129924739 lap kasus ckb rudy evi
TRANSCRIPT
LAPORAN KASUS
Anamnesa (alloanamnesa)
Tanggal 27 Desember 2009
Identitas Penderita
Nama : Adytia Nur
Usia : 15 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Jl. Antasari II
Agama : Islam
Status : Belum Kawin
MRS : 27 Desember 2009 pukul 22.50 WITA
Keluhan utama : tidak sadar
Telaah : Pasien tidak sadarkan diri sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit akibat
kecelakaan lalu lintas. Saat mengendarai sepeda motor, pasien disenggol oleh
sepeda motor lain yang membuat pasien kehilangan kesiembangan sehingga
pasien jatuh. Pasien langsung tidak sadarkan diri, kepalanya membentur jalanan
namun pasien masih mengenakan helm, keluar darah dari hidung dan telinga.
Kemudian pasien dibawa ke RS Dirgahayu, namun karena ruangan penuh, pasien
dirujuk ke RS A.W.Sjahranie . Saat di RS A.W.Sjahranie pasien muntah sebanyak
2 kali.
Primary Survey
Airway : unclear, snoring
Breathing : unstabil, RR= 30 x/menit
Circulation : unstabil, N : 104 x/menit, TD : 95/64 mmHg
Disability : Coma, GCS:8, E2V2M4
Exposure : status lokalis
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Somnolen dengan GCS: 8, E2V2M4
Tanda – tanda vital :
Tekanan darah : 95 / 64mmHg
Nadi : 104 x / menit
Respirasi : 30 x / menit
Temperatur : 36,5 C
Kepala dan Leher
Konjungtiva anemis :
Subconjungtiva suffusion :
Sklera ikterik :
Thypoid tongue :
Sianosis :
Dyspnea :
Pembesaran KGB :
JVP :
Thorax
Paru
Inpeksi :
Palpasi :
Perkusi :
Auskultasi :
Jantung
Inspeksi :
Palpasi :
Perkusi : Batas jantung
Kanan :
Atas :
Kiri :
Auskultasi :
Abdomen
Inspeksi :
Palpasi :
Perkusi :
Auskultasi :
Ekstremitas
Pemeriksaan Penunjang (Laboratorium)
27 Desember 2009
Hemoglobin : 13,2 Grams/DL
Hematokrit : 39,8 %
Trombosit : 345.000 /mm3
Leukosit : 39.900 /mm3
Eritrosit : 5090 /mm3
GDS : 154 mg/dl
BT : 3 detik
CT : 8 detik
28 Desember 2009 ( ICU )
Hemoglobin : 13,2 Grams/DL
Hematokrit : 40,0 %
Trombosit : 309.000 /mm3
Leukosit : 10.400 /mm3
Eritrosit : 5050 /mm3
GDS : 138 mg/dl
Albumin : 3,5 g/dl
Ureum : 29,3 mg/dl
Creatinin : 1,1 mg/dl
Natrium : 144 mmol/L
Kalium : 3,7 mmol/L
Chlorida : 109 mmol/L
Diagnosis
Penatalaksanaan
IVFD D10 : Aminofusin hepar / 1:1 20 tetes/menit
Antrain ( jika nyeri )
Ceftriaxon 2 x 1gr
Ranitidin 2 x 1 ampul
Vitamin K 3 x 1 ampul
Hidrasi: RL 30 ttes/menit 500-1000cc ( Stop bila ada oedem paru )
KAEN 3B 20 tetes/menit
Pasang kateter dan cek urine output
ANALISA KASUS
Anamnesa
Pemeriksaan Fisik
TINJAUAN PUSTAKA
Cedera Kepala
A. Definisi
Menurut Brain Injury Assosiation of America cedera kepala atau truma
kapitis adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
Cedera kepala atau trauma kapitis dapat mengakibatkan gangguan fungsi
perilaku atau gangguan emosi, kerusakan dapat bersifat sementara atau menetap
dan menyebabkan gangguan sebagian atau seluruh fungsi tubuh serta
ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.
Adapun pembagian trauma kapitis adalah:
Simple head injury
Commotio cerebri
Contusion cerebri
Laceratio cerebri
Basis cranii fracture
Simple head injury dan Commotio cerebri sekarang digolongkan sebagai cedera
kepala ringan. Sedangkan Contusio cerebri dan Laceratio cerebri digolongkan
sebagai cedera kepala berat.
B. Etiologi
Kebanyakan cedera kepala merupakan akibat kontak- bentur yang
tejadi bila kepala membentur atau menabrak suatu objek atau sebaliknya dan
gunjangan lanjut sering juga disebut cedera akselerasi yang merupakan akibat
peristiwa gonjangan kepala yang hebat, baik yang di sebabkan oleh pukulan
atauyang bukan pukulan.
Distribusi kasus cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia
produktif antara 15-44 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki
dibandingkan dengan perempuan
Kurang lebih 33% kecelakaan yang berakhir pada kematian menyangkut
trauma kapitis. Di luar medan peperangan lebih dari 50% dari trauma kapitis
terjadi karena kecelakaan lalu lintas, selebihnya dikarenakan pukulan atau jatuh.
Di Amerika Serikat cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas menempati angka
kejadian tertinggi yaitu setengah dari seluruh kasus cedera kepala yang terjadi.
C. Patofisiologi
Berdasarkan patofisiologinya, kita mengenal dua macam cedera otak, yaitu
cedera otak primer dan cedera otak sekunder. Cedera otak primer adalah cedera
yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma, dan merupakan suatu
fenomena mekanik. Umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang
bisa kita lakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sedang
sakit bisa mengalami proses penyembuhan yang optimal. Sedangkan cedera otak
sekunder merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan (on going process)
sesudah atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih merupakan fenomena
metabolik 18.
Proses berkelanjutan tersebut sebenarnya merupakan proses alamiah.
Tetapi, bila ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi dan tidak ada upaya untuk
mencegah atau menghentikan proses tersebut maka cedera akan terus berkembang
dan berakhir pada kematian jaringan yang cukup luas. Pada tingkat organ, ini akan
berakhir dengan kematian/kegagalan organ. Cedera otak sekunder disebabkan
oleh keadaan-keadaan yang merupakan beban metabolik tambahan pada jaringan
otak yang sudah mengalami cedera (neuron-neuron yang belum mati tetapi
mengalami cedera). Beban ekstra ini bisa karena penyebab sistemik maupun
intrakranial. Berbeda dengan cedera otak primer, banyak yang bisa kita lakukan
untuk mencegah dan mengurangi terjadinya cedera otak sekunder .
Cedera otak sekunder yang dapat disebabkan oleh :
a. Hipovolemia (berkurangnya volume darah)
Pada trauma, maka hipovolemia biasanya disebabkan karena
perdarahan yang kemudian akan menyebabkan terjadinya syok.
Hipovolemia ini bila ringan akan dikompensasi oleh tubuh, sehingga
otak masih tetap mendapatkan darah. Namun bila hipovolemia sudah
cukup berat, maka darah yang ke otak pun akan berkurang.
Hipovolemia yang berat akan menyebabkan perfusi darah ke otak yang
sangat berkurang sehingga dapat menyebabkan iskemia otak (jaringan
otak kurang mendapat darah), bahkan infark otak (kematian jaringan
otak).
b. Hipoksia
Kurangnya oksigen dalam darah akan menyebabkan otak menerima
oksigen yang kurang juga. Sama seperti hipovolemia, hipoksia akan
menyebabkan iskemia otak, yang bila berat akan menjadi infark otak.
c. Hiperkarbia dan hipokarbia
Pengaruh kadar CO2 dalam darah sangat penting pada cedera kepala,
peningkatan CO2 darah akan menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah otak,
yang kemudian menyebabkan edema serebri. Pengurangan kadar CO2 darah
(hipokarbia) akan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak yang lebih
lanjut mungkin akan menjadi infark.
PEMBAGIAN CEDERA KEPALA
1. Simple Head Injury
Diagnosa simple head injury dapat ditegakkan berdasarkan:
Ada riwayat trauma kapitis
Tidak pingsan
Gejala sakit kepala dan pusing
Umumnya tidak memerlukan perawatan khusus, cukup diberi obat
simptomatik dan cukup istirahat.
2. Commotio Cerebri
Commotio cerebri (geger otak) adalah keadaan pingsan yang
berlangsung tidak lebih dari 10 menit akibat trauma kepala, yang tidak
disertai kerusakan jaringan otak. Pasien mungkin mengeluh nyeri kepala,
vertigo, mungkin muntah dan tampak pucat.
Vertigo dan muntah mungkin disebabkan gegar pada labirin atau
terangsangnya pusat-pusat dalam batang otak. Pada commotio cerebri
mungkin pula terdapat amnesia retrograde, yaitu hilangnya ingatan
sepanjang masa yang terbatas sebelum terjadinya kecelakaan. Amnesia
ini timbul akibat terhapusnya rekaman kejadian di lobus temporalis.
Pemeriksaan tambahan yang selalu dibuat adalah foto tengkorak, EEG,
pemeriksaan memori. Terapi simptomatis, perawatan selama 3-5 hari
untuk observasi kemungkinan terjadinya komplikasi dan mobilisasi
bertahap.
3. Contusio Cerebri
Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan
di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringanyang kasat mata,
meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus. Yang
penting untuk terjadinya lesi contusion ialah adanya akselerasi kepala
yang seketika itu juga menimbulkan pergeseran otak serta pengembangan
gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi yang kuat berarti pula
hiperekstensi kepala. Oleh karena itu, otak membentang batang otak
terlalu kuat, sehingga menimbulkan blockade reversible terhadap lintasan
asendens retikularis difus. Akibat blockade itu, otak tidak mendapat input
aferen dan karena itu, kesadaran hilang selama blockade reversible
berlangsung.
Timbulnya lesi contusio di daerah “coup” , “contrecoup”, dan
“intermediate”menimbulkan gejala deficit neurologik yang bisa berupa
refleks babinsky yang positif dan kelumpuhan UMN. Setelah kesadaran
puli kembali, si penderita biasanya menunjukkan “organic brain
syndrome”.
Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme yang
beroperasi pada trauma kapitis tersebut di atas, autoregulasi pembuluh
darah cerebral terganggu, sehingga terjadi vasoparalitis. Tekanan darah
menjadi rendah dan nadi menjadi lambat, atau menjadi cepat dan lemah.
Juga karena pusat vegetatif terlibat, maka rasa mual, muntah dan
gangguan pernafasan bisa timbul.
Pemeriksaan penunjang seperti CT-Scan berguna untuk melihat
letak lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek. Terapi
dengan antiserebral edem, anti perdarahan, simptomatik, neurotropik dan
perawatan 7-10 hari.
4. Laceratio Cerebri
Dikatakan laceratio cerebri jika kerusakan tersebut disertai
dengan robekan piamater. Laceratio biasanya berkaitan dengan adanya
perdarahan subaraknoid traumatika, subdural akut dan intercerebral.
Laceratio dapat dibedakan atas laceratio langsung dan tidak langsung.
Laceratio langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang
disebabkan oleh benda asing atau penetrasi fragmen fraktur terutama pada
fraktur depressed terbuka. Sedangkan laceratio tidak langsung
disebabkan oleh deformitas jaringan yang hebat akibat kekuatan mekanis.
D. Klasifikasi Cedera Kepala
Cedera kepala bisa diklasifikasikan dalam berbagai aspek, tetapi untuk
kepentingan praktis di lapangan dapat digunakan klasifikasi berdasarkan beratnya
cedera. Penilaian derajat beratnya cedera kepala dapat dilakukan menggunakan
Glasgow Coma Scale. Ada tiga aspek yang dinilai, yaitu reaksi membuka mata
(eye opening), reaksi berbicara (verbal respons), dan reaksi gerakan lengan serta
tungkai (motor respons). Dengan Glasgow Coma Scale (GCS), cedera kepala
dapat diklasifikasikan menjadi:
1. Cedera kepala ringan, bila GCS 13 – 15
2. Cedera kepala sedang, bila GCS 9 – 12
3. Cedera kepala berat, bila GCS 3 – 8
Glassgow Coma Scale di gunakan untuk mendiskripsikan tingkat kesadaran
penderita cedera kepala secara menyeluruh serta dapat menentukan beratnya
cedera kepala dengan menilai 3 kategori yaitu :
1. Respon membuka mata
2. Respon motorik (gerakan)
3. Respon verbal (berbicara).
Glasgow Coma Scale
I. Reaksi membuka mata
4 = Buka mata spontan
3 = Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara
2 = Buka mata bila dirangsang nyeri
1 = Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun
II. Reaksi berbicara
5 = Komunikasi verbal baik, jawaban tepat
4 = Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang
3 = Dengan rangsangan, reaksi hanya kata, tak berbentuk kalimat
2 = Dengan rangsangan, reaksi hanya suara, tak terbentuk kata
1 = Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun
III. Reaksi gerakan lengan/tungkai
6 = Mengikuti perintah
5 = Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan
4 = Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan
3 = Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal
2 = Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal
1 = Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi
IV. Penderita yang sadar baik (composmentis) dengan reaksi membuka mata
spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi baik, mempunyai nilai GCS
total sebesar 15. Sedang pada keadaan koma yang dalam, dengan
keseluruhan otot-otot ekstremitas flaksid dan tidak ada respons membuka
mata sama sekali, nilai GCS-nya adalah 3.
Adapun pembagian cedera kepala lainnya:
Cedera Kepala Ringan (CKR) → termasuk didalamnya Laseratio
dan Commotio Cerebri
o Skor GCS 13-15
o Tidak ada kehilangan kesadaran, atau jika ada tidak lebih
dari 10 menit
o Pasien mengeluh pusing, sakit kepala
o Ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan
kelainan pada pemeriksaan neurologist.
Cedera Kepala Sedang (CKS)
o Skor GCS 9-12
o Ada pingsan lebih dari 10 menit
o Ada sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogad
o Pemeriksaan neurologis terdapat lelumpuhan saraf dan
anggota gerak.
Cedera Kepala Berat (CKB)
o Skor GCS <8
o Gejalnya serupa dengan CKS, hanya dalam tingkat yang
lebih berat
o Terjadinya penurunan kesadaran secara progesif
o Adanya fraktur tulang tengkorak dan jaringan otak yang
terlepas.
TERAPI
CKR :
Perawatan selama 3-5 hari
Mobilisasi bertahap
Terapi simptomatik
Observasi tanda vital
CKS :
Perawatan selama 7-10 hari
Anti cerebral edem
Anti perdarahan
Simptomatik
Neurotropik
Operasi jika ada komplikasi
CKB :
Seperti pada CKS
Antibiotik dosis tinggi
Konsultasi bedah saraf
KOMPLIKASI
Jangka pendek :
1. Hematom Epidural
o Letak : antara tulang tengkorak dan duramater
o Etiologi : pecahnya A. Meningea media atau cabang-cabangnya
o Gejala : setelah terjadi kecelakaan, penderita pingsan atau hanya nyeri
kepala sebentar kemudian membaik dengan sendirinya tetapi beberapa
jam kemudian timbul gejala-gejala yang memperberat progresif seperti
nyeri kepala, pusing, kesadaran menurun, nadi melambat, tekanan
darah meninggi, pupil pada sisi perdarahan mula-mula sempit, lalu
menjadi lebar, dan akhirnya tidak bereaksi terhadap refleks cahaya. Ini
adalah tanda-tanda bahwa sudah terjadi herniasi tentorial.
o Akut (minimal 24jam sampai dengan 3x24 jam)
o Interval lucid
o Peningkatan TIK
o Gejala lateralisasi → hemiparese
o Pada pemeriksaan kepala mungkin pada salah satu sisi kepala didapati
hematoma subkutan
o Pemeriksaan neurologis menunjukkan pada sisi hematom pupil
melebar. Pada sisi kontralateral dari hematom, dapat dijumpai tanda-
tanda kerusakan traktus piramidalis, misal: hemiparesis, refleks tendon
meninggi dan refleks patologik positif.
o CT-Scan : ada bagian hiperdens yang bikonveks
o LCS : jernih
o Penatalaksanaannya yaitu tindakan evakuasi darah (dekompresi) dan
pengikatan pembuluh darah.
2. Hematom subdural
o Letak : di bawah duramater
o Etiologi : pecahnya bridging vein, gabungan robekan bridging veins
dan laserasi piamater serta arachnoid dari kortex cerebri
o Gejala subakut : mirip epidural hematom, timbul dalam 3 hari pertama
Kronis : 3 minggu atau berbulan-bulan setelah trauma
o CT-Scan : setelah hari ke 3 diulang 2 minggu kemudian
Ada bagian hipodens yang berbentuk cresent.
Hiperdens yang berbentuk cresent di antara tabula interna dan
parenkim otak (bagian dalam mengikuti kontur otak dan bagian luar
sesuai lengkung tulang tengkorak)
Isodens → terlihat dari midline yang bergeser
o Operasi sebaiknya segera dilakukan untuk mengurangi tekanan dalam
otak (dekompresi) dengan melakukan evakuasi hematom. Penanganan
subdural hematom akut terdiri dari trepanasi-dekompresi.
3. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan dalam cortex cerebri yang berasal dari arteri kortikal,
terbanyak pada lobus temporalis. Perdarahan intraserebral akibat trauma
kapitis yang berupa hematom hanya berupa perdarahan kecil-kecil saja.
Jika penderita dengan perdarahan intraserebral luput dari kematian,
perdarahannya akan direorganisasi dengan pembentukan gliosis dan
kavitasi. Keadaan ini bisa menimbulkan manifestasi neurologik sesuai
dengan fungsi bagian otak yang terkena.
4. Oedema serebri
Pada keadaan ini otak membengkak. Penderita lebih lama pingsannya,
mungkin hingga berjam-jam. Gejala-gejalanya berupa commotio cerebri,
hanya lebih berat. Tekanan darah dapat naik, nadi mungkin melambat.
Gejala-gejala kerusakan jaringan otak juga tidak ada. Cairan otak pun
normal, hanya tekanannya dapat meninggi.
TIK meningkat
Cephalgia memberat
Kesadaran menurun
Fraktur Tulang Kepala
Terdapat tiga jenis fraktur pada cedera kepala yaitu:
1. Fraktur linier terjadi akibat adanya kontak bentur pada kepala, sedangkan
peranan gerakan kepala, akselerasi dan guncangan lanjut dalam hal ini
sama sekali tidak ada. Fraktur jenis ini disebabkan oleh benturan suatu
obyek yang keras, dimana sebagian besar energi benturan tidak digunakan
untuk menggerakkan kepala, namun cukup mampu untuk menimbulkan
deformitas lokal pada kepala. Obyek pembenturnya berukuran ”sedang”
yakni dalam arti bahwa haraus cukup luas ( lebih besar dari lima
sentimeter persegi) sehingga tidak menembus tengkorak, tetapi juga tidak
terlalu besar sehingga fenomena kontak yang terjadi tidak disebarkan
secara luas di permukaan kepala. Biasanya mekanisme kejadiannya dapat
juga dibarengi dengan cedera akselerasi bila dilanjutkan dengan terjadinya
pergerakan kepala setelah benturan.
A B
Gambar 2.5 Anatomi fraktur linier (A), CT scan fraktur linier (B)
2. Fraktur Depresi. Kejadian fraktur depresi hampir mirip dengan fraktur
linier, namun disini beban tenaganya lebih besar karena permukaan
benturan yang lebih kecil. Fenomena kontak disini lebih terfokus dan lebih
padat serta melebihi kapasitas elastisitas tulang tengkorak (terjadi
perforasi).
A B
Gambar 2.6 Anatomi fraktur depresi (A), CT scan fraktur depresi (B)
3. Fraktur basis kranii merupakan akibat benturan langsung pada daerah-
daerah dasar tulang tengkorak (oksiput,mastoid,supraorbital); transmisi
energi yang berasal dari benturan pada wajah atau mandibula; atau efek
”remote” dari benturan pada kepala (”gelombang tekanan” yang
dipropagasi dari titik benturan atau perubahan bentuk tengkorak).
Gambar 2.7 CT-scan fraktur basis kranii
GAMBARAN KLINIS FRAKTUR BASIS KRANII
Gambaran klinis dari fraktur basis cranii yaitu hemotimpanum, ekimosis
periorbita (racoon eyes), ekimosis retroauricular ( Battle’s sign), dan kebocoran
cairan serebrospinal (dapat diidentifikasi dari kandungan glukosanya) dari telinga
danhidung.
DIAGNOSIS FRAKTUR BASIS KRANII
Diagnosa cedera kepala dibuat melalui suatu pemeriksaan fisis dan pemeriksaan
diagnostik. Selama pemeriksaan, bisa didapatkan riwayat medis yang lengkap dan
mekanisme trauma. Trauma pada kepala dapat menyebabkan gangguan neurologis
dan mungkin memerlukan tindak lanjut medis yang lebih jauh. Alasan kecurigaan
adanya suatu fraktur cranium atau cedera penetrasi antara lain :
• Keluar cairan jernih (CSF) dari hidung
• Keluar darah atau cairan jernih dari telinga
• Adanya luka memar di sekeliling mata tanpa adanya trauma pada mata (panda eyes)
• Adanya luka memar di belakang telinga (Battle’s sign)
• Luka yang signifikan pada kulit kepala atau tulang tengkorak
• Adanya ketulian unilateral yang baru terjadi
E. Diagnosis
F. Penatalaksanaan
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
1. Anamnesa, pemeriksaan fisik, dan terutama pemeriksaan penunjang yang
dilakukan terhadap pasien dapat dilakukan lebih holistik lagi, sehingga
diagnosa dapat ditegakan lebih dini dan tepat.
2. Penatalaksanaan terhadap pasien dapat diusahakan lebih optimal lagi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Speelman P. 2000. Leptospirosis. Harrison’s Principles of Internal Medicine edisi 16. Editor: Ascie AH. Jakarta : EGC. Hal. 1016-1019.
2. Zein U. 2006. Leptospirosis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III edisi IV. Editor: Sudoyo AW, dkk. Jakarta : FKUI. Hal. 1845-1847.
3. Jacobs A,R. 1999. Leptospirosis. Current Medical Diagnosis and Treatment. Edisi 38. Editor: Tierney M,L,dkk. California. Hal. 1345-1346.
4. Gupte S. 1990. Leptospirosis. Mikrobiologi Dasar. Edisi III. Editor: Julius E. Jakarta : Binarupa Aksara. Hal 309-312.
5. Green J. 2008. Leptospirosis in Humans. [Internet]. e-medicine. Bersumber dari :<http://emedicine.medscape.com> [Diakses tanggal 1 mei 2009].
6. Ruel O., Efren M., Santiago E. 2000. Leptospirosis with Acute Renal Failure: The Role of Conservative management. [Internet]. Bersumber dari : <http://www.psmid.org.ph/vol30/vol30num2topic4.pdf> [Diakses tanggal 1 mei 2009].
7. Yang C,W. 2007. Leptospirosis Renal Disease. [internet]. Bersumber dari : <http://ki/journal/v72/n8/index.html> [Diakses tanggal 1 mei 2009].
8. Muthusethupathi M,A., Shivakumar S., Vijayakumar R. 1994. Renal involvement in leptospirosis--our experience in Madras City. [Internet] Tropical Nephrology. Bersumber dari : < http://www.jpgmonline.com/> [Diakses tanggal 1 mei 2009].
9. Sitprija V., 1980. Pathogenesis of Renal Disease in Leptospirosis. [Internet]. Clinical Investigation. Bersumber dari : <http://ki/journal/v72/n8/index.html> [Diakses tanggal 1 mei 2009].
10. Brito T. 1968. On the Pathogenesis of the Hepatic and Renal Lesion in leptospirosis. Review institute medicine tropical Sao Paolo, Brasil. Bersumber
dari : <http://resources.metapress.com/pdf-preview.axd> [Diakses tanggal 5 mei 2009].
11. Acha P.,N. 2005. Leptospirosis. [Internet]. Institute for International Cooperation in Animal Biologics. Bersumber dari : <http://www.doh.wa.gov/notify/guidelines/pdf/leptospirosis.pdf> [Diakses tanggal 1 mei 2009].
12. Sujudi H. 1993. Leptospira. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta : FKUI, Binarupa Aksara. Hal. 218-220.
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Laporan Kasus
Fakultas Kedokteran Umum
Universitas Mulawarman
LEPTOSPIROSIS
Disusun Oleh :
Singgih Winoto03.37509.00165.09
Pembimbing :dr. R.R.Ignatia Sinta Murti, Sp.PD,M.Kes
Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas KedokteranUniversitas Mulawarman
Samarinda2009