bab v.docx

18
BAB V PEMBAHASAN Dewasa ini penggunaan bahan alam sebagai bahan obat berkembang pesat seiring dengan banyaknya penelitian dan penemuan mengenai cara-cara isolasi dan ekstraksi dari senyawa aktif dalam tumbuhan. Dalam praktikum ini akan dilakukan percobaan untuk ekstraksi senyawa aktif tumbuhan tertentu yang berkhasiat obat. Percobaan dilakukan mulai dari pengambilan sampel, kemudian ekstraksi dan identifikasi senyawa kimia yang terdapat pada ekstrak tersebut dengan metode Kromatografi Lapis Tipis dan dengan menggunakan pereaksi kimia. Sampel tumbuhan yang digunakan dalam percobaan ini adalah Daun Dewa (Gynura pseudochina) dan Korteks Bidara Laut (Strychnos Ligustrina). Daun Dewa diambil dengan cara dipetik langsung, diambil dari daun kelima dari pucuk hingga daun yang tidak kuning. Pengambilan daun pada bagian ini dikarenakan pada daun kelima dari pucuk hingga daun yang belum kuning diperkirakan sudah cukup tua, sehingga diharapkan kandungan kimia di dalam daun tersebut sudah cukup banyak. Sedangkan Korteks Bidara Laut yang diambil adalah pada tanaman yang dianggap sudah cukup umur

Upload: aenhiequrra-althafunnisa

Post on 22-Dec-2015

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB V.docx

BAB V

PEMBAHASAN

Dewasa ini penggunaan bahan alam sebagai bahan obat berkembang pesat

seiring dengan banyaknya penelitian dan penemuan mengenai cara-cara isolasi

dan ekstraksi dari senyawa aktif dalam tumbuhan. Dalam praktikum ini akan

dilakukan percobaan untuk ekstraksi senyawa aktif tumbuhan tertentu yang

berkhasiat obat. Percobaan dilakukan mulai dari pengambilan sampel, kemudian

ekstraksi dan identifikasi senyawa kimia yang terdapat pada ekstrak tersebut

dengan metode Kromatografi Lapis Tipis dan dengan menggunakan pereaksi

kimia. Sampel tumbuhan yang digunakan dalam percobaan ini adalah Daun Dewa

(Gynura pseudochina) dan Korteks Bidara Laut (Strychnos Ligustrina).

Daun Dewa diambil dengan cara dipetik langsung, diambil dari daun kelima

dari pucuk hingga daun yang tidak kuning. Pengambilan daun pada bagian ini

dikarenakan pada daun kelima dari pucuk hingga daun yang belum kuning

diperkirakan sudah cukup tua, sehingga diharapkan kandungan kimia di dalam

daun tersebut sudah cukup banyak. Sedangkan Korteks Bidara Laut yang diambil

adalah pada tanaman yang dianggap sudah cukup umur

Kemudian kedua sampel dicuci hingga bersih dengan air mengalir dan

kemudian dikeringkan dengan cara diangin-anginkan. Setelah kering sampel

dipotong kecil-kecil dengan tujuan untuk memudahkan molekul-molekul air yang

terdapat dalam dalam sel tumbuhan dapat menguap dengan mudah.

Penghilangan molekul-molekul air ini dilakukan karena air merupakan

medium yang mudah ditumbuhi mikroba atau jamur. Keberadaan mikroba atau

jamur ini nantinya dapat mengganggu hasil ekstraksi senyawa aktif dari sampel.

Selain itu tujuan dari pengeringan ini dilakukan juga dimaksudkan untuk

mencegah terjadi reaksi enzimatis di dalam sel, dimana reaksi enzimatis ini dapat

berlangsung bila simplisia mengandung air dengan jumlah lebih dari 10 %. Proses

pengeringan ini berlangsung selama ± 2 minggu.

Dalam proses pengolahan sampel terdapat dua jenis sortasi yang dilakukan

yaitu sortasi basah dan sortasi kering. Sortasi basah dilakukan pada sampel yang

Page 2: BAB V.docx

baru diambil dari habitatnya dimaksudkan untuk memisahkan simplisia yang utuh

dan layak untuk di ekstraksi dengan bagian tanaman lain yang tidak dibutuhkan

serta kotoran dan benda asing seperti tanah, pasir serta kerikil. Sortasi yang kedua,

yaitu sortasi kering yang dilakukan pada saat sampel telah dikeringkan untuk

selanjutnya dapat diekstraksi dengan metode yang sesuai.

Setelah itu sampel diserbukkan hingga mencapai derajat halus sehingga

dapat diekstraksi. Adapun tujuan dari proses ekstraksi ini adalah untuk menarik

komponen kimia yang terdapat dalam simplisia. Esktraksi yang dilakukan

disesuaikan dengan sifat kimia fisika dari sampel dan juga tergantung dari zat

yang dikandungnya. Pada percobaan ini dilakukan ekstraksi dengan cara maserasi

dan refluks. Dimana maserasi untuk sampel daun dewa dan refluks untuk korteks

bidara laut. Maserasi adalah penyarian zat aktif yang dilakukan dengan cara

merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari yang sesuai selama tiga hari

pada temperatur kamar terlindung dari cahaya, tetapi pada percobaan kali ini

proses maserasi hanya dilakukan selama 3 x 24 jam dan, karena dianggap sudah

mampu mengekstraksi komponen kimia di dalam daun dewa (Gynura

pseudochina) dan diganti cairan penyari tiap 1 x 24 jam. Proses ekstrasi yang

terjadi yaitu cairan penyari akan masuk ke dalam sel melewati dinding sel dan

masuk kedalam rongga yang mengandung zat aktif, kemudian zat aktif akan larut

dank arena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel

dengan yang diluar sel, maka larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak

keluar dan diganti oleh cairan penyari dengan konsentrasi rendah ( proses difusi ).

Peristiwa tersebut berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara

larutan di luar sel dan di dalam sel. Setelah proses maserasi selesai, kemudian di

saring dengan kain putih. Digunakan kain putih agar ekstrak tidak terkontaminasi

pewarna dari kain. Digunakan pula larutan penyari metanol, karena metanol

bersifat semipolar sehingga dapat menarik komponen kimia yang bersifat polar

maupun nonpolar pada daun dewa. Kemudian ekstrak metanol tersebut

dikeringkan hingga larutan penyari menguap. Dari hasil percobaan ini diperoleh

hasil ekstrak 2,692 g.

Page 3: BAB V.docx

Untuk sampel korteks bidara laut, karena mempunyai tekstur yang keras

maka untuk mengekstraksi komponen kimia yang ada di dalamnya dilakukan

ekstraksi dengan cara refluks. Refluks adalah penarikan komponen kimia yang

dilakukan dengan cara sampel dimasukkan ke dalam labu alas bulat bersama-sama

dengan cairan penyari lalu dipanaskan, uap-uap cairan penyari terkondensasi pada

kondensor bola menjadi molekul-molekul cairan penyari yang akan turun kembali

menuju labu alas bulat dan akan menyari kembali sampel yang berada pada labu

alas bulat, demikian seterusnya berlangsung secara berkesinambungan sampai

penyarian sempurna, penggantian pelarut dilakukan sebanyak 3 kali setiap 3-4

jam. Dari sini diperoleh ekstrak 1,36 g.

Kemudian setelah dilakukan ekstraksi maka selanjutnya ialah partisi,

dimana partisi ini terbagi 2 yaitu partisi cair-cair dan partisi cair-padat. Prinsip

dari partisi cair-cair adalah Ekstraksi cair-cair (corong pisah) merupakan

pemisahan komponen kimia di antara 2 fase pelarut yang tidak saling bercampur

di mana sebagian komponen larut pada fase pertama dan sebagian larut pada fase

kedua, lalu kedua fase yang mengandung zat terdispersi dikocok, lalu didiamkan

sampai terjadi pemisahan sempurna dan terbentuk dua lapisan fase cair, dan

komponen kimia akan terpisah ke dalam kedua fase tersebut sesuai dengan tingkat

kepolarannya dengan perbandingan konsentrasi yang tetap.

Pada partisi ekstraksi cair-cair digunakan sampel daun dewa. Dimana,

pertama-tama disiapkan alat dan bahan, kemudian ditimbang ekstrak metanol

sebanyak 1 g, ditambahkan heksan dan air dengan perbandingan 3:1 (15 ml : 5

ml). Digunakan heksan sebagai pelarut non polar untuk menarik komponen kimia

yang bersifat non polar dan digunakan air untuk menarik komponen yang bersifat

polar. Karena sebelumnya kita telah ketahui bahwa sifat dari komponen kimia dari

tumbuhan yaitu ”like dissolve like”. Setelah itu, dimasukkan ke dalam corpis,

dikocok satu arah. Diamkan ± 5 menit sampai terjadi pemisahan antara heksan

dan air. Kemudian diambil lapisan hexan dan ditampung dalam cawan porselin.

Sisa air dalam corpis kemudian ditambahkan lagi hexan sebanyak 15 ml,

didiamkan sama dengan perlakuan sebelumnya, kemudian diambil lapisan hexan

dan ditampung kembali bdalam cawan porselin,begitu seterusnya hingga lapisan

Page 4: BAB V.docx

hexan jernih yang menandakan bahwa tidak ada lagi komponen kimia yang larut

dalam pelarut hexan. Diuapkan dan ditimbang bobot ekstrak non polar. Untuk

lapisan air yaitu berisi komponen kimia yang larut pada pelarut non polar disari

lagi dengan menggunakan pelarut butanol, sifat butanol ini hampir mirip dengan

air karena bersifat polar. Tidak digunakannya air karena, air tidak mudah

menguap dan merupakan media pertumbuhan mikroba yang baik, maka dari itu

digunakanlah pelarut polar yang mudah menguap, yaitu butanol. Pertama-tama

butanol dijenuhkan terhadap air lebih dahulu, agar kemungkinan butanol mengikat

air tidak ada. Kemudian butanol jenuh air tersebut ditambahkan dalam corpis yang

berisi air. Kemudian dikocok satu arah, didiamkan selama ± 5 menit. Diambil

bagian butanol dan ditampung ke dalam cawan porselen. Ditambahkan lagi

butanol sebanyak 15 ml kedalam corpis yang berisi air, dikocok. Didiamkan

hingga terpisah dan dilakukan hal yang sama sperti perlakuan sebelumnya.

Ditambahkan butanol terus-menerus hingga butanol terlihat jernih, yang

menandakan bahwa tidak ada lagi komponen kimia yang larut dalam butanol. Di

keringkan dan ditimbang ekstrak polar. Dari proses partisi ini, diperoleh ekstrak

daun dewa larut Hexan 0,655 g dan larut Butanol 0,81 g.

Lain halnya dengan sampel bidara laut, dilakukan partisi cair-padat. Prinsip

dari ekstraksi cair padat yaitu penarikan komponen kimia pada suatu sampel

dengan menggunakan satu pelarut yang pelarutannya dilakukan secara terpisah

dimana komponen kimia akan terlarut dalam pelarut dengan cepat dengan bantuan

sentrifuge berdasarkan gaya sentrifugal. Adapun cara kerja dari partisi cair-padat

ini yaitu pertama-tama disiapkan alat dan bahan, kemudian ditimbang ekstrak

methanol 0,8 g dimasukkan dalam lumping. Ditambahkan n-heksan 20 ml lalu

digerus selama ± 5 menit. Kemudian larutan n-heksan disentrifugasi selama ± 10

menit. Kemudian ditampung larutan n-heksan pada cawan porselen. Ditambahkan

lagi pelarut n-heksan ke dalam lumpang sambil digerus sampai larutan hexan yang

jernih. Sehingga diperoleh dua larutan yaitu ekstrak yang larut heksan dan ekstrak

yang tidak larut heksan. Kemudian masing-masing ditimbang bobot ekstrak. Dari

sini diperoleh ekstrak korteks Bidara Laut larut Hexan 0,192 g dan tidak larut

Hexan 0,682 g.

Page 5: BAB V.docx

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) adalah suatu metode analisis yang

digunakan untuk memisahkan suatu campuran senyawa secara cepat dan

sederhana. Penggunaan kromatografi sangat membantu dalam pendeteksian

senyawa metabolit sekunder dan dapat dijadikan sebagai patokan untuk proses

pengerjaan berikutnya dalam menentukan struktur senyawa. Prinsipnya atas dasar

perbedaan adsorpsi atau partisi oleh fase diam di bawah gerakan pelarut

pengembang. Bahan adsorben sebagai fasa diam dapat digunakan silika gel,

alumina dan serbuk selulosa. Partikel selika gel mengandung gugus hidroksil pada

permukaannya yang akan membentuk ikatan hidrogen dengan molekul polar air.

Fase diam untuk kromatografi lapis tipis seringkali juga mengandung substansi

yang mana dapat berpendarflour dalam sinar ultra violet. Fase gerak merupakan

pelarut atau campuran pelarut yang sesuai.

Sebelum mentotolkan sampel ke plat KLT, terlebih dahulu dibuat batas atas

dan batas bawah dengan menggunakan pensil. Hal ini bertujuan untuk mengetahui

dimana pentetesan sampel itu, dalam penandaan tidak digunakan tinta karena

pewarna dari tinta akan bergerak selayaknya kromatogram dibentuk. Hal ini dapat

mempengaruhi proses pengelusian senyawa sampel.

Di dalam chamber diisi dengan eluen, dimana untuk setiap sampel memiliki

eluen dengan campuran yang berbeda yaitu untuk Daun Dewa dielusi

menggunakan etil asetat : metanol (10:1) dan Bidara Laut dielusi menggunakan

hexan : etil asetat (1:10) . Eluen tersebut terlebih dahulu dijenuhkan. Dalam hal

ini chamber ditutup rapat dengan tujuan agar meyakinkan bahwa atmosfer dalam

gelas kimia terjenuhkan denga uap pelarut. Penjenuhan udara dalam gelas kimia

dengan uap menghentikan penguapan pelarut sama halnya dengan pergerakan

pelarut dalam KLT.  Untuk mendapatkan kondisi ini, dalam gelas kimia biasanya

ditempatkan beberapa kertas saring yang terbasahi oleh pelarut.

Eluent dapat digolongkan menurut ukuran kekuatan teradsorpsinya pelarut

atau campuran pelarut tersebut pada adsorben dan dalam hal ini yang banyak

digunakan adalah jenis adsorben alumina atau sebuah lapis tipis silika.

Penggolongan ini dikenal sebagai deret eluotropik pelarut. Suatu pelarut yang

Page 6: BAB V.docx

bersifat larutan relatif polar, dapat mengusir pelarut yang relatif tak polar dari

ikatannya dengan alumina (jel silika).

Setelah chamber jenuh maka plat KLT dimasukan kedalam chamber, ketika

pelarut mulai membasahi plat/lempengan, pelarut pertama-tama akan melarutkan

senyawa-senyawa dalam bercak yang telah ditempatkan pada garis

dasar. Senyawa-senyawa akan cenderung bergerak pada lempengan kromatografi

sebagaimana halnya pergerakan pelarut. Disini akan kita liahat mulai akan ada

bercak terpisah-pisah, ini dikarenakan setelah sampel dilarutkan eluen maka

sampel akan ikut berinteraksi juga dengan silika yang ada di lempeng. Senyawa

yang terperangkap dibagian paling bawah menunjukan bahwa senyawa tersebut

paling tinggi kepolarannya, Senyawa ini dapat membentuk ikatan hidrogen yang

akan melekat pada silika lebih kuat disbanding senyawa lainnya. Kita dapat

mengatakan bahwa senyawa ini terjerap lebih kuat dari senyawa yang lainnya.

Penjerapan merupakan pembentukan suatu ikatan dari satu substansi pada

permukaan.

Eluen yang digunakan merupakan kombinasi dari dua atau tiga macam

pelarut, hal ini dimaksudkan untuk mencapai semua tingkat kepolaran sehingga

diharapkan eluen ini dapat mengangkat noda dengan tingkat kepolaran yang

berbeda-beda pula. Dengan perbandingan jumlah pelarut yang digunakan adalah

perbandingan yang didasarkan pada pengalaman bahwa eluen tersebut dapat

menarik komponen kimia yang maksimal. Namun jika pada penampakan noda

belum didapat jumlah noda yang maksimal atau posisi noda yang terlalu ke atas

atau ke bawah maka perbandingan eluen yang digunakan dapat dimodifikasikan

kembali.

Esktrak yang ditotolkan pada lempeng dibuat dalam konstrasi yang rendah,

karena jika konstrasinya terlalu pekat, maka akan diperoleh noda yang berekor

atau yang bertumpuk. Selanjutnya lempeng dielusi dalam chamber yang telah

jenuh. Lempeng dimasukkan dalam chamber dengan menggunakan pinset dengan

posisi berdiri dengan kemiringan kurang lebih 50. Diusahakan tempat penotolan

sampel tidak terendam dengan eluen.

Page 7: BAB V.docx

Setelah lempeng dielusi, dikeluarkan dari chamber kemudian dibiarkan

hingga mengering. Selanjutnya noda-noda tersebut diamati dibawah lampu UV

254 nm dan 366 nm dan kemudian disemprotkan dengan H2SO4 10 % lalu

dipanaskan.

Mekanisme penampakan noda pada UV yaitu suatu metode yang

mengabsorbsi cahaya ultraviolet akan mencapai suatu keadaan tereksitasi dan

kemudian memancarkan cahaya ultraviolet atau cahaya tampak pada waktu

kembali ke tingkat dasar (emisi), emisi inilah yang digambarkan sebagai

fluoresensi. Pada UV 254 nm, lempeng GF 254 yang mengalami flouresensi,

dimana lempeng GF 254 mengabsorbsi cahaya ultraviolet mencapai suatu keadaan

tereksitasi dan kemudian memancarkan cahaya ultraviolet atau cahaya tampak

sebagai fluoresensi, sedangkan noda akan terlihat gelap, tidak dapat tampak bila

mengandung gugus kromofor.

Penampakan noda pada lampu UV 366 nm adalah karena adanya daya

interaksi antara sinar UV dengan gugus kromofor yang terikat oleh auksokrom

yang ada pada noda tersebut. Fluoresensi cahaya yang tampak merupakan emisi

cahaya yang dipancarkan oleh komponen tersebut ketika elektron yang tereksitasi

dari tingkat energi dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi kemudian kembali ke

keadaan semula sambil melepaskan energi. Energi inilah yang menyebabkan

perbedaan fluoresensi warna yang dihasilkan oleh tiap noda.

Pada penampakan noda digunakan pereaksi H2SO4 10%. Prinsip

penampakan noda oleh H2SO4 10 % adalah karena asam sulfat ini bersifat

reduktor sehingga dapat memutuskan ikatan rangkap sehingga panjang

gelombangnya akan bergeser ke arah yang lebih panjang sehingga noda

berflouresensi dapat terlihat oleh mata.

Setelah diperoleh profil KLT sampel, metode selanjutnya untuk mengetahui

kandungan senyawa sampel dengan identifikasi menggunakan pereaksi spesifik.

Dimana sampel yang telah ditotolkan pada lempeng kemudian dimasukkan dalam

chamber yang telah berisi eluen sesuai profil KLT yang yang telah diperoleh.

Setelah sampel terelusi, lempeng diangkat dari chamber. Selanjutnya lempeng

disemprot dengan pereaksi spesifik.

Page 8: BAB V.docx

Pengujian alkaloid menggunakan dragendroff pada dasarnya menggunakan

sifat dasar alkaloid yang reaktif terhadap logam berat. Dalam hal ini, pereaksi

dragendroff mengandung logam berat Pb (timbal). Bukti keberadaan alkaloid

dalam sampel terutama dengan melihat adanya perubahan warna orange jingga

pada bercak noda setelah terjadi reaksi antara sampel dan pereaksi dragendroff.

Pada pereaksi dragendroff, alkaloid akan bereaksi dengan timbal menyebabkan

senyawa alkaloid teroksidasi hingga terjadi perubahan warna ke orange jingga.

Senyawa flavonoid termasuk jenis metabolit sekunder yang banyak

ditemukan pada tumbuhan dengan memperlihatkan keanekaragaman struktur yang

tinggi, baik sebagai kerangka karbon maupun gugus fungsi yang sekaligus

memberikan sifat bioaktivitas yang beraneka ragam. Pereaksi Alcl3 ini dapat

membentuk kompleks tahan asam antara gugus hidroksil dan keton yang

bertetangga dan membentuk kompleks tak tahan asam dengangugus orto sehingga

dapat digunakan untuk mendeteksi kedua gugus tersebut. Gugus OH pada C3 dan

C5 pada flavon dan flavonol akan membentuk kompleks yang stabil dengan

adanya AlCl3. Sebaliknya kompleks yang terbentuk antara AlCl3 dengan gugus

orto dihidroksi bersifat labil sehingga dengan penambahan asam akan

terdekomposisi. Sedangkan kompleks antaraAlCl3 dengan C-4 keto dan 3 atau 5 –

OH tetap stabil dengan adanya asam. Tersubtitusinya gugus OH pada senyawa

flavonoid menunjukkan adanya senyawa flavonoid yang berflouresensi kuning.

Senyawa fenolik meliputi bermacam senyawa yang memiliki ciri yaitu

berupa senyawa aromatis. Beberapa senyawa yang termasuk dalam golongan

fenolik antara lain fenol sederhana, lignin, antrakinon, flavonoid, tanin, dan fenil

propanoid. Fenol sederhana memiliki kelarutan yang terbatas dalam air dan

bersifat asam. Identifikasi senyawa fenol secara umum dapat menggunakan

FeCl3, di mana akan dihasilkan larutan berwarna merah, violet, atau merah-

ungu.

Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam

satuan isopren dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik

yaitu skualen. Senyawa ini berstruktur siklik yang nisbi rumit, kebanyakan berupa

alkohol, aldehid, atau asam karboksilat. Uji yang banyak digunakan adalah reaksi

Page 9: BAB V.docx

Liebermann-Burchard (anhidrida asetat-H2SO4 pekat) yang dengan kebanyakan

triterpen dan sterol memberikan warna hijau-biru. Sterol atau steroid adalah

triterpenoid yang kerangka dasarnya cincin siklopentana perhidrofenantren.

Senyawa sterol pada tumbuhan disebut dengan fitosterol, yang umum terdapat

pada tumbuhan tinggi adalah sitosterol, stigmasterol, dan kampesterol .

Brine Shrimp Lethality Test (BST) adalah suatu metode pengujian dengan

menggunakan hewan uji yaitu Artemia salina Leach, yang dapat digunakan

sebagai bioassay yang sederhana untuk meneliti toksisitas akut suatu senyawa,

dengan cara menentukan nilai LC 50 yang dinyatakan dari komponen aktif suatu

simplisia maupun bentuk sediaan ekstrak dari suatu tanaman. Apabila suatu

ekstrak tanaman bersifat toksik menurut harga LC 50 dengan metode BST, maka

tanaman tersebut dapat dikembangkan sebagai obat anti kanker. Namun, bila tidak

bersifat toksik maka tanaman tersebut dapat diteliti kembali untuk mengetahui

khasiat lainnya dengan menggunakan hewan coba lain yang lebih besar dari larva

Artemia salina Leach seperti mencit dan tikus secara in vivo. Suatu senyawa

dinyatakan mempunyai potensi toksisitas akut jika mempunyai harga LC 50

kurang dari 1000 μg/ml.23 LC 50 (Lethal Concentration 50) merupakan

konsentrasi zat yang menyebabkan terjadinya kematian pada 50 % hewan

percobaan yaitu larva Artemia salina Leach.

Artemia salina Leach suatu metode uji hayati yang tepat dan murah untuk

skrining dalam menentukan toksisitas suatu ekstrak tanaman aktif dengan

menggunakan hewan uji Artemia Salina Leach. Artemia Salina Leach

sebelumnnya telah digunakan dalam bermacam-macam uji hayati seperti uji

pestisida,polutan,mikotoksin,anastetik,komponen seperti

morfin,kekarsinogenikan,dan toksikan dalam air laut. Uji dengan organisme ini

sesuai untuk aktifitas farmakologi dalam ekstrak tanaman yang bersifat toksik

Penelitian menggunakan Artemia salina Leach ternyata juga mempunyai aktifitas

sitotoksik. Berdasarkan hal tersebut maka larva Artemia salina Leach dapat

digunakan untuk uji sitotoksik.

Dengan fungsi senyawa alkaloid, triterpenoid, saponin dan flavonoid

dalam sampel Daun Dewa dan Bidara laut yang dapat menghambat daya makan

Page 10: BAB V.docx

larva (antifedant). Cara kerja senyawa senyawa tersebut adalah dengan bertindak

sebagai stomach poisoning atau racun perut. Oleh karena itu, bila senyawa-

senyawa ini masuk ke dalam tubuh larva, alat pencernaannya akan terganggu.

Selain itu, senyawa ini menghambat reseptor perasa pada daerah mulut larva. Hal

ini mengakibatkan larva gagal mendapatkan stimulus rasa sehingga tidak mampu

mengenali makanannya sehingga larva mati kelaparan.

Pada percobaan BST digunakan ekstrak metanol Bidara Laut dan daun

Dewa. Ekstrak metanol ini megandung senyawa polar dan non-polar, oleh karena

sifat penyari yang digunakan dapat menarik senyawa-senyawa larut polar dan

non-polar dari sampel. Dengan demikian, kemungkinan senyawa- senyawa baik

yang polar mapun non-polar ini memiliki potensi sebagai anti kanker. Selanjutnya

diambil ekstrak metanol ini dibuat dengan konsentrasi 10 µg/ml, 100 µg/ml dan

1000 µg/ml masing-masing dalam 5 replikasi dalam vial. Sebagaimana telah

diuraikan bahwa suatu senyawa dinyatakan mempunyai potensi toksisitas akut

jika mempunyai harga LC 50 kurang dari 1000 μg/ml. LC 50 (Lethal

Concentration 50) merupakan konsentrasi zat yang menyebabkan terjadinya

kematian pada 50 % larva. Selain itu, perbandingan 10 μg/ml dan 100 μg/ml

berdasarkan perhitungan deret aritmatika dengan maksud untuk mengetahui

dengan perbandingan demikian sudah dapat memberikan efek letal pada larva.

Setelah dibuat konsentrasi selanjutnya dimasukkan masing-masing 10 ekor larva

dalam kondisi sehat lalu dicukupkan volumenya sebanyak 5 ml air laut. Kemudian

vial ini diletakkan dibawah sinar cahaya.

Dari hasil pengamatan, banyaknya larva yang mati sebesar 24 ekor atau

sebesar 48%, sementara banyaknya larva yang mati dengan kontrol pelarut

sebesar 23 ekor atau sebesar 46%. Daun Dewa untuk konsentrasi 1000 µl/ml

banyaknya larva yang mati mencapai 28 ekor atau sebesar 56%; konsentrasi 100

µl/ml banyaknya larva yang mati mencapai 24 ekor atau sebesar 48%; konsentrasi

10 µl/ml banyaknya larva yang mati mencapai 26 ekor atau sebesar 52%. Untuk

sampel Bidara Laut dengan konsentrasi 1000 µl/ml banyaknya larva yang mati

adalah 50 ekor atau 100%; dengan konsentrasi 100 µl/ml banyaknya larva yang

Page 11: BAB V.docx

mati mencapai 30 ekor atau sebesar 60%; sementara untuk konsentrasi 10 µl/ml

banyaknya larva yang mati mencapai 37 ekor atau sebesar 74%.

Persen kematian (%K) untuk daun Dewa pada konsentrasi 1000 µl/ml

sebesar 10%; konsentrasi 100 µl/ml sebesar 2%; dan konsentrasi 10 µl/ml sebesar

6%. Sementara untuk sampel Bidara Laut dengan konsentrasi 1000 µl/ml sebesar

24%; konsentrasi 100 µl/ml sebesar 14%; dan konsentrasi 10 µl/ml sebesar 28%.

.

.