repository.utu.ac.idrepository.utu.ac.id/1070/1/bab i-v.docx  · web viewbab ipendahuluan. 1.1...

91
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lingkungan mempunyai andil yang paling besar terhadap status kesehatan yang disusul oleh perilaku. Kesehatan lingkungan adalah kondisi atau keadaan lingkungan optimum yang berpengaruh positif terhadap perwujudan status kesehatan optimum. Lingkup kesehatan lingkungan mencakup perumahan, pembuangan kotoran (tinja), penyediaan air bersih, pembuangan sampah, dan pembuangan limbah. Lingkungan berpengaruh sangat besar terhadap kesehatan manusia karena berbagai faktor penyebab penyakit dipengaruhi oleh lingkungan. Pengaruh lingkungan hidup terhadap kesehatan demikian penting sehingga penyebab penyakit sering harus dicari di luar tubuh yang berarti perlu penyelidikan lingkungan (Sucipto, 2011). Sanitasi lingkungan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan, terutama sarana air bersih, ketersediaan jamban, pengolahan air limbah, pembuangan

Upload: others

Post on 26-Nov-2020

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB IPENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang

Lingkungan mempunyai andil yang paling besar terhadap status kesehatan yang disusul oleh perilaku. Kesehatan lingkungan adalah kondisi atau keadaan lingkungan optimum yang berpengaruh positif terhadap perwujudan status kesehatan optimum. Lingkup kesehatan lingkungan mencakup perumahan, pembuangan kotoran (tinja), penyediaan air bersih, pembuangan sampah, dan pembuangan limbah. Lingkungan berpengaruh sangat besar terhadap kesehatan manusia karena berbagai faktor penyebab penyakit dipengaruhi oleh lingkungan. Pengaruh lingkungan hidup terhadap kesehatan demikian penting sehingga penyebab penyakit sering harus dicari di luar tubuh yang berarti perlu penyelidikan lingkungan (Sucipto, 2011).

Sanitasi lingkungan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan, terutama sarana air bersih, ketersediaan jamban, pengolahan air limbah, pembuangan sampah, dan pencemaran tanah. Pembuangan tinja dapat secara langsung mengontaminasi makanan, minuman, sayuran, air tanah, serangga dan bagian-bagian tubuh. Perlu pengaturan pembuangan sampah agar tidak membahayakan kesehatan manusia karena dapat menjadi gudang makanan bagi vektor penyakit. Sayuran yang dimakan mentah dapat menjadi media transmisi penyakit dari tanah yang tercemar tinja (Sucipto, 2011).

(1)Perilaku manusia yang pada dasarnya adalah aktivitas manusia merupakan respons seseorang (organism) terhadap stimulus yang berhubungan dengan sakit dan penyakit. Perilaku tersebut meliputi peningkatan dan pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, pencarian pengobatan, sistem pelayanan kesehatan, makanan, serta lingkungan. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan mencakup perilaku yang berhubungan dengan air bersih, pembuangan air kotor, limbah, rumah sehat dan pembersihan sarang nyamuk. Perilaku kesehatan merupakan berbagai hal yang berhubungan dengan tindakan atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan, termasuk juga tindakan untuk mencegah penyakit, kebersihan perorangan, memilih makanan, dan sanitasi (Notoatmodjo, 2012).

Kesehatan lingkungan adalah multidisipliner yang mempelajari dinamika hubungan interaktif antara kelompok manusia atau masyarakat dengan berbagai perubahan komponen lingkungan hidup manusia yang diduga dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada masyarakat dan mempelajari upaya untuk penaggulangan dan pencegahan. Kesehatan lingkungan diberi batasan sebagai ilmu yang mempelajari dinamika hubungan interaktif antara kelompok penduduk atau masyarakat dan segala macam perubahan komponen lingkungan hidup seperti berbagai spesies kehidupan, bahan zat, disekitar kehidupan yang menimbulkan ancaman atau potensi menimbulkan gangguan kesehatan masyarakat, serta mencapai upaya-upaya pencegahan. (Sumantri, 2013).

Menurut Suriawiria dalam Rianti (2010), sanitasi lingkungan adalah tingginya jumlah penyakit yang berjangkit tiap tahun pada masyarakat yang menandakan masih banyaknya pencemaran air yang dipergunakan sehari – hari. Higienis adalah usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan kesehatan manusia.

Kondisi lingkungan dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat seperti kejadian dermatitis. Banyak aspek kesejahteraan manusia dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, dan banyak penyakit dapat timbul karena didukung, dan dirangsang oleh faktor – faktor lingkungan. Dalam Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan Bab I Pasal 1 sebagai berikut: “ Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial ekonomi. Jika dikaji lebih lanjut tentang kesehatan, maka tidak banyak manusia yang benar – benar sehat. Akan tetapi bukan berarti semua manusia selalu menderita penyakit. Arti penyakit sendiri adalah; merupakan perubahan yang mengganggu kondisi tubuh sebagai respon dari faktor lingkungan yang mungkin berupa nutrisi, kimia, biologi atau psikologi (Rick , dalam Gerry, 2013).

Dermatitis merupakan salah satu jenis penyakit kulit yang ditandai terjadinya peradangan pada kulit bagian epidermis dan dermis yang dapat bersifat akut, sub akut, atau kronis, yang dipengaruhi oleh faktor eksogen dan faktor endogen.1 Kejadian dermatitis di beberapa negara di dunia termasuk Indonesia menunjukkan angka kejadian dermatitis yang tidak sedikit. Data di Inggris menunjukan bahwa dari 1,29 kasus/1000 pekerja merupakan dermatitis akibat kerja.

Menurut Chandra dalam Rianti (2010), mengatakan bahwa proses perjalanan suatu penyakit terjadi dimulai sejak adanya gangguan keseimbangan antara penyakit, manusia, dan lingkungan sehingga dapat terjadinya suatu kesakitan. Selain penyakit, adapula yang disebut dengan wabah, istilah tersebut adalah suatu kejadian tersebarnya penyakit pada daerah yang luas dan pada banyak orang. Dan istilah penyakit endemik adalah penyakit yang pada umumnya terjadi pada laju yang konstan namun cukup tinggi pada suatu populasi. Oleh karenanya penting kiranya memahami proses terjadinya suatu penyakit, agar dapat melakukan pencegahan penyakit dan mencari alternatif terbaik dalam pengendalian atau pemberantasan suatu penyakit.

Bahaya dari dari praktik BAB di tempat terbuka adalah kerusakan lingkungan yang signifikan disebabkan oleh besarnya jumlah air limbah yang tidak diolah dan endapan tinja yang tidak diolah yang dilepaskan ke sungai, danau dan area pesisir. Praktik ini sering kali dikaitkan dengan negara-negara berkembang. Namun begitu, hal ini juga masih menjadi permasalahan di wilayah lainnya, termasuk di Eropa Timur, di mana tempat pengolahan air limbah saat ini sedang dikembangkan. Jenis polusi ini berdampak pada daya guna air tanah dan air permukaan, dan menyebabkan gangguan serius atas proses lingkungan dan pengrusakan ekosistem. Zona air mati, lokasi dengan sedikit atau tanpa oksigen di air, telah tumbuh meliputi area 245.000 kilometer pada lingkungan laut, termasuk di Asia, Karibia, Eropa dan Amerika Utara. Di Asia Tenggara saja, 13 juta metrik ton tinja dilepas ke sumber air perairan darat setiap tahunnya – beserta 122 juta meter kubik urin dan 11 miliar meter kubik air bekas pembuangan rumah tangga non-kakus (WHO, 2008).

Kejadian dermatitis di dunia sangat banyak di jumpai dimana hampir seluruh jenis dermatitis. Saat ini diketahui bahwa angka kejadian (prevalensi) dermatitis di seluruh dunia mencapai angka yang cukup tinggi yakni 10%. Selanjutnya hampir 50% penduduk di dunia mengalami jamur kulit seperti panu terutama di daerah tropis yang beriklim panas dan lembap. Penyakit kulit atau dermatitis di Indonesia sangat meningkat tajam yang dikarenakan oleh iklim di Indonesia itu sendiri yang beriklim tropis, sehingga penyebarannya juga sangat meningkat tajam. Penyakit infeksi jamur di kulit mempunyai prevalensi tinggi di Indonesia, karena Indonesia beriklim tropis dan kelembabannya tinggi Angka insidensi dermatofitosis pada tahun 1998 yang tercatat melalui Rumah Sakit Pendidikan Kedokteran di Indonesia sangat bervariasi, dimulai dari persentase terendah sebesar 4,8 % (Surabaya) hingga persentase tertinggi sebesar 82,6 % (Surakarta) dari seluruh kasus dermatomikosis (Arumkanti, dkk. 2014).

Akibat banjir yang melanda beberapa Kabupaten di Provinsi Aceh, saat ini banyak masyarakat yang mengeluhkan terkena sakit dermatitis. Sekitar 30 persen lebih masyarakat yang mengeluh terkena kutu air akibat dari banjir pada tahun 2014 (Dinkes Aceh, 2014).

Berdasarkan data dari Dinkes Simeulue jumlah penderita dermatitis di Kabupaten Simeulue tahun 2013 sebanyak 60 orang, tahun 2014 sebanyak 75 orang, tahun 2015 sebanyak 47 orang, tahun 2016 pada bulan Januari sebanyak 10 orang (Dinkes Simeulue, 2016)

Berdasarkan data Puskesmas Sibigo jumlah penderita dermatitis tahun 2013 adalah sebanyak 30 orang, tahun 2014 sebanyak 33 orang, tahun 2015 sebanyak 28 orang, tahun 2016 pada bulan Januari sebanyak 2 orang (Puskesmas Sibigo, 2016).

Berdasarkan pengamatan yang peneliti lakukan dilapangan, peneliti menemukan bahwa masih banyak masyarakat pesisir yang tidak melakukan sanitasi lingkungan dengan baik, dimana hasil wawancara dengan 10 orang masyarakat, dimana ada 3 orang masyarakat memiliki jamban sendiri di rumahnya dan memiliki sumber air bersih yang layak digunakan untuk kehidupan sehari-sehari. Hal ini mengindikasikan bahwa 3 orang masyarakat tersebut memiliki sanitasi lingkungan yang baik di mana pembuangan BAB pada WC dan WC yang digunakan sesuai dengan standar kesehatan sehingga tidak menimbulkan penyakit, selain itu penggunaan air bersih yang layak sehingga terhindar dari penyakit, sedangkan 7 orang lainnya tidak memiliki jamban sendiri, selain itu mereka menggunakan sumber air seadanya yang ada di lingkungan mereka. Hal ini mengidikasikan bahwa 7 orang masyarakat tersebut tidak memiliki sanitasi lingkungan yang baik di mana pembuangan BAB pada tidak pada tempatnya dan tidak layak sehingga menimbulkan penyakit, selain itu penggunaan air bersih yang tidak layak sehingga menimbulkan penyakit.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “Hubungan Kebersihan Perorangan (personal hygiene) dan Lingkungan dengan kejadian Dermatitis Pada Masyarakat Pesisir Wilayah Kerja Puskesmas Sibigo Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan apakah ada Hubungan Kebersihan Perorangan (personal hygiene) dan Lingkungan dengan kejadian Dermatitis Pada Masyarakat Pesisir Wilayah Kerja Puskesmas Sibigo Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui Hubungan Kebersihan Perorangan (personal hygiene) dan Lingkungan dengan kejadian Dermatitis Pada Masyarakat Pesisir Wilayah Kerja Puskesmas Sibigo Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui hubungan kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian Dermatitis Pada Masyarakat Pesisir Wilayah Kerja Puskesmas Sibigo Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue.

b. Untuk mengetahui hubungan kebiasaan mandi dengan kejadian Dermatitis Pada Masyarakat Pesisir Wilayah Kerja Puskesmas Sibigo Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue.

c. Untuk mengetahui hubungan Kebersihan Lingkungan dengan kejadian Dermatitis Pada Masyarakat Pesisir Wilayah Kerja Puskesmas Sibigo Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue.

d. Untuk mengetahui hubungan Sumber Air Kualitas dengan kejadian Dermatitis Pada Masyarakat Pesisir Wilayah Kerja Puskesmas Sibigo Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue.

e. Untuk mengetahui hubungan Kualitas Air dengan kejadian Dermatitis Pada Masyarakat Pesisir Wilayah Kerja Puskesmas Sibigo Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue.

1.4 Hipotesis

Ha: Adanya hubungan kebiasaan mencuci tangan, kebiasaan mandi, kebersihan lingkungan, sumber air dan Kualitas Air dengan kejadian Dermatitis Pada Masyarakat Pesisir Wilayah Kerja Puskesmas Sibigo Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Praktis

a. Bagi masyarakat sebagai bahan informasi mengenai Hubungan Kebersihan Perorangan (personal hygiene) dan Lingkungan dengan kejadian Dermatitis Pada Masyarakat Pesisir Wilayah Kerja Puskesmas Sibigo Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue.

b. Bagi bidan UTU Fakultas FKM sebagai bahan masukan dan referensi tentang sanitasi lingkungan

1.5.2 Manfaat Teoritis

1. Bagi peneliti dapat menambah wawasan dalam melakukan penelitian khususnya Hubungan Kebersihan Perorangan (personal hygiene) dan Lingkungan dengan kejadian Dermatitis Pada Masyarakat Pesisir Wilayah Kerja Puskesmas Sibigo Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue.

1. Bagi Fakultas FKM Universitas Teuku Umar sebagai salah satu bahan masukan atau informasi guna menambah bahan perpustakaan yang dapat digunakan bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

1. Bagi pihak lain diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi untuk dipelajari dibangku perkuliahan, dan dapat membandingkan antara teori dengan praktek yang sesungguhnya di lapangan khususnya tentang Hubungan Kebersihan Perorangan (personal hygiene) dan Lingkungan dengan kejadian Dermatitis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Personal Hygiene

Perawatan diri atau kebersihan diri (personal hygiene) merupakan perawatan diri sendiri yaang dilakukan untuk mempertahankan kesehatan, baik secara fisik maupun psikologis. Personal hygiene berasal dari bahasa Yunani yang berarti Personal yang artinya perorangan dan hygiene yang artinya sehat (Hidayat, 2008). Kebersihan perorangan adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan untuk kesejahteraan fisik dan psikis (Wartonah, 2010).

Menurut Ananto (2006), memelihara kebersihan dan kesehatan pribadi adalah salah satu upaya pendidikan kesehatan yang diberikan kepada peserta didik disekolah atau madrasah dan dirumah. Melalui peningkatan kebersihan dan kesehatan pribadi, kesehatannya akan menjadi lebih baik. Personal hygiene adalah cara perawatan diri manusia untuk memelihara kesehatan mereka. Menurut Perry dan Potter (2010) Pemeliharaan hygiene perorangan diperlukan untuk kenyamanan individu, keamanan, dan kesehatan. Praktek hygiene sama dengan meningkatkan kesehatan.

(10)Dalam kehidupan sehari-hari kebersihan merupakan hal yang sangat penting dalam dan harus diperhatikan karena kebersihan akan mempengaruhi kesehatan dan psikis seseorang. Kebersihan itu sendiri sangat dipengaruhi oleh individu dan kebiasaan. Jika seseorang sakit, biasanya masalah kebersihan kurang di perhatikan. Hal ini terjadi karena kita menganggap masalah kebersihan adalah masalah sepele, padahal jika hal tersebut di biarkan terus dapat mempengaruhi kesehatan secara umum (Wartonah, 2010).

Kebersihan diri merupakan faktor penting dalam usaha pemeliharaan kesehatan, agar kita selalu dapat hidup sehat. Menjaga kebersihan diri berarti juga menjaga kesehatan umum. Cara menjaga kebersihan diri dapat dilakukan sebagai berikut :

a) Mandi setiap hari minimal 2 kali sehari secara teratur dengan menggunakan sabun, muka harus bersih, telinga juga harus dibersihkan serta bagian genitalia.

b) Tangan harus dicuci sebelum menyiapkan makanan dan minuman, sebelum makan, sesudah buang air besar atau buang air kecil.

c) Kuku digunting pendek dan bersih, agar tidak melukai kulit atau menjadi sumber infeksi.

d) Pakaian perlu diganti sehabis mandi dengan pakaian yang habis dicuci bersih dengan sabun/ detergen, dijemur di bawah sinar matahari dan di setrika (Wartonah, 2010).

2.2 Lingkungan

Kesehatan lingkungan menurut World Health Organization (WHO) adalah suatu keseimbangan ekologi yang harus ada antara manusia dan lingkungan agar dapat menjamin keadaan sehat dari manusia. Ruang lingkup kesehatan lingkungan meliputi: penyediaan air minum, pengelolaan air buangan dan pengendalian pencemaran, pembuangan sampah padat, pengendalian vektor, pencegahan / pengendalian pencemaran tanah oleh ekskreta manusia, hygiene makanan termasuk hygiene susu, pengendalian pencemaran udara, pengendalian radiasi, kesehatan kerja, pengendalian kebisingan, perumahan dan pemukiman, aspek kesehatan lingkungan dan transportasi udara, perencanaan daerah perkotaan, pencegahan kecelakaan, rekreasi umum dan pariwisata, tindakan – tindakan sanitasi yang berhubungan dengan keadaan epidemi / wabah, bencana alam dan perpindahan penduduk, tindakan pencegahan yang diperlukan untuk menjamin lingkungan. (Ghandi, 2010)

Penelitian Yudhastuti dalam Richwanto (2013) kondisi lingkungan yang berhubungan dengan keberadaan jentik nyamuk Ae.aegypti adalah kelembaban udara, sedangkan jenis Kontainer berhubungan dengan keberadaan jentik nyamuk. Yudhastuti dalam Richwanto (2013) menyatakan bahwa Faktor lingkungan yang berhubungan dengan kejadian Demam Berdarah Dengue adalah Kelembaban dan tempat perindukan.

Kesehatan lingkungan adalah cabang ilmu kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan semua aspek dari alam dan lingkungan yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia. Kesehatan lingkungan didefinisi-kan oleh World Health Organization sebagai: aspek-aspek kesehatan manusia dan penyakit yang disebabkan oleh faktor-faktor dalam lingkungan. Hal ini juga mencakup pada teori dan praktek dalam menilai dan mengendalikan faktor-faktor dalam lingkungan yang dapat berpotensi mempengaruhi kesehatan. Kesehatan lingkungan mencakup efek patologis langsung bahan kimia, radiasi dan beberapa agen biologis, dan dampak (sering tidak langsung) di bidang kesehatan dan kesejahteraan fisik yang luas, psikologis, sosial dan estetika lingkungan termasuk perumahan, pembangunan perkotaan, penggunaan lahan dan transportasi (Notoadmodjo, 2012).

2.2.1 Sanitasi Lingkungan

Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan yang mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan sebagainya (Notoadmodjo, 2012).

Sanitasi adalah suatu usaha pencegahan penyakit yang menitik beratkan kegiatan pada usaha kesehatan lingkungan hidup manusia. Sanitasi merupakan bagian dari kesehatan lingkungan, ruang lingkup kesehatan lingkungan yaitu penyediaan air minum, pengolahan dan pengendalian pencemaran air, pengolahan sampah padat, pengendalian vektor (pemindah penyakit), pencegahan dan pengendalian pencemaran tanah oleh kotoran manusia, dan lain–lain, sanitasi (kebersihan) makanan dan minuman, pengendalian pencemaran udara, pengendalian bising, kesehatan kerja dan pencegahan kecelakaan, perumahan dan permukiman, dan pengawasan terhadap tempat–tempat rekreasi umum dan pariwisata (Andria, 2009).

Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk penyehatan lingkungan fisik antara lain penyediaan air bersih, mencegah terjadinya pencemaran udara, air dan tanah, dan memutuskan rantai penularan penyakit infeksi dan lain-lain yang dapat membahayakan serta menimbulkan kesakitan pada manusia atau masyarakat (Ismail, 2013):

a. Kepemilikan Jamban dan Jenis Jamban Tempat pembuangan tinja dari urine pada umumnya disebut latrine (jamban atau kaskus) dan memiliki kriteria yaitu tidak mengotori permukaan tanah di sekeliling jamban tersebut, tidak mengotori air permukaan di sekitarnya, tidak mengotori air tanah di sekitarnya, tidak dapat terjangkau oleh serangga terutama lalat, kecoa, dan binatang- binatang lainnya, tidak menimbulkan bau, mudah digunakan dan dipelihara (maintance), sederhana desainnya, murah, dan dapat diterima oleh pemakainya.

b. Ketersediaan Air Bersih Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan manusia setelah udara. Kehidupan sehari-hari air dipergunakan untuk memasak, mencuci, mandi, dan membersihkan kotoran yang ada di sekitar rumah. Air juga digunakan untuk keperluan industri, pertanian, pemadam kebakaran, tempat rekreasi, tranportasi,dan lain-lain. Berdasarkan letak sumbernya, air dapat dibagi menjadi tiga yaitu air angkasa (hujan), air permukaan, dan air tanah. Menurut Kusnaedi, syarat- syarat kualitas air bersih, antara lain airnya jernih tidak keruh, tidak berwarna, rasanya tawar, tidak berbau, suhunya normal (20-260C), tidak mengandung zat padat, ph netral, tidak mengandung zat kimia beracun, tidakmengandung garam-garam atau ion-ion logam, kesadahan rendah, tidak mengandung bahan kimia anorganik, dan air tidak boleh mengandung coliform (Andria, 2009).

c. Ketersediaan Sistem Pembuangan Air Limbah (SPAL) Secara garis besar karakteristik air limbah digolongkan sebagai berikut (Notoadmodjo, 2012):

1. Karakteristik fisik terdiri dari bahan padat dan suspensi terutama air limbah rumah tangga, biasanya berwarna suram seperti larutan sabun dan sedikit berbau, terkadang mengandung sisa–sisa kertas, berwarna bekas cucian beras dan sayur, bagian–bagian tinja, dan sebagainya.

2. Karakteristik kimiawi mengandung zat–zat kimia an-organik yang berasal dari air bersih serta bermacam–macam zat organik berasal dari penguraian tinja, urine, sampah, dan bersifat basah pada waktu busuk dan asam apabila sudah membusuk.

3. Karakteristik bakteriologis mengandung bakteri pathogen serta organisme golongan ecoli terdapat juga dalam air limbah tergantung dari mana sumbernya, namun keduanya tidak berperan dalam proses pengolahan air buangan .

Tujuan pengaturan air limbah dalam Entjang dalam Ismail (2013) sebagai berikut mencegah pengotoran sumber air rumah tangga, menjaga makanan misalnya sayuran yang dicuci dengan air permukaan, perlindungan terhadap ikan yang hidup dalam kolam ataupun di sungai, menghindari pengotoran tanah permukaan, perlindungan air untuk ternak, menghilangkan tempat berkembangbiaknya bibit–bibit penyakit (cacing dan sebagainya) dan vektor penyebar penyakit (nyamuk, lalat, dan sebagainya), menghilangkan adanya bau–bauan, dan pemandangan yang tidak sedap. Dampak pembuangan limbah tanpa pengelolaan yang baik yaitu kontaminasi dan pencemaran air permukaan dan badan –badan air yang digunakan manusia, mengganggu kehidupan dalam air (hewan dan tumbuhan air), menimbulkan bau tidak sedap, dan menimbulkan lumpur yang mengakibatkan pendangkalan sehingga terjadinya banjir.

d. Tempat Pembuangan Sampah Menurut Notoadmodjo (2012), sampah adalah sesuatu bahan atau benda padat yang sudah tidak dipakai oleh manusia atau benda padat yang sudah digunakan lagi dalam kegiatan dan dibuang. Sampah terdiri dari tiga jenis yaitu sampah padat, sampah cair, dan sampah dalam bentuk padat (fume and smoke ).

Menurut zat kimia yang dikandungnya sampah dibedakan menjadi dua yaitu (Andria, 2009) :

1. Sampah an-organik adalah sampah yang umumnya tidak dapat membusuk misalnya logam atau besi, pecahan gelas, plastik, dan sebagainya.

2. Sampah organik adalah sampah yang pada umumnya dapat membusuk misalnya sisa–sisa makanan, daun–daunan, buah–buahan, dan sebagainya.

e. Pengelolaan dan Pelestarian Lingkungan Pesisir

Pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup adalah upaya untuk melestarikan dan memelihara fungsi lingkungan hidup untuk kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup. Salah satu upaya untuk meningkatkan peran masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam dan wilayah pesisir dan laut adalah dengan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kesadaran masyarakat untuk berbuat sesuatu demi melindungi sumberdaya alam. Pengetahuan dan keterampilan tersebut tidak harus berkaitan langsung dengan upaya-upaya penanggulangan masalah kerusakan sumber daya alam tetapi juga hal-hal yang berkaitan dengan usaha ekonomi, terutama dalam rangka membekali masyarakat dengan usaha ekonomi alternatif sehingga tidak merusak lingkungan yaitu peningkatan pengetahuan dan wawasan lingkungan, pengembangan keterampilan masyarakat, pengembangan kapasitas masyarakat, pengembangan kualitas diri, peningkatan motivasi masyarakat untuk berperan serta dan penggalian, dan pengembangan nilai tradisional masyarakat.

Kesimpulan dari pembahasan di atas yaitu perilaku hidup bersih dan sehat adalah kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat mempraktekkan PHBS dengan tujuan derajat kesehatannya meningkat, tidak mudah sakit, meningkatnya produktivitas kerja setiap anggota keluarga yang tinggal dalam lingkungan sehat dalam rangka mencegah dan menanggulangi timbulnya penyakit dan masalah-masalah kesehatan, memanfaatkan pelayanan kesehatan, mengembangkan, dan menyelenggarakan upaya kesehatan bersumber masyarakat. Sanitasi adalah suatu usaha pencegahan penyakit yang menitikberatkan kegiatan pada usaha kesehatan lingkungan hidup manusia seperti memperhatikan ketersediaan air bersih, kepemilikan jamban, dan ketersediaan SPAL. Tempat pembuangan sampah juga perlu diperhatikan. Peran masyarakat sangat penting dengan meningkatkan pengetahuan, keterampilan,dan kesadaran masyarakat untuk berbuat sesuatu demi menjaga dan melindungi sumber daya alam.

Lingkungan Ruang lingkup sanitasi lingkungan terdiri dari beberapa cakupan. Kesehatan lingkungan merupakan ilmu kesehatan masyarakat yang menitik beratkan usaha preventif dengan usaha perbaikan semua faktor lingkungan agar manusia terhindar dari penyakit dan gangguan kesehatan. Menurut Kusnoputranto ruang lingkup dari kesehatan lingkungan meliputi (Bahtiar, 2010) :

1. Penyediaan air bersih

2. Pengolahan air buangan dan pengendalian pencemaran air.

3. Pengelolaan sampah padat.

4. Pencegahan/pengendalian pencemaran tanah. .

5. Pengendalian pencemaran udara.

6. Pengendalian radiasi.

7. Kesehatan kerja, terutama pengendalian dari bahaya- bahaya fisik, kimia dan biologis.

8. Pengendalian kebisingan.

9. Perumahan dan pemukiman, terutama aspek kesehatan masyarakat dari perumahan penduduk, bangunan- bangunan umum dan institusi.

10. Perencanaan daerah dan perkotaan.

11. Aspek kesehatan lingkungan dan transportasi udara, laut dan darat.

12. Rekreasi umum dan pariwisata.

13. Tindakan - tindakan sanitasi yang berhubungan dengan keadaan epidemi, bencana alam, perpindahan penduduk dan keadaan darurat.

14. Tindakan pencegahan yang diperlukan untuk menjamin agar lingkungan pada umumnya bebas dari resiko gangguan kesehatan.

2.3 Masyarakat Pesisir

Masyarakat Pesisir adalah suatu kondisi dimana fisik masyarakat yang tidak memiliki akses ke sarana dan prasarana dasar lingkungan yang memadai, kualitas perumahan dan pemukiman yang jauh di bawah standar kelayakan, dan mata pencaharian yang tidak menentu yang mencakup seluruh multidimensi yaitu dimensi politik, dimensi sosial, dimensi lingkungan, dimensi ekonomi, dan dimensi asset. Masyarakat pesisir dapat didefinisikan sebagai kelompok orang atau suatu komunitas yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir. Mereka terdiri dari nelayan, buruh nelayan, pembudidaya ikan, pedagang ikan, pengolah ikan, dan sarana produksi perikanan (Anonim, 2011).

Jadi, masyarakat pesisir merupakan sekelompok orang yang tinggal di daerah pesisir dimana kondisi fisiknya tidak memiliki akses ke sarana dan prasarana dasar lingkungan yang memadai, kualitas perumahan dan pemukiman yang jauh di bawah standar kelayakan, dan mata pencaharian yang tidak menentu.

Karakteristik Masyarakat Pesisir mempunyai sifat-sifat atau karakteristik tertentu yaitu ketergantungan pada kondisi lingkungan, ketergantungan pada musim, dan ketergantungan pada pasar. Berikut ini aspek penting mengenai masyarakat pesisir :

a. Ditinjau dari aspek biofisik wilayah, ruang pesisir dan laut serta sumberdaya yang terkandung di dalamnya bersifat khas sehingga adanya intervensi manusia pada wilayah tersebut dapat mengakibatkan perubahan yang signifikan seperti bentang alam yang sulit diubah dan proses pertemuan air tawar dan air laut yang menghasilkan beberapa ekosistem khas dan lain-lain.

b. Ditinjau dari aspek kepemilikan, wilayah pesisir dan laut serta sumberdaya yang terkandung di dalamnya sering memiliki sifat terbuka (open access). Kondisi tersebut berbeda dengan sifat kepemilikan bersama (common property) seperti yang terdapat di beberapa wilayah di Indonesia seperti Ambon dengan kelembagaan Sasi, NTB dengan kelembagaan tradisional Awig-Awig dan Sangihe, Talaud dengan kelembagaan Maneeh yang pengelolaan sumberdayanya diatur secara komunal. Karakteristik open access tersebut maka kepemilikan tidak diatur, setiap orang bebas memanfaatkan sehingga dalam pembangunan wilayah dan pemanfaatan sumberdaya sering menimbulkan konflik kepentingan pemanfaatan ruang dan sumberdaya serta peluang terjadinya degradasi lingkungan dan masalah eksternalitas lebih besar karena terbatasnya pengaturan pengelolaan sumberdaya.

2.4 Dermatitis

Dermatitis adalah peradangan kulit pada lapisan epidermis dan dermis sebagai respons terhadap pengaruh faktor eksogen atau faktor endogen, dengan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik seperti eritema, edema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi dan keluhan gatal. Tanda polimorfik tidak slalu timbul bersamaan, mungkin hanya beberapa atau oligomorfik. Dermatitis cenderung residif dan menjadi kronis (Djuanda, 2010).

Dermatitis kontak iritan merupakan respon inflamsi yang tidak berkaitan dengan reaksi imun dikarenakan paparan langsung dari agen bahan iritan dengan kulit. Dermatitis kontak Iritan juga merupakan efek sitotoksik lokal langsung dari bahan iritan fisika maupun kimia yang bersifat tidak spesifik, pada sel−sel epidermis dengan respon peradangan pada dermis dalam waktu konsentrasi yang cukup (Verayati, 2011).

2.4.1 Epidemiologi

Dermatitis kontak iritan dapat diderita oleh semua orang dari berbagai golongan umur, ras, dan jenis kelamin. Jumlah penderita DKI diperkirakan cukup banyak, terutama yang berhubungan dengan pekerjaan, namun angkanya yang tepat sulit diketahui. Hal ini disebabkan antara lain oleh banyak penderita dengan kelainan ringan tidak datang berobat, atau bahkan tidak mengeluh (Djuanda, 2010).

Dermatitis kontak okupasi adalah penyakit okupasi yang paling sering didunia. Angka kejadian dermatitis akibat pekerjaan di Amerika Serikat didapatkan 55,6% dari angka tersebut didapatkan 69,7% yang terbanyak adalah pekerja. Pekerja di bidang kuliner di Denmark merupkan insiden tertinggi terkena dermatitis kontak iritan, diikuti dengan pekerja cleaning service. Pada tahun 2014 di Jerman sekitar 4,5 per 10.000 pekerja terkena dermatitis kontak dengan insiden tertinggi ditemukan pada penata rambut yaitu 46,9 kasus per 10.000 pekerja pertahun, pembuat roti 23,5 kasus per 10.000 pekerja pertahun, dan dan pembuat kue kering 16,9 kasus per 10.000 pekerja pertahun. Dilaporkan bahwa insiden dermatitis kontakokupasi berkisar antara 5 hingga 9 kasus tiap 10.000 karyawan full−time tiap tahunnya (Hogan, 2014).

Prevalensi dermatitis kontak sangat bervariasi. Berdasarkan penelitian dari Netherland Expert Center On Occupational Dermatosis terhadap jumlah kasus penyakit kulit akibat kerja selama 5 tahun (2001−2005) di Negara Belanda, didapatkan hasil dari 4516 kasus baru, 3603 kasus merupakan kasus dermatitis kontak. Bila dibandingkan dengan penyakit lain, persentase kasus baru dermatitis kontak sebesar 79,8%, sehingga dermatitis kontak merupakan penyakit kulit akibat kerja yang paling sering diderita oleh masyarakat. Berdasarkan jenis kelamin, persentase wanita lebih banyak dibandingkan pria yaitu wanita 51,1% dengan kisaran umur yang dominan sekitar 15−24 dan 25−34 tahun sedangkan pria 49% dengan kisaran umur sekitar 35−44 tahun, 45−54 tahun, dan 55−64 tahun (Pal et al., 2008).

Perdoski (2009) sekitar 90% penyakit kulit akibat kerja merupakan dermatitis kontak, baik iritan maupun alergik. Penyakit kulit akibat kerja yang merupakan dermatitis kontak sebesar 92,5%, sekitar 5,4% karena infeksi kulit dan 2,1% penyakit kulit karena sebab lain. Studi epidemiologi, Indonesia memperlihatkan bahwa 97% dari 389 kasus adalah dermatitis kontak, dimana 66,3% diantaranya adalah dermatitis kontak iritan dan 33,7% adalah dermatitis kontak alergi. Dermatitis kontak iritan timbul pada 80% dari seluruh dermatitis kontak, sedangkan insiden dermatitis kontak alergik diperkirakan terjadi pada 0,21% dari populasi penduduk (Sumantri, 2010).

2.4.2 Gejala Klinis

Kelainan kulit yang sangat beragam, tergantung pada sifat iritan. Iritan kuat memberi gejala akut, sedang iritan lemah memberi gejala kronis (Marliza, 2013). Gejala klinis dermatitis iritan dibedakan berdasarkan klasifikasinya yaitu dermatitis kontak iritan akut dan dermatitis kontak iritan kronik.

1. Dermatitis kontak iritan akut

Dermatitis kontak iritan akut biasanya timbul akibat paparan bahan kimia asam atau basa kuat, atau paparan singkat serial bahan kimia, atau kontak fisik. Sebagian kasus dermatitis kontak iritan akut merupakan akibat kecelakaan kerja. Kelainan kulit yang timbul dapat berupa eritema, edema, vesikel, dapat disertai eksudasi, pembentukan bula dan nekrosis jaringan pada kasus berat (Marliza, 2013).

2. Dermatitis kontak iritan kronik

Dermatitis kontak iritan kronis disebabkan oleh kontak dengan iritan lemah yang berulang−ulang, dan mungkin dapat terjadi karena kerjasama berbagai macam faktor, suatu bahan secara sendiri tidak dapat cukup kuat menyebabkan dermatitis iritan, tetapi bila bergabung dengan faktor lain baru mampu. Kelainan dapat terlihat setelah berhari−hari, berminggu−minggu atau bulan, bahkan dapat bertahun−tahun kemudian, sehingga waktu lama kontak merupakan faktor paling penting (Mausulli, 2010).

Berdasarkan manifestasinya pada kulit dapat dibagi kedalam dua stadium, diantaranya (Afifah, 2012).:

a. Stadium 1 Kulit kering dan pecah−pecah, stadium ini dapat sembuh spontan.

b. Stadium 2 Ada kerusakan epidermis dan reaksi dermal. Kulit menjadi merah dan bengkak, terasa panas dan mudah terangsang kadang−kadang timbul papula, vesikula, dan krusta. Kerusakan kronik dapa menimbulkan likenifikasi. Keadaan ini menimbulkan retensi keringat dan perubahan flora bakteri.

2.4.3 Etiologi

Penyebab DKI kronik adalah bahan yang bersifat iritan, misalnya bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam, sabun, alkali, serbuk kayu. Dermatitis kontak iritan dapat menjadi parah ditentukan dengan berbagai faktor, selain faktor molekul bahan iritan, lama kontak, frekuensi paparan juga berpengaruh pada ingkat keparahan (Djuanda, 2010).

Dermatitis kontak dapat terjadi pada hampir semua jenis pekerjaan. Penyakit ini menyerang pekerja yang sering terpapar dengan bahan-bahan yang bersifat toksik maupun alergik. Efek kumulatif dari paparan zat-zat seperti air dan sabun juga dapat menyebabkan dermatitis kontak. Sebagian produk sabun mengandung SLS yang bersifat iritan terutama bila kontak langsung dengan kulit.Zat ini terkadang juga terdapat pada obat topikal (Hogan 2014)

Faktor individu juga berpengaruh pada DKI, misalnya perbedaan ketebalan kulit di berbagai tempat menyebabkan perbedaan permeabilitas, usia anak dibawah 8 tahun dan usia lanjut lebih mudah teriritasi, mengenai seluruh ras, jenis kelamin yaitu insidens DKI lebih banyak pada wanita, pada penyakit kulit yang pernah atau sedang dialami ambang rangsang terhadap bahan iritan menurun (Siregar, dalam Afifah, 2012).

Bahan iritan yang menjadi penyebab adalah bahan yang pada kebanyakan orang dapat mengakibatkan kerusakan sel bila dioleskan pada kulit pada waktu tertentu dan untuk jangka waktu tertentu. Bahan iritan dapat diklasifikasikan menjadi:

Iritan kuat

1. Rangsangan mekanik: serbuk kaca atau serat, wol.

2. Bahan kimia: atrazine, amida, linuron, glyfosfat, paraquat diklorida 4. Bahan biologik: dermatitis popok.

2.4.4 Patogenesis

Kerusakan membran mengaktifkan fosfolipase dan melepaskan asam arakidonat (AA), diasilgliserida (DAG), faktor aktivasi platelet, dan inositida (IP3). Asam rakidonat dirubah menjadi prostaglandin (PG) dan leukotrien (LT). Prostaglandin dan LT menginduksi vasodilatasi, dan meningkatkan permeabilitas vaskuler sehingga mempermudah transudasi komplemen dan kinin. Prostaglandi dan LT juga bertindak sebagai kemotraktan kuat untuk limfosit dan neutrofil, serta mengaktifasi sel mastmelepaskan histamin, LT dan PG lain, dan PAF, sehingga memperkuat perubahan vaskuler (Beltrani, Djuanda, 2010).

Diasilgliserida dan second messenger lain menstimulasi ekspresi gen dan sintesis protein, misalnya interleukin−1 (IL−1) dan granulocyte macrophage−colony stimulating factor (GM−CSF). IL−1 mengaktifkan sel T−helper mengeluarkan IL−2 dan mengekspresi reseptor IL−2 yang menimbulkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel tersebut. Keratinosit juga mengakibatkan molekul permukaan HLA−DR dan adesi intrasel (ICAM−1). Pada kontak dengan iritan, keratinosit juga melepaskan TNF−α, suatu sitokin proinflamasi yang dapat mengaktifasi sel T, makrofag dan granulosit, menginduksi ekspresi molekul adhesi sel dan pelepasan sitokin (Beltrani, dalam Djuanda, 2010).

Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik di tempat terjadinya kontak di kulit tergantung pada bahan iritannya. Ada dua jenis bahan iritan, yaitu iritan kuat dan iritan lemah. Iritan kuat akan menimbulkan kelainan kulit pada pajanan pertama pada hampir semua orang dan menimbulkan gejala berupa eritema, edema, panas, dan nyeri (Kamphf, 2011).

Ketika terkena paparan iritan, kulit menjadi radang, bengkak, kemerahan dan dapat berkembang menjadi vesikel atau papul dan mengeluarkan cairan bila terkelupas, gatal, perih, dan rasa terbakar terjadi pada bintik merah−merah itu. Reaksi inflamasi bermacam−macam mulai dari gejala awal seperti ini hingga pembentukan luka dan area nekrosis pada kulit. Dalam beberapa hari, penurunan dermatitis dapat terjadi bila iritan dihentikan. Pada pasien yang terpapar iritan secara kronik, area kulit tersebut akan mengalami radang, dan mulai mengkerut, membesar bahkan terjadi hiper atau hipopigmentasi dan penebalan (Verayati, 2011).

2.4.5 Faktor yang Mempengaruhi Dermatitis

Demartitis merupakan penyakit kulit multifaktoral yang dipengaruhi oleh faktor eksogen dan faktor endogen (DJuanda, 2010).

1. Faktor Eksogen

Faktor yang mempengaruhi terjadinya dermatitis kontak sebenarnya sulit diprediksi. Beberapa faktor berikut dianggap memiliki pengaruh terhadap terjadinya dermatitis kontak.

a. Karakteristik bahan kimia: Meliputi pH bahan kimia (bahan kimia dengan pH terlalu tinggi >12 atau terlalu rendahlebih tinggi >7 atau sedikit lebih rendahkuat dalam sekali paparan bisa menimbulkan gejala, untuk basa atau asam lema butuh beberapa kali paparan untuk timbulkan gejala, sedangkan untuk bahan kimia yang bersifat sensitizer paparan sekali saja tidak bisa menimbulkan gejala karena harus melalui fase sensitisasi dahulu (Afifah, 2012).

b. Faktor lingkungan Meliputi temperatur ruangan yaitu kelembaban udara serta suhu yang dingin merupakan komposisi air pada stratum korneum yang membuat kulit lebih permeable terhadap bahan kimia dan faktor mekanik yang dapat berupa tekanan, gesekan, atau lecet, juga dapat meningkatkan permeabilitas kulit terhadap bahan kimia akibat kerusakan stratum korneum pada kulit.

2. Faktor Endogen

Faktor endogen yang turut berpengaruh terhadap terjadinya dermatitis kontak meliputi (Lestari, dalam Verayati, 2011).

a. Faktor genetik, telah diketahui bahwa kemampuan untuk mereduksi radikal bebas, perubahan kadar enzim antioksidan, dan kemampuan melindungi protein dari trauma panas, semuanya diatur oleh genetik dan predisposisi terjadinya suatu reaksi pada tiap individu berbeda dan mungkin spesifik untuk bahan kimia tertentu (Afriyanto, dalam Verayati, 2011).

b. Jenis kelamin, mayoritas dari pasien yang ada merupakan pasien perempuan, dibandingkan laki−laki, hal ini bukan karena perempuan memiliki kulit yang lebih rentan, tetapi karena perempuan lebih sering terpapar dengan bahan iritan dan pekerjaan yang lembab (Situmeang, dalam Verayati, 2011).

c. Usia, anak dengan usia kurang dari 8 tahun lebih rentan terhadap bahan kimia, sedangkan pada orang yang lebih tua bentuk iritasi dengan gejala kemerahan sering tidak tampak pada kulit (Afifah, 2012).

d. Ras, sebenarnya belum studi yang menjelaskan tipe kulit yang mana yang secara signifikan mempengaruhi terjadinya dermatitis. Hasil studi yang baru, menggunakan adanya eritema pada kulit sebagai parameter menghasilkan orang berkulit hitam lebih resisten terhadap dermatitis, akan tetapi hal ini bisa jadi salah, karena eritema pada kulit hitam terlihat (Sudarja, dalam Verayati, 2011).

e. Lokasi kulit, ada perbedaan yang signifikan pada fungsi barier kulit pada lokasi yang berbeda seperti wajah, leher, skrotum dan punggung tangan lebih rentan dermatitis (Sulaksmono, 2004).

f. Riwayat atopi, dengan adanya riwayat atopi, akan meningkatkan kerentanan terjadinya dermatitis karena adanya penurunan ambang batas terjadinya dermatitis, akibat kerusakan fungsi barier kulit dan perlambatan proses penyembuhan (Lestari, dalam Verayati, 2011).

g. Faktor lain dapat berupa prilaku individu: kebersihan perorangan, serta penggunaan alat pelindung diri saat bekerja (Mulyaningsih, dalam Verayati, 2011).

3. Sanitasi Lingkungan

Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan yang mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan sebagainya (Notoadmodjo, 2012).

Sanitasi adalah suatu usaha pencegahan penyakit yang menitikberatkan kegiatan pada usaha kesehatan lingkungan hidup manusia. Sanitasi merupakan bagian dari kesehatan lingkungan, ruang lingkup kesehatan lingkungan yaitu penyediaan air minum, pengolahan dan pengendalian pencemaran air, pengolahan sampah padat, pengendalian vektor (pemindah penyakit), pencegahan dan pengendalian pencemaran tanah oleh kotoran manusia, dan lain–lain, sanitasi (kebersihan) makanan dan minuman, pengendalian pencemaran udara, pengendalian bising, kesehatan kerja dan pencegahan kecelakaan, perumahan dan permukiman, dan pengawasan terhadap tempat–tempat rekreasi umum dan pariwisata (Andria, 2009).

Sanitasi lingkungan berpengaruh besar untuk timbulnya penyakit, seperti penyakit dermatitis, di mana pekerjaan dengan lingkungan basah, tempat-tempat lembab 40 atau panas, pemakaian alat-alat yang salah, dengan tidak adanya sanitasi lingkungan maka akan cepat terkena peyakit dermatitis (Siregar, 2012).

Alergi adalah penyakit yang biasanya ditimbulkan oleh faktor keturunan dan faktor lingkungan. Jika faktor keturunan kadarnya besar dan faktor lingkungan kecil, reaksi alergen tetap bisa terjadi. Tetapi kalau faktor keturunan besar dan lingkungan tidak memacu, alergi itu tidak akan terjadi. Lingkungan yang harus dihindari oleh penderita alergi antara lain udara yang buruk, perubahan suhu yang besar, hawa yang terlalu panas atau dingin, lembab, bau-bauan seperti cat baru, obat nyamuk, semprotan (pewangi maupun pembasmi serangga), asap (rokok, bakar sampah), polusi udara dan industri (Kanen dalam Cahyawati, 2010).

Kecenderungan alergi dipengaruhi dua faktor yaitu genetik dan lingkungan (faktor eksternal tubuh). Hal tersebut merupakan salah satu penjelasan mengapa terjadi peningkatan kemungkinan mendapat alergi. Salah satu yang dapat dilakukan adalah mengontrol lingkungan sehingga tidak membahayakan (misalnya menghindari tungau debu rumah seperti karpet, kapuk, bahan beludru, pada sofa atau gordyn, ventilasi yang baik di rumah atau kamar, jauh dari orang yang sedang merokok, menghindari makanan yang diketahui sering menyebabkan alergi seperti susu, telur, makanan laut, coklat), serta menghindari kecoak dan serpihan kulit binatang peliharaan (Iris Rengganis, 2009).

2.4.6 Diagnosis Klinis

Pada dermatitis kontak tidak memiliki gambaran klinis yang tetap. Untuk menegakan diagnosis dapat didasarakan pada (Siregar, dalam Suryani, 2011):

a. Anamnesis, harus dilakukan dengan cermat. Anamnesis dermatologis terutama mengandung pertanyaan−pertanyaan seperti onset dan durasi, fluktuasi, perjalanan gejala−gejala, riwayat penyakit terdahulu, riwayat keluarga, pekerjaan dan hobi, kosmetik yang digunakan serta terapi yang dijalani (Mulyaningsih, dalam Suryani, 2011).

b. Pemeriksaan klinis, hal pokok dalam pemeriksaan dermatologis yang baik adalah:

1. Lokasi atau distribusi dari kelainan yang ada.

2. Karakteristik dari setiap lesi, dilihat dari morfologi lesi (eritema, urtikaria, likenifiksasi, perubahan pigmen kulit).

3. Pemeriksaan lokasi−lokasi sekunder.

c. Teknik−teknik pemeriksaan khusus, hasil pemeriksaan laboratorium didukung dengan pemeriksaan tes tempel (Suryani, 2011). Dermatitis kontak iritan akut lebih mudah diketahui karena munculnya lebih cepat sehingga penderita pada umumnya masih ingat apa yang menjadi penyebabnya. Sebaliknya, dermatitis kontak iritan kronis timbulnya lambat dan memiliki gambaran klinis yang luas, sehingga terkadang sulit dibedakan dengan dermatitis kontak alergi.

3.5 Kerangka Teoritis

(Personal HygieneKebiasaan Mencuci TanganKebiasaan MandiKuku di guntingPakaian di Ganti sehabis Mandi(Wartonah, 2010))Landasan teori dalam penelitian ini menggunakan teori Wartonah (2010) yaitu terdiri dari:

(Kejadian Dermatitis)

(LingkunganKebersihan LingkunganSumber AirKualitas air(Ismail, 2013))

(Gambar 2.1 Kerangka Teori PenelitianSumber: Wartonah (2010) dan Ismail (2013))

2.6 Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Landasan teori dalam penelitian ini yaitu terdiri dari:

(Personal HygieneKebiasaan Mencuci TanganKebiasaan Mandi)

(Kejadian Dermatitis)

(LingkunganKebersihan LingkunganSumber AirKualitas air)

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian survey yang bersifat analitik dengan pendekatan Cross Sectional, dimana variabel bebas dan terikat diteliti pada saat yang bersamaan saat penelitian dilakukan, yang bertujuan untuk mengetahui analisis Hubungan Kebersihan Perorangan (personal Hygiene) dan Lingkungan dengan kejadian Dermatitis Pada Masyarakat Pesisir Wilayah Kerja Puskesmas Sibigo Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue.

3.2 Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Kerja Puskesmas Sibigo Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue pada tanggal 21 April-1 Mei 2016.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh KK di Wilayah Kerja Puskesmas Sibigo Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue yaitu sebanyak 798 KK.

3.3.2 Sampel

(32)Menurut Notoatmodjo (2010), cara pengambilan sampel pada penelitian ini adalah secara acak sederhana atau random sampling (yaitu sampel di pilih berdasarkan responden yang ada di rumah saat penelitian dilakukan) dengan rumus slovin sebagai berikut:

(N)

(1+N (d)²)n =

Keterangan: N : Populasi Penelitian

n : Sampel penelitian

d : Tingkat Kesalahan/ eror yang di gunakan (0,1)

(798)

(1+798 (0,1)²)n =

(798)

(1+798(0,01))n =

(798)

(8,98)n =

n =88,8 digenapkan menjadi 89

Jadi jumlah keseluruhan yang diambil adalah sebanyak 89 responden. Pengambilan sampel dilakukan secara acak yaitu mengambil sampel dengan cara memilih KK yang ada di rumah saat penelitian dilakukan.

Tabel 3. 1. Daftar Sampel Penelitian

No

Nama Desa

Jumlah Populasi

Rumus Proposi di ruangan

Sampel

1.

Layabaung

118

118/798x89

13

2.

Sigulai

212

212/798x89

24

3.

Lamamek

124

124/798x89

14

4.

Batu Ragi

132

132/798x89

15

5.

Sembilan

114

114/798x89

13

6.

Sinar Bahagia

98

98/798x89

11

Jumlah

798

89

3.3.3 Kriteria Inklusi dan Ekslusi

Adapun kriteria inklusi dan ekslusi adalah sebagai berikut :

1. Kriteria inklusi

Kriteria inklusi adalah kriteria dimana subjek penelitian dapat mewakili dalam sampel penelitian yang memenuhi syarat sebagai sampel (Notoatmodjo, 2010) yaitu :

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :

a. Masyarakat yang berumur > 20 tahun

b. Berdomisili di Wilayah Kerja Puskesmas Sibigo

c. Bersedia menjadi responden pada penelitian ini

2. Kriteria ekslusi

Kriteria ekslusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian tidak dapat mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat sebagai sampel penelitian (Notoatmodjo, 2010).

Kriteria ekslusi dalam penelitian ini adalah;

a. Masyarakat yang berumur < 20 tahun

b. Tidak berdomisili di Wilayah Kerja Puskesmas Sibigo

c. Tidak bersedia menjadi responden pada penelitian ini

3.4 Metode Pengumpulan Data

Setelah data dikumpulkan penulis melakukan pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Editing (memeriksa), yaitu data yang telah didapatkan diedit untuk mengecek ulang atau mengoreksi untuk mengetahui kebenaran.

2. Coding, dimana data yang telah didapat dari hasil penelitian dikumpul dan diberi kode.

3. Transfering data, dimana data yang telah dibersihkan dimasukkan dalam komputer kemudian data tersebut diolah dengan program komputer.

4. Tabulating data, data yang telah dikoreksi kemudian dikelompokkan dalam bentuk tabel.

3.5 Jenis dan Sumber Data

1. Data Primer

Data yang diperoleh dari peninjauan langsung kelapangan melalui wawancara dan observasi dengan menggunakan kuisioner yang telah disusun sebelumnya.

2. Data Sekunder

Data yang diperoleh dari Puskesmas Sibigo Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue

3.6 Definisi Operasional

Tabel 3.1. Definisi Operasional

Variabel Independen

No

Variabel

Definisi

Cara Ukur

Alat Ukur

Hasil Ukur

Skala

1.

Kebiasaan Mencuci tangan

Kebiasaan responden mencuci tangan setiap harinya

Wawancara

Kuesioner

1. Ada

2.Tidak Ada

Ordinal

2.

Kebiasaan Mandi

Kebiasaan mandi responden 2 kali sehari

Wawancara

Kuesioner

1. Ada

2.Tidak Ada

Ordinal

3

Kebersihan Lingkungan

Menjaga lingkungan yang bersih baik di sekitar rumah

Wawancara

Kuesioner

1. Bersih

2.Kurang Bersih

Ordinal

4.

Sumber Air

Sumber air yang digunakan oleh responden untuk keperluan sehari-hari

Observasi

Ceklis

1.sumur

Galian

2. PDAM

Ordinal

5

Kualitas Air

Kebersihan air bersih yang digunakan oleh responden

Observasi

Ceklis

1. Bersih

2.Kurang Bersih

Ordinal

Variabel Independen

.

Kejadian Dermatitis

Peradangan kulit pada lapisan epidermis

Wawancara

Kuesioner

1. Ada

2.Tidak Ada

Ordinal

3.7 Aspek Pengukuran Variabel

Aspek pengukuran yang digunakan dalam pengukuran variabel dalam penelitian ini adalah skala Guddman yaitu memberi skor dari nilai tertinggi ke nilai terendah berdasarkan jawaban responden (Notoatmodjo, 2010).

1. Kebiasaan Mencuci Tangan

Ada: jika responden mendapat skor nilai > 2

Tidak Ada: jika responden mendapat skor nilai ≤ 2

2. Kebiasaan Mandi

Ada: jika responden mendapat skor nilai > 2

Tidak Ada: jika responden mendapat skor nilai ≤ 2

3. Kebersihan Lingkungan

Bersih: jika responden mendapat skor nilai > 2

Kurang Bersih: jika responden mendapat skor nilai ≤ 2

4. Sumber Air

PDAM= 1

Sumur Galian= 0

5. Kualitas Air

Bersih: jika responden mendapat skor nilai > 2

Kurang Bersih: jika responden mendapat skor nilai ≤ 2

6. Faktor Kejadian Dermatitis

Ada: jika responden mendapat skor nilai = 1

Tidak Ada: jika responden mendapat skor nilai <1

3.8 Teknik Analisis Data

3.8.1 Analisis Univariat

Analisis Univariat dilakukan untuk mendapat data tentang distribusi frekuensi dari masing-masing variabel, kemudian data ini di sajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.

3.8.2 Analisis Bivariat

Analisis ini digunakan untuk mengetahui hipotesis dengan menentukan hubungan antara variabel independen (variabel bebas) dengan variabel dependen (variabel terikat) dengan menggunakan uji statistik Chi-square (X2) (Sugiyono, 2012).

Kemudian untuk mengamati derajat hubungan antara variabel tersebut akan di hitung nilai odd ratio (OR). Bila tabel 2 x 2, dan dijumpai nilai expected (harapan) kurang dari 5, maka yang digunakan adalah “Fisher’s Exact Test”

Analis data dilakukan dengan menggunakan perangkat computer SPSS untuk membuktikan yaitu dengan ketentuan p value < 0,05 (H0 ditolak) sehingga disimpulkan ada hubungan yang bermakna.

Dalam melakukan uji Chi-Square ada syarat-syarat yang harus dipenuhi:

1. Bila 2 x 2 dijumpai nilai expected (harapan) kurang dari 5, maka yang digunakan adalah fisher`s test,

2. Bila 2 x 2 dan nilai E > 5, maka uji yang dipakai sebaliknya Contiuty Corection,

3. Bila table lebih dari 2 x 2 misalnya 2 x 3, 3 x 3 dan seterusnya, maka digunakan uji pearson Chi-square.

4. Uji ‘’ likelihood Ratio’’, biasanya digunakan untuk keperluan lebih spesifik , misalnya analisis stratifikasi pada bidang epidemiologi dan juga untuk mengetahui hubungan linier dua variabel katagorik ,sehingga kedua jenis ini jarang digunakan.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum

4.1.1. Keadaan Geografis Lokasi Penelitian

UPTD Puskesmas Sibigo merupakan Puskesmas yang berada di wilayah Kecamatan Simeulue Barat. Berdiri pada tahun 1974 terletak di sebelah Barat Kota Kabupaten Simeulue kurang lebih berjarak 3,5 km tepatnya berada di Gampong Sibigo. Luas wilayah 500 m2 dengan persentase luas Kecamatan terhadap Kabupaten adalah 2,85% jumlah wilayah kerjanya meliputi 6 Gampong dengan batasannya :

· Sebelah Utara :Samudera Hindia

· Sebelah Selatan:Kecamatan Salang

· Sebelah Barat:Kecamatan Alafan

· Sebelah Timur:Kecamatan Teluk Dalam

Jumlah ruangan di Puskesmas Sibigo adalah sebanyak 9 ruangan yang terdiri dari ruangan Kepala Puskesmas, ruang Farmasi, Ruang Poli Umum, ruang Gigi, ruang Kesling, ruang Poli THT, ruang Lab, Ruang Perawat, dan Ruang Apotik.

(39)

4.2. Hasil Penelitian

4.2.1. Analisis Univariat

Analisis Univariat adalah untuk melihat karakteristik responden yang ditampilkan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.

1. Umur Responden

Hasil perhitungan frekuensi dan persentase berdasarkan umur responden dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut dibawah ini:

Tabel 4.1. Distribusi Responden Berdasarkan Umur dengan Kejadian Dermatitis pada Masyarakat Pesisir di Wilayah Kerja Puskesmas Sibigo Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue

No

Umur

Frekuensi (n)

Presentase %

1

21-25 Tahun

10

11,2

2

26-30 Tahun

15

16,9

3

31-35 Tahun

6

6,7

4

36-40 Tahun

28

31,5

5

41-45 Tahun

14

15,7

6

>45 Tahun

16

18,0

Total

89

100

Sumber: data primer 2016

Berdasarkan tabel 4.1 di ketahui bahwa responden tertinggi yang berumur 36-40 tahun adalah sebanyak 28 responden (31,5%), sedangkan responden terendah yang berumur 31-35 tahun adalah sebanyak 6 responden (6,7%).

2. Jenis Kelamin

Hasil perhitungan frekuensi dan persentase berdasarkan jenis kelamin responden dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut dibawah ini:

Tabel 4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dengan Kejadian Dermatitis pada Masyarakat Pesisir di Wilayah Kerja Puskesmas Sibigo Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue

No

Jenis Kelamin

Frekuensi (n)

Presentase (%)

1

Laki-laki

45

50,6

2

Perempuan

44

49,4

Total

89

100

Sumber: data primer 2016

Berdasarkan tabel 4.2 diketahui bahwa responden yang tertinggi adalah yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 45 responden (50,6%) dan responden yang terendah adalah yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 44 responden (49,4%.)

3. Pendidikan

Hasil perhitungan frekuensi dan persentase berdasarkan pendidikan responden dapat dilihat pada tabel 4.3 berikut dibawah ini:

Tabel 4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan dengan Kejadian Dermatitis pada Masyarakat Pesisir di Wilayah Kerja Puskesmas Sibigo Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue

No

Pendidikan

Frekuensi (n)

Presentase (%)

1

SD

24

27,0

2

SMP

22

24,7

3

SMA

33

37,1

4

Perguruan Tinggi

10

11,2

Total

89

100

Sumber: data primer 2016

Berdasarkan tabel 4.3 diketahui bahwa responden yang tertinggi adalah yang berpendidikan SMA sebanyak 33 responden (37,1%) dan responden yang terendah adalah yang berpendidikan Perguruan Tinggi sebanyak 10 responden (11,2%.).

4. Pekerjaan

Hasil perhitungan frekuensi dan persentase berdasarkan pendidikan responden dapat dilihat pada tabel 4.4 berikut dibawah ini:

Tabel 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan dengan Kejadian Dermatitis pada Masyarakat Pesisir di Wilayah Kerja Puskesmas Sibigo Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue

No

Pekerjaan

Frekuensi (n)

Presentase (%)

1

IRT

24

27,0

2

Nelayan

30

33,7

3

Dagang

20

22,5

4

Swasta

15

16,8

Total

89

100

Sumber: data primer 2016

Berdasarkan tabel 4.4 diketahui bahwa responden yang tertinggi adalah yang bekerja sebagai nelayan sebanyak 30 responden (33,7%) dan responden yang terendah adalah yang bekerja sebagai swasta sebanyak 15 responden (16,8%.)

5. Kebiasaan Mencuci Tangan

Hasil perhitungan frekuensi dan persentase dari variabel kebiasaan mencuci tangan dapat dilihat pada tabel 4.5 berikut dibawah ini:

Tabel 4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Kebiasaan Mencuci Tangan dengan Kejadian Dermatitis pada Masyarakat Pesisir di Wilayah Kerja Puskesmas Sibigo Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue

No

Kebiasaan Mencuci Tangan

Frekuensi (n)

Presentase (%)

1

Ada

28

31,5

2

Tidak Ada

61

68,5

Total

89

100

Sumber: data primer 2016

Berdasarkan tabel 4.5 diketahui bahwa responden yang memiliki kebiasaan mencuci tangan tidak ada sebanyak 61 responden (68,5%), dan memiliki kebiasaan mencuci tangan ada sebanyak 28 responden (31,5%)

6. Kebiasaan Mandi

Hasil perhitungan frekuensi dan persentase dari variabel kebiasaan mandi dapat dilihat pada tabel 4.6 berikut dibawah ini:

Tabel 4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Kebiasaan Mandi dengan Kejadian Dermatitis pada Masyarakat Pesisir di Wilayah Kerja Puskesmas Sibigo Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue

No

Kebiasaan Mandi

Frekuensi (n)

Presentase (%)

1

Ada

29

32,6

2

Tidak Ada

60

67,4

Total

89

100

Sumber: data primer 2016

Berdasarkan tabel 4.6 diketahui bahwa responden yang memiliki kebiasaan mandi tidak ada sebanyak 60 responden (67,4%), dan yang memiliki kebiasaan mandi ada sebanyak 29 responden (32,6%)..

7. Kebersihan Lingkungan

Hasil perhitungan frekuensi dan persentase dari variabel kebersihan lingkungan dapat dilihat pada tabel 4.6 berikut dibawah ini:

Tabel 4.7. Distribusi Responden Berdasarkan Kebersihan Lingkungan dengan Kejadian Dermatitis pada Masyarakat Pesisir di Wilayah Kerja Puskesmas Sibigo Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue

No

Kebersihan Lingkungan

Frekuensi (n)

Presentase (%)

1

Bersih

26

29,2

2

Kurang Bersih

63

70,8

Total

89

100

Sumber: data primer 2016

Berdasarkan tabel 4.7 diketahui bahwa responden yang memiliki kebersihan lingkungan kurang bersih sebanyak 63 responden (70,8%), dan yang memiliki kebersihan lingkungan bersih sebanyak 26 responden (29,2%)..

8. Sumber Air

Hasil perhitungan frekuensi dan persentase dari variabel sumber air dapat dilihat pada tabel 4.8 berikut dibawah ini:

Tabel 4.8. Distribusi Responden Berdasarkan Sumber Air dengan Kejadian Dermatitis pada Masyarakat Pesisir di Wilayah Kerja Puskesmas Sibigo Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue

No

Sumber Air

Frekuensi (n)

Presentase (%)

1

Sumur Galian

32

36,0

2

PDAM

57

64,0

Total

89

100

Sumber: data primer 2016

Berdasarkan tabel 4.8. diketahui bahwa responden yang memiliki sumber air dari PDAM sebanyak 57 responden (64,0%), dan yang memiliki sumber air dari sumur galian sebanyak 32 responden (36,0%).

9. Kualitas Air

Hasil perhitungan frekuensi dan persentase dari variabel kualitas air dapat dilihat pada tabel 4.9 berikut dibawah ini:

Tabel 4.9. Distribusi Responden Berdasarkan Kualitas Air dengan Kejadian Dermatitis pada Masyarakat Pesisir di Wilayah Kerja Puskesmas Sibigo Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue.

No

Kualitas Air

Frekuensi (n)

Presentase (%)

1

Bersih

32

36,0

2

Kurang Bersih

57

64,0

Total

89

100

Sumber: data primer 2016

Berdasarkan tabel 4.9 diketahui bahwa responden yang memiliki kualitas air kurang bersih sebanyak 57 responden (64,0%), dan yang memiliki kualitas air bersih sebanyak 32 responden (36,0%).

10. Kejadian Dermatitis

Hasil perhitungan frekuensi dan persentase dari variabel kejadian dermatitis dapat dilihat pada tabel 4.10 berikut dibawah ini:

Tabel 4.10. Distribusi Responden Berdasarkan Kejadian Dermatitis pada Masyarakat Pesisir di Wilayah Kerja Puskesmas Sibigo Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue

No

Kejadian Dermatitis

Frekuensi (n)

Presentase (%)

1

Ada

50

56,2

2

Tidak Ada

39

43,8

Total

89

100

Sumber: data primer 2016

Berdasarkan tabel 4.10. diketahui bahwa responden yang mengalami kejadian dermatitis sebanyak 50 responden (56,2%), dan yang tidak ada mengalami kejadian dermatitis sebanyak 39 responden (43,8%).

4.2.2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat untuk mengetahui hubungan variabel independent dan dependen. Pengujian ini menggunakan uji chi-square. Dimana ada hubungan yang bermakna secara statistik jika diperoleh nilai Pvalue < 0,05.

1. Hubungan Faktor Kebiasaan Mencuci Tangan dengan Kejadian Dermatitis

Tabel 4.11. Faktor Kebiasaan Mencuci Tangan yang Berhubungan dengan Kejadian Dermatitis pada Masyarakat Pesisir di Wilayah Kerja Puskesmas Sibigo Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue

Kebiasaan Kejadian Dermatitis Total

Mencuci Ada Tidak Ada p RP

Tanganf %f% f%

Ada828,62071,4281000,0010,41

Tidak Ada42 68,91931,161100

Jumlah5056,23943,889100

Sumber: data primer 2016

Berdasarkan tabel 4.11 diketahui bahwa dari 61 responden yang tidak ada memiliki kebiasaan mencuci tangan sebanyak 42 responden (68,9%) yang ada mengalami dermatitis, dan sebanyak 19 responden (31,1%) yang tidak ada mengalami kejadian dermatitis. Selanjutnya 28 responden yang ada memiliki kebiasaan mencuci tangan sebanyak 20 responden (71,4%) yang tidak ada mengalami kejadian dermatitis dan sebanyak 8 responden (28,6%) yang ada mengalami dermatitis.

Berdasarkan hasil uji chi square didapat nilai Pvalue = 0,001 dan ini lebih kecil dari α = 0,05 (Pvalue = 0,001 < α = 0,05) sehingga diuraikan terdapat hubungan antara faktor kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian dermatitis pada masyarakat pesisir di wilayah kerja Puskesmas Sibigo Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue.

Berdasarkan hasil RP 0,41 dapat disimpulkan bahwa kebiasaan mencuci tangan memiliki resiko lebih kecil dengan kejadian dermatitis pada masyarakat pesisir di wilayah kerja Puskesmas Sibigo Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue.

2. Hubungan Faktor Kebiasaan Mandi dengan Kejadian Dermatitis

Tabel 4.12. Faktor Kebiasaan Mandi yang Berhubungan dengan Kejadian Dermatitis pada Masyarakat Pesisir di Wilayah Kerja Puskesmas Sibigo Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue

Kebiasaan Kejadian Dermatitis Total

Mandi Ada Tidak Ada p RP

f %f% f%

Ada1137,91862,1291000,0290,58

Tidak Ada39 65,02135,0 60100

Jumlah5056,23943,889100

Sumber: data primer 2016

Berdasarkan tabel 4.12 diketahui bahwa dari 60 responden yang tidak ada memiliki kebiasaan mandi sebanyak 39 responden (65,0%) yang ada mengalami dermatitis, dan sebanyak 21 responden (35,0%) yang tidak ada mengalami kejadian dermatitis. Selanjutnya dari 29 responden yang ada memiliki kebiasaan mandi sebanyak 18 responden (62,1%) yang tidak ada mengalami kejadian dermatitis dan sebanyak 11 responden (37,9%) yang ada mengalami dermatitis

Berdasarkan hasil uji chi square didapat nilai Pvalue = 0,029 dan ini lebih kecil dari α = 0,05 (Pvalue = 0,029 < α = 0,05) sehingga diuraikan terdapat hubungan antara faktor kebiasaan mandi dengan kejadian dermatitis pada masyarakat pesisir di wilayah kerja Puskesmas Sibigo Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue.

Berdasarkan hasil RP 0,58 dapat disimpulkan bahwa kebiasaan mandi memiliki resiko lebih kecil dengan kejadian dermatitis pada masyarakat pesisir di wilayah kerja Puskesmas Sibigo Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue.

3. Hubungan Faktor Kebersihan Lingkungan dengan Kejadian Dermatitis

Tabel 4.13. Faktor Kebersihan Lingkungan yang Berhubungan dengan Kejadian Dermatitis pada Masyarakat Pesisir di Wilayah Kerja Puskesmas Sibigo Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue

Kebersihan Kejadian Dermatitis Total

Lingkungan Ada Tidak Ada p RP

f %f% f%

Bersih934,61765,4261000,0160,53

Kurang Bersih41 65,12234,963100

Jumlah5056,23943,889100

Sumber: data primer 2016

Berdasarkan tabel 4.13 diketahui bahwa dari 63 responden yang memiliki kebersohan lingkungan kurang bersih sebanyak 41 responden (65,1%) yang ada mengalami dermatitis, dan sebanyak 22 responden (34,9%) yang tidak ada mengalami kejadian dermatitis. Selanjutnya dari 26 responden yang memiliki kebersihan lingkungan bersih sebanyak 17 responden (65,4%) yang tidak ada mengalami kejadian dermatitis dan sebanyak 9 responden (34,6%) yang ada mengalami dermatitis.

Berdasarkan hasil uji chi square didapat nilai Pvalue = 0,016 dan ini lebih kecil dari α = 0,05 (Pvalue = 0,016 < α = 0,05) sehingga diuraikan terdapat hubungan antara faktor kebersihan lingkungan dengan kejadian dermatitis pada masyarakat pesisir di wilayah kerja Puskesmas Sibigo Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue.

Berdasarkan hasil RP 0,53 dapat disimpulkan bahwa kebersihan lingkungan memiliki resiko lebih kecil dengan kejadian dermatitis pada masyarakat pesisir di wilayah kerja Puskesmas Sibigo Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue.

4. Hubungan Faktor Sumber Air dengan Kejadian Dermatitis

Tabel 4.14. Faktor Sumber Air yang Berhubungan dengan Kejadian Dermatitis pada Masyarakat Pesisir di Wilayah Kerja Puskesmas Sibigo Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue

Sumber Kejadian Dermatitis Total

Air Ada Tidak Ada p RP

f %f% f%

Sumur Galian1237,52071,4321000,0150,56

PDAM38 66,71931,157100

Jumlah5056,23943,889100

Sumber: data primer 2016

Berdasarkan tabel 4.14 diketahui bahwa dari 57 responden yang sumber air PDAM sebanyak 38 responden (66,7%) yang ada mengalami dermatitis, dan sebanyak 19 responden (31,1%) yang tidak ada mengalami kejadian dermatitis. Selanjutnya 32 responden yang memiliki sumber air sebanyak 20 responden (71,4%) yang tidak ada mengalami kejadian dermatitis dan sebanyak 12 responden (37,5%) yang ada mengalami dermatitis

Berdasarkan hasil uji chi square didapat nilai Pvalue = 0,015 dan ini lebih kecil dari α = 0,05 (Pvalue = 0,015 < α = 0,05) sehingga diuraikan terdapat hubungan antara faktor sumber air dengan kejadian dermatitis pada masyarakat pesisir di wilayah kerja Puskesmas Sibigo Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue.

Berdasarkan hasil RP 0,56 dapat disimpulkan bahwa sumber air memiliki resiko lebih kecil dengan kejadian dermatitis pada masyarakat pesisir di wilayah kerja Puskesmas Sibigo Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue.

5. Hubungan Faktor Kualitas Air dengan Kejadian Dermatitis

Tabel 4.15. Faktor Kualitas Air yang Berhubungan dengan Kejadian Dermatitis pada Masyarakat Pesisir di Wilayah Kerja Puskesmas Sibigo Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue

Kualitas Kejadian Dermatitis Total

Air Ada Tidak Ada p RP

f %f% f%

Bersih1134,42165,6321000,0040,50

Kurang Bersih39 68,41831,657100

Jumlah5056,23943,889100

Sumber: data primer 2016

Berdasarkan tabel 4.15 diketahui bahwas dari 57 responden yang memiliki kualitas air kurang bersih sebanyak 39 responden (68,4%) yang ada mengalami dermatitis, dan sebanyak 18 responden (31,6%) yang tidak ada mengalami kejadian dermatitis. Selanjutnya dari 32 responden yang memiliki kualitas air bersih sebanyak 21 responden (65,6%) yang tidak ada mengalami kejadian dermatitis dan sebanyak 11 responden (34,4%) yang ada mengalami dermatitis.

Berdasarkan hasil uji chi square didapat nilai Pvalue = 0,004 dan ini lebih kecil dari α = 0,05 (Pvalue = 0,004 < α = 0,05) sehingga diuraikan terdapat hubungan antara faktor kualitas air dengan kejadian dermatitis pada masyarakat pesisir di wilayah kerja Puskesmas Sibigo Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue.

Berdasarkan hasil RP 0,50 dapat disimpulkan bahwa kualitas air memiliki resiko lebih kecil dengan kejadian dermatitis pada masyarakat pesisir di wilayah kerja Puskesmas Sibigo Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue.

4.3 Pembahasan

Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui Hubungan Kebersihan Perorangan (personal Hygene) dan Lingkungan dengan kejadian Dermatitis Pada Masyarakat Pesisir Wilayah Kerja Puskesmas Sibigo Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue. Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah variabel independen yaitu variabel kebiasaan mencuci tangan, kebiasaan mandi, sumber air, kebersihan lingkungan dan kualitas air, dengan variabel dependen yaitu dengan kejadian dermatitis.

4.3.1 Hubungan Faktor Kebiasaan Mencuci Tangan dengan Kejadian Dermatitis

Berdasarkan hasil uji chi square didapat nilai Pvalue = 0,001 dan ini lebih kecil dari α = 0,05 (Pvalue = 0,001 < α = 0,05) sehingga diuraikan terdapat hubungan antara faktor kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian dermatitis pada masyarakat pesisir di wilayah kerja Puskesmas Sibigo Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue.

Berdasarkan pengamatan peneliti dilapangan peneliti menemukan bahwa responden yang memiliki kebiasaan mencuci tangan lebih sedikit mengalami kejadian dermatitis karena mereka selalu menjaga kebersihan tangan, sehingga kuman yang ada di tangan mereka tidak ada lagi. Dengan tangan yang bersih pada saat tangan yang bersih memegang anggota bagian tubuh lainnya tidak ada kuman yang menempel pada bagian tubuh tersebut.

Selanjutnya responden yang memiliki kebiasaan mencuci tangan tidak ada lebih banyak mengalami kejadian dermatitis karena mereka selalu tidak menjaga kebersihan tangan, sehingga kuman yang ada di tangan mereka selalu bersarang ditangan. Dengan tangan yang tidak bersih dan memegang anggota bagian tubuh lainnya maka ada kuman yang menempel pada bagian tubuh tersebut sehingga menyebabkan kejadian dermatitis.

Perilaku mencuci tangan adalah salah satu tindakan sanitasi dengan cara membersihkan tangan dan jari-jemari dengan menggunakan air atau cairan lainnya yang bertujuan agar tangan menjadi bersih. Mencuci tangan yang baik dan benar adalah dengan menggunakan sabun karena dengan air saja terbukti tidak efektif (Danuwirahadi, 2010).

Hasil penelitian ini di dukung oleh penelitian Nurzakki (2012) yang menyatakan ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian dermatitis pada tangan pekerja bengkel di Surakarta di buktikan dengan nilai pvalue 0,025<α 0,05.

4.3.2 Hubungan Faktor Kebisaan Mandi dengan Kejaian Dermatitis

Berdasarkan hasil uji chi square didapat nilai Pvalue = 0,029 dan ini lebih kecil dari α = 0,05 (Pvalue = 0,029 < α = 0,05) sehingga diuraikan terdapat hubungan antara faktor kebiasaan mandi dengan kejadian dermatitis pada masyarakat pesisir di wilayah kerja Puskesmas Sibigo Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue.

Berdasarkan pengamatan peneliti dilapangan peneliti menemukan bahwa responden yang memiliki kebiasaan mandi secara rutin lebih sedikit mengalami dermatitis karena mereka selalu menjaga kebersihan tubuh mereka, sehingga tidak ada kuman yang menempel di tubuh mereka dan terhindar dari kejadian dermatitis.

Selanjutnya responden yang memiliki kebiasaan mandi tidak ada lebih banyak mengalami kejadian dermatitis karena mereka mandi dengan tidak teratur sehingga masih banyak kuman yang di tubuh mereka, hal inilah yang dapat menyebabkan mereka mengalami kejadian dermatitis. Di mana banyak masyarakat yang bekerja sebagai nelayan, yang bekerja menagkap ikan sehingga bau ikan, terkena air dan baju mereka lembab di badan, jika tidak mandi dengan teratur maka akan meyebabkan terjadi gatal-gatal atau dermatitis.

Mandi adalah membersihkan kotoran yang menempel pada badan dengan menggunakan air bersih dan sabun. Manfaat mandi adalah sebagai berikut, menghilangkan kotoran yang melekat pada permukaan kulit, menghilangkan keringat, merangsang syaraf, mengembalikan kesegaran tubuh (Purnomo dan Abdul Kadir, 2002).

Hasil penelitian ini di dukung oleh penelitian Suryani (2011) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara faktor kebiasaan mandi dengan kejadian dermatitis di pada pekerja bagian processing dan filling PT. Cosmar Indonesia Tanggerang selatan Tahun 2011, di buktikan dengan nilai pvalue 0,007<α 0,05.

4.3.3 Hubungan Faktor Kebersihan Lingkungan dengan kejadian Dermatitis

Berdasarkan hasil uji chi square didapat nilai Pvalue = 0,016 dan ini lebih kecil dari α = 0,05 (Pvalue = 0,016 < α = 0,05) sehingga diuraikan terdapat hubungan antara faktor kebersihan lingkungan dengan kejadian dermatitis pada masyarakat pesisir di wilayah kerja Puskesmas Sibigo Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue.

Berdasarkan pengamatan peneliti dilapangan peneliti menemukan bahwa responden yang memiliki kebersihan lingkungannya bersih lebih sedikit mengalami kejadian dermatitis karena mereka menjaga kebersihan lingkungan dari anggota tubuh, pakaian, rumah, peralatan makan dan lingkungan sekitar rumah mereka. Hal ini menyebabkan kuman tidak ada di sekitar mereka dan terhindar dari kejadian dermatitis.

Selanjutnya responden yang memiliki kebersihan lingkungannya tidak bersih lebih sedikit mengalami kejadian dermatitis karena mereka tidak menjaga kebersihan lingkungan dari anggota tubuh, pakaian, rumah, peralatan makan dan lingkungan sekitar rumah mereka. Hal ini menyebabkan kuman ada di sekitar mereka dan mengalami kejadian dermatitis.

Sanitasi adalah suatu usaha pencegahan penyakit yang menitik beratkan kegiatan pada usaha kesehatan lingkungan hidup manusia. Sanitasi merupakan bagian dari kesehatan lingkungan, ruang lingkup kesehatan lingkungan yaitu penyediaan air minum, pengolahan dan pengendalian pencemaran air, pengolahan sampah padat, pengendalian vektor (pemindah penyakit), pencegahan dan pengendalian pencemaran tanah oleh kotoran manusia, dan lain–lain, sanitasi (kebersihan) makanan dan minuman, pengendalian pencemaran udara, pengendalian bising, kesehatan kerja dan pencegahan kecelakaan, perumahan dan permukiman, dan pengawasan terhadap tempat–tempat rekreasi umum dan pariwisata (Andria, 2009).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Lestari (2007) pada pekerja di PT.Inti Pantja Press Industri juga menunjukan bahwa 29 pekerja dengan personal hygiene yang kurang mengalami dermatitis kontak dan hanya 10 pekerja dengan personal hygiene baik yang mengalami dermatitis kontak. di buktikan dengan nilai pvalue 0,013<α 0,05.

4.3.4 Hubungan Faktor Sumber Air dengan kejadian Dermatitis

Berdasarkan hasil uji chi square didapat nilai Pvalue = 0,015 dan ini lebih kecil dari α = 0,05 (Pvalue = 0,015 < α = 0,05) sehingga diuraikan terdapat hubungan antara faktor sumber air dengan kejadian dermatitis pada masyarakat pesisir di wilayah kerja Puskesmas Sibigo Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue.

Berdasarkan pengamatan peneliti dilapangan peneliti menemukan bahwa responden yang memiliki sumber air sumur lebih sedikit mengalami kejadian dermatitis karena masyarakat memiliki sumur bor dan juga terkadang menafaatkan air PDAM. Selain itu masyarakat juga memasak air sendiri untuk diminum.

Selanjutnya responden yang memiliki sumber air dari PDAM lebih banyak mengalami kejadian dermatitis karena mereka mengeluh air PDAM yang keluar dirumah mereka berlumut dan terkadang bau, seperti bau amis. Kemungkinan hal inilah yang menyebabkan mereka mengalami kejadian dermatitis.

Sumber air adalah wadah air yang terdapat diatas dan dibawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini adalah mata air, sungai, rawa, danau, waduk, dan muara (Andri, 2012)

Hal tersebut sejalan dengan penelitian Carina (2008) pada pekerja pengangkut sampah kota Palembang, yang menunjukkan bahwa ada hubungan personal hygiene dengan kejadian dermatitis pada pekerja pengangkut sampah, di buktikan dengan nilai pvalue 0,023<α 0,05.

4.3.5 Hubungan Faktor Kualitas Air dengan kejadian Dermatitis

Berdasarkan hasil uji chi square didapat nilai Pvalue = 0,004 dan ini lebih kecil dari α = 0,05 (Pvalue = 0,004 < α = 0,05) sehingga diuraikan terdapat hubungan antara faktor kualitas air dengan kejadian dermatitis pada masyarakat pesisir di wilayah kerja Puskesmas Sibigo Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue.

Berdasarkan pengamatan peneliti dilapangan peneliti menemukan bahwa responden yang memiliki kualitas air bersih mengalami kejadian dermatitis karena masyarakat memiliki sumber air yang bersih. Selanjutnya responden yang memiliki kualitas air tidak bersih mengalami kejadian dermatitis karena masyarakat tidak memiliki sumber air yang bersih.

Air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari–hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan tapi masih memungkinkan mangandung mikroorganisme dan bahan kimia yang dapat membahayakan kesehatan oleh karena itu masih perlu ada pengolahan lebih lanjut sepeti terlebih dahulu dimasak sebelum diminum (Daud, 2011).

Hal tersebut sejalan dengan penelitian Annisa (2010) menyatakan bahwa ada hubungan antara kualitas air yang ada dengan kejadian dermtitis Dermatitis Kontak Iritan Pada Pekerja Pengolahan Sampah di TPA Cipayung Kota Depok Tahun 2010, di buktikan dengan nili p value = 0,017 < α 0,05.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Adanya hubungan antara kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian dermatitis (Pvalue = 0,001 < α = 0,05).

2. Adanya hubungan antara kebiasaan mandi dengan kejadian dermatitis (Pvalue = 0,029 < α = 0,05).

3. Adanya hubungan antara kebersihan lingkungan dengan kejadian dermatitis (Pvalue = 0,016 < α = 0,05).

4. Adanya hubungan antara sumber air dengan kejadian dermatitis (Pvalue = 0,015 < α = 0,05).

5. Adanya hubungan antara kualitas air dengan kejadian dermatitis (Pvalue = 0,004 < α = 0,05).

5.2 Saran

1. Diharapkan kepada masyarakat untuk memperhatikan tentang kebersihan diri dengan selalu melakukan kebiasaan mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, kebiasaan mandi secara teratur setelah bekerja, menjaga kebersihan lingkungan, memiliki sumber air bersih dirumah dan menjaga kualitas air agar selalu bersih.

2. (57)Diharapkan Puskesmas Sibigo untuk memberikan informasi kepada masyarakat tentang penyebab dan pencegahan dari kejadian dermatitis, serta meningkatkan pelayanan kesehatan yang baik terutama bagi penderita dermatitis.

3. Diharapkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Simeuleu untuk mengadakan kebijakan kesehatan tentang bahayanya penyakit dermatitis.

DAFTAR PUSTAKA

Afifah, A. 2012. Faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya dermatitis kontak akibat kerja pada karyawan binatu. Skripsi Mahasiswi Fakultas Kedokteran. Universitas Dipenogoro. Semarang.

Ananto, P. (2006). UKS. Usaha Kesehatan Sekolah dan Madrasah Intidaiyah. Bandung : Yrama widya.

Anissa, M. 2010. Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Dermatitis Kontak Iritan Pada Pekerja Pengolahan Sampah di TPA Cipayung Kota Depok Tahun 2010. Skripsi Universitas Islam Negeri Jakarta.

Andria, L. 2009 . Sanitasi Lingkungan Rumah Tangga Nelayan di Kelurahan Kota Karang Kecamatan Teluk Betung Barat Kota Bandar Lampung Tahun 2008. Lampung : Universitas Lampung.

Azwar, S. 2012. Sikap Manusia. Teori dan pengukurannya. Edisi ke-2. Yogyakarta:

Bachtiar, 2010. Manajemen Keperawatan dengan Pendekatan Praktis. Jakarta: Erlangga

Carina, Metty. 2008. Hubungan antara Higiene Pribadi dengan Kejadian Dermatitis pada Pekerja Pengangkut Sampah Kota Palembang. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.

Danuwirahadi, P. (2010). Efektifitas metode expository teaching terhadap perilaku mencuci tangan dengan menggunakan sabun. Tesis tidak diterbitkan. Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang.

Dinkes Aceh. 2014. Data Dermatitis di Aceh. Aceh

Dinkes Simeuleu. 2016. Data Dermatitis di Simeulue. Simeuleu.

Djuanda, A. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Jilid III. Jakarta : FakultasKedokteran Universitas Indonesia.

Ghandi, 2010. Kesehatan Lingkungan, Airlangga University Press, Surabaya

Hidayat, A. Aziz Alimul, 2008, Pengantar Konsep Dasar Keperawatan, Jakarta: Salemba Medika.

Hogan, D.J. 2014. Conatct Dermatitis, Allergic. EMedicine Dermatolog

Ismail, M. 2013. Gambaran Sanitasi Lingkungan Wilayah Pesisir Danau Limboto di Desa Tabumela Kecamatan Tilango Kabupaten Gorontalo Tahun 2013.

(59)Lestari, Fatma. 2007. Faktor-Faktor yang berhubungan dengan Dermatitis Kontak pada Pekerja di PT. Inti Pantja Press Industri. 11(2): 61-68.

Marliza D. 2013. Faktor–faktor yang mempengaruhi kejadian dermatitis kontak akibat kerja pada karyawan pencucian mobil di Kelurahan Sukarame Bandar Lampung [skripsi].Bandar Lampung:Universitas Lampung

Notoatmodjo, S. 2012. Promosi kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka cipta

PERDOSKI. 2009. Kategori Galeri Kesehatan; Dermatitis Kontak. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia.

Perry, A, G. dan Potter, P. A; 2010.. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses dan Praktik. Edisi 4 Volume 2. Jakarta : EGC

Puskesmas Sibigo. 2016. Data Dertamatitis di Wilayah Kerja Puskesmas Sibigo. Simeuleu.

Rianti. 2010. Analisis tentang higiene dan sanitasi lingkungan Dengan penyebab terjadinya penyakit kulit di kecamatan Asemrowo surabaya. Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Richwanto, F., Retno, H., dan Lintang, D.S., 2013. Hubungan kejadian keberadaan tempat perindukan nyamuk aedes aegypti dengan kejadian demam berdarah dengue di tiga kelurahan endemis kota palangka raya tahun 2012. Jurnal kesehatan masyarakat, 2 (2). 2-3

Siregar. 2012. Penyakit jamur kulit. Penerbit buku kedokteran. Palembang.

Sucipto AC. 2011. Aspek kesehatan masyarakat dalam AMDAL. Yogyakarta: Gosyen Published;

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif & RND. Bandung : Alfabeta

Sulaksmono M. 2006. Keuntungan dan kerugian patch test (uji tempel) dalam upaya menegakkan diagnosa penyakit kulit akibat kerja (occupational dermatosis) [skripsi] . Surabaya:Universitas Airlangga

Sumantri, M.A., Febriani, H.T., Musa, S.T. 2010. Dermatitis Kontak. Pharma-C.

Suryani F. 2011. Faktor–faktor yang berhubungan dengan dermatitis kontak pada pekerja bagian processing dan filling PT. Cosmar Indonesia Tangerang Selatan [skripsi]. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Suryani, Febria. 2011. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Dermatitis Kontak pada Pekerja Bagian Processing dan Filling PT. Cosmar Indonesia Tangerang. perpus.fkik.uinjkt.ac.id/file_digital/febria suryani.pdf. Diakses: 7 Desember 2013.

Verayati, D. 2011. Hubungan Pemakaian Alat Pelindung Diri dan Personal Higine Terhadap Keajadian Dermatitis Kontak Akibat Kerja Pada Pemulung Di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bakung Bandar Lampung. Skirpsi Mahasiswa Fakultas Kedokteran. Universitas Lampung. Lampung.

Wartonah. 2010. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan Edisi ketiga. Jakarta : Salemba Medika

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Lingkungan mempunyai andil yang paling besar terhadap status kesehatan

yang disusul oleh perilaku. Kesehatan lingkungan adalah kondisi atau keadaan

lingkungan optimum yang berpengaruh positif terhadap perwujudan st

atus

kesehatan optimum. Lingkup kesehatan lingkungan mencakup perumahan,

pembuangan kotoran (tinja), penyediaan air bersih, pembuangan sampah, dan

pembuangan limbah. Lingkungan berpengaruh sangat besar terhadap kesehatan

manusia karena berbagai faktor peny

ebab penyakit dipengaruhi oleh lingkungan.

Pengaruh lingkungan hidup terhadap kesehatan demikian penting sehingga

penyebab penyakit sering harus dicari di luar tubuh yang berarti perlu

penyelidikan lingkungan

(Sucipto, 2011).

Sanitasi lingkungan merupakan

faktor penting yang harus diperhatikan,

terutama sarana air bersih, ketersediaan jamban, pengolahan air limbah,

pembuangan sampah, dan pencemaran tanah. Pembuangan tinja dapat secara

langsung mengontaminasi makanan, minuman, sayuran, air tanah, serangga d

an

bagian

-

bagian tubuh. Perlu pengaturan pembuangan sampah agar tidak

membahayakan kesehatan manusia karena dapat menjadi gudang makanan bagi

vektor penyakit. Sayuran yang dimakan mentah dapat menjadi media transmisi

penyakit dari tanah yang tercemar tinja

(Sucipto, 2011).

Perilaku manusia yang pada dasarnya adalah aktivitas manusia merupakan

respons seseorang

(organism)

terhadap stimulus yang berhubungan dengan sakit

dan penyakit. Perilaku tersebut meliputi peningkatan dan pemeliharaan kesehatan,

1

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lingkungan mempunyai andil yang paling besar terhadap status kesehatan

yang disusul oleh perilaku. Kesehatan lingkungan adalah kondisi atau keadaan

lingkungan optimum yang berpengaruh positif terhadap perwujudan status

kesehatan optimum. Lingkup kesehatan lingkungan mencakup perumahan,

pembuangan kotoran (tinja), penyediaan air bersih, pembuangan sampah, dan

pembuangan limbah. Lingkungan berpengaruh sangat besar terhadap kesehatan

manusia karena berbagai faktor penyebab penyakit dipengaruhi oleh lingkungan.

Pengaruh lingkungan hidup terhadap kesehatan demikian penting sehingga

penyebab penyakit sering harus dicari di luar tubuh yang berarti perlu

penyelidikan lingkungan (Sucipto, 2011).

Sanitasi lingkungan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan,

terutama sarana air bersih, ketersediaan jamban, pengolahan air limbah,

pembuangan sampah, dan pencemaran tanah. Pembuangan tinja dapat secara

langsung mengontaminasi makanan, minuman, sayuran, air tanah, serangga dan

bagian-bagian tubuh. Perlu pengaturan pembuangan sampah agar tidak

membahayakan kesehatan manusia karena dapat menjadi gudang makanan bagi

vektor penyakit. Sayuran yang dimakan mentah dapat menjadi media transmisi

penyakit dari tanah yang tercemar tinja (Sucipto, 2011).

Perilaku manusia yang pada dasarnya adalah aktivitas manusia merupakan

respons seseorang (organism) terhadap stimulus yang berhubungan dengan sakit

dan penyakit. Perilaku tersebut meliputi peningkatan dan pemeliharaan kesehatan,

1