case hep c

66
PRESENTASI KASUS HEPATITIS C Disusun Oleh: Anggia Fitri Widyani 110.2010.023 Pembimbing: dr. Didiet Pratignyo, Sp.PD-FINASIM 1

Upload: melda-khairunisa

Post on 07-Feb-2016

85 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

b

TRANSCRIPT

Page 1: case hep c

PRESENTASI KASUS

HEPATITIS C

Disusun Oleh:

Anggia Fitri Widyani

110.2010.023

Pembimbing:

dr. Didiet Pratignyo, Sp.PD-FINASIM

KEPANITERAAN DI BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA CILEGON

AGUSTUS 2014

1

Page 2: case hep c

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan berkah

Nyalah penulis dapat menyelesaikan laporan kasus kepaniteraan klnik ilmu

Penyakit Dalam di RSUD Kota Cilegon yang berjudul Hepatitis C. Tujuan dari

penyusunan laporan kasus ini adalah untuk memenuhi tugas yang didapat saat

kepaniteraan di RSUD Cilegon. Dari laporan kasus ini saya mendapat banyak hal

dan dapat lebih memahami terapi dan keadaan pasien.

Dalam menyusun laporan kasus ini tentunya tidak lepas dari pihak-pihak

yang membantu saya. Saya mengucapkan terima kasih pada dr. Didiet Pratignyo,

Sp.PD-FINASIM atas bimbingan, saran, kritik dan masukan dalam menyusun

laporan kasus ini. Saya juga mengucapkan terima kasih pada orangtua yang selalu

mendoakan dan teman-teman dan pihak-pihak yang telah mendukung dan

membantu dalam pembuatan laporan kasus ini. Semoga laporan kasus ini

bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya. Saran dan kritik yang

membangun sangat penulis harapkan untuk membuat laporan kasus ini lebih baik.

Terima kasih.

Cilegon, 30 Agustus 2014

Penulis

/

2

Page 3: case hep c

DAFTAR ISI

Kata Pengantar.................................................................................................. 2

Daftar isi ............................................................................................................. 3

Laporan kasus

1. Identitas .................................................................................................. 4

2. Anamnesis................................................................................................ 4

3. Pemeriksaan fisik...................................................................................... 9

4. Pemeriksaan penunjang............................................................................ 11

5. Diagnosis.................................................................................................. 13

6. Diagnosis banding.................................................................................... 13

7. Terapi........................................................................................................ 14

8. Prognosis................................................................................................... 15

9. Follow up.................................................................................................. 15

Analisa kasus....................................................................................................... 21

Tinjauan Pustaka

1.1 Pendahuluan.............................................................................................. 23

1.2. Morfologi dan sifat virus........................................................................... 24

1.3. Patogenesis................................................................................................ 25

1.4. Gejala klinis.............................................................................................. 28

1.5. Diagnosis................................................................................................... 37

1.6. Terapi ....................................................................................................... 36

1.7. Pencegahan ............................................................................................... 39

Penutup……………………………………………...…………………………. 41

Kesimpulan…………………………..………………………………………… 43

Daftar Pustaka..................................................................................................... 44

3

Page 4: case hep c

PRESENTASI KASUS HEPATITIS C

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CILEGON

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

Topik : Hepatitis C

Penyusun : Anggia Fitri Widyani (110 2010 023)

I. Identitas Pasien

Nama : Ny. A

Usia : 59 tahun

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Agama : Islam

Alamat : Jombang Wetan

No. CM : 573618

Pembiayaan : BPJS

Tanggal Dirawat : 17 Agustus 2014

Ruangan : Nusa Indah RSUD Cilegon

II. Anamnesa

Dilakukan secara auto-anamnesa pada tanggal 21 Agustus 2014 di Ruangan Nusa

Indah RSUD Cilegon.

.

Keluhan Utama :

Lemas sejak ± 2 hari SMRS

Keluhan tambahan :

– Mual

– Nyeri perut kanan

4

Page 5: case hep c

– Perut membesar

– Pusing

– Tidak nafsu makan

– Sering melamun

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke IGD RSUD Kota Cilegon pada tanggal 17 Agustus

2014 dengan keluhan lemas. Lemas dirasakan sejak 2 hari SMRS. Lemas

dirasakan timbul secara tiba-tiba, dan semakin lama dirasa semakin

memberat, serta tidak ada keinginan untuk melakukan aktivitas apapun.

Pasien merasa tubuhnya tidak nyaman dan cepat lelah. Pasien belum

pernah mengalami lemas seperti ini sebelumnya.

Pasien juga mengeluh tidak nafsu makan dirasakan selama 2 hari

SMRS. Keinginan untuk makan dirasa menghilang sehingga sudah dua

hari pasien tidak makan apapun selain minum air putih. Selain itu pasien

mengeluhkan adanya mual namun tidak disertai dengan muntah. Keluhan

nyeri ulu hati disangkal, namun pasien mengeluh Nyeri pada perut kanan

atas yang hilang timbul, nyeri perut kanan atas dirasakan seperti penuh

dan kembung, sehingga merasa selalu kenyang. Sebelumnya pasien

pernah merasakan nyeri perut seperti ini, namun hilang dengan

sendirinya. Selain nyeri perut kanan atas, pasien juga mengatakan perut

dirasa semakin lama semakin membesar. Pasien juga mengatakan

keluhan pusing dirasakan, dan sering melamun. Keluhan pernah keluar

benjolan saat BAB disangkal, keluhan BAB hitam disangkal, keluhan BAB

berdarah disangkal, BAB baik tidak ada kelainan. BAK dirasa tidak ada

perubahan dari segi warna dan frekuensi.

Riwayat Penyakit Dahulu :

5

Page 6: case hep c

Riwayat mengalami penyakit yang sama sebelumnya disangkal, Riwayat

penyakit hipertensi disangkal, riwayat penyakit diabetes disangkal, penyakit

alergi disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga :

Tidak ada anggota keluarga yang mengeluh keluhan yang sama dengan

pasien. Riwayat DM, TB paru, asma dan alergi, hipertensi dan penyakit

jantung pada keluarga disangkal.

Anamnesis Sistem :

Tanda checklist (+) menandakan keluhan pada sistem tersebut. Tanda strip (-)

menandakan keluhan di sistem tersebut disangkal oleh pasien.

Kulit

(-) Bisul (-) Rambut (-) Keringat malam

(-) Kuku (-) Ikterus (-) Sianosis

(+) Lain-lain : Keringat dingin

Kepala

(-) Trauma (+)  Nyeri kepala

(-) Sinkop (-) Nyeri sinus

Mata

(-) Nyeri (-) Sekret

(+) Sklera Ikterik (-) Gangguan penglihatan

(+) Conjungtiva anemis (-) Penurunan penglihatan

Telinga

(-) Nyeri (-) Tinitus

(-) Sekret (-) Gangguan pendengaran

(-) Kehilangan pendengaran

6

Page 7: case hep c

Hidung

(-) Trauma (-) Gejala penyumbatan

(-) Nyeri (-) Gangguan penciuman

(-) Sekret (-) Pilek

(-) Epistaksis

Mulut

(-) Bibir (-) Lidah

(-) Gusi (-) Gangguan pengecapan

(-) Selaput (-) Stomatitis

Tenggorokan

(-) Nyeri tenggorok (-) Perubahan suara

Leher

(-) Benjolan/ massa (-) Nyeri leher

Dada (Jantung/Paru)

(+) Nyeri dada (+) Sesak nafas

(-) Berdebar-debar (-) Batuk darah

(-) Ortopnoe (-) Batuk

Abdomen (Lambung / Usus)

(+) Rasa kembung (+) Perut membesar

(+) Mual  (-) Wasir

(-) Muntah (-) Mencret

(-) Muntah darah (-) Melena

(-) Sukar menelan (-) Tinja berwarna dempul

(+) Nyeri perut (-) Tinja berwarna ter

(-) Benjolan

7

Page 8: case hep c

Saluran Kemih / Alat Kelamin

(-) Disuria (-) Kencing nanah

(-) Stranguri (-) Kolik

(-) Poliuria (-) Oliguria

(-) Polakisuria (-) Anuria

(-) Hematuria (-) Retensi urin

(-) Batu ginjal (-) Kencing menetes

(-) Ngompol (-) Kencing seperti air teh

Katamenis

(-) Leukore (-) Perdarahan

(-) Lain-lain

Otot dan Syaraf

(-) Anestesi (-) Sukar menggigit

(-) Parestesi (-) Ataksia

(-) Otot lemah (-) Hipo/hiper-estesi

(-) Kejang (-) Pingsan / syncope

(-) Afasia (-) Kedutan (tick)

(-) Amnesis (-) Pusing (Vertigo)

(-) Lain-lain (-) Gangguan bicara (disartri)

Ekstremitas

(-) Bengkak (-) Deformitas

(-) Nyeri tekan (-) Sianosis

8

Page 9: case hep c

III. Pemeriksaan Fisik

Dilakukan pada tanggal 23 Agustus 2014.

VITAL SIGNS :

Kesadaran : Compos mentis

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Tekanan Darah : 110/70 mmHg

Nadi : 84 kali/menit

Respirasi : 20 kali/menit

Suhu : 38,60C

BB/TB : 55 kg/160cm (BMI : 21,48 Normal)

STATUS GENERALIS :

- Kulit : Berwarna sawo matang, tidak terdapat kelainan warna kulit,

tidak ikterik, suhu normal, dan turgor kulit baik.

- Kepala : Bentuk oval, simetris, ekspresi wajah lemah.

- Rambut : Berwana hitam, lurus dan lebat.

- Mata : Tidak exopthalmus, terdapat konjungtiva anemis, sklera ikterik,

pupil bulat dan isokor, tidak terdapat benda asing, pergerakan

bola mata baik.

- Hidung : Tidak terdapat nafas cuping hidung, tidak deviasi septum, tidak

ada sekret, dan tidak hiperemis.

- Telinga : Bentuk normal, liang telinga luas, tidak ada sekret, tidak ada

darah, tidak ada tanda radang, membran timpani intak.

- Mulut : Bibir tidak sianosis, gigi geligi lengkap, gusi tidak hipertropi,

lidah tidak kotor, mukosa mulut basah, tonsil T1-T1 tidak

hiperemis.

- Leher : Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening pada

submentalis, subklavikula, pre-aurikula, post-aurikula,

9

Page 10: case hep c

oksipital, sternokleido-mastoideus, dan supraklavikula. Tidak

terdapat pembesaran tiroid, trakea tidak deviasi.

- Thoraks : Normal, Simetris kiri dan kanan perbandingan transversal :

antero posterior = 2:1, tidak ditemukan kelainan kulit, tidak

terlihat adanya massa.

- Paru-paru

Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri pada saat

statis dan dinamis, tidak terdapat retraksi dan pelebaran sela

iga.

Palpasi : Tidak ada nyeri tekan dan nyeri lepas, tidak terdengar

adanya krepitasi, fremitus taktil dan vokal simetris kanan

dan kiri.

Perkusi : Sonor pada seluruh lapangan paru dan terdapat peranjakan

paru hati pada sela iga VI.

Auskultasi : Suara napas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-

- Jantung

Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : Iktus kordis teraba di 2cm lateral ICS IV linea midklavikula

sinistra, dan tidak terdapat thrill

Perkusi : Batas jantung kanan pada ICS V linea para sternalis dextra,

batas jantung kiri pada ICS V linea midklavikula sinistra.

Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, tidak terdapat murmur dan

gallop

- Abdomen

Inspeksi : Tampak simetris, membuncit, tidak terlihat massa, tidak

pelebaran vena, tampak ada striae pada abdomen bawah.

Auskultasi : Bising usus (+) normal

10

Page 11: case hep c

Palpasi : Supel, turgor baik, terdapat nyeri tekan di daerah

epigastrium, nyeri lepas (-), tidak teraba massa pada perut

kanan, hepatomegali (-) splenomegali (-), Ballotement (-),

undulasi (+)

Perkusi : Suara timpani di semua lapang abdomen, terdapat nyeri

ketuk, shifting dullness (+)

- Genitalia : tidak dilakukan pemeriksaan

- Ekstremitas : Akral hangat, edema tungkai -/-, kekuatan otot baik ,

deformitas pada kaki (-).

IV. Pemeriksaan Penunjang

Hasil Laboratorium (tanggal 17 Agustus 2014)

Hb 9,3

Ht 29,0

Leukosit 4600

Trombosit 103.00

GDS 71

Hasil Pemeriksaan USG Abdomen (tanggal 19 Agustus 2014)

Hepar : besar, bentuk normal, permukaan rata, tepi

tajam, Tak tampak lesi hiper/hipo echoic.

Kandung Empedu : besar, bentuk, dan caliber normal, tidak ada

kelainan.

Lien : tidak membesar

Pancreas : besar, bentuk normal, ductus pancreaticus tak

melebar.

Ginjal Kanan : besar, bentuk normal, cortex & medulla tidak

menipis

11

Page 12: case hep c

Ginjal Kiri : besar, bentuk normal, cortex dan medulla tidak

menipis

Aorta : dinding licin

VU : bentuk baik, tak tampak batu

Tampak asites, tak tampak effusi pleura

Kesan : *cholelitiasis kecil multiple

*ascites

*struktur hepar, pancreas, lien, dan vu baik

Hasil Follow Up Laboratorium

Lab 17/07/14 18/07/14 19/07/14 21/07/14 23/07/14

Hb 9,3 8,1 11,6 8,3

Ht 29,0 25,2 30,5 26,0

Leukosit 4600 4420 2700 11.400

Trombosit 103.000 82.000 76.000 91.000

GDS 71

Ureum 22

Creatinin 0,5

SGOT 87

SGPT 48

HBS Ag Negatif

Anti HCV Positif

HAV Negatif

Anti HIV NR

12

Page 13: case hep c

Kalium 3,67

Klorida 113,0

Natrium 141,3

Bil.Total 3,45

Bil. Direct 1,86

Bil. Indirect 1,59

Protein total 4,1

Albumin 2,3

Globulin 1,8

   V. Diagnosis

Diagnosis Kerja : Asites e.c hepatitis C + trombositopenia + anemia

Diagnosis Banding : - Penyakit hati oleh karena obat atau toksin

- Kolesistitis

- Hepatitis autoimun

- Hepatitis alkoholik

- Obstruksi akut traktus biliaris

Dasar diagnosis : 

Anamnesis :

Pasien datang ke IGD RSUD Kota Cilegon pada tanggal 17 Agustus

2014 dengan keluhan Lemas sejak 2 hari SMRS, tidak nafsu makan,

adanya mual namun tidak disertai dengan muntah. Pasien juga

mengatakan keluhan pusing dirasakan, sulit Bab sejak 3 hari SMRS.

13

Page 14: case hep c

Pemeriksaan Fisik :

Mata : conjungtiva anemis (+), sklera ikterik (+)

Dada : nyeri dada (+)

Abdomen : mual (+), asites (+)

BB/TB : 55 kg/160cm (BMI : 21,48 Normal)

VI. Anjuran Pemeriksaan 

- USG Abdomen

- Elektrolit

- Fungsi hati

- Ureum / kreatinin

- Cek kolestrol total, HDL, LDL, TG

- Cek kalsium

- Pemeriksaan albumin, globulin

- PT, APTT

- Pemeriksaan serologi B,C

- Urin lengkap

VII. Terapi yang diberikan

Terapi yang diberikan di IGD pada tanggal 17 Agustus 2014

- IVFD D5% : RL = 1:1 20 tpm

- Inj. Ranitidine 2x1 amp

- P.o hemafort 1x1 tab

Terapi yang diberikan di Nusa Indah sampai dengan tanggal 23 Agustus 2014

- IVFD D5% : RL : aminoleban (1:1:1) 16 tpm + neurobion 1 amp

- Inj. Ranitidine 2x1 amp

- Inj. Vit K 3x1

- Inj. Omeprazole 2x1

- Inj. Asam tranexamat 3x1

14

Page 15: case hep c

- Inj. Furosemid 1x1

- Inj. Cefotaxime 2x1

- Pro tranfusi albumin

- P.O Hemafort 1x1 tab

- P.O Curcuma 3x1 tab

- P.o spinorolankton 1x100

- P.o sucralfat 3xC1

- Biodiar k/p. jika mencret > 5x

- Sanmol drip 3x500

VIII. Prognosis 

- Quo ad vitam : dubia ad malam

- Quo ad functionam : dubia ad malam

- Quo ad sanactionam : dubia ad malam

IX. Follow Up

TANGGAL FOLLOW UP PERJALANAN PENYAKIT

18/8/2014 S/ : nafsu makan (+), lemas (+), bab dan bak tak

O/ : KU : Tampak sakit sedang, Kesadaran : Compos mentis

TD: 130/80, N: 84x/menit, RR: 20 x/menit, S: 36,4°C

Kepala : Normocephale

Mata : CA +/+, SI -/-

Leher : tidak ada pembesaran KGB

THT : dbn

Thoraks : Simetris

Cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

Pulmo : SN Vesikular, ronki-/-, wheezing -/-

Abdomen : BU (+) normal, supel, NTE (+), undulasi (+)

Ektremitas : akral hangat (+/+), udem (-/-).

15

Page 16: case hep c

Hasil lab : Hb : 9,3 ; Ht : 29,0 ; lec : 4.600 ; trom : 103.000

A/ : Anemia + trombositopenia + intake sulit

P/ : IVFD D5% : RL (1:1) 20 tpm

- Inj. Ranitidine 2x1 amp

- P.O Hemafort 1x1

- Cek elektrolit

- Cek ADT

- Periksa FL

19/08/2014 S/ : nyeri kepala (+), demam (+), mual (-), makan (-), bak seperti

teh (+), bab (-)

O/ : KU : Tampak sakit lemah, Kesadaran : Compos mentis

TD: 110/80, N: 80x/menit, RR: 28 x/menit, S: 36°C

Kepala : Normocephale

Mata : CA +/+, SI +/+

Leher : tidak ada pembesaran KGB

THT : dbn

Thoraks : Simetris

Cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

Pulmo : SN Vesikular, ronki-/-, wheezing -/-

Abdomen : perut membesar simetris, asites (+), BU

(+),supel, NTE (+), undulasi (+).

Ektremitas : akral hangat (+/+), udem (-/-).

Hasil lab : hb : 8,1 ; ht : 25,2 ; lec : 4.420 ; trom : 82.000 ;

sgot : 87 ; sgpt : 48 ; ur : 22 ; cr : 0,5

A/ : obs. Febris + anemia + trombositopenia

P/ : - IVFD D5% : RL (1:1) 20 tpm

- Inj. Ranitidine 2x1 amp

- P.O Hemafort 1x1

- USG Abdomen

20/08/2014 S/ : perut panas, badan lemas, nafsu makan (-), belum BAB sejak

16

Page 17: case hep c

6 hari yll, bak seperti teh (+)

O/ : KU : Tampak lemah, Kesadaran : Compos mentis

TD: 110/70, N: 84 x/menit, RR: 20 x/menit, S: 36,5°C

Kepala : Normocephale

Mata : CA +/+, SI +/+

Leher : tidak ada pembesaran KGB

THT : dbn

Thoraks : Simetris

Cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

Pulmo : SN Vesikular, ronki-/-, wheezing -/-

Abdomen : BU (+) , asites (+), NTE (+), murphy sign (-)

Ektremitas : akral hangat (+/+), edema kaki (+/+).

Hasil lab : Hb : 11,6 (↓ ); Ht : 30,5 (↓) ; lec : 2.700 (↓) ;

tromb : 76.000 (↓) ; Na : 141,3 (N) ; K : 3,67 (N) ; cl :113(↑)

; Protein Tot : 4,1 (↓) ; Alb : 2,3 (↓) ; Glob : 1,8 (N) ; Bil tot :

3,45 (↑) ; Bil direct : 1,86 (↑) ; Bil indirect : 1,59 (↑)

Hasil USG : Cholelithiasis kecil multiple ; asites

A/ : Anemia + trombositopenia + intake sulit + susp. Sirosis

hepatis

P/ : - IVFD D5% : RL (1:1) 20 tpm

- Inj. Ranitidine 2x1 amp

- P.O Hemafort 1x1

- P.O Curcuma 2x1

- Dulcolax supp

- Pro tranfusi albumin 100cc

21/08/2014 S/ : Demam (+), badan terasa lemas, BAB mencret 3x dalam

sehari, nafsu makan membaik, BAK tak

O/ : KU : Tampak lemah , Kesadaran : Compos mentis

TD: 110/80, N: 96 x/menit, RR: 20 x/menit, S: 37,8°C

Kepala : Normocephale

17

Page 18: case hep c

Mata : CA -/-, SI +/+

Leher : tidak ada pembesaran KGB

THT : dbn

Thoraks : Simetris

Cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

Pulmo : SN Vesikular, ronki-/-, wheezing -/-

Abdomen : BU (+), NTE (-), Shiffting dullness (+)

Ektremitas : akral hangat (+/+), udem kaki (+/+).

A/ : febris + Anemia + trombositopenia e.c susp sirosis hepar +

intake sulit

P/ : - IVFD D5% : RL (1:1) 16 tpm

- Inj. Ranitidine 2x1 amp

- Inj. Cefotaxime 2x1

- P.O Hemafort 1x1 tab

- P.O Curcuma 3x1 tab

- Biodiar k/p. jika mencret > 5x

- Albumin 100cc

- Periksa serologi B,C

- Cek Albumin ulang

- Diet rendah lemak, tinggi kalori, tinggi protein

- Cek lab Na, Cl, K

22/8/2014 S/ : demam (+) disertai menggigil, nafsu makan berkurang, BAB

mencret berwarna hitam (+), BAK tak

O/ : KU : Tampak sakit sedang, Kesadaran : Compos mentis

TD: 110/60, N: 88 x/menit, RR: 20 x/menit, S: 38,1 °C

Kepala : Normocephale

Mata : CA -/-, SI -/-

Leher : tidak ada pembesaran KGB

THT : dbn

Thoraks : Simetris

18

Page 19: case hep c

Cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

Pulmo : SN Vesikular, ronki-/-, wheezing -/-

Abdomen : BU (+), perut tampak membesar simetris, NT (-),

shifting dullness (+)

Ektremitas : akral hangat (+/+), udem kaki (+/+).

USG Abdomen : cholethiasis kecil multiple & asites

Hasil lab tgl 20-8-2014 : bilirubin total : 3,45 ; bil direct :

1,86 ; bil indirect : 1,59 ; alb : 2,5

Hasil serologi : AntI HCV (+)

A/ : Asites + trombositopenia + anemia + intake sulit +

hipoalbumin + sirosis hepatis e.c Hepatitis C

P/ : - IVFD D5% : RL (1:1) 16 tpm

- Inj. Ranitidine 2x1 amp

- Inj. Vit K 3x1

- Inj. Asam tranexamat 3x1

- Inj. Furosemid 1x1

- Inj. Cefotaxime 2x1

- P.O Hemafort 1x1 tab

- P.O Curcuma 3x1 tab

- Biodiar k/p. jika mencret > 5x

- Sanmol drip 3x500

- Cek balance cairan input output

- Diet rendah lemak, tinggi protein

- Cek albumin

23/8/2014 S/ demam (+), mengigigl, lemas (+), bab mencret berwarna

hitam (+), nafsu makan berkurang, bak seperti teh (-)

O/ : KU : Tampak sakit sedang, Kesadaran : Compos mentis

TD: 110/70, N: 84 x/menit, RR: 20 x/menit, S: 38,6 °C

Kepala : Normocephale

Mata : CA -/-, SI +/+

19

Page 20: case hep c

Leher : tidak ada pembesaran KGB

THT : dbn

Thoraks : Simetris

Cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

Pulmo : SN Vesikular, ronki-/-, wheezing -/-

Abdomen : BU (+), perut membesar simetris, NT (-),

shiffting dullness (+)

Ektremitas : akral hangat (+/+), udem kaki(+/+).

Hasil lab : hb : 8,3 ; ht : 26,0 ; lec : 11.400 ; trom : 91.000 ;

albumin : 2,5 ; Anti HCV : +

A/ : Hepatitis C + asites + sirosis hepatis + hipoalbumin + anemia

+ intake sulit

P/ : - IVFD D5% : RL : aminoleban (1:1:1) 16 tpm + neurobion 1

amp

- Inj. Ranitidine 2x1 amp

- Inj. Vit K 3x1

- Inj. Omeprazole 2x1

- Inj. Asam tranexamat 3x1

- Inj. Furosemid 1x1

- Inj. Cefotaxime 2x1

- Pro tranfusi albumin

- P.O Hemafort 1x1 tab

- P.O Curcuma 3x1 tab

- P.o spinorolankton 1x100

- P.o sucralfat 3xC1

- Biodiar k/p. jika mencret > 5x

- Sanmol drip 3x500

- Diet rendah lemak, tinggi protein

- Cek albumin

- Cek dpr

20

Page 21: case hep c

ANALISA KASUS

1. Apakah penegakan diagnosis pada pasien ini sudah benar?

Ya. Berdasarkan anamnesis didapatkan lemas sejak 2 hari SMRS tidak

nafsu makan, disertai demam, pusing, nyeri kepala dan mual. Kedua mata

menguning sejak 1 minggu yang lalu. Sebelumnya pasien setiap sakit

sering berobat ke mantri dan diberikan obat suntikan.

TTV :

- Kesadaran : Compos mentis

- Keadaan Umum : Lemah

- Tekanan Darah : 110/70mmHg

- Nadi : 84 kali/menit

- Respirasi : 20 kali/menit

- Suhu : 38,6 0C

Pemeriksaan Fisik :

Semua dalam batas normal kecuali adanya konjungtiva anemis, sklera

yang ikterik,dan perut membesar simetris.

Pemeriksaan Penunjang :

Laboratorium 

Hb : 9,3 Anti HCV : positif globulin : 1,59

Ht : 29,0 Na : 141,3

Leukosit : 4.600 K : 3,67

Trombosit : 103.000 Cl : 113,0

GDS : 71 bil.direct : 1,86

Kreatinin : 0,5 bil.indirect : 1,59

Ureum :22 bil. Tot : 3,45

SGOT : 87 protein tot : 4,1

SGPT : 48 albumin : 2,3

21

Page 22: case hep c

Hasil USG Abdomen (19 Agustus 2014)

Kesan : *cholelitiasis kecil multiple

*ascites

*struktur hepar, pancreas, lien, dan vu baik

2. Apakah penatalaksanaan pada pasien ini sudah adekuat?

Belum. Karena pasien sudah jatuh kedalam sirosis hepar sehingga

memerlukan terapi lebih lanjut dan perlunya konsul gizi untuk diet

makanannya.

3. Bagaimana prognosis pasien ini ?

Prognosis pada pasien ini quo ad vitam adalah dubia ad bonam karena pada

dasarnya penyakit pada hepatitis C tidak mengancam nyawa. Untuk quo ad

functionam dubia ad malam, karena organ hepar pasien ini sudah jatuh

ketahap sirosis hepatis. Untuk quo ad sanactionam dubia ad malam karena

proses penyakit hepatitis C pasien sudah menajadi sirosis hepar.

22

Page 23: case hep c

BAB II

Tinjauan Pustaka

A. Pendahuluan

Hepatitis virus akut merupakan infeksi sistemik yang dominan

menyerang hati. Hampir semua kasus hepatitis akut disebabkan oleh salah

satu dari lima jenis virus meliputi virus hepatitis A (HAV), virus hepatitis B

(HBV), virus hepatitis C (HCV), virus hepatitis D (HDV) dan virus hepatitis E

(HEV). Semua virus tersebut merupakan virus RNA kecuali virus hepatitis B.

Hepatitis viral akut merupakan urutan pertama dari berbagai penyakit hati di

seluruh dunia. Penyakit tersebut atau gejala sisanya bertanggung jawab atas

1-2 juta kematian setiap tahunnya. Di Indonesia, prevalensi anti-HCV pada

donor darah di beberapa tempat di Indonesia menunjukkan angka diantara

0,5%-3,37%. Sedangkan prevalensi anti-HCV pada hepatitis virus akut

menunjukkan bahwa hepatitis C (15,5%-46,4%) menempati urutan kedua

setelah hepatitis A (39,8%-68,3%) sedangkan urutan ketiga ditempati oleh

hepatitis B (6,4%-25,9%).5

Infeksi VHC didapatkan di seluruh dunia, dilaporkan sekitar 170 juta

orang telah terinfeksi virus ini. Di Indonesia belum terdapat laporan resmi

mengenai infeksi VHC, namun menurut laporan lembaga tranfusi darah

didapatkan sekitar 2% positif terinfeksi. Pada studi populasi umum di Jakarta

prevalensi VHC sekitar 4%. Pada umumnya transmisi terbanyak adalah

berhubungan dengan tranfusi darah terutama yang dilakukan sebelum

penapisan donor darah untuk VHC oleh PMI. Infeksi VHC juga dihubungkan

dengan status ekonomi yang rendah, pendidikan kurang dan perilaku seksual

yang berisiko tinggi. Infeksi dari ibu ke anak juga dilaporkan sangat jarang

terjadi, biasanya dihubungkan dengan ibu yang menderita HIV karena jumlah

VHC dikalangan ibu yang menderita HIV tinggi.5

23

Page 24: case hep c

Beberapa laporan juga menyebutkan bahwa dapat terjadi infeksi VHC

melalui tindakan-tindakan medic seperti endoskopi, perawatan gigi, dialysis

maupun operasi. Selain itu, VHC juga dapat ditransmisikan melalui luka

tusukan jarum. Pada umumnya, genotip yang didapatkan di Indonesia adalah

genotip 1 (sekitar 60-70%) diikuti oleh genotype 2 dan 3. Prevalensi yang

tinggi didapatkan pada pasien pengguna narkotika suntik (>80%) dan pasien

dialysis (70%). Pada saliva juga didapatkan VHC akan tetapi infeksi VHC

melalui saliva dan kontak-kontak lain dalam rumah tangga diketahui sangat

tidak efisien untuk terjadinya infeksi dan transmisi VHC.5

B. Virus Hepatitis C

Virus hepatitis C temasuk kelas Flaviviridae genus hepacivirus yang

memiliki selubung glikoprotein dengan RNA rantai tunggal.7

Target VHC adalah sel-sel hati dan mungkin juga limfosit B melalui

reseptor yang mungkin sekali serupa dengan CD81 yang terdapat di sel hati

maupun limfosit B atau reseptor LDL. Setelah berada dalam sitoplasma hati,

VHC akan melepaskan selubung virusnya dan RNA virus siap untuk

melakukan translasi protein dan kemudian replica RNA. Struktur gen VHC

adalah sebuah RNA rantai tunggal, sepanjang kira-kira 10.000 pasang basa

dengan daerah open reading frame (ORF) diapit susunan nukleotida yang

tidak ditranslasikan. Kedua ujung VHC ini sangat terpelihara sehingga saat ini

dipakai untuk identifikasi adanya infeksi VHC. Transalasi protein VHC

24

Page 25: case hep c

dilakukan oleh ribosom sel hati yang akan membaca RNA VHC dari satu

bagian spesifik tersebut.7

C. Patogenesis

Studi mengenai mekanisme kerusakan sel hati karena VHC masih sulit

dilakukan karena terbatasnya kultur sel untuk VHC dan tidak adanya hewan

model kecuali simpanse yang dilindungi. Kerusakan sel hati akibat VHC atau

partikel virus secara langsung masih belum jelas. Namun beberapa bukti

menunjukan adanya mekanisme imunologis yang menyebabkan kerusakan

sel sel hati. Protein core misalnya ditenggarai dapat menimbulkan reaksi

pelepasan radikal oksigen pada mitokondria. Selain itu, protein ini diketahui

pula mempengaruhi proses signaling dalam inti sel terutama berkaitan

dengan penekanan regulasi imunologik dan apoptosis, adanya bukti bukti ini

menyebabkan kontroversi apakah VHC bersifat sitotoksik atau tidak, terus

berlangsung.4

Reaksi cytokine T cell (CTL) spesifik yang kuat diperlukan untuk

terjadinya eliminasi menyeluruh VHC pada infeksi akut. Pada infeksi kronik,

reaksi CTL yang relative lemah masih mampu merusak sel sel hati dan

melibatkan proses inflamasi di hati tetapi tidak bias menghilangkan virus

maupun menekan evolusi genetic VHC sehingga kerusakan sel hati berjalan

terus menerus. Kemampuan CTL tersebut dihubungkan dengan aktivasi

limfosit sel T helper (TH) spesifik VHC. Adanya pergeseran dominasi aktivitas

Th1 menjadi Th2 berakibat pada reaksi toleransi dan melemahnya respon

CTL.8

Reaksi yang dilibatkan melaluai sitokin sitokin pro-inflamasi seperti

TNF-α, TGF-β1, akan menyebabkan reksutmen sel sel inflamasi lainnya dan

menyebabkan aktivitas sel sel Stelata diruang disse hati. Sel-sel yang khas ini

yang sebelumnya dalam keadaan “tenang” (quicent) kemudian berpoliferasi

dan menjadi aktif menjadi sel-sel miofibroblast, yang dapat menghasilkan

25

Page 26: case hep c

matriks kolagen sehingga terjadi fibrosis dan berperan aktif dalam

menghasilkan sitokin-sitokin pro-inflamasi. Mekanisme ini dapat timbul terus

menerus karena reaksi inflamasi yang terjadi tidak berhenti sehingga fibrosis

semakin lama semakin banyak dan sel sel yang ada semakin sedikit. Proses ini

dapat menimbulkan kerusakan hati lanjut dan sirosi hati.8

Pada gambaran histopatologis hepatitis kronik dapat ditemukan

proses inflamasi berupa neksosis gergit, maupun lobular, disertai dengan

fibrosis di daerah portal yang lebih lanjut dapat masuk ke lobules hati

(fibrosis septal) dan kemudian dapat menyebabkan nekrosis dan fibrosis

jembatan (bridging fibrosis/nekrosis) gambaran yang khas untuk infeksi VHC

adalah agregat limfosit di lobules hati namun tidak didapatkan pada semua

kasus inflamasi akibat VHC.8

Gambaran histopatologis pada infeksi kronik VHC sangat berperan

dalam proses keberhasilan terapi dan prognosis. Secara histopatologis dapat

dilakukan scoring untuk inflamasi dan fibrosis dihati sehingga memudahkan

untuk keputusan terapi, evaluasi pasien maupun komunikasi antara ahli

patologi. Saat ini sistem scoring yang mempunyai variasi intra dan

interoobserver yang baik diantaranya adalah METAVIR dan ISHAK.8

Sistem skoring Metavir digunakan untuk menilai pasien dengan

hepatitis C. Tingkatan tersebut berdasarkan derajat inflamasi yang terjadi

pada hepar antara lain:

0 : yaitu tidak ada luka

1 : luka yang minimal

2 : luka yang terjadi dan meluas ke area dari hepar termasuk pembuluh

darah

3 : fibrosis sudah mulai menyebar dan menghubungkan dengan area

lain

4 : sirosis dengan luka tingkat lanjut

26

Page 27: case hep c

PERJALANAN ALAMIAH HEPATITIS C

Perjalanan alamiah infeksi HCV dimulai sejak virus hepatitis C masuk ke

dalam darah dan terus beredar dalam darah menuju hati, menembus dinding sel

dan masuk ke dalam sel, lalu berkembang biak. Hati menjadi meradang dan sel

hati mengalami kerusakan dan terjadi gangguan fungsi hati dan mulailah

perjalanan infeksi virus hepatitis C yang panjang. Ada 2 mekanisme bagaimana

badan menyerang virus. Mekanisme pertama melalui pembentukan antibodi

yang menghancurkan virus dengan menempel pada protein bagian luar virus.

Antibodi ini sangat efektif untuk hepatitis A dan B. tetapi sebaliknya antibodi

yang diproduksi imun tubuh terhadap HCV tidak bekerja sama sekali.4

Sekitar 15 % pasien yang terinfeksi virus hepatitis C dapat menghilangkan

virus tersebut dari tubuhnya secara spontan sayangnya, mayoritas penderita

penyakit ini menjadi kronis. Dienstag telah meneliti 189 kasus hepatitis NANB

ternyata dari jumlah tersebut 34% penderita hepatitis kronik pensisten atau

hepatitis kronik lobuler, 40% hepatitis kronik aktif dan 18% penderita hepatitis

kronik pensisten atau hepatitis kronik lobuler, 40% hepatitis kronik aktif dan 18%

penderita sirosis hati.4

Salah satu konsekuensi paling berat pada hepatitis adalah kanker hati,

hepatitis C kronis merupakan salah satu bentuk penyakit hepatitis paling

berbahaya dan dalam waktu lain dapat terjadi komplikasi. Penderita hepatitis

kronis beresiko menjadi penyakit hati tahap akhir dan kanker hati, penyakit hati

terutama hepatitis C penyebab utama pada transplantasi hati sekarang ini. Saat

hati menjadi rusak, hati tersebut memperbaiki sendiri membentuk fibrosis, yang

menunjukkan semakin parahnya penyakit, sehingga hati menjadi sirosis.

Hampir semua mortalitas hepatitis C berhubungan dengan komplikasi sirosis

hati dan kanker. Sepertiga dari pasien terinfeksi hepatitis kronik tidak pernah

menjadi sirosis. Sepertiga dari kasus hepatitis kronik menjadi sirosis dalam waktu

30 tahun dan sebagian dapat berkembang menjadi kanker hati. Sedangkan

sepertiga lagi dalam waktu 20 tahun.9

27

Page 28: case hep c

D. Gambaran Klinis

Sering kali orang yang menderita hepatitis C tidak menunjukkan gejala

walaupun infeksi telah terjadi bertahun-tahun lamanya. Gejala-gejala di

bawah ini mungkin samar, misalnya lelah, perasaan tidak enak pada perut

kanan atas, hilang selera makan, sakit perut, mual, muntah ,pemeriksaan fisik

seperti normal atau menunjukan pembesaran hepar sedikit. Beberapa pasien

didapatkan spidernevi, atau eritema Palmaris.8

Hasil laboratorium yang menyolok adalah peninggian SGOT dan SGPT

yang terjadi pada kurun waktu 2 sampai 26 minggu setelah tertular. Masa

inkubasinya diantara hepatitis akut A dan hepatitis B, dengan puncaknya

diantara 7 sampai 8 minggu setelah terkena infeksi.4

Penderita infeksi HCV biasanya berjalan sublinik, hanya 10% penderita

yang dilaporkan mengalami kondisi akut dengan ikterus. Infeksi HCV jarang

menimbulkan hepatitis fulminan, namun infeksi HCV akut yang berat pernah

dilaporkan pada penderita resipien transplantasi hati, penderita dengan

dasar penyakit hati menahun dan penderita dengan koinfeksi HBV.7

Meskipun kondisi akutnya ringan sebagian besar akan berkembang

menjadi penyakit hati menahun (Harrison’s, 1998, p.149). Infeksi HCV

dinyatakan kronik jika deteksi RNA HCV dalam darah menetap sekurang-

kurangnya 6 bulan. Secara klinik hepatitis C mirip dengan infeksi hepatitis B.

Gejala awal tidak spesifik dengan gejala gastrointestinal diikuti dengan

ikterus dan kemudian diikuti perbaikan pada kebanyakan kasus.9

Infeksi kronik hepatitis C menunjukan dampak klinik yang jauh lebih berat

dibanding infeksi hepatitis B. Kedua infeksi virus ini dapat menimbulkan

gangguan kualitas hidup, meskipun masih dalam stadium presirotik dan

sering mengakibatkan komplikasi ekstra hepatik.5

28

Page 29: case hep c

Pasien dengan hepatitis C kronik dengan manifestasi gejala ekstrahepatik

yang biasanya disebabkan respon imun seperti gejala rematoid,

keratoconjungtivitis sicca, lichen planus, glomerulonefritis, limfoma dan

krioglobulinemia esensial campuran. Krioglobulin telah dideteksi pada serum

sekitar separuh pasien dengan hepatitis C kronik.6

Gambaran klinis hepatitis virus sangat bervariasi yang dibagi dalam

empat tahap yaitu:

1. Fase Inkubasi

Fase inkubasi merupakan waktu diantara masuknya virus dan saat

timbulnya gejala atau ikterus. Fase ini berbeda-beda lamanya tiap

hepatitis virus tergantung pada dosis inokulan yang ditularkan dan jalur

penularan. Makin besar dosis inokulan makin pendek fase inkubasinya.

2. Fase Prodormal (Pre Ikterik)

Fase diantara timbulnya keluhan pertama dan gejala timbulnya

ikterus. Biasanya ditandai dengan malaise umum, mialgia, atralgia,

mudah lelah, gejala saluran napas atas dana anoreksia. Mual, muntah dan

anoreksia berhubungan dengan perubahan penghidu dan rasa kecap.

Diare atau konstipasi dapat terjadi. Nyeri abdomen biasanya ringan dan

menetap di kuadran kanan atas atau epigastrium yang kadang diperberat

dengan aktivitas.

3. Fase Ikterus

Ikterus muncul setelah 5-10 hari timbunya gejala atau dapat

bersamaan dengan munculnya gejala. Pada banyak kasus fase ini tidak

terdeteksi. Setelah timbulnya ikterus jarang terjadi perburukan gejala

prodormal dan justru akan terjadi perbaikan klinis yang nyata.

4. Fase Konvalesen

Fase yang diawali dengan menghilangnya gejala dan ikterus, tetapi

hepatomegali dan abnormalitas fungsi hati tetap ada. Keadaan akut

29

Page 30: case hep c

biasanya akan membaik dalam 2-3 minggu. Pada 5%-10% kasus

perjalanan klinisnya mungkin lebih sulit ditanganim hanya kurang dari 1%

yang menjadi fulminan.

Pada umumnya infeksi akut VHC tidak memberikan gejala atau

bergejala minimal. Hanya 20-30% yang menunjukkan tanda-tanda hepatitis

akut 7-8 minggu setelah terjadinya paparan. Walaupun demikian, infeksi akut

sangat sukar dikenali karena pada umumnya tidak terdapat gejala sehingga

sulit pula menentukan perjalanan penyakit akibat infeksi HCV.2

Beberapa laporan menyatakan bahwa pada infeksi hepatitis C akut

didapatkan adanya gejala malaise, mual dan ikterus seperti halnya hepatitis

akut karena virus lain. Hepatitis fulminan sangat jarang terjadi. ALT

meningkat sampai beberapa kali di atas batas normal tetapi umumnya tidak

melebihi 1000U/ liter.2

Sekitar 70-80% orang yang terinfeksi HCV menjadi carrier kronis

dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan serta merupakan penyebab

utama sirosis hati, penyakit hati stadium akhir dan kanker hati. Sering kali

proses ini tidak menimbulkan gejala apapun walaupun proses kerusakan hati

berjalan terus. Hilangya VHC setelah hepatitis kronis sangat jarang terjadi.

Diperlukan waktu sekitar 20-30 tahun untuk terjadi sirosis hati yang akan

terjadi pada 15-20% pasien hepatitis C kronis. Sekitar 15-25% dari orang yang

terinfeksi dapat sembuh tanpa pengobatan dengan alasan yang tidak

diketahui.8

Kerusakan hati akibat infeksi kronik tidak dapat tergambar pada

pemeriksaan fisik maupun labaratorik kecuali bila sudah terjadi sirosis hati.

Pada pasien dimana ALT selalu normal, 18-20% sudah terdapat kerusakan

hati bermakna, sedangkan diantara pasien dengan peningkatan ALT, hamper

semua sudah mengalami kerusakan hati sedang sampai berat. Progesivitas

hepatitis kronis menjadi sirosis tergantung beberapa faktor antara lain

asupan alcohol, koinfeksi dengan hepatitis B atau HIV, jenis kelamin laki-laki

30

Page 31: case hep c

dan usia tua saat terjadinya infeksi. Setelah terjadi sirosis hati, maka dapat

timbul kanker hati dengan frekuensi 1-4% tiap tahunnya. Kanker hati dapat

terjadi tanpa melalui sirosis hati walaupun kondisi seperti ini jarang terjadi.6

Koinfeksi HCV dengan HIV diketahui menjadi masalah karena dapat

memperburuk perjalanan penyakit hati yang kronik, mempercepat terjadinya

sirosis hati dan mungkin pula mempercepat penurunan sistem kekebalan

tubuh. Adanya koinfeksi tersebut juga mempersulit pengobatan dengan

antiretrovirus karena memperbesar porsi pasien yang menderita gangguan

fungsi hati dibandingkan dengan pasien tanpa koinfeksi HIV. Di Indonesia,

kasus ini sering terjadi pada pengguna jarum suntik yang menggunakan alat

suntik bergantian. 3

Selain gejala-gejala gangguan hati, dapat pula timbul manifestasi

ekstra hepatic antara lain crioglobunemia dengan komplikasi-komplikasinya

(glomerulopati, kelemahan, vaskulitis, purpura dan atralgia), sicca syndrome,

lichen planus dan porphyria cutanea tarda. Patofisiologi manifestasi gejala

ekstra hepatic belum diketahui dengan jelas namun dihubungkan dengan

kemampuan VHC untuk menginfeksi sel-sel limfoid sehingga mengganggu

respon sistem imunologis. Sel-sel limfoid yang terinfeksi dapat berubah

sifatnya menjadi ganas karena dilaporkan tingginya kejadian limfoma non

Hodgin pada pasien dengan infeksi HCV.4

E. Diagnostik

Test yang dipakai untuk mendeteksi antibodi terhadap virus seperti Enzyme

Immuno Assay (EIA), yang mengandung antigen HCV dari gen inti dan non

struktural, dan Assay Imunoblot Recombinan (RIBA). Teknik Polymerasi Chain

Reaction (PCR) atau Transcription – Mediated Amplification (TMA) sebagai test

kualitatif untuk HCV RNA, sementara amplifikasi target (PCR) dan teknik

amplifikasi sinyal( Branched DNA) dapat dipakai untuk mengukur muatan virus.9

31

Page 32: case hep c

Pendekatan paling baik untuk diagnosa hepatitis C adalah test HCV RNA

yang merupakan tes yang sensitive seperti Polimerase Chain Reaction (PCR) atau

Transcription Mediated Amplification (TMA). Dengan adanya HCV RNA diserum

menandakan infeksi aktif. Test untuk HCV RNA adalah membantu pasien pasien

yang dengan test EIA dengan hasil anti HCV nya tidak dapat dipercaya, misalnya

pasien dengan gangguan imun yang mana hasil anti HCV nya negative, sebab

mereka tidak cukup memproduksi antibody. Pasien-pasien dengan akut hepatitis

C, test anti HCV negative karena antibody baru muncul setelah satu bulan fase

akut.8

Test HCV RNA dibagi dua yaitu kuantitatif dan kualitatif. Test kualitatif

menggunakan PCR/ Polymerase Chain Reaction, test ini dapat mendeteksi HCV

RNA yang dilakukan untuk konfirmasi viremia dan untuk menilai respon terapi.

Test kuantitatif dibagi dua yaitu: metode dengan teknik Branched Chain DNA dan

teknik Reverse Transcription PCR.Test kuantitatif ini berguna untuk menilai

derajat perkembangan penyakit. Pada test kuantitatif ini pula dapat diketahui

derajat viremia.1

Sesuai dengan rekomendasi konsensus penatalaksanaan HCV di Indonesia :

1. Pemeriksaan HCV RNA yang positif, dapat memastikan diagnosis

2. Bila HCV – RNA tidak dapat diperiksa, maka ALT/SGPT > 2N, dengan anti

HCV (+)

3. Pemeriksaan genotip tidak diperlukan untuk menegakkan diagnosis.

4. Pemeriksaan HCV RNA kuantitatif diperlukan pada anak dan dewasa

untuk penentuan pengobatan.

5. Pemeriksaan genotip diperlukan untuk menentukan lamanya terapi.

6. Pemeriksaan HCV RNA diperlukan sebelum terapi dan 6 bulan paska

terapi.

7. Pemeriksaan HCV RNA 12 minggu sejak awal terapi dilakukan pada pasien

genotip 1 dengan pegylated interferon untuk penilaian apakah terapi

dilanjutkan atau dihentikan.9

32

Page 33: case hep c

Test faal hati rutin untuk skrining HCV kronik memiliki keterbatasan, karena

sekitar 50% penderita yang terinfeksi HCV mempunyai nilai transaminase

normal. Meskipun test faal hatinya normal , penderita ini ternyata menunjukkan

kelainan histology penyakit hati berupa nekroinflamasi dengan atau tanpa

sirosis. Pemantauan dengan menggunakan kadar transaminase sifatnya terbatas,

karena kadarnya dapat berfluktuasi dari kadar normal sampai ke abnormal

dengan perjalanan waktu.8

Biopsi hati biasanya dikerjakan sebelum dimulai pengobatan anti virus dan

tetap merupakan pemeriksaan paling akurat untuk mengetahui perkembangan

penyakit hati. Biopsi hati biasanya dikerjakan pada penderita dengan infeksi

kronik HCV. Dengan transaminase abnormal yang direncanakan pengobatan

antiviral, pemeriksaan histologi juga dibutuhkan bila ada dugaan diagnosis

penyakit hati akibat alkohol. Biopsi hati menjadi sumber informasi untuk

penilaian fibrosis dan histologi. Biopsis hati memberikan informasi tentang

kontribusi besi, steatosis dan penyakit penyerta hati alkoholik terhadap

perjalanan hepatitis C kronik menuju sirosis. Informasi yang didapat pada biopsi

hati memungkinkan pasien mengambil keputusan tentang penundaan atau

dimulainya pemberian terapi antivirus, karena mengingat efek samping

pengobatan.9

Infeksi oleh VHC dapat diidentifikasikan dengan memeriksa antibodi

yang dibentuk tubuh terhadap VHC bila virus menginfeksi pasien. Antibodi ini

akan bertahan lama setelah infeksi terjadi dan tidak mempunyai arti

protektif. Walaupun pasien dapat menghilangkan infeksi VHC pada infeksi

akut, namun antibodi terhadap VHC masih terus bertahan bertahun tahun

(18-20 tahun). Deteksi antibodi terhadap VHC dilakukan umumnya dengan

teknik enzyme immune assay (EIA). Antigen yang digunakan untuk deteksi

dengan cara ini adalah antigen C-100 dan beberapa antigen non-struktural

(ns 3,4 dan 5) sehingga tes ini menggunakan poliantigen dari VHC. Dikenal

33

Page 34: case hep c

beberapa generasi pemeriksaan antibodi VHC ini dimana antigen yang

digunakan semakin banyak sehingga saat ini generasi III mempunyai

sensitivitas dan spesivitas yang sangat tinggi antibodi terhadap VHC dapat

dideteksi pada minggu ke 4-10 dengan sensivitas mencapai 99% dan

spesivitas 90%. Negatif palsu dapat terjadi terrhadap pasien dengan

difesiensi sistem kekebalan tubuh seperti pada pasien HIV, gagal ginjal.

Immunobolt assay dulu digunakan untuk tes konfirmasi pada meraka dengan

anti HCV positif dengan EIA. Saat ini dengan tingkat spesifitas dan sensivitas

EIA yang sudah sedemikian tinggi, tes konfirmasi ini tidak diragukan lagi.5

Deteksi RNA VHC digunakan untuk mengetahui adanya virus ini dalam

tubuh pasien terutama dalam serum sehingga memberikan gambaran infeksi

sebenarnya. Jumlah VHC dalam serum maupun dalam hati relative sangat

kecilsehingga diperlukan teknik amplifikasi agar terdeteksi. Teknik

polymerase chain reaction (PHC) dimana gen VHC digandakan oleh enzyme

polymerase digunakan sejak ditemukan virus ini dan sat ini umumnya

digunakan untuk menentukan adanya VHC (secara kualitatif) maupun untuk

mengetahui jumlah virus VHC (secara kuantitatif). Teknik ini juga dipakai

dalam menentukan genotip VHC.teknik lain adalah dengan menggadakan

signal yang didapat dari gen VHC yang terikat pada probe RNA sehingga

dapat dihitung jumlah kuantitativ VHC . hasil kedua pemeriksaan ini sulit

dibandingkan satu dengan yang lainnya walupun saat ini ada standarisasi

dalam satuan pemeriksaan sehingga dimasa datang diharapkan satu

pemeriksaan dapat diikuti atau dilakukan pemeriksaan ulang dengan

pemeriksaan lain dengan hasil yang dapat dibandingkan. Untuk menentukan

genotip VHC selain dengan teknik VCR, juga digunakan teknik hibridasi atau

dengan melakukan sequencing gen VHC.6

Selain untuk pemeriksaan pada pasien, penentuan adanya infeksi VHC

dilakukan pada penapisan darah untuk tranfusi darah. Umumnya unit

transfusi darah menggunakan deteksi anti VHC dengan EIA maupun dengan

cara imunokomotrografi, namun hasil terdapat kasus kasus pasien yang

34

Page 35: case hep c

terinfeksi oleh VHC maupun deteksi VHC sudah dinyatakan negatif. Teknik

deteksi nukleotida lebih sensitif daripada deteksi anti VHC karna itu di dunia

saat ini telah dikembangkan teknik menggunakan real time PCR yang dapat

mendeteksi RNA VHC dalam jumlah yang sangat kecil (kurang dari 50

kopi/ml). selain itu, tekhnologi menggunakan teknik transcripted mediated

amplification (TMA) juga telah dikembangkan untuk meningkatkan

sensitivitas deteksi VHC. Teknik yang sangat sensitif ini berguna untuk

mendeteksi infeksi VHC dikalangan pasien maupun dikalangan masyarakat

umum untuk tranfusi darah.4

F. Hepatitis Kronis

Hepatitis kronis merupakan suatu sindrom klinis dan patologis yang

disebabkan oleh bermacam-macam etiologi ditandai oleh berbagai tingkat

peradangan dan nekrosis pada hati yang berlangsung terus menerus tanpa

penyembuhan paling sedikit enam bulan. Sirosis hati merupakan stadium

akhir hepatitis kronis dann ireversibel yang ditandai oleh fibrosis yang luas

dan menyeluruh pada jaringan hati disertai dengan pembentukan nodulus.8

Klasifikasi secara histopatologis membedakan hepatitis kronis menjadi tiga

macam antara lain:

1) Hepatitis Kronik Persisten

Hepatitis kronik persisten ditandai dengan serbukan sel radang bulat

pada daerah portal. Arsitektur lobular tetap normal dan tidak ada fibrosis

kalaupun ada hanya sedikit. Limiting plate pada hepatosit antara daerah

portal dan kolom hepatosit tetap utuh. Tidak terjadi piece meal necrosis.

Pada jenis ini biasanya tidak berkembang ke arah sirosis hepatis.

2) Hepatitis Kronik Lobular

Hepatitis kronis lobular sering pula disebut sebagai hepatitis akut

berkepanjangan karena perjalanan penyakit lebih dari tiga bulan. Pada

tipe ini ditemukan adanya tanda peradangan dan daerah nekrosis pada

35

Page 36: case hep c

lobules hati. Hepatitis kronis lobular dapat mengalami perkembangan ke

arah sirosis hepatis akan tetapi prosesnya lambat.

3) Hepatitis Kronik Aktif

Hepatitis kronis aktif ditandai dengan serbukan sel radang bulat terutama

limfosit dan sel plasma di daerah portal yang menyebar dan mengadakan

infiltrasi ke dalam lobules hati sehingga menyebabkan erosi limiting plate

dan menimbulkan piece meal necrosis. Terdapat dua tipe hepatitis kronis

aktif yaitu:

a) Tipe berat yaitu ditemukan septa jaringan ikat menyebar ke kolom-

kolom hepatosit sehingga menyebabkan kelompokan hepatosit yang

terisolasi dan menimbulkan gambaran rosette. Tampak pula intra

hepatic bridging antara portal sentral atau portal dengan portal. Pada

jenis ini dapat berkembang ke sirosis hepatis dalam waktu yang

relative cepat.

b) Tipe ringan ditandai dengan erosi ringan pada limiting plate dan juga

piece meal necrosis yang ringan saja tanpa adanya pembentukan

rosette ataupun bridging.

G. Penatalaksanaan

Indikasi terapi pada hepatitis C kronik apabila didapatkan peningkatan

nilai ALT lebih dari batas atas nilai normal. Menurut panduan

penatalaksanaan, nilai ALT lebih dari 2 kali batas atas nilai normal. Hal ini

mungin tidak berlaku mutlak karena berapapun nilai ALT di atas batas nilai

normal biasanya sudah menunjukan adanya fibrosis yang nyata bila dilakukan

biopsi hati. Bila nilai ALT normal, harus diketahui terlebih dahulu apakah nilai

normal ini menetap (persisten) atau berfluktuasi dengan memonitor nilai ALT

setiap bulan untuk 4 – 5 kali pemeriksaan. Nilai ALT yang berfluktuasi

merupakan indikasi untuk, melakukan terapi namun bila nilai ALT tetap

36

Page 37: case hep c

normal, biopsi hati perlu dilakukan agar dapat lebih jelas diketahui fibrosis

yang sudah terjadi.3

Pada pasien yang tidak terjadi fibrosis hati (F0) atau hanya merupakan

fibrosis hati ringan (F1), mungkin terapi tidak perlu dilakukan karena mereka

biasanya tidak berkembang menjadi sirosis hati setelah 20 tahun menderita

infeksi HCV. Niali fibrosis hati pada tingkat menengah atau tinggi, sudah

merupakan indikasi untuk terapi sedangkan apabila sudah terdapat sirosis

hati, maka pemberian interferon harus berhati-hati karena dapat

menimbulkan penurunan fungsi hati secara bermakna. Pengobatan hepatitis

C kronik adalah dengan menggunakan interferon alfa dan ribavirin.

Umumnya disepakati bila genotype HCV adalah genotype 1 dna 4, maka

terapi perlu diberikan selama 48 minggu dan bila genotype 2 dan 3, terpai

cukup diberikan selama 24 minggu.7

Kontra indikasi terapi adalah berkaitan dengan penggunaan

interferon dan ribavirin tersebut. Pasien yang berumur lebih dari 60 tahun,

Hb <10 g/dL, lekousit darah <2500/uL, trombosit <100.000/uL, adanya

gangguan jiwa yang berat, dan adanya hipertiroid tidak diindikasikan untuk

terapi dengan interferon dan ribavirin. Pasien dengan gangguan ginjaljuga

tidak diindikasikan menggunakan ribavirin karena dapat memperberat

gangguan ginjal yang terjadi.Untuk interferon alfa yang konvensional,

diberikan setiap 2 hari atau 3 kali seminggu dengan dosis 3 juta unit subkutan

setiap kali pemberian. Interferon yang telah diikat dengan poly-ethylen glycol

(PEG) atau dikenal dengan Peg-Interferon, diberikan setiap minggu dengan

dosis 1,5 ug/kg BB/kali (untuk Peg-Interferon 12 KD) atau 180 ug (untuk Peg-

Interferon 40 KD). Pemberian interferon diikuti dengan pemberian ribavirin

dnegan dosis pada pasien dengan berat badan <50 kg 800 mg setiap hari, 50-

70kg 1000 mg setiap hari, dan >70kg 1200mg setiap hari dibagi dalam 2 kali

pemberian.5

37

Page 38: case hep c

Pada akhir terapi dengan interferon dan ribavirin, perlu dilakukan

pemeriksaan RNA HCV secara kualitatif untuk mengetahui apakah HCV

resisten terhadap pengobatan dengan interferon dan tidak memerlukan

pemeriksaan RNA HCV 6 bulan kemudian. Keberhasilan terapi dinilai 6 bulan

setelah pengobatan dihentikan dengan memeriksa RNA HCV kualitatif. Bila

RNA HCV tetap negatif, maka pasien dianggap mempunyai respons virologik

yang menetap (sustained virological response atau SVR) dan RNA HCV

kembali positif, pasien dianggap kambuh (relapser). Mereka yang tergolong

kambuh ini dapat kembali diberikan Interferon dan ribavirin nantinya dengan

dosis yang lebih besar atau bila sebelumnya menggunakan Interferon

konvensional, Peg Interferon mungkin akan bermanfaat. Beberapa peneliti

menganjurkan pemeriksaan RNA HCV kuantitatif 12 minggu setelah terapi

dimulai untuk menentukan prognosis keberhasilan terapi dimana prognosis

dikatakan baik bila RNA HCV turun >2 log.1

Efek samping penggunaan interferon adalah demam dan gejala-gejala

menyerupai flu (nyeri otot, malaise, tidak nafsu makan, dan sejenisnya),

depresi dan gangguan emosi, kerontokan rambut lebih dari normal, depresi

sumsum tulang, hiperurisemia, kadang-kadang timbul tiroiditis. Ribavirin

dapat menyebabkan penurunan Hb. Untuk mengantisipasi timbulnya efek

asmping tersebut, pemantauan pasien mutlak dilakukan. Pada awal

pemberian interferon dan ribavirin dilakukan pemantauan klinis, laboratories

(Hb, lekousit, trombosit, asam urat dan ALT) setiap 2 minggu yang kemudian

dapat dilakukan setiap bulan. Terapi tidak boleh dilanjutkan bila Hb<8 gr/dL,

lekousit <1500/uL atau kadar neutrofil <500/uL, trombosit <50.000/uL,

depresi berat yang tidak teratasi dengan pengobatan anti depresi, atau

timbul gejala-gejala tiroiditis yang tidak teratasi.9

Keberhasilan terapi dengan interferon dan ribavirin untuk eradikasi

HCV lebih kurang 60%. Tingkat keberhasilan terapi tergantung pada beberapa

hal. Pada pasien dengan genotype 1 hanya 40% pasien yang berhail

dieradikasi sedangkan untuk genotype lain, tingkat keberhasilan terapi dapat

38

Page 39: case hep c

mencapai lebih dari 70%. Peg Interferon dilaporkan mempunyai tingkat

keberhasilan terapi yang lebih baik daripada interferon konvensional. Hal lain

yang juga berpengaruh dalam kurangnya keberhasilan respons terapi dengan

interferon adalah semakin tua umur, semakin lama infeksi terjadi, jenis

kelamin laki-laki, berat badan berlebih (obesitas), dan tingkat fibrosis hati

yang berat.2

Pada hepatitis C akut, keberhasilan terapi dengan interferon lebih

baik daripada pasien pasien hepatitis C kronik hingga mencapai 100%. Pada

kelompok pasien ini interferon dapat digunakan secara monoterapi tanpa

ribavirin dan lama terapi pada satu laporan hanya 3 bulan. Namun sulit untuk

menentukan infeksi akut HCV karena tidak adanya gejala akibat infeksi virus

ini sehingga umunya tidak diketahui waktu yang pasti adanya infeksi. Apabila

jelas infeksi akut enjadi tersebut terjadi misalnya pada tenaga medis yang

secara rutin dilakukan anti HCV dengan hasil negatif dan kemudian setelah

tertusuk jarum anti-HCV menjadi positif maka monoterapi dengan interferon

dapat diberikan.9

Pada ko-infeksi HCV-HIV, terapi dengan interferon dan ribavirin dapat

diberikan bila jumlah CD4 pasien ini <200 sel/mL. bila CD4 kurang dari nilai

tersebut, respons terapi sangat tidak memuaskan. Untuk pasien dengan ko-

infeksi HCV-HBV, dosis pemberian interferon untuk HCV sudah sekaligus

mencukupi untuk terapi HBV sehingga kedua virus dapat diterpai bersama-

sama sehingga tidak diperlukan nukleosida analog yang khusus untuk HBV.6

H. PENCEGAHAN 

Hingga saat ini belum ditemukan vaksin yang dapat digunakan untuk

mencegah hepatitis C tetapi ada beberapa cara untuk mencegah penularan

hepatitis C dengan cara jarum suntik harus steril. Melakukan kehidupan sex

yang aman. Bila memiliki pasangan yang lebih dari satu atau berhubungan

dengan orang banyak harus memproteksi diri misalnya dengan pemakaian

kondom. Jangan pernah berbagi alat seperti jarum , alat cukur, sikat gigi dan

39

Page 40: case hep c

gunting kuku. Bila melakukan manicure, pedicure, tattoo ataupun tindik

pastikan alat yang dipakai steril. Orang yang terpapar darah dalam

pekerjaannya [misalnya dokter, perawat, perugas laboratorium] harus hati-

hati agar tidak terpapar darah yang terkontaminasi, dengan cara memakai

sarung tangan, jika ada tetesan darah meskipun sedikit segera dibersihkan.

Jika mengalami luka karena jarum suntik maka harus melakukan test ELISA

atau RNA HCV setelah 4 sampai 6 bulan terjadinya luka untuk memastikan

tidak terinfeksi penyakit hepatitis C. Pernah sembuh dari salah satu penyakit

hepatitis, tidak mencegah penularan penyakit hepatitis lainnya. Dengan

demikian dokter sangat merekomendasikan penderita hepatitis C juga

melakukan vaksinasi hepatitis A dan hepatitis B.9

40

Page 41: case hep c

BAB III

Pembahasan

Pada kasus tersebut dapat diketahui bahwa keluhan utama berupa Gejala

prodormal yang muncul adalah penurunan nafsu makan tanpa disertai adanya

nyeri perut pada kuadran kanan atas ataupun pada epigastrium sebelumnya. Dia

juga menyangkal pernah mengalami kelainan pada buang air besar namun

maupun buang air kecil. Pasien menyangkal bahwa urin pernah berwarna cokelat

seperti teh namun pernah mengalami bab dengan feses yang berwarna

kehitaman. Sebelumnya pasien tidak pernah mengalami hal yang serupa ataupun

riwayat badan berwarna kuning.

Pasien merupakan ibu rumah tangga. Dia menyangkal pernah menjalani

transfuse darah, membuat tato ditubuhnya ataupun memakai narkoba dengan

jarum suntik sebelumnya. Namun pasien memilki kebiasaan berobat dimantri

bila sakit dan sering mendapat obat suntikan dari mantra tersebut.

Gejala prodromal pada pasien ini tidak terlihat secara jelas. Pasien

mungkin tertular hepatitis C dari jarum suntik yang tidak steril pada saat berobat

di mantra. Pada pemeriksaan fisik tidak diketemukan tanda apapun yang

mengarah ke hepatitis kronis. Pemeriksaan darah lengkap didapatkan

pansitopenia dapat dikarenakan perdarahan yang terjadi yaitu melena.

Pemeriksaan tes fungsi hati didapatkan kenaikan 2 kali dari batas normal SGOT

dan SGPT. Selain itu, tes Anti HCV juga sudah dilakukan untuk mengetahui ada

tidaknya infeksi virus hepatitis C dan ternyata ditemukan positif.

Pemeriksaan ultrasonografi dilakukam untuk mengetahui kondisi hepar

secara detail, ternyata didapatkan gambaran asites dan cholelithiasis multiple.

Sehingga perlu dilakukan pemeriksaan lain untuk mengkonfirmasi apakah

terdapat sirosis hepar..

41

Page 42: case hep c

Konsensus penanganan hepatitis Eropa dan Amerika menekankan untuk

perlunya dilakukan biopsi hati karena ALT pada pasien hepatitis C kronis bisa

sangat fluktuatif dan adanya fibrosis signifikan tidak bisa diketahui tanpa

dilakukan biopsi hati. Biopsi hati diperlukan untuk menentukan prognosis seiring

dengan terjadinya sirosis hati ataupun penyakit hati lanjut.

Terapi pada kasus ini lebih cenderung terapi simptomatik. Pemberian

Vitamin K dan asam traneksamat ditujukan untuk meminimalisir perdarahan

yang terjadi. Sedangkan ranitidine dan sucralfat diberikan untuk melindungi

lambung pasien.

42

Page 43: case hep c

BAB IV

Kesimpulan

1. Infeksi VHC didapatkan di seluruh dunia, dilaporkan sekitar 170 juta orang

telah terinfeksi virus ini.

2. Virus hepatitis C temasuk kelas Flaviviridae genus hepacivirus yang memiliki

selubung glikoprotein dengan RNA rantai tunggal

3. Gambaran klinis hepatitis virus meliputi fase prodormal, fase ikterus, fase

ikterus dan fase konvalosen.

4. Hepatitis kronis dibedakan menjadi hepatitis kronis persisten, hepatitis kronis

lobular dan hepatitis kronis aktif.

5. Pemeriksaan EIA, anti HCV dan PCR dapat dilakukan untuk mendiagnosis

hepatitis C

6. Terapi menggunakan interferon dan ribavirin pada hepatitis C kondisi lanjut

atau yang berkembang kea rah kronis.

7. Penatalaksanaan awal pada pasien dengan mengatasi perdarahan saluran

cerna berupa melena untuk mencegah anemia berat.

43

Page 44: case hep c

Daftar Pustaka

1. Rino A Gani.2005.Pengobatan Terkini Hepatitis Kronis B dan C. Divisi

Hepatologi Bagian Penyakit Dalam FKUI RSUPN Cipto Mangunkusumo.

Dapat diakses di http:// pdpersi.co.id

2. Rino A Gani.2006.Hepatitis C. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I

Edisi IV.Jakarta: FKUI. Hal 441-4

3. Andri Sanityoso.2006. Hepatitis Viral Akut. Dalam: Buku Ajar Penyakit

Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: FKUI. Hal 429-31

4. Pangestu Adi. 2006.Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas.

Dalam : Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I Edis IV.Jakarta:FKUI. Hal 291-4

5. Abdurachman SA. 2004.Hepatitis Virus Kronis. Dalam:Buku Ajar Penyakit

Dalam Jilid I Edisi Ketiga.Jakarta: FKUI. Hal 262-3

6. Alan Franciscus.2007.HCV Diagnostic Tools: Grading and Staging Liver

Biopsy.Hepatitis C Support Project.

7. Jake Liang et al.2000.Phatogenesis, Natural History, Treatment and

Prevention of Hepatitis C.Ann Intern Med 132:296-305.

8. Bell, B. 2009. Chronic Hepatitis C. http://www.digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/p diakses pada 25 Agustus 2014

9. PPHI. 2003. Konsensus Penatalaksanaan Hepatitis C kronik. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

44