ckb presentasi
TRANSCRIPT
Cedera Kepala Berat dan Fraktur Cruris
cedera kepala Fraktur cruris
Menurut Brain Injury Assosiation of America suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
terputusnya kontinuitas tulang, ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadi pada tulang tibia dan fibula. Fraktur terjadi jika tulang dikenai tekanan yang lebih besar dari yang dapat ditahannya (Brunner & Suddart).
Berdasarkan mekanisme
Cedera kepala tumpul
Cedera tembus
Berdasarkan morfologiFraktur tengkorak
Lesi intrakranial
Berdasarkan tingkat keparahan
ringan
sedang
berat
ETIOLOGI
Kecelakaan sepeda motor
Jatuh
Pukulan keras
Luka tembakan
Cedera primer Cedera sekunder
Luka primer termasuk transfer eksternal dari energi kinetik ke berbagai komponen stuktur otak (misal neuron, sinaps saraf, sel glial, akson, dan pembuluh darah cerebral). Desakan zat biokimia bertanggung jawab terhadap luka otak primer dapat diklasifikasikan secara umum sebagai concussive/compressive dan akselerasi/deselerasi (Luka primer terkategori selanjutnya sebagai fokal (misal luka memar, hematoma) atau difusse.
cedera otak primer dapat mengganggu secara serius terhadap keseimbangan antara kebutuhan dan supply oksigen di CNS. ketidakseimbangan ini dapat menimbulkan iskemia cerebral, yang merupakan kunci patofisiologi pemicu luka sekunder.
Umum : derajat kesadaran dalam rentang bangun sampai tidak berespon
Gejala : amnesia pasca trauma (lebih dari 1 jam), pusing, sakit kepala sedang - berat, kelemahan anggota badan, atau paresthesia
Tanda: CSF otorrhea atau rhinorhea dan kejang. Kemunduran status mental yang cepat menandakan adanya lesi yang meluas dalam tengkorak
Tes laboratorium : ABGs (Arterial Blood Gas) mengindikasikan hipoksia (penurunan PaO2) atau hypercapnia yang menandakan gangguan ventilasi/pernafasan
Tes diagnosa lain : CT scan kepala Untuk menentukan tingkat keparahan cedera
kepala, digunakan Glasgow Coma Scale and Score (GCS)
Penampakan Skala respon Notasi scoreMembuka mata Spontan
Untuk bicaraUntuk nyeriTidak ada
4321
Respon verbal TerorientasiPercakapan membingungkanKata (tidak tepat)Suara (dapat dimengerti)Tidak ada
54321
Respon motorik Taat perintahMelokalisasi nyeriPelenturan (normal)(abnormal)MengulurkanTidak ada
654321
Total score coma 3/15-15/15
Riwayat trauma kapitis Sakit kepala/pusing, muntah, tidak sadar, amnesia,
kesadaran menurun Defisit neurologis fokal:
◦ Lateralisasi : pupil anisokor, refleks cahaya menurun/hemiparesis/plegi
◦ Kejang Gradasi cedera kepala:
◦ Tingkat I : sadar penuh (dapat disertai sakit kepala, muntah, atau amnesia)
◦ Tingkat II : tidak sadar tetapi masih dapat melaksanakan perintah sederhana, atau sadar penuh tetapi terdapat defisit neurologis
◦ Tingkat III: tidak sadar dan tidak dapat melaksanakan perintah sederhana
◦ Tingkat IV: mati otak
Rontgen tengkorak
Angiografi karotis/vertebralis
CT scan MRI dan EEG
Melancarkan jalan nafas (airway), menjaga pernafasan dan ventilasi (breathing) dan peredaran darah (circulation) selama periode awal resusitasi dan evaluasi
Menjaga keseimbangan antara CD O2 (cerebral oxygen delivery) dan CM O2 (cerebral oxygen consumption)
Mencegah kejadian cedera neuronal sekunder
Mencegah dan atau mengobati komplikasi medis yang berhubungan
Suportif ABC
Pengendalian peningkatan tekanan intrakranial◦Manitol◦Furosemid◦Hiperventilasi dengan mempertahankan
PaCO2 25-30 mmHg
A airway (jalan nafas)B breathing (pernafasan)C circulation (sirkulasi/peredaran darah)
Koreksi gangguan elektroleit asam basa
Antikonvulsan bila perlu
Antibiotik profilaksis
Nutrisi
Umum GCS Tanda-tanda vital (TD; HR; RR; suhu Output urine. Resiko peningkatan intracranial pressure (ICP) Saturasi oksigen arteri ICP (intracranial pressure) CCP (central perfusion pressure)Tes laboratorium Konsentrasi etanol dan skrining obat dalam urin ABG (arterial blood gas) CBC (complete blood count) Serum elektrolit (Na, K, Cl) Mineral (Mg, Ca, P)Prosedur radiologiCT scan (misal penurunan Glasgow Coma Scale)
Form pemantauan pasienNama : Slamet Setiawan Umur : 38th BB : - TB:-
No RM: Alergi obat : -
Ruang : IMC Arofah Tanggal masuk : 7 Feb 2010
Dokter : dr. Andi dr. Kun Alasan keluar : pasien masih dirawat
Keluhan utama : pasien tidak sadar Diagnosa : CKB
Riwayat penyakit : - Riwayat penyakit keluarga : -
Riwayat pengobatan : - Pekerjaan/life style : pekerja lepas
Identitas Pasien
Kondisi Pasien
Tanda Vital
Tanda vital Tanggal
07/02/10 08/02/10 09/02/10 10/02/10 11/02/10 12/02/10
TD (mmHg) 136/72 105/72 Tidak ada
data
120/80 Tidak ada
data
Tidak ada
data
Suhu (C) 37 367 36 365
Nadi 102 102 110 73
Catatan Perkembangan Pasien
Tanggal Perkembangan pasien Tindak lanjut
07/02/10
pagi
14.40
17.30
23.30
Di IGD
Pasca kecelakaan, nyeri kaki kanan
Diagnosa : CKB Fr. Cruris
Perawatan di IMC
Hb=15,5 ;Al=23,9; At=315; Hmt=45
Pernafasan normal; Kesadaran
terpengaruh CPZ inj
Pasien gelisah; TD=130/70; HR=120
CT scan:udem cerebri(+); fraktur os
petrosum kanan&fossa cerebri; meda
ham.paenocerebri
Pasien masih gelisah dan teriak2
Pasien gelisah teriak2
TD=122/80 N=95x/menit
CT scan, thorax
Inj Ceftriaxone 2gr; ATS 1500 UI;
Ketorolac 30mg; Valium
Infus RL; Cepezet 1 amp im
Pasang spalk
Inj Ceftriaxone dan Ketorolac
30mg
CPZ terus im 1 amp dan Ketorolac
30mg
Oksigenasi dilanjutkan
Valium 5mg iv pelan
Ekstra inj CPZ 1 amp
O2 3liter/menit
08/02/10
Pagi
Sore
Malam
T=36; N=102; TD=105/72
Pasien tersedasi CPZ dan valium
Pernafasan normal
Tersedasi CPS dan valium
TD=117/76; HR=92
Tersedasi CPZ
Terapi dilanjutkan (injeksi
Ceftriaxone 1gr; ketorolac 30mg)
Infus : D ½ 5; RL (3x1); Susu
(3x1); Sonde (3x1)
Oksigenasi O2 3liter/menit
Kelola diet dan sonde
Inj ketorolac 30mg; Ceftriaxone
Inj ketorolac
09/02/10 T=36; gelisah (-); afebris; hemodinamik
stabil
Pasien sadar, mengeluh nyeri, hidung
buntu; pernafasan normal
Sore pasien dipindahkan ke Arofah
Oksigenasi
Infus : RL; susu; jus
Obat : Ceftriaxone; Ketorolac
10/02/10
10.00
10.30
Pasien di bangsal Arofah
Rencana ORIF (Fr.Cruris sin terbuka)
Pasien sadar; TD=120/80mmHg;
T=365; N=73; RR=18
Hb=11,2 PPt=16,9 Aptt=29,5
HbsAg=negatif
Di IBS ORIF
Ceftriaxone 2x 1gram
Ketorolac 3x1
Cortidex 2amp; Narfoz 1amp;
infus FIMA; bupivacain;
ketorolac 2amp;ceftriaxone 2amp
11/02/10 Pasien tidur Ceftriaxone 1gr (2xsehari);
ketorolac 30mg (3xsehari)
12/02/10 Pasien tidur
Mengeluh nyeri perut
Emosi tinggi, merasa lelah
Ceftriaxone 1gr (2xsehari);
ketorolac 30mg (3xsehari)
Data Laboratorium
Tanggal Pemeriksaan Hasil Nilai normal
07/02/1
0
WBC 23,9x103/mm3 4,5-11,0 x 103/mm3
RBC 3,11x106 /mm3 4,5-5,5 x 106/mm3
Hb 15,5 g/dL 12,0-17,0 g/dL
HCt 44,7 % 36-52 %
PLT 315x103 /mm3 150-450 x 103/mm3
PPT 16,9 detik 12-18 detik
APTT 29,5 detik 20-40 detik
Imunologi (Hbs Ag) Negatif
GDS 183 mg/dL <120 mg/dL
Obat/infus/ lain 07/02/10 08/02/10 09/02/10 10/02/10 11/02/10 12/0210
I 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4Ceftriaxone * √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
ATS1500UI √
Ketorolac √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Cepezet im √ √
Valium5mg √ √
Infus RL √ √ √ √ √
Infus D ½ 5 √ √ √
Susu √ √ √
Jus √Cortidex √
Narfoz √
Infus FIMA √
Bupivacain √
Nama obat/ terapi
Indikasi Aturan pakai Pemantauan yang diperlukan
Hasil yang diharapkan
Oksigenasi Suportif breathing individual RR; saturasi O2 Pernafasan normal
Infus RL Suportif circulation individual Keseimbangan cairan Homeostasis cairan
Cefrtiaxone Antibiotik 1 gram 2x sehari
WBC; suhu WBC normal, infeksi sembuh
ATS Profilaksis tetanus im 1500 UI (di IGD)
Gejala dan tanda tetanus Tidak terjadi tetanus
Ketorolac Analgetik 30 mg 3x sehari
Skala nyeri (NRS) Tidak nyeri
Cepezet Gelisah/ansietas 25 mg(2x hari ke-1)
Kegelisahan pasien Tidak gelisah
Valium Ansietas 5mg(2x hari ke-1)
Ansietas pasien Ansietas teratasi
Infus D5 ½ NS; susu, jus
Suportif nutrisi individual Keseimbangan cairan dan kalori pasien
Cukup nutrisi; perbaikan kondisi
Cortidex Inflamasi 10mg (ORIF) Inflamasi (fr.cruris) Tidak inflamasi
Narfoz Profilaksis muntah 2mg (ORIF) Muntah pasca bedah Tidak muntah
Bupivacain Anestesi lokal 0,25% (ORIF) Derajat nyeri selama dan pasca bedah
Tidak nyeri
Penampakan Skala respon Keadaan pasien
07/02 08/02 09/02
Membuka mata
SpontanUntuk bicaraUntuk nyeriTidak ada
Pasien tidak sadar
Buka mata(-)
Respon verbal(-)
Respon gerak(-)
Pasien tersedasi Cepezet dan valium
Dapat membuka mata spontan
Respon verbal TerorientasiPercakapan membingungkanKata (tidak tepat)Suara (dapat dimengerti)Tidak ada
Mampu bicara dan mengutarakan
maksudnya dengan jelas (terorientasi)
Respon motorik/ gerak
Taat perintahMelokalisasi nyeriPelenturan (normal)(abnormal)MengulurkanTidak ada
Dapat duduk serta mampu
melokalisasi nyeri
Keadaan pasien : telah sadar tgl 9/2/10 jam 07.00
Hasil pemantauan ESO
Nama obat Efek samping potensial Hasil
Cefrtiaxone - Tidak ada
ATS Nyeri, tenderness,
eritema
Nyeri utama karena cedera (fraktur,
bukan akibat injeksi ATS)
Ketorolac Pusing, nyeri perut,
dispepsia, mual
Pasien mengeluhkan nyeri perut
Cepezet Frekuensi tidak
terdefinisi
Tidak ada
Valium Frekuensi tidak
terdefinisi
Tidak ada
Cortidex Frekuensi tidak
terdefinisi
Emosi tidak stabil
Narfoz Pusing, kelelahan,
konstipasi
Pasien mengeluhkan kelelahan
Bupivacain Frekuensi tidak
terdefinisi
Pasien mengeluh lemah (weakness)
PembahasanSubjektifPasien masuk rumah sakit tanggal 7 Februari 2010 akibat kecelakaan dalam kondisi tidak sadar. Kecelakaan merupakan penyebab utama kejadian cedera kepala. Pasien juga mengalami fraktur cruris (bagian kaki).Objektif•Hasil pemeriksaan CT scan EDH (perdarahan pada bagian epidural); udem cerebri (+); fraktur os petrosum kanan&fossa cerebri; meda ham.paenocerebri. •Tanda vital : TD 136/72; T 37 0C; N 102x/menit dan RR 18x/menit.•Pemeriksaan lab berupa CBC dan gula darah sewaktu (GDS) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai WBC; nilai GDS tinggi tetapi masih dalam batas normal; nilai RBC rendah namun nilai Hb dan Hct normal. Hasil interpretasi klinik pasien mengalami leukositosis, monositosis, eosinophilia, basophilia dan anisocytosis.
•Diagnosa Pasien mengalami CKB dan fraktur cruris. Penegakan diagnosa CKB dapat dilakukan dengan GCS (Glasgow Coma Scale and Score). Pasien dinyatakan CKB jika nilai GCS ≤ 8
Selain cedera kepala, pasien juga didiagnosa mengalami fraktur cruris. Penegakan diagnosa terjadinya fraktur cruris berdasarkan hasil anamnesis dan pengamatan terhadap luka di kaki pasien.
TERAPI... Ketika di IGD Inj Ceftriaxone 2gr; ATS 1500 UI; Ketorolac 30mg; Valium; Infus
RL dan Cepezet 1 amp secara intramuskular di IGD. Ceftriaxone digunakan sebagai profilaksis sekaligus terapi infeksi. ATS digunakan sebagai terapi profilaksis tetanus. Ketorolac untuk manajemen nyeri akut. Valium (diazepam) sebagai anti ansietas dan relaksan otot skeletal. Cepezet (Klorpromazin HCl) sebagai penenang dan sedasi gangguan neuronal. Infus RL sebagai cairan rehidrasi parenteral untuk mendukung circulation (peredaran darah) pasien. Sedangkan pemasangan spalk sebagai suportif airway dan breathing dalam penatalaksanaan awal pasien cedera kepala yang tidak sadar.
Di IMC inj Ceftriaxone, ketorolac, cepezet dan valium. Pasien juga mendapatkan suportif kristaloid berupa infus RL dan Dextrose 5 ½ NS,susu, dan jus. Oksigenasi terus diberikan untuk hiperventilasi dan mengendalikan saturasi karbondioksida jaringan.
Ketika pasien telah sadar, dilakukan bedah ORIF untuk penanganan fraktur cruris pasien. Terapi yang diberikan untuk menunjang pembedahan yaitu Cortidex 2amp; Narfoz 1amp; infus FIMA; bupivacain; ketorolac 2amp; dan ceftriaxone 2amp. Cortidex sebagai antiinflamasi karena pembedahan. Narfoz (ondansetron) untuk profilaksis mual dan muntah pasca bedah. Infus FIMA sebagai suportif cairan selama dan setelah pembedahan. Bupivacain sebagai anestesi lokal. Ketorolac untuk manajemen nyeri pasca bedah dan ceftriaxone sebagai profilaksis infeksi akibat pembedahan.
Selanjutnya setelah bedah ORIF, terapi ceftriaxone dan ketorolac dilanjutkan dengan frekuensi masing-masing 2xsehari dan 3xsehari melalui injeksi intravena
Assessment
Sesuai dengan SPM dalam penatalaksanaan cedera kepala akut, untuk pasien tidak sadar, tata laksana terapi yang dilakukan telah mendekati kesesuaian 1.Pasien mendapatkan terapi suportif ABC dalam resusitasi awal. Untuk suportif airway dan breathing, pasien mendapat oksigenasi. Untuk circulation, pasien mendapat infus dengan cairan kristaloid RL2.Untuk mengendalikan tekanan intrakranial, dilakukan hiperventilasi dengan mempertahankan PaCO2 25-30mmHg. Namun pasien tidak mendapatkan manitol sebagai diuretik osmotik yang juga berfungsi dalam mengendalikan tekanan intrakranial. Pasien juga tidak memperoleh furosemid injeksi dalam penanganan udem cerebralnya. Setelah perawatan selama 2 hari di IMC, pasien telah sadar dan menunjukkan tanda klinik yang membaik. Untuk perawatan pasien selanjutnya, dilakukan di bangsal Arofah sampai kondisi cedera mengalami pemulihan3.Tidak dilakukan koreksi gangguan elektrolit asam basa pada pasien. Pemeriksaan lab yang telah terekam dalam RM pasien hanya pemeriksaan darah lengkap dan cek kadar glukosa darah. Namun hasil monitoring saturasi O2 jaringan telah sesuai dengan rentang normal (90-95%). Nilai kecepatan respirasi (RR) juga menunjukkan nilai normal.
4. Pada periode awal cedera kepala (hari pertama di IMC) pasien mengalami gelisah. Tidak ada indikasi terjadinya kejang akibat trauma kepala. Untuk mengatasi gelisah, dokter memberikan injeksi im Cepezet (Chlorpromazine hidrochloride 25mg).
Setelah 3 jam pemberian obat tersebut, pasien kembali gelisah. Kemudian pasien mendapat terapi Valium (diazepam) 5mg iv pelan-pelan. Pemberian antikonvulsan dimaksudkan untuk mencegah kenaikan CMR O2 (cerebral consumption oxygen) yang selanjutnya dapat terjadi kejang.
Terapi insial untuk pasien dewasa adalah pemberian diazepam secara intravena dosis 5-40 mg (Dipiro, 2005).
Hal yang harus diperhatikan dalam injeksi diazepam intravena adalah pemberian secara perlahan-lahan. Injeksi yang terlalu cepat dapat menyebabkan resiko syncope, hipotensi dan apnoea. Pemberian diazepam secara infus tidak direkomendasikan sebab diazepam dapat mengalami presipitasi terhadap pelarut intravena (karena kelarutannya rendah) juga dapat teradsorbsi pada kemasan infus berbahan plastik (Injectable Drug Handbook, 1997).
5. Terapi antibiotik digunakan ceftriaxone. Indikasi infeksi pasien sesuai dengan pemilihan antibiotik. Pasien mengalami trauma akibat kecelakaan dengan dugaan infeksi di kulit, struktur kulit, tulang dan sendi, meningitis (pasien juga mengalami cedera kepala) dapat dipilih penggunaan ceftriaxone.
Dosis yang diberikan di IGD sebesar 2 gram, selanjutnya pemberian dosis sebesar 1 gram selama masa perawatan. Ceftriaxone merupakan antibiotik dengan model farmakokinetik-farmakodinamik tipe II. Bahwa antibiotik model ini untuk menghasilkan efek terapi yang optimal, diperlukan kadar obat di atas MIC dengan memaksimalkan durasi paparan antibiotik. Sehingga pemberian cephalosporin secara ideal adalah dengan infus intravena.Pemberian dosis besar untuk antibiotik model farmakokinetik-farmakodinamik model II dinilai kurang tepat (dosis terlalu besar). Pemberian dosis cukup di atas MIC secara infus intravena akan menghasilkan respon terapi yang lebih optimal.
6. Pemberian nutrisi dilakukan pada hari kedua di IMC. Untuk hari pertama, nutrisi pasien hanya diberikan dextrose kadar 5% pada periode akhir resusitasi. Nutrisi yang berikan berupa susu, sonde dan jus. Bukti menunjukkan bahwa pemberian nutrisi tahap awal pada cedera kepala berhubungan dengan outcome yang lebih baik untuk survival dan disability.
Problem (kategori DRP) Penilaian
Membutuhkan obat tetapi tidak
menerima
Tidak ada
Menerima obat yang tidak ada
indikasi
Tidak ada
Menerima obat salah Tidak ada
Dosis kurang (subterapi) Tidak ada
Dosis berlebih Ada
Mengalami ADR Ada (efek samping potensial terjadi)
Non compliance Tidak ada
aktual potensial
Dosis berlebih Dosis pemberian ATS pasien
dewasa untuk profilaksis adalah 250 UI . Sedangkan pasien mendapatkan injeksi ATS sebanyak 15r00 UI (6x dosis lazim).
Dosis ceftriaxone 2gram melebihi anjuran dosis untuk profilaksis bedah yakni cukup 1gram
Kejadian ADR (muncul ESO) Penggunaan ketorolac jangka
panjang dapat meningkatkan resiko kejadian gastrointestinal
yang tidak dikehendaki.
Penggunaan ketorolac menjadi peringatan pasien yang terduga mengalami perdarahan cerebrovaskuler. Pasien mengalami perdarahan epidural (EDH). Perlu monitoring perdarahan cerebrovaskuler dengan melakukan CT scan
kembali. Penggunaan dexamethason
bersama NSAID dan salisilat berpotensi meningkatkan kejadian gastrointestinal yang tidak diharapkan
Rekomendasi berdasarkan problem terapi pasien:◦ Penghentian terapi ketorolac, sebab ketorolac
tidak dapat digunakan dalam manajemen nyeri jangka panjang ( ≤ 5hari). Informasi keluarga pasien menyatakan bahwa pasien juga mengeluh nyeri perut.