran terjadi dalam 24 jam pertama setelah onset

Page 50: Vascular Disease

47

perdarahan. Adanya hematom yang besar dan darah di ventrikel meningkatkan

resiko kerusakan lebih lanjut dan kematian. Perluasan hematoma adalah penyebab

paling umum dari gangguan neurologis yang mendasar dalam tiga jam pertama

setelah onset perdarahan. Memburuknya edema serebral juga berpengaruh

terhadap kerusakan neurologis yang terjadi dalam 24 hingga 48 jam setelah onset

perdarahan. Deteorisasi juga dihubungkan dengan perkembangan dari edema

selama minggu kedua dan ketiga setelah onset.3

3. Outcome (Hasil)

Tingkat mortalitas 6 bulan setelah perdarahan intracerebral spontan adalah

sekitar 23%-58%. Skor GCS (Glasgow Coma Scale) yang rendah, volume

hematom yang besar, dan adanya darah di ventrikel pada awal CT-Scan

merupakan faktor yang konsisten diidentifikasi sebagai prediksi dari angka

kematian yang tinggi. Broderick et al. menemukan bahwa tingkat kematian dalam

satu bulan yang terbaik diprediksi dengan menentukan nilai awal pada Glasgow

Coma Scale dan volume awal hematoma. Dalam studi mereka, pasien yang pada

awalnya memiliki skor Glasgow Coma Scale kurang dari 9 dan volume hematoma

lebih dari 60 ml memiliki angka kematian sebesar 90 % dalam satu bulan,

sedangkan pasien dengan skor 9 atau lebih dan volume hematom kurang dari 30

ml memiliki angka kematian sebesar 17%.15

2.3.6.Diagnosis

Meskipun onset yang cepat dan tingkat gangguan penurunan kesadaran

mengarah pada diagnosis perdarahan intracerebral (Gambar 2.13), namun untuk

membedakan antara infark serebral dan perdarahan intracerebral membutuhkan

pencitraan otak. Pada awal CT-Scan lokasi dan ukuran dari hematom, darah pada

ventrikel dan terjadinya hidrosefalus harus diperhatikan. Beberapa pasien harus

menjalani angiografi konvensional untuk mencari penyebab sekunder perdarahan

intracerebral, seperti aneurisma, malformasi arteriovena dan vaskulitis. Zhu et al.

melaporkan terdapat kelainan pada angiografi pada 49% pasien dengan

perdarahan lobar dan 65% pada pasien dengan perdarahan intraventricular

Page 51: Vascular Disease

48

terisolasi. Para penulis ini juga melaporkan bahwa 48 % pasien dengan tekanan

darah normal dan dibawah usia 45 tahun memiliki kelainan pada angiografi,

sedangkan pasien hipertensi yang lebih tua dari 45 tahun tidak memiliki kelainan

vascular yang mendasari.15

Atas dasar bukti ini, pasien dengan perdarahan lobar atau perdarahan

intraventricular primer harus menjalani angiografi tanpa memandang usia atau ada

atau tidak adanya riwayat hipertensi. Pasien dengan perdarahan cerebral, putamen

atau thalamus harus menjalani angiografi jika merka memiliki tekanan darah

normal dan usia 45 tahun atau dibawah 45 tahun. AHA merekomendasikan

angiografi untuk semua pasien perdarahan tanpa sebab yang jelas yang

mempunyai indikasi untuk operasi, terutama pasien muda tanpa hipertensi yang

kondisi klinisnya stabil. Waktu untuk melakukan angiografi konvensional

tergantung pada kondisi klinis pasien dan waktu pembedahan. Magnetic

Resonance Imaging dengan gadolinium sebagai media kontras dan angiografi

resonansi magnetik juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi penyebab

sekunder dari perdarahan intracerebral, walaupun sensitivitas mereka tidak baik.

Angiography konvensional juga harus dipertimbangkan pada pasien yang

memiliki bekuan darah pada subarachnoid yang berhubungan dengan parenkim

dan pada pasien yang mengalami perdarahan berulang. Pada pasien yang awalnya

tidak ditemukan kelainan pada pencitraan, tetapi memiliki kemungkinan tinggi

untuk terjadinya perdarahan intracerebral sekunder pada temuan klinis, angiografi

dapat diulang dua sampai empat minggu setelah perbaikan dari hematom, ketika

kelaianan vaskular dapat terlihat.15

2.3.7.Penatalaksanaan

1. Evaluasi dan Manajemen di Ruang Gawat Darurat

Tantangan utama bagi dokter di ruang darurat adalah ketika untuk intubasi

pasien. Intubasi awal dengan mengunakan anestesi jangka pendek penting pada

pasien dengan penuunan kesadaran atau pada pasien dengan gangguan reflex pada

jalan napas. Keterlambatan dalam perlindungan jalan napas dapat menyebabakan

aspirasi, hipoksemia dan hypercapnia. Adanya deteriosasi (penurunan fungsi)

Page 52: Vascular Disease

49

secara cepat, tanda-tanda klinis herniasi transtentorial atau hidrosefalus pada CT-

Scan harus dikonsultasikan kepada Bedah saraf secepat mungkin. Penggunaan

hiperventilasi dan manitol intravena dan penempatan kateter intraventricular

untuk drainase cairan serebrospinal dapat melindungi struktur otak dari kerusakan

mekanis dan iskemia sampai dekompresi bedah dapat dilakukan. Akhirnya,

mengingat ketersediaan terapi trombolitik, diferensiasi awal antara infark serebral

dan perdarahan intracerebral oleh CT scan sangat penting untuk pengelolaan

stroke akut.16

2. Pemantauan Intensif Status Neurologis dan Kardiovaskular

Risiko kerusakan neurologis dan ketidakstabilan kardiovaskular adalah

yang tertingi selama 24 jam pertama setelah onset perdarahan intracerebral.

Sekitar 30 % pasien dengan pendarahan intracerebral supratentorial dan hampir

semua pasien dengan perdarahan batang otak atau cerebellum mengalami

penurunan kesadaran dan memerlukan intubasi. Oleh karena itu, kami

merekomendasikan untuk memantau semua pasien di unit perawatan intensif

khusus sekurang-kurangnya 24 jam setelah kejadian klinis. Status neurologis

pasien harus dievaluasi setiap jam dengan menggunakan evaluasi standar dan

Glasgow Coma Scale. Tekanan darah dapat dimonitor secara memadai dengan

menggunakan manset otomatis, sedangkan pemantauan tekanan darah sistemik

secara berkesinambungan harus dipertimbangkan pada pasien yang membutuhkan

pemberian obat antihipertensi intravena dan pada pasien yang status

neurologisnya memburuk. Ketidakstabilan kardiovaskular yang berkaitan dengan

peningkatan tekanan intrakranial harus segera ditangani untuk mencegah dampak

berbahaya dari hipertensi atau hipotensi pada pasien dengan kapasitas autoregulasi

yang terbatas.16

3. Efek Massa dan Hipertensi Intrakranial

Efek massa karena volume hematoma, edema jaringan yang mengelilingi

hematoma, dan hidrosefalus obstruktif dengan herniasi yang menetap menjadi

penyebab sekunder kematian dalam beberapa hari pertama setelah perdarahan

intracerebral. Karena sifat lokal dari efek massa dan adanya kompensasi ruang

Page 53: Vascular Disease

50

karena kenaikan volume oleh ruang ventrikel dan sub-arakhnoid, peningkatan

tekanan intracranial yang progresif hanya ditemui pada pasien dengan perdarahan

intracerebral masif. Lokasi kerusakan mekanis dan bahkan herniasi transtentorial

dapat dilihat pada tidak adanya peningkatan tekanan intrakranial secara

keseluruhan. Pada binatang percobaan yang diinduksi dengan perdarahan

intracerebral, penggunaan hiperventilasi dan agen osmotic meningkatkan aliran

darah cerebral dan metabolisme dipengaruhi oleh herniasi transtentorial tetapi

tidak mempunyai efek pada hipertensi intracranial sedang. Oleh karena itu,

pengobatan dengan agen osmotik dan hiperventilasi direkomendasikan pada

pasien dengan herniasi cerebral. Kortikosteroid harus dihindari, karena uji coba

acak telah gagal untuk menunjukkan keberhasilan pada pasien dengan perdarahan

intracerebral.16

4. Manajemen Tekanan Darah

Peningkatan tekanan darah biasa terjadi setelah perdarahan intracerebral

dan hal ini dihubungkan dengan perluasan hematom. Tekanan darh tinggi juga

dapat merupakan respon nonspesidik terhadap stress. Tekanan darah tinggi juga

bisa menjadi respon pelindung (disebut Cushing-Kocher respon) yang tujuannya

adalah untuk mempertahankan perfusi serebral terutama pada pasien dengan

kompresi batang otak.16

Terdapat kontroversi mengenai pengobatan dini tekanan darah setelah

perdarahan intracerebral. Kebanyakan pasien dengan perdarahan intracerebral

memiliki hipertensi kronis dimana autoregulasi cerebral telah beradaptasi dengan

tekanan darah yang lebih tinggi dari normal. Selain itu tekanan perfusi cerebral

dan kapasitas autoregulasi merupakan akibat dari peningkatan tekanan

intracranial. Dua penelitian telah menunjukkan bahwa pengurangan pengobatan

dengan farmakologi pada tekanan darah tidak memiliki efek buruk terhadap aliran

darah cerebral pada manusia dan hewan. Pedoman untuk manajemen tekanan

darah pada pasien dengan perdarahan intracerebral menurut American Heart

Association terdapat pada gambar 4.16

5. Ventricular Blood dan Hidrocephalus

Page 54: Vascular Disease

51

Adanya darah pada ventrikel dihubungkan dengan tingginya tingkat

mortalitas. Efek ini mungkin berhubungan dengan perkembangan dari

hirocephalus obstruktif atau efek massa langsung darah ventrikel dalam struktur

periventrikuler, yang berhubungan dengan hipoperfusi global cortex. Darah pada

ventrikel juga mengganggu fungsi normal cairan serebrospinal dengan

menginduksi asidosis laktat lokal. Drainase eksternal cairan serebrospinal melalui

kateter ventrikel mengurangi tekanan intracranial, efek menguntungkan pada

hidrocephalus dan status neurologis ini juga diimbangi dengan adanya bekuan

pada kateter dan adanya infeksi. Untuk memudahkan pengeluaran darah pada

ventrikel dengan cepat dan efektif, upaya baru- baru ini memfokuskan pemberian

trombolitik agent intraventrikuler pada pasien dengan perdarahan intracerebral

spontan. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa pemberian intraventricular dari

urokinase setiap 12 jam sampai drainase eksternal cairan cerebrospinal tidak lagi

diperlukan untuk mengurangi angka kematian yang diharapkan dalam satu

bulan.16

6. Evakuasi Bedah

Tujuan dari evakuasi bedah hematoma adalah untuk mengurangi efek

massa, blok pelepasan produk neuropatik dari hematoma, dan mencegah interaksi

berkepanjangan antara hematoma dan jaringan normal yang dapat menginduksi

proses patologis. Namun manfaat dari evakuasi perdarahan pada ganglion basal,

thalamus melaui open craniotomy tertutupi oleh karena adanya kerusakan saraf

dan terjadi perdarahan sebagai akibat hilangnya efek tamponade dari jaringan

sekitarnya. Meta-analisa dari tiga percobaan acak perdarahan supratentorial telah

dilaporkan bahwa, dibandingkan dengan 126 pasien yang tidak menjalani operasi,

123 pasien dengan perdarahan intracerebral yang menjalani bedah evakuasi

melalui kraniotomi terbuka tingkat kematian lebih tinggi atau terdapat

ketergantungan pada enam bulan (83% vs 70% ). Upaya kraniotomi secara dini

tidak mengubah hasilnya dan pada umumnya dikaitkan dengan kemungkinan

peningkatan perdarahan berulang.16

Page 55: Vascular Disease

52

Hematom cerebeller mempunyai keunikan dalam perspektif pembedahan

karena dapat dilkukan pembedahan tanpa menyebabkan kerusakan yang

signifikan pada jaras korteks motorik primer. Mortalitas dan morbiditas

berhubungan dengan kompresi batang otak. Hasil pembedahan terbaik didapatkan

pada pasien perdarahan intracerebral cerebellar yang memiliki skor awal GCS

kurang dari 14 atau dengan perdarahan yang luas (volume 40 ml atau lebih).

Pasien dengan status neurologis yang baik (GCS 14 atau lebih) dan perdarahan

kecil (volume kurang dari 40 ml) memiliki peluang baik untuk pemulihan penuh

atau hanya cacat moderat dengan management konservatif. Kraniotomi secara dini

direkomendasikan untuk pasien dengan hematoma dari cerebellar karena tingkat

kerusakan neurologis setelah perdarahan cerebellum sangat tinggi dan tak terduga.

Berdasarkan bukti yang tersedia, rekomendasi untuk evakuasi bedah ditunjukkan

pada Gambar 4.16

Untuk mencegah proses patologis sekunder dan membatasi kerusakan

saraf dan risiko perdarahan berulang terkait dengan kraniotomi terbuka,

penelitian sekarang difokuskan pada evakuasi bedah awal dengan penggunaan

stereotactic dan pendekatan endoskopi. Pendekatan ini memungkinkan evakuasi

dari hematoma yang menyebabkan kerusakan minimal pada jaringan normal di

atasnya (Gambar 2.13). Zuccarello et al. melaporkan, evakuasi bedah, kraniotomi,

atau aspirasi stereotactic dalam waktu 24 jam setelah timbulnya gejala-gejala pada

pasien dengan perdarahan intracerebral. Kemungkinan hasil yang baik lebih tinggi

pada pasien yang menjalani operasi (56%) dibandingkan dengan mereka yang

menerima pengobatan medis saja (36%). Auer et al. melakukan penelitian pada

100 pasien yang menjalani evakuasi stereotacticguided endoskopi dalam waktu 48

jam setelah masuk atau mendapatkan pengobatan medis saja. Dalam enam bulan,

hasilnya lebih baik pada kelompok bedah endoskopi, 40% dari pasien tersebut

tidak memiliki defisit atau hanya defisit minimum, dibandingkan dengan 25%

pasien pada kelompok medis. Sebuah studi baru-baru ini menunjukkan pemberian

trombolitik agent melalui kateter intracranial ke dalam matriks hematom setiap

enam sampai delapan jam dengan aspirasi bersamaan menunjukkan penurunan

Page 56: Vascular Disease

53

volume hematom 50% dalam waktu 3 hari dengan tingkat perdarahan berulang

dan kematian yang rendah.16

Gambar 2.13. CT-Scan Hematoma Basal Ganglia

7. Kejang dan Perdarahan Berulang

Kebanyakan kejang terjadi pada awal perdarahan intracerebral atau dalam

24 jam pertama. Antikonvulsan biasanya dapat dihentikan setelah bulan pertama

pada pasien yang tidak kejang lagi. Pasien yang mengalami kejang lebih dari dua

minggu setelah awal perdarahan intracerebral memiliki risiko tinggi untuk

serangan lebih lanjut dan mungkin memerlukan pengobatan profilaksis jangka

panjang dengan antikonvulsan.16

Arakawa et al. melaporkan tingkat perdarahan berulang sebanyak 2% per

tahun pada 74 pasien yang mengalami perdarahan intracerebral akibat hipertensi.

Lokasi perdarahan intracerebral selanjutnya biasanya berbeda dari perdarahan

yang pertama. Perdarahan berulang terjadi sebanyak 10 % per tahun pada pasien

dengan tekanan darah diastolik rata-rata lebih dari 90 mmHg dan 1,5 % pada

mereka dengan tekanan darah diastolik kurang dari 90 mmHg. Para peneliti

menyimpulkan bahwa rata-rata tekanan darah diastolik lebih besar dari 90 mm Hg

Page 57: Vascular Disease

54

dikaitkan dengan tingkat peningkatan perdarahan berulang, yang menunjukkan

pentingnya pemberian antihipertensi yang tepat.16

Pengobatan terbaru perlu dikembangkan untuk mencegah penurunan

fungsi neurologis setelah perdarahn inntracerebral. Perlu penelitian lebih lanjut

pada faktor-faktor genetik yang dapat meningkatkan risiko perdarahan

intracerebral. Sebagai contoh, studi tentang hubungan antara gen untuk

apolipoproteins spesifik dan perdarahan intracerebral dapat memberikan

pemahaman yang berharga tentang patogenesis perubahan degeneratif yang

mengakibatkan pecahnya pembuluh darah. 16

Pendekatan yang tepat untuk masalah-masalah seperti pengobatan tekanan

darah dan indikasi untuk evakuasi bedah pada pasien dengan perdarahan

intracerebral masih kontroversial. Sebuah uji coba secara acak diperlukan untuk

menentukan efek pengobatan tekanan darah pada perluasan hematoma. Teknik

pembedahan yang maksimal untuk menghilangkan hematom, mengurangi

kerusakan jaringan normal dan pencegahan perdarahan postoperasi membutuhkan

perkembangan dan penelitian selanjutnya. Akhirnya, penggunaan terapi

trombolitik untuk membantu resolusi bekuan darah ventrikel tampaknya

menjanjikan, uji coba secara acak untuk menentukan kemanjuran dan keamanan

dari pendekatan ini sedang berlangsung.16

2.4. Moyamoya Disease

2.4.1.Definisi

Penyakit moyamoya adalah gangguan vaskuler yang jarang terjadi,

ditandai dengan penyempitan progresif dari pembuluh darah di lingkaran arteri di

dasar otak (circle of willisi). Akibatnya terjadi penyumbatan ireversibel dari arteri

karotis ke otak saat masuk ke dalam tengkorak.4

2.4.2.Epidemiologi

Penyakit Moyamoya umumnya menyerang anak-anak, tetapi juga dapat

terjadi pada orang dewasa usia 20-40 tahun.

Page 58: Vascular Disease

55

Penyakit Moyamoya pertama kali diidentifikasi di Jepang oleh Takeuchi

dan Shimizu pada 1957. Pada 1968, Kudo memperkenalkan penyakit ini dan pada

1969 Moyamoya dipakai secara resmi sebagai nama penyakit pada 1969.

Penderita paling sering dijumpai dari Jepang dan Korea, tetapi juga

ditemukan pada pasien dari Amerika Serikat, Eropa, Australia dan Afrika. Hampir

setengah dari kasus yang diidentifikasi dialami anak-anak umur 10 tahun. Istilah

Moya-moya (Jepang untuk "kepulan asap") mengacu pada tampilan abnormal dari

jaringan pembuluh darah kolateral yang terbentuk berdekatan dengan pembuluh

darah yang mengalami stenosis. Daerah steno-oklusif biasanya bilateral, tetapi

keterlibatan unilateral tidak menyingkirkan diagnosis.4

Secara patologis, penyakit Moyamoya ditandai dengan penebalan intima

pada dinding bagian terminal pembuluh karotis interna bilateral. proliferasi intima

dapat berisi endapan lemak. Arteri serebral Anterior, tengah, dan posterior yang

berasal dari sirkulus Willis dapat menunjukkan berbagai tingkat stenosis atau

oklusi.17 Ini berhubungan dengan penebalan fibrocellular intima, lamina elastic

internal mengalami waving dan penipisan media.

2.4.3.Etiologi

Penyebab penyakit Moya-moya tidak diketahui. Penyakit ini diyakini

turun temurun. Fukui melaporkan adanya riwayat keluarga pada 10% pasien

dengan gangguan tersebut. Selain itu, Mineharu menyatakan bahwa penyakit

Moya-moya keluarga adalah autosomal dominan dengan penetrasi yang tidak

lengkap yang tergantung pada faktor usia dan genomic imprinting.17 Secara

genetik, lokus kerentanan telah ditemukan pada 3p, 6p, 17q, dan band 8q23.

Mineharu et al telah menemukan lokus gen tertentu, q25.3, pada kromosom 17.18

Meskipun penyakit Moyamoya dapat terjadi dengan sendirinya pada individu

yang sebelumnya sehat, banyak negara penyakit telah melaporkan hubungan

dengan penyakit Moyamoya19, termasuk yang berikut:

1. Penyakit Kekebalan-Graves / tirotoksikosis 20

2. Infeksi - Leptospirosis dan TBC

Page 59: Vascular Disease

56

3. Gangguan Hematologi - Anemia aplastik, anemia Fanconi, anemia sel sabit,

dan lupus antikoagulan

4. Sindrom kongenital - sindrom Apert, sindrom Down, sindrom Marfan,

tuberous sclerosis, sindrom Turner, penyakit von Recklinghausen, dan penyakit

Hirschsprung.

5. Penyakit pembuluh darah - penyakit aterosklerosis, koarktasio aorta dan

fibromuskular displasia, trauma tengkorak, cedera radiasi, tumor parasellar,

dan hipertensi

Anak-anak dan orang dewasa dengan penyakit Moya-moya mungkin

memiliki presentasi klinis yang berbeda. Gejala-gejala dan perjalanan klinis

bervariasi, dengan penyakit mulai dari yang tanpa gejala hingga yang

mengakibatkan deficit neurologis berat yang sementara. Orang dewasa lebih

seiring mengalami perdarahan; kejadian iskemik serebral lebih sering terjadi pada

anak-anak. Anak dapat mengalami hemiparesis, monoparesis, gangguan sensorik,

gerakan involunter, sakit kepala, pusing, atau kejang. Keterbelakangan mental

atau defisit neurologis persisten dapat hadir. Orang dewasa mungkin memiliki

gejala dan tanda-tanda yang mirip dengan anak-anak, tapi intraventrikular,

subarachnoid, atau perdarahan intraserebral onset mendadak lebih sering terjadi

pada orang dewasa. Temuan pemeriksaan fisik tergantung pada lokasi dan

keparahan dari perdarahan atau iskemik.

2.4.4.Diagnosis Banding21

1. Anterior Circulation Stroke

2. Basilar Artery Thrombosis

3. Blood Dyscrasias and Stroke

4. Cavernous Sinus Syndromes

5. Cerebral Aneurysms

6. Craniopharyngioma

7. Dissection Syndromes

8. Fabry Disease

Page 60: Vascular Disease

57

9. Fibromuscular Dysplasia

10. Intracranial Hemorrhage

2.4.5.Diagnosis

Misdiagnosis dan diagnosis yang tertunda pada penyakit Moyamoya

merupakan jebakan tertentu dalam pengobatan pasien dengan gangguan ini.

Misdiagnosis dapat terjadi dengan mudah jika dokter tidak memasukkan penyakit

Moyamoya ke dalam diagnosis diferensial dari setiap pasien yang mengalami

stroke. Seberapa tinggi peringkat Moyamoya di daftar diferensial diagnose

tergantung pada hadirnya fitur atipikal seperti usia muda dan tidak adanya faktor

risiko yang jelas untuk stroke. Jika penyakit Moyamoya tidak dianggap serius,

maka tes diagnostik yang tepat mungkin tidak dilakukan dan keterlambatan dalam

diagnosis dapat terjadi. Karena pengobatan definitif mungkin operasi, penundaan

dapat memungkinkan perkembangan yang tidak perlu dari penyakit.

Beberapa studi dapat diindikasikan pada pasien dengan penyakit

Moyamoya. Pada pasien dengan stroke namun etiologi tidak jelas, profil

hiperkoagulabilitas dapat membantu. Kelainan signifikan dalam salah satu kondisi

berikut merupakan faktor risiko untuk stroke iskemik:

1. protein C

2. protein S

3. antitrombin III

4. homosistein

5. Faktor V Leiden

Tingkat sedimentasi eritrosit (ESR) dapat diperoleh sebagai bagian dari

pemeriksaan awal mungkin vaskulitis. Namun, ESR normal tidak

mengesampingkan vaskulitis. Fungsi tiroid dan level autoantibodi tiroid telah

terbukti meningkat pada persentase yang signifikan dari pasien anak dengan

penyakit Moyamoya. 22

Angiografi serebral adalah kriteria standar untuk diagnosis penyakit

Moyamoya. Temuan berikut dapat mendukung diagnosis: stenosis atau oklusi

Page 61: Vascular Disease

58

pada bagian terminal dari arteri karotis interna atau bagian proksimal arteri

serebral media atau anterior. Selain itu, jaringan pembuluh darah abnormal di

sekitar wilayah oklusif atau stenosis. Temuan didapati bilateral (meskipun

beberapa pasien mungkin dengan keterlibatan unilateral dan kemudian progresif).

Magnetic resonance angiography (MRA) dapat dilakukan.

2.4.6.Penatalaksanaan

Terapi farmakologis untuk penyakit Moyamoya mengecewakan. Terapi ini

terutama diarahkan pada komplikasi penyakit. Jika perdarahan intraserebral telah

terjadi, maka pengelolaan hipertensi (jika ada) adalah keharusan. Dalam kasus

stroke berat, pemantauan unit perawatan intensif (ICU) diindikasikan sampai

kondisi pasien stabil. Jika pasien telah mengalami stroke iskemik, pertimbangkan

pemberian antikoagulan atau antiplatelet agen.

1. Direct & Indirect Anastomose

Seperti yang dinyatakan sebelumnya, pasien dengan penyakit Moyamoya

yang datang untuk menjalani pengobatan saat gejala berkembang memiliki

prognosis yang lebih baik daripada mereka yang hadir dengan gejala statis (yang

mungkin menunjukkan stroke selesai). Berbagai prosedur bedah telah digunakan

dalam pengobatan penyakit Moyamoya, termasuk yang berikut:23

a. Superficial temporal artery–middle cerebral artery (STA-MCA) anastomosis

b. Encephaloduroarteriosynangiosis (EDAS)

c. Encephaloduroarteriomyosynangiosis (EDAMS)

d. Pial synangiosis

e. Omental transplantation

Prosedur ini dapat dibagi menjadi 2 kelompok tergantung pada apakah

mereka melibatkan anastomosis langsung atau tidak langsung. Manakah dari

prosedur ini adalah yang paling efektif masih kontroversial. Namun, data

pembuktian berkelanjutan atau memperbaiki hasil jangka panjang tidak

mencukupi. 24,25 bSTA-MCA anastomosis sangat sulit pada anak-anak muda dari 2

tahun karena diameter kecil dari STA. Dalam kasus ini, EDAS mungkin lebih

Page 62: Vascular Disease

59

cocok. Prosedur ini kadang-kadang gagal karena revaskularisasi jelek. Hoffman

menyatakan bahwa ini adalah karena adanya atrofi dan lapisan cairan tulang

belakang antara piamater dan jaringan arachnoid. 26 Bedah masih masih menjadi

satu-satunya penanganan terbaik untuk penyakit ini. Tanpa operasi, mayoritas

pasien dengan penyakit Moyamoya akan mengalami penurunan mental dan stroke

karena penyempitan progresif dari arteri.

BAB 3

KESIMPULAN

Page 63: Vascular Disease

60

Penyakit serebrovaskular mencakup sekelompok gangguan fungsi otak

yang berhubungan dengan penyakit pembuluh darah yang menyuplai otak.

Beberapa diantaranya adalah intracranial aneurysm, arterivenous malformations

(AVMs), moyamoya disease, dan spontaneous intracerebral hemorrhage.

Aneurisma intrakranial merupakan dilatasi dinding arteri serebral yang

berkembang sebagai hasil dari kelemahan dinding arteri. Hal ini dapat disebabkan

oleh berbagai faktor, antara lain melemahnya struktur dinding pembuluh darah

arteri, hipertensi, aterosklerosis, dan lain-lain. Manifestasi awal (warning sign)

dapat berupa hemiparese, gangguan penglihatan, kelopak mata tidak bisa

membuka secara tiba-tiba, nyeri pada wajah, nyeri kepala sebelah ataupun gejala

menyerupai gejala stroke. Pilihan pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain

CT-scan, angiografi, atau MRI. Penatalaksanaan meliputi pembatasan aktivitas,

analgetik, dan pembedahan berupa operasi kraniotomi terbuka.

Arteriovenous Malformations (AVMs) merupakan lesi kongenital berupa

jalinan kompleks arteri dan vena yang dihubungkan oleh satu atau lebih fistula.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis

penyakit ini meliputi CT-scan, MRI, MRA, dan cerebral angiografi. Secara

umum, penatalaksanaan AVM berupa terapi medikamentosa dan pembedahan.

Perdarahan intraserebral merupakan perdarahan parenkim otak yang

mungkin dapat meluas ke dalam ventrikel dengan faktor risiko meliputi

hipertensi, konsumsi alkohol, dan lain-lain. Gejala klinis dapat berupa penurunan

kesadaran dang gangguan neurologis.

Penyakit moyamoya ditandai dengan stenosis vaskular intrakranial secara

progresif pada sirlukus Willisi. Ganbaran klinisnya dapat berupa iskemia serebral

(stroke), transient ischaemic attacks (TIA) berulang, perdarahan, kejang dan/atau

migraine-like headache. Diagnosis dapat ditegakkan dengan bantuan pemeriksaan

CT-scan, MRI, atau angiografi. Pembedahan adalah pilihan untuk mencegah

perdarahan dan iskemik lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

Page 64: Vascular Disease

61

1. American Association of Neurological Surgeons. 2005. Cerebrovascular

Disease. American Association of Neurological Surgeons. Diperoleh dari:

http://www.aans.org/Patient%20Information/Conditions%20and

%20Treatments/Cerebrovascular%20Disease.aspx. [Diakses tanggal 24 Juli

2014]

2. Liebeskind, David, S. 2007. Cerebral Aneurysm. Diperoleh

dari:http://www.emedicine.com/neuro/topic503.htm. [Diakses tanggal 24 Juli

2014]

3. Castel JP, Kissel P. Spontaneous intracerebral and infratentorial hemorrhage.

In:Youmans JR. ed. Neurological Surgery, 3rd ed, vol.IIIl. Philadelphia: WB

Saunders Company; 2006 .p. 1890-1913.

4. Janda PH, Bellew JG, Veerappan V. Moyamoya disease: case report and

literature review. J Am Osteopath Assoc. Oct 2009;109(10):547-53.

[Medline].

5. Schievink, Wouter I. 2007. Intracranial Aneurysms. Diperoleh dari:

http://content.nejm.org/cgi/content/full/336/1/28. [Diakses tanggal 24 Juli

2014]

6. Aneurysm in Medical Encyclopedia. 2007. Diperoleh dari:

http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001122.htm. [Diakses

tanggal 24 Juli 2014]

7. Pritz, Michael B. 2003. Subaracnoid Hemorrage Due to Cerebral

Aneurysms: Neurological Therapeutics Principles and Practice Volume 1.

48 : 493-503. Martin Dunitz-Taylor and Francis Group.

8. Brust, John C.M.  1995. Hemorrhage Subaracnoid: Merrit’s Textbook

of  Neurology Ninth edition. 42: Hal 276-283.Williams and Wilkin.

9. Bendok, Bernard R, et al. 2003. Cerebral Aneurysms and Vascular

Malformations : Neurological Therapeutics Principles and Practice Volume

1.. 48 : 493-503. Martin Dunitz-Taylor and Francis Group.

10. What is the prognosis? Cerebral Aneurysm Fact Sheet. 2007. NINDS

Cerebral Aneurysm Information Page. Diperoleh dari:

Page 65: Vascular Disease

62

http://www.ninds.nih.gov/disorders/cerebral_aneurysm/cerebral_aneurysm.ht

ml. [Diakses tanggal 24 Juli 2014]

11. Mast H, Young WL, Koennecke HC. Risk of spontaneous haemorrhage after

diagnosis of cerebral arteriovenous malformation. Lancet. Oct 11

1997;350(9084):1065-8. 

12. Halim AX, Johnston SC, Singh V. Longitudinal risk of intracranial

hemorrhage in patients with arteriovenous malformation of the brain within a

defined population. Stroke. Jul 2004;35(7):1697-702. 

13. Weinsheimer S, Kim H, Pawlikowska L, Chen Y, Lawton MT, Sidney S, et

al. EPHB4 gene polymorphisms and risk of intracranial hemorrhage in

patients with brain arteriovenous malformations. Circ Cardiovasc Genet. Oct

2009;2(5):476-82.

14. Laakso A, Dashti R, Juvela S, Niemelä M, Hernesniemi J. Natural history of

arteriovenous malformations: presentation, risk of hemorrhage and

mortality. Acta Neurochir Suppl. 2010;107:65-9. 

15. Luyendijk W. Intracerebral hemorrhage. In : Vinken FG, Bruyn GW, editors.

Handbook of Clinical Neurology. New York : Elsevier ; 2005; 660-719.

16. Goetz Christopher G. Cerebrovascular Diseases. In : Goetz: Textbook of

Clinical Neurology, 3rd ed. Philadelphia : Saunders. 2007.

17. Mineharu Y, Takenaka K, Yamakawa H, et al. Inheritance pattern of familial

moyamoya disease: autosomal dominant mode and genomic imprinting. J

Neurol Neurosurg Psychiatry. Sep 2006;77(9):1025-9. [Medline].

18. Mineharu Y, Liu W, Inoue K, Matsuura N, Inoue S, Takenaka K. Autosomal

dominant moyamoya disease maps to chromosome 17q25.3. Neurology. Jun

10 2008;70(24 Pt 2):2357-63. [Medline].

19. Kim SJ, Heo KG, Shin HY, Bang OY, Kim GM, Chung CS. Association of

thyroid autoantibodies with moyamoya-type cerebrovascular disease: a

prospective study. Stroke. Jan 2010;41(1):173-6. [Medline].

20. Im SH, Oh CW, Kwon OK, et al. Moyamoya disease associated with Graves

disease: special considerations regarding clinical significance and

management. J Neurosurg. Jun 2005;102(6):1013-7. [Medline].

Page 66: Vascular Disease

63

21. Uchino K, Johnson A, Claiborne S, Tirschwell DL. Moyamoya disease in

Washington State and California. Neurology. 2005;65:956-958. [Medline].

22. Li H, Zhang ZS, Dong ZN, et al. Increased Thyroid Function and Elevated

Thyroid Autoantibodies in Pediatric Patients With Moyamoya Disease: A

Case-Control Study. Stroke. Feb 24 2011;[Medline].

23. Starke RM, Komotar RJ, Hickman ZL, et al. Clinical features, surgical

treatment, and long-term outcome in adult patients with moyamoya disease.

Clinical article. J Neurosurg. Nov 2009;111(5):936-42. [Medline].

24. Fung LW, Thompson D, Ganesan V. Revascularisation surgery for paediatric

moyamoya: a review of the literature. Childs Nerv Syst. May 2005;21(5):358-

64. [Medline].

25. Scott RM, Smith JL, Robertson RL, et al. Long-term outcome in children

with moyamoya syndrome after cranial revascularization by pial synangiosis.

J Neurosurg. Feb 2004;100(2 Suppl Pediatrics):142-9. [Medline].

26. Hoffman HJ. Moyamoya disease and syndrome. Clin Neurol Neurosurg. Oct

1997;99 Suppl 2:S39-44. [Medline].