bab v.docx
TRANSCRIPT
BAB V
PEMBAHASAN
Dewasa ini penggunaan bahan alam sebagai bahan obat berkembang pesat
seiring dengan banyaknya penelitian dan penemuan mengenai cara-cara isolasi
dan ekstraksi dari senyawa aktif dalam tumbuhan. Dalam praktikum ini akan
dilakukan percobaan untuk ekstraksi senyawa aktif tumbuhan tertentu yang
berkhasiat obat. Percobaan dilakukan mulai dari pengambilan sampel, kemudian
ekstraksi dan identifikasi senyawa kimia yang terdapat pada ekstrak tersebut
dengan metode Kromatografi Lapis Tipis dan dengan menggunakan pereaksi
kimia. Sampel tumbuhan yang digunakan dalam percobaan ini adalah Daun Dewa
(Gynura pseudochina) dan Korteks Bidara Laut (Strychnos Ligustrina).
Daun Dewa diambil dengan cara dipetik langsung, diambil dari daun kelima
dari pucuk hingga daun yang tidak kuning. Pengambilan daun pada bagian ini
dikarenakan pada daun kelima dari pucuk hingga daun yang belum kuning
diperkirakan sudah cukup tua, sehingga diharapkan kandungan kimia di dalam
daun tersebut sudah cukup banyak. Sedangkan Korteks Bidara Laut yang diambil
adalah pada tanaman yang dianggap sudah cukup umur
Kemudian kedua sampel dicuci hingga bersih dengan air mengalir dan
kemudian dikeringkan dengan cara diangin-anginkan. Setelah kering sampel
dipotong kecil-kecil dengan tujuan untuk memudahkan molekul-molekul air yang
terdapat dalam dalam sel tumbuhan dapat menguap dengan mudah.
Penghilangan molekul-molekul air ini dilakukan karena air merupakan
medium yang mudah ditumbuhi mikroba atau jamur. Keberadaan mikroba atau
jamur ini nantinya dapat mengganggu hasil ekstraksi senyawa aktif dari sampel.
Selain itu tujuan dari pengeringan ini dilakukan juga dimaksudkan untuk
mencegah terjadi reaksi enzimatis di dalam sel, dimana reaksi enzimatis ini dapat
berlangsung bila simplisia mengandung air dengan jumlah lebih dari 10 %. Proses
pengeringan ini berlangsung selama ± 2 minggu.
Dalam proses pengolahan sampel terdapat dua jenis sortasi yang dilakukan
yaitu sortasi basah dan sortasi kering. Sortasi basah dilakukan pada sampel yang
baru diambil dari habitatnya dimaksudkan untuk memisahkan simplisia yang utuh
dan layak untuk di ekstraksi dengan bagian tanaman lain yang tidak dibutuhkan
serta kotoran dan benda asing seperti tanah, pasir serta kerikil. Sortasi yang kedua,
yaitu sortasi kering yang dilakukan pada saat sampel telah dikeringkan untuk
selanjutnya dapat diekstraksi dengan metode yang sesuai.
Setelah itu sampel diserbukkan hingga mencapai derajat halus sehingga
dapat diekstraksi. Adapun tujuan dari proses ekstraksi ini adalah untuk menarik
komponen kimia yang terdapat dalam simplisia. Esktraksi yang dilakukan
disesuaikan dengan sifat kimia fisika dari sampel dan juga tergantung dari zat
yang dikandungnya. Pada percobaan ini dilakukan ekstraksi dengan cara maserasi
dan refluks. Dimana maserasi untuk sampel daun dewa dan refluks untuk korteks
bidara laut. Maserasi adalah penyarian zat aktif yang dilakukan dengan cara
merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari yang sesuai selama tiga hari
pada temperatur kamar terlindung dari cahaya, tetapi pada percobaan kali ini
proses maserasi hanya dilakukan selama 3 x 24 jam dan, karena dianggap sudah
mampu mengekstraksi komponen kimia di dalam daun dewa (Gynura
pseudochina) dan diganti cairan penyari tiap 1 x 24 jam. Proses ekstrasi yang
terjadi yaitu cairan penyari akan masuk ke dalam sel melewati dinding sel dan
masuk kedalam rongga yang mengandung zat aktif, kemudian zat aktif akan larut
dank arena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel
dengan yang diluar sel, maka larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak
keluar dan diganti oleh cairan penyari dengan konsentrasi rendah ( proses difusi ).
Peristiwa tersebut berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara
larutan di luar sel dan di dalam sel. Setelah proses maserasi selesai, kemudian di
saring dengan kain putih. Digunakan kain putih agar ekstrak tidak terkontaminasi
pewarna dari kain. Digunakan pula larutan penyari metanol, karena metanol
bersifat semipolar sehingga dapat menarik komponen kimia yang bersifat polar
maupun nonpolar pada daun dewa. Kemudian ekstrak metanol tersebut
dikeringkan hingga larutan penyari menguap. Dari hasil percobaan ini diperoleh
hasil ekstrak 2,692 g.
Untuk sampel korteks bidara laut, karena mempunyai tekstur yang keras
maka untuk mengekstraksi komponen kimia yang ada di dalamnya dilakukan
ekstraksi dengan cara refluks. Refluks adalah penarikan komponen kimia yang
dilakukan dengan cara sampel dimasukkan ke dalam labu alas bulat bersama-sama
dengan cairan penyari lalu dipanaskan, uap-uap cairan penyari terkondensasi pada
kondensor bola menjadi molekul-molekul cairan penyari yang akan turun kembali
menuju labu alas bulat dan akan menyari kembali sampel yang berada pada labu
alas bulat, demikian seterusnya berlangsung secara berkesinambungan sampai
penyarian sempurna, penggantian pelarut dilakukan sebanyak 3 kali setiap 3-4
jam. Dari sini diperoleh ekstrak 1,36 g.
Kemudian setelah dilakukan ekstraksi maka selanjutnya ialah partisi,
dimana partisi ini terbagi 2 yaitu partisi cair-cair dan partisi cair-padat. Prinsip
dari partisi cair-cair adalah Ekstraksi cair-cair (corong pisah) merupakan
pemisahan komponen kimia di antara 2 fase pelarut yang tidak saling bercampur
di mana sebagian komponen larut pada fase pertama dan sebagian larut pada fase
kedua, lalu kedua fase yang mengandung zat terdispersi dikocok, lalu didiamkan
sampai terjadi pemisahan sempurna dan terbentuk dua lapisan fase cair, dan
komponen kimia akan terpisah ke dalam kedua fase tersebut sesuai dengan tingkat
kepolarannya dengan perbandingan konsentrasi yang tetap.
Pada partisi ekstraksi cair-cair digunakan sampel daun dewa. Dimana,
pertama-tama disiapkan alat dan bahan, kemudian ditimbang ekstrak metanol
sebanyak 1 g, ditambahkan heksan dan air dengan perbandingan 3:1 (15 ml : 5
ml). Digunakan heksan sebagai pelarut non polar untuk menarik komponen kimia
yang bersifat non polar dan digunakan air untuk menarik komponen yang bersifat
polar. Karena sebelumnya kita telah ketahui bahwa sifat dari komponen kimia dari
tumbuhan yaitu ”like dissolve like”. Setelah itu, dimasukkan ke dalam corpis,
dikocok satu arah. Diamkan ± 5 menit sampai terjadi pemisahan antara heksan
dan air. Kemudian diambil lapisan hexan dan ditampung dalam cawan porselin.
Sisa air dalam corpis kemudian ditambahkan lagi hexan sebanyak 15 ml,
didiamkan sama dengan perlakuan sebelumnya, kemudian diambil lapisan hexan
dan ditampung kembali bdalam cawan porselin,begitu seterusnya hingga lapisan
hexan jernih yang menandakan bahwa tidak ada lagi komponen kimia yang larut
dalam pelarut hexan. Diuapkan dan ditimbang bobot ekstrak non polar. Untuk
lapisan air yaitu berisi komponen kimia yang larut pada pelarut non polar disari
lagi dengan menggunakan pelarut butanol, sifat butanol ini hampir mirip dengan
air karena bersifat polar. Tidak digunakannya air karena, air tidak mudah
menguap dan merupakan media pertumbuhan mikroba yang baik, maka dari itu
digunakanlah pelarut polar yang mudah menguap, yaitu butanol. Pertama-tama
butanol dijenuhkan terhadap air lebih dahulu, agar kemungkinan butanol mengikat
air tidak ada. Kemudian butanol jenuh air tersebut ditambahkan dalam corpis yang
berisi air. Kemudian dikocok satu arah, didiamkan selama ± 5 menit. Diambil
bagian butanol dan ditampung ke dalam cawan porselen. Ditambahkan lagi
butanol sebanyak 15 ml kedalam corpis yang berisi air, dikocok. Didiamkan
hingga terpisah dan dilakukan hal yang sama sperti perlakuan sebelumnya.
Ditambahkan butanol terus-menerus hingga butanol terlihat jernih, yang
menandakan bahwa tidak ada lagi komponen kimia yang larut dalam butanol. Di
keringkan dan ditimbang ekstrak polar. Dari proses partisi ini, diperoleh ekstrak
daun dewa larut Hexan 0,655 g dan larut Butanol 0,81 g.
Lain halnya dengan sampel bidara laut, dilakukan partisi cair-padat. Prinsip
dari ekstraksi cair padat yaitu penarikan komponen kimia pada suatu sampel
dengan menggunakan satu pelarut yang pelarutannya dilakukan secara terpisah
dimana komponen kimia akan terlarut dalam pelarut dengan cepat dengan bantuan
sentrifuge berdasarkan gaya sentrifugal. Adapun cara kerja dari partisi cair-padat
ini yaitu pertama-tama disiapkan alat dan bahan, kemudian ditimbang ekstrak
methanol 0,8 g dimasukkan dalam lumping. Ditambahkan n-heksan 20 ml lalu
digerus selama ± 5 menit. Kemudian larutan n-heksan disentrifugasi selama ± 10
menit. Kemudian ditampung larutan n-heksan pada cawan porselen. Ditambahkan
lagi pelarut n-heksan ke dalam lumpang sambil digerus sampai larutan hexan yang
jernih. Sehingga diperoleh dua larutan yaitu ekstrak yang larut heksan dan ekstrak
yang tidak larut heksan. Kemudian masing-masing ditimbang bobot ekstrak. Dari
sini diperoleh ekstrak korteks Bidara Laut larut Hexan 0,192 g dan tidak larut
Hexan 0,682 g.
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) adalah suatu metode analisis yang
digunakan untuk memisahkan suatu campuran senyawa secara cepat dan
sederhana. Penggunaan kromatografi sangat membantu dalam pendeteksian
senyawa metabolit sekunder dan dapat dijadikan sebagai patokan untuk proses
pengerjaan berikutnya dalam menentukan struktur senyawa. Prinsipnya atas dasar
perbedaan adsorpsi atau partisi oleh fase diam di bawah gerakan pelarut
pengembang. Bahan adsorben sebagai fasa diam dapat digunakan silika gel,
alumina dan serbuk selulosa. Partikel selika gel mengandung gugus hidroksil pada
permukaannya yang akan membentuk ikatan hidrogen dengan molekul polar air.
Fase diam untuk kromatografi lapis tipis seringkali juga mengandung substansi
yang mana dapat berpendarflour dalam sinar ultra violet. Fase gerak merupakan
pelarut atau campuran pelarut yang sesuai.
Sebelum mentotolkan sampel ke plat KLT, terlebih dahulu dibuat batas atas
dan batas bawah dengan menggunakan pensil. Hal ini bertujuan untuk mengetahui
dimana pentetesan sampel itu, dalam penandaan tidak digunakan tinta karena
pewarna dari tinta akan bergerak selayaknya kromatogram dibentuk. Hal ini dapat
mempengaruhi proses pengelusian senyawa sampel.
Di dalam chamber diisi dengan eluen, dimana untuk setiap sampel memiliki
eluen dengan campuran yang berbeda yaitu untuk Daun Dewa dielusi
menggunakan etil asetat : metanol (10:1) dan Bidara Laut dielusi menggunakan
hexan : etil asetat (1:10) . Eluen tersebut terlebih dahulu dijenuhkan. Dalam hal
ini chamber ditutup rapat dengan tujuan agar meyakinkan bahwa atmosfer dalam
gelas kimia terjenuhkan denga uap pelarut. Penjenuhan udara dalam gelas kimia
dengan uap menghentikan penguapan pelarut sama halnya dengan pergerakan
pelarut dalam KLT. Untuk mendapatkan kondisi ini, dalam gelas kimia biasanya
ditempatkan beberapa kertas saring yang terbasahi oleh pelarut.
Eluent dapat digolongkan menurut ukuran kekuatan teradsorpsinya pelarut
atau campuran pelarut tersebut pada adsorben dan dalam hal ini yang banyak
digunakan adalah jenis adsorben alumina atau sebuah lapis tipis silika.
Penggolongan ini dikenal sebagai deret eluotropik pelarut. Suatu pelarut yang
bersifat larutan relatif polar, dapat mengusir pelarut yang relatif tak polar dari
ikatannya dengan alumina (jel silika).
Setelah chamber jenuh maka plat KLT dimasukan kedalam chamber, ketika
pelarut mulai membasahi plat/lempengan, pelarut pertama-tama akan melarutkan
senyawa-senyawa dalam bercak yang telah ditempatkan pada garis
dasar. Senyawa-senyawa akan cenderung bergerak pada lempengan kromatografi
sebagaimana halnya pergerakan pelarut. Disini akan kita liahat mulai akan ada
bercak terpisah-pisah, ini dikarenakan setelah sampel dilarutkan eluen maka
sampel akan ikut berinteraksi juga dengan silika yang ada di lempeng. Senyawa
yang terperangkap dibagian paling bawah menunjukan bahwa senyawa tersebut
paling tinggi kepolarannya, Senyawa ini dapat membentuk ikatan hidrogen yang
akan melekat pada silika lebih kuat disbanding senyawa lainnya. Kita dapat
mengatakan bahwa senyawa ini terjerap lebih kuat dari senyawa yang lainnya.
Penjerapan merupakan pembentukan suatu ikatan dari satu substansi pada
permukaan.
Eluen yang digunakan merupakan kombinasi dari dua atau tiga macam
pelarut, hal ini dimaksudkan untuk mencapai semua tingkat kepolaran sehingga
diharapkan eluen ini dapat mengangkat noda dengan tingkat kepolaran yang
berbeda-beda pula. Dengan perbandingan jumlah pelarut yang digunakan adalah
perbandingan yang didasarkan pada pengalaman bahwa eluen tersebut dapat
menarik komponen kimia yang maksimal. Namun jika pada penampakan noda
belum didapat jumlah noda yang maksimal atau posisi noda yang terlalu ke atas
atau ke bawah maka perbandingan eluen yang digunakan dapat dimodifikasikan
kembali.
Esktrak yang ditotolkan pada lempeng dibuat dalam konstrasi yang rendah,
karena jika konstrasinya terlalu pekat, maka akan diperoleh noda yang berekor
atau yang bertumpuk. Selanjutnya lempeng dielusi dalam chamber yang telah
jenuh. Lempeng dimasukkan dalam chamber dengan menggunakan pinset dengan
posisi berdiri dengan kemiringan kurang lebih 50. Diusahakan tempat penotolan
sampel tidak terendam dengan eluen.
Setelah lempeng dielusi, dikeluarkan dari chamber kemudian dibiarkan
hingga mengering. Selanjutnya noda-noda tersebut diamati dibawah lampu UV
254 nm dan 366 nm dan kemudian disemprotkan dengan H2SO4 10 % lalu
dipanaskan.
Mekanisme penampakan noda pada UV yaitu suatu metode yang
mengabsorbsi cahaya ultraviolet akan mencapai suatu keadaan tereksitasi dan
kemudian memancarkan cahaya ultraviolet atau cahaya tampak pada waktu
kembali ke tingkat dasar (emisi), emisi inilah yang digambarkan sebagai
fluoresensi. Pada UV 254 nm, lempeng GF 254 yang mengalami flouresensi,
dimana lempeng GF 254 mengabsorbsi cahaya ultraviolet mencapai suatu keadaan
tereksitasi dan kemudian memancarkan cahaya ultraviolet atau cahaya tampak
sebagai fluoresensi, sedangkan noda akan terlihat gelap, tidak dapat tampak bila
mengandung gugus kromofor.
Penampakan noda pada lampu UV 366 nm adalah karena adanya daya
interaksi antara sinar UV dengan gugus kromofor yang terikat oleh auksokrom
yang ada pada noda tersebut. Fluoresensi cahaya yang tampak merupakan emisi
cahaya yang dipancarkan oleh komponen tersebut ketika elektron yang tereksitasi
dari tingkat energi dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi kemudian kembali ke
keadaan semula sambil melepaskan energi. Energi inilah yang menyebabkan
perbedaan fluoresensi warna yang dihasilkan oleh tiap noda.
Pada penampakan noda digunakan pereaksi H2SO4 10%. Prinsip
penampakan noda oleh H2SO4 10 % adalah karena asam sulfat ini bersifat
reduktor sehingga dapat memutuskan ikatan rangkap sehingga panjang
gelombangnya akan bergeser ke arah yang lebih panjang sehingga noda
berflouresensi dapat terlihat oleh mata.
Setelah diperoleh profil KLT sampel, metode selanjutnya untuk mengetahui
kandungan senyawa sampel dengan identifikasi menggunakan pereaksi spesifik.
Dimana sampel yang telah ditotolkan pada lempeng kemudian dimasukkan dalam
chamber yang telah berisi eluen sesuai profil KLT yang yang telah diperoleh.
Setelah sampel terelusi, lempeng diangkat dari chamber. Selanjutnya lempeng
disemprot dengan pereaksi spesifik.
Pengujian alkaloid menggunakan dragendroff pada dasarnya menggunakan
sifat dasar alkaloid yang reaktif terhadap logam berat. Dalam hal ini, pereaksi
dragendroff mengandung logam berat Pb (timbal). Bukti keberadaan alkaloid
dalam sampel terutama dengan melihat adanya perubahan warna orange jingga
pada bercak noda setelah terjadi reaksi antara sampel dan pereaksi dragendroff.
Pada pereaksi dragendroff, alkaloid akan bereaksi dengan timbal menyebabkan
senyawa alkaloid teroksidasi hingga terjadi perubahan warna ke orange jingga.
Senyawa flavonoid termasuk jenis metabolit sekunder yang banyak
ditemukan pada tumbuhan dengan memperlihatkan keanekaragaman struktur yang
tinggi, baik sebagai kerangka karbon maupun gugus fungsi yang sekaligus
memberikan sifat bioaktivitas yang beraneka ragam. Pereaksi Alcl3 ini dapat
membentuk kompleks tahan asam antara gugus hidroksil dan keton yang
bertetangga dan membentuk kompleks tak tahan asam dengangugus orto sehingga
dapat digunakan untuk mendeteksi kedua gugus tersebut. Gugus OH pada C3 dan
C5 pada flavon dan flavonol akan membentuk kompleks yang stabil dengan
adanya AlCl3. Sebaliknya kompleks yang terbentuk antara AlCl3 dengan gugus
orto dihidroksi bersifat labil sehingga dengan penambahan asam akan
terdekomposisi. Sedangkan kompleks antaraAlCl3 dengan C-4 keto dan 3 atau 5 –
OH tetap stabil dengan adanya asam. Tersubtitusinya gugus OH pada senyawa
flavonoid menunjukkan adanya senyawa flavonoid yang berflouresensi kuning.
Senyawa fenolik meliputi bermacam senyawa yang memiliki ciri yaitu
berupa senyawa aromatis. Beberapa senyawa yang termasuk dalam golongan
fenolik antara lain fenol sederhana, lignin, antrakinon, flavonoid, tanin, dan fenil
propanoid. Fenol sederhana memiliki kelarutan yang terbatas dalam air dan
bersifat asam. Identifikasi senyawa fenol secara umum dapat menggunakan
FeCl3, di mana akan dihasilkan larutan berwarna merah, violet, atau merah-
ungu.
Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam
satuan isopren dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik
yaitu skualen. Senyawa ini berstruktur siklik yang nisbi rumit, kebanyakan berupa
alkohol, aldehid, atau asam karboksilat. Uji yang banyak digunakan adalah reaksi
Liebermann-Burchard (anhidrida asetat-H2SO4 pekat) yang dengan kebanyakan
triterpen dan sterol memberikan warna hijau-biru. Sterol atau steroid adalah
triterpenoid yang kerangka dasarnya cincin siklopentana perhidrofenantren.
Senyawa sterol pada tumbuhan disebut dengan fitosterol, yang umum terdapat
pada tumbuhan tinggi adalah sitosterol, stigmasterol, dan kampesterol .
Brine Shrimp Lethality Test (BST) adalah suatu metode pengujian dengan
menggunakan hewan uji yaitu Artemia salina Leach, yang dapat digunakan
sebagai bioassay yang sederhana untuk meneliti toksisitas akut suatu senyawa,
dengan cara menentukan nilai LC 50 yang dinyatakan dari komponen aktif suatu
simplisia maupun bentuk sediaan ekstrak dari suatu tanaman. Apabila suatu
ekstrak tanaman bersifat toksik menurut harga LC 50 dengan metode BST, maka
tanaman tersebut dapat dikembangkan sebagai obat anti kanker. Namun, bila tidak
bersifat toksik maka tanaman tersebut dapat diteliti kembali untuk mengetahui
khasiat lainnya dengan menggunakan hewan coba lain yang lebih besar dari larva
Artemia salina Leach seperti mencit dan tikus secara in vivo. Suatu senyawa
dinyatakan mempunyai potensi toksisitas akut jika mempunyai harga LC 50
kurang dari 1000 μg/ml.23 LC 50 (Lethal Concentration 50) merupakan
konsentrasi zat yang menyebabkan terjadinya kematian pada 50 % hewan
percobaan yaitu larva Artemia salina Leach.
Artemia salina Leach suatu metode uji hayati yang tepat dan murah untuk
skrining dalam menentukan toksisitas suatu ekstrak tanaman aktif dengan
menggunakan hewan uji Artemia Salina Leach. Artemia Salina Leach
sebelumnnya telah digunakan dalam bermacam-macam uji hayati seperti uji
pestisida,polutan,mikotoksin,anastetik,komponen seperti
morfin,kekarsinogenikan,dan toksikan dalam air laut. Uji dengan organisme ini
sesuai untuk aktifitas farmakologi dalam ekstrak tanaman yang bersifat toksik
Penelitian menggunakan Artemia salina Leach ternyata juga mempunyai aktifitas
sitotoksik. Berdasarkan hal tersebut maka larva Artemia salina Leach dapat
digunakan untuk uji sitotoksik.
Dengan fungsi senyawa alkaloid, triterpenoid, saponin dan flavonoid
dalam sampel Daun Dewa dan Bidara laut yang dapat menghambat daya makan
larva (antifedant). Cara kerja senyawa senyawa tersebut adalah dengan bertindak
sebagai stomach poisoning atau racun perut. Oleh karena itu, bila senyawa-
senyawa ini masuk ke dalam tubuh larva, alat pencernaannya akan terganggu.
Selain itu, senyawa ini menghambat reseptor perasa pada daerah mulut larva. Hal
ini mengakibatkan larva gagal mendapatkan stimulus rasa sehingga tidak mampu
mengenali makanannya sehingga larva mati kelaparan.
Pada percobaan BST digunakan ekstrak metanol Bidara Laut dan daun
Dewa. Ekstrak metanol ini megandung senyawa polar dan non-polar, oleh karena
sifat penyari yang digunakan dapat menarik senyawa-senyawa larut polar dan
non-polar dari sampel. Dengan demikian, kemungkinan senyawa- senyawa baik
yang polar mapun non-polar ini memiliki potensi sebagai anti kanker. Selanjutnya
diambil ekstrak metanol ini dibuat dengan konsentrasi 10 µg/ml, 100 µg/ml dan
1000 µg/ml masing-masing dalam 5 replikasi dalam vial. Sebagaimana telah
diuraikan bahwa suatu senyawa dinyatakan mempunyai potensi toksisitas akut
jika mempunyai harga LC 50 kurang dari 1000 μg/ml. LC 50 (Lethal
Concentration 50) merupakan konsentrasi zat yang menyebabkan terjadinya
kematian pada 50 % larva. Selain itu, perbandingan 10 μg/ml dan 100 μg/ml
berdasarkan perhitungan deret aritmatika dengan maksud untuk mengetahui
dengan perbandingan demikian sudah dapat memberikan efek letal pada larva.
Setelah dibuat konsentrasi selanjutnya dimasukkan masing-masing 10 ekor larva
dalam kondisi sehat lalu dicukupkan volumenya sebanyak 5 ml air laut. Kemudian
vial ini diletakkan dibawah sinar cahaya.
Dari hasil pengamatan, banyaknya larva yang mati sebesar 24 ekor atau
sebesar 48%, sementara banyaknya larva yang mati dengan kontrol pelarut
sebesar 23 ekor atau sebesar 46%. Daun Dewa untuk konsentrasi 1000 µl/ml
banyaknya larva yang mati mencapai 28 ekor atau sebesar 56%; konsentrasi 100
µl/ml banyaknya larva yang mati mencapai 24 ekor atau sebesar 48%; konsentrasi
10 µl/ml banyaknya larva yang mati mencapai 26 ekor atau sebesar 52%. Untuk
sampel Bidara Laut dengan konsentrasi 1000 µl/ml banyaknya larva yang mati
adalah 50 ekor atau 100%; dengan konsentrasi 100 µl/ml banyaknya larva yang
mati mencapai 30 ekor atau sebesar 60%; sementara untuk konsentrasi 10 µl/ml
banyaknya larva yang mati mencapai 37 ekor atau sebesar 74%.
Persen kematian (%K) untuk daun Dewa pada konsentrasi 1000 µl/ml
sebesar 10%; konsentrasi 100 µl/ml sebesar 2%; dan konsentrasi 10 µl/ml sebesar
6%. Sementara untuk sampel Bidara Laut dengan konsentrasi 1000 µl/ml sebesar
24%; konsentrasi 100 µl/ml sebesar 14%; dan konsentrasi 10 µl/ml sebesar 28%.
.
.