bab vi faktor-faktor yang mempengaruhi pengelolaan konflik · 2016. 9. 15. · pada kekondusifan...

21
88 BAB VI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGELOLAAN KONFLIK Dalam bab ini akan dibahas dua topik utama, yakni a). Faktor-faktor yang mempengaruhi pengelolaan konflik yang dilakukan baik oleh UKSW maupun oleh paguyuban etnis di Salatiga dan b). Berdasarkan hasil analisa faktor-faktor yang mempengaruhi pengelolaan konflik, akan dibuat suatu konstruksi pemikiran tentang Salatiga: Indonesia Mini yang Beriman. 6.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengelolaan Konflik Berdasarkan dari hasil penelitian, ditemukan beberapa faktor yang turut mempengaruhi pengelolaan konflik di lingkungan UKSW. Faktor-faktor tersebut adalah: pertama, Kertiban, faktor ini berkaitan dengan pemahaman bahwa setiap kelompok etnis tentu memiliki identitas budaya yang mendasari interaksi dan interelasi mereka dengan kelompok etnis lain, sehingga pengelolaan (konflik) entis perlu dilakukan dalam kerangka pertemuan budaya yang berbeda itu. Hal ini bertujuan menghadirkan situasi yang tertib dan kondusif; kedua, Keamanan, faktor ini juga dilatar belakangi oleh kehadiran UKSW sebagai Indonesia Mini. Kepelbagaian suku dan etnis yang ada dan hidup bersama di Salatiga tentu berimplikasi pada gesekan-gesekan yang dapat menimbukan ketidak-nyamanan kehidupan sosial. Sebab itu, perlu pendekatan pengelolaan yang baik demi terciptanya kehidupan bersama yang tertib dan aman. Namun perlu ditekankan bahwa pengelolaan konflik yang dilakukan bukan berbentuk pendekatan keamaan, tetapi dilakukan atas dasar nilai bersama yang dimiliki UKSW sebagai sebuah persekutuan ilmiah. Faktor ketiga, Keharmonisan, kehidupan bersama dengan the other, liyan itu harus dikelola demi menciptakan kondisi yang harmonis. Salatiga adalah kota dengan semboyan HATI BERIMAN, dengan demikian, kepelbagaian suku, etnis bahkan institusi-institusi yang ada perlu berkontribusi dalam menjaga dan mewujudkan semboyan itu. Selain itu, visi misi UKSW yang bertujuan menciptakan manusia dengan ciri creative monority mendorong segenap civitas akademika UKSW untuk berprilaku layaknya orang-orang yang creative. Kekreativitasan itu, salah satunya diarahkan pada

Upload: others

Post on 11-Feb-2021

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 88

    BAB VI

    FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGELOLAAN KONFLIK

    Dalam bab ini akan dibahas dua topik utama, yakni a). Faktor-faktor yang

    mempengaruhi pengelolaan konflik yang dilakukan baik oleh UKSW maupun oleh

    paguyuban etnis di Salatiga dan b). Berdasarkan hasil analisa faktor-faktor yang

    mempengaruhi pengelolaan konflik, akan dibuat suatu konstruksi pemikiran tentang

    Salatiga: Indonesia Mini yang Beriman.

    6.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengelolaan Konflik

    Berdasarkan dari hasil penelitian, ditemukan beberapa faktor yang turut

    mempengaruhi pengelolaan konflik di lingkungan UKSW. Faktor-faktor tersebut

    adalah: pertama, Kertiban, faktor ini berkaitan dengan pemahaman bahwa setiap

    kelompok etnis tentu memiliki identitas budaya yang mendasari interaksi dan interelasi

    mereka dengan kelompok etnis lain, sehingga pengelolaan (konflik) entis perlu

    dilakukan dalam kerangka pertemuan budaya yang berbeda itu. Hal ini bertujuan

    menghadirkan situasi yang tertib dan kondusif; kedua, Keamanan, faktor ini juga dilatar

    belakangi oleh kehadiran UKSW sebagai Indonesia Mini. Kepelbagaian suku dan etnis

    yang ada dan hidup bersama di Salatiga tentu berimplikasi pada gesekan-gesekan yang

    dapat menimbukan ketidak-nyamanan kehidupan sosial. Sebab itu, perlu pendekatan

    pengelolaan yang baik demi terciptanya kehidupan bersama yang tertib dan aman.

    Namun perlu ditekankan bahwa pengelolaan konflik yang dilakukan bukan berbentuk

    pendekatan keamaan, tetapi dilakukan atas dasar nilai bersama yang dimiliki UKSW

    sebagai sebuah persekutuan ilmiah.

    Faktor ketiga, Keharmonisan, kehidupan bersama dengan the other, liyan itu harus

    dikelola demi menciptakan kondisi yang harmonis. Salatiga adalah kota dengan

    semboyan HATI BERIMAN, dengan demikian, kepelbagaian suku, etnis bahkan

    institusi-institusi yang ada perlu berkontribusi dalam menjaga dan mewujudkan

    semboyan itu. Selain itu, visi misi UKSW yang bertujuan menciptakan manusia dengan

    ciri creative monority mendorong segenap civitas akademika UKSW untuk berprilaku

    layaknya orang-orang yang creative. Kekreativitasan itu, salah satunya diarahkan pada

  • 89

    tujuan saling bertoleran dalam kehidupan bersama. Toleransi yang tinggi berimplikasi

    pada harmoni kehidupan bersama, sebab itu kepelbagaian atau kebhinekaan perlu

    dikelola. Keempat, Kekondusifan Proses Belajar Mengajar. Pola pengelolaan konflik

    yang dilakukan, baik oleh pihak UKSW maupun etnis juga dilatari oleh kesadaran akan

    proses belajar mengajar yang kondusif. Menciptakan proses belajar megajar yang

    kondusif akan berimplikasi pada terbentuknya individu-individu yang creative monority

    itu.

    Berdasarkan hal di atas, maka beberapa sub topik perlu dianalisis lebih lanjut,

    diantaranya: a) faktor kertiban dan keamanan, b) faktor keharmonisan dan c) faktor

    kekondusifan Proses Belajar Mengajar.

    6.1.1. Faktor Ketertiban dan Keamanan

    Konflik merupakan bagian dari kehidupan manusia yang tidak akan lenyap dari

    sejarah. Selama manusia masih hidup, maka cukup sulit rasanya untuk menghapuskan

    konflik. Konflik berupa intrapersonal, interpersonal dan konflik antar kelompok

    merupakan bagian yang tidak akan terlewatkan dalam kehidupan manusia. Berbagai

    macam hal seperti perbedaan selera, perbedaan pendapat, dapat mengakibatkan konflik

    yang kemudian berujung pada tindakan kekerasan. Kekerasan nampaknya bukanlah hal

    asing bagi masyarakat Indonesia, sejarah mencatat telah terjadi berbagai peristiwa

    kekerasan sejak zaman raja-raja hingga era demokrasi sekarang ini. Beberapa peristiwa

    yang lahir akibat konflik yang termanifestasi menjadi kekerasan dalam beberapa tahun

    belakangan ini seperti yang terjadi di Mesuji Lampung, Tasikmalaya, Kalimantan, dan

    Bima Nusa Tenggara Barat. Konflik tersebut tercetus akibat berbagai perbedaan

    (kepentingan, ras, agama, pandangan, status sosial, keadaan ekonomi dan masih banyak

    lainnya) merupakan faktor-faktor yang acap kali menjerumuskan bangsa Indonesia ke

    dalam jurang perpecahan. Oleh karenanya, sangat diperlukan pemahaman dan

    kesadaran akan keragaman dalam upaya merawat ―ketidaktunggalan‖ yang ada di

    Indonesia. Kesadaran tersebut juga perlu didasarkan pada pemahaman bahwa konflik

    dan perpecahan sangat berdampak kerugian bagi kedua belah pihak.

    Scott Lash (2002) berpendapat bahwa multikulturalisme memiliki arti

    ―keberagaman budaya‖. Dia juga berpendapat bahwa ada tiga istilah yang kerap

    digunakan secara bergantian untuk menggambarkan masyarakat yang terdiri dari

  • 90

    keberagaman tersebut—baik keragaman ras, suku, budaya dan bahasa yang berbeda-

    beda—yaitu pluralitas (plurality), keragaman (diversity), dan multikultural

    (multicultural). Ketiga ekspresi tersebut sesungguhnya tidak mempresentasikan hal

    yang sama, walaupun semuanya mengacu kepada adanya ―ketidaktunggalan‖. Konsep

    pluralitas mengandaikan adanya hal-hal yang lebih dari satu (many) keragaman

    menunjukan bahwa keberadaan yang lebih dari satu itu berbeda-beda, heterogen dan

    bahkan tidak dapat disamakan.

    Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa di lingkungan UKSW

    terdapat keragaman yang sangat luar biasa, mulai dari suku, ras, agama, bahasa dan

    budaya, dan kesemuanya berada di satu lingkungan yang sama. Oleh karena itu tak

    heran jika UKSW dengan lantang menyebutkan dirinya gambaran dari Indonesia atau

    ―Indonesia Mini‖. ―Ketidaktunggalan‖ yang hidup di lingkungan UKSW sudah tentunya

    bukan tidak disadari, pastinya sangat disadari oleh setiap individu atau kelompok yang

    tinggal di dalamnya. Apalagi dengan bentuk UKSW yang tergolong kampus kecil,

    dengan intensitas pertemuan yang sering menjadikan kita akan mengerti bahwa di

    lingkungan UKSW terdapat sebuah keragaman. Keragaman disisi lain adalah baik, jika

    saja keragaman tersebut dapat terkelola dengan baik, namun jika tidak maka masalah

    akan muncul dan menjadikan yang beragam tidak baik.

    Jika kita melihat pada negara Indonesia, pemahaman mengenai keragaman

    tersebut sudah tentunya lahir sejak awal mula akan dibentuknya NKRI, karena dengan

    pemahaman mengenai keberagaman dan keinginan untuk bersatu itulah akhirnya

    terbentuk sebuah NKRI. Indonesia lahir dengan keragaman bangsa-bangsa yang tinggal

    di belahan Nusantara, yang akhirnya setelah adanya persamaan nasib dan keinginan

    bersatu, lahir menjadi sebuah bangsa yang bernama Indonesia.

    Pemahaman mengenai keragaman sudah tentunya harus lahir dari setiap individu

    yang hidup di lingkungan multikultural, karena jika tidak maka akan berdampak pada

    perpecahan dan konflik antar kelompok. Di lingkungan UKSW yang beragam,

    kesadaran mengenai ―ketidaktunggalan‖ nampaknya belum sepenuhnya tumbuh pada

    setiap individu atau kelompok yang ada, hal tersebut terbukti dengan adanya catatan

    kepolisian kota Salatiga yang menunjukan adanya rentetan konflik yang dilakukan oleh

    kelompok etnis yang berada di lingkungan UKSW. Selain itu, berdasarkan pada

  • 91

    pengamatan lapangan dapat dikatakan bahwa individu atau kelompok yang ada di

    lingkungan UKSW nampaknya belum mampu sepenuhnya memberbaur dengan

    individu atau kelompok yang berbeda. Kecenderungan bergerombol sesuai dengan

    kelompok, suku, asal daerah masing-masing masih sangat tinggi, itu mungkin juga yang

    menjadi penyebab ketidakmampuan individu atau kelompok yang ada di lingkungan

    UKSW memahami secara utuh mengenai ―ketidaktunggalan‖ yang ada.

    Bagi siapapun yang hidup di dunia ini sudah tentunya mengharapkan kondisi

    lingkungan tempat tinggal yang tertib dan aman, karena setiap individu pasti

    mengharapkan sebuah kondisi lingkungan yang nyaman. Hal tersebut didukung dengan

    banyaknya teori-teori manajemen (pengelolaan) terhadap sebuah kelompok atau

    organisasi, yang tentunya dari kesemua itu mengharapkan sebuah kondisi yang nyaman.

    Upaya-upaya yang dilakukan oleh UKSW, kelompok etnis, Kepolisian atau bahkan

    pemerintah daerah dalam konteks pengelolaan konflik dalam pergaulan multikultural di

    Salatiga merupakan upaya-upaya yang bertujuan pada sebuah kondisi yang tertib dan

    aman.

    Ketertiban dan keamanan merupakan salah satu faktor yang menjadi penyebab

    dilakukan pengelolaan konflik di lingkungan UKSW yang multikultural, karena semua

    orang yang hidup pasti membutuhkan kondisi hidup yang tertib dan aman. Terkait

    dengan pengelolaan konflik dengan tujuan menciptakan ketertiban dan keamanan,

    upaya yang dilakukan oleh UKSW seperti yang diungkapkan Umbu Rauta adalah

    sebagai berikut:

    ―Sebenarnya faktor-faktor yang mempengaruhi pengelolaan yang

    dilakukan oleh UKSW salah satunya adalah faktor keamanan dan

    ketertiban. Salatiga inikan sangat kecil, dan tentunya yang diharapkan

    adalah terjaganya sebuah kemanan dan ketertiban. Semua orang

    tentunya mengharapkan perdamaian, oleh karena itu kami turut

    berupaya menciptakan perdamaian. Selain itu adalah faktor

    kekeluargaan, sebagian besar mahasiswa yang berkonflik ini jika kita

    amatikan berasal dari Indonesia bagian Timur, sedangkan kami

    dengan para senior etnis sangat dekat, nah faktor kedekatan itulah

    yang kami jaga, oleh karena itu upaya pengelolaan yang kami lakukan

    juga lebih melibatkan para senior etnis. Selain itu juga agar tidak

    mengganggu perkuliahan mahasiswa, kalau konflik pasti kuliahnya

    terganggu‖.

  • 92

    Ketertiban dan keamanan merupakan hal penting dalam sebuah kehidupan yang

    beragam, karena ketertiban dan keamanan secara langsung maupun tidak langsung dapat

    berdampak pada hal yang lain, seperti proses belajar mengajar. Setiap mahasiswa yang

    menjadi bagian UKSW memiliki tugas dan tanggungjawab sebagai seorang pelajar,

    dimana harapan dari semua itu adalah menghasilkan pengetahuan yang beguna bagi

    kehidupan setelah keluar/lulus dari UKSW. Kondisi yang tertib dan aman secara tidak

    langsung akan berdampak pada PMB yang baik, karena tanpa adanya konflik seluruh

    mahasiswa menjadi fokus pada proses perkuliahan. Sedangkan Yafet Y.W. Rissi dalam

    hal pengelolaan konflik yang bertujuan untuk ketertiban dan keamanan juga mengatakan

    bahwa:

    ―Ya sebenarnya ini kan hanya tanggungjawab moral aja ya, tidak

    harus satu tanggung jawab legal dari UKSW dalam hal ini PRIII untuk

    membantu atau membina etnis-etnis tetapi ini tanggungjawab moral,

    tanggunjawab bersama sebagai kampus karena bagaimanapun juga

    kalo etnis-etnis ini damai, etnis-etnis ini bisa membangun kehidupan

    sosialnya dengan harmonis, bisa bertoleransi antar yang satu dengan

    yang lain atau bisa berterima antar yang satu dengan yang lain, maka

    ia juga akan memberikan dampak positif bagi kehidupan di kampus

    karena sering kali terjadi bahwa justru konflik antar etnis di luar itu

    kemudian juga terbawa ke dalam kampus atau sebaliknya. Konflik

    yang terjadi di dalam kampus kemudian terbawa keluar. Sehingga

    saya kira memang, apalagi sekali lagi kalau organisasi di luar, kita

    tidak punya tanggungjawab hukum tapi tanggungjawab moral, kita

    untuk terus bekerjasama membina kehidupan bersama yang jauh lebih

    baik yang bertoleran antar yang satu dengan yang lain. Faktor

    terpenting dari pengelolaan ini adalah, ketertiban dan kemanan itu

    sudah pasti, seperti yang sudah saya katakan tadi bahwa faktor

    tersebut akan berpengaruh pada keharmonisan. Hal tersebut menjadi

    faktor penting dalam pengelolaan karena hal tersebut akan berdampak

    pada kekondusifan proses belajar mengajar, kita semua mengharapkan

    kondisi PBM yang lancar, tertib dan aman, dan kalau terjadi konflik

    kan pasti tidak aman, oleh karena itu kami mengelola konflik agar

    semuanya berjalan dengan baik. Ya sebenarnya itu saja ya

    tanggungjawab moral kita disini‖.

    Ketertiban dan keamanan dalam sebuah kehidupan yang multikultural nampaknya

    tidak semata-mata menjadi tugas instansi atau lembaga tertentu, melainkan menjadi

    tugas dan tanggungjawab bersama. Peran masyarakat juga sangat penting dalam

    menjaga ketertiban dan keamanan, yang tentunya didukung oleh lembaga lain seperti

    pihak kepolisian, kamtibnas atau satuan Polisi Pamong Praja. Gagasan mengenai cara

  • 93

    merawat Indonesia dengan cara merawat keragaman yang dikemukakan oleh Azra

    (2007) tentunya tidak lepas dengan hal-hal yang berkaitan dengan ketertiban dan

    keamanan, karena dengan kita menjaga ketertiban dan kemanan secara tidak langsung

    kita juga merawat Indonesia. Berkaitan dengan persoalan ketertiban dan kemanan,

    tentunya kita bisa katakan bahwa di Indonesia yang multikultural belum sepenuhnya

    terjadi ketertiban dan keamanan, rentetan konflik yang melibatkan banyak orang dan tak

    jarang memakan korban jiwa yang terjadi di berbagai tempat di Indonesia merupakan

    bukti bahwa belum terjadinya ketertiban dan keamanan yang baik.

    Berkaitan dengan keinginan menjadi wilayah yang tertib dan aman dalam kondisi

    kehidupan yang multikultural di Salatiga, pihak kepolisian resort kota Salatiga melalui

    IPDA Sulistiyono SH mengatakan bahwa:

    ―Kami sebagai pihak berwajib yang tugasnya adalah menciptakan

    perdamaian dan keamanan tentunya itu yang mendorong kami untuk

    melakukan pengelolaan terhadap konflik. Memang kita menyadari

    bahwa Salatiga meskipun kota kecil, akan tetapi kehidupan yang ada

    sangat beragam, dan kenyataan tersebut seharusnya memang dikelola

    dengan baik. Semua orang tentu mengharapkan adanya ketertiban dan

    kemanan, dan hal tersebut merupakan tugas kami sebagai pihak

    kepolisian, akan tetapi sebenarnya harus disadari juga bahwa untuk

    menciptakan lingkungan yang tertib dan aman bukan hanya menjadi

    tugas kami, melainkan seluruh elemen masyarakat harus turut

    berpartisipatif dalam menciptakan kondisi yang kita inginkan. Konflik

    tidak akan terjadi di Salatiga seandainya kesadaran tersebut dimiliki

    oleh seluruh lapisan masyarakat, namun karena masih kurangnya

    kesadaran itu timbulan konflik-konflik kecil yang tidak diinginkan‖.

    Ketertiban dan keamanan merupakan hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.

    Tugas negara adalah menciptakan keamanan dan ketertiban. Bahkan pemerintah

    diberikan kewenangan penuh untuk menegakkan hal tersebut, yang tentunya didukung

    sepenuhnya oleh seluruh lapisan masyarakat dan kelompok yang ada. Konflik kelompok

    etnis mahasiswa yang terjadi di Salatiga sebagian berawal dari persoalan pribadi, yang

    kemudian berubah menjadi persoalan kelompok karena adanya dorongan solidaritas

    kesukuan atau kedaerahan. Pada konflik-konflik yang terjadi, salah satu pemicunya

    adalah karena minuman keras, berkaitan dengan hal tersebut IPDA Sulitiyono SH juga

    mengatakan bahwa:

  • 94

    ―Jika kita lihat kasus-kasus konflik yang terjadi yang dilakukan oleh

    kelompok mahasiswa sebenarnya dipicu oleh salah satunya minuman

    keras. Oleh karena itu dalam satu pertemuan kita selalu menghimbau

    kepada teman-teman agar tidak terlalu sering atau banyak

    mengkonsumsi minuman keras, tugas utama adalah kuliah bukan

    hura-hura dengan alkohol. Untuk mengatasi hal tersebut, kami selalu

    melakukan patroli di lokasi-lokasi yang banyak dihuni mahasiswa,

    seperti daerah Kemiri atau daerah Margosari. Harapannya dengan

    adanya patroli tersebut selain terhindar dari tindak pencurian juga

    untuk menciptakan kota Salatiga yang tertib dan aman. Selain itu juga

    kita berencana akan bekerja dengan pihak kampus untuk mendirikan

    Forum Kemitraan Polisi Masyarakat di dalam kampus, tujuannya

    adalah agar ketika terjadi masalah dapat dislesaikan ditempat tersebut,

    selain itu juga dapat membantu menjaga ketertiban dan keamanan.‖

    Berdasarkan pada keterangan-keterangan di atas, seluruhnya berujung pada

    keinginan untuk menciptakan sebuah kondisi atau lingkungan yang tertib dan aman.

    Pada kehidupan yang multikultural, kondisi yang tertib dan aman hanya akan tercipta

    jika saja seluruh elemen yang tinggal di dalamnya mampu untuk hidup saling

    menghargai dan menghormati perbedaan, karena hanya dengan cara itu akan tercipta

    sebuah kondisi yang tertib dan aman. Dalam sebuah kondisi lingkungan yang

    multikultural, menurut hemat penulis nampaknya sangat diperlukan pendekatan yang

    multidemensi atau dengan pendekatan holistik diantaranya dengan perspektif

    multikultural. Pendekatan dengan cara holistik dirasa sangat tepat dalam penyelesaian

    masalah konflik dalam kehidupan multikultural, karena dalam pendekatan holistik,

    konflik tidaklah dianggap sebagai suatu masalah.

    UKSW sebagai lembaga pendidik memiliki tugas dan tanggungjawab penuh

    terhadap itu, akan tetapi tugas dan tanggungjawab tersebut akan menjadi sulit terlaksana

    jika tidak didukung oleh seluruh lapisan atau manusia yang tinggal di dalamnya.

    Kesadaran akan pentingnya ketertiban dan keamanan harus dimiliki oleh seluruh bagian

    UKSW, yang tentunya didukung dengan upaya-upaya penyadaran yang dilakukan oleh

    UKSW. Dengan berkembangnya kesadaran akan ketertiban dan keamanan maka

    keragaman yang ada akan menjadi baik, dan dampak negatif dari keragaman juga dapat

    terminimalisir, sehingga seluruh elemen yang terkandung di dalamnya dapat

    menjalankan perannya masing-masing dengan baik tanpa rasa takut, karena dengan

    adanya kesadaran akan ketertiban dan kemanan sudah pastinya akan menghasilkan

  • 95

    kehidupan yang harmonis. Berkaitan dengan hal tersebut, Rusdiani Umbu Riada

    pengurus kelompok etnis mahasiswa Sumba mengatakan bahwa:

    ―Ketertiban dan keamanan memang merupakan hal penting, karena

    setiap manusia dimanapun dia tinggal pasti mengharapkan hal

    tersebut. Saya secara pribadi maupun secara organisasi sangat sepakat

    dengan gagasan membangun ketertiban di lingkungan UKSW

    khususnya dan Salatiga pada umumnya, itu juga yang kami selalu

    tanamkan kepada seluruh anggota PERWASUS, bahwa dimanapun

    kita berada kita harus bisa menjaga ketertiban dan keamanan, apalagi

    kita datang ke Salatiga tujuannya untuk kuliah, sebagai kaum

    akademisi tentunya kita harus mampu menempatkan diri sebagai

    akademisi dalam kaitannya dengan menjaga ketertiban dan keamanan.

    Persoalannya, kami cukup merasa kerepotan (mungkin dialami juga

    oleh kelompok etnis mahasiswa yang lain juga) dalam membina adik-

    adik yang baru, sirkulasinya kadang susah diatur, bahkan kami secara

    organisasi kurang mampu menjangkau mereka, apalagi mereka yang

    masih baru dengan latar belakang kedaerahan yang masih sangat

    kental, ini juga salah satu masalah yang susah diatasi, nanti kalau

    sudah kena konflik baru datang minta tolong bantu selesaikan. Akan

    tetapi sejauh ini kami secara organisasi sebisa mungkin ikut serta

    dalam menciptakan kondisi yang tertib dan aman, agar aktivitas yang

    lain juga tidak terganggu.‖

    Melihat pada pengelolaan konflik yang dilakukan oleh UKSW bersama pihak-

    pihak lain dengan kesadaran untuk menciptakan suatu kondisi yang harmonis di

    lingkungan UKSW dan Salatiga, nampaknya upaya-upaya yang dilakukan masih belum

    maksimal. Hal tersebut dikarenakan masih saja terjadi konflik (baik yang tercatat

    maupun yang tidak tercatat) meskipun berbagai pihak telah berupaya mengelola

    keragaman agar tidak terjadi konflik. Berkaitan dengan hal tersebut, penulis

    mengidentifikasi bahwa hal tersebut dikarenakan ketidak kompakan antar pihak dalam

    upaya mengelola keragaman. Berdasarkan identifikasi tersebut, dapat dijelaskan seperti

    pada bagan berikut:

  • 96

    Bagan 6.1

    Identifikasi Masalah

    Oleh karena itu, untuk menciptakan kondisi yang harmonis, maka dalam upaya

    menciptakan kondisi yang tertib dan aman sangat diperlukannya kekompakan dan

    kerjasama yang baik dengan cara menciptakan program bersama antar lembaga yang

    terkait dengan upaya pengelolaan konflik dalam lingkup yang multikultural. Disamping

    adanya program bersama yang akan dijalankan untuk menciptakan kondisi yang tertib

    dan aman, maka perlu juga dilakukan pemaksimalan fungsi lembaga-lembaga terkait,

    karena program bersama yang bertujuan untuk menciptakan kondisi yang tertib dan

    aman akan berjalan dengan baik jika didukung secara maksimal oleh lembaga-lembaga

    terkait.

    Jika melihat pada bagan hasil identifikasi, capaian akhir dari upaya-upaya

    pengelolaan konflik tidak lain adalah untuk sebuah keharmonisan. UKSW dengan ciri

    Creative Minority yang tinggal di lingkungan Salatiga dengan semboyan kota hati

    beriman tentu mengharapkan situasi yang aman, tertib dan damai. Hanya saja, jika kita

    melihat pada fakta lapangan, upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait yang

    secara langsung maupun tidak langsung bertanggungjawab atas terwujudnya kondisi

    PENYEBAB: -Miras -Ego -Kurang mampu memahami perbedaan -Pacar -Bahasa, DLL

    PENDUKUNG: Solidaritas kesukuan/ kedaerahan

    UKSW POLISI/PEMKOT

    HARMONISASI Indonesia Mini Hati Beriman

    PROGRAM BERSAMA -Dialog/seminar -Kegiatan akademik -Pesta Budaya -Kegiatan Keagamaan

    SEBAB: -Sirkulasi anggota -Kehadiran anggota dalam kegiatan -Peran pihak kurang maksimal -Minuman keras -Latar belakang budaya

    ETNIS

    MASIH KONFLIK

    FAKTOR PENGELOLAAN -Keteriban dan keamanan -Keharmonisan -Kondusifitas PBM -Merawat Keragaman

    PENGELOLAAN KONFLIK UKSW: ekspo budaya, dialog antar kelompok, kegiatan akademik, pendekatan senior, program LK, kerjasama dengan lembaga lain (Polisi). ETNIS: Sharing, Ibadah rutin, acara etnis, peran senior, olah ragam, keakraban.

    KONFLIK

    KELOMPOK

    KONFLIK

    PRIBADI

    KERAGAMAN UKSW -Etnis -Suku -Bahasa -Budaya

  • 97

    yang tertib dan aman tersebut belum berjalan/bekerja secara maksimal. Yang terjadi

    justru nampak bekerja sendiri-sendiri, antara pihak UKSW sebagai pemilik keragaman,

    Kelompok Etnis Mahasiswa sebagai sub sistem dari UKSW, Lembaga Kemahasiswaan

    yang juga sebagai sub sistem dari UKSW, kepolisian kota Salatiga dan Pemerintah kota

    Salatiga belum memiliki strategi bersama dalam hal penanganan keragaman yang sangat

    memungkinkan menimbulkan konflik.

    Oleh karena itu, catatan penting yang yang direkomendasikan oleh penulis dalam

    kaitannya kerjasama mengelola konflik untuk menciptakan kondisi yang tertib dan

    aman adalah memaksimalkan kerjasama antara pihak-pihak terkait seperti UKSW

    sebagai pemilik keragaman, Kelompok Etnis Mahasiswa sebagai sub sistem dari

    UKSW, Lembaga Kemahasiswaan yang juga sebagai sub sistem dari UKSW, kepolisian

    kota Salatiga dan Pemerintah kota Salatiga. Pihak-pihak terkait tersebut harus mempu

    menciptakan strategi atau pendekatan dalam menangani keragaman yang terjadi di

    UKSW khususnya dan Salatiga pada umumnya.

    6.1.2. Faktor Pergaulan (kebersamaan, kedekatan, keragaman)

    J. Jones (dalam Liliweri 2007) mendefinisikan etnis atau sering disebut

    Kelompok/ Komunitas etnis adalah sebuah himpunan manusia (sub kelompok manusia)

    yang dipersatukan oleh suatu kesadaran atas kesamaan sebuah kultur atau subkultur

    tertentu, atau karena kesamaan ras, agama, asal usul bangsa, bahkan peran dan fungsi

    tertentu.Keberadaan mahasiswa UKSW sebagian besar telah membentuk komunitasnya

    masing-masing—membentuk kelompok/komunitas berdasarkan asal kedaerahan atau

    kesukuan— hal tersebut dilakukan dengan alasan karena mereka merasa nyaman

    dengan orang-orang yang berasal dari satu etnis/daerah ketimbang dengan orang yang

    berasal dari daerah/suku lain. Rasa nyaman itulah yang kemudian mendorong mereka

    untuk membentuk komunitasnya masing-masing.

    Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa masyarakat yang ada

    dilingkungan UKSW sangat rentan terhadap konflik, alasannya adalah karena

    masyarakat yang berada dilingkungan UKSW lebih cenderung hidup berkelompok

    sesuai dengan latar belakang budaya dan etnis masing-masing. Pada saat yang sama, ada

    keterbatasan kapasitas UKSW dalam menjangkau mahasiswanya agar tidak terlibat

    dalam konflik antar kelompok. Seperti yang dikemukakan oleh Yafet S. Rissi, bahwa

  • 98

    UKSW hanya menjangkau mahasiswa ketika mereka berada di lingkungan kampus

    sebagai akademisi, namun jika mereka sudah keluar dari lingkungan kampus dan hidup

    sebagai masyarakat Salatiga, UKSW tidak mampu menjangkau lagi, karena setiap

    kelompok etnis memiliki payung atau lembaga hukumnya masing-masing. Oleh karena

    itu, mahasiswa dalam hal ini yang juga merupakan masyarakat Salatiga harus mampu

    untuk mengelola konflik dan menghadirkan perdamaiannya.

    Untuk dapat mengelola konflik, maka sangat diperlukannya modal sosial atau

    sosial capital. Yang dimaksud dengan modal sosial dalam hal ini adalah jaringan sosial

    antar satu orang dengan orang lain (Helpern, 2005). Namun definisi yang lebih terkenal

    adalah seperti yang dikatakan oleh Putnam, bahwa modal sosial merupakan suatu ciri

    kehidupan sosial yang di dalamnya terkandung jaringan, norma, dan kepercayaan. Jika

    melihat pada data yang diperoleh di lapangan, modal sosial merupakan hal penting yang

    sejauh ini digunakan oleh para senior etnis dan UKSW dalam mengelola dan

    menyelesaikan konflik. Dalam kaitannya dengan modal sosial sebagai upaya

    pengelolaan dan penyelesaian konflik, Augie D. Manuputy sebagai senior kelompok

    etnis Ambon mengatakan bahwa:

    ―Dalam upaya penyelesaian konflik, hal yang biasa kita lakukan

    adalah dengan mendekati senior etnis untuk berdiskusi tentang

    bagaimana baiknya masalah tersebut diselesaikan. Kami sesama

    senior yang sudah dekat sejak kuliah dulu, saling bertemu untuk

    membicarakan persoalan tersebut. Selain dekat kita juga saling

    percaya, pendekatan itu yang biasa kami lakukan, makanya dalam

    setiap kejadian konflik kami selalu menyelesaikannya dengan cara

    kekeluargaan. Saya kira metode itu juga sangat efektif baik untuk

    mengelola ataupun menyelesaikan konflik, dan kami ingin model-

    model kedekatan antar kelompok etnis itu juga ditiru oleh adik-adik

    agar ketika terjadi konflik lebih mudah dalam menyelesaikannya.

    Relasi seperti ada baiknnya juga dikembangkan oleh para generasi

    baru, karena memang baik‖.

    Melanjutkan apa yang dikatakan oleh Augie D. Manuputy mengenai peran

    penting modal sosial dalam pengelolaan konflik yang terjadi di lingkungan UKSW,

    berdasarkan pada fakta dan keterangan dari kepolisian Resort Kota Salatiga, dikatakan

    juga bahwa sejauh ini proses penyelesaian konflik yang terjadi memang lebih sering

    menggunakan model kekeluargaan. Hal tersebut menunjukan bahwa peran senior

    dengan modal sosial yang dimilikinya merupakan faktor penting yang harus

  • 99

    ditingkatkan dalam upaya pengelolaan konflik yang terjadi di lingkungan mahasiswa

    UKSW. Relasi sebagai salah satu faktor dalam modal sosial merupakan hal yang layak

    untuk dikembangkan oleh kelompok-kelompok etnis mahasiswa. Selain itu, dengan

    model saling percaya dan menghormati dengan didorong oleh norma-norma yang

    berlaku di UKSW maupun di Salatiga maka ketertiban dan perdamaian akan tercipta

    dilingkungan UKSW khususnya dan Salatiga pada umumnya.

    Dalam hal ini penulis berasumsi bahwa dengan bertumbuhnya modal sosial di

    lingkungan mahasiswa UKSW maka kebiasaan untuk hidup bergerombol sesuai dengan

    kelompok etnis akan hilang dan yang ada adalah kehidupan yang membaur antar etnis

    yang satu dengan etnis yang lain. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa modal sosial

    merupakan hal terpenting dalam upaya mengelola kehidupan masyarakat yang

    multikultural.

    Richard Mayopu sebagai senior sekaligus mantan pengurus kelompok etnis

    mahasiswa Ikmasti (Timor) terkait dengan pergaulan sebagai salah satu faktor yang

    mempengaruhi pengelolaan konflik mengatakan bahwa:

    ―Coba kita perhatikan, sebagian besar kelompok etnis mahasiswa

    yang melakukan konflik pasti berasal dari Indonesia bagian Timur.

    Kita sama-sama dari Timur, jadi sebisa mungkin kita harus berusaha

    untuk meminimalisir terjadinya konflik. Mungkin sekarang gaya-

    gayanya sudah agak berbeda, kalau dulu, kita saling kenal dengan

    mahasiswa dari etnis lain, karena pada waktu itu senior-senior kami

    juga mengajarkan untuk saling mengenal etnis lain. Berbeda dengan

    sekarang, mereka lebih senang untuk bergaul dengan etnis atau

    sukunya sendiri, kebiasaan mahasiswa untuk membaur atau bergaul

    dengan etnis lain sangat kurang. Itu memang baik, tapi akan menjadi

    lebih baik jika kita bisa mengenal etnis lain, buktinya karena

    kedekatan itulah dalam setiap masalah senior ikut turun tangan dalam

    proses penyelesaiannya, jika tidak ada kedekatan senior dengan etnis

    lain pasti cukup susah dalam mendamaikan konflik antaretnis. Bergaul

    dengan etnis lain dan membangun kedekatan emosional juga sangat

    penting untuk meminimalisir terjadinya konflik, oleh karenanya hal

    tersebut harus dikembangkan oleh masing-masing kelompok etnis

    agar potensi-potensi konflik yang ada dapat diminimalisir.‖

    Berdasarkan pada pengamatan lapangan dengan data yang diperoleh, penulis

    menemukan bahwa faktor pergaulan merupakan salah satu faktor penting dalam

    kaitannya dengan pengelolaan konflik antar kelompok etnis mahasiswa di UKSW.

    Dengan adanya pergaulan antar kelompok etnis mahasiswa, akan menghasilkan sebuah

  • 100

    komunikasi yang baik dan dapat mengurangi intensitas terjadinya konflik

    antarkelompok. Dalam proses pergaulan antar kelompok etnis mahasiswa, masing-

    masing kelompok etnis akan meninggalkan sejenak identitas komunitasnya masing-

    masing dan membaur untuk saling pempelajari karakter-karakter yang lain, dalam

    proses pergaulan itu juga akhirnya dapat menghasilkan modal sosial yang baru, akan

    muncul norma-norma seperti saling menghargai dan saling toleran. Selain itu, modal

    sosial yang terbentuk juga akan menghasilkan jaringan antar kelompok yang dapat

    difungsikan untuk penyelesaian konflik ketika terjadi perselisihan antarkelompok. Oleh

    karena itu, sebagian besar konflik antarkelompok etnis mahasiswa yang terjadi selama

    ini dapat terselesaikan secara kekeluargaan.

    Secara lebih rinci, berkaitan dengan pergaulan sebagai salah satu faktor dalam

    pengelolaan konflik di lingkungan UKSW, hal tersebut dapat dijelaskan seperti yang

    terlihat dalam bagan sebagai berikut:

    Bagan 6.2

    Komunikasi Lintas Budaya

    Dalam bagan tersebut dapat dijelaskan bahwa modal sosial dan komunikasi

    antarbudaya merupakan suatu kesatuan yang saling mendukung, secara tidak disadari,

    manusia yang merupakan mahkluk sosial hidup dengan mengandalkan modal sosial dan

    dalam proses pembentukan modal sosial akan terjadi sebuah komunikasi antarbudaya.

    Hal ini selaras dengan keberadaan komunitas etnis yang ada di Salatiga yang selalu

    HARMONISASI

    MODAL SOSIAL BARU

    KOMUNIKASI LINTAS -BUDAYA -SUKU -AGAMA

    KOMUNITAS B (Modal sosial)

    KOMUNITAS A (Modal sosial)

    RESOLUSI KONFLIK

  • 101

    berusaha untuk mengandalkan modal sosial untuk bisa Survive. Modal sosial dapat

    didiskusikan dalam konteks komunitas yang kuat (strong community), masyarakat sipil

    yang kokoh, maupun identitas negara-bangsa (nation-state identity). Melihat pada

    keterangan-keterangan yang didapat, modal sosial yang terjadi antarkomunitas telah

    terbangun sejak lama. Modal sosial yang terbentuk adalah turun-temurun (bukan

    warisan) dari para senior kelompok etnis mahasiswa. Dalam kaitannya dengan

    pengelolaan konflik di lingkungan mahasiswa, modal sosial itulah yang digunakan

    untuk mencegah dan menyelesaikan konflik. Nilai-nilai yang terkandung dalam modal

    sosial seperti kepercayaan, relasi dan norma seringkali digunakan para senior etnis

    untuk menyelesaikan konflik secara kekeluargaan.

    Penyelesaian konflik dengan cara kekeluargaan dilakukan dengan memanfaatkan

    elemen-elemen dalam modal sosial yaitu:

    1. Trust : adanya rasa saling percaya antara kedua etnis untuk menyelesaikan

    masalah. Rasa saling percaya ini dibuktikan dengan tindakan negosiasi yang

    dilakukan tanpa campur tangan pihak kepolisian. Pihak kepolisian hanya

    bertindak sebagai fasilitator bukan sebagai mediator sebab yang menjadi

    mediator adalah dua komunitas etnis tersebut. Hal ini bisa terjadi karena

    adanya rasa ―bagian dari‖ suatu keutuhan. Yang dimaksud dengan keutuhan

    adalah rasa bahwa kedua etnis tersebut merupakan bagian dari Indonesia

    Timur. Walaupun terdengar seperti rasis, namun inilah kenyataan yang

    terjadi bahwa mereka merasa adalah satu ras (berkulit hitam dan berambut

    tidak lurus). Hal ini adalah bentuk dari asosiasi sukarela yang merupakan

    syarat berdirinya masyarakat modern.

    2. Networking : adanya rasa saling membutuhkan antar kedua belah pihak yang

    bertikai sehingga mampu membentuk kondisi rekonsiliasi yang cepat. Dan

    mereka juga sadar bahwa jaringan ini akan berlaku dalam jangka waktu yang

    sangat panjang (beberapa tahun kedepan ketika sudah kembali ke kampung

    halaman masing-masing ataupun menetap di Salatiga dan sekitarnya.

    3. Sharing : adanya rasa untuk saling berbagi antara etnis tersebut. Yang di bagi

    adalah komunikasi dan informasi sehingga menimbulkan adanya rasa saling

  • 102

    terbuka bagi kedua pihak. Hal ini merupakan faktor yang sangat vital dalam

    proses rekonsiliasi dan pembenahan kedua komunitas etnis tersebut.

    Oleh karena itu, dalam upaya mengelola konflik di lingkungan UKSW maka

    sangat diharuskan untuk tetap menghidupkan dan memelihara modal sosial dan faktor

    pergaulan, karena secara langsung ataupun tidak langsung faktor pergaulan dan modal

    sosial dapat digunakan untuk pencegahan dan penyelesaian konflik.

    6.1.3. Faktor Kondusifitas Proses Belajar Mengajar

    Konflik merupakan suatu fenomena yang sering kali tidak bisa dihindari dan

    cenderung menghambat pencapaian tujuan organisasi. Sumber-sumber organisasi—

    sumber daya manusia, sumber daya finansial dan sumberdaya teknologi—digunakan

    untuk menyelesaikan suatu konflik bukan untuk meningkatkan produktivitas organisasi.

    Oleh karena itu manajemen konflik harus dilakukan secara sistematis untuk mencapai

    tujuan organisasi (Wirawan, 2010:132). Dalam hal ini, seperti yang telah juga

    dipaparkan dalam Bab IV pada gambaran umum wilayah penelitian, UKSW sebagai

    organisasi tentunya memiliki tujuan yang ingin dicapai. UKSW sebagai lembaga

    pendidikan memiliki banyak tujuan yang salah satunya adalah turut membantu

    Pemerintah Indonesia dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa dengan

    memberikan hak yang sama kepada semua orang yang memenuhi syarat untuk

    menikmati pendidikan akademik dan pendidikan profesional agar dapat

    mengembangkan dirinya sebagai manusia yang mandiri dalam masyarakat.

    Dalam kaitannya turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa, salah satu Visi

    UKSW adalah menciptakan provil lulusan yang creative minority, hal tersebut tentunya

    dapat terwujud dengan didorong oleh sistem pengajaran yang kondusif tertib dan aman.

    Oleh karena itu lingkungan yang tertib dan aman menjadi satu faktor yang

    mempengaruhi pengelolaan konflik di UKSW. UKSW sebagai organisasi dalam upaya

    mewujudkan visi dan misinya harus mampu mengarahkan sub-sub sistem di dalamnya

    untuk turut serta melaksanakan program/kegiatan dalam upaya perwujudan visi.Semua

    subsistem dan para anggotanya harus mampu bekerjasama saling mendukung dan saling

    membantu untuk mencapai tujuan organisasi. Kesadaran akan tujuan menciptakan

    kondisi yang tertib dan aman dalam upaya mewujudkan tujuan UKSW secara organisasi

    harus ditumbuhkembangkan kepada seluruh subsitem serta para anggotanya, karena

  • 103

    dengan hal tersebut akan tercipta proses belajar mengajar yang kondusif dan tercapai

    tujuan UKSW secara organisasi.

    UKSW sebagai organisasi yang memiliki tujuan turut mencerdaskan bangsa harus

    mampu meredam konflik atau meminimalisir konflik antar kelompok, karena secara

    langsung ataupun tidak langsung kejadian konflik yang melibatkan mahasiswa akan

    berpengaruh pada ketidakkondusifan proses belajar mengajar. Dalam kaitannya dengan

    hal tersebut, Yafet Y.W. Rissi mengatakan bahwa:

    ―Seluruh mahasiswa yang menjadi bagian UKSW tentu datang kemari

    memiliki tujuan yang jelas, yaitu menimba ilmu. Bahkan UKSW

    secara organisasi juga memiliki tujuan yang salah satunya adalah turut

    serta mencerdaskan kehidupan bangsa, yang dalam hal ini dilakukan

    melalui kegiatan akademik. Mahasiswa dapat berpengetahuan dan

    UKSW dapat mencapai tujuannya jika dalam proses belajar-mengajar

    tercipta kondisi yang kondusif, tertib dan aman, oleh karena itu

    UKSW secara organisasi berkaitan dengan terjadinya konflik antar

    kelompok etnis mahasiswa harus mampu meredam atau

    meminimalisir terjadinya konflik. Oleh karenanya, dalam upaya

    melakukan pengelolaan konflik antar kelompok etnis mahasiswa yang

    dilakukan bersama dengan lembaga lain, ingin menciptakan proses

    belajar mengajar yang kondusif. Dengan kondisi belajar yang

    kondusif, tertib dan aman, maka proses belajar-mengajar akan berjalan

    dengan baik, dan hal tersebut sudah tercipta di kampus ini.‖

    Organisasi yang mapan tentunya memiliki visi-misi dan tujuan yang strategis.

    Ketiganya harus dicapai atau direalisasikan dengan cara yang sistematis dan dalam

    kurun waktu yang direncanakan. Konflik dapat mengganggu perhatian serta

    mengalihkan energi dan kemampuan anggota organisasi untuk mencapai visi-misi dan

    tujuan yang strategis dari organisasinya. Jika tidak dimanajemeni dengan baik, konflik

    akan berkembang menjadi konflik destruktif bagi pihak-pihak yang terlibat konflik.

    Mereka akan lebih memfokuskan diri pada konflik dan bukan pada pencapaian visi-

    misi. Oleh karenanya, situasi proses belajar mengajar yang kondusif menjadi salah satu

    faktor dalam pengelolaan konflik, dan hal tersebut didasarkan pada keinginan untuk

    mewujudkan visi-misi UKSW sebagai lembaga pendidikan.

    UKSW sebagai organisasi/lembaga pendidikan memiliki tanggungjawab penuh

    terhadap terciptanya kondusifitas proses belajar-mengajar bahkan lebih daripada

    tanggungjawab moral. Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa hal yang harus

    dilakukan oleh UKSW sebagai organisasi pendidik adalah membentuk ikatan sinergi

  • 104

    antar sub-sub sistem yang ada di dalamnya. Ikatan sinergi yang dimaksudkan adalah

    bertujuan untuk mengikat semua subsistem menjadi satu kesatuan sistem agar bergerak

    bersama-sama secara harmonis ke arah tujuan organisasi. Selain itu, upaya-upaya yang

    perlu dilakukan oleh UKSW adalah memberikan penyadaran terhadap sub-sub sistem

    dan seluruh elemen yang ada mengenai pentingnya menjaga situasi yang kondusif, yang

    tentunya dapat dilakukan melalui berbagai cara seperti melalui kegiatan akademik

    maupun kegiatan nonakademik.

    Berkaitan dengan upaya-upaya penyadaran kepada seluruh elemen/bagian Satya

    Wacana terkait dengan pentingnya situasi yang kondusif, Yafet Y.W. Rissi juga

    menambahkan bahwa:

    ―Ada banyak upaya yang kami lakukan, baik itu melalui kegiatan

    akademik maupun kegiatan nonakademik, karena tujuan dari

    organisasi ini adalah mendidik. Upaya nonkademik yang kami

    lakukan adalah dengan cara mendatangi setiap kegiatan yang

    dilakukan oleh kelompok etnis, seperti kegiatan malam keakraban

    etnis, disitu kita memberikan banyak pemahaman mengenai

    pentingnya kondisi yang harmonis. Sedangkan dalam kegiatan

    akademik hal yang kami lakukan adalah sama, memberikan

    pemahaman kepada seluruh elemen yang dalam hal ini melalui sub-

    sub sistem yang ada mengenai akan pentingnya kondisi yang

    harmonis. UKSW dalam hal ini memang bertanggungjawab penuh

    dalam upaya menciptakan kondisi/situasi yang harmonis, dan tujuan

    itu baik, maka sejauh ini kami lakukan dengan baik.‖

    Sebagai mayarakat akademis, kesadaran mengenai heterogeninas dan kehidupan

    yang harmonis harusnya dimiliki oleh masing-masing individu, karena kesadaran itulah

    yang membawa kita untuk dapat hidup berdampingan secara damai dan aman. Hanya

    saja, faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan konflik pasti akan datang silih berganti,

    karena dalam kehidupan manusia potensi konflik akan selalu ada. Upaya-upaya

    penyadaran yang dilakukan oleh UKSW sejauh ini memang sudah cukup baik, hanya

    mungkin belum maksimal, karena meski UKSW sebagai organisasi pendidik telah

    memberikan penyadaran untuk hidup harmonis, konflik antar kelompok etnis

    mahasiswa masih muncul. Oleh karena itu, kesadaran tersebut harus terus ditumbuh

    kembangkan di lingkungan UKSW, karena jika tidak, maka dapat mengganggu tujuan

    UKSW secara organisasi.

  • 105

    UKSW sebagai lembaga akademisi tentu harus mampu memanfaatkan proses

    belajar mengajar yang kondusif untuk menanamkan nilai-nilai kedamaian melalui kelas-

    kelas perkuliahan. Menurut hemat penulis, ada beberapa mata kuliah yang dapat

    digunakan oleh UKSW untuk menanamkan nilai-nilai kebersamaan, seperti mata kuliah

    Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama dan beberapa

    mata kuliah lainnya. Melalui kelas perkuliahan itulah seharusnya UKSW masuk untuk

    memberikan pemahaman kepada seluruh mahasiswanya mengenai arti penting

    perdamaian dalam lingkup yang multikultural. Menurut hemat penulis, jalur akademik

    tersebut sangat efektif digunakan untuk memberikan pemahaman-pemahaman dasar

    mengenai perdamaian, saling toleransi dan menghargai, tanpa kita berupaya lain untuk

    menciptakan lingkungan yang tertib dan aman untuk menghasilkan proses belajar

    mengajar yang baik, dengan diberikan pemahaman dasar mengenai ketertiban,

    perdamaian, toleransi dan saling menghargai akan muncul dengan sendirinya dalam diri

    masing-masing mahasiswa.

    6.2. Salatiga: “Indonesia Mini yang Beriman”

    Salatiga sebagai ―Indonesia Mini yang Beriman‖ merupakan sebuah konstruksi

    pemikiran yang dilakukan penulis bersadasarkan hasil deskripsi tentang pengelolaan

    konflik dan faktor-faktor yang mempengaruhi pengelolaan konflik yang sudah diuraikan

    pada bagian sebelumnya. Terminologi ―Indonesia Mini yang Beriman‖ merupakan

    formulasi dari semboyan yang diusung oleh Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW)

    dan kota Salatiga. UKSW sebagai sebuah lembaga pendidikan tinggi hadir dan menjadi

    bagian dari kota Salatiga dengan mengusung semboyan sebagai ―Indonesia Mini‖

    semboyan ini didasarkan atas fakta kemajemukan atau kebhinekaan etnis, suku, bahasa,

    budaya termasuk agamayang hidup dan saling berinteraksi di UKSW.

    Salatiga dalam beberapa referensi ditemukan bahwa kota ini merupakan

    kotamadya yang secara administratif kewilahaan berukuran kecil, namun tingkat

    kemajemukan masyarakatnya cukup tinggi. Hal ini tentu dipengaruhi juga dengan

    kehadiran beberapa perguruan tinggi yang ada di Salatiga. Tingkat kemajemukan yang

    tinggi ini lalu diikat dengan semboyang HATI BERIMAN yang ditetapkan dengan

    Peraturan Daerah Kotamadya Tingkat II Salatiga, No. 10 Tahun 1993. Hati Beriman,

    akronim dengan sehat, tertib, bersih, indah dan aman. Selain itu secara harafiah Hati

  • 106

    Beriman mengandung arti: sejiwa dengan Sila pertama Pancasila yakni Ketuhanan Yang

    Maha Esa. Dengan demikian rangkaian kata "SALATIGA HATI BERIMAN"

    mempunyai makna: "suasana kehidupan kota/masyarakat Salatiga yang sehat,

    tertib,bersih, indah dan aman dimana penduduknya adalah insan yang percaya dan

    taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa menurut agama dan kepecayaannya masing-

    masing.

    Kenyataan akan heterogenitas (multikultural) masyarakat yang hidup dalam

    wilayah (Salatiga) yang relatif kecil niscaya ―pertemuan budaya‖ itu menimbulkan

    permasalahan jika tidak dikelola dengan tepat. Hasil penelitian membuktikan bahwa

    konflik antar etnis memang sering terjadi, namun yang manarik adalah konflik etnis

    dengan latarbelakang apapun tidak pernah menjadi ―ledakan besar‖ yang

    menggungcang dan menarik minat media untuk memberitakannya, seperti konflik-

    konflik yang terjadi di beberapa daerah lainnya. Atas dasar itu, deskripsi pengelolaan

    konflik dan analisa faktor-faktor yang mempengaruhi mengerucut pada pertanyaan:

    mengapa konflik di Salatiga tidak pernah menjadi ledakan konflik besar yang

    mengguncang Indonesia mengingat tingkat kemajemukan yang begitu tinggi hidup

    dalam wilayah yang relatif kecil? ―Indonesia Mini yang Beriman‖ merupakan referensi

    yang tepat untuk memberikan jawaban atas pertanyaan itu.

    Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) didirikan atas dasar nilai Kristiani.

    Bukan berarti peneliti ingin mengakatan bahwa hanya dengan nilai-nilai kristiani (nilai

    tunggal) konflik dapat teratasi, tetapi bagaimana nilai-nilai kristiani itu

    diimplementasikan dalam kehidupan kampus sebagai bentuk penghargaan kepada

    perbedaan atau penghargaan kepada kemanusiaan (humanity). Salah satu nilai dasar

    kristen yang diyakini dan diajarkan di UKSW adalah ―Persekutuan Tubuh Kristus‖

    sebab manusia Imago Dei–segambar dengan Penciptanya. Konsep Imago Dei dipahami

    dan diimplementasikan sebagai: a) manusia sebagai mitra Tuhan; b) kesamaderajadan

    manusia dihadapan Tuhan; c) kesetaraan dosen dan mahasiswa; dan d) penghargaan

    terhadap perbedaan atas dasar KASIH.

    Dengan pemahaman seperti itulah, maka nilai-nilai Kristiani (Imago Dei dan

    KASIH) itu menjadi nilai universal yang dapat mengeratkan mahasiswa dan

    meminimalisir potensi konflik etnis mahasiswa. Nilai-nilai Kristiani ini diupayakan

  • 107

    menjadi dasar bagi perilaku berinteraksi baik dosen, pegawai dan mahasiswa (civitas

    akademika UKSW) yang mampu membentuk persepsi setiap individu untuk hidup

    bertoleran dengan liyan. Walaupun demikian, implementasi nilai-nilai Kristiani ini tidak

    dalam rangka mengkristenkan yang bukan Kristen. Di sinilah pemahaman dan

    pengakuan dari civitas akademika UKSW akan kehidupn yang bertoleran, saling

    menghargai, saling menghormati untuk mengeratkan kebersamaan dalam perbedaan itu

    mengerucut pada pengidentifikasian diri (UKSW) sebagai Indonesia Mini, miniaturnya

    Indonesia.

    ―Manusia UKSW‖ yang mengakui Imago Dei dan KASIH sebagai dasar perilaku

    dan berintekasi dengan sesama itu tentu BERIMAN menurut agama dan

    kepercayaannya masing-masing. Sebab UKSW sebagai miniatur Indonesia tentu

    mengakui Sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai Tuhan mereka–

    Tuhannya orang Indonesia yang berkebudayaan. Karena itu, selain kemajemukan

    budaya yang ada di UKSW, kemajemukan agama di Salatiga juga bisa hidup berdamai,

    bahkan aliran Kepercayaan (agama suku) Kejawen juga diberi ruang yang sama dengan

    agama-agama yang diakui negara untuk hidup dan berkembang di Salatiga.

    Dengan demikian, kalau UKSW mampu mengidentifikasi dirinya sebagai

    Indonesia Mini, maka tentu UKSW juga mampu mengindentifikasi dirinya sebagai

    Salatiga Mini atau dengan bahasa lain, kalau Indonesia saja mampu di miniaturkan

    menjadi dirinya mengapa Salatiga tidak?

    Deskripsi dan analisis terhadap pengelolaan konflik dan faktor-faktor yang

    mempengaruhinya membuktikan bahwa nilai-nilai kristiani yang menjadi dasar hidup

    UKSW dalam menagtur kemajemukan ―dalam dirinya‖ serta dalam ―pertemuannya

    dengan semboyan HATI BERIMAN nilai yang mengikat dan mendamaikan

    kemajemukan di Salatiga, dalam implementasi keduanya saling berkontribusi dan tidak

    bertentangan; manusia yang memiliki ―HATI BERIMAN‖ tentu manusia yang mau

    hidup bertoleran, menghargai, menghormati dan saling mencintai serta mengasihi

    sesamanya. Itulah manusia Pancasila dalam perspektif Indonesia.

    Dalam konteks Salatiga, kemampuan mengimplementasikan dan menjadikan

    nilai-nilai HATI BERIMAN itulah yang memungkinkan tidak terjadinya konflik dengan

    kekerasan yang dapat mengguncang Salatiga dan ―mengundang‖ kegairahan media

  • 108

    untuk memberitakan sebagai guncangan gelombang yang menghantam wajah Salatiga,

    Indonesia bahkan dunia. Dengan demikian tingkat kemajemukan, keanekaragaman atau

    kebhinekaan yang hidup dan saling bertemu setiap saat belum tentu menjadi masalah

    serius yang bisa merusak kebersamaan. Dia hanya akan berjawah sangar dan

    ―mengganas‖ apabila tidak memiliki nilai dasar bersama yang baik dan tidak dikelola

    dengan baik.

    Salatiga yang merupakan kota multikultural mampu membuktikan bahwa

    masyarakatnya bisa hidup bersama dengan damai, bertoleran, saling menghargai, saling

    mengasihi dalam perbedaan itu. Salatiga sebagai Indonesia Mini Yang Beriman,

    merupakan contoh penting yang dapat dirujuk sebagai pengelolaan konflik pada tingkat

    nasional.