bab iv 2100023 -...

43
74 BAB IV ANALISA IMPLIKASI PENGGUNAAN METODE BAYANI DALAM FORMULASI HUKUM POLIGAMI ISLAM A. Urgensi Nalar Bayani Dalam Metode Istinbath Hukum Islam Pada Bab. III Penulis telah memaparkan tentang Metode Bayani, atau Metode Kebahasaan Ulama Ushul. Metode tersebut merupakan metode yang dipakai Ushuliyyin dalam membaca pesan Tuhan dalam teks keagamaan. Kita tidak memungkiri bahwa dua sumber pokok hukum Islam adalah al-Qur’an dan Hadits, yang keduanya – untuk sekarang ini bisa disebut – sebagai sebuah “teks”. Mengapa disebut sebagai teks ? Karena keduanya tertulis dalam tanda-tanda kebahasaan, tertulis dalam mushaf dan kitab-kitab Hadits seperti yang kita lihat sekarang ini. Pemahaman terhadap teks untuk mendapatkan legalitas hukum atas suatu persoalan, telah dilakukan sejak masa Rasulullah. Nabi SAW mempersilahkan sahabat-sahabatnya untuk berijtihad dengan berpegang pada al-Qur’an dan Hadits. Sejak saat itu tradisi ijtihad selalu dilaksanakan, mereka mempunyai metode tersendiri untuk membaca teks. Metode bayani pertama kali dibukukan oleh al-Syafi’i dalam kitabnya al-Risalah. 1 Seperti ketika ada beberapa sahabat yang diperintah oleh nabi untuk pergi ke tempat musuh, dan melakukan shalat ketika sampai di tujuan. Ketika masuk waktu ashar mereka masih dalam perjalanan. Akhirnya ada 1 Khudori Beik, Tarikh Tasyri’ al-Islamy, Terj. Sejarah Pembentukan Hukum Islam, Darul Ihya, hlm.395. lihat Imam Syaf’I, Al-Risalah, Beirut: Dar al-Fikr, t.th, hlm.21-79

Upload: ngodat

Post on 18-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

74

BAB IV

ANALISA IMPLIKASI PENGGUNAAN METODE BAYANI

DALAM FORMULASI HUKUM POLIGAMI ISLAM

A. Urgensi Nalar Bayani Dalam Metode Istinbath Hukum Islam

Pada Bab. III Penulis telah memaparkan tentang Metode Bayani,

atau Metode Kebahasaan Ulama Ushul. Metode tersebut merupakan metode

yang dipakai Ushuliyyin dalam membaca pesan Tuhan dalam teks

keagamaan. Kita tidak memungkiri bahwa dua sumber pokok hukum Islam

adalah al-Qur’an dan Hadits, yang keduanya – untuk sekarang ini bisa

disebut – sebagai sebuah “teks”. Mengapa disebut sebagai teks ? Karena

keduanya tertulis dalam tanda-tanda kebahasaan, tertulis dalam mushaf dan

kitab-kitab Hadits seperti yang kita lihat sekarang ini.

Pemahaman terhadap teks untuk mendapatkan legalitas hukum atas

suatu persoalan, telah dilakukan sejak masa Rasulullah. Nabi SAW

mempersilahkan sahabat-sahabatnya untuk berijtihad dengan berpegang

pada al-Qur’an dan Hadits. Sejak saat itu tradisi ijtihad selalu dilaksanakan,

mereka mempunyai metode tersendiri untuk membaca teks. Metode bayani

pertama kali dibukukan oleh al-Syafi’i dalam kitabnya al-Risalah.1

Seperti ketika ada beberapa sahabat yang diperintah oleh nabi untuk

pergi ke tempat musuh, dan melakukan shalat ketika sampai di tujuan.

Ketika masuk waktu ashar mereka masih dalam perjalanan. Akhirnya ada

1 Khudori Beik, Tarikh Tasyri’ al-Islamy, Terj. Sejarah Pembentukan Hukum Islam,

Darul Ihya, hlm.395. lihat Imam Syaf’I, Al-Risalah, Beirut: Dar al-Fikr, t.th, hlm.21-79

75

sebagaian sahabat yang melakukan shalat sebelum dan sesudah sampai

tujuan. Ahmad Hasan menuturkan bahwa perbedaan pemahaman al-Qur’an

di kalangan sahabat berkisar soal-soal yang ditutur dan tidak disebutkan

dalam Qur’an, kata-kata yang bermakna ganda. Cara yang ditempuh untuk

mengurai makna, adalah dengan menafsirinya berdasarkan tradisi Nabi, dan

terkadang atas dasar pendapat ahli hokum.2 Contoh ini memberi gambaran

bahwa para sahabat mempunyai pemahaman dan cara sendiri-sendiri dalam

berinteraksi dengan Qur’an dan hadits, meskipun metode mereka tidak

dibukukan.

Kultur di sekitar al-Qur’an turun adalah sebuah ideologi bahasa

yang sudah ditradisikan secara turun-menurun.3 Jadi ilmu tentang permainan

dan keindahan bahasa, secara naluriah telah mereka pelajari dari interaksi

sehari-hari. Seperti sontoh, dalam beberapa kajian metode bayani ada

beberapa pembahasan yang tidak jauh beda dengan Ilmu Balaghah, seperti

dalalah, hakikat dan majaz, kinayah dan sarih.4

Secara khusus ilmu baru dibukukan oleh Al-Syafi’i (150-204

H/767-820 M). Kalau kita runut lebih jauh ke belakang, kita akan

menemukan bahwa konsep dasar tentang tanda telah diperkenalkan oleh

kaum Stoik Yunani kuno dua ribu tahun yang lalu. Mereka menyabutkan

2 Lihat Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Yurisprudence, Terj. Agah

Garnadi, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Bandung: Pustaka, Cet.I, 1984, hlm.13, 16 3 sebelum Islam datang, orang arab telah mengenal beberapa tradisi kebahasaan seperti

Syi’r, nasr, saj’perdukunan, amtsal, risalah. Lihat Khoiron Nahdliyin, pengantar penerjemah dalam Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nash Dirasah fi Ulum al-Qur’an, Terj. Khoiron Nahdliyin,Tekstualitas al-Qur’an – Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, Yogyakarta: LkiS, Cet.III, 2003, hlm.xi

4 bandingkan Syekh Ahmad al-Damanhuri, Syarah hilyat al-Lub al-Mushawan, Semarang: Toha Putra, T.th

76

bahwa tanda dibentuk oleh dua komponen, yaitu semainomenon, petanda

dan semainon, penanda.5 Ada kemungkinan Islam mengadopsi ilmu ini dari

disiplin keilmuan Yunani, melalui proses penterjemahan yang sudah banyak

dilakukan sejak masa Ja’far al-Manshur. Atau memang hal ini berakar pada

tradisi kebahasaan orang Arab yang kuat – kita bisa melihat bahwa para

mujtahid sangat menguasai tradisi kebahasaan arab. Asumsi ini perlu untuk

dilakukan penelitian lebih lanjut.

Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi

Muhammad SAW dengan perantaraan Malaikat Jibril. Term kalam disini

mengindikasikan bahwa al-Qur’an adalah apa yang dituturkan oleh Allah

SWT kepada Muhammad SAW, sebagai Rasul Pengemban Risalah. Allah

SWT sebagai Mutakalim dan Muhammad sebagai Penerima – terkadang bisa

disebut Mukhatab. Percakapan ini terjadi tidak dengan langsung – meskipun

ada yang terjadi secara langsung seperti peristiwa Isra’ Mi’raj – karena ada

perantaraan Malaikat Jibril.6

Dalam sebuah percakapan, media yang digunakan adalah sesuatu –

dalam hal ini adalah bahasa – yang dapat dimengerti oleh kedua pihak.

Muhammad, sebagai orang Arab, sudah barang tentu dalam berkomunikasi

dengan orang lain akan menggunakan bahasa Arab. Dalam konteks turunnya

5 Drs. Riyadi Santoso, M. Ed, Semiotika Sosial – Pandangan Terhadap Bahasa,

Surabaya: Pustaka Eureka, Cet.I, 2003, hlm.2 6 Bahwa Jibril menerima Al-Qur’an dari Allah SWT dengan bahasa khusus – dikatakan

demeikian karena hanya dipahami oleh kedua pihak dan kita tidak mengetahui jenis bahasa tersebut – kemuadian seara teratur, sesuai dengan perintah Allah SWT Jibril menyampaikannya kepada Nabi SAW. Dengan melihat proses ini, Pewahyuan al-Qur’an melalui perantara, penulis menilai Muhammad Hanya sebagai penerima, bukan orang yang diajak bicara. Untuk peristiwa pewahyuan yang terjadi langsung, jelas mengidikasikan bahwa ada peristiwa saling berbicara. Mana’ Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, tt, hlm.34-40

77

wahyu, mau tidak mau bahasa yang digunakan oleh Allah SWT sebagai

pembicara harus menyesuaikan dengan bahasa yang digunakan Muhammad

sebagai lawan bicaranya. Karena media, bahasa Arab, tersebut yang dapat

dipahami oleh lawan bicara agar mengerti pesan yang akan disampaikan

oleh si Pembicara.7

Muhammad sebagai penerima dan lawan bicara – diasumsikan –

lebih mengetahui apa yang dimaksud oleh Allah SWT daripada orang lain.

Oleh karena itu, ketika menyampaikan isi wahyu kepada sahabat-

sahabatnya, Nabi menerangkan, menjelaskan dan menguatkan apa yang

disampaikan oleh wahyu.8

Dalam al-Qur’an surat al-Syu’ara ayat 192-195, yang berarti: “Dan

sesungguhnya Al-Qur’an telah diturunkan oleh Penguasa Alam Semesta.

Allah SWT telah menurunkannya melalui perantaraan Ruh al-Amin.

Kedalam hatimu agar kamu menjadi orang-orang yang memberi

peringatan. (diturunkan) dengan bahasa Arab yang jelas.” Ayat ini

menerangkan bahwa al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa

arab.

Begitu juga dengan hadits, merupakan teks berbahasa Arab. Hadits

adalah segala apa yang dihubungkan dengan Nabi Muhammad SAW, baik

7 Bandingkan Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nash Dirasah fi Ulum al-Qur’an, Terj.

Khoiron Nahdliyin,Tekstualitas al-Qur’an – Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, Yogyakarta: LkiS, Cet.III, 2003, hlm.30

8 Prof.Dr. Mukhtar Yahya dan Prof.Dr. Fathurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung: PT. Alma’arif, Cet.4, 1997, hlm.44-50. Logika inilah, menurut penulis, yang kemudian oleh para ulama dijadikan sebab menempatkan hadits sebagai Sumber Tasyri’ kedua setelah al-Qur’an, penjelas dan penguat al-Qur’an. Meskipun ada nalar yang lain, yaitu nalar keyakinan agama.

78

berupa ucapan, perbuatan atau ketetapan. Kita bisa memahami bahwa hadits

adalah hasil interaksi Muhammad dengan lingkungan sekitar, apa yang

beliau lihat, rasakan. Terutama ketika Nabi berinteraksi dengan sahabat dan

struktur masyarakat. Beliau berkata tentang sesuatu, hukum, menetapkan

dan berbuat sesuatu – meskipun ini bukan berupa perkataan tapi dalam

proses selanjutnya, proses periwayatan, menjadi dibahasakan oleh sahabat

yang melihat – dengan menggunakan bahasa Arab.

Hadits yang semula adalah berupa periwayatan dari mulut ke mulut,

karena kekhawatiran rusaknya kemurnian hadits atas merebaknya pemalsuan

hadits, pada akhirnya dibukukan pada masa Umar bin Abdul Aziz.

Pembukuan ini bertujuan untuk menjaga ilmu yang berasal dari Nabi. Pada

masa tersebut banyak terjadi pemalsuan hadits dan meninggalnya para

ulama hadits. Khalifah Umar berpikir kalau hal ini tidak segera diatasi dapat

menjadi bencana bagi umat Islam. Setelah masa itu banyak terjadi

pembukuan hadits.

Para ulama sepakat untuk menjadikan al-Qur’an dan Hadits sebagai

sumber hukum Islam. Ada sebuah hadits yang kurang lebih menyebabkan

para ulama menetapkan hal itu, yaitu:

��������������� ���������������������������� � !"#���$��!%�

Artinya: “Aku tinggalkan kepadamu sekalian dua perkara yang kamu sekalian tidak akan tersesat sesudah dua perkara tersebut, yaitu kitab Allah SWT dan Sunahku”. (HR. Buhkari)9

9 Imam Bukhari, Shohih Bukhari bi Hasiyah al-Sindi, Juz.4,Jakarta: Dar Ihya’ al-Kutub

al-‘Arabiyah, hlm.257

79

Hadits ini yang kemudian oleh para ulama dijadikan hujjah. Hadits

ini memberikan pengertian bahwa bangunan agama seharusnya dibangun

diatas pondasi kedua sumber tersebut.

Melihat realita bahwa sumber agama Islam adalah Qur’an dan

Hadits, para ulama akhirnya mengembangkan berbagai metode pembacaan.

Proses pemaknaan terhadap teks-teks keagamaan tersebut tidak menjadi

kendala ketika Nabi Muhammad, sebagai sumber utama, masih hidup.

Mereka bisa langsung bertanya kepada Nabi tentang perihal persoalan yang

dihadapi.10 Akan tetapi, kemudahan ini bukan berarti para sahabat tidak

melakukan ijtihad. Problem pembacaan nash al-Qur’an dan Hadits menjadi

problem yang cukup signifikan sepeninggal Nabi Muhammad.11

Para Ahli ushul, yang bergelut dengan teks-teks hukum,

mengembangkan beberapa metode dalam beristinbath. Salah satunya adalah

kaidah kebahasaan ushuliyah. Kaidah ini pertama kali ditulis oleh al-Syafi’i

yang kemudian disempurnakan oleh generasi berikutnya. Kaidah kebahasaan

Ushuliyah merupakan perwujudan atas upaya ahli ushul untuk membaca

teks-teks hukum. Substansi kaidah ini adalah upaya pencarian makna

terhadap nash al-Qur’an. Dengan metode ini diharapkan nash al-Qur’an dan

Hadits, terutama yang berkaitan dengan hukum, dapat dibaca dengan baik

dan tidak menyimpang.

10 Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh Fiqh al-Islami, Terj. Sejarah Fiqh Islam, Jakarta:

Pustaka al-Kautsar, Cet.I, 2003, hlm.53-57 11 Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqh Islam – Sebuah Pengantar, Surabaya: Risalah Gusti,

Cet.I, 1995, hlm.38

80

Dari pemaparan tersebut, kita bisa menilai bahwa Metode Bayani

menjadi begitu signifikan dalam kajian Fiqh dan Ushul Fiqh. Karena

bagaimana pun ketika seorang akan melakukan istinbath hukum, hal yang

pertama akan mereka temui adalah sekumpulan teks – tanda bahasa bukan

teks tertulis – yang menjadi dasar legalitas hukum. Untuk membaca teks

tersebut, Ulama Ushul membuat sebuah kaidah pembacaan terhadap nash-

nash al-Qur’an dan Hadits.12

Sebenarnya urgensi Metode Bayani dalam kajian hukum Islam

bukan terletak pada kenyataan bahwa al-Qur’an dan Hadits setelah

dibukukan menjadi sekumpulan teks. Tetapi bahwa keduanya menggunakan

media bahasa dalam menyampaikan pesannya.

Untuk lebih memahamkan kita terhadap apa dan bagaimana Metode

Bayani Ushuliyah, penulis akan menganalisa metode tersebut. Penulis

berasumsi ada sebuah logika tersendiri yang mendasari metode ini. Karena

hal ini penting untuk diketahui sebelum kita melangkah kepada implikasinya

dalam formulasi hukum Islam.

B. Logika Dibalik Metode Bayani Ahli Ushul

Tidak ada suatu metode tanpa dasar atau nalar yang menjadi

pondasi, ini asumsi penulis ketika berhadapan dengan Metode Bayani

Ushuliyah. Metode ini dibuat oleh Ahli Ushul untuk membaca dan mencari

12 Ketika al-Qur’an dan Hadits telah dibukukan, dengan menggunakan tanda-tanda bahasa

diperlukan sebuah metode untuk mengurai tanda-tanda tersebut dan menangkap apa yang disampaikan oleh teks tersebut.

81

apa yang terwakili dari sekumpulan tanda-tanda bahasa.13 Kajian ini akan

tidak berguna ketika kita tidak memahami dulu apa konsep dasarnya.

Penulis akan membaca apa sebenarnya yang ditawarkan oleh Ahli Ushul

dalam metode ini ?

Konsep yang pertama yang perlu kita cermati adalah tentang

Dalalah. Apa yang mereka inginkan dengan term ini ? Dalalah adalah

adanya sesuatu dapat dipahami dengan adanya sesuatu, memahami sesuatu

berdasarkan sesuatu yang lain. Dalam Dalalah terdapat dua unsur

pembentuk, yaitu Dallun dan Madlulun (petunjuk / penanda dan yang

ditunjuk / petanda).14 Konsep ini tidak jauh beda dengan konsep dalalah

menurut Ilmu Mantiq. Dalalah adalah memahami sesuatu dari sesuatu.15

Unit pertama disebut Yang Ditunjuk (madlulun) dan unit kedua disebut

petunjuk (dallun).

Dalalah terbagi menjadi dua yaitu Dalalah Wadh’iyah, penciptaan

seperti dialektika antara kata dengan makna yang dibuat untuknya, dan

Ghairu Wad’iyah. Definisi ini sama dengan definisi Dalalah Wad’iyah

13 Maka ahli Ushul membedakan dirinya dengan Ahli Gramatika yang hanya mencari

struktur kata dan makna. Tidak makna yang dikehendaki Syari’ – dalam Asumsi Ushuliyah. 14 Dalam konsep Strukturalisme, apapun yang mengatakan kepada kita tentang sesuatu

yang lain daripada dirinya sendiri adalah tanda. Tanda adalah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain. Tanda terdiri atas dua unsur yaitu Signifier (sesuatu yang menunjukkan kepada sesuatu yang lain, penanda) dan Signified (sesuatu yang ditunjuk, petanda) – penulis mengartikan demikian. Dialektika dua unsur inilah yang membentuk tanda. Penanda adalah aspek material tanda yang bersifat sensoris, dapat diindrai, yang dalam bahasa lisan mengambil bentuk citra-bunyi yang berhubungan dengan sebuah konsep (petanda). Petanda adalah aspek mental dari tanda-tanda atau konsep yang ada dalam benak penutur. Tanda linguistik tidak mengaitkan sebuah nama dengan sebuah benda, tetapi sebuah konsep dengan sebuah gambaran akustik. W. Terrence Gordon, Saussure For Begginer, diterjemah oleh Mei Setiyanti dan Hendrikus Panggalo, Saussure Untuk Pemula, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hlm.14-20. Penulis cenderung untuk menyamakan kedua konsep ini, Dalalah menurut Ushuliyah dan Tanda menurut Strukturalisme.

15 Muhammad Nur al-Ibrahimi, Ilmu al-Mantiq, Surabaya: Percetakan Sa’id bin Nasir Nabhan, Cet.V, hlm. 9-10

82

menurut Ilmu Mantiq, adalah dalalah yang penandanya merupakan sesuatu

yang dibuat untuk menunjukkan sesuatu yang lain. Seperti penunjukkan

lafad kepada makna.16 Begitupun dalam pembagian Dalalah Wad’iyah

menjadi dalalah Muthabiq, Tadamun dan Iltizam, ada kesamaan antara

Ushuliyyin dan Ahli Mantiq.

Logika inilah yang menjadi dasar dari metode bayani ushuliyah.

Bahwa kajian utama metode ini adalah tanda-tanda. Dan tanda-tanda

terbentuk dari dua unsur yaitu penanda dan petanda. Dalam bentuk riilnya,

tanda-tanda tersebut berupa bahasa. Konsep ini – bisa dikatakan – sama

dengan nalar yang mendasari strukturalisme bahasa yang dikembangkan

masa sekarang. Kajian struktural bahasa pertama kali dikembangkan oleh

Ferdinand De Saussure, seorang Filosof abad 20 dari Swiss.

Dalalah dalam kajian ini adalah berupa bahasa, artinya bahasa

merupakan tanda yang mewakili sesuatu yang akan disampaikan oleh

penutur.17 Bahasa terdiri atas unsur bunyi dan makna. Dialektika antara

16 Ilmu Mantiq membagi dalalah menjadi dua. Yaitu Dalalah Lafdiyah, yakni dalalah

yang penandanya berupa lafad atau citra-bunyi, dan Dalalah Ghairu Lafdiyah, dalalah yang penandanya bukan berupa lafad atau citra-bunyi. Dalalah Lafdiyah dibagi menjadi tiga. Pertama, Dalalah Thabi’iyah adalah dalalah yang penanda berupa tabiat manusia, seperti suara rintihan menunjukkan orang kesakitan. Kedua, Dalalah Aqliyah adalah dalalah yang penandanya berupa (konsistensi, rasio) akal, seperti suara dalam ruangan menunjukkan adanya orang di dalamnya. Ketiga, Dalalah Wad’iyah adalah dalalah yang penandanya berupa sesuatu yang dibuat untuk menunjukkan sesuatu yang lain, seperti penunjukkan kata kepada makna. Dalalah Ghairu Lafdiyah juga dibagi menjadi tiga. Pertama, Dalalah Thabi’iyah adalah dalalah yang penanda berupa tabiat manusia, seperti merah muka menunjukkan kemarahan. Kedua, Dalalah Aqliyah adalah dalalah yang penandanya berupa (konsistensi, rasio) akal, seperti terbukanya pintu menunjukkan adanya orang yang masuk rumah. Ketiga, Dalalah Wad’iyah adalah dalalah yang penandanya berupa sesuatu yang dibuat untuk menunjukkan sesuatu yang lain, seperti kain hitam menunjukkan keadaan berduka. Menurut penulis, kesamaan konsep ini menunjukkan adanya kesamaan nalar dalam logika Mantiq dan Ushuliyah. Lihat Muhammad Nur al-Ibrahimi, Ibid

17 Menurut fungsinya bahasa adalah media yang digunakan oleh penutur untuk mengungkapkan ide-ide dan konsep. Atau bisa disebut sebagai alat komunikasi. Maka kemudian

83

keduanya adalah hasil budaya, kesepakatan bersama.18 Bahasa sebagai

sebuah sistem dalam masyarakat.19 Maka wajar jika kemudian Ahli Ushul

berusaha memahami struktur dan tata kalimat bahasa Arab, sebagai langkah

pertama dalam memahami nash-nash hukum, al-Qur’an dan Hadits.

Yasraf Amir Piliang menyebutkan bahwa ada beberapa prinsip

dasar dalam Semiotika Saussure. Seperti prinsip struktural, yakni relasi

tanda sebagai relasi struktural, terdiri atas penanda dan petanda. Prinsip

konvensional, yakni relasi struktural tersebut sangat bergantung pada

kesepakatan sosial (konvensi).20 Prinsip-prinsip tersebut menunjukkan

adanya kesamaan nalar dasar antara metode bayani dan semiotika saussure.

Langkah selanjutnya kita akan membedah konsep pembagian kata

menurut Ahli Ushul. Kata menurut Ahli Ushul dibagi berdasarkan beberapa

kriteria, yaitu penciptaan makna untuknya, penggunaan kata, jelas dan

tidaknya makna dan dilihat dari segi dalalahnya. Tapi apakah pembagian

tersebut bisa dipertanyakan, mengapa mereka membagi lafad berdasarkan

keempat kriteria tersebut ? Kita akan membahas masing-masing pembagian

tersebut pada paragraf berikut.

bahasa identik dengan cara berpikir suatu masyarakat, seseorang. Drs. Abdul Chaer, Linguistik Umum, Jakarta: PT.Rineka Cipta, Cet.II, 2003, hlm.32

18 ST. Sunardi mengatakan mengapa kita memberi makna pada suatu tanda ? Mengapa kata “supermarket” memberi imajinasi pada kita tentang pasar, mal dan kota ? imajinasi ini adalah hasil kesepaktan sosial, sudah ada pranata yang mengaturnya, sudah ada aturan. Seolah-olah ada kamus sosial yang mendorong kita untuk mengaitkan kata “supermarket” dengan konsep sebagaimana kita tangkap. Kesepakatan semacam inilah yang dimaksud dengan bahasa sebagai sistem. Jadi bahasa merupakan ciptaan masyarakat bukan individu, kontrak kolektif (harus diterima seluruhnya atau tidak sama sekali) dan otonom (mempunyai aturannya sendiri). ST. Sunardi, Semiotika Negativa, Yogyakarta: Kanal, 2002, hlm.75-76

19 Drs. Abdul Chaer, Op.Cit, hlm.33-36 20 Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika – Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna,

Yogyakarta: Jalasutra, Cet.I, 2003, hlm.44-45

84

1. Berdasarkan makna yang diciptakan untuknya (dialektika antara

penanda dan petanda)

Berdasarkan kriteria pertama kata terbagi menjadi Am, Khas

dan Musytarak. Am adalah lafad yang dapat mencakup seluruh unit yang

terkandung dalam maknanya.21 Lafad khas adalah lafad yang diciptakan

untuk memberi pengertian satu satuan yang tertentu, baik berupa Jenis

(contoh hewan), Macam (seperti Insan, rajul), atau jumlah banyak yang

terbatas seperti dua, tiga. Dan Lafad Musytarak adalah lafad yang

berdasarkan penciptaannya mempunyai beberapa makna.

Meskipun suatu lafad disebut Am karena bentuknya (wada’),

tetapi Qarinah (indikator) juga berperan dalam penggolongan lafad am,

baik berupa lafdiyah atau indikator diluar lafad.22 Artinya dalam

dialektika antara penanda dan petanda, ada beberapa faktor yang

berperan dalam menentukan jenis kata berikut implikasinya.

Lafad khas disebut khas karena bentuknya, hasil budaya – Ahli

Ushul tidak menjelaskan apakah ada indikator dari luar lafad, wada’,

yang bisa membuat sebuah kata dikategorikan khas. Mungkin kita akan

21 Lafad Am mempunyai sisi keumuman yaitu menyeluruh kepada setiap individu yang

dimaksud. Keumuman ini berbeda dengan keumuman lafad Mutlak ataupun Nakirah. Keumuman mutlak dari segi lafad tersebut bisa diberi sifat apapun yang sesuai, lafad tersebut dapat berganti-ganti sifat selama masih relevan. Sedang keumuman Nakirah dalam pandangan ushuliyah adalah ibham, tidak diketahui apa dan siapa yang dimaksud. Dalam struktur bahasa arab terdapat term nakirah dan makrifat. Nakirah adalah kata yang maknanya tidak diketahui dalam pembicaraan. Artinya siapa, apa yang sedang dibicarakan, dimaksud tidak jelas. Sedang makrifat adalah kata yang maknanya diketahui dalam pembicaraan. Apa dan siapa yang dimaksud dapat dimengerti oleh kedua pihak. Jadi konsekuensi lafad Am berimplikasi (dipahami) pada setiap individu yang termasuk dalam maknanya.

22 Seperti tahsis al-am yang menghilangkan keumuman lafad am. Mukhasis tersebut ada kalanya berupa kalimat – baik menjadi satu dengan kalimat am atau berdiri sendiri sebagai kalimat yang mandiri – atau berupa teks lain, hadits. Atau berupa indikator lain seperti akal dan urf, am Yuradu bihi al-am, am yuradu bihi al-khusus dan am al-Makhsus.

85

menemukannya dalam pembagian empat macam lafad khas (mutlak,

muqayad, amr dan nahy).

Logika mutlak dan muqayad hampir sama seperti logika Kulli-

Juz’i dalam mantiq23 – dalam Bahasa Indonesia kita mengenal istilah

Hiponim.24 Dalam penentuan kemutlakan Amr ada intervensi dari luar

lafad. Amr bisa berubah dari makna wajib ke makna lain karena ada

Qarinah.

Kalau kita melihat penyebab kemusytarakan sebuah lafad, kita

dapat melihat bahwa makna suatu lafad ditentukan oleh siapa pencipta

kata tersebut – ini yang kemudian sering menjadi perdebatan tentang

makna yang dimaksud di kalangan Fuqaha. Dan nalar Arab tidak

menghendaki ketidakjelasan makna ini. Karena hal itu tidak

menunjukkan ketegasan.25

Dari sini, kita melihat bahwa dalam dialektika antara penanda

dan petanda – dalam hal penentuan makna – ada beberapa hal yang

diperhatikan oleh Ahli Ushul, tidak sekedar dari penciptaan kata, tetapi

faktor luar pun ikut berpartisipasi. Makna menurut Ahli Ushul

dipengaruhi oleh :

23 Lafad kulli dibagi dua, berimplikasi terhadap makna disebut Mafhum. Dan berimplikasi

terhadap individu yang tercakup di dalamnya disebut Aliman Shadaqa. Ketika kita melihat lafad kulli seperti kata ikan. Kita akan memahami darinya setiap ikan, baik ikan laut atau air tawar. Ketika kita menambahkan sifat “laut”, maka individu yang tercakup di dalamnya akan semakin sedikit. Dengan kata lain, batasan akan mnyedikitkan individu yang tercakup. Muhammad Nur al-Ibrahimi, Op.Cit, hlm.18

24 Hiponim adalah hubungan dalam sintaksis antara makna spesifik dengan makna general. Drs. Suparno E.P, Glosarium – Kata Serapan Dari Bahasa Barat Dengan Etimologinya, Semarang: Media Wiyata, hlm.59

25 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Juz.I, Beirut; Dar al-Kutub al-Islamiyah, tt, hlm.28

86

a) Penciptaanya – dalam penciptaan itu sendiri, kita harus

memperhatikan siapa pencipta kata tersebut, konvensi sosial.

b) Ketika lafad dirangkai dalam sebuah kalimat, hubungan sintagmatik.

c) Ketika lafad dalam suatu kalimat bertemu dengan kalimat lain,yang

memberikan informasi tertentu.

d) Ketika berhadapan dengan teks lain, Hadits.

Ushuliyah memahami bahwa makna kata tidak hanya

bergantung atas hubungan penandaan. Lebih jauh, mereka melihat

bahwa kontek situasi ikut berperan di dalamnya. Informasi tentang

kontek situasi didapatkan dari teks-teks lainnya.

2. Berdasarkan Penggunaan Lafad

Ahli Ushul membagi lafad, berdasarkan kriteria ini, menjadi

Hakikat, Majaz, Kinayah dan Sharih. Dalam term Hakikat dan Majaz,

Ushuliyyin melihat faktor pengguna lafad tersebut sebagai penentu

kontek situasi

Bahasa sebagai teks

87

makna – majaz dan hakikat menurut siapa (lughawiyah, syar’iyah, Adat

umum dan Adat khusus). Artinya bahwa makna sangat dipengaruhi oleh

siapa pembicara dan konteks pembicaraan (Muqtada al-hal).

Unsur Parole, dalam bahasa Saussurian, sangat diperhatikan

dalam hal ini. Yakni kebebasan individu untuk menggunakan kata-kata

sesuai dengan apa yang akan ia sampaikan. Dalam strukturalis klasik,

Parole di-nomerduakan oleh Saussure dan dianggap sebagai obyek yang

mustahil untuk dikaji secara sistematik.26

Untuk memahami makna teks, langkah pertama Ushuliyyin

adalah memperhatikan hubungan sintagmatik, yakni hubungan suatu

kata dengan kata lain dalam satu kalimat, struktur kalimat. Dan

kemudian memahami kebiasaan penggunaan bahasa oleh sebuah

masyarakat serta obyek yang dibicarakan.

Dalam Liguistik Kritis Roger Flower, memahami makna teks

tidak hanya melihat struktur teks. Tetapi unsur ekstra linguistik seperti

konteks ujaran, konteks budaya dan konteks referensi juga harus

diperhatikan.27 Hal ini menurut penulis kurang diperhatikan oleh

26 Parole merupakan bagian dari bahasa yang sepenuhnya individual. Dalam parole

individu berperan besar untuk menentukan kode bahasa yang akan dia gunakan untuk mengungkapkan pikiran pribadinya. Singkatnya, parole merupakan penggunaan aktual bahasa sebagai tindakan individu-individu. Aminudin, et.al, Analisis Wacana – Dari Linguistik Sampai Dekonstruksi, Yogyakarta: Kanal, Cet.I, 2002, hlm.86, 92

27 Konteks ujaran merupakan konteks penuturan berupa situasi, media yang digunakan dalam penuturan, lokasi, persona yang dilibatkan, kondisi saat penuturan berlangsung serta berbagai situasi pada umumnya yang memungkinkan terjadinya peristiwa tuturan. Konteks budaya kembali kepada kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik pada taraf yang lebih besar. Konteks referensi merupakan kontek pembicaran / topik / pokok permasalahan. Aminudin, et.al, Ibid, hlm.37-40

88

Ushuliyah dalam kajiannya – meskipun mereka menganggap Nash tidak

hanya sebagai teks tetapi wacana juga.

Menurut penulis, ada satu kendala yang dihadapi oleh

Ushuliyyin ketika berhadapan dengan teks Qur’an – dengan nalar bahasa

adalah wacana, yakni “Keterputusan Informasi”. Ketika kita melihat

bahasa sebagai wacana, kita harus melihat siapa penutur, situasi dan

kondisi di belakangnya. Penutur al-Qur’an adalah Allah SWT. Kita tidak

mengetahui tentang situasi dan kondisi di belakang Subyek Penutur.28

Yang kita ketahui adalah situasi dan kondisi turun ayat – itu pun kalau

sebuah ayat turun disertai adanya sebab turun – yang didapatkan dari

hadits, dan situasi dan kondisi dalam prespektif struktur nalar Arab –

sebagai kebiasaan pemakaian bahasa di masyarakat Arab. Informasi

yang tersedia adalah situasi dan kondisi – menurut konvensi sosial orang

Arab ikut mempengaruhi pemaknaan – yang diasumsikan sebagai situasi

dan kondisi Subyek Penutur. Perhatikan bagan berikut.

28 Nasr Hamid menuturkan bahwa kendala yang dihadapi dalam penafsiran al-Qur’an

adalah tidak mungkinnya menganalisa Subyek Penutur. Lihat Nasr Hamid Abu Zaid,Op.Cit, hlm.19-20

89

Ketika melakukan pembacaan terhadap teks Qur’an, Ushuliyah

berhadapan dengan kekosongan informasi mengenai situasi dan kondisi

penutur, Allah SWT. Mereka hanya mendapati informasi dari Hadits

mengenai situasi dan kondisi turunnya ayat. Dan struktur nalar Arab

yang menurut konvensinya ikut mempengaruhi pemaknaan.

Menggunakan informasi dari hadits dan struktur nalar Arab adalah

pilihan yang cerdas menghadapi kenyataan ini.

Meskipun al-Qur’an menggunakan bahasa arab, sebagai sistem

budaya Arab, tetapi apakah kita akan menafikan “kebebasan subyek” ?

dan memaksakan aturan yang biasanya digunakan oleh orang Arab

Allah SWT struktur nalar arab

Muhammad SAW

Tidak ada informasi mengenai situasi dan kondisi penutur

Hadits dan Kontek menurut konvensi sosial orang Arab mempengaruhi pemaknaan

Penafsir / ahli ushul makna

ayat

90

dalam kepada Subyek Kasat Mata – atau dalam bahasa Ahli Kalam

bahwa Allah SWT berbeda dengan makhluk dan tidak dapat ditangkap

dengan panca indera, sebagaimana dasar yang mereka gunakan surat al-

An’am ayat 103.29 Dalam menghadapi masalah ini, Ushuliyah

bergantung kepada referensi lain yaitu Hadits. Hadits digunakan sebagai

jalan keluar, dengan asumsi bahwa hadits menyimpan keterangan situasi

sekitar turunnya nash, dan orang yang diajak bicara, penerima pertama,

adalah lebih mengetahui maksud pembicaraan daripada yang lain.

Problem keterputusan informasi ini, memberikan kebebasan

kepada pembaca dalam proses signifikasi. Qur’an adalah teks yang

terlepas sama sekali dari pengarang – pengarang sudah mati. Teks qur’an

adalah teks bebas yang akan bermakna ketika dibaca oleh penafsir. Nasr

Hamid memberikan jalan keluar tersendiri dalam menghadapi problem

ini, yaitu pembacaan atas realitas dan budaya. Dalam arti realita yang

mengatur gerak manusia sebagai sasaran teks, penerima pertama

(Muhammad SAW), dan budaya yang menjelma dalam teks.30

Tetapi meskipun begitu, ada kesadaran dari ushuliyah bahwa

bahasa bukan hanya teks tetapi sebuah wacana. Teks merujuk pada

wujud kongkrit penggunaan bahasa berupa untaian kalimat yang

mengemban proposisi-proposisi tertentu sebagai suatu keutuhan. Sedang

wacana merujuk kompleksitas aspek yang terbentuk oleh interaksi antara

29 Yang berarti “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat

melihat segala yang kelihatan; dan Dia adalah Yang Maha Halus dan Maha Mengetahui”. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: CV. Toha Putra, 1989, hlm.204

30 Nasr Hamid Abu Zaid, Loc.Cit

91

sisi kebahasaan, sebagaimana terbentuk dalam teks, dengan sisi luar

bahasa.31

3. Berdasarkan Jelas dan Tidaknya Makna

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembagian

lafad ini – lebih tepatnya kalimat karena penulis memandang bahwa

pembagian ini cenderung kepada kalimat bukan kata. Dalam kata yang

jelas maknanya antara lain: Makna Asli dan Makna “Ikutan”32 – kita

jangan lupa bahwa yang dicari oleh Ushuliyah dari teks adalah makna

yang dimaksud oleh Syari’, nalar inilah yang kemudian menimbulkan

dua term tersebut – dapat diketahui dari sebab turun, sejarah dan kalimat.

Dan juga apakah kata tersebut menerima ta’wil dan naskh atau tidak.

Dalam kriteria tidak jelas maknanya yang perlu diperhatikan

adalah : aplikasi dan implikasi nash, bentuk kata, tidak ada keterangan

dari Syari’, penisbatan kepada Tuhan dan istilah yang dibuat Syari’.

Pendekatan yang dilakukan oleh Ushuliyah, seperti langkah

terdahulu, dalam mencari tahu apa sebenarnya yang diinginkan Syari’

adalah dengan mempersinggungkan teks satu dengan teks lainnya, entah

31 Ketika seseorang mengemukakan gagasan atau melakukan tindak komunikasi, yang

perlu diperhatikan dalam memahami teks tidak hanya unsur yang berkaitan dengan kebahasaan. Unsur seperti siapa pemeran dalam komunikasi, kapan dan dimana serta unsur lain yang ikut membentuk arti, juga harus diperhatikan. Karena unsur ekstra liguistik ikut berperan dalam pemberian makna dan pengertian yang terkandung dalam teks.Artinya penyikapan bahasa tidak hanya sebagai teks tetapi sebagai sebuah wacana.

32 Yang dimaksud makna “ikutan” adalah makna yang dapat dipaham dari teks tetapi bukan yang dimaksud Syari’ berdasarkan sebab turun.

92

antara kalimat satu dengan kalimat lainnya atau antara nash Qur’an

dengan Hadits.

Kita sebagai pengguna bahasa hanya berkuasa untuk memilih

media dan cara untuk menyampaikan gagasan kita dari sebuah struktur

yang sudah diciptakan. Tapi ini, memahami struktur bahasa dan nalar

yang melingkupinya, menurut penulis adalah salah satu langkah yang

dapat kita lakukan ketika kita berhadapan dengan problem “keterputusan

informasi”.

Tetapi apakah karena ketidakjelasan tersebut, suatu nash akan

kita biarkan saja diam ? Apakah kita tidak berpikir bahwa nash al-

Qur’an adalah teks – dalam liguistik bahasa tidak dapat sepenuhnya bisa

mewakili pikiran seseorang – yang diam, dia akan bermakna tergantung

kepada siapa yang membacanya. Karena bagaimanapun ketika kita

berasumsi bahasa tidak dapat sepenuhnya mewakili pikiran – padahal

kita berhadapan dengan Qur’an dan Hadits sebagai sebuah teks – apakah

pemahaman dan penafsiran kita atas teks tersebut adalah benar dan final

seperti apa yang dikehendaki si Penutur ?

4. Berdasarkan Penunjukan Lafad Kepada Makna

Ada kecenderungan baru dalam pendekatan yang dipakai oleh

Ushuliyyin dalam pembacaan nash, yaitu menjadikan teks sebagai

sebuah indikator – konsep tanda menjadi landasan dalam pendekatan ini.

Artinya bahwa dari sebuah teks Ushuliyah berusaha menarik beberapa

93

pemahaman. Seperti tercermin dari dalalah Isyarah dan Ibarat menurut

Hanafiyah, atau pun dalalah Mantuq dan Mafhum menurut Syafi’iyah.

Dalam pemahaman Ahli Ushul, teks menunjukkan beberapa

kebenaran, baik yang secara jelas dikatakan atau tidak. Dalalah Isyarat

misalnya, pemahaman atas teks tidak hanya berhenti pada bunyi nash.

Akan tetapi selama pemahaman itu masih relevan (lazim) berasal dari

teks, pemahaman tersebut adalah benar, kebenaran teks. Disini

kekreatifan pembaca teks sangat dituntut untuk mengungkap kebenaran-

kebenaran yang tidak ditutur oleh teks.

Dialektika penanda dan petanda sangat ditentukan oleh nalar

pembaca. Artinya suatu penanda akan dihubungkan dengan petanda

yang bagaimanapun terserah pembaca. “Fala taqul lahuma uffin” tidak

hanya berarti jangan berkata harus kepada orang tua. Tetapi dapat

dipahami bahwa menyakiti mereka pun tidak diperbolehkan.

Tidak hanya itu, nalar analogi juga digunakan untuk membaca

kemungkinan kebenaran yang lain. Dalam konsep Hanafiyah, Dalalah

al-Nash-lah yang mencoba membaca hal ini.33 Tidak hanya itu, untuk

membaca teks jika terdapat kesalahan rasional – artinya apa yang

dituturkan oleh teks tidak benar menurut logika, seperti “bertanya

kepada desa” – maka dimungkinkan untuk menambahkan beberapa

tanda.

33 Dalam beberapa sumber Ilmu Ushul, disebutkan bahwa Dalalah Isyarat dipersamakan

dengan dalalah Mafhum Muwafaqah-Fawha Al-Khitab. Dan Dalalah al-Dalalah disamakan dengan Mafhum Muwafaqah Lahna al-Khitab dalam hal pola pikir.

94

Menurut Syafi’iyah, teks tidak hanya menunturkan kebenaran

yang tersurat, tetapi juga kebenaran yang berlawanan dengannya – dalam

prakteknya kebenaran ini bukan kebenaran yang sama sekali lepas dari

teks tetapi yang mereka maksud adalah ketika ada teks yang menuturkan

ketentuan bersyarat, dibatasi dengan sifat, pembatasan atau pun jumlah,

maka bisa ditarik pemahaman yang sebaliknya. kebenaran ini pun masih

bergantung atas teks – tidak mungkin dari teks berbunyi “agama yang

benar menurut Allah SWT adalah Islam” ditarik pemahaman bahwa

Agama Kristen dulu pun benar dan berasal dari Tuhan.34

Dari pembacaan di atas, penulis melihat bahwa metode bayani

yang dikembangkan oleh ahli ushul berbeda dengan semiotika

saussurian – yang sama hanya nalar dasarnya. Lebih jauh, metode bayani

hampir sama dengan konsep semiotika sosial. Semiotika struktural hanya

melihat bahasa sebagai signifikasi penandaan, makna hanya bisa

dipahami menurut struktur tanda tersebut. Sedangkan semiotika sosial

melihat bahasa adalah sistem tanda yang sedang mengekspresikan

34 Abed al-Jabiri memahami bahwa teks akan menutup kebenaran diluar teks, yang tidak

diungkap oleh teks. Oleh karena itu, Abed menggunakan metode pembacaan teks kontemporer agar kita tidak hanya mewaspadai apa yang dikatakan oleh teks dan bagaimana penuturannya. Tetapi juga mengarahkan kita agar menyadari “apa yang tidak dikatakan oleh teks” dan cara pembungkamannya. M. Abed Al-Jabiri, Takwin al-Aql al-‘Araby, Terj, Formasi Nalar Arab – Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius, Yogyakarta: IRCiSoD, Cet.I, 2003, hlm.107. Ali Harb melancarkan kritik teks agar kita tidak terperangkap dalam kebenran yang diciptakan oleh teks. Kritik disini merupakan perpindahan dari teks kebenaran kepada kebenaran teks. Teks menciptakan kebenarannya sendiri. Dan teks pun mempunyai kekuatan untuk menutupi kebenaran yang lain. Kita akan terperangkap untuk membaca dan terus membaca teks, yang akhirnya kita tidak menyadari ada kebenaran lain selain kebenaran teks. Inilah kekuatan teks dan hal ini tidak disadari oleh Ushuliyah. Ali Harb, Naqd an-Nash, Terj. Kritik Nalar al-Qur’an, Yogyakarta; LkiS, Cet.I, 2003, hlm.9-20

95

norma, nilai cultural dan sosial suatu masyarakat di dalam suatu proses

kebahasaan.35

M.A.K. Halliday menyebutkan bahwa semua bahasa harus

dipahami berdasarkan konteks situasinya. Kontek situasi meliputi:

subyek dalam situasi, tindakan (tutur dan non-tutur), benda dan kejadian

sekitarnya, dan dampak tindakan tutur pelibat. Hubungan teks dan

konteks bersifat dialektis, teks menciptakan konteks dan konteks

menciptakan teks, dan makna terbentuk dari pergesekan keduanya.

Setiap teks juga merupakan konteks bagi teks yang lain.36 Yang belum

diperhatikan oleh metode bayani adalah konteks kultur. Dan hal ini

dalam semiotika sosial dipandang ikut membentuk makna.

Realitas kultur budaya makro di sekitar teks belum disentuh

oleh metode bayani. Ada relasi kuasa dalam pembentukan teks.

Diskursus, seperti posmodernisme, tradisional, metafisik, yang mengitari

penciptaan teks harus kita pahami dan cermati. Pada tingkat budaya,

diskursus berkuasa untuk membentuk kebenaran dan pengetahuan.37

Yang belum dibaca dan disadari oleh Ushuliyyin adalah bahwa

teks Al-Qur’an dan Hadits turun pada kurun waktu tertentu – beserta

35 Drs. Riyadi Santoso, M. Ed, Op.Cit, hlm.6 36 M.A.K. Halliday – Ruqaiya Hasan, Language, Context and Text: Aspects of Language

in Social-Semiotic Prespective, Terj. Drs. Asrudin Barori Tou,M.A, Bahasa, Konteks dan Teks: Aspek-aspek Bahasa Dalam Pandangan Semiotik Sosial, Yogyakarta: Gajahmada University Press, Cet.2, 1994, hlm.10-11, 64-65

37 bahwa dibalik pengucapan, di balik pengaturan ruang dan obyek, di balik penggunaan tubuh dan kesenangan terdapat bentuk kekuasaan tertentu yang breoperasi, yang menentukan eksistensi dan bentuknya. Yasraf Amir Piliang,Op.Cit, hlm.118

96

diskursus yang melingkupinya. Bagaimana ketika teks tersebut

bersentuhan dengan konteks kekinian ?

Bahasa dalam pandangan Ushuliyah tidak lagi sebatas sebuah

teks, yang hanya memperhatikan hubungan tanda-tanda dalam kalimat,

tetapi sudah merupakan sebuah wacana. Untuk membaca wacana

Ushuliyah hanya membaca realitas sempit seputar teks, turunnya teks.

Apakah tidak lebih baik kalau pembacaan realitas tersebut kita perluas.

Artinya tidak hanya mengenai latar belakang sebuah nash diturunkan

tetapi hubungan suatu teks dengan realitas yang lebih luas, seperti

budaya, politik , sosial dan ekonomi secara makro.

Sebenarnya ahli ushul sudah memahami bahwa nash al-Qur’an

adalah produk budaya arab. Buktinya dalam memahami al-Qur’an,

langkah yang ditempuh pertama kali adalah membaca al-Qur’an dengan

struktur kebahasaan Arab. Tapi yang penulis maksud dengan konteks

kebudayaan ini adalah konteks budaya yang secara umum menciptakan

struktur teks. Kenapa teks berbunyi demikian? Apa yang mendasari

diturunkannya sebuah teks? bukankah al-Qur’an diturunkan untuk

merespon kebudayaan Arab waktu itu. Secara otomatis apa yang

disampaikan oleh al-Qur’an tidak akan jauh dengan realita yang

dihadapi.

Penulis berasumsi bahwa tidak dibacanya kontek budaya

sebagai implikasi teknik pembacaan ahli ushul yang hanya

mempertemukan nash Qur’an dengan Hadits saja. Padahal di sekitar

97

turunnya al-Qur’an terdapat teks-teks lain. Melihat teks lain akan sangat

membantu pembacaan. Upaya ini bukan merupakan usaha untuk

menyamakan al-Qur’an dengan teks lain dengan menafikan ke-i’jaz-an

Qur’an – bahwa al-Qur’an adalah kalam tuhan yang berbeda dengan

kalam manusia. Tapi yang perlu kita sadari adalah al-Qur’an mempunyai

dua sisi, yakni teks ketuhanan dan teks budaya. Teks ketuhanan dalam

arti bahwa al-Qur’an adalah teks yang diturunkan oleh Allah SWT

kepada Nabi Muhammad yang berbeda dengan teks lain. Teks budaya

berarti bahwa Qur’an, dengan medium bahasa Arab dalam penyampaian

risalahnya, adalah hasil budaya Arab yang tidak berbeda dengan teks-

teks lain.38

Pembacaan terhadap kontek budaya akan sangat membantu

dalam pembacaan nash al-Qur’an dan Hadits. Kedua sumber tersebut

adalah produk budaya, dalam arti keduanya terbentuk dalam realitas dan

budaya dalam rentang waktu lebih dari dua puluh tahun. Dari pembacaan

budaya kita bisa melihat bagaimana sebuah teks diciptakan, merespon

dan berdialektika dengan dan oleh budaya. Bukankah bahasa yang

digunakan oleh keduanya adalah produk budaya.

Dari tidak dibacanya kontek budaya, yang perlu kita sadari

adalah proses “Arabisasi” melalui nash al-Qur’an dan Hadits39 –

38 lihat Nasr Hamid Abu Zaid, Op.Cit, hlm.62-63 39 Arabisasi terjadi akibat adanya logosentrisme, keterpusatan. Makna, hubungan penanda

dan petanda adalah bentuk konvensi sosial, yang menyangkal proses penandaan yang lain. Oleh karenanya, bagaimanapun dan kapanpun sebuah bahasa dibaca oleh orang akan tetap bermakna sama. Kebenaran adalah kebenaran logos yang merupakan konvensi sosial. Hubungannya dengan studi ini adalah Qur’an dan Hadits adalah teks berbahasa arab. Kebenaran keduanya adalah

98

membawa dan memaksa memasukkan budaya arab ke dalam budaya

lokal. Kita hanya memahami dan mempraktekkan Islam versi Arab –

Kita tidak menyadari bahwa telah terjadi proses arabisasi karena pesan

dan ajaran Islam memakai media bahasa Arab, yang secara tidak

langsung merepresentasikan kebudayaan Arab. Yang kita lakukan adalah

meniru dan memadukan unsur arab dalam Islam, bukan Islam

sesungguhnya. Bukankah Islam adalah Islam, bukan Islam Arab.40

C. Pertentangan Kaidah Kebahasaan Hanafiyah dan Syafi’iyah

Dari data dalam bab III, kita bisa melihat ada beberapa perbedaan

antara ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah dalam kaidah kebahasaannya. Hal ini

sangat mempengaruhi beberapa produk pemikiran hukum mereka. Penulis

melihat bahwa perbedaan tersebut terletak pada pemahaman mereka

terhadap teks-teks hukum.

Hanafiyah berpendapat bahwa dalalah am bersifat qath’i. Artinya

lafad am menunjukkan arti kepada setiap individu yang dicakupnya dengan

pasti, tidak ada kemungkinan kepada yang lain. Sedang dalalah am menurut kebenaran berdasarkan logos arab, konvensi umum orang Arab. Teks-teks tersebut selalu membawa dan ikut merepresentasikan budaya arab. Apabila kita tidak menyadari akan terjebak di dalamnya. Yasraf Amir Piliang menerangkan bahwa Strukturalis Saussurian mengembangakan prinsip oposisi biner, ucapan dan tulisan. Ucapan, sebagai superior atau logos (kebenaran, kebenaran dari kebenaran), didahulukan daripada tulisan, perantara atau representasi palsu dari kebenaran. Ada asumsi adanya hak istimewa untuk ucapan dan pelecehan bagi tulisan, yang dipandang hanya sebagai bentuk yang sudah tercemar diluar wilayah kebenaran – dalam bahasa Derrida disebut Logosentrisme. Hal inilah yang kemudian dikritik oleh Derrida. Tulisan menurut Derrida kalau dilihat dengan benar bukanlah representasi palsu dari kebenaran. Tulisan melepaskan diri dari ucapan deengan segala asumsi kebenaran alamiahnya (logos). Tulisan adalah sebuah permainan bebas unsure-unsur bahasa dan komunikasi. Tulisan adalah proses perubahan makna terus-menerus, dan perubahan ini menempatkannya pada posisi di luar jangkauan kebenaran mutlak (logos). Yasraf Amir Piliang, Op.Cit,hlm.137-139

40 lihat M.Imdadun Rahmat, dkk dalam Tashwirul Afkar: Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, Edisi No.14 Tahun 2003, hlm.9-32

99

Syafi’iyah bersifat dzani, masih ada kemungkinan arti lafad am ditujukan

kepada arti (individu yang tercakup) yang lain. Mereka berargumen bahwa

setiap am mempunyai kemungkinan untuk ditakhsis. Hal ini melahirkan

sebuah asumsi – atau lebih tepatnya pandangan yang menjurus kepada

sebuah keyakinan – yaitu:

�& �#���'�(�) *��+��,��-.��(�(41�

Oleh karena itu, hampir semua am mempunyai mukhasis, sedang

yang tidak hanya sedikit. Sedangkan Hanafiyah berargumen bahwa lafad am

ditujukan kepada keumuman secara wadh’i. Oleh karena itu, keumuman

merupakan sifat yang lazim bagi am sampai datangnya takhsis. Dan bahwa

setiap am mempunyai kemungkinan untuk ditakhsis adalah kemungkinan

yang tidak tetap sehingga tidak dapat mempengaruhi sifat qath’i dari am.

Dari perbedaan ini penulis melihat bahwa Syafi’iyah

menitikberatkan kriteria am kepada dialektika teks satu dengan teks yang

lain. Hanafiyah lebih berpegang pada wadha’ (penciptaan hubungan arti dan

kata) daripada dialektika tersebut. Tetapi pada dasarnya Hanafiyah tetap

tidak menafikan adanya dialektika antara sebuah ayat dengan ayat yang lain.

Hal ini pun terlihat pada perbedaan pendapat mereka mengenai lafad amr.

Hanafiyah berpendapat bahwa amr menunjukkan kewajiban hal yang

diperintah. Sedang menurut Syafi’iyah amr berfaidah sunah.

Pada lafad musytarak Hanafiyah memilih untuk tidak menggunakan

lafad tersebut sampai ada dalil yang menentukan salah satu arti. Menurut

41�� Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Juz.I, Beirut: Dar al-Fikr, T.th, hlm.251

100

mereka musytarak tidak menunjukkan kepada semua arti dalam satu kali

pengucapan. Karena menurut wadha’-nya musytarak tidak menunjukkan

kepada semua arti, tetapi dikarenakan sebuah sebab khusus.42 Seperti contoh

kata “cokot” untuk orang jawa tengah berarti menggigit, sedang menurut

orang sunda berarti mengambil. Jadi kata “cokot” tidak menunjukkan arti

menggingit dan mengambil dalam satu pengucapan.

Sedang menurut Syafi’iyah, musytarak dapat menunjukkan kepada

setiap artinya. Musytarak dalam satu kali pengucapan bisa menunjukkan

kepada setiap arti, tetapi untuk menentukan arti mana yang dipakai harus ada

qarinah yang jelas. Menurut penulis perbedaan diantara mereka tidak

signifikan, karena pada akhirnya untuk menetapkan makna yang dimaksud,

baik Hanafiyah maupun Syafi’iyah, tetap memakai indikator untuk

menentukan salah satu makna.

Pada pembagian jelas tidaknya makna, Hanafiyah membagi kata

menjadi delapan (dzahir, nash, mufasar, muhkam, khafi, musykil, mujmal

dan mutasyabih) , dan Syafi’iyah dua kriteria; wadhih (nash dan dzahir) dan

ghairu wadhih. Perbedaan ini mensiratkan satu kesimpulan bahwa teks

berdialektika dengan teks lain dan realita.

Hanafiyah membagi kata menurut proses dalalahnya menjadi ibarat,

isyarat, dalalah dan iqtidha’. Sedang Syafi’iyah membaginya menjadi dua

yaitu mantuq dan mafhum. Salah satu hal yang perlu dicermati dari

perbedaan ini adalah bahwa teks adalah sebagai titik pusat legalitas

42 Ibid, hlm.287

101

pemaknaan. Jadi sebenarnya ada persamaan dalam memandang sebuah teks

dalam perbedaan ini.

D. Implikasi Penggunaan Metode Bayani Dalam Formulasi Hukum

Poligami Islam

Kita selama ini hanya terjebak dalam “Nalar Ushuliyyin”, yang

hanya memikirkan jenis-jenis kata dan implikasinya dalam hukum. Mereka

hanya menganalisa nash kemudian menentukan bahwa tanda ini termasuk

kriteria ini dan berimplikasinya seperti ini – hal ini adalah asumsi penulis.

Pada bab ini, penulis akan mencoba menganalisa dan menggunakan metode

bayani ushuliyah untuk membaca teks hukum poligami.

Nash poligami surat al-Nisa’ ayat 3 yang berarti:

“Jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”(QS. An-Nisa’ : 3)

merupakan nash hukum yang selama ini digunakan Fuqaha untuk

melegitimasi hukum poligami Islam.

Dalam memahami ayat tersebut Ahli Ushul memakai dua cara,

yaitu dengan memahami struktur bahasa Arab – kemudian lahir metode

bayani – dan keterangan dari Rasul. Jumhur Ulama menautkan ayat tersebut

102

dengan hadits riwayat Ibnu Umar tentang Ghailan 43 dari sini mereka

memahami bahwa poligami hanya boleh sampai empat saja.

Beberapa hal yang harus kita perhatikan pertama kali, ada dua teks

yang digunakan para fuqaha dalam menentukan hukum poligami – kalau

ahli tafsir menambahi satu teks lagi, sebagai sebab turun ayat tersebut.

Dalam memahami makna teks mereka menautkan kedua teks tersebut –

terutama dalam pemaknaan batas empat. artinya makna teks sangat

ditentukan oleh teks lain.

Dari sini kita melihat seolah-olah pemaknaan berhenti sampai

disini. Ketika teks tersebut telah mati di tangan penafsiran Rasul,44 tidak

akan ada lagi pengembangan pemahaman terhadap ayat tersebut. Kesan

yang kita tangkap adalah mereka hanya mencari makna tekstual, makna

yang paling dekat dengan apa yang dikehendaki Syari’. Karena mereka

memahami bahwa Nabi SAW adalah orang kedua, dalam proses

43 Artinya : “Bahwa Ghailan bin salamah al-Tsaqafi masuk Islam, dan dia mempunyai

sepuluh istri yang dinikahi pada masa jahiliyah. Kemudian istri-istri ghailan ikut masuk Islam. Lalu nabi SAW memerintahkan untuk memilih empat dari mereka” . lihat Imam al-Turmudzi, Sunan Turmudzi, Juz.3, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, hlm. 435

44 Muhammad Syahrur membedakan antar hadits dan sunnah. Menurutnya hadits adalah hasil ijtihad Nabi SAW terhadap nash-nash al-Qur’an. Sedang sunnah adalah metode (manhaj) dalam menetapkan hukum-hukum umm al-Kitab (ayat-ayat hukum) dengan cara yang mudah – tanpa keluar dari batas-batas yang telah ditentukan oleh Allah SWT, baik dalam masalah-masalah yang ada batasnya dalam al-Qur'an maupun membuat batas-bats baru yang bersifat temporer dalam berbagai persoalan, dengan memperhatikan realitas dan kondisi sosial kultural yang akan dijadikan tempat penerapan hukum.44 Dalam konteks ini Shahrur juga menegaskan bahwa hadits merupakan ijtihad Nabi dalam pembacaan kitab suci. Jadi, sebagaimana yang dilakukan Nabi, maka menurutnya kita juga harus melakukan interpretasi bukan untuk meniru apa yang beliau katakan secara verbal, tetapi meniru jalan dan metodologinya. Shahrur mengatakan: “Perlakukanlah al-Qur'an seolah-olah ia baru saja turun/diwahyukan dan Nabi Muhammad SAW. baru meninggal kemarin”. Lihat Muhammad Syahrur, Muhammad Shahrur, Al-Kitab Wa Al-Qur’an: Qira’ah Mu’asirah, Damaskus: Al-Ahali li At-Tiba’ah Wa al-Nashr Wa al-Tauzi’, cet. II, 1990, hlm.44, 548-549

103

penyampaian wahyu. Asumsinya Nabi SAW adalah yang paling tahu

terhadap pemaknaan nash tersebut.

Kalimat yang dipakai dalam nash tersebut adalah kalimat kabar.

Nash tersebut dimulai dengan suatu keadaan yang disyaratkan yaitu

khawatir berbuat tidak adil terhadap anak yatim – menikahi mereka dengan

tidak membayar mahar. Syarat ini yang kemudian merubah makna perintah,

yang terwujud dari fi’il amar fankihu, menjadi bermakna diperbolehkannya

bepoligami.

Pemaknaan lafad amar tersebut berubah, dari makan aslinya

perintah, menjadi makna keberbolehan. Amar yang termasuk kriteria khas,

mempunyai konsekuensi hukumnya bersifat qath’i – khas tidak akan

menunjuk arti lain kecuali ada dalil. Dari sini kita bisa melihat bahwa dalil

lain ikut menentukan pemaknaan. Dialektika penanda (fi’il amar) dan

pertanda (makna perintah yang merupakan makna asli yang diciptakan oleh

sistem masyarakat) tidak berhenti sampai disini. Ada faktor lain diluar

sistem yaitu syarat yang membuat amar berubah dari makna aslinya –

meskipun sebenarnya dialektika antara syarat dan amar, yang kemudian

membuat amar harus berubah makna adalah sistem juga, karena masyarakat

arab pun mempraktekkan dan memahami begitu.

Ada satu asumsi penulis yaitu, seumpama kita bisa menemukan

indikator lain untuk merubah makna tersebut, pasti berubah. Oleh karena itu,

kita dituntut untuk lebih jeli dalam melihat teks. Tapi apakah ada kebebasan

bagi kita untuk memberi pemaknaan terhadap teks tersebut ?

104

Dalam ayat tersebut ada beberapa kata-kata yang termasuk am,

yaitu al-yatama, ma maushulah, al-Nisa’. Kenapa mereka termasuk am

karena makna yang dicakupnya menyeluruh kepada setiap individu, yang

termasuk di dalamnya. Kenapa mereka tidak dimasukkan ke dalam predikat

muqayad ? Ada satu perbedaan signifikan antara am dan muqayad, yaitu am

selalu ditampilkan dalam bentuk ma’rifat. Sedang muqayad ditampilkan

dalam bentuk nakirah. Dan keumuman keduanya pun berbeda. Kalau

keumuman am menyeluruh kepada setiap individu, keumuman muqayad

hanya terletak pada dirinya bebas menerima sifat apa saja.

Lafad matsna, tsulatsa dan ruba’ menunjukkan kepastian jumlah,

tidak jumlah yang lain. Fuqaha mengaitkan teks ini dengan hadits ghailan

untuk memperkuat dan mencegah penafsiran yang salah terhadap jumlah

tersebut.

Ada satu realita yang harus kita cermati bersama, kenapa kata

benda (noun) mendapat proporsi perhatian yang lebih banyak oleh matode

ini ? mungkin karena yang mereka hadapi adalah ayat-ayat hukum.

Konsekuensinya yang ada dalam pikiran mereka adalah hukum, obyek

hukum dan syari’. Mungkin hal ini juga yang menyebabkan mereka

membagi kata dalam empat kriteria.

Secara umum kalimat nash tersebut adalah am, poligami

dibolehkan bagi siapa saja. Syarat termasuk kalam ghairu mustaqil, yang

berfungsi untuk mempersempit arti am, merubah makna kepada poligami

hanya diperbolehkan bagi bisa berbuat adil, sedang yang takut tidak berbuat

105

adil – atau minimal dapat dipastikan dirinya tidak dapat berbuat adil – tidak

boleh.

Ayat tersebut apabila dilihat menggunakan metode kedua – lafad

dilihat dari makna yang dipakai – menunjukkan bahwa makna yang dipakai

adalah hakikat. Kita tidak menemukan ada qarinah yang menunjukkan nash

tersebut memakai makna majazi. Cara penyebutan maksud arti memakai

sharih, jelas.

Dua dari metode bayani telah kita gunakan, sekarang kita akan

menggunakan metode ketiga, yaitu kata berdasarkan jelas dan tidaknya

makna. Dalam metode ini, Ulama Ushul dalam usahanya untuk

mendapatkan makna, menautkan teks satu dengan yang lain.

Ada beberapa teks lain – yang memberikan informasi – di sekitar

nash ayat 3 surat al-Nisa’. Antara lain:

1. Ayat sebelumnya yang menceritakan tentang pelarangan berbuat tidak

adil terhadap anak yatim.

2. Hadits tentang Ghailan yang masuk Islam dengan membawa 10 istri, dan

akhirnya dia disuruh oleh Nabi SAW agar memilih empat saja.

3. Hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah yang menceritakan bahwa

‘Urwah bertanya kepada bibinya, ’Aisyah Ummu al-Mukminin RA

tentang ayat ini. ‘Aisyah menjawab: hai anak laki-laki saudara

perempuanku, bahwa anak yatim ini dalam kekuasaan walinya, (si wali)

mencampuri harta yatim, dan kecantikan serta harta si yatim

membuatnya tertarik. Kemudian wali bermaksud menikahi tanpa berbuat

106

adil dalam persoalan mahar; artinya dia tidak memberi mahar sesuai

ketentuan umum. Cegahlah dia dari berbuat demikian dan

perintahkanlah untuk menikahi wanita yang disenangi dua, tiga atau

empat”

4. Ucapan Ibnu Abbas “seperti kalian takut berbuat tidak adil terhadap

yatim, takutlah tidak berbuat adil terhadap perempuan. Maka jangan

menikah melebihi kemempuanmu memenuhi hak-hak mereka. Karena

wanita seperti yatim dalam hal ketidakmampuan”

5. Hadits dari ‘Aisyah yang berarti: Nabi SAW menggilir dan telah

berbuat adil, kemudian beliau berdoa: Wahai Tuhanku, ini adalah

keadilanku dalam hal yang aku miliki. Maka jangan engkau bebani aku

dengan hal yang engkau miliki, tetapi tidak aku miliki (diluar

kemampuan), yaitu hati.

6. Ayat 129 surat al-Nisa’ yang berarti: Dan kamu sekali-kali tidak akan

dapat berlaku adil diantara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin

berbuat demikian. Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada

yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.

Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari

kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha

Penyayang.

Beberapa teks tersebut menginformasikan realita seputar nash

poligami. Sehingga kita bisa mendapatkan beberapa arti. Makna zahirnya –

makna yang tidak diinginkan syari’ dengan melihat susunan kalimat, sejarah

107

dan sebab turun – adalah diperbolehkannya menikah. Arti ini diambil dari

susunan ayat fankihu ma thaba lakum minan nisa’i. Kemudian kita melihat

sebab turun, hadits ‘Aisyah. Hadits ini menceritakan seseorang yang

mengasuh anak yatim, dan berusaha mengawininya tanpa memberi mahar.

Dari sini, dapat dipahami bahwa lebih baik menikahi wanita yang tidak

yatim – dua tiga atau empat, dari pada kita takut tidak berbuat adil ketika

menikahi anak yatim.

Fuqaha juga mengaitkan nash tersebut dengan hadits Ghailan.

Akhirnya didapati makna bahwa menikahi wanita hanya boleh sampai

empat. Jadi makna zahir dapat segera dimengerti dengan melihat susunan

kalimat, kemudian melihat sejarah dan sebab turun.

Ada tiga dialektika dalam memahami nash ini, nash dengan dua

hadits. Dengan begitu kita juga bisa mendapatkan arti nashnya, yaitu lebih

baik menikahi wanita lain, dari pada kita takut tidak berbuat adil ketika

menikahi anak yatim, pembatasan jumlah wanita yang dinikahi –

diperbolehkan menikahi sampai empat asal kita tidak takut dan bisa berbuat

adil. Jadi ayat tersebut bisa dimasukkan dalam golongan zahir dan nash.

Fuqaha hanya melihat realita sempit sekitar nash. Bukankah ketika

kita melihat realiat yang lebih luas, ini akan lebih baik. Fenomena poligami

telah ada sebelum Islam datang – mungkin tradisi ini ada karena didukung

oleh sisi biologis manusia.45 Bahkan dalam tradisi kebudayaan lain dan Arab

sendiri, wanita tidak ada harganya. Kemudian Islam datang dan melakukan

45 Dr. Abdul Nasir Taufiq al-‘Atthar, Ta’adudu al-Zaujati mina al-Nawahi al-Diniyati wa al-Ijtima’iyati wa al-Qanuniyati, Terj. Poligami Ditinjau Dari Segi Agama, Sosial dan Perundang-undangan, Jakarta: Bulan Bintang, Cet.I, 1976, hlm.16-17

108

perubahan, dengan membatasi jumlah poligami, dengan nash berisi

persyaratan yang hampir berarti larangan.46 Islam mengadopsi kebudayaan

arab jahiliyah, meskipun melakukan pembatasan. Realita makro semacam

ini yang luput dari pandangan Fuqaha.

Diskursus “wanita tidak mempunyai kekuatan dan tidak ada

harganya”, telah membentuk realita praktek poligami dalam masyarakat

Arab. Praktek sosial yang telah dilakukan beberapa ratus tahun sebelumnya

ini, kemudian membentuk teks yang melegitmasinya. Ada kekuasaan yang

melahirkan pengetahuan dan kebenaran praktek poligami. Kekuasaan

mayoritas adalah yang dibenarkan, menafikan kebenaran-kebenaran

pinggiran. Kesadaran ini tidak ada dalam nalar ahli ushul, karena nalar

mereka telah dibentuk oleh diskursus tersebut.

Dari sini kita bisa melihat bagaimana teks dibentuk oleh budaya –

budaya yang berpihak pada laki-laki. Dalam praktek keseharian pemegang

kekuasaan adalah laki-laki. Wanita tidak mempunyai hak karena mereka

tidak mempunyai kapital 47 yang bisa menjadi nilai tawar. Kenapa budaya

bepihak pada laki-laki, karena mereka pemegang kapital. Dalam kebudayaan

seperti itu, sebuah teks tidak akan terlahir bersimpangan dengan kekuasaan –

persamaan hak dan poligami dilarang berdasarkan kesetaraan. Meskipun

dalam praktek poligami nash al-Qur’an telah mereduksi kebudayaan Arab

pra-islam. Tetapi nash tersebut masih melegitimasi kekuasaan laki-laki

46 Muhammad Abed al-Jabiry, Ad-Dimuqrathiyyah wa Huquq al-Insani, Terj. Syura:

Tradisi – Partikularitas – Universalitas, Yogyakarta: LkiS, Cet.I, 2003, hlm. 138 47 Haryatmoko, Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa, Dalam BASIS – Edisi Khusus

Pierre Bourdieu, Nomor 11-12, Tahun ke-52, November-Desember 2003, hlm.5-23

109

dalam wacana dan melahirkan budaya baru. Mengutip pendapat Nasr

Hamid:

“Sebagai teks bahasa, al-Qur’an dapat disebut sebagai teks sentral dalam sejarah peradaban Arab. Bukan bermaksud menyederhanakan jika dikatakan bahwa peradaban Arab-Islam adalah “peradaban teks”. Artinya bahwa dasar-dasar ilmu dan budaya Arab-Islam tumbuh dan berdiri tegak di atas landasan dimana “teks” sebagai pusatnya tidak dapat diabaikan.” 48

Metode terakhir, kata berdasarkan cara penunjukan kepada makna,

membutuhkan kejelian kita dalam melihat nash. teks kita jadikan sebagai

patokan, mencari kemungkinan arti dengan melihat kesesuaian arti tersebut

dengan teks menurut logika. Pertama kita melihat teks, ibarat al-Nash, kita

akan mendapati beberapa makna, antar lain:

1. Lebih baik kita mengawini wanita lain – yang tidak yatim – daripada

kita takut tidak berbuat adil terhadap anak yatim ketika kita menikahi

mereka.

2. Diperbolehkannya menikahi perempuan yang kita senangi.

3. Poligami dibatasi sampai empat.

4. Ketika kita takut tidak berbuat adil terhadap beberapa istri, hanya

dibolehkan mengawini satu wanita saja.

5. Keadilan yang dimaksud adalah keadilan yang sesuai dengan

kemampuan lahiriah manusia.

Sedang makna yang bisa diperoleh dari isyarat al-nash – mencari

makna yang secara rasio masih bisa dihubungkan dengan teks, teks sebagai

patokan – adalah kita dilarang berbuat aniaya terhadap anak yatim, nilai

48 Nasr Hamid Abu Zaid, Op.Cit, hlm.1

110

keadilan harus dipegang teguh. Berbuat tidak adil terhadap perempuan saja

dilarang, apalagi terhadap anak yatim.

Dari pembacaan dan proses signifikasi demikian, Islam tetap

melegalkan poligami dengan beberapa syarat yang sangat ketat, seperti harus

dapat berbuat adil dan bisa memberi nafkah kepada semua istrinya. Hal ini

dilakukan untuk menjaga agar hikmah dibalik pelegalan poligami tetap

terjaga. Karena salah satu nilai yang dijunjung tinggi oleh Islam adalah

keadilan dan egaliter.

Para Fuqaha klasik tidak ada yang melarang poligami, atau minimal

memberikan pembacaan lain terhadap teks tersebut. Perbedaan pendapat

antara Syafi’iyah (jumhur) dan Hanfiyah dalam kaidah kebahasaan juga

tidak cukup menunjukkan signifikansi. Karena pada kenyataannya jumhur

mencapai satu kesimpulan bahwa poligami tetap dilegalkan. Fakta tersebut

diperoleh dari penelusuran penulis atas beberapa kitab-kitab klasik.49

Pembacaan yang berbeda diberikan oleh golongan Dzahiriyah.

Mereka memperbolehkan menikahi wanita sampai sembilan. Pendapat ini

adalah pendapat yang sembrono karena mereka tidak melihat keterkaitan

nash al-Qur’an dengan Hadits. Pilihan Jumhur untuk mempertemukan kedua

teks tersebut adalah cerdas. Karena hadits adalah salah satu teks yang

memberikan beberapa informasi pemaknaan paling dekat.

Dari beberapa kesimpulan yang dapat diambil antara lain bahwa

Islam tetap melegalkan poligami. Dari sini nampak jelas karakteristik

49 lihat lampiran pada akhir skripsi ini.

111

pembacaan dengan metode bayani yang dilakukan Fuqaha yang bersifat

tekstualis. Penulis melihat bahwa ketidakmampuan Fuqaha untuk membaca

lebih dari itu tidak hanya disebabkan oleh metode yang mereka pakai. Tetapi

nalar agama dan keyakinan terhadap kitab suci al-Qur’an dan hadits juga

berperan. Mereka tidak bisa menganggap bahwa al-Qur’an dan Hadits

adalah teks yang tidak jauh beda dengan teks-teks yang lain.

Bahasa merupakan perwujudan pola pikir dan media yang

digunakan masyarakat untuk mengungkapkan ide dan apa yang mereka lihat

dan alami. Dengan asumsi seperti ini nampak jelas bahwa ada dialektika

antara teks dan realitas sekitar, al-Qur’an dan Hadits dengan masyarakat

Arab dan budayanya. Jika kita tidak membaca lain maka yang akan terjadi

adalah “arabisasi”, membawa Islam Arab ke daerah lain. Islam adalah Arab

dan Arab adalah Islam.50

Nash tersebut dengan jelas menyebutkan – menggunakan kata-kata

yang mudah dimengerti dengan sekali melihat – bahwa Tuhan SWT

melegalkan poligami. Ahli Ushul dalam membaca teks hanya

memperhatikan realitas sempit di sekitar teks, padahal tawaran metode baca

mereka sudah cukup bagus. Seumpama mereka melihat bahwa poligami

adalah sebuah realita dan kebudayan yang bersifat makro dalam masyarakat

Arab. Ada dengan keadaan masyarakat Arab dan bagaimana struktur

masyarakatnya ? pertanyaan ini seharusnya muncul dalam benak mereka.

50 Lihat LAKPESDAN NU, Jurnal Taswirul Afkar, Ed.No.14 Tahun 2003, hlm.9-32

112

Pada kurun waktu berikutnya, terutama pada era kebangkitan Islam

penggunaan metode bayani telah mengalami perubahan. Ini terlihat pada

pendapat beberapa pendapat ulama kontemporer. Sebut saja Abed al-Jabiri

yang hampir melarang poligami dengan mengatakan bahwa Islam memberi

persyaratan yang begitu ketat seakan-akan melarang poligami. Begitu pula

Muhammad Syahrur yang membaca nash tersebut dengan pendekatan lain.

Bagi dirinya poligami dilegalkan tetapi ada beberapa hal yang harus

diperhatikan, masalah kualitas dan kuantitas. Wanita yang dinikahi terdiri

atas satu perawan dan tiga janda.

Berbeda dengan mereka Dr. Wahbah Zuhaily menambahkan

adanya izin dari pengadilan disamping persyaratan tersebut diatas. Dia tidak

hanya menggunakan pendekatan kebahasaan tetapi juga pendekatan

istishlahi. Untuk menjaga agar hak berpoligami tidak disalahgunakan dan

melindungi hak-hak perempuan, maka poligami hanya diperbolehkan bagi

mereka yang mampu dan mendapat izin dari pengadilan yang didasarkan

atas persetujuan istri. Disamping itu situasi dan kondisi juga mempengaruhi

diberlakukannya poligami.

Hal yang sama dilakukan di Indonesia. UU Perkawinan tidak

dengan mudah memberikan izin poligami. Seorang suami harus berhadapan

dengan persyaratan yang sangat ketat ketika dirinya ingin beristri lebih dari

satu. Hal ini sangat berguna karena dikhawatirkan kebolehan poligami akan

disalahgunakan oleh suami. Penulis melihat kecenderungan baru dalam

hukum poligami, yaitu penggunaan metode istishlahi. Tidak lagi berkisar

113

pada pembacaan teks, tapi pada penerapan teks, Tasyri’. Bagaimana

penerapan hukum bisa menjaga hak dan kewajiban bersama.

Persoalan yang datang kemudian adalah ketika teks al-Qur’an turun

dan berdialektika dengan masa tertentu – dengan Struktur nalar dan

masyarakat Arab Jahiliyah – harus berhadapan dengan konteks kekinian,

tentunya dengan struktur nalar dan masyarakat yang berbeda. Dengan nalar

industri (modernitas) misalnya, wanita dan pria dianggap sama karena

keduanya bisa menghasilkan dan memproduksi benda. Ini berbeda dengan

realita Arab ketika al-Qur’an turun, waktu itu wanita sangat jauh berada di

bawah laki-laki. Apakah pemahaman atas teks hanya sebatas itu, stagnan

dan statis. Ini berarti Metode Bayani hanya mengusung Nalar Arab untuk

dipaksa kepada masyarakat yang berbeda.

Problem lain yang dihadapi Ushuliyyin adalah mereka tidak

menyadari ada kebenaran selain nash tersebut tentu pembacaannya tidak

akan demikian. Pembacaan yang mereka lakukan hanya melahirkan hukum

yang tekstualis. Mereka hanya berkutat dalam proses signifikasi, mencari

makna dari penanda. Mereka tidak menyadari bahwa teks membuat

kebenaran sendiri dan menutup kebenaran yang lain, yang didiamkan oleh

teks.

114

DAFTAR PUSTAKA

Qattan, Mana’, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, tt

Yahya, Mukhtar, Dr. Prof, dan Fathurrahman, Dr. Prof, Dasar-dasar Pembinaan

Hukum Fiqh Islami, Bandung: PT. Alma’arif, Cet.4, 1997

Gordon, Terrence. W, Saussure For Begginer, diterjemah oleh Mei Setiyanti dan

Hendrikus Panggalo, Saussure Untuk Pemula, Yogyakarta:

Kanisius, 2002

Al-Ibrahimi, Nur, Muhammad, Ilmu al-Mantiq, Surabaya: Percetakan Sa’id bin

Nasir Nabhan, Cet.V

Chaer, Abdul, Drs, Linguistik Umum, Jakarta: PT.Rineka Cipta, Cet.II, 2003

Sunardi, ST, Semiotika Negativa, Yogyakarta: Kanal, 2002

E.P. Suparni, Drs, Glosarium – Kata Serapan Dari Bahasa Barat Dengan

Etimologinya, Semarang: Media Wiyata

Rusyd, Ibnu, Bidayah al-Mujtahid, Juz.I, Beirut; Dar al-Kutub al-Islamiyah, tt

Aminudin, et. al, Analisis Wacana – Dari Linguistik Sampai Dekonstruksi,

Yogyakarta: Kanal, Cet.I, 2002

M. Abed Al-Jabiri, Takwin al-Aql al-‘Araby, Terj, Formasi Nalar Arab – Kritik

Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana

Interreligius, Yogyakarta: IRCiSoD, Cet.I, 2003

Ali Harb, Naqd an-Nash, Terj. Kritik Nalar al-Qur’an, Yogyakarta; LkiS, Cet.I,

2003

115

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: CV. Toha

Putra, 1989

Imam Bukhari, Shohih Bukhari bi Hasiyah al-Sindi, Juz.4,Jakarta: Dar Ihya’ al-

Kutub al-‘Arabiyah, TT

LAKPESDAN NU, Taswirul Afkar: Jurnal Pemikiran Keagamaan dan

Kebudayaan, Ed.No.14 Tahun 2003

Dr. Abdul Nasir Taufiq al-‘Atthar, Ta’adudu al-Zaujati mina al-Nawahi al-

Diniyati wa al-Ijtima’iyati wa al-Qanuniyati, Terj. Poligami

Ditinjau Dari Segi Agama, Sosial dan Perundang-undangan,

Jakarta: Bulan Bintang, Cet.I, 1976

Muhammad Abed al-Jabiry, Ad-Dimuqrathiyyah wa Huquq al-Insani, Terj.

Syura: Tradisi – Partikularitas – Universalitas, Yogyakarta: LkiS,

Cet.I, 2003

Muhammad Syahrur, Muhammad Shahrur, Al-Kitab Wa Al-Qur’an: Qira’ah

Mu’asirah, Damaskus: Al-Ahali li At-Tiba’ah Wa al-Nashr Wa al-

Tauzi’, cet. II, 1990

Imam al-Turmudzi, Sunan Turmudzi, Juz.3, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah

Khudori Beik, Tarikh Tasyri’ al-Islamy, Terj. Sejarah Pembentukan Hukum

Islam, Darul Ihya, t.th

lihat Imam Syaf’I, Al-Risalah, Beirut: Dar al-Fikr, t.th

Halliday, M.A.K – Hasan, Ruqaiya, Language, Context and Text: Aspects of

Language in Social-Semiotic Prespective, Terj. Drs. Asrudin

Barori Tou,M.A, Bahasa, Konteks dan Teks: Aspek-aspek

Bahasa Dalam Pandangan Semiotik Sosial, Yogyakarta:

Gajahmada University Press, Cet.2, 1994

116

Piliang, Amir, Yasraf, Hipersemiotika – Tafsir Cultural Studies Atas Matinya

Makna, Yogyakarta: Jalasutra, Cet.I, 2003

Hasan, Ahmad, The Early Development of Islamic Yurisprudence, Terj. Agah

Garnadi, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Bandung: Pustaka,

Cet.I, 1984

Syekh Ahmad al-Damanhuri, Syarah hilyat al-Lub al-Mushawan, Semarang:

Toha Putra, T.th

Santoso, Riyadi, Drs, M. Ed, Semiotika Sosial – Pandangan Terhadap Bahasa,

Surabaya: Pustaka Eureka, Cet.I, 2003

Zaid, Abu, Hamid, Nasr, Mafhum al-Nash Dirasah fi Ulum al-Qur’an, Terj.

Khoiron Nahdliyin, Tekstualitas al-Qur’an – Kritik Terhadap

Ulumul Qur’an, Yogyakarta: LkiS, Cet.III, 2003

BASIS – Edisi Khusus Pierre Bourdieu, Nomor 11-12, Tahun ke-52, November-

Desember 2003

Al-Sayis, Ali, Muhammad, Tarikh Fiqh al-Islami, Terj. Sejarah Fiqh Islam, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, Cet.I, 2003

Sirry. A. Mun’im, Sejarah Fiqh Islam – Sebuah Pengantar, Surabaya: Risalah

Gusti, Cet.I, 1995