ckb gadar
DESCRIPTION
LP keperawatan gadarTRANSCRIPT
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA PASIEN DENGAN
CEDERA KEPALA BERAT
OLEH :
NI PUTU SUSI PERDANAYANTI
(0902105017)
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2013
A. KONSEP DASAR CEDERA KEPALA BERAT
1. DEFINISI
Cedera kepala adalah kerusakan neurologi yang terjadi akibat adanya trauma pada
jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek sekunder dari trauma yang terjadi
(Sylvia and Price, 1985).
Cedera kepala adalah cedera yang dapat bersifat terbuka (melalui durameter).
Cedera kepala terbuka menyebabkan patogen-patogen lingkungan punya akses masuk ke
otak. ( Corwin, 2001)
Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital atau degeneratif, tetapi disebabkan oleh
serangan/benturan fisik dari luar yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang
mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
Diesbut Cedera Kepala Berat (CKB) : bila GCS 3-8 (kelompok resiko berat).
Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 24 jam dan juga meliputi kontusio
serebral, laserasi atau hematoma intraklanial.
2. EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan
mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah
sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan
(CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera
kepala berat (CKB)3 Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif
antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden
cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak
kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi (Turner DA, 1996 dalam Irwana, 2009).
Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit
di Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-70%
dengan CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi
sekitar 35%-50% akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang
meninggal (PERDOSSI, 2007 dalam Irwana, 2009).
3. ETIOLOGI
Menurut Hudak dan Gallo (1996: 108) mendeskripsikan bahwa penyebab cidera kepala
adalah karena adanya trauma rudapaksa yang dibedakan menjadi 2 faktor yaitu:
a. Trauma Primer
b. Terjadi karena benturan langsung atau tidak langsung (akselarasi dan deselerasi).
c. Trauma Sekunder
d. Terjadi akibat dari trauma saraf (melalui, akson) yang meluas, hipertensi intrakranial,
hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi siskemik.
Menurut Smeltzer tahun 2001, penyebab Trauma kepala yaitu:
a. Trauma tajam
Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana itu merobek otak, misalnya
tertembak peluru / benda tajam.
b. Trauma tumpul
Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan.
c. Trauma akselerasi
Peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik disebabkan oleh pukulan maupun
bukan dari pukulan.
d. Kontak benturan (Gonjatan langsung)
Terjadi benturan atau tertabrak sesuatu obyek.
e. Kecelakaan lalu lintas
f. Jatuh
g. Kecelakaan industry
h. Serangan yang disebabkan karena olah raga
i. Perkelahian
4. MANIFESTASI KLINIS
Secara umum gejala klinis yang muncul pada trauma kepala adalah hilangnya kesadaran
kurang dari 30 menit atau lebih, kebingungan, iritabel, pucat mual dan muntah, pusing
kepala, terdapat hematoma, kecemasan, sukar untuk dibangunkan. Bila fraktur, mungkin
adanya cairan serebrospinal yang keluar dari hidung (rhinorrohea) dan telinga (otorrhea)
bila fraktur tulang temporal.
Gejala klinis trauma kepala adalah sebagai berikut:
a. Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, ataksia, cara berjalan tidak tegap,
kehilangan tonus otot.
b. Perubahan tekanan darah (hipertensi) atau normal, perubahan frekuensi jantung
(bradikardi, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia disritmia).
c. Perubahan tingkah laku atau kepribadian.
d. Inkontinensia kandung kemih atau usus atau mengalami gangguan fungsi.
e. Muntah atau mungkin proyektil, gangguan menelan (batuk, disfagia)
f. Perubahan kesadaran bisa sampai koma. Perubahan status mental (orientasi,
kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi atau
tingkah laku dan memori). Perubahan pupil, deviasi pada mata, ketidakmampuan
mengikuti. Kehilangan penginderaan seperti pengecapan, penciuman dan
pendengaran, wajah tidak simetris, refleks tendon tidak ada atau lemah, kejang, sangat
sensitif terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi sebagian tubuh, kesulitan
dalam menentukan posisi tubuh.
g. Wajah menyeringai, respon pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa
beristirahat, merintih.
h. Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas berbunyi,
stridor, terdesak, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).
i. Fraktur atau dislokasi, gangguan penglihatan, kulit : laserasi, abrasi, perubahan warna,
adanya aliran cairan (drainase) dari telinga atau hidung (CSS), gangguan kognitif,
gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami
paralisis, demam, gangguan dalam regulasi tubuh.
j. Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, berbicara berulang – ulang.
k. Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
l. Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi, dan impulsif.
m. Mual, muntah, mengalami perubahan selera makan.
n. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope,
tinitus,kehilangan pendengaran. Perubahan dalam penglihatan,seperti ketajamannya,
diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, fotopobia, gangguan pengecapan dan
penciuman.
o. Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.
p. Trauma (laserasi, abrasi) baru
q. Pada kontusio, segera terjadi kehilangan kesadaran, pada hematoma, kesadaran
mungkin hilang, atau bertahap sering dengan membesarnya hematoma atau edema
intestisium.
r. Respon pupil mungkin lenyap atau progresif memburuk.
s. Perubahan prilaku, kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan gerakan motorik
timbul dengan segera atau secara lambat.
5. PATOFISIOLOGI
Pada cedera kepala di mana kepala mengalami benturan yang kuat dan cepat akan
menimbulkan pergerakan dan penekanan pada otak dan jaringan sekitarnya secara
mendadak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Derajat kerusakan yang
disebabkan tergantung pada kekuatan yang menimpanya. Makin besar kekuatan, makin
parah kerusakaannya. Ada dua macam kekuatan yang dikerahkan melalui dua jalan, yang
mengakibatkan dua efek yang berbeda. Pertama, cedera setempat, yang disebabkan oleh
benda tajam dengan kecepatan rendah dan tenaga kecil. Kerusakan fungsi neurologis
terjadi di dalam tempat yang terbatas dan disebabkan oleh benda atau fragmen-fragmen
tulang yang menembus dura pada tempat serangan. Kedua, cedera menyeluruh, yang
lebih lazim ditemukan pada cedera tumpul kepala dan setelah kecelakaan mobil.
Kerusakan terjadi waktu energi atau kekuatan diserap oleh lapisan-lapisan pelindung
yaitu rambut, kulit kepala, dan tengkorak, tetapi pada cedera hebat , penyerapan ini tidak
cukup untuk melindungi otak. Sisa energi diteruskan ke otak pada waktu energi ini
melewati jaringan otak dan menyebabkan kerusakan dan gangguan sepanjang jalan yang
dilewati karena jaringan lunak menjadi sasaran kekuatan. Risiko utama yang mengalami
cedera kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai
respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (Smeltzer &
Bare, 2001).
Cedera yang terjadi pada waktu benturan dapat menimbulkan lesi, robekan atau
memar pada permukaan otak, dengan adanya lesi, robekan, memar tersebut akan
mengakibatkan gejala defisit neurologis yang tanda-tandanya adalah penurunan kesadaran
yang progresif, reflek Babinski yang positif, kelumpuhan dan bila kesadaran pulih
kembali biasanya menunjukkan adanya sindrom otak organik.
Pada cedera kepala dapat juga menimbulkan edema otak, dimana hal ini terjadi
karena pada dinding kapiler mengalami kerusakan, ataupun peregangan pada sel-sel
endotelnya. Sehingga cairan akan keluar dari pembuluh darah dan masuk ke jaringan otak
karena adanya perbedaan tekanan antara tekanan intravaskuler dengan tekanan
interstisial. Akibat dari adanya edema, maka pembuluh darah otak akan mengalami
penekanan yang berakibat aliran darah ke otak berkurang, sehingga akan hipoksia dan
menimbulkan iskemia. Akibat lain dari adanya perdarahan otak dan edema serebri yang
paling berbahaya adalah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial yang timbul karena
adanya proses desak ruang sebagai akibat dari banyaknya cairan yang bertumpuk di
dalam otak. Peningkatan intra kranial yang terus berlanjut hingga terjadi kematian sel dan
edema yang bertambah secara progresif, akan menyebabkan koma dengan TIK yang
terjadi karena kedua hemisfer otak atau batang otak sudah tidak berfungsi (Price &
Wilson, 2005 ).
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan
iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak.
Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal.
Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu
yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel.
Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya secara berlebihan glutamine, kelainan
aliran kalsium, produksi laktat, efek kerusakan akibat radikal bebas, dan perubahan
pompa natrium pada dinding sel yang berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan
pembengkakan jaringan otak. Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung pada
menit ke menit pada suplai nutrient yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan
sangat rentan terhadap cedera metabolik apabila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan
hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume darah sirkulasi yang
tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak (Price &
Wilson, 2005).
6. Pemeriksaan Fisik
Merupakan pemeriksaan fisik umum yang menyeluruh untuk mencari tanda-tanda
cedera yang akan menunjukkan seberapa parah trauma tersebut dan bagian mana yang
terkena dampak trauma. Saat pemeriksaan gunakan beberapa teknik yaitu inspeksi,
palpasi, perkusi, dan auskultasi. Pemeriksaan fisik ‘head to toe’ harus dilakukan dengan
singkat tetapi menyeluruh dari bagian kepala ke ujung kaki. Pemeriksaan yang terfokus
dilakukan di bagian dimana trauma ditemukan.
a. Kepala: Wajah, kulit kepala dan tulang tengkorak, mata, telinga, dan mulut. Temuan
yang dianggap kritis:
1) Pupil tidak simetris, midriasis tidak ada respon terhadap cahaya.
2) Patah tulang tengkorak (depresi/non depresi, terbuka/tertutup).
3) Robekan/laserasi pada kulit kepala.
4) Darah, muntahan atau kotoran di dalam mulut.
5) Cairan serebrospinal di telinga atau di hidung.
6) Battle sign dan racoon eyes.
b. Leher: Bagian depan, trachea, vena jugularis, otot-otot leher bagian belakang..
Temuan yang dianggap kritis: Distensi vena jugularis, deviasi trakea atau tugging,
emfisema kulit
c. Dada: Tampilan fisik, tulang rusuk, penggunaan otot-otot asesoris, pergerakan dada,
suara paru. Temuan yang dianggap kritis: Luka terbuka, sucking chest wound, Flail
chest dengan gerakan dada paradoksikal, suara paru hilang atau melemah, gerakan
dada sangat lemah dengan pola napas yang tidak adekuat (disertai dengan
penggunaaan otot-otot asesoris).
d. Abdomen: Distensi, perubahan warna, nyeri tekan, suara usus. Temuan yang dianggap
kritis: Nyeri tekan di perut, distensi abdomen, perut papan, luka terbuka (khususnya
dengan organ perut keluar).
e. Pelvis: Daerah pubik, Stabilitas pelvis, Krepitasi dan nyeri tekan. Temuan yang
dianggap kritis: Pelvis yang lunak, nyeri tekan dan tidak stabil serta pembengkakan di
daerah pubik
f. Extremitas: Anggota gerak atas dan bawah, denyut nadi, fungsi motorik, fungsi
sensorik. Temuan yang dianggap kritis: Nyeri, melemah atau menghilangnya denyut
nadi, menurun atau menghilangnya fungsi sensorik dan motorik.
g. Pemeriksaan tanda-tanda vital yang meliputi suhu, nadi, pernafasan dan tekanan
darah.
h. Pemeriksaan status kesadaran dengan penilaian GCS (Glasgow Coma Scale) untuk
menilai tingkat kegawatan cedera kepala, yaitu:
1) Respon membuka mata (E):
Buka mata spontan : 4
Bila dipanggil/rangsangan suara : 3
Bila dirangsang nyeri : 2
Tidak bereaksi dengan rangsang apapun : 1
2) Respon verbal (V):
Komunikasi verbal baik : 5
Bingung, disorientasi tempat, waktu dan orang : 4
Kata-kata tidak teratur : 3
Suara tidak jelas : 2
Tidak ada reaksi : 1
3) Respon motorik (M):
Mengikuti perintah : 6
Melokalisir nyeri : 5
Fleksi normal : 4
Fleksi abnormal : 3
Ekstensi abnormal : 2
Tidak ada reaksi : 1
7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain :
a. Foto polos kepala
Pemeriksaan ini untuk melihat pergeseran (displacement) fraktur tulang tengkorak,
tetapi tidak dapat menentukan ada tidaknya perdarahan intracranial.
b. CT-Scan kepala
Melalui pemeriksaan ini dapat dilihat seluruh struktur anatomis kepala, dan
merupakan alat yang paling baik untuk mengetahui, menentukan lokasi dan ukuran
dari perdarahan intracranial.
c. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Kepala Pemeriksaan ini untuk menemukan perdarahan subdural kronik yang tidak
tampak pada CT-Scan kepala.
d. Angiografi
Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada pasien yang mengalami hemiparesis
(kelumpuhan salah satu anggota tubuh) dengan kecurigaan adanya hematoma. Bila
ada kelainan di dalam otak akan terlihat adanya pergeseran lokasi pembuluh darah.
Pemeriksaan ini bermanfaat bila alat CT-Scan tidak ada
e. Arteriografi
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan adanya efek massa, letak, dan luas hematoma
tetapi tidak dapat menunjukkan penyebab hematoma dan kelainan otak yang terjadi
f. Analisa gas darah
Pemeriksaan analisa gas darah penting untuk menilai keadaan fungsi paru-paru.
Pemeriksaan dapat dilakukan melalui pengambilan darah astrup dari arteri radialis,
brakhialis, atau femoralis.
g. Intra Cranial Pressure (ICP)
Sikap deserbrasi merupakan suatu keadaan yang terjadi saat suatu lesi otak akibat
peningkatan ICP menganggu sinyal dari struktur yang lebih tinggi ke pons dan
medulla oblongata dank e struktur di bawahnya.
Sikap dekortikasi merupakan bentuk lain dari respon motorik abnormal dengan cedera
otak yang menunjukkan adanya lesi pada korteks bagian atas dengan cedera yang
lebih ringan pada satu atau dua henister otak.
Skala koma Glsglow adalah skala yang paling banyak digunakan dalam penilaian
kesadaran penderita dan reaksinya terhadap rangsangan.
8. PENATALAKSANAAN DAN PENGOBATAN
Pada kasus perdarahan yang kecil (volume 30 cc ataupun kurang) dilakukan
tindakan konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada kemungkinan terjadi penyerapan
darah yang rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang kemudian dapat mengalami
pengapuran. Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan adanya gejala-
gejala yang progresif, maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan
pengeluaran hematoma. Tetapi sebelum diambil keputusan untuk dilakukan tindakan
operasi, yang tetap harus kita perhatikan adalah airway, breathing dan circulation (ABCs).
Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole craniotomy, twist drill
craniotomy, subdural drain. Dan yang paling banyak diterima untuk perdarahan sub dural
kronik adalah burr hole craniotomy. Karena dengan tehnik ini menunjukan komplikasi
yang minimal. Reakumulasi dari perdarahan subdural kronik pasca kraniotomi dianggap
sebagai komplikasi yang sudah diketahui. Jika pada pasien yang sudah berusia lanjut dan
sudah menunjukkan perbaikan klinis, reakumulasi yang terjadi kembali, tidaklah perlu
untuk dilakukan operasi ulang kembali .Kraniotomi dan membranektomi merupakan
tindakan prosedur bedah yang invasif dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi.
Penggunaan teknik ini sebagai penatalaksanaan awal dari perdarahan subdural kronik
sudah mulai berkurang.
Trepanasi/ kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang
bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif. Pada pasien trauma,
adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran, pupil anisokor dengan refleks cahaya
menurun dan kontralateral hemiparesis merupakan tanda adanya penekanan brainstem
oleh herniasi uncal dimana sebagian besar disebabkan oleh adanya massa extra aksial.
Indikasi Operasi
Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata
Adanya tanda herniasi/ lateralisasi
Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT Scan
Kepala tidak bisa dilakukan.
Untuk pengobatan secara umum dari cedera kepala menurut Price & Wilson
(2006), disebutkan bahwa tindakan untuk mengurangi ICP adalah dengan menginduksi
drainase ICP melalui ventrikulostomi, analgesia (asam mefenamat, pentalin), dan obat
sedasi. Perlu juga diberikan obat diuretic manitol diberikan secara bolus dosis 0,25-1
gram/kgBB. Dan juga pemberian obat kortikosteroid seperti prednisone.
9. KOMPLIKASI
a. Peningkatan TIK
Lebih dari separuh kematian karena trauma kepala disebabkan oleh hipertensi
intrakranial. Kenaikan tekanan intrakranial (TIK) dihubungkan dengan penurunan
tekanan perfusi dan aliran darah serebral (CBF) dibawah tingkat kritis (60 mmHg)
yang berakibat kerusakan otak iskemik. Pengendalian TIK yang berhasil mampu
meningkatkan outcome yang signifikan. Telah dikembangkan pemantauan TIK tapi
belum ditemukan metode yang lebih akurat dan non invasive. Pemantauan TIK yang
berkesinambungan bisa menunjukkan indikasi yang tepat untuk mulai terapi dan
mengefektifkan terapi, serta menentukan prognosis.
b. Iskemia
Iskemia adalah simtoma berkurangnya aliran darah yang dapat menyebabkan
perubahan fungsional pada sel normal. Otak merupakan jaringan yang paling peka
terhadap iskemia hingga episode iskemik yang sangat singkat pada neuron akan
menginduksi serangkaian lintasan metabolisme yang berakhir dengan apoptosis.
Iskemia otak diklasifikasikan menjadi dua subtipe yaitu iskemia global dan fokal.
Pada iskemia global, setidaknya dua, atau empat pembuluh cervical mengalami
gangguan sirkulasi darah yang segera pulih beberapa saat kemudian. Pada iskemia
fokal, sirkulasi darah pada pembuluh nadi otak tengah umumnya terhambat oleh
gumpalan trombus sehingga memungkinkan terjadi reperfusi. Simtoma terhambatnya
sirkulasi darah oleh gumpalan trombus disebut vascular occlusion.
c. Perdarahan otak
1) Epidural hematom
Terdapat pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan duramater akibat
pecahnya pembuluh darah/cabang-cabang arteri meningeal media yang terdapat di
duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena itu sangat
berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1 – 2 hari. Lokasi yang
paling sering yaitu dilobus temporalis dan parietalis.
Tanda dan gejala: penurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala, muntah, hemiparesa.
Dilatasi pupil ipsilateral, pernapasan dalam dan cepat kemudian dangkal,
irreguler, penurunan nadi, peningkatan suhu.
2) Subdural hematoma
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan
kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena/jembatan vena yang
biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut
terjadi dalam 48 jam – 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2
minggu atau beberapa bulan.
Tanda dan gejala: Nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, berfikir
lambat, kejang dan edema pupil.
3) Perdarahan intraserebral
Perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri, kapiler, vena.
Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi pernapasan,
hemiplegi kontralateral, dilatasi pupil, perubahan tanda-tanda vital.
4) Perdarahan subarachnoid:
Perdarahan didalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah dan
permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang hebat.
Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil
ipsilateral dan kaku kuduk. (Smeltzer, 2001; Tucker, 1998)
d. Kejang pasca trauma.
Merupakan salah satu komplikasi serius. Insidensinya 10 %, terjadi di awal cedera 4-
25% (dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 9-42% (setelah 7 hari trauma). Faktor
risikonya adalah trauma penetrasi, hematom (subdural, epidural, parenkim), fraktur
depresi kranium, kontusio serebri, GCS <10.
e. Hidrosefalus
Berdasar lokasi penyebab obstruksi dibagi menjadi komunikan dan non komunikan.
Hidrosefalus komunikan lebih sering terjadi pada cedera kepala dengan obstruksi,
Hidrosefalus non komunikan terjadi sekunder akibat penyumbatan di sistem ventrikel.
Gejala klinis hidrosefalus ditandai dengan muntah, nyeri kepala, papil udema,
dimensia, ataksia, gangguan miksi.
f. Agitasi
Agitasi pasca cedera kepala terjadi > 1/3 pasien pada stadium awal dalam bentuk
delirium, agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi labil. Agitasi juga sering terjadi
akibat nyeri dan penggunaan obat-obat yang berpotensi sentral. Penanganan
farmakologi antara lain dengan menggunakan antikonvulsan, antihipertensi,
antipsikotik, buspiron, stimulant, benzodisepin dan terapi modifikasi lingkungan.
g. Sindroma post kontusio
Merupakan komplek gejala yang berhubungan dengan cedera kepala 80% pada 1
bulan pertama, 30% pada 3 bulan pertama dan 15% pada tahun pertama.
Somatik : nyeri kepala, gangguan tidur, vertigo/dizzines, mual, mudah lelah, sensitif
terhadap suara dan cahaya.
Kognitif: perhatian, konsentrasi, memori.
Afektif: iritabel, cemas, depresi, emosi labil.
10. PROGNOSIS
Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama pada
pasien dengan cedera kepala berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki nilai
prognostik yang besar. Skor pasien 3-4 memiliki kemungkinan meninggal 85% atau tetap
dalam kondisi vegetatif, sedangkan pada pasien dengan GCS 12 atau lebih kemungkinan
meninggal atau vegetatif hanya 5-10%. Status vegetatif merupakan keadaan tak sadarkan
diri dalam waktu yang lama, yang disertai dengan siklus bangun dan tidur yang
mendekati normal. Penyebabnya adalah kerusakan pada bagian atas dari otak (yang
mengendalikan fungsi mental), sedangkan talamus dan batang otak (yang mengatur siklus
tidur, suhu tubuh, pernafasan dan denyut jantung) tetap utuh. Jika status vegetatif terus
berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, maka kemungkinan untuk sadar kembali
sangat kecil.
Analisis terakhir dari Gibson dan Stephenson memperlihatkan bahwa mortalitas
setelah cedera kepala berat dapat diprediksi pada sekitar 15 % pasien yang dirawat di
ICU. Sindrom pascakonkusi berhubungan dengan sindrom kronis nyeri kepala, keletihan,
pusing, ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas, dan perubahan kepribadian yang
perkembang pada banyak pasien setelah cedera kepala (Harsono, 2005)
B. ASUHAN KEPERAWATAN INTENSIF CEDERA KEPALA BERAT
1. PENGKAJIANTgl/ Jam : No. RM : Triage : P1/ P2/ P3 Diagnosis Medis :Transportasi : Ambulan
Iden
titas
Nama : Jenis Kelamin :
Umur : Alamat :
Agama : Status Perkawinan :
Pendidikan : Sumber Informasi :
Pekerjaan : Hubungan :
Suku Bangsa : Keluhan Utama : Kesadaran
AIR
WA
Y
Jalan Nafas : Paten √Tidak Paten
Obstruksi : Lidah √ Cairan Benda Asing Tidak Ada
Muntahan Darah Oedema
Suara Nafas : Snoring √ Gurgling Stridor Tidak ada
Keluhan Lain: ... ...
Masalah Keperawatan: Ketidakefektifan bersihan jalan napas
BR
EA
THIN
G
Nafas : √ Spontan Tidak Spontan
Gerakan dinding dada: √ Simetris Asimetris
Irama Nafas : Cepat Dangkal Normal
Pola Nafas : Teratur Tidak Teratur
Jenis : Dispnoe Kusmaul Cyene Stoke Lain… …
Suara Nafas : Vesikuler Stidor Wheezing Ronchi
Sesak Nafas : Ada Tidak Ada
Cuping hidung : Ada Tidak Ada
Retraksi otot bantu nafas : Ada Tidak Ada
Pernafasan : √ Pernafasan Dada Pernafasan Perut
RR : x/mnt
Keluhan Lain: … …
Masalah Keperawatan:
CIR
CU
LATI
ON
Nadi : √ Teraba Tidak teraba N: 65x/mnt
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Pucat : Ya √ Tidak
Sianosis : Ya √Tidak
CRT : < 2 detik > 2 detik
Akral : Hangat √ Dingin S: C
Pendarahan : √ Ya, Lokasi: Kepala Jumlah: >500 cc Tidak ada
Turgor : √ Elastis Lambat
Diaphoresis: : Ya √ Tidak
Riwayat Kehilangan cairan berlebihan: Diare Muntah Luka bakar
Keluhan Lain: ... ...
Masalah Keperawatan:
PK Perdarahan
DIS
AB
ILIT
Y
Kesadaran: Composmentis Delirium √ Somnolen Apatis Koma
GCS : Eye ... Verbal ... Motorik ...
Pupil : Isokor Unisokor Pinpoint Medriasis
Refleks Cahaya: √ Ada Tidak Ada
Refleks fisiologis: Patela (+/-) Lain-lain … …
Refleks patologis : Babinzky (+/-) Kernig (+/-) Lain-lain ... ..
Kekuatan Otot :
Keluhan Lain : … …
Masalah keperawatan:
PK Penurunan Kesadaran
2. ANALISA DATA
No. Data Etiologi Masalah Keperawatan
1. DS:
DO:
Adanya sputum dalam
jumlah berlebih
Cedera Kepala
Terbentuknya hematoma
intrakranial
Hematoma subdural
Penekanan pada medulla
oblongata
Gangguan pada pusat
Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas
kardiorespiratorik
Depresi system pernafasan
Ketidakmampuan bernafas
spontan
Indikasi pemasangan
ventilator
Repon tubuh terhadap benda
asing
Peningkatan produksi secret
pada saluran pernafasan
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
2. DS:
DO:
Akral klien dingin
Tampak adanya tanda
tanda perdarahan pada
kepala klien
Trauma akibat kecelakaan,
perkelahian, jatuh, cedera,
olahraga
Trauma kepala
Kepala tergencet
Fraktur terbuka
Fraktur basis cranii
Melewati sinus paranosal
Perdarahan hidung, faring,
telinga & bawah konjungtiva
PK Perdarahan
3. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan materi asing dalam jalan
napas (ventilator mekanik) ditandai dengan sputum dalam jumlah berlebih
2. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan trauma kepala
3. Hipotermia berhubungan dengan trauma ditandai dengan suhu tubuh dibawah kisaran
normal, kulit dingin
4. Risiko infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh primer yang tidak adekuat
(kerusakan integritas kulit: prosedur invasi)
5. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi jantung ditandai
dengan bradikardia,
6. Risiko cedera berhubungan dengan gangguan mobilitas
PK PERDARAHAN
7. Defisit perawatan diri: mandi berhubungan dengan gangguan neuromuskular ditanda
dengan ketidakmampuan membasuh tubuh, ketidakmampuan mengakses kamar
mandi
8. Defisit perawatan diri: makan berhubungan dengan gangguan neuromuskular ditandai
dengan ketidakmampuan mengambil dan memasukan makanan, ketidakmampuan
mengunyah makanan, ketidakmampuan menggunakan perlengkapan makan
9. Defisit perawatan diri: toileting berhubungan dengan gangguan neuromuskular
ditandai dengan ketidakmampuan melakukan hygiene eliminasi yang tepat,
ketidakmampuan untuk ke toilet.
10. Defisit perawatan diri: berpakaian berhubungan dengan gangguan neuromuskular
ditandai dengan ketidakmampuan mengenakan dan melepaskan pakaian
11. PK Anemia
12. PK Perdarahan
DIAGNOSA PRIORITAS
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan materi asing dalam
jalan nafas (lidah) ditandai dengan perubahan frekuensi napas (RR: 30x/menit),
adanya suara napas tambahan
2. PK perdarahan
4. INTERVENSI
NO Diagnosa
Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1 Ketidak efektifan
bersihan jalan nafas
berhubungan
dengan
Setelah diberikan asuhan
keperawatan selama … X …
jam, diharapkan jalan nafas
klien paten dengan kriteria
hasil :
NOC Label >> Respiratory
Status : Airway Patency
Frekuensi, irama,
kedalaman pernafasan
dalam batas normal
NIC Label >> Airway
Management
Buka jalan nafas,
gunakan teknik chin lift
atau jaw thrust bila perlu
Posisikan untuk
memaksimalkan
ventilasi
Identifikasi pasien
perlunya pemasangan
alat jalan nafas buatan
Auskultasi suara nafas,
catat adanya suara nafas
tambahan
Monitor status respirasi
dan oksigen
Beri oksigen sesuai
indikasi
NIC Label >>Emergency care:
Pertahankan jalan nafas
klien
Monitor perdarahan
apabila terjadi
Monitor vital sign
Kaji riwayat kecelakaan
Monitor kesadaran
pasien
NO DIAGNOSA
RENCANA KEPERAWATAN
TUJUAN INTERVENSI RASIONAL
2. PK Perdarahan Setelah diberikan asuhan
keperawatan selama 1x24
jam, perawat dapat
meminimalkan komplikasi
yang terjadi dengan kriteria
hasil:
Nilai Ht dan Hb berada
dalam batas normal
Klien tidak mengalami
episode perdarahan
Tanda-tanda vital berada
dalam batas normal (
TD: 100 – 120 mm Hg
Nadi:
RR : 14 – 25 x/mnt
Suhu : 36 - 370C ± 0,50C
Bleeding Reduction
a. Identifikasi penyebab perdarahan
b. Lindungi pasien terhadap cedera dan
terjatuh
c. Identifikasi jumlah perdarahan dan
warna darah
d. Perhatikan kondisi TTV dan status
kesadaran klien
e. Perhatikan asupan oksigen ke
jaringan : cek CRT klien
f. Anjurkan klien untuk mengurangi
aktivitas atau pergerakan
Kolaborasi :
a. Lakukan pemerikasaan komponen
darah
b. Pemasangan infus
c. Pemberian tranfusi (sesuai indikasi)
Bleeding Reduction
a. Untuk mencegah adanya trauma
sekunder akibat penyebab
perdarahan
b. Meminimalisir terjadinya
perdarahan hebat dan membatasi
perdarahan
c. Efek cedera terutama pada
cedera tajam umumnya dapat
mengakibatkan perdarahan
d. Penurunan status kesadaran dan
kondisi TTV klien dapat
mengindikasikan klien
mengalami perburukkan kondisi
e. Penurunan asupan oksigen ke
jaringan dapat meningkatkan
risiko terjadinya shock pada
pasien
f. Meningkatnya pergerakan
berisiko terhadap perdarahan
yang lebih hebat dan
meningkatkan terjadinya ruptur
Kolaborasi :
a. Adanya perubahan jumlah
komponen darah dapat
membantu dalam menentukan
intervensi lanjutan
b. Membantu mengganti cairan
dan elektrolit yang telah hilang
akibat perdarahan
c. Membantu mengganti darah
yang telah banyak hilang akibat
perdarahan
4. EVALUASI
No Diagnosa Evaluasi
1. Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas
berhubungan dengan
Frekuensi, irama, kedalaman pernafasan
dalam batas normal
2. PK Perdarahan Nilai Ht dan Hb berada dalam batas normal
Klien tidak mengalami episode perdarahan
Tanda-tanda vital berada dalam batas normal
TD: 100 – 120 mm Hg
Nadi: 60-100x/menit
RR : 14 – 25 x/mnt
Suhu : 36 - 370C ± 0,50C
DAFTAR PUSTAKA
American College of Surgeon Committee on Trauma. Cedera Kepala. Dalam: Advanced
Trauma Life Support fo Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia. Komisi trauma
IKABI, 2004.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi 3. Jakarta: EGC
Dochterman, Joanne McCloskey. 2004. Nursing Interventions Classification (NIC) Fourth
Edition. St. Louis, Missouri: Mosby Elsevier
Harsono, Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada Universiti Press, Yogyakarta, 2005
Irwana. 2009. Cedera Kepala (Online) (https://docs.google.com/viewer?
a=v&q=cache:5DHSGBQJ1pgJ:yayanakhyar.files.wordpress.com/2009, diakses : 9
Juli 2013).
Moorhead, Sue. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC) Fourth Edition. St. Louis,
Missouri: Mosby Elsevier
NANDA. 2009. Diagnosis Keperawatan Definisi Dan Klasifikasi 2009-2011. Jakarta: EGC
PERDOSSI cabang Pekanbaru. Simposium trauma kranio-serebral tanggal 3 November
2007. Pekanbaru.
Price, A. Sylvia. 1995. Patofisiologi Edisi 4. Jakarta: EGC
Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M,. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Volume 2 Edisi 6. Jakarta: EGC
Price & Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2.
Jakarta : EGC
Smeltzer & Bare, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Brunner & Suddarth,
Volume 2, Jakarta: EGC.
Smetzer & Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8
Volume 3. Jakarta : EGC
Turner DA. Neurological evaluation of a patient with head trauma. Dalam : Neurosurgery 2nd
edition. New York: McGraw Hill, 1996.
Urrahman Zhiyya. 2010. Hematoma subdural. Online (akses 31 Agustus 2013)
http://srigalajantan.wordpress.com/2010/05/17/hematoma-subdural/