bab 2 analisa gas darah & ckb

41
BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1 Konsep Cedera Kepala 2.1.1 Pengertian Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatic dari fungsi otak yang diserai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak. Cidera kepala meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak. Secara anatomis otak dilindungi dari cidera oleh rambut, kulit kepala, serta tukang dan tentorium (helm) yang membungkusnya (Arif Muttaqin, 2011). Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi – decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan factor dan penurunan kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada kepala yang dirasakan 7

Upload: yudiapriadi

Post on 15-Apr-2016

257 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

Kajian pustaka

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 2 analisa gas darah & CKB

BAB 2

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Konsep Cedera Kepala

2.1.1 Pengertian

Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatic dari fungsi otak yang

diserai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa

diikuti terputusnya kontinuitas otak. Cidera kepala meliputi trauma kulit

kepala, tengkorak dan otak. Secara anatomis otak dilindungi dari cidera oleh

rambut, kulit kepala, serta tukang dan tentorium (helm) yang

membungkusnya (Arif Muttaqin, 2011).

Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk

atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan

perlambatan (accelerasi – decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk

dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan factor dan

penurunan kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada kepala yang

dirasakan juga oleh otak, sebagai akibat perputaran pada tindakan

pencegahan (Musliha, 2010)

Cidera kepala merupakan peristiwa yang sering terjadi dan

mengakibatkan kelainan neurologis yang serius serta telah mencapai

proporsi epidemic sebagai akibat dari kecelakaan kendaraan. Kadar alcohol

yang melebihi kadar aman telah ditemukan pada lebih dari 50% pasien

cidera kepala yang ditangani bagian kegawatdaruratan. Sedikitnya, separuh

7

Page 2: BAB 2 analisa gas darah & CKB

8

dari pasien dengan cidera kepala berat mengalami cidera yang signifikan

pada bagian tubuh lainnya (Brunner & Suddarth, 2001)

2.1.2 Anatomi dan Fisiologi Kepala

Struktur tulang yang menutupi dan melindungi otak, terdiri dari

tulang cranium dan tulang muka. Tulang cranium terdiri dari tiga lapisan:

lapisan luar, dipole dan lapisan dalam. Lapisan luar dan dalam merupakan

struktur yang kuat, sedangkan diploe merupakan struktur yang menyerupai

busa. Lapisan dalam membentuk rongga/fosa : fosa anterior (didalamnya

terdapat lobur frontalis), fosa tengah (berisi lobus temporalis, parietalis, dan

oksipitalis), fosa posterior (berisi otak tengah dan sereblum).

Meningen adalah selaput yang menutupi otak dan medulla spinalis

yang berfungsi sebagai pelindung. Pendukung jaringan-jaringan

dibawahnya, meningen terdiri dari Duramater (lapisan luar) yaitu selaput

keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal dan luas.

Duramater ditempat tertentu mengandung rongga yang mengalirkan

darah vena ke otak. Arachnoid (lapisan tengah) yaitu selaput halus yang

memisahkan duramater dengan piamater membentuk sebuah kantong atau

balon berisi cairan otak yang meliputi susunan saraf sentral. Piamater

(lapisan dalam) yaitu selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan

otak, piamater berhubungan dengan arachnoid melalui struktur-struktur

jaringan ikat yang disebut trabekel (Ganong, 2002)

Page 3: BAB 2 analisa gas darah & CKB

9

Otak terbagi menjdai tiga bagian utama yaitu yang pertama sereblum

merupakan bagian otak yang terbesar dan paling menonjol. Disini terletak

pusat-pusat saraf yang mengatur semua kegiatan sensorik dan motoric, juga

mengatur proses penalaran, ingatan dan intelegensia. Sereblum terbagi

menjadi hemisfer kanan dan kiri oleh suatu lekuk atau celah dalam yang

disebut fisura longitudinalis mayor.

Bagian luar hemisferium serebri terdiri dari substansial grisea yang

disebut sebagai korteks serebri, terletak diatas substansial alba yang

merupakan bagian dalam (inti) hemisfer dan dinamakan pusat medulla.

Kedua hemisfer saling dihubungkan oleh suatu pita serabut lebar yang

disebut korpus kalosum. Didalam substansial alba tertanam masa substansial

grisea yang disebut ganglia basalis. Pusat aktivitas sensorik dan motoric

pada masing-masing hemisfer dirangkap dua, dan biasanya berkaitan dengan

bagian tubuh yang berlawanan.

Hemisferium serebri kanan mengatur bagian tubuh sebelah kiri dan

sebaliknya. Konsep fungsional ini disebut pengendalian kontralateral. Setiap

hemisfer dibagi dalam lobus dan terdiri dari empat yaitu : Lobus frontalis,

Lobus temporal, Lobus oksipital, dan Lobus parietalis. Yang kedua

sereblum didalam fosa krani posterior dan ditutupi oleh duramater yang

menyerupai atap tenda, yaitu tentonium yang memisahan dari bagian

posterior sereblum.

Sereblum terdiri dari bagian tengah dan dua hemisfer lateral.

Sereblum dihubungkan dengan batang otak oleh tiga berkas serabut yang

Page 4: BAB 2 analisa gas darah & CKB

10

dinamakan pedunkulus. Pedunkulus serebri superior berhubungan dengan

kedua hemisfer otak, sedangkan hemisfer serebri inferior berisi serabut-

serabut traktus spinus serebralis dorsalis dan berhubungan dengan medulla

oblongata. Semua aktifitas serebrum dibawah kesadaran fungsi utamanya

adalah pusat reflek yang mengkoordinasi dan memperhalus gerakan otot,

serta mengubah tonus dan kekuatan kontraksi untuk mempertahankan

keseimbangan dan sikap tubuh.

Diseluruh batang otak banyak ditemukan jaras-jaras yang berjalan

naik turun. Batang otak merupakan pusat penyampaian dan reflek yang

penting dari SSP. Selain nerfus alfaktorius dan optikus, nuclei nervus

kranialis atau lebih yang turut terlibat dalam lesi batang otak.

Letak dan penyebaran lesi ini dapat dideteksi menggunakan

pemeriksaan fungsi saraf kranialis. Nervus kranialis I (alfaktorius) dan II

(optikus) merupakan jaras SSP, nervus optikus dapat terkena pada penyakit-

penyakit SSP misal sclerosis multiple dan tumor (Price & Willson, 2006).

2.1.3 Etiologi Cidera Kepala

Penyebab cidera kepala yaitu trauma tajam yang merupakan

kerusakan yang terjadi hanya terbatas pada daerah dimana ini merobek otak,

misalnya tertembak peluru. Trauma tumpul yang merupakan kerusakan

menyebar karena kekuatan benturan, biasanya bersifat lebih berat.

Cidera akselerasi yang merupakan peristiwa gonjatan yang hebat

pada kepala baik disebabkan oleh pukulan maupun bukan dari pukulan.

Page 5: BAB 2 analisa gas darah & CKB

11

Kontak benturan (gonjatan langsung) terjadi benturan atau tertabrak sesuatu

objek, kecelakaan lalu lintas, jatuh, kecelakaan industry, serangan yang

disebabkan karena olahraga, perkelahian (Smeltzer & Bare, 2010).

2.1.4 Patofisiologi Cidera Kepala

Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan

glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf

hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan

oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan

menyebabkan gangguan fungsi (Musliha, 2010).

Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar

metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20% suplai darah, karena akan

menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25% dari seluruh

kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai

70% akan terjadi gajala-gejala permulaan disfungsi serebral (Musliha,

2010).

Saat terjadinya trauma pada kepala, akan memungkinkan terjadinya

peningkatan tekan intra kranial (TIK), edema otak barangkali merupakan

penyebab yang paling lazim dari peningkatan intrakranial dan memiliki daya

penyebab antara lain peningkatan cairan intra sel, hipoksia,

ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, iskemi serebral, meningitis dan

cedera. Tekanan intrakranial (TIK) pada umumnya meningkat secara

Page 6: BAB 2 analisa gas darah & CKB

12

berangsur-angsur setelah cedera kepala, timbulnya edema memerlukan

waktu 36 – 48 jam untuk mencapai maksimum (Musliha, 2010).

Peningkatan TIK sampai 33 mmHg (450 mmH2O) mengurangi

aliran darah otak (ADO) secara bermakna, iskemi yang timbul merangsang

vasomotor dan tekanan darah sistemik meningkat. Rangsangan pada pusat

inhibisi jantung mengakibatkan bradikardi dan pernafasan menjadi lebih

lambat. Tekanan darah sistemik akan terus meningkat seiring dengan

meningkatnya TIK, walaupun akhirnya dicapai suatu titik dimana TIK

melebihi tekanan arteri dan sirkulasi otak berhenti dengan akibat kematian

otak. Pada umumnya kejadian ini didahului oleh penurunan yang cepat dari

tekanan daraaaah arteri (Price & Willson, 2006).

Trauma otak menyebabkan fragmentasi jaringan dan kontosio akan

merusak sawar darah otak (SDO) disertai vasodilatasi dan eksudasi cairan

sehingga timbul edema. Edema menyebabkan peningkatan tekanan pada

jaringan dan akhirnya meningkatkan TIK, yang pada gilirannya akan

menurunkan aliran darah otak (ADO), iskemia, hipoksia, asidosis

(penurunan pH dan peningkatan PCO2) dan kerusakan SDO lebih lanjut

(Price & Willson, 2006).

Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi

kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat

menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau

kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme

anaerob (Musliha, 2010). Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.

Page 7: BAB 2 analisa gas darah & CKB

13

Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50-60

ml/menit/100 gr. Jaringan otak, yang merupakan 15% dari kardiak output.

Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas

atypical-myocardial perubahan tekanan vaskuler dan oedeme paru (Musliha,

2010).

2.1.5 Klasifikasi Cidera Kepala

Menurut Arif Muttaqin, (2011). Cedera kepala dapat diklasifikasikan

berdasarkan penilaian dari skor GCS (Glasgow Coma Scale) dan dapat

dikelompokan menjadi tiga, yaitu :

a. Cedera kepala ringan (CKR)

Cedera kepala ringan dengan nilai GCS: 13-15, yaitu pasien dengan

keadaan sadar, menuruti perintah tapi disorientasi, tidak ada kehilangan

kesadaran, tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang, pasien dapat

mengeluh nyeri kepala dan pusing, pasien dapat menderita laserasi,

hematoma kulit kepala, tidak adanya kriteria cedera kepala sedang- berat.

b. Cederda kepala sedang (CKS)

Cedera kepala sedang dengan nilai GCS: 9-12 yaitu pasien bisa atau

tidak bisa menuruti perintah, namun tidak memberi respon yang sesuai

dengan pernyataan yang diberikan, seperti amnesia paska trauma, muntah,

tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda Battle, mata rabun,

hemotimpanum, rinore dan otore cairan serebro spinal), kejang.

Page 8: BAB 2 analisa gas darah & CKB

14

c. Cedera kepala berat (CKB)

Cedera kepala berat dengan nilai GCS kurang dari atau sama dengan

8, yaitu pasien dengan penurunan kesadaran secara progresif, tanda

neurologis focal, cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi

cranium. Pada klien dengan cedera kepala berat dan sudah terjadi disfungsi

pusat pernafasan, klien biasanya dipasang ETT dan ventilator dan biasanya

klien dirawat di ruang intensif sampai kondisi klien menjadi stabil.

2.1.6 Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala kerusakan otak didasarkan pada luasnya kerusakan

otak. Menurut Brunner & Suddarth (2001), cidera kepala ringan (CKR)

ditandai dengan kebingungan, sakit kepala, rasa mengantuk yang abnormal

dan sebagian besar mengalami penyembuhan total dalam beberapa jam atau

hari.

Cedera kepala sedang (CKS) ditandai dengan kelemahan pada salah

satu tubuh yang disertai dengan kebingungan atau bahkan koma, gangguan

kesadaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba deficit neurologi, perubahan

tanda-tanda vital, gangguan pengelihatan dan pendengaran, disfungsi

sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan pergerakan.

Sedangkan cedera kepala berat (CKB) merupakan peristiwa dimana

pasien mengalami amnesia dan tidak dapat mengingat peristiwa sesaat

sebelum dan sesudah terjadinya penurunan kesehatan atau kecelakaan, pupil

Page 9: BAB 2 analisa gas darah & CKB

15

tidak ekual, pemeriksaan motoric tidak ekual, adanya cedera terbuka, fraktur

tengkorak dan penurunan neurologic.

2.1.7 Penatalaksanaan Medis

Semua terapi diarahkan untuk mempertahankan homeostasis otak

dan mencegah kerusakan otak sekunder. Kerusakan otak sekunder ini

menyebabkan odem otak, hipotensi, penurunan fungsi pernafasan yang

berakibat terjadinya hipoksemia dan gangguan keseimbangan elektrolit.

Tindakan ini meliputi stabilisasi kardiovaskuler dan fungsi pernafasan untuk

mempertahankan perfusi serebral adekuat. Pengontrolan terhadap

perdarahan dan hipovolemik, dan mempertahankan nilai-nilai gas darah

sesuai dengan nilai yang diinginkan (Smeltzer and Bare, 2010)

Menurut Mansjoer, A, dkk (2000), penatalaksanaan yang akan

dilakukan pada kasus cedera kepala berat adalah :

a. Pedoman resusitasi dan penilaian awal

Menilai jalan nafas, bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan,

lepaskan gigi palsu (jika ada indikasi), pertahankan tulang servikal segaris

dengan badan dengan memasang servikal collar, pasang gudel bila dapat

ditolerir, jika cedera orofasial mengganggu jalan nafas maka pasien harus

di intubasi

b. Menilai pernafasan

Tentukan pasien bernafas atau tidak, jika tidak berikan oksigen

melalui masker, jika pasien bernafas spontan, sedikit dan atasi cedera dada

Page 10: BAB 2 analisa gas darah & CKB

16

berat seperti pneumotoraks, pneuomotoraks tensif, hemopneumotoraks,

pasang oksimeter nadi jika tersedia dengan tujuan menjaga saturasi

oksigen minimum 95%, jika nafas pasien tidak terlindung bahkan

terancam atau mendapatkan oksigen yang adekuat (PaO2 > 95 mmHg dan

PaCO2 < 40 mmHg serta saturasi O2 > 95%) atau muntah maka pasien

harus di intubasi serta diventilasi oleh anastesi.

c. Menilai sirkulasi

Otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi, hentikan semua

perdarahan dengan menekan arterinya, perhatikan secara khusus adanya

cedera intra abdomen atau dada, ukur dan catat frekuensi denyut jantung

dan tekanan darah, pasang alat pemantau dan EKG bila tersedia, pasang

jalur intravena yang besar, dan lakukan pemeriksaan analisa gas darah

(AGD), pemeriksaan darah perifer lengkap, ureum, elektrolit dan glukosa

untuk mengetahui adanya penurunan aliran darah otak (ADO), iskemia,

hipoksia, asidosis (penurunan pH dan peningkatan PCO2) dan kerusakan

SDO lebih lanjut terutama pada pasien dengan cedera kepala sedang dan

cedera kepala berat (Price & Willson, 2006).

Untuk penatalaksanaan kliniknya, menurut Smeltzer, dkk (2010)

perlu dilakukan dua hal, yaitu :

a. Tindakan terhadap peningkatan tekanan intrakranial

Ketika otak yang rusak mengalami pembengkakan atau tejadi

penumpukan darah yang cepat, akan terjadi peningkatan tekanan

intrakranial (TIK) dan harus ditindak dengan segera. TIK dipantau secara

Page 11: BAB 2 analisa gas darah & CKB

17

ketat dan bila terjadi peningkatan maka dapat diatasi dengan

mempertahankan oksigenasi yang adekuat.

Tindakan operasi diperlukan untuk evakuasi pembekuan darah,

debridemen dan pengangkatan tulang yang fraktur yang mendesak ke

dalam, dan menjahit kulit kepala yang mengalami laserasi. Untuk

memonitor TIK dengan mempertahankan oksigenasi yang adekuat,

mengatur posisi kepala lebih tinggi dari tempat tidur, dan

mempertahankan volume darah dalam batas normal.

b. Tindakan pendukung lainnya

Tindakan lainnya pada pasien cedera kepala adalah dukungan

ventilasi, pencegahan kejang, pemeliharaan cairan dan elektrolit,

keseimbangan nutrisi, dan pengelolaan nyeri dan kecemasan. Pada

pasien koma perlu diintubasi dan dipasang ventilasi mekanis untuk

mengontrol dan melindungi jalan nafas biasanya terjadi pada pasien

dengan cidera kepala berat.

Serangan kejang dapat terjadi pada pasien yang mengalami cedera

kepala akibat hipoksia yang akan menyebabkan kerusakan otak

sekunder. Untuk mengatasinya dapat diberikan antikonvulsan. Bila

pasien sangat teragitasi, dapat diberikan benzodiazepine (klorpromazin)

untuk menenangkan pasien tanpa menurunkan tingkat kesadaran.

Selang nasogastrik dapat dipasang, bila motilitas lambung menurun

dan peristaltik usus terbalik dikarenakan cedera kepala, dengan membuat

regurgitasi dan aspirasi pada beberapa jam pertama.

Page 12: BAB 2 analisa gas darah & CKB

18

2.1.8 Komplikasi

Komplikasi yang terjadi pada pasien dengan cedera kepala menurut

Tarwoto, (2007) antara lain :

a. Cedera otak sekunder akibat hipoksia dan hipotensi

Hipoksia dapat terjadi akibat adanya trauma di daerah dada yang

terjadinya bersamaan dengan cedera kepala. Adanya obstruksi saluran

pernafasan, atelectasis, aspirasi, pneumotoraks atau gangguan gerak

pernafasan dapat berdampak pasien mengalami kesulitan bernafas dan

pada akhirnya pasien dapat mengalami hipoksia.

b. Edema Serebral

Edema adalah tertimbunnya cairan yang berlebihan didalam

jaringan. Edema serebral akan menyebabkan bertambah besarnya masa

jaringan otak didalam rongga tengkorak yang merupakan ruang

tertutup. Kondisi ini akan menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan

intra kranial yang selanjutnya juga akan mengakiatkan terjadinya

perfusi jaringan otak.

c. Peningkatan tekannan intra kranial

Tekanan intracranial dapat meningkat karena beberapa sebab,

yaitu perdarahan pada selaput otak, misalnya hematoma epidural dan

subdural. Pada perdarahan dalam jaringan otak, misalnya laserasi dan

hematoma serebri, dan dapat pula akibat terjadinya kelainan parenkim

otak yaitu berupa edema serebri.

Page 13: BAB 2 analisa gas darah & CKB

19

d. Herniasi jaringan otak

Adanya penambahan volume dalam ruang tengkorak (misalnya

karena ada hematoma) akan menyebabkan semakin meningkatnya

tekanan intracranial. Sampai batas tertentu kenaikan ini akan dapat

ditoleransi, namun bila tekanan semakin tinggi akhirnya tidak dapat

ditoleransi lagi dan terjadilah komplikasi berupapergeseran dari struktur

otak tertentu kearah celah-celah yang ada.

e. Infeksi

Cedera kepala yang disertai dengan adanya robekan pada kulit

akan memiliki risiko tinggi terjadinya infeksi, sebagaimana pelukaan

dibagian tubuh lainnya. Infeksi yang terjadi akan mengakibatkan

terjadinya Meningitis, Ensefalitis, Empysema subdural, Osteomilietis

tulang tengkorak, bahkan abses otak.

f. Hidrosefalus

Hidrosefalus merupakan salah satu komplikasi dari cedera

kepala, khususnya dan paling sering terjadi pada pasien dengan cedera

kepala berat.

g. Defisit neurologik dan psikologik

Pasien cedera kepala dapat mengalami paralisis saraf lokal

seperti anosmia (tidak dapat mencium bau-bauan) atau abnormalitas

gerakan mata, dan defisit neurologik seperti afasia, defek memori, dan

kejang postraumatik atau epilepsi. Pasein mengalami sisa penurunan

psikologis oarganik (melawan, emosi labil, atau tidak punya malu,

Page 14: BAB 2 analisa gas darah & CKB

20

prilaku agresif) dan konsekuensi gangguan, kurangnya wawasan

terhadap emosi.

2.2 Konsep Analisa Gas Darah

2.2.1 Pengertian

Analisa Gas Darah (AGD) merupakan “baku emas” untuk menilai

adekuasi oksigenasi dan ventilasi, merupakan bagian penting dalam

diagnosis serta penatalaksanaan gangguan oksigenasi dan asam basa.

Analisis gas darah yang abnormal mungkin merupakan petunjuk pertama

problem asam basa atau oksigenasi dan akan membantu penentuan terapi

yang sesuai dan efektif (Price & Willson, 2006).

2.2.2 Indikasi Pemeriksaan Analisa Gas Darah

Indikasi dilakukannya pemeriksaan Analisa Gas Darah (AGD) yaitu :

a. Pasien dengan penyakit obstruksi paru kronik

Penyakit paru obstruktif kronis yang ditandai dengan adanya

hambatan aliran udara pada saluran napas yang bersifat progresif

irreversible ataupun reversible parsial. Terdiri dari 2 macam jenis yaitu

bronchitis kronis dan emfisema, tetapi bisa juga gabungan antar

keduanya.

Page 15: BAB 2 analisa gas darah & CKB

21

b. Pasien dengan edema pulmo

Pulmonary edema terjadi ketika alveoli dipenuhi dengan

kelebihan cairan yang merembes keluar dari pembuluh-pembuluh darah

dalam paru sebagai gantinya udara. Ini dapat menyebabkan persoalan-

persoalan dengan pertukaran gas (oksigen dan karbon dioksida),

berakibat pada kesulitan bernapas dan pengoksigenan darah yang

buruk. Adakalanya, ini dapat dirujuk sebagai "air dalam paru-paru"

ketika menggambarkan kondisi ini pada pasien-pasien.

Pulmonary edema dapat disebabkan oleh banyak faktor-faktor

yang berbeda. Dapat dihubungkan pada gagal jantung,

disebut cardiogenic pulmonary edema, atau dihubungkan pada sebab-

sebab lain, dirujuk sebagai non-cardiogenic pulmonary edema.

c. Pasien akut respiratori distress sindrom (ARDS)

ARDS terjadi sebagai akibat cedera atau trauma pada membran

alveolar kapiler yang mengakibatkan kebocoran cairan kedalam ruang

interstisiel alveolar dan perubahan dalam jaring- jaring kapiler , terdapat

ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi yang jelas akibat-akibat

kerusakan pertukaran gas dan pengalihan ekstansif darah dalam paru-

paru. ARDS menyebabkan penurunan dalam pembentukan surfaktan ,

yang mengarah pada kolaps alveolar .

Komplians paru menjadi sangat menurun atau paru- paru menjadi

kaku akibatnya adalah penurunan karakteristik dalam kapasitas residual

fungsional, hipoksia berat dan hipokapnia (Brunner & Suddart, 2001).

Page 16: BAB 2 analisa gas darah & CKB

22

d. Infark miokard

Infark miokard adalah perkembangan cepat dari nekrosis otot

jantung yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara suplai dan

kebutuhan oksigen (Fenton, 2009). Klinis sangat mencemaskan karena

sering berupa serangan mendadak umumya pada pria 35-55 tahun,

tanpa gejala pendahuluan (Santoso, 2005).

e. Pneumonia

Pneumonia merupakan penyakit dari paru-paru dan sistem

dimana alveoli (mikroskopik udara mengisi kantong dari paru yang

bertanggung jawab untuk menyerap oksigen dari atmosfer) menjadi

radang dan dengan penimbunan cairan.

Pneumonia disebabkan oleh berbagai macam sebab,meliputi

infeksi karena bakteri,virus,jamur atau parasit. Pneumonia juga dapat

terjadi karena bahan kimia atau kerusakan fisik dari paru-paru, atau

secara tak langsung dari penyakit lain seperti kanker paru atau

penggunaan alkohol.

f. Pasien Syok

Syok merupakan suatu sindrom klinik yang terjadi jika sirkulasi

darah areteri tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolism

jaringan. Perfusi jaringan yang adekuat tergantung pada tiga factor

utama, yaitu: penurunan curah jantung, volume darah dan pembuluh

darah.

Page 17: BAB 2 analisa gas darah & CKB

23

Jika salah satu dari ketiga factor penentu ini kacau dan factor lain

tidak dapat melakukan kompensasi maka akan terjadi syok. Pada syok

juga terjadi hipoperfusi jaringan yang menyebabkan gangguan nutrisi

dan metabolism sel sehingga sering kali menyebabkan kematian pada

pasien.

g. Post pembedahan coronary arteri baypass

Coronary Artery Bypass Graft adalah terjadinya suatu respon

inflamasi sistemik pada derajat tertentu dimana hal tersebut ditandai

dengan hipotensi yang menetap, demam yang bukan disebabkan karena

infeksi, DIC, oedema jaringan yang luas, dan kegagalan beberapa organ

tubuh. Penyebab inflamasi sistemik ini dapat disebabkan oleh suatu

respon banyak hal, antara lain oleh karena penggunaan

Cardiopulmonary Bypass (Surahman, 2010).

h. Resusitasi cardiac arrest

Penyebab utama dari cardiac arrest adalah aritmia, yang

dicetuskan oleh beberapa faktor,diantaranya penyakit jantung koroner,

stress fisik (perdarahan yang banyak, sengatan listrik, kekurangan

oksigen akibat tersedak, tenggelam ataupun serangan asma yang berat),

kelainan bawaan, perubahan struktur jantung (akibat penyakit katup

atau otot jantung) dan obat-obatan.

Penyebab lain cardiac arrest adalah tamponade jantung dan

tension pneumothorax. Sebagai akibat dari henti jantung, peredaran

darah akan berhenti. Berhentinya peredaran darahmencegah aliran

Page 18: BAB 2 analisa gas darah & CKB

24

oksigen untuk semua organ tubuh. Organ-organ tubuh akan mulai

berhenti berfungsi akibat tidak adanya suplai oksigen, termasuk otak.

Hypoxia cerebral atau ketiadaan oksigen ke otak, menyebabkan korban

kehilangan kesadaran dan berhenti bernapas normal.

i. Trauma kepala

Saat terjadinya trauma pada kepala, akan memungkinkan

terjadinya peningkatan tekan intra kranial (TIK) yang pada umumnya

meningkat secara berangsur-angsur setelah cedera kepala, timbulnya

edema memerlukan waktu 36 – 48 jam untuk mencapai maksimum

(Musliha, 2010). Peningkatan TIK sampai 33 mmHg (450 mmH2O)

mengurangi aliran darah otak (ADO) secara bermakna, iskemi yang

timbul merangsang vasomotor dan tekanan darah sistemik meningkat

dan rangsangan pada pusat inhibisi jantung mengakibatkan bradikardi

dan pernafasan menjadi lebih lambat (Price & Willson, 2006).

Trauma otak menyebabkan fragmentasi jaringan dan kontosio

akan merusak sawar darah otak (SDO) disertai vasodilatasi dan

eksudasi cairan sehingga timbul edema yang pada gilirannya akan

menurunkan aliran darah otak (ADO), iskemia, hipoksia, asidosis

(penurunan pH dan peningkatan PCO2) dan kerusakan SDO lebih lanjut

(Price & Willson, 2006).

Page 19: BAB 2 analisa gas darah & CKB

25

2.2.3 Kontra Indikasi Analisa Gas Darah

a. Denyut arteri tidak terasa, pada pasien yang mengalami koma (Irwin

& Hippe, 2010).

b. Modifikasi Allen tes negatif , apabila test Allen negative tetapi tetap

dipaksa untuk dilakukan pengambilan darah arteri lewat arteri

radialis, makaakan terjadi thrombosis dan berisiko mengganggu

viabilitas tangan.

c. Selulitis atau adanya infeksi terbuka atau penyakit pembuluh darah

perifer pada tempat yang akan diperiksa

d. Adanya koagulopati (gangguan pembekuan) atau pengobatan

denganantikoagulan dosis sedang dan tinggi merupakan

kontraindikasi relatif.

2.2.4 Antikoagulan Yang Digunakan

Antikoagulan yang digunakan dalam pengambilan darah arteri

adalah heparin. Pemberian heparin yang berlebihanakan menurunkan

tekanan CO2.Antikoagulan dapat mendilusi konsentrasi gas darah dalam

tabung. Sedangkan pH tidak terpengaruh karena efek penurunan CO2

terhadap pH dihambat oleh keasaman heparin.

2.2.5 Alat Perlindungan Diri (APD) Untuk Petugas

Alat Perlindungan Diri (APD) yang harus digunakan seorang petugas

(Plebotomis) yaitu (Rohani, 2008) :

Page 20: BAB 2 analisa gas darah & CKB

26

a. Jas Laboratorium

Pemakaian utama dari jas laboratorium adalah untuk melindungi

pakaian petugas pelayanan kesehatan. Jas laboratorium diperlukan

sewaktu melakukan tindakan, bila baju tidak ingin kotor.

b. Sarung Tangan (Handscoon)

Alat ini merupakan pembatas fisik terpenting untuk mencegah

terjadi infeksi, tetapi harus diganti setiap kontak dengan satu pasien ke

pasien yang lainnya untuk mencegah kontaminasi silang. Sarung

tangan harus dipakai kalau menangani darah, sekresi dan eksresi

(kecuali keringat). Petugas kesehatan (Plebotomis) menggunakan

sarung tangan untuk tiga alasan, yaitu:

1) Mengurangi risiko petugas kesehatan terkena infeksi dari

pasien.

2) Mencegah penularan flora kulit petugas kepada pasien.

3) Mengurangi kontaminasi tangan petugas kesehatan dengan

mikroorganisme yang dapat berpindah dari satu pasien ke

pasien lain.

c. Masker

Masker digunakan untuk menahan cipratan yang keluar sewaktu

petugas kesehatan atau petugas bedah berbicara, batuk, bersin, dan

juga mencegah cipratan darah atau cairan tubuh yang terkontaminasi

masuk ke dalam hidung atau mulut petugas kesehatan.

Page 21: BAB 2 analisa gas darah & CKB

27

d. Sepatu Laboratorium

Alas kaki/sepatu laboratorium dipakai untuk melindungi kaki dari

perlukaan oleh benda tajam atau dari cairan yang jatuh atau menetes

kaki. Sepatu bot dari karet atau kulit lebih melindungi, tapi harus

bersih dan bebas dari kontaminasi darah atau cairan tubuh lainnya.

e. Kap (penutup rambut)

Dipakai untuk menutup rambut dan kepala, tujuan utamanya

adalah melindungi pemakainya dari cipratan darah dan cairan tubuh

lainnya.

f. Pelindung Mata

Pelindung mata melindungi petugas kesehatan dari cipratan darah

atau cairan tubuh lainnya yang terkontaminasi dengan pelindung mata.

2.2.6 Lokasi Pengambilan Darah Arteri

a. Arteri Radialis dan Arteri Ulnaris (sebelumnya dilakukan allen’s test)

Test Allen’s merupakan uji penilaian terhadap sirkulasi darah di

tangan, hal ini dilakukan dengan cara yaitu: pasien diminta untuk

mengepalkan tangannya, kemudian berikan tekanan pada arteri radialis

dan arteri ulnaris selama beberapa menit, setelah itu minta pasien untuk

membuka tangannya, lepaskan tekanan pada arteri, observasi warna jari-

jari, ibu jari dan tangan. Jari-jari dan tangan harus memerah dalam 15

detik, warnamerah menunjukkan test allen’s positif. Apabila tekanan

dilepas, tangan tetap pucat, menunjukkan test allen’s negatif. Jika

Page 22: BAB 2 analisa gas darah & CKB

28

pemeriksaan negatif, hindarkan tangan tersebut dan periksa tangan yang

lain.

b. Arteri Dorsalis pedis

Merupakan arteri pilihan ketiga jika arteri radialis dan ulnaris tidak

bisa digunakan.

c. Arteri Brakialis

Merupakan arteri pilihan keempat karena lebih banyak resikonya

bila terjadi obstruksi pembuluh darah. Selain itu arteri femoralis terletak

sangat dalam dan merupakan salah satu pembuluh utama yang

memperdarahi ekstremitas bawah.

d. Arteri Femoralis

Merupakan pilihan terakhir apabila pada semua arteri diatas

tidak dapat diambil. Bila terdapat obstruksi pembuluh darah

akan menghambat aliran darah ke seluruh tubuh / tungkai bawah dan bila

yang dapat mengakibatkan berlangsung lama dapat menyebabkan

kematian jaringan. Arteri femoralis berdekatan dengan vena besar,

sehingga dapat terjadi percampuran antara darah vena dan arteri. Selain

itu arteri femoralis terletak sangat dalam dan merupakan salah satu

pembuluh utama yang memperdarahi ekstremitas bawah.

Arteri Femoralis atau Brakialis sebaiknya jangan digunakan jika

masih ada alternative lain karena tidak memiliki sirkulasi kolateral yang

cukup untuk mengatasi bila terjadi spasme atau thrombosis. Sedangkan

Page 23: BAB 2 analisa gas darah & CKB

29

arteri temporalis atau axillaris sebaiknya tidak digunakan karena adanya

resiko emboli ke otak.

2.2.7 Interpretasi Hasil AGD

Secara singkat, hasil AGD terdiri atas komponen:

a. pH atau ion H+, menggambarkan apakah pasien mengalami asidosis atau

alkalosis. Nilai normal pH berkisar antara 7,35 sampai 7,45.

b. PO2, adalah tekanan gas O2 dalam darah. Kadar yang rendah

menggambarkan hipoksemia dan pasien tidak bernafas dengan adekuat.

PO2 dibawah 60 mmHg mengindikasikan perlunya pemberian oksigen

tambahan. Kadar normal PO2 adalah 80-100 mmHg

c. PCO2, menggambarkan gangguan pernafasan. Pada tingkat metabolisme

normal, PCO2 dipengaruhi sepenuhnya oleh ventilasi. PCO2 yang tinggi

menggambarkan hipoventilasi dan begitu pula sebaliknya. Pada kondisi

gangguan metabolisme, PCO2 dapat menjadi abnormal sebagai

kompensasi keadaan metabolik. Nilai normal PCO2 adalah 35-45 mmHg

d. HCO3-, menggambarkan apakah telah terjadi gangguan metabolisme,

seperti ketoasidosis. Nilai yang rendah menggambarkan asidosis metabolik

dan begitu pula sebaliknya. HCO3- juga dapat menjadi abnormal ketika

ginjal mengkompensasi gangguan pernafasan agar pH kembali dalam

rentang yang normal. Kadar HCO3- normal berada dalam rentang 22-26

mmol/l

Page 24: BAB 2 analisa gas darah & CKB

30

e. Base excess (BE), menggambarkan jumlah asam atau basa kuat yang harus

ditambahkan dalam mmol/l untuk membuat darah memiliki pH 7,4 pada

kondisi PCO2 = 40 mmHg dengan Hb 5,5 g/dl dan suhu 37C0. BE bernilai

positif menunjukkan kondisi alkalosis metabolik dan sebaliknya, BE

bernilai negatif menunjukkan kondisi asidosis metabolik. Nilai normal BE

adalah -2 sampai 2 mmol/l

f. Saturasi O2, menggambarkan kemampuan darah untuk mengikat oksigen.

Nilai normalnya adalah 95-98 %

Dari komponen-komponen tersebut dapat disimpulkan menjadi

empat keadaan yang menggambarkan konsentrasi ion H+ dalam darah

yaitu:

a. Asidosis respiratorik

Adalah kondisi dimana pH rendah dengan kadar PCO2 tinggi

dan kadar HCO3- juga tinggi sebagai kompensasi tubuh terhadap

kondisi asidosis tersebut. Ventilasi alveolar yang inadekuat dapat

terjadi pada keadaan seperti kegagalan otot pernafasan, gangguan pusat

pernafasan, atau intoksikasi obat.

Kondisi lain yang juga dapat meningkatkan PCO2 adalah

keadaan hiperkatabolisme. Ginjal melakukan kompensasi dengan

meningkatkan ekskresi H+ dan retensi bikarbonat. Setelah terjadi

kompensasi, PCO2 akan kembali ke tingkat yang normal.

Page 25: BAB 2 analisa gas darah & CKB

31

b. Alkalosis respiratorik

Perubahan primer yang terjadi adalah menurunnya PCO2

sehingga pH meningkat. Kondisi ini sering terjadi pada keadaan

hiperventilasi, sehingga banyak CO2 yang dilepaskan melalui

ekspirasi.

Penting bagi dokter untuk menentukan penyebab

hiperventilasi tersebut apakah akibat hipoksia arteri atau kelainan paru-

paru, dengan memeriksa PaO2. Penyebab hiperventilasi lain

diantaranya adalah nyeri hebat, cemas, daniatrogenik akibat ventilator.

Kompensasi ginjal adalah dengan meningkatkan ekskresi bikarbonat

dan K+ jika proses sudah kronik.

c. Asidosis Metabolik

Ditandai dengan menurunnya kadar HCO3-, sehingga pH

menjadi turun. Biasanya disebabkan oleh kelainan metabolik seperti

meningkatnya kadar asam organik dalam darah atau ekskresi HCO3-

berlebihan. Pada kondisi ini, paru-paru akan memberi respon yang

cepat dengan melakukan hiperventilasi sehingga kadar PCO2 turun.

Terlihat sebagai pernafasan kusmaul.

Pemberian ventilasi untuk memperbaiki pola pernafasan

justru akan berbahaya, karena menghambat kompensasi tubuh terhadap

kondisi asidosis. Untuk mengetahui penyebab asidosis metabolik,

dapat dilakukan penghitungan anion gap melalui rumus

Page 26: BAB 2 analisa gas darah & CKB

32

d. Alkalosis metabolik

Adalah keadaan pH yang meningkat dengan HCO3- yang

meningkat pula. Adanya peningkatan PCO2 menunjukkan terjadinya

kompensasi dari paru-paru.

Penyebab yang paling sering adalah iatrogenik akibat

pemberian diuretik (terutama furosemid), hipokalemia, atau

hipovolemia kronik dimana ginjal mereabsorpsi sodium dan

mengekskresikan H+, kehilangan asam melalui GIT bagian atas, dan

pemberian HCO3- atau prekursornya (laktat atau asetat) secara

berlebihan.

Persisten metabolik alkalosis biasanya berkaitan dengan

gangguan ginjal, karena biasanya ginjal dapat mengkompensasi

kondisi alkalosis metabolik.