kliping pbm

32
KONSEP PEBELAJAR MANDIRI, BERPIKIR KREATIF, PROBLEM SOLVING, METAKOGNITIF, DALAM PEMBELAJARAN BIOLOGI MEMBANGUN KARAKTER MELALUI PEMBELAJARAN BIOLOGI Makalah Yang dibina oleh Prof. Dra. Herawati Susilo, Ph.D Oleh Kelompok II Fitriyah Andriawati NIM. 1403418086 Kiki Taurista NIM. 1403418086 Muhammad Shobirin NIM. 140341808629

Upload: chobynet

Post on 12-Dec-2015

70 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

kliping

TRANSCRIPT

KONSEP PEBELAJAR MANDIRI, BERPIKIR KREATIF, PROBLEM SOLVING,

METAKOGNITIF, DALAM PEMBELAJARAN BIOLOGI

MEMBANGUN KARAKTER MELALUI PEMBELAJARAN BIOLOGI

Makalah

Yang dibina oleh

Prof. Dra. Herawati Susilo, Ph.D

Oleh

Kelompok II

Fitriyah Andriawati NIM. 1403418086

Kiki Taurista NIM. 1403418086

Muhammad Shobirin NIM. 140341808629

Universitas Negeri MalangPascasarjana

Program Studi Pendidikan BiologiAgustus, 2015

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Program pendidikan dasar sembilan tahun merupakan salah satu upaya pemerintah

untuk mewujudkan critical mass itu dan membekali anak didik dengan ketrampilan dan

pengetahuan dasar dalam rangka untuk (1) melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih

tinggi, (2) bekal menjalani kehidupan dalam masyarakat, (3) membuat pilihanpilihan dan

memanfaatkan produk-produk berteknologi tinggi, dan (4) mengadakan interaksi dan

kompetisi antar warga atau individu masyarakat, kelompok, dan antar bangsa.

Berangkat dari pemahaman mengenai karakteristik masyarakat modern di era

globalisasi, maka yang perlu dihasilkan dari sistem pendidikan nasional adalah manusia

yang memiliki kemampuan, nilai dan sikap seperti berikut: (1) manusia yang memiliki

kemampuan, nilai, dan sikap yang memungkinkanya berpartisipasi secara aktif dan cerdas

dalam proses politik, (2) manusia yang memiliki kemampuan, etos kerja, dan disiplin kerja

yang memungkinkannya dapat secara aktif dan produktif berpartisipasi dalam berbagai

kegiatan ekonomi, (3) manusia yang memiliki kemampuan dan sikap ilmiah untuk dapat

mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui kemampuan penelitian dan

pengembangan, dan (4) manusia yang memiliki kepribadian yang mantap, berkarakter dan

bermoral serta berahklak mulia.

Pendidikan pada era globalisasi menurut Patrick Slattery dalam bukunya

“Curriculum Development In The Postmodern” harus berdasarkan pada lima konsep, yaitu

:Pertama, konsep yang berasal dari Dorothy yang mengatakan bahwa pendidikan harus

diarahkan untuk perubahan sosial, pemberdayaan komunitas dan membebaskan pikiran,

tubuh dan spirit manusia (that teaching must be directed towards social change,

community empowerment, and the liberation of the mind, body, and spirit of individual

human beings).

Kedua, konsep yang berasal dari Thich Nhat Hanh yang mengemukakan tujuh hal

yang harus menginspirasi pendidikann yaitu : (1) Jangan mengidolakan atau terikat

dengan teori, ideologi atau agama karena tidak ada kebenaran yang mutlak (Do not

idolatrous about or bound any doctrin, theory, or ideology), (2) Jangan berpikir ilmu

pengetahuan yang anda miliki sekarang merupakan yang paling benar, hindari berpikir

sempit (Avoid being narrow-minded and bound to present view); (3) Jangan memaksakan

orang lain, termasuk pada anak-anak dengan cara apapun, baik dengan kekuasaan,

ancaman, uang, propaganda bahkan dengan pendidikan (Do not force others), (4) Jangan

pernah menghindari kontak dengan orang yang menderita atau harus care dengan sesama

(Do not avoid contact with suffering or close your eyes before suffering), (5) Jangan

memelihara kebencian dan amarah (Do not maintain anger or hatred), (6) Jangan

kehilangan jatidiri dalam keadaan apapun (Do not lose yourself in dispersion and in your

surroundings), (7) Jangan bekerja ditempat yang menghancurkan manusia dan alam (Do

not live with a vocation that is harmful to human and nature).

Ketiga, konsep yang berasal dari David Ort bahwa dalam konteks penbelajaran,

pengembangan kurikulum, dan penelitian, maka seorang tenaga pendidik atau guru harus

menggunakan berbagai kesempatan untuk menghubungkan siswa dengan alam semesta,

khususnya agar tercipta keberlangsungan hidup bersama (must use every opportunity to

connect students to the universe, especially the life-sustaining dimension of t he global

community on our beautiful yet fragile planet)

Keempat, konsep dari Dietrich Bonhoeffer yang melarang guru melakukan kegiatan

pembelajaran dalam keadaan kondisi tertekan. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa tak

seorangpun dapat berpikir kebebasan secara substansial. Secara sederhana, kebebasan

adalah sesuatu yang terjadi kepada setiap orang melalui orang lain. Menjadi bebas

(Freedom is simply something that happen to me through the other. Being free means

being free for the other).

Berdasarkan pendapat di atas, maka pendidikan di era globalisasi harus menjadi

pondasi utama dan tempat bersemainya kebaikan untuk mentransformasi individu dan

meperbaharui masyarakat. Oleh sebab itu, guru dan peserta didik harus melakukan

kolaborasi sebagai pasangan demi keadilan dan kelangsungan kehidupan. Dalam rangka

hal tersebut guru dituntut untuk mampu melaksanakan proses pembelajaran yang

melatihkan skil-skil berpikir tingkat tinggi antara lain kecakapan berpikir kritis dan

pemecahan masalah (membuat keputusan dibawah tekanan, mengevaluasi dan merancang

system untuk situasi tertentu, dan mampu menemukan masalah dari ketidakberfungsian

alat atau system dari gejala-gejala yang muncul), mampu membuat jaringan,

menyesuaikan diri, inisiatif dan berwirausaha, mampu berkomunikasi lisan dan tulisan

secara efektif, mampu mengakses dan menganalisa informasi, serta penuh imajinasi serta

menumbuhkan karakter yang kuat.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uruaian tujuan pendidikan di atas, pertanyaan yang bisa diajukan

1. Bagaimanakah konsep pebelajar mandiri, berpikir kreatif, problem solver, dan

metakognitif dalam pembelajaran?

2. Bagaimanakah proses pembelajaran yang meningkatkan kemampuan pebelajar

berkarakter, mandiri, berpikir kreatif, problem solver dan metakognitif?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui konsep konsep pebelajar mandiri, brpikir kreatif, problem

solver, dan metakognitif dalam pembelajaran.

2. Untuk mengetahui proses pembelajaran yang meningkatkan kemampuan pebelajar

berkarakter, mandiri, berpikir kreatif, problem solver dan metakognitif.

D. Manfaat

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pebelajar Mandiri dan Kemampuan Metakognitif

Terdapat beberapa pengertian tentang metakognisi, yaitu: (1) metakognisi

berhubungan dengan berpikir siswa tentang berpikir mereka sendiri dan kemampuan

mereka menggunakan strategi-strategi belajar tertentu dengan tepat (Arends, 1997), (2)

metakognisi mencakup perumusan tujuan, memantau, assessment diri (self-assesing), dan

pengaturan diri (self-regulating) selama proses berpikir dan menyelesaikan tugas belajar

(Peirce, 2004 : 3), (3) metakognisi adalah kesadaran dan kontrol terhadap terhadap proses

kognitif, yaitu proses mengetahui dan memantau proses berpikir sendiri (Peters, 2000;

Eggen dan Kauchak dalam Miranda, 2008; Hitipeauw, 2009), (4) keterampilan

metakognitif pada umumnya dibagi dalam 2 tipe, yaitu self assessment atau keterampilan

mengakses kognitif sendiri dan self management atau mengelola perkembangan kognitif

sendiri lebih lanjut, sedangkan metakognitif adalah pengetahuan yang berasal dari

proseskognitif sendiri beserta hasil-hasilnya (Djiwandono, 2006:168), (5) metakognisi

menunjukan berpikir pada urutan yang lebih tinggi yang mencakup kontrol aktif terhadap

proses-proses kognitif yang terlibat dalam belajar atau “metacognition refers to higher

order thinking which involves active control over the cognitive processes engaged in

learning (Livingston, 1997:1). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa metakognisi

adalah kemampuan/keterampilan yang dimiliki seseorang dalam mengatur dan mengontrol

proses berpikirnya sendiri. Livingstone (1997) menyatakan metakognisi memegang salah

satu peranan kritis yang sangat penting agar pembelajaran berhasil. Siswa dapat belajar

lebih aktif, bergairah, dan percaya diri selama proses pembelajaran karena pengajar

mampu mengembangkan strategi metakognitif (Hollingworth & McLouglin, 2001)

Penelitian yang dilakukan Khairil (2009) menunjukkan potensi pembelajaran

genetika di Jurusan Biologi dapat memberdayakan kemampuan keterampilan

metakognitif. Sumampouw (2011) menyatakan pembelajaran genetika berbasis

metakognitif berpotensi meningkatnya kemampuan berpikir tingkat tinggi, hal ini jelas

terlihat pada prestasi pebelajar yang demikian memiliki karakteristik pembelajaran yang

tergambar pada pembelajaran genetika yang sudah memperlihatkan pola memberdayakan

berpikir tingkat tinggi. Johnson (2002) membagi berpikir tingkat tinggi menjadi berpikir

kreatif dan berpikir kritis. Tindangen (2006) juga menjelaskan bahwa kemampuan berpikir

tingkat tinggi, khususnya memecahkan masalah dipengaruhi oleh kecerdasan.

Tiga keterampilan yang terlibat pada metakognisi, yakni 1) keterampilan

memahami strategi atau sumber apa, dan bagaimana yang dibutuhkan untuk melaksanakan

tugas, 2) keterampilan mengetahui bagaimana menggunakan strategi, atau sumber dan

sebagainya itu, 3) keterampilan mengetahui kapan penggunaan strategi, atau sumber dan

sebagainya itu (Corebima, 2006:3).

Terdapat empat kemampuan yang dikembangkan dalam strategi metakognitif

menurut Oxford (1990), yaitu : 1) planning, 2) monitoring, 3) problem solving, dan 4)

evaluating. Untuk itu dalam penelitian ini kemampuan metakognitif yang dikaji adalah

kemampuan metakognitif yang meliputi perencanaan diri (self-planning), pemantauan diri

(self-monitoring), problem solving, dan evaluasi diri (self-evaluation). Kemampuan

metakogniif tersebut terkait dengan tujuan belajar, waktu penyelesaian tugas, pengetahuan

awal, serta strategi-strategi kognitif yang digunakan untuk menyelesaikan tugas.

Menurut Liliasari (2000), kemampuan berpikir tingkat tinggi yang dimiliki

pebelajar akan menentukan kemampuannya dalam menyusun strategi dan taktik untuk

meraih peluang dalam upaya memenangkan persaingan global. Sehingga, sangatlah

penting untuk dapat memberikan informasi tentang potensi pembelajaran terhadap

pemberdayaan berpikir tingkat tinggi. Peters (2000) menyatakan bahwa keterampilan

metakognitif bermanfaat untuk menjadikan pebelajar berkembang menjadi mandiri karena

mendorong pebelajar menjadi manajer atas diri sendiri, serta menjadi penilai atas

pemikiran dan pembelajaran sendiri. Hal senada juga dikemukakan Eggen dan Kauchak

(1996) bahwa keterampilan metakognitif dapat membantu mereka menjadi self-regulated

learners yang bertanggung jawab terhadap kemajuan belajar sendiri dan mengadaptasi

strategi belajar untuk mencapai tuntutan tugas, terkait tuntutan tugas maka retensi perlu

dalam mengimplementasikan.

.

Sumampouw (2010) memberikan gambaran bahwa aspek metakognitif merupakan

salah satu penunjang berpikir tingkat tinggi. Menurut Liliasari (2000), kemampuan

berpikir tingkat tinggi yang dimiliki pebelajar akan menentukan kemampuannya dalam

menyusun strategi dan taktik untuk meraih peluang dalam upaya memenangkan

persaingan global. Demikian sangatlah penting untuk dilakukan kajian yang dapat

memberikan informasi tentang potensi pembelajaran terhadap pemberdayaan

metakognitif.

B. Pebelajar Kritis dan Kreatif

Metakognisi merupakan keterampilan yang dimiliki oleh siswa dalam mengatur dan

mengontrol proses berfikirnya (Pusdiklat Depdiknas, 2008; Hitipeauw, 2009). Menurut

Preisseien (2008) metakognisi meliputi empat jenis ketrampilan, yaitu: 1) ketrampilan

pemecahan masalah; 2) keterampilan pengambilan keputusan (decision making); 3)

keterampilan berpikir kritis (critical thinking) dan 4) keterampilan berpikir kreatif

(creative thinking).

Johnson (2002) membagi berpikir tingkat tinggi menjadi berpikir kreatif dan

berpikir kritis. kemampuan berpikir tingkat tinggi yang dimiliki pebelajar akan

menentukan kemampuannya dalam menyusun strategi dan taktik untuk meraih peluang

dalam upaya memenangkan persaingan global. Sehingga, sangatlah penting untuk dapat

memberikan informasi tentang potensi pembelajaran terhadap pemberdayaan berpikir

tingkat tinggi.

1. Berpikir Kritis

Berpikir kritis adalah berpikir dengan konsep matang dan mencerna segala

informasi dengan baik dan cermat sebelum akhirnya disimpulkan sesuai dengan indikator

kemampuan berpikir kritis dari Marzano (1988: 19-21) yaitu merumuskan masalah,

memberi argumen, melakukan deduksi, melakukan induksi, melakukan evaluasi, memutus

dan melaksanakan, melalui tes kemampuan berpikir kritis.

Berpikir kritis merupakan tujuan yang ideal di dalam pendidikan karena

mempersiapkan peserta didik untuk kehidupan kedewasaannya. Mempersiapkan peserta

didik untuk kehidupan kedewasaannya bukan berarti memberikan kepada peserta didik

sesuatu yang telah siap tetapi mengikutsertakan peserta didik di dalam pemenuhan

perkembangan dirinya sendiri dan arah dari perkembangannya sendiri (Tilaar dkk,

2011:17).

Berpikir kritis diperlukan dalam kehidupan di masyarakat, karena manusia selalu

dihadapkan pada permasalahan yang memerlukan pemecahan. Untuk memecahkan suatu

permasalahan tentu diperlukan data-data agar dapat dibuat keputusan yang logis dan untuk

membuat suatu keputusan yang tepat diperlukan kemampuan berpikir kritis yang baik.

Sebelum mengambil suatu kesimpulan dari informasi yang didapatkan, sebaiknya

menganalisis dengan baik dan cermat suatu permasalahan yang diterima dalam kehidupan

nyata.

Browne & Freeman (2000) menyatakan bahwa kunci untuk mengembangan

kemampuan berpikir kritis dan berpikir tingkat tinggi pebelajar adalah dengan

menciptakan kondisi pembelajaran yang memungkinkan pebelajar untuk aktif dan secara

emosional akan menyatu dengan materi yang diajarkan.

2. Berpikir Kreatif

Menurut Semiawan (1988) belajar kreatif yaitu belajar yang mengasyikan, yang

menggerakkan potensi kreatifitas, dan menimbulkan berbagai getaran penemuan terhadap

hal-hal yang sebelumnya belum diketahui, akan banyak memberi peluang untuk mencegah

penurunan kreatifitas.

Mengembangkan kemampuan berfikir kreatif di kalangan peserta didik merupakan

hal yang sangat penting dalam era persaingan global, karena tingkat kompleksitas

permasalahan dalam segala aspek kehidupan modern saat ini semakin tinggi. Seperti yang

disampaikan Treffinger (dalam Semiawan, 1990) bahwa belajar kreatif membantu siswa

berhasil dalam menyelesaikan masalah dan mengarahkan diri sendiri walaupun kita tidak

bersama mereka.

Haylock (1997) mengatakan bahwa berpikir kreatif selalu tampak menunjukkan

fleksibilitas (keluwesan). Bahkan Krutetskii (1976) menjelaskan bahwa fleksibilitas

merupakan k omponen kunci kemampuan kreatif matematika sekolah. Selanjutnya

Haylock (1997) menunjukkan kriteria kreatifitas sesuai tipe Tes Torrance, yaitu kefasihan

(banyaknya respon-respon yang diterima), fleksibilitas (banyaknya berbagai macam

respon yang berbeda), dan keaslian (kejarangan responrespon dalam kaitan dengan sebuah

kelompok pasangannya)

C. Pebelajar Problem Solver

Masalah (problem) adalah suatu situasi yang tak jelas jalan pemecahannya yang

mengkonfrontasikan individu atau kelompok untuk menemukan jawaban. Pemecahan

masalah (problem solving) adalah upaya individu atau kelompok untuk menemukan

jawaban berdasarkan pemahaman yang telah dimiliki sebelumnya dalam rangka

memenuhi tuntutan situasi yang tak lumrah (Krulik & Rudnick, 1996). Aktivitas

pemecahan masalah diawali dengan konfrontasi dan berakhir apabila sebuah jawaban telah

diperoleh sesuai dengan kondisi masalah.

Kegiatan pemecahan masalah, harus dirancang untuk mempromosikan proses

kognitif yang terstruktur membangun pengetahuan dan mengembangkan kebiasaan pikiran

yang diinginkan dan untuk membimbing siswa melalui lima tahap perkembangan kognitif

dan keterampilan metakognitif harus diajarkan (Gerace, 2005).

D. Membangun Pendidikan Karakter Melalui Pembelajaran Biologi

Sebelum ada gerakan pendidikan karakter belakangan ini (2010-an) di berbagai

lembaga pendidikan termasuk di sekolah-sekolah di negeri ini, sebenarnya, sudah

melakukan pendidikan karakter dalam praktik pendidikan sehari-hari di berbagai lembaga

pendidikan. Dengan semakin melemahnya karakter bangsa sebagaimana diuraikan pada

persoalan karakter bangsa di atas, maka tumbuh kesadaran baru bahwa “jangan-jangan ada

yang salah dalam praktik pembelajaran yang terjadi pada lembagalembaga pendidikan

selama ini termasuk pembelajaran MIPA”. Karena adanya dugaan terjadinya kesalahan

dalam praktik pendidikan dan pembelajaran, maka, akhir-akhir ini Kemendiknas

melakukan Revitalisasi (menghidupkan dan memperkuat kembali) praktik pendidikan dan

pembelajaran yang berorientasi pada pendidikan karakter bangsa, agar generasi (bangsa)

Indonesia di masa depan berkarakter lebih baik dan menjadi warga negara yang baik.

Karakter adalah paduan segala tabiat manusia yang bersifat tetap sehingga menjadi

tanda khusus antara orang yang satu dengan orang lainnya. Imbangan yang tetap antara

hidup batinnya seseorang dengan segala macam perbuatan lahirnya (Ki Hajar Dewantoro,

Pusara 1933). Pendidikan karakter pada dasarnya adalah upaya menjadikan peserta didik

berkarakter baik. Tujuan pendidikan karakter adalah karakter baik. Karakter baik

dinyatakan dengan “hidup dengan benar dalam hubungan seseorang dengan: Tuhan-nya,

sesama manusia, alam lingkungan hidupnya, bangsa dan negaranya, dan dengan dirinya

sendiri”.

Karakter baik pada dasarnya adalah perwujudan dari nilai-nilai yang terinternalisasi

pada diri seseorang dalam bentuk perilaku kongkrit. Dewantoro (1962) menyatakan

sebagai . Imbangan yang tetap antara hidup batinnya seseorang dengan segala macam

perbuatan lahirnya Oleh karena itu, pendidikan karakter sering disebut sebagai pendidikan

nilai. Lickona (1991) menyebut “karakter” sebagai “value in action”. Pembelajaran

karakter pada dasarnya adalah upaya menghadirkan/internalisasi nilai-nilai kebaikan pada

diri peserta didik. Pendidikan karakter melalui biologi berarti upaya menginternalisasikan

nilai-nilai dari dunia biologi dan proses pembelajaranya, dengan nilai-nilai itu dapat

menghidupi batin murid-murid dan terpelajar biologi sehingga dapat mengendalikan

perilaku hidupnya.

Dengan pembelajaran tentang lingkungan hidup dalam disiplin Biologi Lingkungan

misalnya, tentang keragaman hayati, hereditas, sel, kehidupan yang saling tergantung,

evolusi kehidupan, dll diharapkan murid-murid dan terpelajar mampu menghargai

pentingnya terlibat dalam (peduli) pada pelestarian lingkungan, berfikir alternatif dan

mencari pemecahan masalahmasalah ligkungan hidupnya, sehingga mereka dapat

menjalani kehidupannya menjadi lebih baik. Demikian pula ketika mempelajari tubuh

manusia, mengenali kondisi fisik badannya, sistem syaraf, sistem peredaran darah, dan

lainnya diharapkan kaum terpelajar menghargai kesehatan baik fisik maupun mentalnya.

Untuk itu pembelajaran biologi sepatutnya tidak sekedar agar murid-murid dan

kaum terpelajar mampu menyelesaikan soal-soal ujian dengan perolehan nilai (score) yang

tinggi saja akan tetapi sampai pada menghadirkan (internalisasi) nilai simbolik dan

empirik, disamping juga menginternalisasikan nilai-nilai penyertanya— misalnya

kerjasama, penghargaan, kepercayaan, rasa ingin tahu, dll yang dihadirkan melalui proses

pembelajaran biologi. Pendidikan karakter melalui pembelajaran biologi dimaksudkan

sebagai upaya mengidupkan kembali praktik-praktik pembelajaran biologi sehingga

mampu menginternalisasikan nilai-nilai yang terkandung dalam biologi , nilai-nilai yang

dihadirkan melalui biologi menjadi keyakinan para murid dan terpelajarnya sehingga

mereka dapat menjalani hidupnya dengan baik.

Pendidikan karakter pada dasarnya adalah pendidikan nilai. Karakter sering juga

disebut “value in action” (Lickhona, 1991), oleh karena itu pembelajaran karakter pada

dasarnya adalah membelajarkan nilai-nilai, yakni upaya membantu murid dan terpelajar

agar terjadi internalisasi nilai-nilai (yang melandasi) karakter mereka. Oleh karena itu,

pendidikan dan pembelajaran karakter hendaknya terfokus pada nilai-nilai inti yang akan

diinternalisasikan pada diri murid. Nilai-nilai kebaikan yang terinternalisasikan pada diri

murid itulah yang dapat menjadikan karakter baik.

Tujuan pendidikan karakter adalah menjadikan karakter baik. Nilai-nilai kebaikan

itu tidak bisa dibatasi jumlahnya, nilai-nilai itu tersebar dalam berbagai dunia nilai

(simbolik, empiric, estetik, etik, sinnoetik, dan sinoptik) dan nilai-nilai Pancasila tentunya

sudah terangkum dalam berbagai dunia nilai tersebut. Keterkandungan nilai-nilai pada

dunia nilai tersebut yang dijadikan landasan bahwa pendidikan karakter perlu dimasukkan

melalui berbagai mata pelajaran), dan penulis berpendapat jumlah nilai nya tidak bisa

dibatasi. Karena kesulitan membatasi nilai-nilai apa saja yang perlu diajarkan itulah

diperlukan pemfokusan pada nilai-nilai inti (core value) tertentu atau nilai yang

diprioritaskan, dimana dari nilai-nilai inti inilah dapat dikembangkan nilai-nilai kebaikan

yang lain yang sifatnya lebih luas. Bagi bangsa Indonesia, saya berpendapat, core value ini

hendaknya terpusat pada nilai-nilai Pancasila (nilainilai: Ketuhanan, Kemanusiaan,

Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial).

Kemendiknas melalui tim pengembang pendidikan karakter di Pusat Kurikulum

(2010) mengidentifikasi nilai-nilai yang diajarkan dalam pendidikan karakter

(diutamakan) adalah nilai-nilai, secara umum sbb:

1. Religius : patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap

pelaksanaan ibadah agama lain, serta hidup rukun dengan pemeluk agama lain.

2. Jujur: perilaku yang didasarkan pada kebenaran, menghindari perilaku yang salah, dan

menjadikan dirinya orang yang dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan

pekerjaan.

3. Toleransi: suatu tindakan dan sikap yang menghargai pendapat, sikap dan tindakan

orang lain yang berbeda dari pendapat, sikap, dan tindakan dirinya.

4. Disiplin: tertib dan aptuh pada ketentuan dan peraturan yang harus dilaksanakannya.

5. Kerja keras: selalu menggunakan waktu yang tersedia untuk suatu pekerjaan dengan

sebaikbaiknya sehingga pekerjaan yang dilakukan selesai pada waktunya

6. Kreatif: berpikir untuk menghasilkan suatu cara atau produk baru dari apa yang telah

dimiliki

7. Mandiri: melakukan pekerjaan sendiri dengan kemampuan yang telah dimilikinya

8. Demokratis: sikap dan tindakan yang menilai tinggi hak dan kewajiban dirinya dan

orang lain dalam kedudukan yang sama

9. Rasa ingin tahu: suatu sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui apa

yang dipelajarinya secara lebih mendalam dan meluas dalam berbagai aspek terkait.

10. Semangat kebangsaan: suatu cara berpikir, bertindak, dan wawasan yang

menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan

kelompoknya.

11. Cinta tanah air: suatu sikap yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan

penghargaan yang tinggi terhadap lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan

politik bangsanya.

12. Menghargai prestasi: suatu sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk

menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, mengakui dan menghormati

keberhasilan orang lain.

13. Bersahabat/komunikatif: suatu tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara,

bergaul, dan bekerjasama dengan orang lain.

14. Cinta damai: suatu sikap dan tindakan yang selalu menyebabkan orang lain senang dan

dirinya diterima dengan baik oleh orang lain, masyarakat dan bangsa

15. Senang membaca: suatu kebiasaan yang selalu menyediakan waktu untuk membaca

bahan bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.

16. Peduli sosial: suatu sikap dan tindakan yang selalu ingin memberikan bantuan untuk

membantu orang lain dan masyarakat dalam meringankan kesulitan yang mereka

hadapi.

17. Peduli lingkungan: suatu sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah

kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya

untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

E. Pembelajaran Biologi di Kelas dalam Konteks Pendidikan Karakter

Untuk dapat mengimplementasi pendidikan karakter secara efektif dalam

pembelajaran di kelas, perlu dibahas bagaimana seharusnya pandangan guru tentang

murid-muridnya, guru pendidikan karakter yang bermartabat, penataan situasi pendidikan

untuk pembelajaran nilai dan karakter, prinsip-prinsip pembelajaran karakter, dan

pengembangan rencana pembelajaran yang berorientasi pada pendidikan karakter.

Kelas dapat dipersepsi baik sebagai “ruang kelas yang dibatasi oleh dinding”

maupun “rombongan belajar”. Situasi kelas sangat ditentukan oleh penataan situasi fisik

(tata ruang, tata perabotan, tata asesories) maupun penataan situasi sosial (pengelolaan

hubungan antar manusia dalam rombongan belajar). Agar situasi kelas kondusif maka

implementasikan teori medan untuk menata situasi kelas. Seseorang itu hidup dalam

sebuah ruang hidup (medan) dalam ruang hidup terdapat gejala-gejala yang teramati. Dari

apa yang teramati akan menjadi penghayatan (persepsi).

Dari apa yang dihayati/dipersepsi seseorang dari ruang hidup itulah yang akan

menentukan perilaku. Untuk itu tatalah situasi fisik dan sosial kelas Anda agar tercipta

situasi yang kondusif untuk pembelajaran nilai dan karakter.

Pertama, masukkan nilai-nilai (karakter) dalam tujuan pembelajaran di kelas. Core

value apa yang terkait dengan sumber dan materi pembelajaran MIPA yang diajarkan di

kelas. Arahkan tujuan pembelajaran kearah kognisi, afeksi, psikomotor tingkat tinggi.

Core value apa yang akan dihadirkan melalui proses-proses pembelajaran di kelas. Core

value apa yang akan dihadirkan melalui proses asesmen, evaluasi, dan penilaian

pembelajaran di kelas.

Kedua, secara fisik tatalah tempat duduk yang mudah diubah-ubah posisinya;

undilah tempat duduk murid-murid anda sesering mungkin hingga berkesmpatan

mengenal lebih dekat semua anggota kelas. Tatalah asesories/pajangan (kata-kata bijak,

mutiara-mutiara hikmah, hasil karya, gambar tokoh/pahlawan, dll) di kelas anda menjadi

asesories yang hidup—yang dapat memicu dialog antara diri murid dengan situasi fisik.

Secara sosial, tatah hubungan antar manusia yang berada di dalam ruang kelas sehingga

perilaku orang-orang dalam kelas menjadi bahan dialog antara diri peserta didik dengan

situasi sosial itu. Jangan biarkan tata fisik dan tata sosial dalam ruang kelas menjadi situasi

fisik dan sosial yang mati (seperti benda mati). Sediakan kursi—meja belajar yang mudah

diubah-ubah posisinya untuk mengimplementasikan pembelajaran secara kooperatif, yang

memungkinkan peserta didik berganti-ganti kelompok belajarnya. Tujuannya agar setiap

peserta berkesempatan bekerjasama dengan siapapun, termasuk dengan gurunya, agar

mereka merasa lebih dekat dengan sesame siswa sekelasnya dan juga dengan gurunya,

mengenal secara personal rekan-rekan sekelasnya, menganggap baik semua teman

sekelasnya—positive thinking, sehingga melahirkan kesediaan untuk bekerjasama dengan

siapapun.

Penataan fisik termasuk penataan asessories yang ada di dalam ruang kelas.

Pajanglah ayat-ayat suci dari kitab suci, foto-foto seorang tokoh: agama, masyarakat,

pahlawan nasional. Pajanglah kata-kata bijak dari para ahli hikmah. Pajanglah karya-karya

prestatif peserta didik yang membanggakan, tampilkan berbagai pajangan tersebut dengan

tampilan dan dengan kata-kata yang menyentuh perasaan siswa. Jika di ruang kelas ada

tempat sampah misalnya, jangan ditulisi dengan kata “buanglah sampah ditempatnya”

tetapi tulislah dengan “simpanlah sampah ditempat ini” dst. Penataan fisik termasuk

menjaga kebersihan kursi-meja belajar, menjaga kebersihan lantai di dalam ruang kelas,

menata rapi benda-benda dan peraga yang ada di dalam ruang kelas. Namun demikian,

jangan jadikan pajangan-pajangan yang banyak tersebut menjadi benda mati. Jadikan

pajangan-pajangan tersebut menjadi sebuah benda yang hidup yang dapat dijadikan dialog

edukatif, jadikan lantai yang bersih, penataan benda-benda dalam ruang kelas yang rapi,

dst menjadi dialog interaktif antara diri peserta didik dengan segala penataan fisik

tersebut. Inti pendidikan adalah “dialog” antara diri peserta didik dengan: lantai yang

bersih, kata-kata bijak, penampilan guru, poster pahlawan, karya siswa yang dipajang, dan

lain sebagainya. Hasil dialog inilah yang akan menentukan perilaku. Oleh karena itu,

jangan biarkan berbagai macam asesories yang berupa aneka macam pajangan tersebut

menjadi “benda mati” yang kurang mampu memicu dialog.

Ketiga, terapkan kepemimpinan moral dalam pembelajaran di kelas. Guru

bermartabat menerapkan kepemimpinan moral dalam pembelajaran di kelas. Pemimpin

moral ditandai dengan satunya keyakinan dengan ucapan, sikap, dan perbuatan. Guru yang

bisa tampil sebagai pemimpin moral akan tampak “konsisten”, dengan pribadi yang

konsisten, seorang guru akan memperolah “kepercayaan” dari murid-muridnya. Dengan

kepercayaan/dapat dipercaya akan menjadikan seorang guru yang kharismatik (beraura

psitif yang sangat kuat). Guru yang dapat menerapkan kepemimpinan moral akan menjadi

guru-guru yang kharismatik karena perilakunya patut diteladani oleh murid-muridnya

sehingga mereka menjadi guru yang efektif. Guru yang efektif ditandai dengan perilaku

guru yang mampu mengelola kelas, ketika tampil di kelas dengan penampilan yang

menarik, simpatik, empatik, membantu, mengarahkan, ngemong, memimpin moral, dan

patut diteladani bagi peserta didiknya.

Keempat, secara psikologis ciptakan suasana psikologis yang mampu

menumbuhkan kesadaran diri secara mendalam dengan prinsip-prinsip pembelajaran

sebagaimana mutiara hikmah sebagaimana dikemukakan Dorothi, sbb:

Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki.

Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi.

Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri.

Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri.

Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri.

Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri.

Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai

Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia belajar keadilan.

Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan.

Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi diri.

Jika anak dibesarkan dengan penuh kasih sayang, ia belajar menemukan cinta

dalam kehidupan.

Guru tampil di kelas dengan penampilan yang menarik, simpatik, empatik,

membantu, mengarahkan, ngemong, memimpin moral, pemaaf, sehingga patut diteladani

oleh murid-muridnya.

Kelima, mengintegrasikan pemanfaatan sumber/materi pembelajaran yang mampu

mencerdaskan dimensi pikir dengan dimensi hati. Cara mengintegrasikan adalah dengan

mengkaitkan antara ilmu-ilmu empirik--rasional (MIPA ada di dalamnya) misalnya,

dengan ajaran agama-agama kawasan rasional. Ajaran agama itu ada yang rasional dan

ada pula yang non-rasional. Ilmu-ilmu empirik digunakan untuk mempertajam

kemampuan berpikir, sedangkan ajaran agama-agama (dzikir—ingat Tuhan) digunakan

untuk mempertajam mata hati. Pentingnya memadukan ilmu dengan agama karena agama-

agama hingga kini tetap diakui para pakar pendidikan karakter sebagai sumber nilai

terbesar diantara sumber nilai yang lain. Satukan pikiran dengan hati murid-murid kita

sehingga dapat melahirkan perilaku berakal (perilaku baik). Terpadunya ilmu dengan

agama akan mempercepat dan memperkuat terjadinya internalisasi nili-nilai pengendali

kelakuan seseorang. Gunakan situasi kehidupan riil sebagai sumber dan media

pembelajaran nilai dan karakter.

Keenam, gunakan pendekatan, strategi, model, metode, dan teknik-teknik

pembelajaran MIPA yang berorientasi pada pendidikan nilai dan karakter. Model

pembelajaran adalah pola pembelajaran yang di sekenariokan dalam rancangan

pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu. Atau, langkah-langkah

pembelajaran dan perangkatnya untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu. Banyak

sekali model-model pembelajaran aktif yang bisa digunakan misalnya model-model:

cooperative, group investigation, simulasi, jurisprudential inquiry, inquiry, problem

solving, VCT, diskusi dilemma moral, laporan diri, dll. Tekankan proses internalisasi nilai

melalui proses understanding, action, dan Reflection. Kembangkan model-model

pembelajaran yang dengan satu pengalaman belajar mampu mengembangkan seluruh

unsur karakter (Ngerti, Ngroso, dan Nglakoni), Moral Knowing, Moral Feeling, dan Moral

Action; pengembangkan aspek piker, dzikir, dan ikhtiar secara terpadu. Pilih pendekatan,

model, dan metode pembelajaran yang sesuai dengan nilai dan karakter yang akan

dikembangkan. Terapkan proses pembelajaran yang berorientasi pada proses terjadinya

internalisasi nilai (understanding, action, dan reflection).

Ketujuh, lakukan asesmen, evaluasi, dan penilaian proses dan hasil belajar secara

otentik. Penilaian dalam pembelajaran nilai dan karakter “tidak untuk menjastifikasi” atau

memberi cap pada karakter murid-murid, apakah seorang murid termasuk berkarakter baik

atau berkarakter buruk. Asesmen dan penilaian secara otentik dalam proses pembelajaran

nilai dan karakter adalah dalam kerangka untuk mengetahui posisi kualitas nilai dan

karakter murid, kemudian dengan diketahuinya posisi kualitas karakter tersebut kemudian

diupayakan peningkatan kualitas posisi nilai dan karakter tersebut ke arah tingkatan yang

lebih tinggi.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

Akbar, 2011. Revitalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar, Pidato Pengukuhan Guru

Besar Malang: UM.

Baker, Jefrey JW, Garland E Allen, 1974. Matter, Energy, and Life, Canada: Addison-

Wesley Publishing Company, Inc.

Bohlin, Karen E, dkk, 2011. Building Character in Schools Resource Guide, Sanfrancisco:

JohnWilley Son.

Bloom S., 1956. Taxonomy of Educational Objective: The Curriculum of Educational

Goal, Hand Book I, Cognitive Domain, Toronto: Longman Green.

Degeng, I Nyoman Sudana, 2003. Pembelajaran yang Mendidik, Makalah: PPS UM.

Dewantoro, Ki Hadjar, 1962. Bagian I: Pendidikan. Yogyakarta: Taman Siswa.

Hendrajaya, 2012. Makalah: Paradigma Kemandirian Perguruan Tinggi

Lickona, Thomas, 1992. Character and Value Education, New York: Bantam Book.

Phenix, Philip, 1954. Realms of Meaning: Philoshophy of The Curriculum of General

Education, New York: Mc-Graww Hill Book Company.

Rutherford, F James dan Andrew Ahlgren, 1990. Science for All American: Scientific

Literacy, New York: Oxford University Press.

Tim Nasional Implementasi KTSP, 2009. Panduan Implementasi Standard Proses untuk

Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta: Direktorat Pendidikan Dasar dan

Menengah Kemendiknas RI.