bab ii tinjauan pustaka 2.1 chronic obstructive pulmonary ...eprints.umm.ac.id/54053/3/bab...

16
10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) 2.1.1 Definisi Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) merupakan suatu penyakit yang tidak menular dengan angka mortalitas dan morbiditas yang cukup tinggi. COPD saat ini beresiko untuk semua kalangan, terutama pada usia dewasa dan lansia (Kholifah 2018). Menurut Rab dalam Lilyana (2018), mengatakan bahwa COPD dapat menyebabkan obstruksi saluran pernafasan yang bersifat ireversibel, sehingga dapat mempengaruhi aliran udara pernafasan yang sifatnya progresif sebagai respon peradangan yang tidak normal. Pada kondisi tertentu dapat terjadi perburukan fungsi nafas sehingga dapat menyebabkan terjadinya gagal nafas. COPD dapat ditandai dengan keterbatasan aliran udara pada saluran udara dan memiliki dampak yang besar terhadap fungsi fisik, psikologis dan sosial. Pada pasien COPD memiliki gejala utama yaitu dyspnea (Tabak 2014). Menurut GOLD (the Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease) 2018, Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) adalah penyakit umum, dapat dicegah dan diobati yang ditandai dengan gejala pernapasan persisten dan keterbatasan aliran udara yang disebabkan karena kelainan saluran napas dan/atau alveolus. COPD biasanya disebabkan oleh paparan signifikan terhadap partikel atau gas berbahaya. Hambatan jalan napas pada COPD disebabkan oleh obstruksi saluran napas kecil (obstruksi bronkiolitis) dan kerusakan parenkim paru (emfisema). Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) adalah salah satu penyakit tidak menular yang disebabkan oleh perilaku merokok yang menjadi masalah kesehatan masyarakat (Kusumawardani 2017). Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) adalah suatu penyakit yang mempunyai karakteristik keterbatasan saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversible dan dapat

Upload: others

Post on 02-Nov-2020

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Chronic Obstructive Pulmonary ...eprints.umm.ac.id/54053/3/BAB II.pdf · tadi (bronkitis kronik dan emfisema) dapat dimasukkan ke dalam kelompok penyakit

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD)

2.1.1 Definisi Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) merupakan suatu penyakit yang

tidak menular dengan angka mortalitas dan morbiditas yang cukup tinggi. COPD saat

ini beresiko untuk semua kalangan, terutama pada usia dewasa dan lansia (Kholifah

2018). Menurut Rab dalam Lilyana (2018), mengatakan bahwa COPD dapat

menyebabkan obstruksi saluran pernafasan yang bersifat ireversibel, sehingga dapat

mempengaruhi aliran udara pernafasan yang sifatnya progresif sebagai respon

peradangan yang tidak normal. Pada kondisi tertentu dapat terjadi perburukan fungsi

nafas sehingga dapat menyebabkan terjadinya gagal nafas. COPD dapat ditandai

dengan keterbatasan aliran udara pada saluran udara dan memiliki dampak yang besar

terhadap fungsi fisik, psikologis dan sosial. Pada pasien COPD memiliki gejala utama

yaitu dyspnea (Tabak 2014). Menurut GOLD (the Global Initiative for Chronic Obstructive

Lung Disease) 2018, Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) adalah penyakit umum,

dapat dicegah dan diobati yang ditandai dengan gejala pernapasan persisten dan

keterbatasan aliran udara yang disebabkan karena kelainan saluran napas dan/atau

alveolus. COPD biasanya disebabkan oleh paparan signifikan terhadap partikel atau

gas berbahaya. Hambatan jalan napas pada COPD disebabkan oleh obstruksi saluran

napas kecil (obstruksi bronkiolitis) dan kerusakan parenkim paru (emfisema).

Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonary Disease

(COPD) adalah salah satu penyakit tidak menular yang disebabkan oleh perilaku

merokok yang menjadi masalah kesehatan masyarakat (Kusumawardani 2017). Chronic

Obstructive Pulmonary Disease (COPD) adalah suatu penyakit yang mempunyai

karakteristik keterbatasan saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversible dan dapat

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Chronic Obstructive Pulmonary ...eprints.umm.ac.id/54053/3/BAB II.pdf · tadi (bronkitis kronik dan emfisema) dapat dimasukkan ke dalam kelompok penyakit

11

dicegah keterbatasan saluran nafas yang dialami biasanya progresif dan berhubungan

dengan respon inflamasi yang disebabkan bahan atau gas yang merugikan. COPD

bukan penyakit tunggal tapi merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan

penyakit paru yang kronis yang dapat menyebabkan keterbatasan aliran udara dalam

paru. Kelainan utama yang tampak pada orang dengan COPD adalah bronkitis,

emfisema dan asma (el Naser, 2016). COPD sendiri ditujukan untuk mengelompokkan

penyakit-penyakit yang mempunyai gejala berupa terhambatnya aliran udara pada

pernafasan. Penyakit yang mengakibatkan masalah terhambatnya arus udara bisa

disebabkan pada saluran perafasan ataupun pada parenkim paru. Kelompok penyakit

yang dimkasud adalah bronkitis kronik (masalah pada saluran peranfasan), emfisema

(masalah pada prenkim) begitu pula asma bronkial kronik, fibrosiskistik dan

bronkiektasis. Kasus obstruksi aluran udara pada saat ekspirasi dapat digolongakan

sebagai COPD apabila obstruksi udara tersebut cenderung progresif. Kedua penyakit

tadi (bronkitis kronik dan emfisema) dapat dimasukkan ke dalam kelompok penyakit

COPD apabila keparan penyakitnya telah berlanjut dan obstruksinya bersifat progresif

(Djojodibroto, 2009: 120).

2.1.2 Etiologi

Berdasarkan GOLD (the Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease) 2018,

Meskipun merokok adalah faktor risiko COPD yang paling banyak diteliti, itu bukan

satu-satunya faktor risiko dan ada bukti yang konsisten dari studi epidemiologi bahwa

non-perokok juga dapat mengembangkan batasan aliran udara kronis. Menurut

Kholifah (2018) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor penyebab yang

menyebabkan COPD yaitu faktor genetik, riwayat penyakit infeksi pernafasan, jenis

kelamin, usia, asap rokok serta polusi udara.

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Chronic Obstructive Pulmonary ...eprints.umm.ac.id/54053/3/BAB II.pdf · tadi (bronkitis kronik dan emfisema) dapat dimasukkan ke dalam kelompok penyakit

12

Menurut el Naser (2016) mengatakan pada penelitian yang dilakukan pada tahun

1990 sampai 2004 pada 28 negara prevalensi COPD lebih tinggi terjadi pada pasien

yang merokok dibandingkan bukan perokok. Menurut data WHO 2008 diketahui

bahwa merokok merupakan penyebab utamaterjadinya COPD. Menurut Ghobain

dalam Kusumawardani (2017) menyatakan prevalensi COPD diperkirakan akan

meningkat meningkatnya faktor penyebabnya seperti kebiasaan merokok, polusi udara

serta lingkungan yang belum dapat dikendalikan dengan baik.

2.1.3 Patofisiologi

Menurut Djojodibroto (2009: 121) patofisiologi terjadinya obstruksi adalah

peradangan pada saluran pernafasan yang kecil. Pada COPD yang stabil, terdapat ciri

perdangan yang dominan adalah banyaknya sel neutrofilik yang ditarik oleh interleukin

8. Walaupun jumlah limfosit meningkat, namun yang meningkat hanya sel T CD8 helper

tipe 1. Berbeda pada asma, yang dominan adalah eosionofil, sel mast, dan sel T CD4

helper tipe 2. Ketika terjadi eksaserbasi akut pada COPD, jumlah eosinofil meningkat

30 kali lipat. Perbedaan jenis sel yang menginfiltrasi inilah yang menyebabkan

perbedaan respon terhadap kortikosteroid. Penurunan FEV1, per ttahun pada COPD

adalah antara 50-70 mL/detik. Jika akhirnya FEV1 menjadi di bawah 1 liter, angka

kesakitannya mencapai 10%.

Menurut GOLD (the Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease) 2018,

sekarang ada pemahaman yang baik tentang bagaimana proses penyakit yang

mendasari pada COPD mengarah ke karakteristik kelainan dan gejala fisiologis.

Misalnya, peradangan dan penyempitan saluran udara perifer menyebabkan penurunan

FEV1. Penghancuran parenkim karena emfisema juga berkontribusi terhadap

pembatasan aliran udara dan menyebabkan penurunan transfer gas. Ada juga bukti

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Chronic Obstructive Pulmonary ...eprints.umm.ac.id/54053/3/BAB II.pdf · tadi (bronkitis kronik dan emfisema) dapat dimasukkan ke dalam kelompok penyakit

13

yang muncul untuk menunjukkan bahwa selain penyempitan jalan napas, ada hilangnya

saluran udara kecil, yang dapat berkontribusi terhadap keterbatasan aliran udara.

Chronic Obstructive Pulmonaly Disease atau biasa disebut COPD merupakan

keadaan yang diandai dengan kelemahan kemampuan bernafas, mereka yang menderita

COPD akan merasakan akibat dari kurangnya oksigen. Penurunan kadar oksigen dalam

sirkulasi serta pada jaringan tubuh, menempatkan pasien pada resiko tinggi terhadap

beberapa kondisi serius lainnya. Bila COPD menunjukkan keadaan ketidak

seimbangan antara perbaikan paru dan mekanisme pertahanan diri sehingga

menyebabkan fibrosis pada jalan nafas perifer, sehingga dapat menyebabkan rusaknya

struktur bronkiolus dan melebarnya alveoli yang nantinya akan menyebabkan tahanan

dijalan nafas perifer, sehingga memperberat penyempitn jalan nafas akibat adanya edema

dan hiperesekresi mucus ((Brunner & Suddarth, dikutip dalam Wahyuni 2017)).

2.1.4 Tanda dan Gejala

Pasien dengan penyakit COPD akan mengalami keluhan berupa batuk kronis

yang disertai dengan sputum dan sesak nafas yang disebabkan karena adanya gangguan

yang terjadi pada fungsi paru (Schermer & Leenders, dikutip dalam Awalin, 2018).

Ketika fungsi paru memburuk dan penyakit pada pasien PPOK bertambah parah,

maka resiko terjadinya hipoksia juga akan semakin meningkat. Menurut Kholifah

(2018) menyatakan bahwa keterbatasan aktivitas merupakan keluhan utama yang

mempunyai dampak pada kualitas hidup pasien yang telah di diagnosa COPD.

Manifestasi sistemik penderita COPD yaitu inflamasi sistemik, penurunan berat badan,

meningkatnya resiko penyakit kardiovaskuler, osteoporosis serta depresi. Sesak nafas

yang muncul pada penderita COPD dapat meneybabkan penderita PPOK menjadi

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Chronic Obstructive Pulmonary ...eprints.umm.ac.id/54053/3/BAB II.pdf · tadi (bronkitis kronik dan emfisema) dapat dimasukkan ke dalam kelompok penyakit

14

panik, cemas hingga frustasi. Keseluruhan dampak yang telah di sebutkan merupakan

penyebab utama pasien COPD untuk mengurangi aktivitas fisiknya.

Orang dengan COPD dalam keadaan normal akan terlihat gejala dyspneu, batuk

serta berdahak. Jika pasien COPD terjadi ekserbasi akut makan akan menyebabkan

ketiga gejala tersebut semakin bertambah (Lilyana 2018). Tanda dan gejala pada

penderita COPD yang paling dominan adalah sesak nafas yang sering kali dimulai saat

melakuakan aktivitas (Muttaqin, dikutip dalam Purwanti 2016). Seringkali gejala dari

COPD disertai batuk produktif yang mungkin mengahasilkan sputum. Gejala umum

bersifat progresif dengan sesak nafas yang semakin berat serta berkurangnya toleransi

aktivitas (Jeremy, dikutip dalam Purwanti, 2016).

Dispnea kronis dan progresif adalah gejala COPD. yang paling khas. Batuk

dengan produksi dahak hadir hingga 30% dari pasien. Gejala-gejala ini dapat bervariasi

dari hari ke hari 2 dan dapat mendahului perkembangan pembatasan aliran udara

selama bertahun-tahun. Individu, terutama mereka yang memiliki faktor risiko COPD,

menunjukkan gejala-gejala ini harus diperiksa untuk mencari penyebab yang mendasari.

Gejala-gejala pasien ini harus digunakan untuk membantu mengembangkan intervensi

yang tepat. Keterbatasan aliran udara yang signifikan juga dapat hadir tanpa dispnea

kronis dan atau batuk dan produksi dahak dan sebaliknya. Meskipun COPD

didefinisikan berdasarkan pembatasan aliran udara, dalam praktiknya keputusan untuk

mencari bantuan medis biasanya ditentukan oleh dampak gejala pada status fungsional

pasien. Seseorang dapat mencari pertolongan medis baik karena gejala pernapasan

kronis atau karena episode akut dan sementara dari gejala pernapasan yang memburuk.

(GOLD (the Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease) 2018).

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Chronic Obstructive Pulmonary ...eprints.umm.ac.id/54053/3/BAB II.pdf · tadi (bronkitis kronik dan emfisema) dapat dimasukkan ke dalam kelompok penyakit

15

Bersasarkan (GOLD (the Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease) 2018)

terdapat 4 klasifikasi derajat COPD yaitu :

Stage I : COPD ringan

FEV1 ≥ 80%

Dengan atau tanpa keluhan batuh kronis (batuk, sputum produktif).

Stage II : COPD sedang

50% ≤ FEV1 < 80%

Dengan keluhan nafas pendek terutama saat latihan, terkadang ada keluhan

batuk dengan seputum produktif.

Stage III : COPD berat

30% ≤ FEV1 < 50%

Keluhan nafas pendek bertambah, kemampuan latihan berkurang, lelah, dan

eksaserbasi berulang hingga mempengaruhi kualitas hidup pasien.

Stage IV : COPD Sangat Berat

FEV1 < 30%

Gejala gagal jantung kanan dan atau pulmonal. Kualitas hidup sangat terganggu

dan eksasrbasi bisa menyebabkan kematian.

2.1.5 Penatalaksanaan

Menurut Djojodibroto (2009: 124) mengatakan walaupun tidak dapat

disembuhkan dan sering menjadi ireversible, dapat diupayakan agar progresifitas

perburukan fungsi pernafasan diperlambat serta exercise tolerance ditingkatkan.

Penatalaksanaan PPOK antara lain dapat dilakukan penghentian merokok, pemberian

imunisasi terhadap influenza, pemberian vaksin pneumokokus, pemberian antibiotik,

bronkodilator serta kortikosteroid, pemberian terapi oksigen, pengontrolan sekresi,

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Chronic Obstructive Pulmonary ...eprints.umm.ac.id/54053/3/BAB II.pdf · tadi (bronkitis kronik dan emfisema) dapat dimasukkan ke dalam kelompok penyakit

16

serta latihan dan rehabilitas yang berupa latihan fisik, latihan nafas khusus serta bantuan

psikis. Pemberian terapi oksigen diyakini dapat mengurangi resiko terjadinya kor

pulmonale. Sedangkan upaya mengontrol sekresi dilakukan dengan pencukupan

asupan cairan dan kelembabapan, drainase postural, dan pemberian obat mukolitik

untuk mengencerkan sekret.

2.2 Self Management

2.2.1 Definisi

Self management adalah sebuah proses dimana pasien mengarahkan sendiri

perubahan tingkah lakunya dengan strategi terapeutik. self-management juga merupakan

serangkaian teknis untuk mengubah atau mengontrol perilaku, pikiran, dan perasaan

seseorang. Self-management bisa disebut sebagai suatu strategi kognitif behavioural yang

bertujuan untuk membantu klien agar dapat mengubah perilaku negatifnya dan

mengembangkan perilaku positifnya dengan jalan mengamati diri sendiri (Ilmi, 2018).

Self management adalah suatu pengaturan diri terhadap penyakit dalam bentuk perawatan

diri yang terpusat pada pengontrolan diri terhadap faktor yang dapat memperparah

kondisi pasien (Oktarinda, 2014). Self-management juga dapat diartikan sebagai

kemampuan pasien untuk menghadapi penyakit kronis. Ada beberapa faktor yang

dapat mempengaruhi kemampuan pasien untuk melakukan self management misalnya,

tingkat keparahan penyakit pasien, depresi, pendidikan, faktor psikologis dan etnis

(Jordan, 2015). Self-management dapat didefinisikan secara berbeda-beda, namun secara

umum hal ini dideskripsikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengatur gejala-

gejala, pengobatan, konsekuensi fisik dan psikis, serta perubahan gaya hidup individu

dengan penyakit kronis (Lennon, 2013).

Menurut Sell (2016) menyatakan bahwa self management adalah proses belajar

untuk menggabungkan keterampilan dan pengetahuan pasien yang dibutuhkan untuk

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Chronic Obstructive Pulmonary ...eprints.umm.ac.id/54053/3/BAB II.pdf · tadi (bronkitis kronik dan emfisema) dapat dimasukkan ke dalam kelompok penyakit

17

perawatan diri. Proses ini memberdayakan pasien sebagai klien yang dibimbing tentang

manajemen gejala dan pengurangan faktor resiko terhadap penyakitnya. Self management

juga artikan sebagai perawatan yang dilakuakn individu terhadap kesehatannya yang

terdiri dari tindakan yang mereka lakukan untuk melaksanakan gaya hidup sehat guna

memenuhi kebutuhan sosial, emosional dan psikologis mereka dan bertujuan untuk

mencegah penyakit semakin parah dengan mengurangi gejalanya (Eikelenboom, 2015).

Program self management dikembangakan untuk mendukung pasien dengan penyakit

kronis, salah satunya adalah penyakit COPD (Isnaini, 2018).

Perilaku self management dapat dilakukan dengan peningkatan pengetahuan dan

kemampuan yang cukup untuk melakukan pengontrolan terhadap penyakit,

pengelolaan gejala, pengobatan, konsekuensi fisik, psikososial dan perubahan gaya

hidup (Weiler & Janice, 2007, dikutip dalam Ernawati, 2015). Self management

melibatkan kolaborasi antara tenaga perawat profesional dan pasien, sehingga pasien

dapat memperoleh pengetahuan dan eterampilan yang diperlukan untuk mengelola

kesehatan dirinya dan mengingkatkan kontrol terhadap penyakit mereka (Jordan,

2015). Kepatuhan terhadap self management pada penyakit kronis sangat penting untuk

mencapai hasil peningkatan kesehatan, kualitas hidup, serta perawatan kesehatan yang

hemat biaya (Hamine, 2015). Penerapan self management yang baik dapat menurunkan

risiko terjadinya komplikasi, mengurangi kejadian hospitalisasi dan angka kematian

akibat penyakit kronik (Mayberry, & Osborn, 2012 dalam Damayanti, 2014).

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Chronic Obstructive Pulmonary ...eprints.umm.ac.id/54053/3/BAB II.pdf · tadi (bronkitis kronik dan emfisema) dapat dimasukkan ke dalam kelompok penyakit

18

Kemampuan manajemen diri diperlukan untuk mengelola kesejahteraan fisik

dan sosial agar tercapai, terpelihara, dan terpulihkan saat hilang. Enam kemampuan

manajemen diri diperlukan untuk membentuk gabungan dari kemampuan manajemen

diri atau self management ability. Enam kemampuan itu adalah :

1. Kemampuan untuk memastikan sumber daya multifungsi (kemampuan untuk

mendapatkan dan memelihara sumber daya)

2. Kemampuan untuk mempertahankan variasi dalam sumber daya (kemampuan

untuk mencapai dan mempertahankan berbagai macam sumber daya)

3. Kemampuan untuk menjaga kerangka berpikir positif (kemampuan

mempertahankan prespektif tentang masa depan)

4. Kemampuan untuk berinvestasi dalam sumber daya untuk manfaat jangka

panjang

5. Kemampuan memanfatkan sumber daya terhadap diri sendiri (kemampuan

untuk mendapatkan dan mempertahankan kepercayaan pada kompetensi

pribadi untuk mencapai kesajahtaraan)

6. Kemampuan untuk mengambil inisiatif (kemampuan untuk memotivasi diri

sendiri)

2.2.2 Faktor yang Mempengaruhi Self Management

Faktor-faktor yang mempengaruhi self management pada pasien penyakit kronis

diantaranya adalah :

1. Personal atau karakteristik gaya hidup

Pada faktor personal atau karakteristik gaya hidup yang mempengaruhi

manajemen diri termasuk ; pengetahuan, kepercayaan (budaya, spiritual dan

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Chronic Obstructive Pulmonary ...eprints.umm.ac.id/54053/3/BAB II.pdf · tadi (bronkitis kronik dan emfisema) dapat dimasukkan ke dalam kelompok penyakit

19

kesehatan), tekanan psikologis, motivasi dan pola hidup (Schulman‐Green

2016)

a. Pengetahuan

Pengetahuan tentang proses penyakit, peran obat–obatan dan

rencana pengobatan mereka untuk keberhasilan dalam kemampuan

mengelola diri sendiri adalah penting. Yang paling penting pasien perlu

tau bagaimana cara menerapkan pengetahuan manajemen diri untuk

kehidupan mereka (Schulman‐Green 2016). Dalam penelelitian

Dwarswaard (2016) menyetakan bahwa pasien mebutuhkan informasi

dari seorang ahli tentang diagnosis, gejala, pemilahan pengobatan serta

instruksi tentang cara mengurangi gejala penyakitnya sendiri.

Dukungan instrumental yang berisi pengetahuan, informasi dan

instruksi harus segera tersedia setelah gejala timbul atau ketika ada

masalah terkait obat-obatan. Beberapa studi juga menunjukkan bahwa

informasi yang diberikan oleh kerabat adalah sebuah hal yang penting.

b. Keyakinan (budaya, spiritual dan kesehatan)

Keyakinan dan tradisi budaya yang dianut jika mengalami ketidak

sesuain antara keyakinan budaya dan praktek manajemen diri, maka

dapat mempengaruhi manajemen diri pada pasien penyakit kronis

(Schulman‐Green 2016).

Keyakinan spiritual pada pasien penyakit kronis dapat berdampak

positif dan negatif pada chronic disease self management. Dampak postifnya

mereka dapat menerima perubahan yang dihsilkan hidup, selain itu do’a

dan keyakinan spiritual individu dapat menimbulkan rasa percaya diri

dalam manajemen diri. Sedangkan dampak negatifnya yang disebut

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Chronic Obstructive Pulmonary ...eprints.umm.ac.id/54053/3/BAB II.pdf · tadi (bronkitis kronik dan emfisema) dapat dimasukkan ke dalam kelompok penyakit

20

sebagai potensi untuk manajemen diri misalnya, keyakinan spiritual

tentang penyebab penyakit bisa mempengaruhi pilihan individu

mengenai pilihan untuk melakukan pengobatan atau tidak (Schulman‐

Green 2016).

Keyakinan kesehatan yang bisa sebagai fasilitator dan hambatan

untuk manajemen diri. Kontrol atas penyakit dan gejala di

identifikasikan sebagai fasilitator penting dari manajemen diri.

Keyakinan negatif terhadap manajemen diri, seperti percaya bahwa

manajemen diri atau pengobatan dapat memakan waktu, dapat

mengurangi rasa nyaman pasien, membutuhkan kerja keras (Schulman‐

Green 2016).

c. Tekanan psikologis

Tekanan psikologis pasien dapat mempengaruhi manajemen diri

mereka. Seperti stress, tekanan dan peran ganda, ketakutan, kecemasan

dan gangguan mood (Schulman‐Green 2016).

d. Motivasi

Motivasi dan ketekunan dapat mempengaruhi ketekunan dengan

upaya manajemen diri (Schulman‐Green 2016).

e. Pola hidup

Hidup yang tidak terstruktur dapat menghambat kemampuan

untuk memelihara rutinitas perawatan kesehatan (Schulman‐Green

2016).

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Chronic Obstructive Pulmonary ...eprints.umm.ac.id/54053/3/BAB II.pdf · tadi (bronkitis kronik dan emfisema) dapat dimasukkan ke dalam kelompok penyakit

21

2. Sumber daya

Sumber daya yang dapat mempengaruhi manajemen diri adalah

keuangan, peralatan dan dukungan sosial (Schulman‐Green 2016).

Ketidakmauan pasien untuk mengatasi dampak dari penyakit dapat

disebabkan oleh ketidakpercayaaan diri yang dialami pasien, oleh karena itu

beberapa studi menunjukkan bahwa pasien perlu seorang untuk membantu

mereka membangun kepercayaan diri (Dwarswaard 2016).

3. Status kesehatan

Status kesehatan yang berpengaruh pada manajemen diri adalah tingkat

keparahan penyakit, gejala, efek samping dari pengobatan, dan fungsi

kognitif (Schulman‐Green 2016). Faktor psikososial pada pasien seperti

keparahan yang dirasakan pada gejala rasa takut akan gejala yang semakin

memburuk atau belum secara pulih mental atau fisik dapat mempengaruhi

pasien dalam mengikuti program manajemen diri (Sohanpal 2016).

4. Karakteristik lingkungan

Yang termasuk dalam karakteristik lingkungan yang mempengaruhi

manajemen diri pasien adalah kondisi rumah, pekerjaan yang dilakukan

pasien, serta masyarakat sekitar pasien juga berpengaruh dalam manajemen

diri pasien (Schulman‐Green 2016).

5. Sistem kesehatan

Akses menuju lokasi perawatan kesehatan, kemampuan untuk

menjalankan sistem perawatan kesehatan dan menjamin kelangsungan

perawatan, selain itu hubungan dengan penyedia layanan kesehtan juga

dibutuhkan ketika pasien bingung dan bertanya-tanya apa yang harus

mereka lakukan maka hubungan dengan penyedia layanan kesehatan dapat

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Chronic Obstructive Pulmonary ...eprints.umm.ac.id/54053/3/BAB II.pdf · tadi (bronkitis kronik dan emfisema) dapat dimasukkan ke dalam kelompok penyakit

22

dimanfaatkan sehingga mempengaruhi manajemen diri pasien (Schulman‐

Green 2016). Dukungan relasional yang berisi tentang hubungan pasien

dengan profesional kesehtan dapat diperlakuakan sebagai seseorang yang

membantu mereka untuk fokus pada kebutuhan mereka sendiri. Beberapa

studi juga menunjukkan pasien ingin membangun kemitraan dengan

peneyedia layanan kesehatan dengan tujuan untuk mendapatkan dukungan

dalam mengelola penyakit mereka (Dwarswaard 2016).

Sedangkan menurut Wu et .al, 2006 dikuttip dalam Ernawati, (2016) Self

management dipengaruhi oleh motivasi yang ada pada diri pasien, selain itu menurut

Gao, et.al, 2013; Ariani, 2011 dalam Ernawati, (2016) health belief, self efficacy, dan

dukungan sosial juga mempengaruhi self management pasien dan faktor pengetahuan juga

dapat mempengaruhi self management pasien (Kose & Gurkan, 2008 dikutip dalam

Ernawati, 2016).

2.2.3 Self management pada Pasien COPD

Pedoman internasional untuk mengelola penyakit COPD menggunakan

program self management sebagai bagian penting dari pengobatan COPD. Dukungan self

management pada pasien adalah komponen yang diakui, dan telah menerima perhatian

yang meningkat dalam beberapa tahun terakhir di bidang COPD (Benzo, 2016).

Program self management untuk pasien COPD didefinisikan sebagai pendekatan yang

mendorong individu untuk membuat perubahan perilaku yang meningkatkan aspek

sosial, emosional, kesehatan fisik mereka dan dengan hasil utama adalah peningkatan

fungsi dan kualitas hidup (Cannon, 2016).

Self management pada pasien dengan COPD adalah sesuatu yang kompleks. Hal

ini mengharuskan pasien untuk dapat melakukan pengelolaan dalam berbagai segi dari

kondisi mereka setiap hari, termasuk dalam memahami dan memilih obat yang tepat

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Chronic Obstructive Pulmonary ...eprints.umm.ac.id/54053/3/BAB II.pdf · tadi (bronkitis kronik dan emfisema) dapat dimasukkan ke dalam kelompok penyakit

23

dengan teknik inhalasi yang benar, mengenali gejala eksaserbasi awal serta dorongan awal

untuk pengobatan selama eksaserbasi. Sebuah survei yang dilakukan di Kanada pada

tahun 2008 menyatakan bahwa meskipun pasien merasakan pengetahuan mereka

tentang penyakit COPD itu baik, namun pada kenyataannya pengetahuan mereka

tentang penyebab COPD, konsekuensi dari tidak mengikuti pengobatan, dan

bagaimana cara mengatasi masa eksaserbasi bisa dibilang tidak memadai (Jordan, 2015).

2.3 Kualitas Hidup

1.3.1 Definisi Kualitas hidup menurut WHO adalah suatu presepsi seseorang tentang

keberadaannya dikehidupan dalam konteks budaya dan sistem nilai setempat dimana

dia tinggal. Jadi dalam skala yang luas meliputi berbagai sisi kehidupan seseorang baik

dari segi fisik, psikologis, kepercayaan pribadi, serta hubungan sosial untuk berinteraksi

dengan lingkungan sekitarnya (Sulistyarini, 2013). Kualitas hidup merupakan suatu

persepsi individu tentang posisinya dalam kehidupan yang berhubungan dengan cita-

cita, pengharapan dan pandangan-pandangannya (Azizah, Baroya & Sandra 2016

dikutip dalam Sari, 2018). Kualitas hidup merupakan sesuatu yang bersifat

subyektivitas dan multidimensi. Subyektivitas, mengandung arti bahwa kualitas hidup

hanya dapat ditentukan dari sudut pandang pasien itu sendiri, sedangkan multidimensi

bermakna bahwa kualitas hidup dipandang dari seluruh aspek kehidupan seseorang

secara holistik meliputi aspek biologis, fisik, psikologis, sosiokultural dan spiritual

(Rahman, 2016). Kualitas hidup adalah indikator penting untuk menilai keberhasilan

intervensi pelayanan kesehatan, baik dari segi pencegahan maupun pengobatan.

Kualitas hidup tidak hanya mencakup domain fisik, tetapi juga kinerja dalam

memainkan peran sosial, keadaan emosional, fungsi intelektual dan kognitifserta

perasaan sehat dan kepuasan hidup (WHO, 2004 dikutip dalam Alfian, 2017).

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Chronic Obstructive Pulmonary ...eprints.umm.ac.id/54053/3/BAB II.pdf · tadi (bronkitis kronik dan emfisema) dapat dimasukkan ke dalam kelompok penyakit

24

Pengingkatan kualitas hidup pada pasien tidak dapat jika hanya dilakukan

melalui proses penyembuhan secara fisik, hal yang paling utama untuk dilakukan adalah

meningkatkkan pemahaman pasien tentang penyakitnya, cara menangani penyakitnya

dan merubah orientasi pemikiran pasien (Superkertia, 2016). Kualitas hidup

merupakan salah satu hal yang penting untuk diperhatikan karena menurut konstitusi

WHO tahun 1948, kesehatan meliputi kesehatan fisik, mental, serta sosial secara

keseluruhan. Pengukuran kesehatan serta perawatan kesehatan tidak hanya ditunjukkan

oleh perubahan frekuensi dan beratnya penyakit, melainkan juga harus meliputi

kenyamanan hidup yang dapat dinilai melalui peningkatan kualitas hidup (Pangkahila,

2007 dikutip dalam Azizah, 2016). Kualitas hidup yang terkait dengan kesehatan (health

related quality of life/HRQOL) meliputi aspek fisik, psikologis, dan social, dari bidang

kesehatan yang dipengaruhi oleh pengalaman pribadi seseorang kepercayaan, harapan

serta persepsi (WHOQOL Group, 1998 dikutip dalam Sulistyarini, 2013).

2.3.2 Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup

Kualitas hidup dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah sosio

demografi yaitu jenis kelamin, usia, suku / etnik, pendidikan, pekerjaan dan status

perkawinan. Kedua adalah medik yaitu lama menjalani hemodialisis, stadium penyakit,

dan penatalaksanaan medis yang dijalani (Rahman, 2016). Penelitian Yuliaw, 2010

dalam Sagala, (2018) menemukan bahwa karakteristik individu yang terdiri dari

pendidikan, pengetahuan, umur dan jenis kelamin merupakan faktor yang

mempengaruhi kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik. Yuliaw, 2010 dalam Sagala,

(2018) juga menyatakan dalam penelitiannya bahwa beberapa peneliti lain juga

menemukan bahwa faktor yang mempengaruhi kualitas kehidupan secara signifikan

adalah pendidikan, ras, dan status perkawinan. Kualitas hidup pasien dengan COPD

memiliki sejumlah faktor penyebab, seperti merokok, gejal penyakit (sesak nafas, batuk

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Chronic Obstructive Pulmonary ...eprints.umm.ac.id/54053/3/BAB II.pdf · tadi (bronkitis kronik dan emfisema) dapat dimasukkan ke dalam kelompok penyakit

25

dan penurunan berat badan), disfungsi pernafasan, keparahan penyakit kecemasan dan

depresi (Irianti, 2018).

2.3.3 Kualitas Hidup pada Pasien COPD

Penyakit COPD dapat menggangu gaya hidup pasien yang menyebabkan

keterbatasan fisik, fungsional, sosial dan emosional yang dapat menurunkan kualitas

hidup pasien (Gunathunga, 2018). COPD juga menyebabkan sejumlah gejala yang

melumpuhkan sehingga, kualitas hidup pasien COPD menunjukkkan penurunan dari

waktu ke waktu (Rixon, 2017). Tujuan utama dari manajemen penyakit COPD adalah

untuk meningktakan kualitas hidup pasien COPD (Tiemensma, 2016).

COPD merupakan salah satu penyebab gangguan pernafasan yang semakin

sering dijumpai. Salah satu dampak negatif COPD adalah penurunan kualitas hidup

pasiennya. Hal ini dikarenakan COPD atau penyakit paru kronik, progresif

nonreversibel. Salah satu gejala COPD yaitu sesak nafas, akibat sesak nafas yang sering

terjadi penderita menjadi panik, cemas dan frustasi sehingga penderita mengurangi

aktifitas untuk menghindari sesak nafas yang menyebabkan penderita tidak aktif.

Penderita akan jatuh dalam dekondisi fisik yaitu keadaan merugikan akibat aktifitas

yang rendah dan dapat mempengaruhi sistem muskuloskletal, respirasi, kardiovaskular

dan lainnya. Kemampuan penderita untuk aktivitas fisik juga menurun. Keadaan ini

menyebabkan kapasitas fungsional menjadi menurun sehingga kualitas hidup juga

menurun. Penderita PPOK juga sering mengalami COPD eksaserbasi akut yang akan

memperburuk keadaan penderitanya (Restuastuti, 2015).