bab iv 2100023 -...
TRANSCRIPT
74
BAB IV
ANALISA IMPLIKASI PENGGUNAAN METODE BAYANI
DALAM FORMULASI HUKUM POLIGAMI ISLAM
A. Urgensi Nalar Bayani Dalam Metode Istinbath Hukum Islam
Pada Bab. III Penulis telah memaparkan tentang Metode Bayani,
atau Metode Kebahasaan Ulama Ushul. Metode tersebut merupakan metode
yang dipakai Ushuliyyin dalam membaca pesan Tuhan dalam teks
keagamaan. Kita tidak memungkiri bahwa dua sumber pokok hukum Islam
adalah al-Qur’an dan Hadits, yang keduanya – untuk sekarang ini bisa
disebut – sebagai sebuah “teks”. Mengapa disebut sebagai teks ? Karena
keduanya tertulis dalam tanda-tanda kebahasaan, tertulis dalam mushaf dan
kitab-kitab Hadits seperti yang kita lihat sekarang ini.
Pemahaman terhadap teks untuk mendapatkan legalitas hukum atas
suatu persoalan, telah dilakukan sejak masa Rasulullah. Nabi SAW
mempersilahkan sahabat-sahabatnya untuk berijtihad dengan berpegang
pada al-Qur’an dan Hadits. Sejak saat itu tradisi ijtihad selalu dilaksanakan,
mereka mempunyai metode tersendiri untuk membaca teks. Metode bayani
pertama kali dibukukan oleh al-Syafi’i dalam kitabnya al-Risalah.1
Seperti ketika ada beberapa sahabat yang diperintah oleh nabi untuk
pergi ke tempat musuh, dan melakukan shalat ketika sampai di tujuan.
Ketika masuk waktu ashar mereka masih dalam perjalanan. Akhirnya ada
1 Khudori Beik, Tarikh Tasyri’ al-Islamy, Terj. Sejarah Pembentukan Hukum Islam,
Darul Ihya, hlm.395. lihat Imam Syaf’I, Al-Risalah, Beirut: Dar al-Fikr, t.th, hlm.21-79
75
sebagaian sahabat yang melakukan shalat sebelum dan sesudah sampai
tujuan. Ahmad Hasan menuturkan bahwa perbedaan pemahaman al-Qur’an
di kalangan sahabat berkisar soal-soal yang ditutur dan tidak disebutkan
dalam Qur’an, kata-kata yang bermakna ganda. Cara yang ditempuh untuk
mengurai makna, adalah dengan menafsirinya berdasarkan tradisi Nabi, dan
terkadang atas dasar pendapat ahli hokum.2 Contoh ini memberi gambaran
bahwa para sahabat mempunyai pemahaman dan cara sendiri-sendiri dalam
berinteraksi dengan Qur’an dan hadits, meskipun metode mereka tidak
dibukukan.
Kultur di sekitar al-Qur’an turun adalah sebuah ideologi bahasa
yang sudah ditradisikan secara turun-menurun.3 Jadi ilmu tentang permainan
dan keindahan bahasa, secara naluriah telah mereka pelajari dari interaksi
sehari-hari. Seperti sontoh, dalam beberapa kajian metode bayani ada
beberapa pembahasan yang tidak jauh beda dengan Ilmu Balaghah, seperti
dalalah, hakikat dan majaz, kinayah dan sarih.4
Secara khusus ilmu baru dibukukan oleh Al-Syafi’i (150-204
H/767-820 M). Kalau kita runut lebih jauh ke belakang, kita akan
menemukan bahwa konsep dasar tentang tanda telah diperkenalkan oleh
kaum Stoik Yunani kuno dua ribu tahun yang lalu. Mereka menyabutkan
2 Lihat Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Yurisprudence, Terj. Agah
Garnadi, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Bandung: Pustaka, Cet.I, 1984, hlm.13, 16 3 sebelum Islam datang, orang arab telah mengenal beberapa tradisi kebahasaan seperti
Syi’r, nasr, saj’perdukunan, amtsal, risalah. Lihat Khoiron Nahdliyin, pengantar penerjemah dalam Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nash Dirasah fi Ulum al-Qur’an, Terj. Khoiron Nahdliyin,Tekstualitas al-Qur’an – Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, Yogyakarta: LkiS, Cet.III, 2003, hlm.xi
4 bandingkan Syekh Ahmad al-Damanhuri, Syarah hilyat al-Lub al-Mushawan, Semarang: Toha Putra, T.th
76
bahwa tanda dibentuk oleh dua komponen, yaitu semainomenon, petanda
dan semainon, penanda.5 Ada kemungkinan Islam mengadopsi ilmu ini dari
disiplin keilmuan Yunani, melalui proses penterjemahan yang sudah banyak
dilakukan sejak masa Ja’far al-Manshur. Atau memang hal ini berakar pada
tradisi kebahasaan orang Arab yang kuat – kita bisa melihat bahwa para
mujtahid sangat menguasai tradisi kebahasaan arab. Asumsi ini perlu untuk
dilakukan penelitian lebih lanjut.
Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW dengan perantaraan Malaikat Jibril. Term kalam disini
mengindikasikan bahwa al-Qur’an adalah apa yang dituturkan oleh Allah
SWT kepada Muhammad SAW, sebagai Rasul Pengemban Risalah. Allah
SWT sebagai Mutakalim dan Muhammad sebagai Penerima – terkadang bisa
disebut Mukhatab. Percakapan ini terjadi tidak dengan langsung – meskipun
ada yang terjadi secara langsung seperti peristiwa Isra’ Mi’raj – karena ada
perantaraan Malaikat Jibril.6
Dalam sebuah percakapan, media yang digunakan adalah sesuatu –
dalam hal ini adalah bahasa – yang dapat dimengerti oleh kedua pihak.
Muhammad, sebagai orang Arab, sudah barang tentu dalam berkomunikasi
dengan orang lain akan menggunakan bahasa Arab. Dalam konteks turunnya
5 Drs. Riyadi Santoso, M. Ed, Semiotika Sosial – Pandangan Terhadap Bahasa,
Surabaya: Pustaka Eureka, Cet.I, 2003, hlm.2 6 Bahwa Jibril menerima Al-Qur’an dari Allah SWT dengan bahasa khusus – dikatakan
demeikian karena hanya dipahami oleh kedua pihak dan kita tidak mengetahui jenis bahasa tersebut – kemuadian seara teratur, sesuai dengan perintah Allah SWT Jibril menyampaikannya kepada Nabi SAW. Dengan melihat proses ini, Pewahyuan al-Qur’an melalui perantara, penulis menilai Muhammad Hanya sebagai penerima, bukan orang yang diajak bicara. Untuk peristiwa pewahyuan yang terjadi langsung, jelas mengidikasikan bahwa ada peristiwa saling berbicara. Mana’ Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, tt, hlm.34-40
77
wahyu, mau tidak mau bahasa yang digunakan oleh Allah SWT sebagai
pembicara harus menyesuaikan dengan bahasa yang digunakan Muhammad
sebagai lawan bicaranya. Karena media, bahasa Arab, tersebut yang dapat
dipahami oleh lawan bicara agar mengerti pesan yang akan disampaikan
oleh si Pembicara.7
Muhammad sebagai penerima dan lawan bicara – diasumsikan –
lebih mengetahui apa yang dimaksud oleh Allah SWT daripada orang lain.
Oleh karena itu, ketika menyampaikan isi wahyu kepada sahabat-
sahabatnya, Nabi menerangkan, menjelaskan dan menguatkan apa yang
disampaikan oleh wahyu.8
Dalam al-Qur’an surat al-Syu’ara ayat 192-195, yang berarti: “Dan
sesungguhnya Al-Qur’an telah diturunkan oleh Penguasa Alam Semesta.
Allah SWT telah menurunkannya melalui perantaraan Ruh al-Amin.
Kedalam hatimu agar kamu menjadi orang-orang yang memberi
peringatan. (diturunkan) dengan bahasa Arab yang jelas.” Ayat ini
menerangkan bahwa al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa
arab.
Begitu juga dengan hadits, merupakan teks berbahasa Arab. Hadits
adalah segala apa yang dihubungkan dengan Nabi Muhammad SAW, baik
7 Bandingkan Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nash Dirasah fi Ulum al-Qur’an, Terj.
Khoiron Nahdliyin,Tekstualitas al-Qur’an – Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, Yogyakarta: LkiS, Cet.III, 2003, hlm.30
8 Prof.Dr. Mukhtar Yahya dan Prof.Dr. Fathurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung: PT. Alma’arif, Cet.4, 1997, hlm.44-50. Logika inilah, menurut penulis, yang kemudian oleh para ulama dijadikan sebab menempatkan hadits sebagai Sumber Tasyri’ kedua setelah al-Qur’an, penjelas dan penguat al-Qur’an. Meskipun ada nalar yang lain, yaitu nalar keyakinan agama.
78
berupa ucapan, perbuatan atau ketetapan. Kita bisa memahami bahwa hadits
adalah hasil interaksi Muhammad dengan lingkungan sekitar, apa yang
beliau lihat, rasakan. Terutama ketika Nabi berinteraksi dengan sahabat dan
struktur masyarakat. Beliau berkata tentang sesuatu, hukum, menetapkan
dan berbuat sesuatu – meskipun ini bukan berupa perkataan tapi dalam
proses selanjutnya, proses periwayatan, menjadi dibahasakan oleh sahabat
yang melihat – dengan menggunakan bahasa Arab.
Hadits yang semula adalah berupa periwayatan dari mulut ke mulut,
karena kekhawatiran rusaknya kemurnian hadits atas merebaknya pemalsuan
hadits, pada akhirnya dibukukan pada masa Umar bin Abdul Aziz.
Pembukuan ini bertujuan untuk menjaga ilmu yang berasal dari Nabi. Pada
masa tersebut banyak terjadi pemalsuan hadits dan meninggalnya para
ulama hadits. Khalifah Umar berpikir kalau hal ini tidak segera diatasi dapat
menjadi bencana bagi umat Islam. Setelah masa itu banyak terjadi
pembukuan hadits.
Para ulama sepakat untuk menjadikan al-Qur’an dan Hadits sebagai
sumber hukum Islam. Ada sebuah hadits yang kurang lebih menyebabkan
para ulama menetapkan hal itu, yaitu:
��������������� ���������������������������� � !"#���$��!%�
Artinya: “Aku tinggalkan kepadamu sekalian dua perkara yang kamu sekalian tidak akan tersesat sesudah dua perkara tersebut, yaitu kitab Allah SWT dan Sunahku”. (HR. Buhkari)9
9 Imam Bukhari, Shohih Bukhari bi Hasiyah al-Sindi, Juz.4,Jakarta: Dar Ihya’ al-Kutub
al-‘Arabiyah, hlm.257
79
Hadits ini yang kemudian oleh para ulama dijadikan hujjah. Hadits
ini memberikan pengertian bahwa bangunan agama seharusnya dibangun
diatas pondasi kedua sumber tersebut.
Melihat realita bahwa sumber agama Islam adalah Qur’an dan
Hadits, para ulama akhirnya mengembangkan berbagai metode pembacaan.
Proses pemaknaan terhadap teks-teks keagamaan tersebut tidak menjadi
kendala ketika Nabi Muhammad, sebagai sumber utama, masih hidup.
Mereka bisa langsung bertanya kepada Nabi tentang perihal persoalan yang
dihadapi.10 Akan tetapi, kemudahan ini bukan berarti para sahabat tidak
melakukan ijtihad. Problem pembacaan nash al-Qur’an dan Hadits menjadi
problem yang cukup signifikan sepeninggal Nabi Muhammad.11
Para Ahli ushul, yang bergelut dengan teks-teks hukum,
mengembangkan beberapa metode dalam beristinbath. Salah satunya adalah
kaidah kebahasaan ushuliyah. Kaidah ini pertama kali ditulis oleh al-Syafi’i
yang kemudian disempurnakan oleh generasi berikutnya. Kaidah kebahasaan
Ushuliyah merupakan perwujudan atas upaya ahli ushul untuk membaca
teks-teks hukum. Substansi kaidah ini adalah upaya pencarian makna
terhadap nash al-Qur’an. Dengan metode ini diharapkan nash al-Qur’an dan
Hadits, terutama yang berkaitan dengan hukum, dapat dibaca dengan baik
dan tidak menyimpang.
10 Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh Fiqh al-Islami, Terj. Sejarah Fiqh Islam, Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, Cet.I, 2003, hlm.53-57 11 Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqh Islam – Sebuah Pengantar, Surabaya: Risalah Gusti,
Cet.I, 1995, hlm.38
80
Dari pemaparan tersebut, kita bisa menilai bahwa Metode Bayani
menjadi begitu signifikan dalam kajian Fiqh dan Ushul Fiqh. Karena
bagaimana pun ketika seorang akan melakukan istinbath hukum, hal yang
pertama akan mereka temui adalah sekumpulan teks – tanda bahasa bukan
teks tertulis – yang menjadi dasar legalitas hukum. Untuk membaca teks
tersebut, Ulama Ushul membuat sebuah kaidah pembacaan terhadap nash-
nash al-Qur’an dan Hadits.12
Sebenarnya urgensi Metode Bayani dalam kajian hukum Islam
bukan terletak pada kenyataan bahwa al-Qur’an dan Hadits setelah
dibukukan menjadi sekumpulan teks. Tetapi bahwa keduanya menggunakan
media bahasa dalam menyampaikan pesannya.
Untuk lebih memahamkan kita terhadap apa dan bagaimana Metode
Bayani Ushuliyah, penulis akan menganalisa metode tersebut. Penulis
berasumsi ada sebuah logika tersendiri yang mendasari metode ini. Karena
hal ini penting untuk diketahui sebelum kita melangkah kepada implikasinya
dalam formulasi hukum Islam.
B. Logika Dibalik Metode Bayani Ahli Ushul
Tidak ada suatu metode tanpa dasar atau nalar yang menjadi
pondasi, ini asumsi penulis ketika berhadapan dengan Metode Bayani
Ushuliyah. Metode ini dibuat oleh Ahli Ushul untuk membaca dan mencari
12 Ketika al-Qur’an dan Hadits telah dibukukan, dengan menggunakan tanda-tanda bahasa
diperlukan sebuah metode untuk mengurai tanda-tanda tersebut dan menangkap apa yang disampaikan oleh teks tersebut.
81
apa yang terwakili dari sekumpulan tanda-tanda bahasa.13 Kajian ini akan
tidak berguna ketika kita tidak memahami dulu apa konsep dasarnya.
Penulis akan membaca apa sebenarnya yang ditawarkan oleh Ahli Ushul
dalam metode ini ?
Konsep yang pertama yang perlu kita cermati adalah tentang
Dalalah. Apa yang mereka inginkan dengan term ini ? Dalalah adalah
adanya sesuatu dapat dipahami dengan adanya sesuatu, memahami sesuatu
berdasarkan sesuatu yang lain. Dalam Dalalah terdapat dua unsur
pembentuk, yaitu Dallun dan Madlulun (petunjuk / penanda dan yang
ditunjuk / petanda).14 Konsep ini tidak jauh beda dengan konsep dalalah
menurut Ilmu Mantiq. Dalalah adalah memahami sesuatu dari sesuatu.15
Unit pertama disebut Yang Ditunjuk (madlulun) dan unit kedua disebut
petunjuk (dallun).
Dalalah terbagi menjadi dua yaitu Dalalah Wadh’iyah, penciptaan
seperti dialektika antara kata dengan makna yang dibuat untuknya, dan
Ghairu Wad’iyah. Definisi ini sama dengan definisi Dalalah Wad’iyah
13 Maka ahli Ushul membedakan dirinya dengan Ahli Gramatika yang hanya mencari
struktur kata dan makna. Tidak makna yang dikehendaki Syari’ – dalam Asumsi Ushuliyah. 14 Dalam konsep Strukturalisme, apapun yang mengatakan kepada kita tentang sesuatu
yang lain daripada dirinya sendiri adalah tanda. Tanda adalah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain. Tanda terdiri atas dua unsur yaitu Signifier (sesuatu yang menunjukkan kepada sesuatu yang lain, penanda) dan Signified (sesuatu yang ditunjuk, petanda) – penulis mengartikan demikian. Dialektika dua unsur inilah yang membentuk tanda. Penanda adalah aspek material tanda yang bersifat sensoris, dapat diindrai, yang dalam bahasa lisan mengambil bentuk citra-bunyi yang berhubungan dengan sebuah konsep (petanda). Petanda adalah aspek mental dari tanda-tanda atau konsep yang ada dalam benak penutur. Tanda linguistik tidak mengaitkan sebuah nama dengan sebuah benda, tetapi sebuah konsep dengan sebuah gambaran akustik. W. Terrence Gordon, Saussure For Begginer, diterjemah oleh Mei Setiyanti dan Hendrikus Panggalo, Saussure Untuk Pemula, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hlm.14-20. Penulis cenderung untuk menyamakan kedua konsep ini, Dalalah menurut Ushuliyah dan Tanda menurut Strukturalisme.
15 Muhammad Nur al-Ibrahimi, Ilmu al-Mantiq, Surabaya: Percetakan Sa’id bin Nasir Nabhan, Cet.V, hlm. 9-10
82
menurut Ilmu Mantiq, adalah dalalah yang penandanya merupakan sesuatu
yang dibuat untuk menunjukkan sesuatu yang lain. Seperti penunjukkan
lafad kepada makna.16 Begitupun dalam pembagian Dalalah Wad’iyah
menjadi dalalah Muthabiq, Tadamun dan Iltizam, ada kesamaan antara
Ushuliyyin dan Ahli Mantiq.
Logika inilah yang menjadi dasar dari metode bayani ushuliyah.
Bahwa kajian utama metode ini adalah tanda-tanda. Dan tanda-tanda
terbentuk dari dua unsur yaitu penanda dan petanda. Dalam bentuk riilnya,
tanda-tanda tersebut berupa bahasa. Konsep ini – bisa dikatakan – sama
dengan nalar yang mendasari strukturalisme bahasa yang dikembangkan
masa sekarang. Kajian struktural bahasa pertama kali dikembangkan oleh
Ferdinand De Saussure, seorang Filosof abad 20 dari Swiss.
Dalalah dalam kajian ini adalah berupa bahasa, artinya bahasa
merupakan tanda yang mewakili sesuatu yang akan disampaikan oleh
penutur.17 Bahasa terdiri atas unsur bunyi dan makna. Dialektika antara
16 Ilmu Mantiq membagi dalalah menjadi dua. Yaitu Dalalah Lafdiyah, yakni dalalah
yang penandanya berupa lafad atau citra-bunyi, dan Dalalah Ghairu Lafdiyah, dalalah yang penandanya bukan berupa lafad atau citra-bunyi. Dalalah Lafdiyah dibagi menjadi tiga. Pertama, Dalalah Thabi’iyah adalah dalalah yang penanda berupa tabiat manusia, seperti suara rintihan menunjukkan orang kesakitan. Kedua, Dalalah Aqliyah adalah dalalah yang penandanya berupa (konsistensi, rasio) akal, seperti suara dalam ruangan menunjukkan adanya orang di dalamnya. Ketiga, Dalalah Wad’iyah adalah dalalah yang penandanya berupa sesuatu yang dibuat untuk menunjukkan sesuatu yang lain, seperti penunjukkan kata kepada makna. Dalalah Ghairu Lafdiyah juga dibagi menjadi tiga. Pertama, Dalalah Thabi’iyah adalah dalalah yang penanda berupa tabiat manusia, seperti merah muka menunjukkan kemarahan. Kedua, Dalalah Aqliyah adalah dalalah yang penandanya berupa (konsistensi, rasio) akal, seperti terbukanya pintu menunjukkan adanya orang yang masuk rumah. Ketiga, Dalalah Wad’iyah adalah dalalah yang penandanya berupa sesuatu yang dibuat untuk menunjukkan sesuatu yang lain, seperti kain hitam menunjukkan keadaan berduka. Menurut penulis, kesamaan konsep ini menunjukkan adanya kesamaan nalar dalam logika Mantiq dan Ushuliyah. Lihat Muhammad Nur al-Ibrahimi, Ibid
17 Menurut fungsinya bahasa adalah media yang digunakan oleh penutur untuk mengungkapkan ide-ide dan konsep. Atau bisa disebut sebagai alat komunikasi. Maka kemudian
83
keduanya adalah hasil budaya, kesepakatan bersama.18 Bahasa sebagai
sebuah sistem dalam masyarakat.19 Maka wajar jika kemudian Ahli Ushul
berusaha memahami struktur dan tata kalimat bahasa Arab, sebagai langkah
pertama dalam memahami nash-nash hukum, al-Qur’an dan Hadits.
Yasraf Amir Piliang menyebutkan bahwa ada beberapa prinsip
dasar dalam Semiotika Saussure. Seperti prinsip struktural, yakni relasi
tanda sebagai relasi struktural, terdiri atas penanda dan petanda. Prinsip
konvensional, yakni relasi struktural tersebut sangat bergantung pada
kesepakatan sosial (konvensi).20 Prinsip-prinsip tersebut menunjukkan
adanya kesamaan nalar dasar antara metode bayani dan semiotika saussure.
Langkah selanjutnya kita akan membedah konsep pembagian kata
menurut Ahli Ushul. Kata menurut Ahli Ushul dibagi berdasarkan beberapa
kriteria, yaitu penciptaan makna untuknya, penggunaan kata, jelas dan
tidaknya makna dan dilihat dari segi dalalahnya. Tapi apakah pembagian
tersebut bisa dipertanyakan, mengapa mereka membagi lafad berdasarkan
keempat kriteria tersebut ? Kita akan membahas masing-masing pembagian
tersebut pada paragraf berikut.
bahasa identik dengan cara berpikir suatu masyarakat, seseorang. Drs. Abdul Chaer, Linguistik Umum, Jakarta: PT.Rineka Cipta, Cet.II, 2003, hlm.32
18 ST. Sunardi mengatakan mengapa kita memberi makna pada suatu tanda ? Mengapa kata “supermarket” memberi imajinasi pada kita tentang pasar, mal dan kota ? imajinasi ini adalah hasil kesepaktan sosial, sudah ada pranata yang mengaturnya, sudah ada aturan. Seolah-olah ada kamus sosial yang mendorong kita untuk mengaitkan kata “supermarket” dengan konsep sebagaimana kita tangkap. Kesepakatan semacam inilah yang dimaksud dengan bahasa sebagai sistem. Jadi bahasa merupakan ciptaan masyarakat bukan individu, kontrak kolektif (harus diterima seluruhnya atau tidak sama sekali) dan otonom (mempunyai aturannya sendiri). ST. Sunardi, Semiotika Negativa, Yogyakarta: Kanal, 2002, hlm.75-76
19 Drs. Abdul Chaer, Op.Cit, hlm.33-36 20 Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika – Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna,
Yogyakarta: Jalasutra, Cet.I, 2003, hlm.44-45
84
1. Berdasarkan makna yang diciptakan untuknya (dialektika antara
penanda dan petanda)
Berdasarkan kriteria pertama kata terbagi menjadi Am, Khas
dan Musytarak. Am adalah lafad yang dapat mencakup seluruh unit yang
terkandung dalam maknanya.21 Lafad khas adalah lafad yang diciptakan
untuk memberi pengertian satu satuan yang tertentu, baik berupa Jenis
(contoh hewan), Macam (seperti Insan, rajul), atau jumlah banyak yang
terbatas seperti dua, tiga. Dan Lafad Musytarak adalah lafad yang
berdasarkan penciptaannya mempunyai beberapa makna.
Meskipun suatu lafad disebut Am karena bentuknya (wada’),
tetapi Qarinah (indikator) juga berperan dalam penggolongan lafad am,
baik berupa lafdiyah atau indikator diluar lafad.22 Artinya dalam
dialektika antara penanda dan petanda, ada beberapa faktor yang
berperan dalam menentukan jenis kata berikut implikasinya.
Lafad khas disebut khas karena bentuknya, hasil budaya – Ahli
Ushul tidak menjelaskan apakah ada indikator dari luar lafad, wada’,
yang bisa membuat sebuah kata dikategorikan khas. Mungkin kita akan
21 Lafad Am mempunyai sisi keumuman yaitu menyeluruh kepada setiap individu yang
dimaksud. Keumuman ini berbeda dengan keumuman lafad Mutlak ataupun Nakirah. Keumuman mutlak dari segi lafad tersebut bisa diberi sifat apapun yang sesuai, lafad tersebut dapat berganti-ganti sifat selama masih relevan. Sedang keumuman Nakirah dalam pandangan ushuliyah adalah ibham, tidak diketahui apa dan siapa yang dimaksud. Dalam struktur bahasa arab terdapat term nakirah dan makrifat. Nakirah adalah kata yang maknanya tidak diketahui dalam pembicaraan. Artinya siapa, apa yang sedang dibicarakan, dimaksud tidak jelas. Sedang makrifat adalah kata yang maknanya diketahui dalam pembicaraan. Apa dan siapa yang dimaksud dapat dimengerti oleh kedua pihak. Jadi konsekuensi lafad Am berimplikasi (dipahami) pada setiap individu yang termasuk dalam maknanya.
22 Seperti tahsis al-am yang menghilangkan keumuman lafad am. Mukhasis tersebut ada kalanya berupa kalimat – baik menjadi satu dengan kalimat am atau berdiri sendiri sebagai kalimat yang mandiri – atau berupa teks lain, hadits. Atau berupa indikator lain seperti akal dan urf, am Yuradu bihi al-am, am yuradu bihi al-khusus dan am al-Makhsus.
85
menemukannya dalam pembagian empat macam lafad khas (mutlak,
muqayad, amr dan nahy).
Logika mutlak dan muqayad hampir sama seperti logika Kulli-
Juz’i dalam mantiq23 – dalam Bahasa Indonesia kita mengenal istilah
Hiponim.24 Dalam penentuan kemutlakan Amr ada intervensi dari luar
lafad. Amr bisa berubah dari makna wajib ke makna lain karena ada
Qarinah.
Kalau kita melihat penyebab kemusytarakan sebuah lafad, kita
dapat melihat bahwa makna suatu lafad ditentukan oleh siapa pencipta
kata tersebut – ini yang kemudian sering menjadi perdebatan tentang
makna yang dimaksud di kalangan Fuqaha. Dan nalar Arab tidak
menghendaki ketidakjelasan makna ini. Karena hal itu tidak
menunjukkan ketegasan.25
Dari sini, kita melihat bahwa dalam dialektika antara penanda
dan petanda – dalam hal penentuan makna – ada beberapa hal yang
diperhatikan oleh Ahli Ushul, tidak sekedar dari penciptaan kata, tetapi
faktor luar pun ikut berpartisipasi. Makna menurut Ahli Ushul
dipengaruhi oleh :
23 Lafad kulli dibagi dua, berimplikasi terhadap makna disebut Mafhum. Dan berimplikasi
terhadap individu yang tercakup di dalamnya disebut Aliman Shadaqa. Ketika kita melihat lafad kulli seperti kata ikan. Kita akan memahami darinya setiap ikan, baik ikan laut atau air tawar. Ketika kita menambahkan sifat “laut”, maka individu yang tercakup di dalamnya akan semakin sedikit. Dengan kata lain, batasan akan mnyedikitkan individu yang tercakup. Muhammad Nur al-Ibrahimi, Op.Cit, hlm.18
24 Hiponim adalah hubungan dalam sintaksis antara makna spesifik dengan makna general. Drs. Suparno E.P, Glosarium – Kata Serapan Dari Bahasa Barat Dengan Etimologinya, Semarang: Media Wiyata, hlm.59
25 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Juz.I, Beirut; Dar al-Kutub al-Islamiyah, tt, hlm.28
86
a) Penciptaanya – dalam penciptaan itu sendiri, kita harus
memperhatikan siapa pencipta kata tersebut, konvensi sosial.
b) Ketika lafad dirangkai dalam sebuah kalimat, hubungan sintagmatik.
c) Ketika lafad dalam suatu kalimat bertemu dengan kalimat lain,yang
memberikan informasi tertentu.
d) Ketika berhadapan dengan teks lain, Hadits.
Ushuliyah memahami bahwa makna kata tidak hanya
bergantung atas hubungan penandaan. Lebih jauh, mereka melihat
bahwa kontek situasi ikut berperan di dalamnya. Informasi tentang
kontek situasi didapatkan dari teks-teks lainnya.
2. Berdasarkan Penggunaan Lafad
Ahli Ushul membagi lafad, berdasarkan kriteria ini, menjadi
Hakikat, Majaz, Kinayah dan Sharih. Dalam term Hakikat dan Majaz,
Ushuliyyin melihat faktor pengguna lafad tersebut sebagai penentu
kontek situasi
Bahasa sebagai teks
87
makna – majaz dan hakikat menurut siapa (lughawiyah, syar’iyah, Adat
umum dan Adat khusus). Artinya bahwa makna sangat dipengaruhi oleh
siapa pembicara dan konteks pembicaraan (Muqtada al-hal).
Unsur Parole, dalam bahasa Saussurian, sangat diperhatikan
dalam hal ini. Yakni kebebasan individu untuk menggunakan kata-kata
sesuai dengan apa yang akan ia sampaikan. Dalam strukturalis klasik,
Parole di-nomerduakan oleh Saussure dan dianggap sebagai obyek yang
mustahil untuk dikaji secara sistematik.26
Untuk memahami makna teks, langkah pertama Ushuliyyin
adalah memperhatikan hubungan sintagmatik, yakni hubungan suatu
kata dengan kata lain dalam satu kalimat, struktur kalimat. Dan
kemudian memahami kebiasaan penggunaan bahasa oleh sebuah
masyarakat serta obyek yang dibicarakan.
Dalam Liguistik Kritis Roger Flower, memahami makna teks
tidak hanya melihat struktur teks. Tetapi unsur ekstra linguistik seperti
konteks ujaran, konteks budaya dan konteks referensi juga harus
diperhatikan.27 Hal ini menurut penulis kurang diperhatikan oleh
26 Parole merupakan bagian dari bahasa yang sepenuhnya individual. Dalam parole
individu berperan besar untuk menentukan kode bahasa yang akan dia gunakan untuk mengungkapkan pikiran pribadinya. Singkatnya, parole merupakan penggunaan aktual bahasa sebagai tindakan individu-individu. Aminudin, et.al, Analisis Wacana – Dari Linguistik Sampai Dekonstruksi, Yogyakarta: Kanal, Cet.I, 2002, hlm.86, 92
27 Konteks ujaran merupakan konteks penuturan berupa situasi, media yang digunakan dalam penuturan, lokasi, persona yang dilibatkan, kondisi saat penuturan berlangsung serta berbagai situasi pada umumnya yang memungkinkan terjadinya peristiwa tuturan. Konteks budaya kembali kepada kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik pada taraf yang lebih besar. Konteks referensi merupakan kontek pembicaran / topik / pokok permasalahan. Aminudin, et.al, Ibid, hlm.37-40
88
Ushuliyah dalam kajiannya – meskipun mereka menganggap Nash tidak
hanya sebagai teks tetapi wacana juga.
Menurut penulis, ada satu kendala yang dihadapi oleh
Ushuliyyin ketika berhadapan dengan teks Qur’an – dengan nalar bahasa
adalah wacana, yakni “Keterputusan Informasi”. Ketika kita melihat
bahasa sebagai wacana, kita harus melihat siapa penutur, situasi dan
kondisi di belakangnya. Penutur al-Qur’an adalah Allah SWT. Kita tidak
mengetahui tentang situasi dan kondisi di belakang Subyek Penutur.28
Yang kita ketahui adalah situasi dan kondisi turun ayat – itu pun kalau
sebuah ayat turun disertai adanya sebab turun – yang didapatkan dari
hadits, dan situasi dan kondisi dalam prespektif struktur nalar Arab –
sebagai kebiasaan pemakaian bahasa di masyarakat Arab. Informasi
yang tersedia adalah situasi dan kondisi – menurut konvensi sosial orang
Arab ikut mempengaruhi pemaknaan – yang diasumsikan sebagai situasi
dan kondisi Subyek Penutur. Perhatikan bagan berikut.
28 Nasr Hamid menuturkan bahwa kendala yang dihadapi dalam penafsiran al-Qur’an
adalah tidak mungkinnya menganalisa Subyek Penutur. Lihat Nasr Hamid Abu Zaid,Op.Cit, hlm.19-20
89
Ketika melakukan pembacaan terhadap teks Qur’an, Ushuliyah
berhadapan dengan kekosongan informasi mengenai situasi dan kondisi
penutur, Allah SWT. Mereka hanya mendapati informasi dari Hadits
mengenai situasi dan kondisi turunnya ayat. Dan struktur nalar Arab
yang menurut konvensinya ikut mempengaruhi pemaknaan.
Menggunakan informasi dari hadits dan struktur nalar Arab adalah
pilihan yang cerdas menghadapi kenyataan ini.
Meskipun al-Qur’an menggunakan bahasa arab, sebagai sistem
budaya Arab, tetapi apakah kita akan menafikan “kebebasan subyek” ?
dan memaksakan aturan yang biasanya digunakan oleh orang Arab
Allah SWT struktur nalar arab
Muhammad SAW
Tidak ada informasi mengenai situasi dan kondisi penutur
Hadits dan Kontek menurut konvensi sosial orang Arab mempengaruhi pemaknaan
Penafsir / ahli ushul makna
ayat
90
dalam kepada Subyek Kasat Mata – atau dalam bahasa Ahli Kalam
bahwa Allah SWT berbeda dengan makhluk dan tidak dapat ditangkap
dengan panca indera, sebagaimana dasar yang mereka gunakan surat al-
An’am ayat 103.29 Dalam menghadapi masalah ini, Ushuliyah
bergantung kepada referensi lain yaitu Hadits. Hadits digunakan sebagai
jalan keluar, dengan asumsi bahwa hadits menyimpan keterangan situasi
sekitar turunnya nash, dan orang yang diajak bicara, penerima pertama,
adalah lebih mengetahui maksud pembicaraan daripada yang lain.
Problem keterputusan informasi ini, memberikan kebebasan
kepada pembaca dalam proses signifikasi. Qur’an adalah teks yang
terlepas sama sekali dari pengarang – pengarang sudah mati. Teks qur’an
adalah teks bebas yang akan bermakna ketika dibaca oleh penafsir. Nasr
Hamid memberikan jalan keluar tersendiri dalam menghadapi problem
ini, yaitu pembacaan atas realitas dan budaya. Dalam arti realita yang
mengatur gerak manusia sebagai sasaran teks, penerima pertama
(Muhammad SAW), dan budaya yang menjelma dalam teks.30
Tetapi meskipun begitu, ada kesadaran dari ushuliyah bahwa
bahasa bukan hanya teks tetapi sebuah wacana. Teks merujuk pada
wujud kongkrit penggunaan bahasa berupa untaian kalimat yang
mengemban proposisi-proposisi tertentu sebagai suatu keutuhan. Sedang
wacana merujuk kompleksitas aspek yang terbentuk oleh interaksi antara
29 Yang berarti “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat
melihat segala yang kelihatan; dan Dia adalah Yang Maha Halus dan Maha Mengetahui”. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: CV. Toha Putra, 1989, hlm.204
30 Nasr Hamid Abu Zaid, Loc.Cit
91
sisi kebahasaan, sebagaimana terbentuk dalam teks, dengan sisi luar
bahasa.31
3. Berdasarkan Jelas dan Tidaknya Makna
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembagian
lafad ini – lebih tepatnya kalimat karena penulis memandang bahwa
pembagian ini cenderung kepada kalimat bukan kata. Dalam kata yang
jelas maknanya antara lain: Makna Asli dan Makna “Ikutan”32 – kita
jangan lupa bahwa yang dicari oleh Ushuliyah dari teks adalah makna
yang dimaksud oleh Syari’, nalar inilah yang kemudian menimbulkan
dua term tersebut – dapat diketahui dari sebab turun, sejarah dan kalimat.
Dan juga apakah kata tersebut menerima ta’wil dan naskh atau tidak.
Dalam kriteria tidak jelas maknanya yang perlu diperhatikan
adalah : aplikasi dan implikasi nash, bentuk kata, tidak ada keterangan
dari Syari’, penisbatan kepada Tuhan dan istilah yang dibuat Syari’.
Pendekatan yang dilakukan oleh Ushuliyah, seperti langkah
terdahulu, dalam mencari tahu apa sebenarnya yang diinginkan Syari’
adalah dengan mempersinggungkan teks satu dengan teks lainnya, entah
31 Ketika seseorang mengemukakan gagasan atau melakukan tindak komunikasi, yang
perlu diperhatikan dalam memahami teks tidak hanya unsur yang berkaitan dengan kebahasaan. Unsur seperti siapa pemeran dalam komunikasi, kapan dan dimana serta unsur lain yang ikut membentuk arti, juga harus diperhatikan. Karena unsur ekstra liguistik ikut berperan dalam pemberian makna dan pengertian yang terkandung dalam teks.Artinya penyikapan bahasa tidak hanya sebagai teks tetapi sebagai sebuah wacana.
32 Yang dimaksud makna “ikutan” adalah makna yang dapat dipaham dari teks tetapi bukan yang dimaksud Syari’ berdasarkan sebab turun.
92
antara kalimat satu dengan kalimat lainnya atau antara nash Qur’an
dengan Hadits.
Kita sebagai pengguna bahasa hanya berkuasa untuk memilih
media dan cara untuk menyampaikan gagasan kita dari sebuah struktur
yang sudah diciptakan. Tapi ini, memahami struktur bahasa dan nalar
yang melingkupinya, menurut penulis adalah salah satu langkah yang
dapat kita lakukan ketika kita berhadapan dengan problem “keterputusan
informasi”.
Tetapi apakah karena ketidakjelasan tersebut, suatu nash akan
kita biarkan saja diam ? Apakah kita tidak berpikir bahwa nash al-
Qur’an adalah teks – dalam liguistik bahasa tidak dapat sepenuhnya bisa
mewakili pikiran seseorang – yang diam, dia akan bermakna tergantung
kepada siapa yang membacanya. Karena bagaimanapun ketika kita
berasumsi bahasa tidak dapat sepenuhnya mewakili pikiran – padahal
kita berhadapan dengan Qur’an dan Hadits sebagai sebuah teks – apakah
pemahaman dan penafsiran kita atas teks tersebut adalah benar dan final
seperti apa yang dikehendaki si Penutur ?
4. Berdasarkan Penunjukan Lafad Kepada Makna
Ada kecenderungan baru dalam pendekatan yang dipakai oleh
Ushuliyyin dalam pembacaan nash, yaitu menjadikan teks sebagai
sebuah indikator – konsep tanda menjadi landasan dalam pendekatan ini.
Artinya bahwa dari sebuah teks Ushuliyah berusaha menarik beberapa
93
pemahaman. Seperti tercermin dari dalalah Isyarah dan Ibarat menurut
Hanafiyah, atau pun dalalah Mantuq dan Mafhum menurut Syafi’iyah.
Dalam pemahaman Ahli Ushul, teks menunjukkan beberapa
kebenaran, baik yang secara jelas dikatakan atau tidak. Dalalah Isyarat
misalnya, pemahaman atas teks tidak hanya berhenti pada bunyi nash.
Akan tetapi selama pemahaman itu masih relevan (lazim) berasal dari
teks, pemahaman tersebut adalah benar, kebenaran teks. Disini
kekreatifan pembaca teks sangat dituntut untuk mengungkap kebenaran-
kebenaran yang tidak ditutur oleh teks.
Dialektika penanda dan petanda sangat ditentukan oleh nalar
pembaca. Artinya suatu penanda akan dihubungkan dengan petanda
yang bagaimanapun terserah pembaca. “Fala taqul lahuma uffin” tidak
hanya berarti jangan berkata harus kepada orang tua. Tetapi dapat
dipahami bahwa menyakiti mereka pun tidak diperbolehkan.
Tidak hanya itu, nalar analogi juga digunakan untuk membaca
kemungkinan kebenaran yang lain. Dalam konsep Hanafiyah, Dalalah
al-Nash-lah yang mencoba membaca hal ini.33 Tidak hanya itu, untuk
membaca teks jika terdapat kesalahan rasional – artinya apa yang
dituturkan oleh teks tidak benar menurut logika, seperti “bertanya
kepada desa” – maka dimungkinkan untuk menambahkan beberapa
tanda.
33 Dalam beberapa sumber Ilmu Ushul, disebutkan bahwa Dalalah Isyarat dipersamakan
dengan dalalah Mafhum Muwafaqah-Fawha Al-Khitab. Dan Dalalah al-Dalalah disamakan dengan Mafhum Muwafaqah Lahna al-Khitab dalam hal pola pikir.
94
Menurut Syafi’iyah, teks tidak hanya menunturkan kebenaran
yang tersurat, tetapi juga kebenaran yang berlawanan dengannya – dalam
prakteknya kebenaran ini bukan kebenaran yang sama sekali lepas dari
teks tetapi yang mereka maksud adalah ketika ada teks yang menuturkan
ketentuan bersyarat, dibatasi dengan sifat, pembatasan atau pun jumlah,
maka bisa ditarik pemahaman yang sebaliknya. kebenaran ini pun masih
bergantung atas teks – tidak mungkin dari teks berbunyi “agama yang
benar menurut Allah SWT adalah Islam” ditarik pemahaman bahwa
Agama Kristen dulu pun benar dan berasal dari Tuhan.34
Dari pembacaan di atas, penulis melihat bahwa metode bayani
yang dikembangkan oleh ahli ushul berbeda dengan semiotika
saussurian – yang sama hanya nalar dasarnya. Lebih jauh, metode bayani
hampir sama dengan konsep semiotika sosial. Semiotika struktural hanya
melihat bahasa sebagai signifikasi penandaan, makna hanya bisa
dipahami menurut struktur tanda tersebut. Sedangkan semiotika sosial
melihat bahasa adalah sistem tanda yang sedang mengekspresikan
34 Abed al-Jabiri memahami bahwa teks akan menutup kebenaran diluar teks, yang tidak
diungkap oleh teks. Oleh karena itu, Abed menggunakan metode pembacaan teks kontemporer agar kita tidak hanya mewaspadai apa yang dikatakan oleh teks dan bagaimana penuturannya. Tetapi juga mengarahkan kita agar menyadari “apa yang tidak dikatakan oleh teks” dan cara pembungkamannya. M. Abed Al-Jabiri, Takwin al-Aql al-‘Araby, Terj, Formasi Nalar Arab – Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius, Yogyakarta: IRCiSoD, Cet.I, 2003, hlm.107. Ali Harb melancarkan kritik teks agar kita tidak terperangkap dalam kebenran yang diciptakan oleh teks. Kritik disini merupakan perpindahan dari teks kebenaran kepada kebenaran teks. Teks menciptakan kebenarannya sendiri. Dan teks pun mempunyai kekuatan untuk menutupi kebenaran yang lain. Kita akan terperangkap untuk membaca dan terus membaca teks, yang akhirnya kita tidak menyadari ada kebenaran lain selain kebenaran teks. Inilah kekuatan teks dan hal ini tidak disadari oleh Ushuliyah. Ali Harb, Naqd an-Nash, Terj. Kritik Nalar al-Qur’an, Yogyakarta; LkiS, Cet.I, 2003, hlm.9-20
95
norma, nilai cultural dan sosial suatu masyarakat di dalam suatu proses
kebahasaan.35
M.A.K. Halliday menyebutkan bahwa semua bahasa harus
dipahami berdasarkan konteks situasinya. Kontek situasi meliputi:
subyek dalam situasi, tindakan (tutur dan non-tutur), benda dan kejadian
sekitarnya, dan dampak tindakan tutur pelibat. Hubungan teks dan
konteks bersifat dialektis, teks menciptakan konteks dan konteks
menciptakan teks, dan makna terbentuk dari pergesekan keduanya.
Setiap teks juga merupakan konteks bagi teks yang lain.36 Yang belum
diperhatikan oleh metode bayani adalah konteks kultur. Dan hal ini
dalam semiotika sosial dipandang ikut membentuk makna.
Realitas kultur budaya makro di sekitar teks belum disentuh
oleh metode bayani. Ada relasi kuasa dalam pembentukan teks.
Diskursus, seperti posmodernisme, tradisional, metafisik, yang mengitari
penciptaan teks harus kita pahami dan cermati. Pada tingkat budaya,
diskursus berkuasa untuk membentuk kebenaran dan pengetahuan.37
Yang belum dibaca dan disadari oleh Ushuliyyin adalah bahwa
teks Al-Qur’an dan Hadits turun pada kurun waktu tertentu – beserta
35 Drs. Riyadi Santoso, M. Ed, Op.Cit, hlm.6 36 M.A.K. Halliday – Ruqaiya Hasan, Language, Context and Text: Aspects of Language
in Social-Semiotic Prespective, Terj. Drs. Asrudin Barori Tou,M.A, Bahasa, Konteks dan Teks: Aspek-aspek Bahasa Dalam Pandangan Semiotik Sosial, Yogyakarta: Gajahmada University Press, Cet.2, 1994, hlm.10-11, 64-65
37 bahwa dibalik pengucapan, di balik pengaturan ruang dan obyek, di balik penggunaan tubuh dan kesenangan terdapat bentuk kekuasaan tertentu yang breoperasi, yang menentukan eksistensi dan bentuknya. Yasraf Amir Piliang,Op.Cit, hlm.118
96
diskursus yang melingkupinya. Bagaimana ketika teks tersebut
bersentuhan dengan konteks kekinian ?
Bahasa dalam pandangan Ushuliyah tidak lagi sebatas sebuah
teks, yang hanya memperhatikan hubungan tanda-tanda dalam kalimat,
tetapi sudah merupakan sebuah wacana. Untuk membaca wacana
Ushuliyah hanya membaca realitas sempit seputar teks, turunnya teks.
Apakah tidak lebih baik kalau pembacaan realitas tersebut kita perluas.
Artinya tidak hanya mengenai latar belakang sebuah nash diturunkan
tetapi hubungan suatu teks dengan realitas yang lebih luas, seperti
budaya, politik , sosial dan ekonomi secara makro.
Sebenarnya ahli ushul sudah memahami bahwa nash al-Qur’an
adalah produk budaya arab. Buktinya dalam memahami al-Qur’an,
langkah yang ditempuh pertama kali adalah membaca al-Qur’an dengan
struktur kebahasaan Arab. Tapi yang penulis maksud dengan konteks
kebudayaan ini adalah konteks budaya yang secara umum menciptakan
struktur teks. Kenapa teks berbunyi demikian? Apa yang mendasari
diturunkannya sebuah teks? bukankah al-Qur’an diturunkan untuk
merespon kebudayaan Arab waktu itu. Secara otomatis apa yang
disampaikan oleh al-Qur’an tidak akan jauh dengan realita yang
dihadapi.
Penulis berasumsi bahwa tidak dibacanya kontek budaya
sebagai implikasi teknik pembacaan ahli ushul yang hanya
mempertemukan nash Qur’an dengan Hadits saja. Padahal di sekitar
97
turunnya al-Qur’an terdapat teks-teks lain. Melihat teks lain akan sangat
membantu pembacaan. Upaya ini bukan merupakan usaha untuk
menyamakan al-Qur’an dengan teks lain dengan menafikan ke-i’jaz-an
Qur’an – bahwa al-Qur’an adalah kalam tuhan yang berbeda dengan
kalam manusia. Tapi yang perlu kita sadari adalah al-Qur’an mempunyai
dua sisi, yakni teks ketuhanan dan teks budaya. Teks ketuhanan dalam
arti bahwa al-Qur’an adalah teks yang diturunkan oleh Allah SWT
kepada Nabi Muhammad yang berbeda dengan teks lain. Teks budaya
berarti bahwa Qur’an, dengan medium bahasa Arab dalam penyampaian
risalahnya, adalah hasil budaya Arab yang tidak berbeda dengan teks-
teks lain.38
Pembacaan terhadap kontek budaya akan sangat membantu
dalam pembacaan nash al-Qur’an dan Hadits. Kedua sumber tersebut
adalah produk budaya, dalam arti keduanya terbentuk dalam realitas dan
budaya dalam rentang waktu lebih dari dua puluh tahun. Dari pembacaan
budaya kita bisa melihat bagaimana sebuah teks diciptakan, merespon
dan berdialektika dengan dan oleh budaya. Bukankah bahasa yang
digunakan oleh keduanya adalah produk budaya.
Dari tidak dibacanya kontek budaya, yang perlu kita sadari
adalah proses “Arabisasi” melalui nash al-Qur’an dan Hadits39 –
38 lihat Nasr Hamid Abu Zaid, Op.Cit, hlm.62-63 39 Arabisasi terjadi akibat adanya logosentrisme, keterpusatan. Makna, hubungan penanda
dan petanda adalah bentuk konvensi sosial, yang menyangkal proses penandaan yang lain. Oleh karenanya, bagaimanapun dan kapanpun sebuah bahasa dibaca oleh orang akan tetap bermakna sama. Kebenaran adalah kebenaran logos yang merupakan konvensi sosial. Hubungannya dengan studi ini adalah Qur’an dan Hadits adalah teks berbahasa arab. Kebenaran keduanya adalah
98
membawa dan memaksa memasukkan budaya arab ke dalam budaya
lokal. Kita hanya memahami dan mempraktekkan Islam versi Arab –
Kita tidak menyadari bahwa telah terjadi proses arabisasi karena pesan
dan ajaran Islam memakai media bahasa Arab, yang secara tidak
langsung merepresentasikan kebudayaan Arab. Yang kita lakukan adalah
meniru dan memadukan unsur arab dalam Islam, bukan Islam
sesungguhnya. Bukankah Islam adalah Islam, bukan Islam Arab.40
C. Pertentangan Kaidah Kebahasaan Hanafiyah dan Syafi’iyah
Dari data dalam bab III, kita bisa melihat ada beberapa perbedaan
antara ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah dalam kaidah kebahasaannya. Hal ini
sangat mempengaruhi beberapa produk pemikiran hukum mereka. Penulis
melihat bahwa perbedaan tersebut terletak pada pemahaman mereka
terhadap teks-teks hukum.
Hanafiyah berpendapat bahwa dalalah am bersifat qath’i. Artinya
lafad am menunjukkan arti kepada setiap individu yang dicakupnya dengan
pasti, tidak ada kemungkinan kepada yang lain. Sedang dalalah am menurut kebenaran berdasarkan logos arab, konvensi umum orang Arab. Teks-teks tersebut selalu membawa dan ikut merepresentasikan budaya arab. Apabila kita tidak menyadari akan terjebak di dalamnya. Yasraf Amir Piliang menerangkan bahwa Strukturalis Saussurian mengembangakan prinsip oposisi biner, ucapan dan tulisan. Ucapan, sebagai superior atau logos (kebenaran, kebenaran dari kebenaran), didahulukan daripada tulisan, perantara atau representasi palsu dari kebenaran. Ada asumsi adanya hak istimewa untuk ucapan dan pelecehan bagi tulisan, yang dipandang hanya sebagai bentuk yang sudah tercemar diluar wilayah kebenaran – dalam bahasa Derrida disebut Logosentrisme. Hal inilah yang kemudian dikritik oleh Derrida. Tulisan menurut Derrida kalau dilihat dengan benar bukanlah representasi palsu dari kebenaran. Tulisan melepaskan diri dari ucapan deengan segala asumsi kebenaran alamiahnya (logos). Tulisan adalah sebuah permainan bebas unsure-unsur bahasa dan komunikasi. Tulisan adalah proses perubahan makna terus-menerus, dan perubahan ini menempatkannya pada posisi di luar jangkauan kebenaran mutlak (logos). Yasraf Amir Piliang, Op.Cit,hlm.137-139
40 lihat M.Imdadun Rahmat, dkk dalam Tashwirul Afkar: Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, Edisi No.14 Tahun 2003, hlm.9-32
99
Syafi’iyah bersifat dzani, masih ada kemungkinan arti lafad am ditujukan
kepada arti (individu yang tercakup) yang lain. Mereka berargumen bahwa
setiap am mempunyai kemungkinan untuk ditakhsis. Hal ini melahirkan
sebuah asumsi – atau lebih tepatnya pandangan yang menjurus kepada
sebuah keyakinan – yaitu:
�& �#���'�(�) *��+��,��-.��(�(41�
Oleh karena itu, hampir semua am mempunyai mukhasis, sedang
yang tidak hanya sedikit. Sedangkan Hanafiyah berargumen bahwa lafad am
ditujukan kepada keumuman secara wadh’i. Oleh karena itu, keumuman
merupakan sifat yang lazim bagi am sampai datangnya takhsis. Dan bahwa
setiap am mempunyai kemungkinan untuk ditakhsis adalah kemungkinan
yang tidak tetap sehingga tidak dapat mempengaruhi sifat qath’i dari am.
Dari perbedaan ini penulis melihat bahwa Syafi’iyah
menitikberatkan kriteria am kepada dialektika teks satu dengan teks yang
lain. Hanafiyah lebih berpegang pada wadha’ (penciptaan hubungan arti dan
kata) daripada dialektika tersebut. Tetapi pada dasarnya Hanafiyah tetap
tidak menafikan adanya dialektika antara sebuah ayat dengan ayat yang lain.
Hal ini pun terlihat pada perbedaan pendapat mereka mengenai lafad amr.
Hanafiyah berpendapat bahwa amr menunjukkan kewajiban hal yang
diperintah. Sedang menurut Syafi’iyah amr berfaidah sunah.
Pada lafad musytarak Hanafiyah memilih untuk tidak menggunakan
lafad tersebut sampai ada dalil yang menentukan salah satu arti. Menurut
41�� Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Juz.I, Beirut: Dar al-Fikr, T.th, hlm.251
100
mereka musytarak tidak menunjukkan kepada semua arti dalam satu kali
pengucapan. Karena menurut wadha’-nya musytarak tidak menunjukkan
kepada semua arti, tetapi dikarenakan sebuah sebab khusus.42 Seperti contoh
kata “cokot” untuk orang jawa tengah berarti menggigit, sedang menurut
orang sunda berarti mengambil. Jadi kata “cokot” tidak menunjukkan arti
menggingit dan mengambil dalam satu pengucapan.
Sedang menurut Syafi’iyah, musytarak dapat menunjukkan kepada
setiap artinya. Musytarak dalam satu kali pengucapan bisa menunjukkan
kepada setiap arti, tetapi untuk menentukan arti mana yang dipakai harus ada
qarinah yang jelas. Menurut penulis perbedaan diantara mereka tidak
signifikan, karena pada akhirnya untuk menetapkan makna yang dimaksud,
baik Hanafiyah maupun Syafi’iyah, tetap memakai indikator untuk
menentukan salah satu makna.
Pada pembagian jelas tidaknya makna, Hanafiyah membagi kata
menjadi delapan (dzahir, nash, mufasar, muhkam, khafi, musykil, mujmal
dan mutasyabih) , dan Syafi’iyah dua kriteria; wadhih (nash dan dzahir) dan
ghairu wadhih. Perbedaan ini mensiratkan satu kesimpulan bahwa teks
berdialektika dengan teks lain dan realita.
Hanafiyah membagi kata menurut proses dalalahnya menjadi ibarat,
isyarat, dalalah dan iqtidha’. Sedang Syafi’iyah membaginya menjadi dua
yaitu mantuq dan mafhum. Salah satu hal yang perlu dicermati dari
perbedaan ini adalah bahwa teks adalah sebagai titik pusat legalitas
42 Ibid, hlm.287
101
pemaknaan. Jadi sebenarnya ada persamaan dalam memandang sebuah teks
dalam perbedaan ini.
D. Implikasi Penggunaan Metode Bayani Dalam Formulasi Hukum
Poligami Islam
Kita selama ini hanya terjebak dalam “Nalar Ushuliyyin”, yang
hanya memikirkan jenis-jenis kata dan implikasinya dalam hukum. Mereka
hanya menganalisa nash kemudian menentukan bahwa tanda ini termasuk
kriteria ini dan berimplikasinya seperti ini – hal ini adalah asumsi penulis.
Pada bab ini, penulis akan mencoba menganalisa dan menggunakan metode
bayani ushuliyah untuk membaca teks hukum poligami.
Nash poligami surat al-Nisa’ ayat 3 yang berarti:
“Jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”(QS. An-Nisa’ : 3)
merupakan nash hukum yang selama ini digunakan Fuqaha untuk
melegitimasi hukum poligami Islam.
Dalam memahami ayat tersebut Ahli Ushul memakai dua cara,
yaitu dengan memahami struktur bahasa Arab – kemudian lahir metode
bayani – dan keterangan dari Rasul. Jumhur Ulama menautkan ayat tersebut
102
dengan hadits riwayat Ibnu Umar tentang Ghailan 43 dari sini mereka
memahami bahwa poligami hanya boleh sampai empat saja.
Beberapa hal yang harus kita perhatikan pertama kali, ada dua teks
yang digunakan para fuqaha dalam menentukan hukum poligami – kalau
ahli tafsir menambahi satu teks lagi, sebagai sebab turun ayat tersebut.
Dalam memahami makna teks mereka menautkan kedua teks tersebut –
terutama dalam pemaknaan batas empat. artinya makna teks sangat
ditentukan oleh teks lain.
Dari sini kita melihat seolah-olah pemaknaan berhenti sampai
disini. Ketika teks tersebut telah mati di tangan penafsiran Rasul,44 tidak
akan ada lagi pengembangan pemahaman terhadap ayat tersebut. Kesan
yang kita tangkap adalah mereka hanya mencari makna tekstual, makna
yang paling dekat dengan apa yang dikehendaki Syari’. Karena mereka
memahami bahwa Nabi SAW adalah orang kedua, dalam proses
43 Artinya : “Bahwa Ghailan bin salamah al-Tsaqafi masuk Islam, dan dia mempunyai
sepuluh istri yang dinikahi pada masa jahiliyah. Kemudian istri-istri ghailan ikut masuk Islam. Lalu nabi SAW memerintahkan untuk memilih empat dari mereka” . lihat Imam al-Turmudzi, Sunan Turmudzi, Juz.3, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, hlm. 435
44 Muhammad Syahrur membedakan antar hadits dan sunnah. Menurutnya hadits adalah hasil ijtihad Nabi SAW terhadap nash-nash al-Qur’an. Sedang sunnah adalah metode (manhaj) dalam menetapkan hukum-hukum umm al-Kitab (ayat-ayat hukum) dengan cara yang mudah – tanpa keluar dari batas-batas yang telah ditentukan oleh Allah SWT, baik dalam masalah-masalah yang ada batasnya dalam al-Qur'an maupun membuat batas-bats baru yang bersifat temporer dalam berbagai persoalan, dengan memperhatikan realitas dan kondisi sosial kultural yang akan dijadikan tempat penerapan hukum.44 Dalam konteks ini Shahrur juga menegaskan bahwa hadits merupakan ijtihad Nabi dalam pembacaan kitab suci. Jadi, sebagaimana yang dilakukan Nabi, maka menurutnya kita juga harus melakukan interpretasi bukan untuk meniru apa yang beliau katakan secara verbal, tetapi meniru jalan dan metodologinya. Shahrur mengatakan: “Perlakukanlah al-Qur'an seolah-olah ia baru saja turun/diwahyukan dan Nabi Muhammad SAW. baru meninggal kemarin”. Lihat Muhammad Syahrur, Muhammad Shahrur, Al-Kitab Wa Al-Qur’an: Qira’ah Mu’asirah, Damaskus: Al-Ahali li At-Tiba’ah Wa al-Nashr Wa al-Tauzi’, cet. II, 1990, hlm.44, 548-549
103
penyampaian wahyu. Asumsinya Nabi SAW adalah yang paling tahu
terhadap pemaknaan nash tersebut.
Kalimat yang dipakai dalam nash tersebut adalah kalimat kabar.
Nash tersebut dimulai dengan suatu keadaan yang disyaratkan yaitu
khawatir berbuat tidak adil terhadap anak yatim – menikahi mereka dengan
tidak membayar mahar. Syarat ini yang kemudian merubah makna perintah,
yang terwujud dari fi’il amar fankihu, menjadi bermakna diperbolehkannya
bepoligami.
Pemaknaan lafad amar tersebut berubah, dari makan aslinya
perintah, menjadi makna keberbolehan. Amar yang termasuk kriteria khas,
mempunyai konsekuensi hukumnya bersifat qath’i – khas tidak akan
menunjuk arti lain kecuali ada dalil. Dari sini kita bisa melihat bahwa dalil
lain ikut menentukan pemaknaan. Dialektika penanda (fi’il amar) dan
pertanda (makna perintah yang merupakan makna asli yang diciptakan oleh
sistem masyarakat) tidak berhenti sampai disini. Ada faktor lain diluar
sistem yaitu syarat yang membuat amar berubah dari makna aslinya –
meskipun sebenarnya dialektika antara syarat dan amar, yang kemudian
membuat amar harus berubah makna adalah sistem juga, karena masyarakat
arab pun mempraktekkan dan memahami begitu.
Ada satu asumsi penulis yaitu, seumpama kita bisa menemukan
indikator lain untuk merubah makna tersebut, pasti berubah. Oleh karena itu,
kita dituntut untuk lebih jeli dalam melihat teks. Tapi apakah ada kebebasan
bagi kita untuk memberi pemaknaan terhadap teks tersebut ?
104
Dalam ayat tersebut ada beberapa kata-kata yang termasuk am,
yaitu al-yatama, ma maushulah, al-Nisa’. Kenapa mereka termasuk am
karena makna yang dicakupnya menyeluruh kepada setiap individu, yang
termasuk di dalamnya. Kenapa mereka tidak dimasukkan ke dalam predikat
muqayad ? Ada satu perbedaan signifikan antara am dan muqayad, yaitu am
selalu ditampilkan dalam bentuk ma’rifat. Sedang muqayad ditampilkan
dalam bentuk nakirah. Dan keumuman keduanya pun berbeda. Kalau
keumuman am menyeluruh kepada setiap individu, keumuman muqayad
hanya terletak pada dirinya bebas menerima sifat apa saja.
Lafad matsna, tsulatsa dan ruba’ menunjukkan kepastian jumlah,
tidak jumlah yang lain. Fuqaha mengaitkan teks ini dengan hadits ghailan
untuk memperkuat dan mencegah penafsiran yang salah terhadap jumlah
tersebut.
Ada satu realita yang harus kita cermati bersama, kenapa kata
benda (noun) mendapat proporsi perhatian yang lebih banyak oleh matode
ini ? mungkin karena yang mereka hadapi adalah ayat-ayat hukum.
Konsekuensinya yang ada dalam pikiran mereka adalah hukum, obyek
hukum dan syari’. Mungkin hal ini juga yang menyebabkan mereka
membagi kata dalam empat kriteria.
Secara umum kalimat nash tersebut adalah am, poligami
dibolehkan bagi siapa saja. Syarat termasuk kalam ghairu mustaqil, yang
berfungsi untuk mempersempit arti am, merubah makna kepada poligami
hanya diperbolehkan bagi bisa berbuat adil, sedang yang takut tidak berbuat
105
adil – atau minimal dapat dipastikan dirinya tidak dapat berbuat adil – tidak
boleh.
Ayat tersebut apabila dilihat menggunakan metode kedua – lafad
dilihat dari makna yang dipakai – menunjukkan bahwa makna yang dipakai
adalah hakikat. Kita tidak menemukan ada qarinah yang menunjukkan nash
tersebut memakai makna majazi. Cara penyebutan maksud arti memakai
sharih, jelas.
Dua dari metode bayani telah kita gunakan, sekarang kita akan
menggunakan metode ketiga, yaitu kata berdasarkan jelas dan tidaknya
makna. Dalam metode ini, Ulama Ushul dalam usahanya untuk
mendapatkan makna, menautkan teks satu dengan yang lain.
Ada beberapa teks lain – yang memberikan informasi – di sekitar
nash ayat 3 surat al-Nisa’. Antara lain:
1. Ayat sebelumnya yang menceritakan tentang pelarangan berbuat tidak
adil terhadap anak yatim.
2. Hadits tentang Ghailan yang masuk Islam dengan membawa 10 istri, dan
akhirnya dia disuruh oleh Nabi SAW agar memilih empat saja.
3. Hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah yang menceritakan bahwa
‘Urwah bertanya kepada bibinya, ’Aisyah Ummu al-Mukminin RA
tentang ayat ini. ‘Aisyah menjawab: hai anak laki-laki saudara
perempuanku, bahwa anak yatim ini dalam kekuasaan walinya, (si wali)
mencampuri harta yatim, dan kecantikan serta harta si yatim
membuatnya tertarik. Kemudian wali bermaksud menikahi tanpa berbuat
106
adil dalam persoalan mahar; artinya dia tidak memberi mahar sesuai
ketentuan umum. Cegahlah dia dari berbuat demikian dan
perintahkanlah untuk menikahi wanita yang disenangi dua, tiga atau
empat”
4. Ucapan Ibnu Abbas “seperti kalian takut berbuat tidak adil terhadap
yatim, takutlah tidak berbuat adil terhadap perempuan. Maka jangan
menikah melebihi kemempuanmu memenuhi hak-hak mereka. Karena
wanita seperti yatim dalam hal ketidakmampuan”
5. Hadits dari ‘Aisyah yang berarti: Nabi SAW menggilir dan telah
berbuat adil, kemudian beliau berdoa: Wahai Tuhanku, ini adalah
keadilanku dalam hal yang aku miliki. Maka jangan engkau bebani aku
dengan hal yang engkau miliki, tetapi tidak aku miliki (diluar
kemampuan), yaitu hati.
6. Ayat 129 surat al-Nisa’ yang berarti: Dan kamu sekali-kali tidak akan
dapat berlaku adil diantara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin
berbuat demikian. Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada
yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.
Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Beberapa teks tersebut menginformasikan realita seputar nash
poligami. Sehingga kita bisa mendapatkan beberapa arti. Makna zahirnya –
makna yang tidak diinginkan syari’ dengan melihat susunan kalimat, sejarah
107
dan sebab turun – adalah diperbolehkannya menikah. Arti ini diambil dari
susunan ayat fankihu ma thaba lakum minan nisa’i. Kemudian kita melihat
sebab turun, hadits ‘Aisyah. Hadits ini menceritakan seseorang yang
mengasuh anak yatim, dan berusaha mengawininya tanpa memberi mahar.
Dari sini, dapat dipahami bahwa lebih baik menikahi wanita yang tidak
yatim – dua tiga atau empat, dari pada kita takut tidak berbuat adil ketika
menikahi anak yatim.
Fuqaha juga mengaitkan nash tersebut dengan hadits Ghailan.
Akhirnya didapati makna bahwa menikahi wanita hanya boleh sampai
empat. Jadi makna zahir dapat segera dimengerti dengan melihat susunan
kalimat, kemudian melihat sejarah dan sebab turun.
Ada tiga dialektika dalam memahami nash ini, nash dengan dua
hadits. Dengan begitu kita juga bisa mendapatkan arti nashnya, yaitu lebih
baik menikahi wanita lain, dari pada kita takut tidak berbuat adil ketika
menikahi anak yatim, pembatasan jumlah wanita yang dinikahi –
diperbolehkan menikahi sampai empat asal kita tidak takut dan bisa berbuat
adil. Jadi ayat tersebut bisa dimasukkan dalam golongan zahir dan nash.
Fuqaha hanya melihat realita sempit sekitar nash. Bukankah ketika
kita melihat realiat yang lebih luas, ini akan lebih baik. Fenomena poligami
telah ada sebelum Islam datang – mungkin tradisi ini ada karena didukung
oleh sisi biologis manusia.45 Bahkan dalam tradisi kebudayaan lain dan Arab
sendiri, wanita tidak ada harganya. Kemudian Islam datang dan melakukan
45 Dr. Abdul Nasir Taufiq al-‘Atthar, Ta’adudu al-Zaujati mina al-Nawahi al-Diniyati wa al-Ijtima’iyati wa al-Qanuniyati, Terj. Poligami Ditinjau Dari Segi Agama, Sosial dan Perundang-undangan, Jakarta: Bulan Bintang, Cet.I, 1976, hlm.16-17
108
perubahan, dengan membatasi jumlah poligami, dengan nash berisi
persyaratan yang hampir berarti larangan.46 Islam mengadopsi kebudayaan
arab jahiliyah, meskipun melakukan pembatasan. Realita makro semacam
ini yang luput dari pandangan Fuqaha.
Diskursus “wanita tidak mempunyai kekuatan dan tidak ada
harganya”, telah membentuk realita praktek poligami dalam masyarakat
Arab. Praktek sosial yang telah dilakukan beberapa ratus tahun sebelumnya
ini, kemudian membentuk teks yang melegitmasinya. Ada kekuasaan yang
melahirkan pengetahuan dan kebenaran praktek poligami. Kekuasaan
mayoritas adalah yang dibenarkan, menafikan kebenaran-kebenaran
pinggiran. Kesadaran ini tidak ada dalam nalar ahli ushul, karena nalar
mereka telah dibentuk oleh diskursus tersebut.
Dari sini kita bisa melihat bagaimana teks dibentuk oleh budaya –
budaya yang berpihak pada laki-laki. Dalam praktek keseharian pemegang
kekuasaan adalah laki-laki. Wanita tidak mempunyai hak karena mereka
tidak mempunyai kapital 47 yang bisa menjadi nilai tawar. Kenapa budaya
bepihak pada laki-laki, karena mereka pemegang kapital. Dalam kebudayaan
seperti itu, sebuah teks tidak akan terlahir bersimpangan dengan kekuasaan –
persamaan hak dan poligami dilarang berdasarkan kesetaraan. Meskipun
dalam praktek poligami nash al-Qur’an telah mereduksi kebudayaan Arab
pra-islam. Tetapi nash tersebut masih melegitimasi kekuasaan laki-laki
46 Muhammad Abed al-Jabiry, Ad-Dimuqrathiyyah wa Huquq al-Insani, Terj. Syura:
Tradisi – Partikularitas – Universalitas, Yogyakarta: LkiS, Cet.I, 2003, hlm. 138 47 Haryatmoko, Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa, Dalam BASIS – Edisi Khusus
Pierre Bourdieu, Nomor 11-12, Tahun ke-52, November-Desember 2003, hlm.5-23
109
dalam wacana dan melahirkan budaya baru. Mengutip pendapat Nasr
Hamid:
“Sebagai teks bahasa, al-Qur’an dapat disebut sebagai teks sentral dalam sejarah peradaban Arab. Bukan bermaksud menyederhanakan jika dikatakan bahwa peradaban Arab-Islam adalah “peradaban teks”. Artinya bahwa dasar-dasar ilmu dan budaya Arab-Islam tumbuh dan berdiri tegak di atas landasan dimana “teks” sebagai pusatnya tidak dapat diabaikan.” 48
Metode terakhir, kata berdasarkan cara penunjukan kepada makna,
membutuhkan kejelian kita dalam melihat nash. teks kita jadikan sebagai
patokan, mencari kemungkinan arti dengan melihat kesesuaian arti tersebut
dengan teks menurut logika. Pertama kita melihat teks, ibarat al-Nash, kita
akan mendapati beberapa makna, antar lain:
1. Lebih baik kita mengawini wanita lain – yang tidak yatim – daripada
kita takut tidak berbuat adil terhadap anak yatim ketika kita menikahi
mereka.
2. Diperbolehkannya menikahi perempuan yang kita senangi.
3. Poligami dibatasi sampai empat.
4. Ketika kita takut tidak berbuat adil terhadap beberapa istri, hanya
dibolehkan mengawini satu wanita saja.
5. Keadilan yang dimaksud adalah keadilan yang sesuai dengan
kemampuan lahiriah manusia.
Sedang makna yang bisa diperoleh dari isyarat al-nash – mencari
makna yang secara rasio masih bisa dihubungkan dengan teks, teks sebagai
patokan – adalah kita dilarang berbuat aniaya terhadap anak yatim, nilai
48 Nasr Hamid Abu Zaid, Op.Cit, hlm.1
110
keadilan harus dipegang teguh. Berbuat tidak adil terhadap perempuan saja
dilarang, apalagi terhadap anak yatim.
Dari pembacaan dan proses signifikasi demikian, Islam tetap
melegalkan poligami dengan beberapa syarat yang sangat ketat, seperti harus
dapat berbuat adil dan bisa memberi nafkah kepada semua istrinya. Hal ini
dilakukan untuk menjaga agar hikmah dibalik pelegalan poligami tetap
terjaga. Karena salah satu nilai yang dijunjung tinggi oleh Islam adalah
keadilan dan egaliter.
Para Fuqaha klasik tidak ada yang melarang poligami, atau minimal
memberikan pembacaan lain terhadap teks tersebut. Perbedaan pendapat
antara Syafi’iyah (jumhur) dan Hanfiyah dalam kaidah kebahasaan juga
tidak cukup menunjukkan signifikansi. Karena pada kenyataannya jumhur
mencapai satu kesimpulan bahwa poligami tetap dilegalkan. Fakta tersebut
diperoleh dari penelusuran penulis atas beberapa kitab-kitab klasik.49
Pembacaan yang berbeda diberikan oleh golongan Dzahiriyah.
Mereka memperbolehkan menikahi wanita sampai sembilan. Pendapat ini
adalah pendapat yang sembrono karena mereka tidak melihat keterkaitan
nash al-Qur’an dengan Hadits. Pilihan Jumhur untuk mempertemukan kedua
teks tersebut adalah cerdas. Karena hadits adalah salah satu teks yang
memberikan beberapa informasi pemaknaan paling dekat.
Dari beberapa kesimpulan yang dapat diambil antara lain bahwa
Islam tetap melegalkan poligami. Dari sini nampak jelas karakteristik
49 lihat lampiran pada akhir skripsi ini.
111
pembacaan dengan metode bayani yang dilakukan Fuqaha yang bersifat
tekstualis. Penulis melihat bahwa ketidakmampuan Fuqaha untuk membaca
lebih dari itu tidak hanya disebabkan oleh metode yang mereka pakai. Tetapi
nalar agama dan keyakinan terhadap kitab suci al-Qur’an dan hadits juga
berperan. Mereka tidak bisa menganggap bahwa al-Qur’an dan Hadits
adalah teks yang tidak jauh beda dengan teks-teks yang lain.
Bahasa merupakan perwujudan pola pikir dan media yang
digunakan masyarakat untuk mengungkapkan ide dan apa yang mereka lihat
dan alami. Dengan asumsi seperti ini nampak jelas bahwa ada dialektika
antara teks dan realitas sekitar, al-Qur’an dan Hadits dengan masyarakat
Arab dan budayanya. Jika kita tidak membaca lain maka yang akan terjadi
adalah “arabisasi”, membawa Islam Arab ke daerah lain. Islam adalah Arab
dan Arab adalah Islam.50
Nash tersebut dengan jelas menyebutkan – menggunakan kata-kata
yang mudah dimengerti dengan sekali melihat – bahwa Tuhan SWT
melegalkan poligami. Ahli Ushul dalam membaca teks hanya
memperhatikan realitas sempit di sekitar teks, padahal tawaran metode baca
mereka sudah cukup bagus. Seumpama mereka melihat bahwa poligami
adalah sebuah realita dan kebudayan yang bersifat makro dalam masyarakat
Arab. Ada dengan keadaan masyarakat Arab dan bagaimana struktur
masyarakatnya ? pertanyaan ini seharusnya muncul dalam benak mereka.
50 Lihat LAKPESDAN NU, Jurnal Taswirul Afkar, Ed.No.14 Tahun 2003, hlm.9-32
112
Pada kurun waktu berikutnya, terutama pada era kebangkitan Islam
penggunaan metode bayani telah mengalami perubahan. Ini terlihat pada
pendapat beberapa pendapat ulama kontemporer. Sebut saja Abed al-Jabiri
yang hampir melarang poligami dengan mengatakan bahwa Islam memberi
persyaratan yang begitu ketat seakan-akan melarang poligami. Begitu pula
Muhammad Syahrur yang membaca nash tersebut dengan pendekatan lain.
Bagi dirinya poligami dilegalkan tetapi ada beberapa hal yang harus
diperhatikan, masalah kualitas dan kuantitas. Wanita yang dinikahi terdiri
atas satu perawan dan tiga janda.
Berbeda dengan mereka Dr. Wahbah Zuhaily menambahkan
adanya izin dari pengadilan disamping persyaratan tersebut diatas. Dia tidak
hanya menggunakan pendekatan kebahasaan tetapi juga pendekatan
istishlahi. Untuk menjaga agar hak berpoligami tidak disalahgunakan dan
melindungi hak-hak perempuan, maka poligami hanya diperbolehkan bagi
mereka yang mampu dan mendapat izin dari pengadilan yang didasarkan
atas persetujuan istri. Disamping itu situasi dan kondisi juga mempengaruhi
diberlakukannya poligami.
Hal yang sama dilakukan di Indonesia. UU Perkawinan tidak
dengan mudah memberikan izin poligami. Seorang suami harus berhadapan
dengan persyaratan yang sangat ketat ketika dirinya ingin beristri lebih dari
satu. Hal ini sangat berguna karena dikhawatirkan kebolehan poligami akan
disalahgunakan oleh suami. Penulis melihat kecenderungan baru dalam
hukum poligami, yaitu penggunaan metode istishlahi. Tidak lagi berkisar
113
pada pembacaan teks, tapi pada penerapan teks, Tasyri’. Bagaimana
penerapan hukum bisa menjaga hak dan kewajiban bersama.
Persoalan yang datang kemudian adalah ketika teks al-Qur’an turun
dan berdialektika dengan masa tertentu – dengan Struktur nalar dan
masyarakat Arab Jahiliyah – harus berhadapan dengan konteks kekinian,
tentunya dengan struktur nalar dan masyarakat yang berbeda. Dengan nalar
industri (modernitas) misalnya, wanita dan pria dianggap sama karena
keduanya bisa menghasilkan dan memproduksi benda. Ini berbeda dengan
realita Arab ketika al-Qur’an turun, waktu itu wanita sangat jauh berada di
bawah laki-laki. Apakah pemahaman atas teks hanya sebatas itu, stagnan
dan statis. Ini berarti Metode Bayani hanya mengusung Nalar Arab untuk
dipaksa kepada masyarakat yang berbeda.
Problem lain yang dihadapi Ushuliyyin adalah mereka tidak
menyadari ada kebenaran selain nash tersebut tentu pembacaannya tidak
akan demikian. Pembacaan yang mereka lakukan hanya melahirkan hukum
yang tekstualis. Mereka hanya berkutat dalam proses signifikasi, mencari
makna dari penanda. Mereka tidak menyadari bahwa teks membuat
kebenaran sendiri dan menutup kebenaran yang lain, yang didiamkan oleh
teks.
114
DAFTAR PUSTAKA
Qattan, Mana’, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, tt
Yahya, Mukhtar, Dr. Prof, dan Fathurrahman, Dr. Prof, Dasar-dasar Pembinaan
Hukum Fiqh Islami, Bandung: PT. Alma’arif, Cet.4, 1997
Gordon, Terrence. W, Saussure For Begginer, diterjemah oleh Mei Setiyanti dan
Hendrikus Panggalo, Saussure Untuk Pemula, Yogyakarta:
Kanisius, 2002
Al-Ibrahimi, Nur, Muhammad, Ilmu al-Mantiq, Surabaya: Percetakan Sa’id bin
Nasir Nabhan, Cet.V
Chaer, Abdul, Drs, Linguistik Umum, Jakarta: PT.Rineka Cipta, Cet.II, 2003
Sunardi, ST, Semiotika Negativa, Yogyakarta: Kanal, 2002
E.P. Suparni, Drs, Glosarium – Kata Serapan Dari Bahasa Barat Dengan
Etimologinya, Semarang: Media Wiyata
Rusyd, Ibnu, Bidayah al-Mujtahid, Juz.I, Beirut; Dar al-Kutub al-Islamiyah, tt
Aminudin, et. al, Analisis Wacana – Dari Linguistik Sampai Dekonstruksi,
Yogyakarta: Kanal, Cet.I, 2002
M. Abed Al-Jabiri, Takwin al-Aql al-‘Araby, Terj, Formasi Nalar Arab – Kritik
Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana
Interreligius, Yogyakarta: IRCiSoD, Cet.I, 2003
Ali Harb, Naqd an-Nash, Terj. Kritik Nalar al-Qur’an, Yogyakarta; LkiS, Cet.I,
2003
115
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: CV. Toha
Putra, 1989
Imam Bukhari, Shohih Bukhari bi Hasiyah al-Sindi, Juz.4,Jakarta: Dar Ihya’ al-
Kutub al-‘Arabiyah, TT
LAKPESDAN NU, Taswirul Afkar: Jurnal Pemikiran Keagamaan dan
Kebudayaan, Ed.No.14 Tahun 2003
Dr. Abdul Nasir Taufiq al-‘Atthar, Ta’adudu al-Zaujati mina al-Nawahi al-
Diniyati wa al-Ijtima’iyati wa al-Qanuniyati, Terj. Poligami
Ditinjau Dari Segi Agama, Sosial dan Perundang-undangan,
Jakarta: Bulan Bintang, Cet.I, 1976
Muhammad Abed al-Jabiry, Ad-Dimuqrathiyyah wa Huquq al-Insani, Terj.
Syura: Tradisi – Partikularitas – Universalitas, Yogyakarta: LkiS,
Cet.I, 2003
Muhammad Syahrur, Muhammad Shahrur, Al-Kitab Wa Al-Qur’an: Qira’ah
Mu’asirah, Damaskus: Al-Ahali li At-Tiba’ah Wa al-Nashr Wa al-
Tauzi’, cet. II, 1990
Imam al-Turmudzi, Sunan Turmudzi, Juz.3, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah
Khudori Beik, Tarikh Tasyri’ al-Islamy, Terj. Sejarah Pembentukan Hukum
Islam, Darul Ihya, t.th
lihat Imam Syaf’I, Al-Risalah, Beirut: Dar al-Fikr, t.th
Halliday, M.A.K – Hasan, Ruqaiya, Language, Context and Text: Aspects of
Language in Social-Semiotic Prespective, Terj. Drs. Asrudin
Barori Tou,M.A, Bahasa, Konteks dan Teks: Aspek-aspek
Bahasa Dalam Pandangan Semiotik Sosial, Yogyakarta:
Gajahmada University Press, Cet.2, 1994
116
Piliang, Amir, Yasraf, Hipersemiotika – Tafsir Cultural Studies Atas Matinya
Makna, Yogyakarta: Jalasutra, Cet.I, 2003
Hasan, Ahmad, The Early Development of Islamic Yurisprudence, Terj. Agah
Garnadi, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Bandung: Pustaka,
Cet.I, 1984
Syekh Ahmad al-Damanhuri, Syarah hilyat al-Lub al-Mushawan, Semarang:
Toha Putra, T.th
Santoso, Riyadi, Drs, M. Ed, Semiotika Sosial – Pandangan Terhadap Bahasa,
Surabaya: Pustaka Eureka, Cet.I, 2003
Zaid, Abu, Hamid, Nasr, Mafhum al-Nash Dirasah fi Ulum al-Qur’an, Terj.
Khoiron Nahdliyin, Tekstualitas al-Qur’an – Kritik Terhadap
Ulumul Qur’an, Yogyakarta: LkiS, Cet.III, 2003
BASIS – Edisi Khusus Pierre Bourdieu, Nomor 11-12, Tahun ke-52, November-
Desember 2003
Al-Sayis, Ali, Muhammad, Tarikh Fiqh al-Islami, Terj. Sejarah Fiqh Islam, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, Cet.I, 2003
Sirry. A. Mun’im, Sejarah Fiqh Islam – Sebuah Pengantar, Surabaya: Risalah
Gusti, Cet.I, 1995