crohn disease

51
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah penyakit inflamasi yang melibatkan saluran cerna dengan penyebab pastinya sampai saat ini masih belum diketahui dengan jelas. Secara garis besar IBD terdiri dari tiga jenis, yaitu colitis ulseratif (ulcerative colitis), penyakit crohn (crohn’s disease), dan bila sulit membedakan kedua hal ini dimasukan dalam kategori indeterminate colitis. 1 Sampai saat ini belum diketahui etiologi IBD yang pasti maupun penjelasan yang memadai mengenai pola distribusinya. Secara umum diperkirakan bahwa proses patogenesis IBD diawali oleh adanya infeksi, toksin, produk bakteri atau diet intralumen kolon, yang terjadi pada individu yang rentan dan dipengaruhi oleh faktor genetik, defek imun, lingkungan, sehingga terjadi kaskade proses inflamasi pada dinding usus. Manifestasi tersering dari IBD adalah diare kronik yang disertai atau tanpa darah dan nyeri perut. 1,2 1

Upload: littlesnow

Post on 30-Oct-2014

138 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Radiologi

TRANSCRIPT

Page 1: crohn disease

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah penyakit inflamasi yang

melibatkan saluran cerna dengan penyebab pastinya sampai saat ini masih belum

diketahui dengan jelas. Secara garis besar IBD terdiri dari tiga jenis, yaitu colitis

ulseratif (ulcerative colitis), penyakit crohn (crohn’s disease), dan bila sulit

membedakan kedua hal ini dimasukan dalam kategori indeterminate colitis.1

Sampai saat ini belum diketahui etiologi IBD yang pasti maupun

penjelasan yang memadai mengenai pola distribusinya. Secara umum

diperkirakan bahwa proses patogenesis IBD diawali oleh adanya infeksi, toksin,

produk bakteri atau diet intralumen kolon, yang terjadi pada individu yang rentan

dan dipengaruhi oleh faktor genetik, defek imun, lingkungan, sehingga terjadi

kaskade proses inflamasi pada dinding usus. Manifestasi tersering dari IBD adalah

diare kronik yang disertai atau tanpa darah dan nyeri perut.1,2

Penyakit IBD cenderung mempunyai puncak usia yang terkena pada usia

muda (usia 25-30 tahun). Akan tetapi pada Penyakit Crohn laki-laki mempunyai

insidens 20% lebih tinggi daripada perempuan. IBD cenderung terjadi pada

kelompok sosial ekonomi tinggi, bukan perokok, pemakai kontrasepsi oral dan

diet rendah serat.1,2

Di Indonesia belum ada studi epidemiologi mengenai IBD. Data yang ada

adalah berdasarkan laporan Rumah Sakit (hospital based). Dari data di unit

endoskopi pada beberapa Rumah Sakit di Jakarta (RS Ciptomangunkusumo, RS

Tebet, RS Siloam Gleaneagles, RS Jakarta) didapatkan bahwa kasus IBD terdapat 1

Page 2: crohn disease

pada 12,2% dari kasus yang dikirim dengan diare kronik, 3,9% dari kasus dengan

hematochezia, dan 25,9% dari kasus dengan diare kronik, berdarah, dan nyeri

perut. Sedangkan pada kasus dengan nyeri perut didapatkan sebesar 2,8%.1

Tingginya angka kejadian IBD menciptakan tantangan bagi klinisi terkait

dengan pengetahuan yang belum komplit tentang penegakan diagnosis pada crohn

diseases. Pencitraan untuk crohn diseases dipastikan, walaupun dengan pencitraan

paling canggih. Namun dengan manifestasi klinis berupa gangguan saluran

pencernaan yang kronik sebagai gejala spesifik dari crohn diseases, pemeriksaan

USG dan CT Scan dengan media kontras oral dapat membantu untuk menentukan

diagnosis.2 5

2

Page 3: crohn disease

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Saluran Pencernaan

Pencernaan  terdiri dari saluran pencernaan  yaitu saluran panjang yang

merentang dari mulut sampai anus, dan organ – organ aksesoris seperti gigi, lidah,

kelenjar saliva, hati, kandung empedu, dan pancreas.1

Proses pencernaan melibatkan enzim – enzim sekretorik yang spesifik untuk

berbagai makanan dan bekerja untuk menguraikan karbohidrat menjadi gula

sederhana, lemak menjadi asam lemak bebas dan monogliserida, serta protein

menjadi asam amino.1

Gambar 2.1 Saluran Pencernaan

3

Page 4: crohn disease

Sistem pencernaan makanan pada manusia terdiri dari beberapa organ,

berturut-turut dimulai dari 1. Rongga Mulut, 2. Esofagus, 3. Lambung, 4. Usus Halus,

5. Usus Besar, 6. Rektum, 7. Anus.

1.   Mulut (oris)

Gambar 2.2 Mulut

Rongga mulut dibatasi oleh beberapa bagian, yaitu sebelah atas oleh tulang

rahang dan langit-langit (palatum), sebelah kiri dan kanan oleh otot-otot pipi, serta

sebelah bawah oleh rahang bawah.1

a.   Gigi(dentis)

-     Fungsi : Berperan dalam proses mastikasi (pengunyahan).

-     Bagian-bagian gigi adalah sebagai berikut:

4

Page 5: crohn disease

•      Mahkota Gigi : dilapisi oleh email dan di dalamnya terdapat dentin (tulang gigi).

•      Tulang Gigi ; terletak di bawah lapisan email.

•      Rongga gigi ; berada di bagian dalam gigi. Di dalamnya terdapat pembuluh

darah, jaringan ikat, dan jaringan saraf.

b.    Lidah (lingua)

-      Lidah berfungsi untuk membantu mengunyah makanan yakni dalam hal

membolak-balikkan makanan dalam rongga mulut, membantu dalam menelan

makanan, sebagai indera pengecap, dan membantu dalam berbicara.

2.   Esofagus (Kerongkongan)

      Esofagus merupakan saluran sempit berbentuk pipa yang menghubungkan

faring dengan lambung (gaster). Yang panjang kira – kira 25 cm, diameter 2,5 cm. pH

cairannya 5 – 6.2

-      Fungsi : menggerakkan makanan dari faring ke lambung melalui gerak

peristalsis.

5

Page 6: crohn disease

3.   Lambung (gaster)

     

Gambar 2.3 Lambung

Lambung merupakan organ berbentuk J  yang terletak di bawah rusuk

terakhir sebelah kiri. Yang panjangnya 20 cm, diameternya 15 cm, pH lambung 1 –

3,5.

Lambung tediri atas kardiak, fundus, badan lambung, antrum, kanal pylorus,

dan pylorus.

4.   Usus halus (Intestinum tenue)

     Usus halus adalah tempat berlangsungnya sebagian besar pencernaan dan

penyerapan yang panjangnya sekitar 6 m berdiameter sekitar 2,5 cm. sedangkan

pHnya 6,3 – 7,6. Dinding usus halus terdiri atas tiga lapis, yaitu tunica mucosa, tunica

6

Page 7: crohn disease

muscularis, dan tunika serosa. Tunica muscularis merupakan bagian  yang

menyebabkan  gerakan  usus halus.2,3

Fungsi usus halus :

1.  Mengakhiri proses pencernaan makanan. Proses ini diselesaikan oleh enzim usus

dan enzim pangkreas serta dibantu empedu dalam hati.

2.  Usus halus secara selektif mengabsorbsi produk digesti.

Usus halus dibedakan menjadi tiga bagian,yaitu:

a.    Deudenum (usus dua belas jari). Deudenum  panjangnya sekitar 25 cm,

diameternya 5 cm.

b.    Jejunum (usus kosong). Panjangnya sekitar 1 m sampai 1,5 m, diameternya 5 cm.

c.    Ileum (usus belit/ usus penyerapan). Panjangnya sekitar 2 m sampai 2,5 m,

diameternya 2,5 cm.

5.    Usus Besar (colon)

      Usus besar adalah saluran yang berhubung dengan bagian usus halus ( ileum )

dan berakhir dengan anus. Yang panjangnya sekitar  1,5 m dan diameternya kurang

lebih 6,3 cm. pH nya 7,5 – 8,0.2,3

      Fungsi dari usus besar adalah :

7

Page 8: crohn disease

1.  Mengabsorbsi 80 %  sampai 90 % air dan elektrolit dari kimus yang tersisa dan

mengubah kimus dari cairan menjadi massa semipadat.

2.  Memproduksi mucus

3.  Mengeksresikan zat sisa dalam bentuk feses.

      Usus besar dibedakan menjadi tida bagian, yaitu :

a.    Coecum. Merupakan pembatas antara ileum dengan kolon.

b.    Kolon. Pada  kolon  terjadi  gerakan  mencampur isi kolon dengan gerakan

mendorong.

Pada kolon ada tiga divisi yaitu :

     Kolon asendens; yang merentang dari coecum sampai ke tepi bawah hati

disebelah kanan dan membalik secara horizontal pada fleksura hepatica. Kolon

transversum ; merentang menyilang abdomen ke bawah hati dan lambung sampai ke

tepi lateral ginjal kiri, tempatnya memutar ke bawah pada fleksura spienik. Kolon

desendens; merentang ke bawah pada sisi kiri abdomen dan menjadi kolon sigmoid

berbentuk S yang bermuara di rectum.

c.    Rectum. Merupakan tempat penampungan sementara feses sebelum dibuang

melalui anus. Yang panjangnya 12 – 13 cm.

8

Page 9: crohn disease

6.   Anus

Anus  merupakan  lubang  pada  ujung saluran pencernaan. Pada anus terdapat dua

macam otot yaitu:2,3

a.     Sfingter anus internus; bekerja tidak menurut kehendak.

b.    Sfingter anus eksterus; bekerja menurut kehendak.

Proses pengeluaran feses di sebut defekasi. Setelah retum terenggang karena terisi

penuh, timbul keinginan untuk defekasi.

2.2 Definisi

Crohn’s disease merupakan penyakit inflamasi kronis transmural pada saluran

cerna dengan etiologi yang tidak diketahui. Crohn’s disease dapat melibatkan setiap

bagian dari saluran cerna mulai dari mulut hingga anus tetapi paling sering

menyerang usus halus dan colon ([4]).

2.3 Epidemiologi

Secara umum Crohn’s disease merupakan penyakit bedah primer usus halus,

dengan insidens sekitar 100.000 kasus per tahun. Insidens tertinggi didapatkan di

Amerika Utara dan Eropa Utara (4). Di Amerika Serikat, dan Eropa Barat insidens

Crohn’s disease mencapai 2 kasus per 100.000 populasi, dengan prevalensi sekitar 20

9

Page 10: crohn disease

– 40 kasus per 100.000 populasi (5). Dilaporkan bahwa telah terjadi peningkatan

insidens Crohn’s disease secara dramatis di Amerika Serikat antara tahun 1950-an

hingga 1970-an, untuk selanjutnya menjadi stabil pada tahun 1980-an ([6]).

Menurut jenis kelamin, insidens Crohn’s disease lebih tinggi pada perempuan

dibandingkan dengan laki-laki, dengan rasio 1,1 – 1,8 : 1. Beberapa ahli percaya

bahwa distribusi jenis kelamin ini berhubungan dengan proses-proses autoimun yang

terjadi pada Crohn’s disease (5).

Crohn’s disease mempunyai 2 puncak insidens berdasarkan kelompok usia.

Puncak insidens pertama adalah pada 18 – 25 tahun. Puncak usia berikutnya adalah

antara 60 – 80 tahun. Pada pasien yang berusia lebih muda dari 20 tahun Crohn’s

disease lebih banyak menyerang usus halus, sedangkan pada yang berusia diatas 40

tahun Crohn’s disease lebih banyak menyerang colon. Penyebab perbedaan lokasi

penyakit ini tidak diketahui (5,6).

Meskipun Crohn’s disease dapat menyerang setiap bagian dari saluran cerna,

namun terdapat tiga lokasi primer baik secara klinis maupun anatomis yang paling

sering, yaitu hanya usus halus saja (30%), usus halus bagian distal dan colon (45%),

dan hanya colon saja (25%). 30% dari seluruh kasus Crohn’s disease terjadi

bersamaan dengan penyakit rektal, dan 33 – 50% terjadi bersamaan dengan penyakit

perianal seperti fisura ani, abses perianal, dan fistula perianal (5,6).

10

Page 11: crohn disease

2.4 Etiologi dan Faktor – faktor Resiko

Etiologi dari Crohn’s disease masih belum diketahui (5,6,7,[8]). Terdapat

beberapa penyebab potensial yang diperkirakan secara bersama-sama menimbulkan

Crohn’s disease, yang paling mungkin adalah infeksi, imunologis, dan genetik.

Kemungkinan lain adalah faktor lingkungan, diet, merokok, penggunaan kontrasepsi

oral, dan psikososial. (5,6,7,[8]).

2.4.1. Faktor Infeksi

Meskipun terdapat beberapa agen-agen infeksi yang diduga merupakan

penyebab potensial Crohn’s disease, namun terdapat dua agen infeksi yang paling

menarik perhatian yaitu mycobacteria, khususnya Mycobacterium paratuberculosis

dan virus measles (1). Infeksi lain yang diperkirakan menjadi penyebab Crohn’s

disease adalah Chlamydia, Listeria monocytogenes, Pseudomonas sp, dan retrovirus

(7).

2.4.2. Faktor Imunologis

Kelainan-kelainan imunologis yang telah ditemukan pada pasien-pasien

dengan Crohn’s disease mencakup reaksi-reaksi imunitas humoral dan seluler yang

menyerang sel-sel saluran cerna, yang menunjukkan adanya proses autoimun. Faktor-

faktor yang diduga berperanan pada respons inflamasi saluran cerna pada Crohn’s

disease mencakup sitokin-sitokin, seperti interleukin (IL)-1, IL-2, IL-8, dan TNF

(tumor necroting factor). Peranan respons imun pada Crohn’s disease masih

11

Page 12: crohn disease

kontroversial, dan mungkin timbul sebagai akibat dari proses penyakit dan bukan

merupakan penyebab penyakit (5).

2.4.3. Faktor Genetik

Faktor genetik tampaknya memegang peranan penting dalam patogenesis

Crohn’s disease, karena faktor risiko tunggal terkuat untuk timbulnya penyakit ini

adalah adanya riwayat keluarga dengan Crohn’s disease (5). Sekitar 1 dari 5 pasien

dengan Crohn’s disease (20%) mempunyai setidaknya satu anggota keluarga dengan

penyakit yang sama (7). Pada berbagai penelitian didapatkan bahwa Crohn’s disease

berhubungan dengan kelainan pada gen-gen HLA-DR1 dan DQw5 (6).

2.4.4. Faktor-faktor Lain

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian ASI merupakan faktor

proteksi terhadap timbulnya Crohn’s disease (7). Merokok dan penggunaan

kontrasepsi oral meningkatkan risiko timbulnya Crohn’s disease dan risiko ini

meningkat sejalan dengan lamanya penggunaan (6).

2.5 Patologi

Stadium dini Crohn’s disease ditandai dengan limfedema obstruktif dan

pembesaran folikel-folikel limfoid pada perbatasan mukosa dan submukosa. Ulserasi

mukosa yang menutupi folikel-folikel limfoid yang hiperplastik menimbulkan

pembentukkan ulkus aptosa. Pada pemeriksaan mikroskopis, ulkus aptosa terlihat

12

Page 13: crohn disease

sebagai ulkus-ulkus kecil yang berbatas tegas dan tersebar, dengan diameter sekitar 3

mm dan dikelilingi oleh daerah eritema. Sebagai tambahan, lapisan mukosa menebal

sebagai akibat dari inflamasi dan edema, dan proses inflamasi tersebut meluas hingga

melibatkan seluruh lapisan usus (7,9).

Ulkus aptosa cenderung membesar atau saling bersatu, menjadi lebih dalam

dan sering menjadi bentuk linear. Sejalan dengan makin buruknya penyakit, dinding

usus menjadi semakin menebal dengan adanya edema dan fibrosis, dan cenderung

menimbulkan pembentukkan striktura. Karena lapisan serosa dan mesenterium juga

mengalami inflamasi, maka lengkungan-lengkungan usus menjadi saling menempel.

Akibatnya, ulkus-ulkus yang telah meluas hingga keseluruhan dinding usus akan

membentuk fistula antar lengkungan usus yang saling menempel. Tetapi lebih sering

terjadi saluran sinus yang berakhir buntu ke dalam suatu cavitas abses di dalam ruang

peritoneal, mesenterium, atau retroperitoneum (9).

2.6. DIAGNOSIS

2.6.1. Anamnesis

Gambaran klinis umum pada Crohn’s disease adalah demam, nyeri abdomen,

diare, dan penurunan berat badan. Diare dan nyeri abdomen merupakan gejala utama

keterlibatan colon. Perdarahan per rectal lebih jarang terjadi. Keterlibatan usus halus

dapat berakibat nyeri yang menetap dan terlokalisasi pada kuadran kanan bawah

abdomen (6,7,9).

13

Page 14: crohn disease

2.6.2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri pada kuadran kanan bawah abdomen

yang dapat disertai rasa penuh atau adanya massa. Pasien juga dapat menderita

anemia ringan, leukositosis, dan peningkatan LED (6).

Obstruksi saluran cerna merupakan komplikasi yang paling sering terjadi.

Pada stadium dini, obstruksi pada ileum yang terjadi akibat edema dan inflamasi

bersifat reversibel. Sejalan dengan makin memburuknya penyakit, akan terbentuk

fibrosis, yang berakibat menghilangnya diare yang digantikan oleh konstipasi dan

obstruksi sebagai akibat penyempitan lumen usus (6).

Pembentukkan fistula sering terjadi dan menyebabkan abses, malabsorpsi,

fistula cutaneus, infeksi saluran kemih yang menetap, atau pneumaturia. Meskipun

jarang, dapat terjadi perforasi usus sebagai akibat dari keterlibatan transmural dari

penyakit ini (6,9).

2.6.3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang disarankan adalah x-foto polos, x-foto kontras

tunggal saluran cerna bagian atas dengan follow-though usus halus atau enteroclysis

dengan CT, dan pemeriksaan kontras ganda usus halus. USG dan MRI dapat

digunakan sebagai penunjang jika terdapat masalah dengan penggunaan kontras.

14

Page 15: crohn disease

Hingga saat ini tidak ada pemeriksaan laboratorium spesifik yang berguna

dalam diagnosis Crohn’s disease, atau yang berhubungan dengan aktivitas klinis

penyakit.

2.7. DIAGNOSIS BANDING

Penyakit-penyakit yang harus dipikirkan sebagai doagnosis banding Crohn’s disease

antara lain (6):

Cholangitis

Colitis iskemik

Colitis pseudomembranosa

Diverticulitis colon

Tuberculosis gastrointestinalis

Colitis ulserativa

Enteritis infeksiosa

Colitis infeksiosa

2.8. PENATALAKSANAAN

2.8.1. Terapi Medikamentosa

Penatalaksanaan medikamentosa Crohn’s disease dapat dibagi menjadi terapi

terhadap kekambuhan akut dan terapi pemeliharaan. Dalam terapi terhadap

kekambuhan akut, pemicu-pemicu seperti infeksi yang mendasari, fistula, perforasi,

15

Page 16: crohn disease

dan proses patologi lainnya harus dihilangkan terlebih dahulu sebelum dilakukannya

terapi glukokortikoid intravena (6).

Obat-obatan yang digunakan dalam terapi terapi Crohn’s disease mencakup

antibiotika, aminosalisilat, kortikosteroid, dan imunomodulator (7).

Sebagai terapi utama pada kondisi akut, hidrokortison atau metilprednisolon

intravena sering digunakan sebagai tambahan terhadap metronidazole dan

pengistirahatan usus. Penggunaan terapi steroid terbatas untuk mencapai respons

yang cepat dalam waktu singkat karena pada penggunaan jangka lama mempunyai

berbagai efek samping, seperti osteonekrosis, myopati, osteoporosis, dan gangguan

pertumbuhan. Dapat pula digunakan inhibitor imunitas yang diperantarai sel yaitu

cyclosporine secara intravena jika pasien menunjukkan respons yang buruk terhadap

terapi kortikosteroid (6,7).

Tujuan dari terapi kronis adalah menghilangkan inflamasi usus.

Aminosalisilat merupakan terapi pilihan karena aktivitas antiinflamasinya. Berbagai

obat telah digunakan, yang masing-masing mempunyai target lokasi yang berbeda

pada usus. Sulfasalazine dan balsalazide terutama dilepaskan di colon. Dipentum dan

Asacol terutama dilepaskan di ileum distal dan colon. Pentasa dapat dilepaskan di

duodenum hingga colon bagian distal, sementara Rowasa secara spesifik digunakan

untuk rectum dan colon bagian distal (6,7).

16

Page 17: crohn disease

Methotrexate, azathioprine, dan 6-mercaptopurine adalah modulator sistem

imun non-steroid yang dapat ditoleransi dengan baik. Azathioprine, yang secara non-

enzymatis dikonversi di dalam tubuh menjadi 6-mercaptopurine, selanjutnya

dimetabolisme menjadi asam thioinosinic, yang merupakan zat inhibitor sintesa purin.

Efek samping dari azathioprine and 6-mercaptopurine jarang terjadi dibandingkan

dengan steroid (6,7).

Methotrexate, efektif untuk pasien-pasien yang tidak memberikan respons

terhadap azathioprine dan 6-mercaptopurine. Efek samping utamanya mencakup

leukopenia, nyeri pada saluran cerna, dan pneumonitis hipersensitivitas (6,7).

Terapi yang baru adalah Infliximab, Etanercept dan CDP571 yang merupakan

anti TNF-α, yang semakin luas dipergunakan dan menunjukkan hasil yang

menjanjikan, dengan adanya peningkatan tingkat remisi hingga 48% setelah 4 minggu

terapi dan dengan penutupan fistula secara sempurna pada 55% pasien setelah 80 hari

pemberian infliximab. Obat-obat lain seperti mycophenolate telah dikembangkan

untuk menghambat sintesa nukleotida guanin dan oleh karena itu menghambat

limfosit B dan T (6,7).

2.8.2. Terapi Bedah

Antara 70 – 80% pasien dengan Crohn’s disease membutuhkan terapi bedah.

Indikasi terapi bedah pada Crohn’s disease mencakup kegagalan terapi

medikamentosa dan/atau timbulnya komplikasi, seperti obstruksi saluran cerna,

17

Page 18: crohn disease

perforasi usus dengan pembentukan fistula atau abses, perforasi bebas, perdarahan

saluran cerna, komplikasi-komplikasi urologis, kanker, dan penyakit-penyakit

perianal (5,6). Terapi bedah pada pasien dengan Crohn’s disease harus ditujukan

kepada komplikasinya, hanya segmen usus yang terlibat dalam komplikasi saja yang

direseksi dan tidak boleh lebih luas, untuk menghindari terjadinya short bowel

syndrome (5).

Anak-anak penderita Crohn’s disease dengan gejala-gejala sistemik seperti

gangguan tumbuh-kembang, akan mendapatkan keuntungan dengan menjalani terapi

bedah reseksi usus. Meskipun komplikasi ekstraintestinal Crohn’s disease bukan

merupakan indikasi utama terapi bedah, namun sering mengalami perbaikan setelah

reseksi usus (5).

Reseksi segmental usus yang terbukti terlibat penyakit yang diikuti dengan

anastomosis merupakan prosedur pilihan dalam terapi bedah Crohn’s disease.

Alternatif prosedur lain dari reseksi segmental dari lesi-lesi yang mengobstruksi

adalah stricturoplasty. Teknik ini memungkinkan ditinggalkannya daerah permukaan

usus dan terutama cocok untuk pasien dengan penyakit yang menyebar luas dan telah

mengalami striktura fibrotik yang mungkin telah pernah menjalani operasi

sebelumnya dan dalam risiko timbulnya short bowel syndrome. Namun teknik

stricturoplasty mempunyai risiko kekambuhan yang cukup tinggi. Prosedur-prosedur

bypass usus kadang-kadang perlu dilakukan jika telah terjadi abses-abses

intramesenterial atau jika usus yang sakit telah bersatu membentuk massa inflamasi

18

Page 19: crohn disease

yang padat, yang tidak memungkinkan dilakukannya mobilisasi usus. Prosedur

bypass (gastrojejunostomy) juga digunakan jika telah terjadi striktura duodenum,

dimana prosedur stricturoplasty maupun reseksi segmental sulit dilakukan. Sejak

tahun 1990-an, telah dilakukan prosedur operasi laparoskopik terhadap pasien-pasien

dengan Crohn’s disease, namun hasilnya masih belum memuaskan dan teknik

operasinya sulit (7).

2.9. KOMPLIKASI

Manifestasi ekstraintestinal Crohn’s disease mencakup aptosa oral, ulkus,

eritema nodosum, osteomalacia dan anemia sebagai akibat dari malabsorpsi kronis;

osteonekrosis sebagai akibat terapi steroid kronis; pembentukkan batu empedu

sebagai akibat keterlibatan ileus yang menyebabkan gangguan reabsorpsi garam

empedu; batu oksalat ginjal sebagai akibat dari penyakit colon; pancreatitis sebagai

akibat dari terapi sulfasalazine, mesalamine, azathioprine atau 6-mercaptopurine;

pertumbuhan bakteri yang berlebihan rebagai akibat reseksi bedah; dan manifestasi-

manifestasi lainnya seperti amyloidosis, komplikasi tromboembolik, penyakit

hepatobiliaris, dan kolangitis sklerosis primer (5,6,7,9).

2.9.1. Abses

Abses terbentuk pada sekitar 15 – 20% pasien dengan Crohn’s disease sebagai

akibat dari pembentukkan saluran sinus atau sebagai komplikasi pembedahan. Abses

dapat ditemukan di mesenterium, cavum peritoneal, atau retroperitoneum, atau di

19

Page 20: crohn disease

lokasi ekstraperitoneal. Lokasi tersering abses retroperitoneal adalah fossa

ischiorectal, ruang presacral, dan regio iliopsoas. Ileum terminal merupakan lokasi

tersering sumber abses. Abses merupakan salah satu penyebab utama kematian pada

Crohn’s disease (6).

2.9.2. Obstruksi

Obstruksi terjadi pada 20 – 30% pasien dengan Crohn’s disease. Pada awal

perjalanan penyakit, terlihat adanya obstruksi yang reversibel dan hilang timbul pada

saat setelah makan, yang disebabkan oleh edema dan spasme usus. Setelah beberapa

tahun, inflamasi yang menetap ini akan secara bertahap memburuk hingga terjadi

penyepitan dan striktur lumen akibat fibrostenotik (6).

2.9.3. Fistula

Pembentukkan fistula merupakan komplikasi yang sering dari Crohn’s disease

pada colon. Komplikasi fistula yang disertai abses atau penyakit berat paling sulit

ditangani. Hal ini terjadi pada pasien dengan Crohn’s disease. Peranan terapi

medikamentosa hanyalah untuk mengontrol obstruksi, inflamasi, atau proses-proses

supuratif sebelum dilakukannya terapi definitif, yaitu pembedahan. Perlu dilakukan

operasi untuk meng-evakuasi abses dan, jika tidak ada kontraindikasi berupa sepsis,

dilanjutkan dengan reseksi usus yang sakit. Fistula dapat berakibat perforasi usus

spontan pada 1 – 2% pasien (6).

2.9.4. Keganasan

20

Page 21: crohn disease

Keganasan saluran cerna merupakan penyebab utama kematian pada Crohn’s

disease. Adenocarcinoma biasanya timbul pada daerah-daerah dimana terjadi

penyakit kronis. Sayangnya, sebagian besar kanker yang berhubungan dengan

Crohn’s disease tidak terdeteksi hingga tahap lanjut dan mempunyai prognosis yang

buruk. Selain keganasan saluran cerna, keganasan ekstraintestinal (misalnya,

squamous cell carcinoma pada pasien dengan penyakit kronis di daerah perianal,

vulva atau rectal) dan limfoma Hodgkin atau non-Hodgkin juga terbukti lebih sering

terjadi pada pasien-pasien dengan Crohn’s disease (6).

2.10. PROGNOSIS

Rata-rata timbulnya komplikasi pada pasien dengan Crohn’s disease yang

sudah menjalani terapi bedah adalah antara 15 – 30%. Komplikasi bedah yang paling

sering terjadi adalah infeksi luka operasi, pembentukkan abses-abses intraabdominal,

dan kebocoran anastomosis (5,7).

Sebagian besar pasien yang telah menjalani reseksi usus mengalami

kekambuhan penyakit, yaitu 70% dalam waktu 1 tahun setelah operasi dan 85%

dalam waktu 3 tahun setelah operasi. Kekambuhan klinis ditandai dengan

berulangnya gejala-gejala Crohn’s disease. Sekitar ⅓ pasien membutuhkan operasi

ulang dalam waktu 5 tahun setelah operasi yang pertama (5,7).

21

Page 22: crohn disease

BAB 3

PEMERIKSAAN RADIOLOGI PADA CROHN’S DISEASE

3.1 X – Foto

Peranan x-foto polos dalam mengevaluasi Crohn’s disease adalah terbatas.

Dua keunggulan utama x-foto polos adalah (1) untuk memastikan adanya obstruksi

usus dan (2) untuk mengevaluasi adanya pneumoperitoneum sebelum dilakukannya

pemeriksaan radiologis lanjutan. Melalui x-foto polos dapat pula diketahui adanya

sacroiliitis atau batu ginjal oksalat yang mungkin terjadi pada penderita Crohn’s

disease (5,6).

Pemeriksaan barium enema kontras ganda bermanfaat dalam mendiagnosis

penyakit inflamasi usus dan untuk membedakan antara Crohn’s disease dengan colitis

ulcerativa, khususnya pada tahap dini penyakit. Pada pemeriksaan kontras ganda,

Crohn’s disease tahap dini ditandai dengan adanya ulkus aptosa yang tersebar, yang

terlihat sebagai bintik-bintik barium yang dikelilingi oleh edema yang radiolusen.

Ulkus-ulkus aptosa seringkali terpisah oleh jaringan usus yang normal dan terlihat

sebagai skip lesions (6,9).

22

Page 23: crohn disease

Gambar 2. 4. Pemeriksaan barium enema kontras ganda pada Crohn’s disease

menunjukkan sejumlah ulkus aptosa

Gambar 2. 5. Pemeriksaan barium enema kontras ganda pada Crohn’s disease

menunjukkan ulserasi, inflamasi, dan penyempitan lumen colon.

23

Page 24: crohn disease

Sejalan dengan makin parahnya penyakit, ulkus-ulkus yang kecil akan

membesar, lebih dalam, dan saling berhubungan menjadi ulkus-ulkus yang berbentuk

seperti bintang, berpinggiran tajam, atau linear. Ulkus-ulkus ini paling sering terlihat

di daerah ileum terminal disepanjang perbatasan mesenterium. Gambaran ini

patognomonik dari Crohn’s disease. Sebagaimana inflamasi menembus lapisan

submukosa dan muskularis, ulkus-ulkus tersebut terpisah satu sama lain oleh edema

pada dinding usus dan pada pemeriksaan dengan kontras terlihat gambaran pola-pola

“cobblestone” atau nodular, yaitu pengisian kontras pada lekukan ulkus yang terlihat

radioopaque dikelilingi mukosa usus yang radiolusen (6,9).

Gambar 2. 6. Pemeriksaan small-bowel follow-through dengan fokus pada ileum

terminalis memperlihatkan ulserasi linear, longitudinal dan transversal

yang membentuk “cobblestone appearance”.

24

Page 25: crohn disease

Kadang-kadang terjadi inflamasi transmural yang berakibat pengecilan diameter

lumen usus dan distensinya menjadi terbatas. Hal ini tampak sebagai “string sign”

(6,9).

Gambar 2. 7. Pemeriksaan small-bowel follow-through dengan fokus pada ileum

terminalis memperlihatkan beberapa penyempitan dan striktura, yang

memberikan gambaran “string sign”.

25

Page 26: crohn disease

Gambar 2. 8. Pemeriksaan small-bowel follow-through dengan fokus pada ileum

terminalis memperlihatkan gambaran “string sign”.

Ulkus Aptoid dapat terdeteksi melalui pemeriksaan barium enema pada 25 –

50% pasien dengan Crohn’s disease. Secara umum, didapatkan hasil negatif palsu

sebanyak 18 – 20% kasus. Akan tetepi, barium enema mempunyai akurasi sebesar

95% dalam membedakan antara Crohn’s disease dengan colitis ulserativa (6).

3.2. CT-SCAN

Peranan pencitraan CT dalam evaluasi Crohn’s disease telah diterima secara

luas. Kemampuan CT untuk mencitrakan keterlibatan usus dan patologi ekstraluminal

(misalnya, abses, obstruksi, fistula) membuatnya menjadi cara pencitraan yang

penting. Hasil pencitraan CT pada Crohn’s disease tahap dini adalah penebalan

dinding usus, yang biasanya melibatkan usus halus bagian distal dan colon, meskipun

26

Page 27: crohn disease

setiap segmen pada saluran cerna dapat terlibat. Biasanya, penebalan dinding usus

mencapai 5 – 15 mm (6,9).

Gambar 2. 9. Gambaran CT Scan pada pasien dengan Crohn’s disease, tampak

penebalan dinding ileum dan inflamasi mesenterium.

Ulserasi pada mukosa dapat terdeteksi pada potongan tipis CT. dapat pula terlihat

adanya lilitan mesenterium, penebalan lapisan lemak mesenterium, adenopati lokal,

fistula, dan abses (6,9).

Gambar 2. 10. CT scan pada Crohn’s disease menunjukkan penebalan dinding usus

halus, dan inflamasi dan adenopati pada mesenterium.

27

Page 28: crohn disease

Edema atau inflamasi jaringan lemak mesenterium menimbulkan peningkatan

hilangnya densitas lemak, yang disebut “hazy fat” pada CT. Inflammasi atau fibrosis

jaringan lemak yang lebih besar menimbulkan menghilangnya densitas pita linear

jaringan lunak yang melintasi mesenterium. Pada CT, sebuah massa yang berbatas

kabur dengan densitas campuran dapat menunjukkan adanya flegmon atau tahap dini

pembentukan abses. Pembesaran kelenjar limfe biasanya terlihat proksimal terhadap

dinding usus disepanjang sisi mesenterium (6,9).

Pada CT scan, abses-abses terlihat sebagai massa berbentuk bulat atau oval

dengan densitas rendah, berbatas jelas, dan seringkali multilokus. Terlihatnya

gambaran gelembung-gelembung gas menunjukkan adanya hubungan fistula dengan

usus atau, lebih jarang, timbul dari infeksi oleh mikroorganisme yang menghasilkan

gas (2).

Gambar 2. 11. CT scan pada Crohn’s disease menunjukkan penebalan dinding colon

kanan dengan inflamasi pada jaringan lemak mesenterium yang

berhubungan.

28

Page 29: crohn disease

Gambar 2. 12. CT scan pada Crohn’s disease fase kronis menunjukkan penebalan

dinding colon kanan tanpa inflamasi pada jaringan lemak

mesenterium yang berhubungan, dan sejumlah besar proliferasi lemak

disekeliling colon kanan yang memisahkan colon dari keseluruhan

usus, sehingga disebut “creeping fat”.

CT Scan merupakan prosedur radiologis pilihan pertama pada pasien-pasien

dengan gejala-gejala akut Crohn’s disease. Kemampuan CT Scan dalam mencitrakan

dinding usus, organ-organ abdomen yang lokasinya berdekatan dengan usus,

mesenterium dan retroperitoneum membuatnya lebih unggul terhadap pemeriksaan

radiologi konvensional dengan kontras barium dalam mendiagnosis komplikasi-

komplikasi yang menyertai Crohn’s disease. CT Scan dapat secara langsung

menunjukkan penebalan dinding usus, edema mesenterika, limfadenopati, phlegmon

dan abses. Sensitivitas CT Scan untuk Crohn’s disease adalah sekitar 71% (6).

CT Scan tidak hanya merupakan prosedur diagnostik terpilih, tetapi dapat pula

digunakan dalam penatalaksanaan abses, yaitu melalui prosedur CT-guided

29

Page 30: crohn disease

percutaneous abscess drainage, yang telah menampakkan hasil yang sangat

memuaskan (2).

3.3. MRI

Secara tradisional, MRI hanya memberikan manfaat yang terbatas dalam

pemeriksaan abdomen karena banyaknya artefak yang bergerak. Dengan adanya

peningkatan gradien dan pencitraan dengan menahan napas telah memungkinkan

pencitraan MRI terhadap abdomen dan pelvis pada sebagian besar pasien. Serbagai

tambahan, untuk mencapai pencitraan yang optimal dengan MRI seringkali

membutuhkan penggunaan sejumlah besar volume zat kontras positif atau negatif

yang diberikan baik secara oral atau melalui selang nasojejunal atau rectal. Akan

tetapi, pasien dengan penyakit akut mungkin tidak dapat men-toleransi pemberian

sejumlah besar cairan per oral. Jika terjadi distensi usus suboptimal, akan terjadi

gangguan dalam mendeteksi segmen-segmen usus yang ter-inflamasi (6).

Secara tradisional, MRI dapat mengevaluasi komplikasi-komplikasi anorectal

Crohn’s disease dengan baik. MRI dengan teknik regular fast spin-echo,dapat

mendeteksi adanya fistula, saluran sinus, dan abses pada regio anorectal (6,9).

Saluran sinus dan fistula sering terlihat hiperintense pada pencitraan T1-

weighted dan hiperintense pada T2-weighted karena kandungan cairannya. Dengan

supresi lemak, sinyal cairan dapat di-intensifikasi dan dengan mudah terlihat

hiperintense pada pencitraan T2-weighted. Suatu abses sering terlihat sebagai

30

Page 31: crohn disease

pengumpulan yang terisolasi dari daerah-daerah dengan intensitas sinyal tinggi (high-

signal-intensity areas) pada pencitraan T2-weighted, khususnya pada fossa ischioanal

(6)

Parameter-parameter penyakit aktif mencakup penebalan dinding, proliferasi

fibrosa dan lemak, dan enhancement dinding usus dengan zat kontras gadolinium-

based. Selama fase inflamasi aktif, enhancement gadolinium dinding usus dapat pula

terlihat pada pencitraan T2-weighted, dan dapat dengan mudah dibedakan dari usus

yang normal. Pola enhancement dideskripsikan oleh Koh et al sebagai “berlapis-

lapis” dan spesifik untuk Crohn’s disease (2,)

Gambar 2. 12. Pencitraan MRI pada pasien dengan Crohn’s disease menunjukkan

penebalan dinding colon kanan dengan peningkatan sinyal

31

Page 32: crohn disease

intramural pada pencitraan T1-weighted. Hal ini dipercaya

sebagai gambaran adanya deposisi lemak intramural.

Gadolinium-enhanced spoiled gradient-echo MRI mempunyai sensitivitas sekitar 85

– 89%, spesifisitas sekitar 96 – 94%, dan akurasi sekitar 94 – 91% untuk mendeteksi

penyakit akut. Sementara single-shot fast spin-echo MRI mempunyai sensitivitas

sekitar 51 – 52%, spesifisitas sekitar 98 – 96%, dan akurasi sekitar 83 – 84%. Hasil

positif palsu paling sering terjadi jika terdapat enhancement gadolinium tanpa adanya

penebalan usus. Hasil negatif palsu paling sering terjadi jika terdapat distensi usus

yang suboptimal (6)

3.4. USG

Hasil pemeriksaan USG mempunyai variabilitas yang tinggi, yang tergantung

pada keahlian pemeriksa dalam mendeteksi perubahan-perubahan pada dinding usus.

USG dapat menjadi alternatif dari CT Scan dalam mengevaluasi manifestasi-

manifestasi intra dan ekstra luminal dari Crohn’s disease. Dinding saluran cerna yang

normal terlihat sebagai 5 konsentris dari lapisan-lapisan echogenic dan hypoechoic

yang berseang-seling; gambaran ini dikenal sebagai “the gut signature”. Dinding

saluran cerna yang normal mempunyai ketebalan kurang dari 5 mm (6)

Pada kasus Crohn’s disease aktif, ketebalan dinding usus berkisar antara 5

mm hingga 2 cm dengan gambaran lapisan-lapisan yang menghilang sebagian atau

seluruhnya, yang merefleksikan adanya edema transmural, inflamasi, atau fibrosis.

32

Page 33: crohn disease

Jika terjadi inflamasi yang hebat, dinding usus akan tampak hypoechoic merata

dengan garis hyperechoic ditengahnya yang berhubungan dengan penyempitan

lumen. Gerakan peristalsis menurun atau menghilang, dan segmen usus yang sakit

tidak dapat dikompresi dan kaku dengan hilangnya haustra (6).

Gambar 2. 13. A dan B, hasil pencitraan USG pada pasien dengan Crohn’s disease,

terlihat adanya penebalan dinding usus yang hypoechoic, hilangnya

“gut signature”, dan garis hyperechoic yang menunjukkan

penyempitan lumen usus.

33

Page 34: crohn disease

USG dapat mencitrakan adanya “ballooning” dari segmen-segmen yang tidak

terlibat, yang terlihat sebagai kantung-kantung fokal. Hasil pemeriksaan ini

merefleksikan “skip lesions” pada Crohn’s disease. Akurasi USG dapat ditingkatkan

dengan menggunakan pencitraan berwarna Doppler, yang dapat bermanfaat dalam

mendeteksi dinding usus yang hiperemis atau terinflamasi selama fase aktif penyakit

(6).

Dengan adanya inflamasi transmural, terjadilah edema and fibrosis dari

mesenterium yang berhubungan, berakibat adanya proyeksi jaringan lemak

mesenterium yang terlihat seperti jari-jari yang mencengkram permukaan serosa usus.

Pada ultrasonogram, gambaran ini tampak sebagai massa yang hyperechoic, yang

secara klasik terlihat pada batas cephalic ileum terminal. Dengan penyakit yang telah

berlangsung lama, gambaran ini akan terlihat lebih heterogen atau bahkan hypoechoic

(2).

2.5. RADIONUKLIR

Leukosit yang diberi penanda technetium-99m-HMPAO atau indium-111

dapat digunakan untuk menentukan inflamasi aktif usus pada inflammatory bowel

disease. Dibandingkan dengan penanda 111In, penanda 99mTc HMPAO mempunyai

karakteristik pencitraan yang lebih baik dan dapat lebih cepat dicitrakan segera

setelah injeksinya. Akan tetapi, biasanya pencitraan harus dilakukan dalam waktu

beberapa jam setelah injeksi leukosit berlabel 99mTc HMPAO sebagaimana telah

34

Page 35: crohn disease

terjadi ekskresi normal ke usus, tidak seperti leukosit berlabel 111In, yang tidak

mempunyai ekskresi ke usus (6).

Molnar dkk menemukan bahwa pencitraan leukosit berlabel 99mTc HMPAO

pada Crohn’s disease yang aktif mempunyai sensitivitas 76,1% dan spesifisitas

91,0%, dan lebih baik dalam mendeteksi aktivitas inflamasi segmental dibandingkan

dengan CT Scan, sementara CT Scan lebih unggul dalam mendeteksi adanya

komplikasi (6).

Positif palsu dapat terlihat pada perdarahan saluran cerna, tertelannya leukosit

(misalnya, dari uptake yang berhubungan dengan sinusitis atau nasogastric tubes),

atau aktivitas yang berhubungan dengan pelepasan enteric tubes. Sebagai tambahan,

uptake leukosit tidak spesifik untuk Crohn’s disease dan akan terlihat pada sebagian

besar proses-proses infeksius atau inflamasi usus (6).

35

Page 36: crohn disease

BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Crohn’s disease merupakan penyakit inflamasi kronis transmural pada saluran

cerna dengan etiologi yang tidak diketahui. Crohn’s disease dapat melibatkan setiap

bagian dari saluran cerna mulai dari mulut hingga anus tetapi paling sering

menyerang usus halus dan colon.

Teknik pemeriksan radiologi kontras merupakan pemeriksaan diagnostik pada

IBD yang saling melengkapi dengan endoskopi. Barium kontras ganda dapat

memperlihatkan striktur, fistula, mukosa yang irregular, gambaran ulkus dan polip,

ataupun perubahan distensibilitas lumen kolon berupa penebalan dinding usus dan

hilangnya haustrae. Interpretasi radiologik tidak berkorelasi dengan aktivitas

penyakit. Pemeriksaan radiologi merupakan kontraindikasi pada colitis ulseratif berat

karena dapat mencetuskan megakolon toksik. Foto polos abdomen secara sederhana

dapat mendeteksi adanya dilatasi toksik yaitu tampak lumen usus yang melebar tanpa

material feses di dalamnya. Untuk menilai keterlibatan usus halus dapat dipakai

metode enterocolytis yaitu pemasangan kanul nasogastrik sampai melewati

ligamentum Treitz sehingga barium dapat dialirkan secara kontinyu tanpa terganggu

oleh kontraksi pylorus. Peran CT scan dan ultrasonografi lebih banyak ditujukan pada

PC mendeteksi adanya abses dalam ataupun fistula.

36

Page 37: crohn disease

3.2 Saran

Apabila seorang pasien dicurigai mengalami crohn’ disease, maka

pemeriksaan penunjang yang dirasa tepat adalah pemeriksaan radiologis dengan X –

Foto, USG atau CT Scan. USG dapat dijadikan sebagai pencitraan awal, karena selain

non invasif dan tidak ada bahaya radiasi, juga dapat melihat penebalan dinding colon.

Sedangkan CT Scan dapat dilakukan sebagai pencitraan radiologi selanjutnya karena

memberikan keuntungan dalam mengevaluasi adanya abses ; fistula.

37