budaya dan psikiatri

17
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Gangguan jiwa merupakan respon maladaptif terhadap stressor dari lingkungan internal atau eksternal, dibuktikan melalui pikiran, perasaan, dan prilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma lokal atau budaya setempat dan menganggu fungsi sosial, pekerjaan dan/atau fisik (Depkes RI 2003). 1 Moderinitas dengan hasil kemajuan diharapkan membawa kebahagiaan bagi manusia dan kehidupannya, akan tetapi suatu kenyataan yang menyedihkan ialah bahwa kebahagiaan itu ternyata semakin jauh, hidup semakin sukar dan kesukaran-kesukaran material berganti dengan kesukaran mental (psychic). Beban jiwa semakin berat, kegelisahan, ketegangan dan ketertekanan menimbulkan problem-problem kejiwaan yang bervariasi. 2 Studi Bank Dunia (World Bank) pada tahun 1995 di beberapa Negara, menunjukan bahwa hari-hari produktif yang hilang atau Dissability Adjusted Life Years (DALYs) sebesar 8,1% dari “Global Burden of Disease” disebabkan oleh masalah kesehatan jiwa, angka ini lebih tinggi daripada dampak yang disebabkan oleh penyakit 1 Refarat Bagian-SMF Psikiatri RSJ DR. Soeparto Hardjohusodo Prov. Sultra, FK. UHO

Upload: muhammadd-immran

Post on 12-Jul-2016

6 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

budaya memainkan peranan penting dalam diagnosis penyakit psikiatri. budaya kadang dapat terjadi misdiagnosa akibat perbedaan budaya di masyarakat. sehingga memahami budaya membantu klinisi dalam menegakkan diagnosa psikiatri.

TRANSCRIPT

Page 1: Budaya Dan Psikiatri

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Gangguan jiwa merupakan respon maladaptif terhadap stressor dari

lingkungan internal atau eksternal, dibuktikan melalui pikiran, perasaan, dan

prilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma lokal atau budaya setempat dan

menganggu fungsi sosial, pekerjaan dan/atau fisik (Depkes RI 2003).1

Moderinitas dengan hasil kemajuan diharapkan membawa kebahagiaan

bagi manusia dan kehidupannya, akan tetapi suatu kenyataan yang

menyedihkan ialah bahwa kebahagiaan itu ternyata semakin jauh, hidup

semakin sukar dan kesukaran-kesukaran material berganti dengan kesukaran

mental (psychic). Beban jiwa semakin berat, kegelisahan, ketegangan dan

ketertekanan menimbulkan problem-problem kejiwaan yang bervariasi.2

Studi Bank Dunia (World Bank) pada tahun 1995 di beberapa Negara,

menunjukan bahwa hari-hari produktif yang hilang atau Dissability Adjusted

Life Years (DALYs) sebesar 8,1% dari “Global Burden of Disease” disebabkan

oleh masalah kesehatan jiwa, angka ini lebih tinggi daripada dampak yang

disebabkan oleh penyakit tuberkulosis (7,2%), kanker (5,8%), penyakit jantung

(4,4%) maupun malaria (2,6%).2

Masalah kesehatan jiwa merupakan masalah kesehatan masyarakat yang

termasuk tinggi dibandingkan dengan masalah kesehatan lain yang ada

dimasyarakat Indonesia khususnya karena kurva dampak dari permasalahan

jiwa, saraf maupun perilaku jumlahnya terus bertambah secara persentase dari

tahun ke tahun. Kebanyakan dari mereka yang mengalami gangguan kesehatan

mental dan jiwa adalah orang dewasa. Berdasarkan data empiris orang yang

mengalami gangguan mental emosional atau gangguan saraf diakibatkan oleh

kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti:

kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam,

kegagalan dalam pencalonan politik) dan kehidupan yang terisolasi disertai

stress.

1 RefaratBagian-SMF Psikiatri RSJ DR. Soeparto Hardjohusodo Prov. Sultra, FK. UHO

Page 2: Budaya Dan Psikiatri

Krisis lingkungan sosial yang semakin berat mendorong jumlah penderita

gangguan jiwa di Indonesia kian meningkat. Salah satu jenis penyakit jiwa

adalah Skizofrenia. Kenaikan jumlah penderita skizofrenia terjadi di sejumlah

kota besar. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 menyatakan 14,1%

penduduk Indonesia mengalami Skizofrenia dari yang ringan hingga berat.

Data jumlah pasien Skizofrenia di Indonesia terus bertambah. Dari 33 Rumah

Sakit Jiwa diseluruh Indonesia, diperoleh data bahwa hingga kini jumlah

penderita Skizofrenia berat mencapai hingga 3,5 juta orang (Direktorat Bina

Pelayanan Keperawatan dan Pelayanan Medik Departemen Kesehatan, 2011).3

Jenis kelamin, ras, etnis, dan budaya mungkin semua memiliki dampak

yang luar biasa pada diagnosis, pengobatan, dan hasil pada banyak individu

yang memiliki masalah kejiwaan dan medis. Meskipun tidak mungkin untuk

memahami setiap budaya, terdapat beberapa prinsip-prinsip dasar yang harus

digunakan untuk meminimalkan bentrokan budaya dan untuk mengurangi

risiko dalam pemberian perawatan medis. Ketika mengevaluasi dan merawat

seorang pasien dari suatu budaya yang berbeda, perawatan harus diambil

berdasarkan pengamatan atau perasaan, bias, stereotip yang dimilikinya. Selain

itu, psikiater harus menilai dampak lingkungan perawatan, sikap tim perawatan

medis dan pengalaman pasien dalam sistem perawatan kesehatan.4

2 RefaratBagian-SMF Psikiatri RSJ DR. Soeparto Hardjohusodo Prov. Sultra, FK. UHO

Page 3: Budaya Dan Psikiatri

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Psikiatri Traskultur

Budaya didefinisikan sebagai suatu makna, norma, keyakinan, nilai, dan

pola perilaku bersama oleh sekelompok orang. Nilai-nilai ini termasuk

hubungan sosial, bahasa, ekspresi nonverbal dari pikiran dan emosi, keyakinan

moral dan agama, ritual, teknologi, dan keyakinan ekonomi dan praktek.

Budaya memiliki enam komponen penting yaitu :5

1. Budaya yang dipelajari,

2. Budaya dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya,

3. Budaya melibatkan serangkaian makna di mana kata-kata, perilaku,

peristiwa, dan simbol yang telah disepakati oleh sekelompok budaya,

4. Budaya bertindak sebagai wadah untuk membentuk dan mengarahkan

kebiasaan dan perspektif masa depan di dalam maupun di antara generasi,

dan memperhitungkan situasi baru yang akan dihadapi oleh kelompok

budaya,

5. Budaya berada dalam keadaan constant perubahan,

6. Budaya termasuk pola dari kedua komponen subjektif dan objektif dari

perilaku manusia.

Sebuah penilaian budaya yang berkaitan dengan diagnosis dan

pengobatan harus mencakup dalam formulasi dan masalah seseorang pasien,

Diagnostik dan Statistik Manual Gangguan Mental, edisi kelima (DSM-5),

menekankan bahwa dokter harus memperhitungkan konteks ras, etnis, dan

budaya suatu individu untuk penilaian diagnostik dan manajemen klinis yang

efektif, proses ini disebut formulasi budaya, yang mengandung beberapa

komponen . DSM-5 memberikan garis untuk formulasi budaya dan menyajikan

sebuah pendekatan untuk penilaian menggunakan formulasi budaya terhadap

penilaian faktor budaya secara sistematis dalam kegiatan klinis.4

3 RefaratBagian-SMF Psikiatri RSJ DR. Soeparto Hardjohusodo Prov. Sultra, FK. UHO

Page 4: Budaya Dan Psikiatri

B. Perubahan Nilai dan Kesehatan Mental

Pada hakikatnya, kebudayaan adalah warisan sosial. Dalam arti bahwa

kebudayaan diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya melalui suatu

proses pembelajaran, baik secar formal maupun secara informal. Adapun

proses pembelajaran formal itu umumnya dilakukan lewat program-program

pendidikan dalam berbagai lembaga pendidikan, seperti sekolah, kursus,

akademi, perguruan tinggi, dan lain-lain tempat pusat pelatihan kerja dan

keterampilan. Di sini semua wujud kebudayaan spiritual maupun material yang

berupa system gagasan, ide-ide, norma-norma, aktivitas0aktivitas berpola, serta

berbagai benda hasil karya manusia dikemas dalam mata pelajaran dan

kurikulum yang disusun serta diberikan secara sistematik. Sementara itu,

proses pembelajaran informal diselenggarakan melalui proses enkulturasi dan

sosialisasi.6

Mulai lunturnya nilai-nilai positif bangsa terlihat pada meredupnya nilai

sopan santun, tatakrama, disiplin, budi pekerti, yang mendasari perilaku dan

sikap manusia Indonesia. Sejalan dengan bergulirnya waktu dan perubahan

zaman, nilai-nilai ini sebenarnya sudah banyak yang mengalami perubahan. Di

sisi lain bersamaan dengan terjadinya krisis ekonomi dan politik, konflik sosial

mulai bermunculan di berbagai daerah. Bangsa Indonesia yang sebelumnya

dikenal sebagai bangsa yang ramah dan memiliki tata krama yang sangat

tinggi, seolah berubah menjadi bangsa yang brutal dan bengis.7

Kesehatan mental dan kualitas hidup berkaitan erat dengan perubahan

sosial dan pergeseran budaya. Prince (1993) menemukan masalah konflik nilai

individu pada masyarakat Quebec dengan menekankan pada reaksi terhadap

kesedihan (grief reactions). Dia menemukan nilai sosial pada budaya

menghambat masyarakat untuk mengekspresikan kesedihannya. Keterkaitan

perubahan nilai dengan terganggunya atau meningkatnya kesehatan mental

tampak pada beberapa faktor, yang terbagi menjadi faktor fisik dan psikologis.

Faktor fisik berkaitan dengan penggunaan teknologi dan alat-alat, sedangkan

faktor psikologi berkaitan dengan struktur psikologi individu yang mengalami

perubahan nilai.7

4 RefaratBagian-SMF Psikiatri RSJ DR. Soeparto Hardjohusodo Prov. Sultra, FK. UHO

Page 5: Budaya Dan Psikiatri

C. Stigma Gangguan Jiwa di Masyarakat

Stigma adalah ciri negatif yang melekat pada pribadi seseorang karena

pengaruh lungkungannya. Stigma yang paling umum terjadi, ditimbulkan oleh

pandangan sebagian masyarakat yang mengidentifikasi gangguan jiwa dengan

“orang gila”. Oleh karena gejala-gejala yang dianggap aneh dan berbeda

dengan orang normal, masih banyak orang yang menanggapi penderita

gangguan jiwa dengan perasaan takut, jijik, dan menganggap mereka

berbahaya. Tak jarang mereka diperlakukan dengan cara yang semena-mena,

seperti penghinaan, perlakuan kasar hingga dipasung dalam kamar gelap atau

tidak memperbolehkan melakukan interaksi sosial.2

Dalam keadaan demikian, para psikolog, psikiater dan ahli kesehatan

mental mencoba untuk merubah kekeliruan ini dengan melakukan berbagai

studi dan menemukan teori-teori untuk menjelaskan bahwa gangguan jiwa

merupakan persoalan yang murni problem psikoligi yang timbul akibat sebab-

sebab sosial yang lumrah dan merupakan tekanan hidup sehari-hari.2

D. Kepercayaan Animisme

Sejak zaman dulu sikap terhadap gangguan kepribadian atau mental telah

muncul dalam konsep primitif animisme, ada kepercayaan bahwa dunia ini

diawasi atau dikuasisi oleh roh-roh atau dewa-dewa. Orang primitrif percaya

bahwa angin bertiup, ombak mengalun, batu berguling, dan pohon tumbuh

karena pengaruh roh yang tinggal dalam benda-benda tersebuit. Orang yunani

percaya bahwa gangguan mental terjadi karena dewa marah dan membawa

pergi jiwanya. Untuk menghindari kemarahannya, maka mereka mengadakan

perjamuan pesta (sesaji) dengan mantra dari korban.8

Terdapat beberapa stigma yang berkembang di masyarakat. Pertama,

keyakinan atau kepercayaan bahwa gangguan jiwa itu disebabkan pengaruh

supranatural dan hal-hal gaib, seperti guna-guna, tempat keramat, roh jahat,

setan, sesaji yang salah, kutukan, dan lain sebagainya. Kedua, keyakinan atau

kepercayaan bahwa gangguan jiwa merupakan penyakit yang tak dapat

disembuhkan. Ketiga, kayakinan atau kepercayaan bahwa gangguan jiwa

5 RefaratBagian-SMF Psikiatri RSJ DR. Soeparto Hardjohusodo Prov. Sultra, FK. UHO

Page 6: Budaya Dan Psikiatri

merupakan penyakit yang bukan urusan medis. Keempat, keyakinan atau

kepercayaan bahwa gangguan jiwa merupakan penyakit yang bersifat

herediter.2

E. Faktor Budaya dalam Kesehatan Mental

Banyak definisi diberikan kepada budaya, namun kebanyakan melihat

kebudayaan sebagai seperangkat pedoman yang memandu bagaimana mereka

memandang dunia, merespon secara emosional, dan berperilaku di dalamnya.

Pergeseran atau pun perubahan pada tatanan budaya dalam suatu masyarakat

akan diiringi dengan perubahan perilaku dari individu yang hidup di dalamnya,

sehingga peran budaya tidak dapat dimarginalkan dalam kehidupan kita.9

Pemahaman terhadap sesuatu adalah suatu hal yang cukup kuat mendapat

pengaruh budaya, sudut pandang terhadap suatu permasalahan seringkali

dipengaruhi oleh budaya yang melatar belakangi, baik dalam proses memahami

masalah atau pun dalam menyelesaikan masalah.9

 Banyak hal dalam kehidupan yang dipengaruhi oleh budaya, kesehatan

mental dan gerakan kesehatan mental adalah salah satu contohnya. Terjadi

pergeseran paradigma dalam pemahaman gerakan kesehatan mental, saat ini

gerakan kesehatan mental  lebih mengedepankan aspek pencegahan gangguan

mental serta bagaimana peran komunitas dalam membantu optimalisasi fungsi

mental individu.8

Dalam kesehatan mental, faktor kebudayaan juga memegang peran

penting. Apakah seseorang itu dikatakan sehat atau sakit mental bergantung

pada kebudayaannya (Marsella dan White, 1984). Hubungan kebudayaan

dengan kesehatan mental dikemukakan oleh (Wallace, 1963) meliputi :8

1. Kebudayaan yang mendukung dan menghambat kesehatan mental.

2. Kebudayaan memberi peran tertentu terhadap penderita gangguan mental.

3. Berbagai bentuk gangguan mental karena faktor kultural, dan

4. Upaya peningkatan dan pencegahan gangguan mental dalam telaah

budaya.

6 RefaratBagian-SMF Psikiatri RSJ DR. Soeparto Hardjohusodo Prov. Sultra, FK. UHO

Page 7: Budaya Dan Psikiatri

F. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Pengobatan dalam Masyarakat

Menurut Blum (1974) yang dipetik dari Notoadmodjo (2007), faktor

lingkungan merupakan faktor utama yang mempengaruhi kesehatan individu,

kelompok, atau masyarakat manakala faktor perilaku pula merupakan faktor

yang kedua terbesar. Disebabkan oleh teori ini, maka kebanyakan intervensi

yang dilakukan untuk membina dan meningkatkan lagi kesehatan masyarakat

melibatkan kedua faktor ini. Menurut Notoadmodjo juga mengatakan mengikut

teori Green (1980), perilaku ini dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yaitu:10

1. Faktor predisposisi yang mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat

terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal

yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianuti masyarakat,

tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi dan sebagainya.

2. Faktor pemungkin yang mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau

fasilitas kesehatan bagi masyarakat contohnya fasilitas pelayanan

kesehatan.

3. Faktor penguat pula mencakup pengaruh sikap dan perilaku tokoh yang

dipandang tinggi oleh masyarakat contohnya tokoh masyarakat dan tokoh

agama, sikap dan perilaku para petugas yang sering berinteraksi dengan

masyarakat termasuk petugas kesehatan. Selain itu, faktor undang-

undang dan peraturan-peraturan yang terkait dengan kesehatan juga

termasuk dalam faktor ini.

Aspek sosial (mitos) yang berkembang di masyarakat yang berkaitan

dengan kesehatan anak :10

1. Dukun sebagai penyembuh 

Masyarakat pada beberapa daerah beranggapan bahwa bayi yang

mengalami kejang-kejang disebabkan karena kemasukan roh halus, dan

dipercaya hanya dukun yang dapat menyembuhkannya. 

2. Timbulnya penyakit sebagai pertanda

Contoh Demam atau diare yang terjadi pada bayi dianggap pertanda

bahwa bayi tersebut akan bertambah kepandaiannya, seperti sudah bisa

untuk berjalan.

7 RefaratBagian-SMF Psikiatri RSJ DR. Soeparto Hardjohusodo Prov. Sultra, FK. UHO

Page 8: Budaya Dan Psikiatri

3. Kesehatan anak juga dipengaruhi oleh faktor budaya dan sosial

Dimana hingga kini masyarakat baik di perkotaan maupun pedesaan masih

menjalankan kepercayaan tersebut. Hal tersebut disebabkan karena

kebiasaan yang telah turun temurun terjadi .

8 RefaratBagian-SMF Psikiatri RSJ DR. Soeparto Hardjohusodo Prov. Sultra, FK. UHO

Page 9: Budaya Dan Psikiatri

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Budaya memegang peranan penting dalam perubahan mental seseorang.

Stigma gangguan jiwa secara umum ditimbulkan oleh keterbatasan pemahaman

masyarakat mengenai etiologi gangguan jiwa, di samping karena nilai-nilai

tradisi dan budaya masyarakat yang masih kuat berakar, sehingga gangguan

jiwa seringkali dikaitkan oleh kepercayaan masyarakat yang bersangkutan.

Oleh karenanya, masih ada sebagian masyarakat yang tidak mau terbuka

dengan penjelasan-penjelasan yang lebih ilmiah (rasional dan obyektif) dan

memilih utnuk mengenyampingkan perawatan medis dan psikiatri terhadap

gangguan jiwa.

B. Saran

1. Sebagai upaya de-stigmatisasi terhadap gamngguan jiwa, perlu adanya

kerjasama pemerintah dan pihak-pihak yang terkait dengan penyuluhan

kesehatan jiwa, seperti psikiater, psikolog, perawat, dan pekerja sosial,

untuk menyampaikan informasi kesehatan jiwa dan gangguan jiwa kepada

masyarakat, menyebarluaskan paham kesehatan jiwa secara sistematis serta

melakukan kampanye tentang kesehatan jiwa,. Disamping itu, kerjasama ini

perlu melibatkan pemuka-pemuka agama dan masyarakat untuk

menyampaikan informasi mengenai kesehatn jiwa yang sejalan dengan

nilai-nilai agama dan etika kemasyarakatan.

2. Masyarakat tidak hanya bertugas membawa anggotanya ke rumah sakit jiwa

jika ada yang menderita ganghuan jiwa, tetapi juga aktif untuk menerima

penderita setelah pulang dari RSJ, melibatkannya dalam kegiatan

masyarakat, dan yang paling penting memantau perilaku pasien selama di

RSJ.

3. Dukungan keluarga menjadi lebih penting pula dalam menterapi pasien dan

mencegah kambuhnya gangguan jiwa.

9 RefaratBagian-SMF Psikiatri RSJ DR. Soeparto Hardjohusodo Prov. Sultra, FK. UHO

Page 10: Budaya Dan Psikiatri

DAFTAR PUSTAKA

1. Amin Muhammad. 2009. Peran daerah tempat tinggal terhadap kejadian

penyakit skizofrenia pada penderita gangguan jiwa yang dirawat inap di RS

DR. Ernandi Bahar Provinsi Sumatra Selatan tahun 2007. Tesis. Fakultas

kesehatan masyarakat. Program studi epidemologi Depok

2. Rahmi Anita. 2008. Stigma gangguan jiwa perspektif kesehatan mental islam.

Skripsi. Jurusan bimbingan dan penyuluhan islam. Fakultas dakwah

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Yogyakarta

3. Stern A. Theodore, Fava Maurizio, Wileus E. Timothy, Rosenbaum F. Jerrold,

Henderson C. David, Vincenzi Brenda, Yeung S. Albert, Friechione L.

Gregory. 2016. Comprehensive clinical psychiatry: culture and psychiatry.

Edisi 2. Elsevier

4. Sadock J. Benjamin, Sadoct A. Virginia, Ruiz Pedro. 2015. Kaplan dan

Sadock’s: Synopsis of psychiatry; Behavioral sciences clinical psychiatry at

transcultural psychiatry. Edisi 8. Wolters Kluwer

5. Franata T. Dhimas. 2010. Perancangan kampanye sosialisasi penyakit

skizofrenia. Skripsi. Jurusan desain komunikasi visual. Fakultas ilmu

computer. Universitas Dian Nuswantoro

6. Kodiran. 2004. Pewarisan budaya dan kepribadian. Humaniora. Vol. 16, Hal.

10-16

7. Hadjam R. Noor. 2006. Perubahan nilai dan kesehatan mental. Fakultas

psikologi Universitas Gajah Mada

8. Nazli A. Shirley. Maret 2015. Kesehatan mental: sejarah, konsep, perbedaan

konsep barat dan timur. Diakses tanggal 8 maret 2016. Diambil dari

http://sauliza.blogspot.co.id/2015/03/sejarah-kesehatan-mental.html

9. Ayu Siti. Februari 2011. Faktor budaya dalam kesehatan mental: pemahaman

terhadap kesehatan mental pada beberapa budaya di Indonesia dan buadaya

barat. Diakses tanggal 8 maret 2016. Diambil dari

http://psychosystem.wordpress.com/2011/02/09/hello-world/

10 RefaratBagian-SMF Psikiatri RSJ DR. Soeparto Hardjohusodo Prov. Sultra, FK. UHO

Page 11: Budaya Dan Psikiatri

10. Rohmi Siti. April 2013. Makalah pengaruh sosial budaya masyarakat terhadap

kesehatan. Diakses tanggal 8 maret 2016. Diambil dari

http://sitirohmie.blogspot.co.id/2013/04/makalah-pengaruh-sosial-buday.html

11 RefaratBagian-SMF Psikiatri RSJ DR. Soeparto Hardjohusodo Prov. Sultra, FK. UHO