revisi makalah pbm self regulated learner model
DESCRIPTION
aaaTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kegiatan pembelajaran yang dibangun oleh guru dan siswa adalah
kegiatan yang bertujuan. Sebagai kegiatan yang bertujuan, maka segala sesuatu
yang dilakukan guru dan siswa hendaknya diarahkan untuk mencapai tujuan yang
telah ditentukan. Dengan demikian dalam setting pembelajaran, tujuan merupakan
pengikat segala aktivitas guru dan siswa. Oleh sebab itu, merumuskan tujuan
merupakan langkah pertama yang harus dilakukan dalam merancang program
pembelajaran.
Salah satu tujuan pembelajaran Biologi yang tercantum dalam KTSP
adalah “Mengembangkan pengalaman untuk dapat mengajukan dan menguji
hipotesis melalui percobaan, serta mengkomunikasikan hasil percobaan secara
lisan dan tertulis”. Percobaan dalam pembelajaran Biologi biasa dilakukan pada
kegiatan pratikum. Dengan melakukan kegiatan praktikum siswa akan lebih yakin
pada suatu hal daripada hanya menerima dari guru dan buku, dapat memperkaya
pengalaman, mengembangkan sikap ilmiah, dan hasil belajar akan bertahan lebih
lama dalam ingatan siswa. Percobaan yang dilaksanakan tersebut dapat
meningkatkan kemampuan kognitif.
Kernampuan kognitif yang amat penting kaitannya dengan proses
pembelajaran adalah strategi belajar rnemaharni isi materi pelajaran, strategi
meyakini arti penting isi materi pelajaran, clan aplikasinya serta menyerap
nilai-nilai yang terkandung dalam materi pelajaran tersebut (Love &
Kruger, 2005). Dengan kata lain, strategi pembelajaran yang digunakan
merupakan hal yang sangat penting agar pembelajaran dapat berjalan secara
efektif dan efisien. Strategi belajar yang digunakan tidak sekedar strategi
belajar aktif (Casem, 2006; Schapiro & Livingston, 2000), tetapi harus strategi
yang betul-betul dapat membawa siswa pada pencapaian indikator yang
telah ditetapkan, strategi yang membawa siswa pada pemahaman materi
secara internal (internalisasi nilai materi pelajaran). Dikatakan Gagne (1985)
(Dalam Merdinger, et al., 2005) bahwa unsur-unsur yang mempengaruhi proses
pembelajaran agar menjadi efektif adalah strategi dalam menentukan tujuan
1
belajar, mengetahui kapan strategi yang digunakan dan memonitor keefektifan
strategi belajar tersebut.
Selain aspek kognitif juga diperlukan pembelajaran yang dapat
membangun karakter siswa karena saat ini khususnya di Indonesia karakter
siswa sangat minim sekali. Banyak siswa pintar yang tidak berkarakter
sehingga dapat merugikan bangsa. Oleh karena itu saat ini pemerintah
khususnya Menteri Pendidikan Nasional meminta agar seluruh guru
menerapkan pendidikan yang berkarakter karena kemajuan bangsa ada pada
generasi muda yang dihasilkan dari para lulusan sekolah-sekolah yang ada di
Indonesia.
Dari pemaparan permasalahan diatas maka kelompok kami ingin
mempresentasi makalah yang berkaitan dengan Tujuan pembelajaran biologi
untuk menjadikan siswa sebagai pembelajar mandiri, berpikir kreatif, problem
solver, dan membangun karakter.
B. Tujuan Penulisan Masalah
Adapun tujuan dari pemaparan makalah ini adalah :
1. Menjelaskan tujuan pembelajaran biologi
2. Menjelaskan Konsep belajar mandiri
3. Menjelaskan Strategi Self Regulated Learning sebagai upaya membentuk
pembelajar mandiri
4. Menjelaskan ketrampilan metakognitif sebagai bagian dari unsur pembelajar
mandiri dan seorang problem solver
5. Menjelaskan Pengembangan (Proses) Berpikir Dalam Pendidikan Sains
6. Menjelaskan berpikir kreatif sebagai upaya menuju seorang problem solver
7. Menjelaskan pendidikan karakter dan upaya membangun pembelajaran yang
berkarakter
C. Manfaat
Pengkajian terhadap tujuan pembelajaran Biologi untuk mencapai pembelajar
yang mandiri, kreatif, dan problem solver memberikan beberapa manfaat:
2
1. Sebagai informasi baru bagi para guru dan calon guru khususnya guru
Biologi dan pembaca agar dapat membelajarkan siswa untuk dapat
menjadi pembelajar yang mandiri, kreatif dan problem solver supaya
dapat mengatasi masalah yang dihadapinya.
2. Dapat menjadi acuan dalam pengembangan kurikulum dan perangkat
pembelajaran apalagi pembelajaran Biologi di era sekarang ini dimana
banyak materi yang harus disesuaikan dengan perkembangan zaman
sehingga nantinya akan dihasilkan siswa yang dapat bersaing secara
global sampai tingkat internasional dan juga dapat mempertahankan
eksistensinya di dunia.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tujuan Pembelajaran Biologi
Adapun rangkuman dalam tujuan pembelajaran biologi adalah sebagai berikut :
1. Membentuk sikap positif terhadap biologi dengan menyadari keteraturan dan
keindahan alam serta mengagungkan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa
2. Mengembangkan pemahaman tentang berbagai macam gejala alam, konsep
dan prinsip IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari dan memupuk sikap ilmiah yaitu jujur, objektif, terbuka, ulet,
kritis dan dapat bekerjasama dengan orang lain
3. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang adanya
hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan
masyarakat dan mengembangkan pengalaman untuk dapat mengajukan dan
menguji hipotesis melalui percobaan, serta mengkomunikasikan hasil
percobaan secara lisan dan tertulis
4. Mengembangkan keterampilan proses, melakukan inkuiri ilmiah, dan
mengembangkan kemampuan berpikir analitis, induktif, dan deduktif dengan
menggunakan konsep dan prinsip biologi
5. Meningkatkan kesadaran untuk berperanserta dalam memelihara, menjaga dan
melestarikan lingkungan alam dan mengembangkan penguasaan konsep,
prinsip biologi, saling keterkaitannya dengan IPA lainnya serta
mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap percaya diri
6. Menerapkan konsep dan prinsip biologi untuk menghasilkan karya teknologi
sederhana yang berkaitan dengan kebutuhan manusia
B. Konsep Belajar mandiri
Menurut Herman Holstain (1999: 5) memberikan konsep bahwa belajar
mandiri merupakan proses belajar yang dirintis melalui bekerja sendiri dan
meemukan sendiri. Sedangkan menurut Huris Mujimin, (2007: 1) menyatakan
bahwa belajar mandiri adalah kegiatan belajar aktif yang didorong oleh motif
yang menguasai suatu kompetensi dan dibangun dengan bekal pengetahuan atau
4
kompetensi yang telah dimilik. Penetapan kompetensi sebagai tujuan belajar dan
cara pencapai, baik penetapan waktu belajar, tempat belajar, irama belajar, tempo
belajar, cara belajar, sumber belajar maupun evaluasi belajar yang dilakukan oleh
pembelajar sendiri.
Dari batasan itu dapat diperoleh gambaran, bahwa seseorang yang sedang
menjalankan kegiatan belajar mandiri lebih ditandai, dan ditentukan oleh motif
yang mendorong belajar, bukan oleh kemampuan fisik kegiatan belajarnya dan
juga disertai dengan adanya upaya atau usaha untuk melakukan kegiatan belajar
mandiri. Pembelajaran tersebut secara fisik dapat belajar sendirian, belajar
kelompok dengan kawan-kawan, atau bahkan sedang dalam situasi belajar
klasikal dalam kelas tradisional.
Akan tetapi bila motif yang mendorong kegiatan belajarnya adalah motif
untuk menguasai sesuatu kompetensi yang diinginkannya, maka ia menjalankan
belajar mandiri. Belajar mandiri jenis ini dapat pula disebut Self-motivated
Learning.
Dari pengertian tentang belajar mandiri di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa yang dimaksud dengan belajar mandiri adalah kegiatan belajar yang
dilakukan dengan kemampuan menggunakan cara belajar sendiri untuk mencapai
tujuan yang diinginkan.
Oleh karena itu upaya untuk membentuk belajar mandiri yang baik diperlukan
suatu konsep yang baik pula. Menurut Haris Mujimin (2007:18), bahwa konsep
belajar mandiri adalah konsep yang digunakan sebagai kerangka penyusunan
rancangan belajar, maka dari itu setelah konsep belajar mandiri disajikan akan di
identifikasi kegiatan-kegiatan pembelajaran berbasis konsep belajar mandiri, yang
diharapkan dapat menumbuhkan motivasi belajar.
Dengan memperhatikan konsep belajar mandiri yang dimaknakan sebagai
proses belajar yang dirintis melalui metode yang mantap dan kegiatan sendiri,
maka dapat dikatakan bahwa dalam proses belajar mandiri lebih menekankan
pada kemampuan individu yang belajar agar lebih banyak berbuat dan bertindak
untuk mencapai tujuan belajarnya.
Menurut Wedemeyer seperti yang disajikan oleh Keegan (1983), siswa/peserta
didik yang belajar secara mandiri mempunyai kebebasan untuk belajar tanpa harus
5
menghadiri pelajaran yang diberikan guru/instruktur di kelas. Siswa/peserta didik
dapat mempelajari pokok bahasan atau topik pelajaran tertentu dengan membaca
buku atau melihat dan mendengarkan program media pandang-dengar (audio
visual) tanpa bantuan atau dengan bantuan terbatas dari orang lain. Di samping itu
siswa/peserta didik mempunyai otonomi dalam belajar. Otonomi tersebut
terwujud dalam beberapa kebebasan sebagai berikut:
a. Siswa/peserta didik mempunyai kesempatan untuk ikut menentukan tujuan
pembelajaran yang ingin dicapai sesuai dengan kondisi dan kebutuhan
belajarnya.
b. Siswa/peserta didik boleh ikut menentukan bahan belajar yang ingin
dipelajarinya dan cara mempelajarinya.
c. Siswa/peserta didik mempunyai kebebasan untuk belajar sesuai dengan
kecepatannya sendiri.
d. Siswa/peserta didik dapat ikut menentukan cara evaluasi yang akan
digunakan untuk menilai kemajuan belajarnya.
Kemandirian dalam belajar ini menurut Wedemeyer (1983) perlu diberikan
kepada siswa/peserta didik supaya mereka mempunyai tanggung jawab dalam
mengatur dan mendisiplinkan dirinya dan dalam mengembangkan kemampuan
belajar atas kemauan sendiri. Sikap-sikap tersebut perlu dimiliki siswa/peserta
didik karena hal tersebut merupakan ciri kedewasaan orang terpelajar.
Sejalan dengan Wedemeyer, Moore (dalam Keegan, 1983) berpendapat
bahwa ciri utama suatu proses pembelajaran mandiri ialah adanya kesempatan
yang diberikan kepada siswa/peserta didik untuk ikut menentukan tujuan, sumber,
dan evaluasi belajarnya. Karena itu, program pembelajaran mandiri dapat
diklasifikasikan berdasarkan besar kecilnya kebebasan (otonomi) yang diberikan
kepada siswa/peserta didik untuk ikut menentukan program pembelajarannya.
Tingkat kemandirian pembelajaran dapat diklasifikasi berdasarkan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan berikut:
a. Otonomi dalam menentukan tujuan pembelajaran yang akan dicapai.
Tujuan pembelajaran itu ditentukan oleh siswa/peserta didik, oleh guru/instruktur
atau oleh guru/instruktur dan siswa/peserta didik? Semakin besar kesempatan
yang diberikan kepada siswa/peserta didik untuk ikut menentukan tujuan
6
pembelajarannya, berarti semakin besar kesempatan siswa/peserta didik untuk
belajar sesuai dengan kebutuhan belajarnya. Dengan demikian semakin besar pula
kesempatan siswa/peserta didik untuk bersikap mandiri.
b. Otonomi dalam belajar.
Siapakah yang menentukan buku atau media yang akan dipakai dalam belajar?
Apakah semuanya ditentukan oleh guru/instruktur, oleh siswa/peserta didik, atau
oleh guru/instruktur dan siswa/peserta didik? Kalau siswa/peserta didik dapat ikut
menentukan bahan belajar, media belajar, dan cara belajar yang akan digunakan
untuk mencapai tujuan itu, berarti siswa/peserta didik telah diberi kesempatan
untuk bersikap mandiri.
c. Otonomi dalam evaluasi hasil belajar.
Siapakah yang menentukan cara dan kriteria evaluasi hasil belajar? Dapatkah
siswa/peserta didik ikut menentukan cara evaluasi dan kriteria penilaian yang
akan dipakai.
Tingkat kemandirian (otonomi) yang diberikan kepada siswa/peserta didik
dalam berbagai program pembelajaran tidak sama. Ada program pembelajaran
yang lebih banyak memberikan kemandirian (otonomi), ada pula program
pembelajaran yang kurang memberikan kemandirian kepada siswa/peserta didik.
Contoh, di Universitas London ada program pembelajaran yang memberi
kebebasan kepada mahasiswa untuk belajar sendiri di luar kampus. Mahasiswa
yang lulus dalam ujian akan mendapat gelar yang nilainya sama dengan gelar
yang diperoleh siswa/peserta didik yang mengikuti kuliah di kampus. Mahasiswa
luar kampus ini diberi kesempatan untuk ikut menentukan tujuan pembelajaran
yang ingin dicapai dan bahan belajar serta cara belajar yang akan digunakan.
Namun demikian mahasiswa tidak diberi kesempatan untuk menentukan cara
evaluasi dan kriteria penilaiannya.
C. Strategi Self Regulated Learning sebagai upaya membentuk seorang
pembelajar mandiri
Kemampuan kognitif yang amat penting kaitannya dengan proses
pembelajaran adalah strategi belajar rnemaharni isi materi pelajaran, strategi
meyakini arti penting isi materi pelajaran, dan aplikasinya serta menyerap
7
nilai-nilai yang terkandung dalam materi pelajaran tersebut (Love &
Kruger, 2005) dalam Eva (2010). Dengan kata lain, strategi pembelajaran yang
digunakan merupakan hal yang sangat penting agar pembelajaran dapat
berjalan secara efektif dan efisien. Strategi belajar yang digunakan tidak
sekedar strategi belajar aktif (Casem, 2006; Schapiro & Livingston, 2000) dalam
Eva (2010), tetapi harus strategi yang betul-betul dapat membawa siswa pada
pencapaian indikator yang telah ditetapkan, strategi yang membawa siswa
pada pemahaman materi secara internal (internalisasi nilai materi pela-
jaran). Dikatakan Gagne (1985) (Dalam Merdinger, et al., 2005) dalam Eva (2010)
bahwa unsur-unsur yang mempengaruhi proses pembelajaran agar menjadi
efektif adalah strategi dalam menentukan tujuan belajar, mengetahui kapan
strategi yang digunakan dan memonitor keefektifan strategi belajar tersebut.
Dalam proses pembelajaran balk di tingkat dasar maupun lanjutan, regulasi diri
dalam belajar (self regulated learning) merupakan sebuah pendekatan yang
penting. Strategi regulasi diri dalarn belajar cocok untuk semua jenjang
pendidikan, kecuali untuk kelas tiga SD ke bawah, ada yang menyarankan
bahwa strategi belajar dengan regulasi diri kurang cocok (Woolfolk, 2008)
dalam Eva (2010).
Istilah self regulated learning berkembang dari teori kognisi sosial Bandura
(1997) dalam Eva (2010). Menurut teori kognisi sosial, manusia merupakan hasil
struktur kausal yang interdependen dari aspek pribadi (person), perilaku (behavior), dan
lingkungan (environment) (Bandura, 1997). Ketiga aspek ini merupakan aspek-aspek
determinan dalam Self regulated learning. Ketiga aspek determinan ini saling berhubungan
sebabakibat, dimana person berusaha untuk meregulasi din sendiri (self regulated),
hasilnya berupa kinerja atau perilaku, dan perilaku ini berdampak pada perubahan
lingkungan, dan demikian seterusnya (Bandura, 1986) dalam Eva (2010).
Self regulated learning menggarisbawahi pentingnya otonomi dan tanggung jawab
pribadi dalam kegiatan belajar. Dalam proses pembelajaran, siswa yang memiliki self
regulated learning membangun tujuan-tujuan belajar, mencoba memonitor, meregulasi,
dan mengontrol kognisi, motivasi, dan perilakunya untuk mengontrol tujuantujuan yang
telah dibuat (Valle et al., 2008) dalam Eva (2010).
Zimmerman & Martinez-Pons (2001) dalam Eva (2010) mendefinisikan self
8
regulated learning sebagai tingkatan dimana partisipan secara aktif melibatkan
metakognisi, motivasi, dan perilaku dalam proses belajar. Self regulated learning juga
didefinisikan sebagai bentuk belajar individual dengan bergantung pada motivasi belajar
mereka, secara otonomi mengembangkan pengukuran (kognisi, metakognisi, dan
perilaku), dan memonitor kemajuan belajarnya (Baumert et al., 2002) dalam Eva
(2010). Self regulated learning mengintegrasikan banyak hal tentang belajar
efektif. Pengetahuan, motivasi, dan disiplin diri atau volition (kemauan-diri)
merupakan faktorfaktor penting yang dapat mempengaruhi self regulated
learning (Woolfolk, 2008). Pengetahuan yang dimaksudkan adalah
pengetahuan tentang dirinya sendiri, materinya, tugasnya, strategi untuk
belajar, dan konteks-konteks pembelajaran yang akan digunakannya.
Siswa-siswa yang belajar dengan regulasi diri dapat diistilahkan sebagai
siswa 'ahli'. Siswa ahli mengenal dirinya sendiri dan bagaimana mereka belajar
dengan sebaik-baiknya. Mereka mengetahui gaya pembelajaran yang
disukainya, apa yang mudah dan sulit bagi dirinya, bagaimana cara mengatasi
bagianbagian sulit, apa minat dan bakatnya, dan bagaimana cara
memanfaatkan kekuatan/ kelebihannya (Woolfolk, 2008) dalam Eva (2010).
Mereka juga tahu materi yang sedang dipelajarinya; semakin banyak materi
yang mereka pelajari semakin banyak pula yang mereka ketahui, serta
semakin mudah untuk belajar lebih banyak (Alexander, 2006). Mereka
mungkin mengerti bahwa tugas belajar yang berbeda memerlukan pende-
katan yang berbeda pula. Merekapun menyadari bahwa belajar seringkali
terasa sulit dan pengetahuan jarang yang bersifat mutlak; biasanya ada
banyak cara yang berbeda untuk melihat masalah dan ada banyak macam
solusi (Pressley, 1995; Winne, 1995) dalam Eva (2010).
Seorang self regulated learner mengambil tanggung jawab terhadap
kegiatan belajar mereka. Mereka mengambil alih otonomi untuk mengatur
dirinya. Mereka mendefinisikan tujuan dan masalah masalah yang
mungkin akan dihadapinya da lam mencapai tu juan- tu juannya ,
mengembangkan standar tingkat kesempurnaan dalam pencapaian tujuan; dan
mengevaluasi cara yang paling balk untuk mencapai tujuannya. Mereka
memiliki jalan alternatif atau strategi untuk mencapai tujuan dan beberapa
9
strategi untuk mengoreksi kesalahannya dan mengarahkan kembali dirinya
ketika perencanaan yang dibuatnya tidak berjalan. Mereka mengetahui
kelebihan-kelebihan dan kek-urangannya dan mengetahui bagaimana
cara memanfaatkannya secara produktif dan konstruktif. Siswa yang mampu
melaksanakan self regulated learning juga mampu untuk membentuk dan
mengelola perubahan (McCombs & Morzano, 1990) dalam Eva (2010).
Siswa yang belajar dengan regulasi diri bukan hanya tahu tentang apa
yang dibutuhkan oleh setiap tugas, tetapi mereka juga dapat menerapkan
strategi yang dibutuhkan. Mereka dapat membaca secara sekilas ataupun
secara seksama. Mereka dapat menggunakan berbagai strategi ingatan
atau mengorganisasikan materinya. Ketika mereka menjadi lebih knowlegeable
(memiliki/menunjukkan banyak pengetahuan, kesadaran, atau inteligensi) di
suatu bidang, mereka menerapkan banyak strategi secara otomatis. Alhasil,
mereka telah menguasai sebuah repertoar strategi dan takt ik pembelajaran
yang besar dan fleksibel (Wolfolk, 2008) dalam Eva (2010).
Seorang self regulated learner memiliki otonomi pribadi dalam mengelola
kegiatan belajarnya. Bila ditinjau dari kajian aspek diri dari Carver & Scheier
(1998) dalam Eva (2010), seorang self regulated learner termasuk aspek diri
komunal (communal) atau saling ketergantungan (interdependent), artinya segala
tindakan, nilai, dan tujuan yang dimilikinya mencerminkan apa yang ada
da lam dirinya, dan dia sendiri bertanggung jawab atas nilai dan tujuan yang
dibuatnya serta bekerjasama dengan kelompoknya untuk mencapai kemanfaatan
bersama.
Zimmerman (1999) dalam Eva (2010) menjelaskan juga bahwa self regulated
learning memiliki empat dimensi yakni motivasi (motive), metode (method), hash
kinerja (performance outcome), dan lingkungan atau kondisi sosial (environment
social). Motivasi merupakan inti dari pengelolaan diri dalam belajar, dimana melalui
motivasi siswa mau mengambil tindakan dan tanggung jawab atas kegiatan belajar yang
dia lakukan (Smith, 2001). Proses-proses pengelolaan din (self regulatory process)
yang dapat meningkatkan motivasi dalam pengelolaan din dalam belajar siswa meliputi
efikasi din (self efficacy), tujuan pribadi (self goals), nilai, dan atribusi.
Persyaratan tugas dari dimensi metode adalah memilih metode yang tepat untuk
10
meningkatkan kualitas belajarnya (Zimmerman dalam Elliot, 1999) yang dirujuk dari
Eva (2010). Atribut pengelolaan din dari dimensi metode ini adalah terjadinya
perilaku siswa yang menjadi terrencana dan terotomatisasi. Terencana karena
perilaku siswa yang melaksanakan pengelolaan diri dalam belajar dia memiliki tujuan dan
kesadaraan diri yang jelas. Terotomatisasi karena penggunaan metode belajar yang tepat dan
dilakukan secara berulang-ulang menjadi kebiasaan bagi dirinya. Metode yang dimaksud
di sini dalam berbagai penelitian disebut juga strategi belajar (learning strategies).
Strategi belajar ini meliputi pendekatan rehearsing, elaborating, modelling, dan
organizing (Purdie, Hattie & Douglas, 1996; Howard-Rose & Winne, 1993; dan Smith,
2001) yang dirujuk dari Eva (2010).
Siswa yang menggunakan metode self regulated learning memiliki kesadaran ter-
hadap hasil kinerjanya (Zimerman dalam Elliot et al., 1999) yang dirujuk dari Eva (2010).
Mereka dapat merencanakan tingkat prestasinya berdasarkan kinerja yang direncanakan.
Ada beberapa proses dalam pengelolaan diri dalam belajar yang perlu dilakukan
berkaitan dengan dimensi hasil kinerja yakni self monitoring, self judgement, dan
action control.
Tugas yang dipersyaratkan berkaitan dengan lingkungan adalah mengontrol
lingkungan fisik. Atribut regulasi din yang terdapat pada seorang self regulated learner
berkaitan dengan dimensi lingkungan adalah adanya sensitivitas siswa terhadap
lingkungan (termasuk lingkungan sosial) dan sumber daya (resource) yang terdapat di
sekitarnya. Berkaitan dengan kemampuan individu dalam mengenali sumber daya
yang terdapat pada lingkungan, Zimmerman (dalam Smith, 2002) yang
dirujuk dari Eva (2010) menggunakan istilah 'resourcefullness' yang mengacu
pada kemampuan untuk mengontrol lingkungan fisik di sekitarnya dalam hal
membatasi distraksi yang mengganggu kegiatan belajar, dan secara sukses mencari dan
menggunakan referensi dan keahlian yang diperlukan untuk menguasai apa yang dipelajari.
Resourcefullness ditandai dengan adanya keaktifan siswa dalam mencari informasi,
mengorganisir lingkungan, dan meminimalisir distraktor (Zimmerman &
Martinaz-Pons dalam Smith, 2002 yang dirujuk dari Eva (2010)). Bentuk proses
pengelolaan diri yang berkaitan dengan aspek lingkungan adalah menstruktur
lingkungan (environmental structuring) dan mencari bantuan (help seeking)
(Zimmerman dalam Elliot, 1999) dalam Eva (2010).
11
Zimmerman (1990) dalam Eva (2010) mengidentifikasi beberapa strategi belajar
yang umumnya digunakan oleh seorang self regulated learner yaitu: evaluasi diri (self
evaluation); pengorganisasian (organizing) dan pentransformasian (transforming);
menetapkan tujuan dan perencanaan (goal setting and planning); mencari informasi
(seeking information); membuat dan memeriksa catatan (keeping records and
monitoring); mengatur lingkungan (environmental structuring); konsekuensi diri (self
concequences); mengulangulang dan mengingat (rehearsing and memorizing);
mencari bantuan (seeking social assistance) kepada teman sebaya, guru, atau orang dewasa
lainnya; serta mereview catatan dan buku teks (review records).
Beberapa strategi self regulated learning tersebut terbukti sangat efisien untuk
meningkatkan prestasi belajar (Zimmerman & Martinez-Pons, 2001; Perry et al., 2007;
Pekrun et al., 2002), baik dalam bidang matematika (Camahalan, 2002; Sunawan, 2000;
Alsa, 2005), kemampuan rnenulis cerita (Graham & Harris, 1993; Santangelo et al.,
2007), kemampuan berbahasa Inggris (Pintrich & De Groot, 1990), medis (Kuiper, R.,
2005), dan teknologi informasi (Kramarski & Mizrachi, 2006; Hsiung Lee et al., 2007).
Bahkan beberapa strategi self regulated learning tersebut sangat efisien digunakan
bagi siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar sekalipun (Graham & Harris, 1999)
dalam Eva (2010).
D. Keterampilan Metakognitif sebagai bagian dari unsur pembelajar
mandiri dan problem solver
1. Pengertian Metakognitif
Metakognitif terkadang juga disebut sebagai metakognisi (Hadi, 2007).
Metakognitif diungkapkan pertama kali oleh Flavel pada tahun 1976 yang
mendatangkan banyak perdebatan dalam mendefinisikannya. Berikut ini adalah
beberapa pengertian tentang metakognitif dari beberapa ahli yang dikemukakan
dalam Corebima (2006), yaitu.
1. Kesadaran dan kontrol terhadap proses kognitif (Eggen dan Kauchak,
1996)
2. Proses mengetahui dan memonitor proses berpikir atau proses kognitif
sendiri (Arends, 1998)
12
3. Metakognisi menunjuk kepada kecakapan pebelajar sadar dan memonitor
proses pembelajarannya (Peter, 2000).
4. Pengetahuan tentang belajarnya sendiri; tentang bagaimana ia belajar dan
bagaimana ia memantau cara belajar yang dilakukannya (Flavell, Gardner
dan Alexander dalam Slavin, 1997).
Dari paparan tersebut dapat diketahui bahwa pemberdayaan keterampilan
metakognitif itu perlu dilakukan. Tujuan pengembangan keterampilan
metakognitif adalah agar siswa memahami bagaimana tugas itu dilaksanakan
(Rivers, 2001 dan Schraw, 1998 dalam Hadi, 2007). Sedangkan dari sumber yang
sama pula, Flavell, Gardner, dan Alexander dalam Slavin (1997) menyebutkan
bahwa pengembangan keterampilan metakognitif siswa ditujukan agar siswa
dapat memantau perkembangan belajarnya sendiri.
Berikut ini adalah beberapa manfaat dari keterampilan metakognitif yang
dikemukakan oleh para ahli dalam Corebima (2006).
1. Eggen dan Kauchak (1996) menyatakan bahwa pengembangan kecakapan
metakognitif pada para siswa adalah suatu tujuan pendidikan yang
berharga, karena kecakapan itu dapat membantu mereka menjadi self-
regulated learners. Self-regulated learners bertanggung jawab terhadap
kemajuan belajarnya sendiri dan mengadaptasi strategi belajarnya
mencapai tuntutan tugas.
2. Menurut Marzano (1988), manfaat metakognisi (strategi) bagi guru dan
siswa adalah menekankan monitoring diri dan tanggung jawab siswa
(monitoring diri merupakan kecakapan berpikir tinggi)
3. Susantini, dkk. (2001) menyatakan melalui metakognisi siswa mampu
menjadi pebelajar mandiri, menumbuhkan sikap jujur dan berani
melakukan kesalahan dan akan meningkatkan hasil belajar secara nyata.
4. Howard (2004) menyatakan bahwa keterampilan metakognitif diyakini
memegang peranan penting pada banyak tipe aktivitas kognitif termasuk
pemahaman, komunikasi, perhatian (attention), ingatan (memory), dan
pemecahan masalah; sejumlah peneliti yakin bahwa penggunaan strategi
yang tidak efektif adalah salah satu penyebab ketidakmampuan belajar.
13
5. Peters (2000) berpendapat bahwa keterampilan metakognitif
memungkinkan para siswa berkembang sebagai pebelajar mandiri, karena
mendorong mereka menjadi manajer atas dirinya sendiri serta menjadi
penilai atas pemikiran dan pembelajarannya sendiri.
Berdasarkan manfaat yang telah dikemukakan, maka pemberdayaan
keterampilan metakognitif sangatlah penting dalam pembelajaran. Dengan
memiliki keterampilan metakognitif, siswa akan mampu untuk menyelesaikan
tugas belajarnya dengan baik karena mereka mampu untuk merencanakan
pembelajaran, mengatur diri, dan mengevaluasi pembelajarannya.
Livingston (1997) dalam Hadi (2007) membagi pengetahuan metakognitif
menjadi 3 kategori, yaitu pengetahuan tentang variabel-variabel personal,
variabel-variabel tugas, dan variabel-variabel strategi. Pengetahuan tentang
variabel-variabel personal berkaitan dengan pengetahuan tentang bagaimana siswa
belajar dan memproses informasi serta pengetahuan tentang proses-proses belajar
yang dimilikinya. Sebagai contoh, seorang siswa sadar bahwa proses belajar lebih
produktif jika dilakukan di perpustakaan dari pada di rumah. Pengetahuan tentang
variabel-variabel tugas melibatkan pengetahuan tentang sifat tugas dan jenis
pemrosesan yang harus dilakukan untuk menyelesaikan tugas itu. Sebagai contoh,
siswa sadar bahwa membaca dan memahami teks ilmu pengetahuan memerlukan
lebih banyak waktu dari pada membaca dan memahami sebuah novel.
Pengetahuan tentang variabel-variabel strategi melibatkan pengetahuan tentang
strategi-strategi kognitif dan metakognitif serta pengetahuan kondisional tentang
kapan dan di mana strategi-strategi tersebut digunakan.
Keterampilan kognitif dan metakognitif, sekalipun berhubungan tetapi
berbeda; keterampilan kognitif dibutuhkan untuk melaksanakan tugas, sedangkan
keterampilan metakognitif diperlukan untuk memahami bagaimana tugas itu
dilaksanakan (Rivers, 2001 dan Schraw, 1998 dalam Corebima, 2006).
Indikator-indikator keterampilan metakognitif yang akan dikembangkan yaitu:
(1) mengidentifikasi tugas yang sedang dikerjakan, (2) mengawasi kemajuan
pekerjaannya, (3) mengevaluasi kemajuan ini, dan (4) memprediksi hasil yang
akan diperoleh. Selanjutnya proses-proses yang diarahkan pada pengaturan proses
berpikir juga akan membantu (1) mengalokasikan sumber daya-sumber daya yang
14
dimiliki untuk mengerjakan tugas, (2) menentukan langkah-langkah penyelesaian
tugas, dan (3) menentukan intensitas, atau (4) kecepatan dalam menyelesaikan
tugas. Indikator-indikator keterampilan metakognitif tersebut dituangkan dalam
inventori keterampilan metakognitif (Hadi, 2007). Menurut Blakey dan Spence
(2000) dalam Andayani (2008), strategi untuk mengembangkan keterampilan
metakognitif adalah sebagai berikut.
1. Mengidentifikasi “apa yang kamu ketahui” dan “apa yang tidak kamu
ketahui”
2. Membahas tentang berpikir
3. Membuat jurnal merencanakan dan pengaturan diri
4. Menjelaskan tentang proses berpikir dan evaluasi
2. Keterkaitan antara Keterampilan Metakognitif dan Kemampuan
Berpikir
Eggen dan Kauchak (1996) menyatakan bahwa berpikir tinggi dan berpikir
kritis mencakup kombinasi antara pemahaman mendalam terhadap topik-topik
khusus, kecakapan menggunakan proses kognitif dasar secara efektif, pemahaman
dan kontrol terhadap proses kognitif dasar ( metakognisi), maupun sikap serta
pembawaan (Corebima, 2006). Hal tersebut dapat dilihat pada Diagram 1 berikut
ini:
Diagram 1 Hubungan antara metakognisi dengan berpikir tinggi dan berpikir
kritis (Corebima, 2006)
15
High-orderAnd
Critical Thinking
DeepUnderstanding of Specific Topics
BasicProc
Attitudes anddisposition
Metacognition
Dari bagan hubungan di atas, nampak bahwa metakognisi juga mendukung
berpikir tinggi dan berpikir kritis. Demikian pula bahwa berpikir tinggi dan
berpikir kritis juga mempengaruhi metakognisi. Metakognitif mengacu pada
tingkat berpikir tinggi ( high order thinking) yang meliputi kontrol aktif atas
proses berpikir dalam pembelajaran
E. Pengembangan (Proses) Berpikir Dalam Pendidikan Sains
1. Science As A Way of Knowing
Sains merupakan suatu cara bertanya dan menjawab pertanyaan tentang
aspek fisis jagat raya. Sains tidak sekedar suatu kumpulan fakta atau kumpulan
jawaban tentang pertanyaan, namun lebih merupakan suatu proses melakukan
dialog berkelanjutan dengan lingkungan fisik sekitarnya. Saintis dengan keahlian
khusus, secara umum memiliki bahasa, metode-metode dan kebiasaan berpikir
(habits of mind) untuk mengkonstruk penjelasan tentang alam. Pengetahuan ini
kadanga-kadang terpisah bahkan bertentangan dengan cara mencari tahu yang biasa.
Sains memiliki peran untuk melakukan pilihan. Pengetahuan ilmiah sebagai suatu
pengetahuan disiplin, dikonstruk secara identik dan secara simbolik di alam.
Penalaran ilmiah ditandai dengan formulasi teoritis yang eksplisit yang
dapat dikomunikasikan dan diuji dengan bukti-bukti yang mendukung.
Banyak saintis berpendapat bahwa siswa tidak dapat diharapkan
untuk mengkonstruk gagasan entitas ilmiah melalui penyelidikan bebas dan tidak
dimediasi diskusi dengan sesamanya, karena siswa merupakan pemula dalam
masyarakat ilmiah. Guru sains dan penerbit buku teks seyogianya
me”match”kan cara-cara sehari-hari dengan cara-cara ilmiah untuk memahami
suatu fenomena dalam merancang dan memilih materi pembelajaran,
merancang unit-unit kurikulum dan memilih strategi pembelajaran.
Hanya sedikit pakar pendidikan sains yang akan tidak menyetujui bahwa
tujuan pembelajaran seyogianya mempromosikan pemahaman tentang proses
inkuiri dan “domain specific scientific concepts” daripada menghafal konsep,
fakta dan algoritma (Aulls & Shore, 2008). Memorisasi dengan bantuan
akumulasi fakta, konsep dan algoritma yang lambat, tidak akan menggantikan
belajar bagaimana menggunakan pengetahuan dengan cara menghubungkannya
16
untuk menginterpretasi gejala alam, dan menggeneralisasi konsep sains yang
baru kepada siswa, solusi pada masalah sains yang baru bagi siswa, dan dalam
suatu disiplin untuk menghasilkan konsep ilmiah atau teori baru.
Esensi dari hakikat sains adalah inkuiri itu sendiri. Inkuiri dalam
pembelajaran sains dapat berperan sebagai metode, sebagai pendekatan, sebagai
model pembelajaran, sebagai ”tools” untuk mengembangkan keperibadian
dengan nilai-nilai dan sikap ilmiah tercakup di dalamnya, bahkan sebagai
kemampuan yang perlu dikembangkan dan diukur perolehannya (Rustaman, et
al., 2007; Rustaman, 2010). Hubungan antarkomponen sains dengan inkuiri
digambarkan sebagai berikut (Gambar 1).
Gambar 1. Konsep Inkuiri (Beyer, 1971) dalam Eva (2010)
2. Pembelajaran Sains yang Hands-on dan Minds-on
Pembelajaran sains sejak kurikulum 1975 hingga kurikulum berbasis
kompetensi meminta siswa mengembangkan kemampuannya melalui
penggunaan metode ilmiah, kegiatan praktikum, pendekatan keterampilan proses,
pelaksanaan eksperimen, inkuiri dan pendekatan yang lainnya, termasuk
pendekatan konsep. Hal itu menunjukkan dengan jelas bahwa pembelajaran
sains hendaknya melibatkan penggunaan tangan dan alat atau manipulatif.
17
Pendekatan konsep yang ditekankan terus menerus tidak dimaksudkan dengan
memberikan konsep dalam bentuk yang sudah jadi. Dengan rumusan konsep
berupa working definition yang memberikan batas kedalaman dan keluasannya,
dimaksudkan agar pembelajaran sains di lapangan tidak diberikan dalam bentuk
definisi. Tidak terjadi proses berpikir apabila siswa belajar sains dengan mendapat
definisinya langsung.
Pendekatan konsep yang didampingi dengan pendekatan keterampilan
proses dalam pembelajaran sains dimaksudkan agar siswa mengalami
berinteraksi dengan obyek, gejala alam atau peristiwa alam, baik secara langsung
ataupun dengan alat bantu yang ada. Setelah faktanya didapatkan, siswa diajak
mendata dan mengelompokkannya, mencatatnya dalam bentuk tampilan yang
komunikatif (tabel, diagram, bagan, grafik) agar dapat dimaknai dengan cara
menginterpretasikannya, menemukan keteraturan atau polanya untuk
selanjutnya membuat dugaan berupa prediksi dan hipotesis. Pengujian prediksi
dan hipotesis dapat dilakukan di dalam atau di luar kelas, bahkan dapat dilaksanakan
di luar jam pelajaran. Pembelajaran yang demikianlah yang dimaksudkan dengan
pembelajaran yang hands-on dan minds-on.
Pada pelaksanaannya keterkaitan antara mind dengan kegiatan
manipulatif tidak selalu terjadi. Siswa melakukan kegiatan pengamatan atau
praktikum secara motorik. Alatalat inderanya tidak difungsikan secara optimal,
jawaban yang dianggap benar adalah yang tertulis di dalam buku pelajaran.
Verifikasi konsep, prinsip, hukum atau teori tidak terjadi dalam kegiatan-
kegiatan yang hands-on. Kegiatan yang memerlukan waktu, tenaga dan biaya
tak sedikit tersebut menjadi kurang bermakna.
Kegiatan demikian menjadi lebih-lebih tidak dirasakan manfaatnya oleh
siswa yang belajar sains, karena sistem pengujian yang hanya mengukur
penguasaan konsep (sesungguhnya hanya pengetahuan atau definisi-definisi).
Pencapaian anak-anak Indonesia dalam tiga periode TIMSS (Trend of
International Mathematics and Science Study) berturut-turut (1999, 2003, 2007)
selalu berada di papan bawah, begitu pula perolehan anak-anak Indonesia
tentang Scientific Literacy dalam PISA (Performance for International Student
Assessment) selama beberapa periode (tahun 2000, 2003, 2006, 2009).
18
Pencapaian anakanak Indonesia dalam olimpiade fisika internasional hanya
makin memperkuat keyakinan para pemikir pendidikan sains bahwa
pembelajaran sains perlu didudukkan pada porsi seharusnya, pada hakekat Sains
dan hakekat pendidikan sainsnya.
Pentingnya keterkaitan antara mind dan kegiatan manipulatif dikemukakan
bukan hanya oleh orang-orang ynag menekuni bidang sains dan pendidikan sains.
De Bono (1989) menekankan ada keterkaitan yang sangat erat antara thinking
and doing. Bahkan seperti telah dikemukakan di bagian depan tentang
keterkaitan antara memori dan emosi, de Bono juga menekankan pentingnya
emosi dan berpikir. Ditekankan hubungan tersebut mungkin terjadi pada saat awal
proses berpikir sebagai persepsi, saat berlangsung dengan mengenali pola atau
keteraturan, dan saat akhir berupa pengambilan keputusan. Semua itu jelas
didasarkan pada emosi atau feeling. Bilamanakah pembelajaran sains ingin
melibatkan emosi atau feeling?
Mengubah konsepsi (changing conception) sebagai ciri pembelajaran
yang merujuk pada pandangan konstruktivisme memang penting, tetapi
hampir mustahil tanpa melibatkan emosi. Situasi konflik dalam memori
dan emosi perlu diciptakan pada pembelajaran konstruktivistik. Tanpa itu
semua, pencarian makna melalui kegiatan yang hands-on dan minds-on juga
tidak akan berhasil mengubah konsepsi mereka, terlebih-lebih jika mengubah
konsepsi dilakukan terhadap mereka yang mengalami miskonsepsi karena
miskonsepsi cenderung sukar diubah.
3. Habits of minds sebagai Karakter Perilaku Cerdas Tertinggi
1. Pengertian dan Komponen-Komponen Habits of Mind
Memiliki habits of mind yang baik berarti memiliki watak berperilaku
cerdas (to behave intelligently) ketika menghadapi masalah, atau jawaban yang
tidak segera diketahui (Costa & Kallick, 2000a; Costa & Kallick, 2000b; Carter et
al., 2005). Masalah didefinisikan sebagai stimulus, pertanyaan, tugas (task),
fenomena, ketidaksesuaian ataupun penjelasan yang tidak segera diketahui. Dalam
memecahkan masalah yang kompleks, dituntut strategi penalaran, wawasan,
ketekunan, kreativitas dan keahlian siswa. Habits of mind terbentuk ketika
19
merespon jawaban pertanyaan atau masalah yang jawabannya tidak segera diketahui,
sehingga kita bisa mengobservasi bagaimana siswa mengingat sebuah
pengetahuan dan bagaimana siswa menghasilkan sebuah pengetahuan.
Kecerdasan manusia dilihat dari pengetahuan yang dimilikinya dan terlebih
penting dilihat dari cara bagaimana seorang individu bertindak (Costa & Kallick,
2000a).
Habits of mind dikembangkan melalui kerja Costa dan Kallick pada tahun
1985 dan selanjutnya dikembangkan oleh Marzano (1992) melalui Dimensions
of Learning. Pada awalnya Costa pada tahun 1985 membuat artikel mengenai
“hirarki berpikir” pada The Behaviours of Intelligence (Campbell, 2006).
Hierarki berpikir ini meliputi konsep: thinking skills (membandingkan,
mengklasifikasikan, berhipotesis); thinking strategies (memecahkan masalah,
membuat keputusan); creative thinking (membuat model, berpikir metaphorical)
dan cognitive spirit (berpandangan terbuka, mencari alternatif tidak men -
judgment). Tulisan ini kemudian direvisi tahun 1991 dalam bukunya Developing
Minds: A Resource Book for Teaching Thinking. Selanjutnya sejumlah penulis
mengembangkan hal yang sama (Marzano, 1992; Meier, 2003; Anderson, 2004;
Sizer & Meier, 2004; Campbell, 2006), Karena banyak yang mengembangkan
habits of mind, maka deskripsi habits of mind ini menjadi bermacam-macam.
Gambar 2. Interaksi Dimensi belajar (Marzano, et al., 1993) dalam Eva (2010)
20
Tugas utama siswa adalah “mengumpulkan dan mengintegrasikan
pengetahuan-nya” (acquiring and integrating knowledge) pada dimensi kedua.
Melalui dimensi ini siswa harus dapat mengintegrasikan pengetahuan baru dan
keterampilan-keterampilan yang telah diketahuinya. Disini terjadi proses
subjektif berupa interaksi dari informasi lama dan informasi baru. Kemudian
sejalan proses waktu, siswa mengembangkan pengetahuan barunya melalui
kegiatan yang membantu siswa “memperluas dan menghaluskan
pengetahuannya” (Extending and Refining Knowledge) pada dimensi ketiga, dan
pada akhir tujuan pembelajaran, siswa dapat “menggunakan pengetahuan dengan
cara bermakna” (Using Knowledge Meaningfully) (dimensi keempat). Seperti
yang terlihat dalam Gambar 2., dimensi kedua, ketiga dan keempat bekerja seperti
konser, satu sama lain tidak terpisahkan. Kelima dimensi belajar ini membentuk
kerangka yang dapat digunakan untuk mengorganisasi kurikulum, instruksi
pembelajaran dan asesmen.
Marzano (1993) membagi habits of mind ke dalam tiga kategori yaitu: self
regulation, critical thinking dan creative thinking. Self regulation meliputi: (a)
menyadari pemikirannya sendiri, (b) membuat rencana secara efektif, (c)
menyadari dan menggunakan sumbersumber informasi yang diperlukan, (d)
sensitif terhadap umpan balik dan (e) mengevaluasi keefektifan tindakan. Critical
thinking meliputi: (a) akurat dan mencari akurasi, (b) jelas dan mencari kejelasan,
(c) bersifat terbuka, (d) menahan diri dari sifat impulsif, (e) mampu
menempatkan diri ketika ada jaminan, (f) bersifat sensitif dan tahu kemampuan
temannya. Creative thinking meliputi: (a) dapat melibatkan diri dalam tugas
meski jawaban dan solusinya tidak segera nampak, (b) melakukan usaha
semaksimal kemampuan dan pengetahuannya, (c) membuat, menggunakan,
memperbaiki standar evaluasi yang dibuatnya sendiri, (d) menghasilkan cara
baru melihat situasi yang berbeda dari cara biasa yang berlaku pada umumnya.
Habits of mind memerlukan banyak keterampilan majemuk, sikap,
pengalaman masa lalu dan kecenderungan. Hal ini berarti bahwa kita menilai satu
pola berpikir terhadap yang lainnya. Oleh karena itu hal tersebut menunjukkan
bahwa kita harus memiliki pilihan pola mana yang akan digunakan pada waktu
tertentu. Termasuk juga kemampuan apa yang diperlukan untuk mengatasi
21
sesuatu di lain waktu, sehingga habits of mind dijabarkan sebagai beriku.
Pertama, value, memilih menggunakan pola perilaku cerdas daripada pola lain
yang kurang produktif; (b) Inclination, kecenderungan, perasaan dan tendensi
untuk menggunakan pola perilaku cerdas; (c). Sensitivity, tanggap terhadap
kesempatan dan kelayakan menggunakan pola perilaku; (d) Capability, memiliki
keterampilan dasar dan kapasitas dalam hubungannya dengan perilaku; (e)
Commitment adalah secara konstan berusaha untuk merefleksi dan meningkatkan
kinerja pola perilaku cerdas (Costa & Kallick, 2000a; Costa & Kallick, 2000b).
Hasil penelitian para ahli (Feuerstein, 1980; Glatthorm dan Baron, 1995;
Stemberg, 1985; Perkins, 1985; Ennis, 1985 dalam Marzano, et al., 1993) yang
meneliti tentang berpikir efektif dan berperilaku cerdas, menunjukkan bahwa ada
karakteristik khas seorang pemikir efektif. Kemampuan berpikir efektif dan
berperilaku cerdas tidak hanya dimiliki oleh para saintis, seniman, ahli
matematika ataupun orang kaya, tetapi juga dimiliki oleh tukang bengkel, guru,
pengusaha, pedagang kaki lima dan orang tua serta semua orang yang
menjalani kehidupan. Perilaku cerdas jarang tampak pada orang yang
mengisolasi diri, karena kecerdasan perilaku ini akan muncul bila digunakan
dalam menghadapi situasi kompleks yang menuntut berperilaku jamak.
Sebagai contoh seseorang yang sedang mendengarkan kuliah dengan seksama,
orang tersebut menggunakan kemampuan flexibility, metakognisi, bahasa yang tepat
dan pertanyaan-pertanyaan (Anwar, 2005).
Costa dan Kallick (2000a) mendeskripsikan 16 indikator habits of
mind yang merupakan karakteristik yang muncul ketika manusia berhadapan
dengan masalah yang pemecahannya tidak segera diketahui. Sebenarnya tidak
hanya 16 indikator ini yang ada pada kecerdasan manusia, akan tetapi lebih
banyak dari ini. Ke 16 indikator yang diajukan oleh Costa dan Kallick (2000a)
ditabelkan oleh Campbell (2006) sebagai berikut.
Tabel 1. Deskripsi dari Habits of Mind
No Habits of Mind Deskripsi1
PersistingTekun mengerjakan tugas sampai selesai. Tidak mudah menyerah
2Managing impulsivity
Menggunakan waktu untuk tidak tergesa-gesa bertindak
22
3 Listening with understanding and emphaty
Mau menerima pandangan orang lain
4Thinking flexibly
Mempertimbangkan pilihan dan dapat mengubah pandangan
5 Metacognition Berpikir tentang berpikir, Menjadi lebih peduli terhadap pikiran, perasaan dan tindakan dan memperhitungkan pengaruhnya pada yang lain
6 Striving for accuracy Menetapkan standar yang tinggi dan selalu mencari cara untuk meningkat
7 Questioning and problem posing
Menemukan pemecahan masalah. Mencari data dan jawaban
8 Applying past knowledge to new situations
Mengakses pengetahuan terdahulu dan mentranfer pengetahuan ini pada konteks baru
9 Thinking and communicating with clarity and precision
Berusaha berkomunikasi lisan dan tulisan secara akurat
10 Gathering data through all sense
Memberikan perhatian thd sekeliling melalui rasa, sentuhan, bau, pendengaran, penglihatan
11 Creating, imagining and innovating
Memiliki ide-ide dan gagasan baru
12 Responding with wonderment and awe
Mempunyai rasa ingin tahu terhadap misteri di alam
13 Taking responsible risk Mengambil resiko secara bertanggungjawab14 Finding humour Menikmati ketidaklayakan dan yang tidak
diharapkan, menyenangkan.15
Thinking interdependentlyDapat bekerja dan belajar dengan orang lain dalam tim
16 Remaining open to continuous learning
Tetap berusaha terus belajar dan menerima bila ada yang tidak diketahuinya
Apabila kita cermati indikator-indikator dari habits of mind yang
dikemukakan oleh Marzano (1993) serta Costa dan Kallick (2000a), terlihat
bahwa indikator-indikator tersebut membekali individu dalam mengembangkan
kebiasaan mental yang menjadi tujuan penting pendidikan agar siswa dapat belajar
mengenai apapun yang mereka inginkan dan mereka butuhkan untuk mengetahui
segala yang berkaitan dengan hidupnya. Bahkan Costa dan Kallick (2000) dan
Campbell (2006) mengklaim habits of mind sebagai karakteristik perilaku
berpikir cerdas yang paling tinggi dalam memecahkan masalah dan merupakan
indikator kesuksesan dalam akademik, pekerjaan dan hubungan sosial. Menurut
Sriyati (2011) sejumlah peneliti mengklaim bahwa habits of mind dapat
membantu siswa untuk melakukan self regulation dalam belajarnya dan
23
menemukan solusi dalam hubungan sosial dan tempat bekerjanya.
F. Berpikir kreatif sebagai upaya menjadi seorang problem solver
1. Pengertian berpikir kreatif
Unsur kreatif diperlukan dalam proses berpikir untuk menyelesaikan masalah.
Semakin kreatif seseorang, semakin banyak alternatif penyelesaiannya. Berpikir
merupakan instrumen psikis paling penting. Dengan berpikir, kita dapat lebih
mudah mengatasi berbagai masalah dalam hidup. Dalam proses mengatasi suatu
masalah, kita sering berpikir dengan cara berbeda-beda. Para psikolog dan ahli
logika mengenal beberapa cara berpikir. Namun, tidak semua efektif bagi proses
pemecahan masalah.
Berpikir kreatif merupakan salah satu cara yang dianjurkan. Dengan cara itu
seseorang akan mampu melihat persoalan dari banyak perspektif. Pasalnya,
seorang pemikir kreatif akan menghasilkan lebih banyak alternatif untuk
memecahkan suatu masalah. Menurut J.C. Coleman dan C.L. Hammen (1974),
berpikir kreatif merupakan cara berpikir yang menghasilkan sesuatu yang baru -
dalam konsep, pengertian, penemuan, karya seni. Sedangkan D.W. Mckinnon
(1962) menyatakan, selain menghasilkan sesuatu yang baru, seseorang baru bisa
dikatakan berpikir secara kreatif apabila memenuhi dua persyaratan.
Pertama, sesuatu yang dihasilkannya harus dapat memecahkan persoalan secara
realistis. Misalnya, untuk mengatasi kemacetan di ibukota, bisa saja seorang
walikota mempunyai gagasan untuk membuat jalan raya di bawah tanah.
Memang, gagasan itu baru, tetapi untuk ukuran Indonesia solusi itu tidak realistis.
Dalam kasus itu, sang walikota belum dapat dikatakan berpikir secara kreatif.
Kedua, hasil pemikirannya harus merupakan upaya mempertahankan suatu
pengertian atau pengetahuan yang murni. Dengan kata lain, pemikirannya harus
murni berasal dari pengetahuan atau pengertiannya sendiri, bukan jiplakan atau
tiruan. Misalnya, seorang perancang busana mampu menciptakan rancangannya
yang unik dan mempesona. Perancang itu dapat disebut kreatif kalau rancangan
itu memang murni idenya, bukan mencuri karya atau gagasan orang lain.
24
Menurut ahli lain, Dr. Jalaludin Rakhmat (1980) untuk bisa berpikir secara kreatif,
si pemikir sebaiknya berpikir analogis.
Jadi, proses berpikirnya dengan cara menganalogikan sesuatu dengan hal lain
yang sudah dipahami. Kalau menurut pemahaman si pemikir, kesuksesan adalah
keberhasilan mencapai suatu tujuan, maka saat ia berpikir tentang kesuksesan,
ciri-ciri berupa "berhasil mencapai tujuan" menjadi unsur yang
dipertimbangkan.Misalnya, seseorang dikatakan sukses bila ia dengan bekerja
keras telah berhasil mencapai tujuan yang ditetapkan. Tanpa tujuan yang jelas
sulit bagi seseorang untuk bisa sukses. Namun, karena setiap orang mempunyai
tujuan berbeda, maka standar kesuksesan setiap orang pun berbeda. Di samping
berpikir secara analogis, untuk berpikir secara kreatif, si pemikir juga harus
mengoptimalkan imajinasinya untuk mereka-reka berbagai hubungan dalam suatu
masalah. Dengan ketajaman imajinasi, kita dapat melihat hubungan yang mungkin
tidak terlihat oleh orang lain. Contohnya, Einstein melihat hubungan antara
energi, kecepatan, dan massa suatu benda. Newton melihat hubungan antara apel
jatuh dan gaya tarik bumi. Seorang pemuda Indonesia Baruno melihat hubungan
antara keahliannya membuat kerajinan tangan dengan enceng gondok, sandal, dan
uang.
2. Lima tahap berpikir
Agar mampu berpikir secara kreatif, pikiran harus dioptimalkan pada setiap
tahap yang dilalui. Lima tahap pemikiran ialah orientasi, preparasi, inkubasi,
iluminasi, dan verifikasi.
Pada tahap orientasi masalah, si pemikir merumuskan masalah dan
mengindentifikasi aspek-aspek masalah tersebut. Dalam prosesnya, si pemikir
mengajukan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan masalah yang tengah
dipikirkan.
Pada tahap selanjutnya, preparasi, pikiran harus mendapat sebanyak mungkin
informasi yang relevan dengan masalah tersebut. Kemudian informasi itu diproses
secara analogis untuk menjawab pertanyaan yang diajukan pada tahap orientasi. Si
pemikir harus benar-benar mengoptimalkan pikirannya untuk mencari pemecahan
masalah melalui hubungan antara inti permasalahan, aspek masalah, serta
informasi yang dimiliki.
25
Pada tahap inkubasi, ketika proses pemecahan masalah menemui jalan buntu,
biarkan pikiran beristirahat sebentar. Sementara itu pikiran bawah sadar kita akan
terus bekerja secara otomatis mencari pemecahan masalah. Proses inkubasi yang
tengah berlangsung itu akan sangat tergantung pada informasi yang diserap oleh
pikiran. Semakin banyak informasi, akan semakin banyak bahan yang dapat
dimanfaatkan dalam proses inkubasi.
Pada proses keempat, yakni iluminasi, proses inkubasi berakhir, karena si
pemikir mulai mendapatkan ilham serta serangkaian pengertian (insight) yang
dianggap dapat memecahkan masalah. Pada tahap ini sebaiknya diupayakan untuk
memperjelas pengertian yang muncul. Di sini daya imajinasi si pemikir akan
memudahkan upaya itu.
Pada tahap terakhir, yakni verifikasi, si pemikir harus menguji dan menilai
secara kritis solusi yang diajukan pada tahap iluminasi. Bila ternyata cara yang
diajukan tidak dapat memecahkan masalah, si pemikir sebaiknya kembali
menjalani kelima tahap itu, untuk mencari ilham baru yang lebih tepat.
Coleman & Hammen mengungkapkan, ada tiga faktor yang secara umum
dapat ikut menunjang cara berpikir kreatif.
Pertama, kemampuan kognitif. Seseorang harus mempunyai kecerdasan tinggi. Ia
harus secara terus-menerus mengembangkan intelektualitasnya.
Kedua, sikap terbuka. Cara berpikir kreatif akan tumbuh apabila seseorang
bersikap terbuka pada stimulus internal dan eksternal. Sikap terbuka dapat
dikembangkan dengan memperluas minat dan wawasan.
Ketiga, sikap bebas, otonom, dan percaya diri. Berpikir secara kreatif
membutuhkan kebebasan dalam berpikir dan berekspresi. Juga memerlukan
kemandirian berpikir, tidak terikat pada otoritas dan konvensi sosial yang ada.
Yang terpenting, ia percaya pada kemampuan dirinya. Seseorang yang
mempunyai tingkat kreativitas tinggi, sering kali menghasilkan pemikiran atau
gagasan luar biasa, aneh, terkadang dianggap tidak rasional. Bahkan, karena
keluarbiasaan itu, tidak sedikit orang kreatif dianggap "gila".
Menurut Jalal, ada kesamaan antara orang kreatif dengan orang gila, karena cara
berpikirnya tidak konvensional. Bedanya, orang kreatif mampu melakukan
26
loncatan pemikiran yang menimbulkan pencerahan atau pemecahan masalah.
Sementara orang gila tidak mampu melakukannya.
G. Pendidikan karakter
1. Pengertian Karakter
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang
yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang
diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir,
bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan
norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat
kepada orang lain. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan
karakter masyarakat dan karakter bangsa. Koesoema, A. D. (2007)
dalam Susetyo Hario Putero (2008) yang dirujuk dari Agil (2011)
mengatakan bahwa karakter merupakan struktur antropologis manusia.
Pendidikan karakter akan memberikan bantuan sosial agar individu dapat
tumbuh dalam menghayati kebebasannya dalam hidup bersama dengan
orang lain di dunia. Pendidikan karakter di Indonesia telah lama berakar
dalam tradisi pendidikan.
Menurut Hidayatullah (2010:13) dalam Agil (2011) karakter adalah
kualitas atau kekuatan mental atau moral, akhlak atau budi pekerti
individu yang merupakan kepribadian khusus yang menjadi pendorong
dan penggerak, serta membedakan dengan individu lain. Dengan demikian dapat
di kemukakan juga bahwa karakter pendidik adalah kualitas mental atau kekuatan
moral, akhlak, atau budi pekerti pendidik yang merupakan kepribadian khusus yang
harus melekat pada pendidik dan yang menjadi pendorong dan penggerak
dalam melakukan sesuatu.
Khan (2010:2) dalam Agil (2011) menjelaskan terdapat empat jenis
karakter yang selama ini di laksanakan dalam proses pendidikan, yaitu
sebagai berikut.
1. Pendidikan karakter berbasis nilai budaya, antara yang merupakan
kebenaran wahyu Tuhan (konservasi moral)
2. Pendidikan karakter berbasis budaya, antara lain yang berupa budi pekerti,
27
pancasila, apresasi sastra, keteladanan tokoh-tokoh sejarah dan para pemimpin
bangsa (konservasi lingkungan)
3. Pendidikan karakter berbasis lingkungan (konservasi lingkungan)
4. Pendidikan karakter berbasis potensi diri, yaitu sikap pribadi, hasil proses
kesadaran pemberdayaan potensi dari yang diarahkan untuk meningkatkan
kualitas pendidikan (konservasi humanis)
2. Pentingnya Pendidikan Karakter
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan
pendidikan nasional yang harus digunakan dal am mengembangkan upaya
pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan, “Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab”.
Lickona (1992) dalam Suyanto (2010) yang dirujuk dari Agil (2011)
menjelaskan beberapa alasan perlunya Pendidikan karakter, di antaranya: (1)
Banyaknya generasi muda saling melukai karena lemahnya kesadaran pada
nilai-nilai moral, (2) Memberikan nilai-nilai moral pada generasi muda
merupakan salah satu fungsi peradaban yang paling utama, (3) Peran sekolah
sebagai pendidik karakter menjadi semakin penting ketika banyak anak-anak
memperoleh sedikit pengajaran moral dari orangtua, masyarakat, atau
lembaga keagamaan, (4) masih adanya nilai -nilai moral yang secara
universal masih diterima seperti perhatian, kepercayaan, rasa hormat, dan
tanggungjawab, (5) Demokrasi memiliki kebutuhan khusus untuk
pendidikan moral karena demokrasi merupakan peraturan dari, untuk dan
oleh masyarakat, (6) Tidak ada sesuatu sebagai pendidikan bebas nilai.
Sekolah mengajarkan pendidikan bebas nilai. Sekolah mengajarkan nilai-
nilai setiap hari melalui desain ataupun tanpa desain, (7) Komitmen pada
28
pendidikan karakter penting manakala kita mau dan terus menjadi guru yang
baik, dan (8) Pendidikan karakter yang efektif membuat sekolah lebih
beradab, peduli pada masyarakat, dan mengacu pada performansi akademik
yang meningkat.
Alasan-alasan di atas menunjukkan bahwa pendidikan karakter sangat
perlu ditanamkan sedini mungkin untuk mengantisipasi persoalan dimasa
depan yang semakin kompleks seperti semakin rendahnya perhatian dan
kepedulian anak terhadap lingkungan sekitar, tidak memiliki tanggungjawab,
rendahnya kepercayaan diri, dan lain-lain. Untuk mengetahui lebih jauh
tentang apa yang dimaksud dengan pendidikan karakter, Lickona dalam
Elkind dan Sweet (2004) dalam Agil (2011) menggagas pandangan bahwa
pendidikan karakter adalah upaya terencana untuk membantu orang untuk
memahami, peduli, dan bertindak atas nilai-nilai etika/ moral. Pendidikan
karakter ini mengajarkan kebiasaan berpikir dan berbuat yang membantu
orang hidup dan bekerja bersama-sama sebagai keluarga, teman, tetangga,
masyarakat, dan bangsa.
3. Nilai-nilai Karakter dalam Pembelajaran
Berikut ini nilai-nilai karakter yang dapat dikembangkan oleh guru:
Gambar 3 Nilai-nilai Luhur dan Perilaku Berkarakter (Sumber : Tim Pendidikan Karakter
Kemendiknas. 2010 dalam Agil (2011))
Ada banyak kualitas karakter yang harus dikembangkan, namun untuk
memudahkan pelaksanaan, IHF mengembangkan konsep pendidikan 9 pilar
karakter yang merupakan nilai-nilai luhur universal (lintas agama, budaya
29
dan suku). Diharapkan melalui internalisasi 9 pilar karakter ini, para siswa
akan menjadi manusia yang cinta damai, tanggung jawab, jujur, dan
serangkaian akhlak mulia lainnya. Ada pun nilai-nilai 9 pilar karakter terdiri
dari:
Cinta Tuhan dan alam semesta beserta isinya
Tanggung jawab, Kedisiplinan, dan Kemandirian
Kejujuran
Hormat dan Santun
Kasih Sayang, Kepedulian, dan Kerjasama
Percaya Diri, Kreatif, Kerja Keras, dan Pantang Menyerah
Keadilan dan Kepemimpinan
Baik dan Rendah Hati
Toleransi, Cinta Damai, dan Persatuan
Berikut ini merupakan nilai karakter berdasarkan mata pelajaran dan
jenjang pendidikan yang dirumuskan oleh Tim Pendidikan Karakter
Kemendiknas (2010) dalam Agil (2011)
30
4. Peran Guru Biologi dalam Membangun Karakter Siswa
Pendidik itu bisa guru, orangtua atau siapa saja, yang penting ia
memiliki kepentingan untuk membentuk pribadi peserta didik atau anak.
Peran pendidik pada intinya adalah sebagai masyarakat yang belajar dan
bermoral. Lickona, Schaps, dan Lewis (2007) serta Azra (2006) dalam
Agil (2011) menguraikan beberapa pemikiran tentang peran pendidik, di
antaranya:
1. Pendidik perlu terlibat dalam proses pembelajaran, diskusi, dan
mengambil inisiatif sebagai upaya membangun pendidikan karakter
2. Pendidik bertanggungjawab untuk menjadi model yang memiliki
31
nilainilai moral dan memanfaatkan kesempatan untuk
mempengaruhi siswa-siswanya. Artinya pendidik di lingkungan sekolah
hendaklah mampu menjadi “uswah hasanah” yang hidup bagi setiap peserta
didik. Mereka juga harus terbuka dan s iap untuk mendiskusikan
dengan peserta didik tentang berbagai nilai -nilai yang baik tersebut.
3. Pend id ik pe r lu member ikan pemahaman bahwa karakter siswa
tumbuh melalui kerjasama dan berpartisipasi dalam mengambil
keputusan
4. Pendidik perlu melakukan refleksi atas masalah moral berupa pertanyaan-
pertanyaan rutin untuk memastikan bahwa siswa-siswanya mengalami
perkembangan karakter.
5. Pendidik perlu menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada peserta didik secara
terus menerus tentang berbagai nilai yang baik dan yang buruk.
Hal-hal lain yang pendidik dapat lakukan dalam implementasi pendidikan
karakter (Djalil dan Megawangi , 2006) adalah: (1) pendidik perlu menerapkan metode
pembelajaran yang melibatkan partisipatif aktif siswa, (2) pendidik perlu menciptakan
lingkungan belajar yang kondusif, (3) pendidik perlu memberikan pendidikan karakter
secara eksplisit, sistematis, dan berkesinambungan dengan melibatkan aspek
knowing the good, loving the good, and acting the good, dan (4) pendidik perlu
memperhatikan keunikan siswa masing-masing dalam menggunakan metode
pembelajaran, yaitu menerapkan kurikulum yang melibatkan 9 aspek kecerdasan manusia.
Agustian (2007) dalam Agil (2011) menambahkan bahwa pendidik perlu mel ati h
dan membentuk karakter anak melalui pengulangan-pengulangan sehingga terjadi
internalisasi karakter, misalnya mengajak siswanya melakukan shalat secara konsisten.
Berdasarkan penjelasan di atas, saya (Agil: 2011) mencoba
mengkategorikan peran pendidik di setiap jenis lembaga pendidikan dalam
membentuk karakter siswa. Dalam pendidikan formal dan non formal, pendidik (1)
harus terlibat dalam proses pembelajaran, yaitu melakukan in te raks i dengan
s i swa da lam mendiskusikan materi pembelajaran, (2) harus menjadi contoh
tauladan kepada siswanya dalam berprilaku dan bercakap, (3) harus mampu mendorong
siswa aktif dalam pembelajaran melalui penggunaan metode pembelajaran yang
variatif, (4) harus mampu mendorong dan membuat perubahan sehingga
32
kepribadian, kemampuan dan keinginan guru dapat menciptakan hubungan yang
saling menghormati dan bersahabat dengan siswanya, (5) harus mampu membantu
dan mengembangkan emosi dan kepekaan sosial siswa agar siswa menjadi lebih
bertakwa, menghargai ciptaan lain, mengembangkan keindahan dan belajar soft skills
yang berguna bagi kehidupan siswa selanjutnya, dan (6) harus menunjukkan
rasa kecintaan kepada siswa sehingga guru dalam membimbing siswa yang sulit tidak
mudah putus asa.
Berangkat dengan upaya-upaya yang pendidik lakukan sebagaimana
disebut di atas, diharapkan akan tumbuh dan berkembang karakter kepribadian yang
memiliki kemampuan unggul diantaranya: (1) karakter mandiri dan unggul, (2)
komitmen pada kemandirian dan kebebasan, (3) konflik bukan potensilaten, melainkan
situasi monumental dan lokal, (4) signifikansi Bhinneka Tunggal Ika, dan (5) mencegah
agar stratifikasi sosial identik dengan perbedaan etnik dan agama (Jalal dan Supriadi, 2001:
49-50 dalam Agil (2011)).
33
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kesimpulan yang didapatkan dari pembahasan di atas adalah:
1. Tujuan Pembelajaran Biologi secara ringkas ada dalam pembahasan dan
semuanya memuat unsur pembelajar mandiri, berpikir kreatif untuk
memecahkan masalah (problem solver), pengembangan metakognitif dan
membangun karakter siswa.
2. Agar tujuan pembelajaran tercapai maka diperlukan suatu upaya/ strategi
dalam mencapainya. Sebagai contoh untuk menuju pembelajar mandiri
diperlukan strategi self regulated learning dimana unsur metakognitif lebih
banyak dikembangkan, untuk menuju seorang problem solver harus
mengembangkan berpikir kreatif dan mengembangkan pembelajaran yang
hands-on dan mind-on serta mengembangkan habit of mind (perilaku cerdas)
dan tak lupa juga yang terpenting adalah tujuan pembelajaran yang dapat
mengembangkan/ menumbuhkan/ menanamkan karakter pada siswa.
3. Upaya yang dapat dilakukan oleh seorang pendidik untuk mengembangkan
karakter dalam pembelajaran adalah pendidik (1) harus terlibat dalam proses
pembelajaran, yaitu melakukan in te raks i dengan s i swa da lam
mendiskusikan materi pembelajaran, (2) harus menjadi contoh tauladan kepada
siswanya dalam berprilaku dan bercakap, (3) harus mampu mendorong siswa aktif
dalam pembelajaran melalui penggunaan metode pembelajaran yang variatif, (4)
harus mampu mendorong dan membuat perubahan sehingga kepribadian,
kemampuan dan keinginan guru dapat menciptakan hubungan yang saling
menghormati dan bersahabat dengan siswanya, (5) harus mampu membantu dan
mengembangkan emosi dan kepekaan sosial siswa agar siswa menjadi lebih
bertakwa, menghargai ciptaan lain, mengembangkan keindahan dan belajar soft
skills yang berguna bagi kehidupan siswa selanjutnya, dan (6) harus
menunjukkan rasa kecintaan kepada siswa sehingga guru dalam membimbing siswa
yang sulit tidak mudah putus asa.
34
B. SARAN
Sebaiknya pembelajaran di sekolah saat ini harus menanamkan pendidikan
karakter pada siswa dan menjadikan siswa menjadi seorang pembelajar
mandiri dan problem solver yang mampu mengembangkan kemampuan
metakognitifnya untuk dapat bersaing dan mempertahankan eksistensinya di
dunia.
35
DAFTAR PUSTAKA
(Anonim a, tanpa tahun dalam Habibah, 2008).Corebima, A.D. 2006. Metakognisi: Satu Ringkasan Kajian. Makalah Disampaikan pada Pelatihan Strategi Metakognitif pada Pembelajaran Biologi untuk Guru-Guru Biologi di SMA di Kota Palangkaraya. 23 Agustus 2006
Corebima, A.D. dan Agil Al Idrus. 2006. Pemberdayaan dan Pengukuran Kemampuan Berpikir pada Pembelajaran Biologi. Makalah Disampaikan pada 3rd International Conference on Measurement and Evaluation in Education yang Diselenggarakan oleh USM di Penang-Malaysia. 13-15 Februari 2006
Habibah, K. N. 2008. Pengaruh Strategi Pembelajaran PBMP (Pemberdayaan Berpikir Melalui Pertanyaan)+TPS (Think Pair Share) terhadap Kemampuan Berpikir, Keterampilan Metakognitif, dan Pemahaman Konsep Siswa Kelas VII di SMPN 4 Malang pada Kemampuan Akademik Berbeda. Skripsi (Tidak diterbitkan). Malang: Universitas Negeri Malang
Hadi, S. 2007. Pengaruh Strategi Pembelajaran Cooperative Script terhadap Keterampilan Berpikir Kritis, Keterampilan Kognitif Biologi pada Siswa SMA Laboratorium Universitas Negeri Malang. Tesis (Tidak diterbitkan). Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang.
Hidayat 2009, pengembangan media pembelajran, Universitas Pendidikan Indonesia : Bandung (http://repository.upi.edu/operator/upload/d_pls_057230_chapter2.pdf)
Lepiyanto, Agil. 2011. Membangun Karakter Siswa Dalam Pembelajaran Biologi. Jurnal Bioedukasi, (Online), 2 (1): 73-80, (http://www.ummetro.ac.id/file_jurnal/8.Agil%20Lepiyanto%20UM.pdf), diakses 31 Januari 2013.
Latipah, Eva. 2010. Strategi Self Regulated Learning dan Prestasi Belajar: Kajian Meta Analisis. Jurnal Psikologi, (Online), 37 (1): 110-128, (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30413/4/Chapter%20II.pdf), diakses 31 Januari 2013.
Nhiro, 2010, Konsep Belajar Mandiri Siswa Pada Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (Pai) Kelas Xi Cerdas Internasional Di Sma Negeri 3 Pontianak Tahun Ajaran 2009,http://nhiro-nhiro.blogspot.com/2010/10/konsep-belajar-mandiri-siswa-pada.html.
Raymerta,2010, berpikir belajar, http://raymerta.blogs.friendster.com/complicated_mind/2007/10/berpikir_belaja.html
36