contoh kasus dalam patologi
DESCRIPTION
Korupsi merupakan salah satu bagian dari pembelajran patologi dan rehabilitasi sosial atau yang lebih dikenal dengan singkatan PRS. Berikut merupakan penjelasan dari sudut pandang masyarakat dan sudut pandang psikologi.TRANSCRIPT
Jazilatul Munasifah (30701301315)
Kunthi Ismu Syahroni (30701301320)
Lilik Nila Efantiana (30701301321)
Nabila Graha Salsabila (30701301337)
Nurayni (30701301347)
Patologi dan Rehabilitasi Sosial
Analisis Kasus Korupsi
Kasus Suryadharma Ali Tak Sendiri Dalam Korupsi Dana Haji
Selasa, 17 Juni 2014 00:45 WIB
Solopos.com, JAKARTA — Wakil Kepala Pusat Pelaporan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK), Agus Santoso, mengungkapkan mantan Menteri Agama,
Suryadharma Ali atau SDA, tidak bertindak sendirian dalam kasus korupsi pengadaan
barang dan jasa haji di Kementerian Agama (Kemenag).
Agus mengatakan pihaknya telah mendapat temuan adanya transaksi mencurigakan
yang dilakukan SDA dengan sejumlah pejabat lainnya. “Ada indikasi kerlibatan oknum-
oknum anggota DPR, pihak swasta, pejabat Kemenag di pusat, dan pejabat Kemenag
daerah,” kata Agus kepada wartawan di Gedung DPR, Jakarta, Senin (16/6/2014).
Menurutnya, PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) telah
selesai memeriksa indikasi transaksi mencurigakan dalam kasus korupsi dana haji dan
telah menyerahkan laporan, termasuk daftar nama pejabat yang diduga terlibat kepada
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),” ujarnya.
Dia menjelaskan bahwa temuan transaksi mencurigakan ini terungkap setelah
pihaknya melakukan riset dana haji dan ditemukan transaksi mencurigakan Rp230 miliar.
Seperti diketahui, SDA telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK atas dugaan tindak
pidana korupsi pengadaan barang dan jasa haji di Kemenag 2012/2013.1
ANALISIS KASUS
Kasus korupsi yang terjadi di kementerian agama dan melibatkan menteri agama itu
sendiri menjadi tersangka sangat memperihatikan. Karena menteri agama seharusnya lebih
mengetahui mengenai ‘korupsi’ dalam kacamata agama, pasti dia tahu bagaimana
balasannya kelak. Seharusnya menteri agama dapat menjadi cerminan bagi pemerintahan
lain dan masyarakat, bukan malah mencari keuntungan untuk diri sendiri dan merugikan
orang banyak. Menteri Agama Suryadharma Ali sudah menjadi tersangka korupsi terkait
penyimpangan dana haji. Suryadharma Ali juga melakukan pelanggaran hukum dan
menyalahgunakan wewenang, seperti yang telah disebutkan pada berbagai pemberitaan. Ia
diduga melanggar Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 (Pasal 2 mengatur perbuatan pidana yang
dilakukan seorang pejabat atau penyelenggara negara yang memperkaya diri sendiri, orang
lain, atau korporasi dengan cara melawan hukum. Ancaman hukumannya, maksimal
penjara seumur hidup. Adapun Pasal 3 mengatur soal penyalahgunaan kewenangan yang
dilakukan pejabat atau penyelenggara negara dengan tujuan menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi dan dapat merugikan negara atau perekonomian
negara.)
Dalam perspektif agama Islam korupsi dapat digolongkan sebagai ghulul yaitu
tindakan orang yang diberi amanah jabatan tapi mengambil keuntungan yang tidak
seharusnya dari jabatan tersebut.
Pertanyaannya: Mengapa orang yang katanya baik-baik ternyata korupsi juga?
1 http://www.solopos.com/2014/06/17/kasus-dana-haji-ppatk-suryadharma-ali-tak-sendiri-dalam-korupsi-dana-haji-
513700
Kaum behavioris mengatakan, berarti lingkunganlah yang secara kuat memberikan
dorongan bagi orang untuk korupsi dan mengalahkan sifat baik seseorang yang sudah
menjadi traits pribadinya. Lingkungan dalam hal ini malah memberikan dorongan dan
bukan memberikan hukuman pada orang ketika ia menyalahgunakan kekuasaannya. Pada
umumnya faktor penyebab korupsi bersumber pada tiga aspek yaitu:
1. Kerusakan pada lingkungan makro (negara), dimana sistem hukum, politik,
pengawasan, kontrol, dan transparansi rusak. Kerusakan tersebut menjadi latar
lingkungan yang merupakan faktor stimulus bagi perilaku orang. Tentunya menjadi
jelas ketika sistem tidak secara kuat memberikan hukuman terhadap pelanggaran
dan imbalan terhadap sebuah prestasi, tingkah menyimpang (korupsi) malah akan
diulang-ulang karena akan memberikan konsekuensi yang menyenangkan.
2. Pengaruh dari iklim koruptif di tingkat kelompok atau departemen.
3. Karena faktor kepribadian.
Korupsi dan hubungannya dengan kepribadian anak
Sigmund Freud merupakan pendiri Psikoanalisis. Teori Psikoanalisis fokus pada
pentingnya pengalaman masa kanak-kanak. Intinya, masa kanak-kanak memegang peran
menentukan dalam membentuk kepribadian dan tingkah laku manusia ketika dewasa
nantinya. Ada lima tahap perkembangan kepribadian dalam Psikoanalisis. Menurut Freud,
manusia dalam perkembangan kepribadiannya melalui tahapan oral, anal, phallis, laten,
dan genital.
Lantas apa hubungannya dengan perilaku korupsi? Untuk menjawabnya, kita mesti
melacak dan mengetahui akar penyebab korupsi.
Teori Gone
Menurut Jack Bologne, akar penyebab korupsi ada empat: Greed, Opportunity,
Need, Exposes.
1. Greed. Terkait keserakahan dan kerakusan para pelaku korupsi. Koruptor adalah
orang yang tidak puas akan keadaan dirinya. Punya satu gunung emas, berhasrat
punya gunung emas yang lain. Punya harta segudang, ingin punya pulau pribadi.
2. Opportunity. Terkait dengan sistem yang memberi lubang terjadinya korupsi.
Sistem pengendalian tak rapi, yang memungkinkan seseorang bekerja asal-asalan,
dan mudah timbul penyimpangan. Saat bersamaan, sistem pengawasan tak ketat.
Orang gampang memanipulasi angka. Bebas berlaku curang. Peluang korupsi
menganga lebar.
3. Need. Berhubungan dengan sikap mental yang tidak pernah cukup, penuh sikap
konsumerisme, dan selalu sarat kebutuhan yang tak pernah usai.
4. Exposes. Berkaitan dengan hukuman pada pelaku korupsi yang rendah. Hukuman
yang tidak membuat jera sang pelaku maupun orang lain. Deterrence effect yang
minim.2
Empat akar masalah diatas merupakan halangan besar pemberantasan korupsi.
Tapi, dari keempat akar persoalan korupsi tadi, bagi saya, pusat segalanya adalah sikap
rakus dan serakah. Sistem yang bobrok belum tentu membuat orang korupsi. Kebutuhan
yang mendesak tidak berati mendorong orang korupsi. Hukuman yang rendah bagi pelaku
korupsi belum tentu membikin orang lain terinspirasi untuk ikut korupsi.
Pendeknya, perilaku koruptif memiliki motivasi dasar sifat serakah yang akut.
Adanya sifat rakus dan tamak. Korupsi, menyebabkan ada orang yang berlimpah, ada yang
terkuras, ada yang jaya, dan ada yang terhina.
Fiksasi dan Korupsi
Ada hubungan antara tahapan perkembangan kepribadian anak dengan kondisi
anak setelah dewasa. Bila pada tahap-tahap itu terjadi fiksasi atau hambatan perkembangan
kepribadian, maka kepribadian itulah yang dibawanya sampai besar.
Sifat serakah adalah sifat dari orang yang terhambat dalam perkembangan
kepribadiannya, yaitu ketika dia terhambat dalam tahap kepribadian anal. Seorang anak
yang mengalami hambatan kepribadian pada fase anal, ketika besar ia akan
mempertahankan kepribadian anal. Karakter orang ini ditandai dengan kerakusan untuk
memiliki.
Ia merasakan kenikmatan dalam pemilikan pada hal-hal yang material. Fase anal
ditandai oleh kesenangan anak melihat kotoran yang keluar dari anusnya. Kini, kotoran
telah diganti benda lain. Benda itu berujud uang, mobil, rumah, saham, berlian, emas,
intan.
2 http://psikologipro.wordpress.com/category/pandangan-teori-psikoanalisis-tentang-perilaku-korupsi/
Koruptor adalah anak kecil dalam tubuh orang dewasa. Badannya besar, jiwanya
kerdil. Untuk menyembuhkannya, hilangkan hambatan itu. Tunjukkan padanya bahwa
pada dasarnya dia belum dewasa. Kesenangan mengumpulkan harta adalah simbol
perilaku menyimpang akibat terhambat dalam perkembangan kepribadian di masa kanak-
kanak.
Kesimpulannya, koruptor adalah orang yang belum dewasa. Ia masih perlu belajar
memperbaiki kualitas kepribadiannya. Pada umumnya faktor penyebab korupsi bersumber
pada tiga aspek. Pertama, kerusakan pada lingkungan makro (negara) di mana sistem
hukum, politik, pengawasan, kontrol, transparansi rusak. Kerusakan tersebut menjadi latar
lingkungan yang merupakan faktor stimulus bagi perilaku orang. Tentunya menjadi jelas
ketika sistem tidak secara kuat memberikan hukuman terhadap pelanggaran dan imbalan
terhadap sebuah prestasi, tingkah menyimpang (korupsi) malah akan diulangulang karena
akan memberikan konsekuensi yang menyenangkan. Kedua, pengaruh dari iklim koruptif
di tingkat meso (misalnya kelompok, departemen). Ketiga karena faktor kepribadian.
Hal ini dapat kita sadari bahwa tindakan korupsi merupakan tindakan melawan
hukum dan bertentangan dengan norma agama (dosa) inilah yang menciptakan kecemasan
bagi tersangka karena terjadi ancaman moral yang datang dari dunia superego (norma
agama dan masyarakat), maka untuk mengurangi tekanan itu tersangka korupsi melakukan
defense mechanism dengan mengganti impuls berdosa yang menimbulkan kecemasan itu
dengan perilaku sebaliknya yaitu saleh dan beragama yang ditunjukkan dengan simbol-
simbol keagamaan, sikap, perkataan, dan lain sebagainya. Tentu kita semua tidak boleh
kehilangan optimisme. Karena itu, berdoa diiringi usaha dengan harapan ke depan lebih
baik dari kemarin, penting dilakukan kita semua. Agar tercipta keseimbangan antara id,
ego dan superego sebagaimana yang terurai dalam analisis psikologis Sigmund Freud.
SOLUSI KORUPSI
Untuk mendapatkan solusi tentu harus dicermati aspek penyebabnya. Banyak
kalangan ahli politik mengatakan bahwa hasil diagnosis akhir penyakit negeri ini adalah
sistemnya bobrok dan harus diganti. Dengan rekomendasi tersebut maka seharusnya sistem
tersebut segera dicarikan alternatif lain yang tidak sekedar tambal sulam. Sistem alternatif
lain itu, tidak ada lagi kecuali syariah Islam yang berasal dari Pencipta alam, manusia dan
kehidupan. Dengan diterapkanya secara menyeluruh (kaffah) maka akan tercipta sistem
sosial yang sehat dari rahim sistem yang sehat pula. Akhirnya, gaya hidup hedonism dan
perilaku korup dapat diberantas.
Membangun Kesadaran
Untuk itu, tindakan solutif kini adalah bagaimana mencegah perkembangan virus
korupsi dan mengurangi munculnya koruptor-koruptor baru. Banyak cara solutif yang bisa
ditempuh. Namun, ada satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan cara membangkitkan
kesadaran dalam diri pribadi publik tentang buruknya kepemilikan hasrat nekrofilia.
Dengan cara membangkitkan kesadaran ini, terapi ala psikoanalis Sigmund Freud
dapat dilakukan, yaitu dengan cara mengembangkan ekspresi muak dan rasa jijik-
menakutkan dalam diri para koruptor. Menurut Freud –menyitir tulisan YK KA Jahija
(2005), menekankan keberhasilan terapi tidak berhenti pada tahu, tetapi ekspresi yang bila
ditransfer secara sosial, keberhasilan dalam memerangi korupsi tidak berhenti pada
pengetahuan akan keburukan korupsi, tetapi berlanjut pada ekspresi muak terhadap
korupsi. Ekspresi adalah kunci melepaskan diri dari pengaruh dorongan korupsi yang
dialami bawah sadar sang koruptor.
Selain itu, para agamawan perlu menekankan “psikologi transpersonal”: dengan
menekankan pentingnya penerangan bawah sadar yang dipahami secara baru di mana tidak
hanya menyimpan pengalaman pahit, tetapi juga mutiara yang mampu mengubah perilaku
secara radikal.
Banyak praktik spiritualitas, seperti refleksi, kontemplasi, yoga, meditasi, tafakur,
zikir, dan lain-lain yang terbukti mampu menggiring orang kepada perilaku kebaikan dan
menjauhkan segala tindakan buruk yang merugikan diri, bahkan juga orang lain di
sekitarnya.
Dalam hal ini, untuk mengendalikan tindakan korupsi publik, pemerintah hendaknya
bukan saja memperhatikan hukum positif, dengan memikirkan bagaimana hukum sekeras-
kerasnya diterapkan kepada para koruptor untuk mengurangi korupsi, tetapi perlu
membangun kebijakan di sejumlah sektor, pendidikan khususnya. Hal ini agar dapat
membangkitkan kesadaran dan merangsang kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang tidak
merusak diri sendiri, seperti lewat tindakan korupsi, yang tentu akan mencelakakan dirinya
sendiri, bahkan ikut merusak moral bangsa.