askep emfisema

28
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banyak penyakit yang dikaitkan secara langsung dengan kebiasaan merokok. Salah satu yang harus diwaspadai adalah Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) / Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD). Angka kesakitan penderita PPOK laki-laki mencapai 4%, angka kematian mencapai 6% dan angka kesakitan wanita 2% angka kematian 4%, umur di atas 45 tahun, (Barnes, 1997). Pada tahun 1976 ditemukan 1,5 juta kasus baru, dan tahun 1977 jumlah kematian oleh karena PPOK sebanyak 45.000, termasuk penyebab kematian di urutan kelima (Tockman MS., 1985). Menurut National Health Interview Survey, didapatkan sebanyak 2,5 juta penderita emfisema, tahun 1986 di Amerika Serikat didapatkan 13,4 juta penderita, dan 30% lebih memerlukan rawat tinggal di rumah sakit. The Tecumseh Community Health Study menemukan 66.100 kematian oleh karena PPOK, merupakan 3% dari seluruh kematian, serta urutan kelima kematian di Amerika (Muray F.J.,1988). Peneliti lain menyatakan, PPOK merupakan penyebab kematian ke-5 di Amerika dengan angka kematian sebesar 3,6%, 90% terjadi pada usia di atas 55 tahun (Redline S, 1991 dikutip dari Amin 1966). Pada tahun 1992 Thoracic Society of the Republic of China (ROC) menemukan 16% penderita PPOK berumur di atas 40 tahun, pada tahun 1994

Upload: operator-warnet-vast-raha

Post on 24-Jul-2015

1.286 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Banyak penyakit yang dikaitkan secara langsung dengan kebiasaan merokok. Salah satu

yang harus diwaspadai adalah Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) / Chronic Obstructive

Pulmonary Disease (COPD).

Angka kesakitan penderita PPOK laki-laki mencapai 4%, angka kematian mencapai 6%

dan angka kesakitan wanita 2% angka kematian 4%, umur di atas 45 tahun, (Barnes, 1997). Pada

tahun 1976 ditemukan 1,5 juta kasus baru, dan tahun 1977 jumlah kematian oleh karena PPOK

sebanyak 45.000, termasuk penyebab kematian di urutan kelima (Tockman MS., 1985). Menurut

National Health Interview Survey, didapatkan sebanyak 2,5 juta penderita emfisema, tahun 1986

di Amerika Serikat didapatkan 13,4 juta penderita, dan 30% lebih memerlukan rawat tinggal di

rumah sakit. The Tecumseh Community Health Study menemukan 66.100 kematian oleh karena

PPOK, merupakan 3% dari seluruh kematian, serta urutan kelima kematian di Amerika (Muray

F.J.,1988). Peneliti lain menyatakan, PPOK merupakan penyebab kematian ke-5 di Amerika

dengan angka kematian sebesar 3,6%, 90% terjadi pada usia di atas 55 tahun (Redline S, 1991

dikutip dari Amin 1966). Pada tahun 1992 Thoracic Society of the Republic of China (ROC)

menemukan 16% penderita PPOK berumur di atas 40 tahun, pada tahun 1994 menemukan kasus

kematian 16,6% per 100.000 populasi serta menduduki peringkat ke-6 kematian di Taiwan

(Perng, 1996 dari Parsuhip, 1998).

Di Indonesia tidak ditemukan data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Survei

Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) DEPKES RI 1992 menemukan angka kematian emfisema,

bronkitis kronik dan asma menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian di

Indonesia (Hadiarto, 1998). Survey Penderita PPOK di 17 Puskesmas Jawa Timur ditemukan

angka kesakitan 13,5%, emfisema paru 13,1%, bronkitis kronik 7,7% dan asma 7,7% (Aji

Widjaja 1993). Pada tahun 1997 penderita PPOK yang rawat Inap di RSUP Persahabatan

sebanyak 124 (39,7%), sedangkan rawat jalan sebanyak 1837 atau 18,95% (Hadiarto, 1998). Di

RSUD Dr. Moewardi Surakarta tahun 2003 ditemukan penderita PPOK rawat inap sebanyak 444

(15%), dan rawat jalan 2368 (14%).

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, angka kematian PPOK tahun 2010

diperkirakan menduduki peringkat ke-4 bahkan dekade mendatang menjadi peringkat ke-

Semakin banyak jumlah batang rokok yang dihisap dan makin lama masa waktu menjadi

perokok, semakin besar risiko dapat mengalami PPOK.

Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menemukan peningkatan konsumsi rokok tahun

1970-1993 sebesar 193% atau menduduki peringkat ke-7 dunia dan menjadi ancaman bagi para

perokok remaja yang mencapai 12,8- 27,7%. Saat ini Indonesia menjadi salah satu produsen dan

konsumen rokok tembakau serta menduduki urutan kelima setelah negara dengan konsumsi

rokok terbanyak di dunia, yaitu China mengkonsumsi 1.643 miliar batang rokok per tahun,

Amerika Serikat 451 miliar batang setahun, Jepang 328 miliar batang setahun, Rusia 258 miliar

batang setahun, dan Indonesia 215 miliar batang rokok setahun. Kondisi ini memerlukan

perhatian semua fihak khususnya yang peduli terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.

Atas dasar itulah, kami membahas lebih lanjut mengenai emfisema yang merupakan salah satu

bagian dari PPOK khususnya mengenai Asuhan Keperawatan pada Klien Emfisema. Sehingga

diharapkan perawat mampu memberikan asuhan keperawatan yang tepat pada klien emfisema.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep teori dari emfisema?

2. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan emfisema?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pada klien dengan emfisema.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui dan memahami definisi emfisema.

2. Mengetahui dan memahami etiologi emfisema.

3. Mengetahui dan memahami patofisiologi emfisema.

4. Mengetahui dan memahami manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada klien dengan

emfisema.

5. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan klien dengan emfisema.

6. Mengetahui dan memahami WOC dari emfisema.

7. Mengetahui dan memahami komplikasi dari emfisema.

8. Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pasien dengan emfisema.

1.4 Manfaat

Mahasiswa mampu membuat perencanaan asuhan keperawatan pada kasus emfisema.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Emfisema

Emphysema (emfisema) adalah penyakit paru kronis yang dicirikan oleh kerusakan pada

jaringan paru, sehingga paru kehilangan keelastisannya. Gejala utamanya adalah

penyempitan(obstruksi) saluran napas, karena kantung udara di paru menggelembung secara

berlebihan dan mengalami kerusakan yang luas.

Definisi emfisema menurut Kus Irianto, Robbins, Corwin, dan The American Thorack society:

1. Emfisema merupakan keadaan dimana alveoli menjadi kaku mengembang dan terus menerus

terisi udara walaupun setelah ekspirasi.(Kus Irianto.2004.216).

2. Emfisema merupakan morfologik didefisiensi sebagai pembesaran abnormal ruang-ruang

udara distal dari bronkiolus terminal dengan desruksi dindingnya.(Robbins.1994.253).

3. Emfisema adalah penyakit obtruktif kronik akibat kurangnya elastisitas paru dan luas

permukaan alveoli.(Corwin.2000.435).

4. Suatu perubahan anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran

udara bagian distal bronkus terminal, yang disertai kerusakan dinding alveolus. (The American

Thorack society 1962).

Emfisema merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai oleh pelebaran

ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi jaringan. Sesuai dengan definisi tersebut, maka

dapat dikatakan bahwa, jika ditemukan kelainan berupa pelebaran ruang udara (alveolus) tanpa

disertai adanya destruksi jaringan, maka itu “bukan termasuk emfisema”. Namun, keadaan

tersebut hanya sebagai ‘overinflation’.

Emfisema adalah jenis penyakit paru obstruktif kronik yang melibatkan kerusakan pada

kantung udara (alveoli) di paru-paru. Akibatnya, tubuh tidak mendapatkan oksigen yang

diperlukan. Emfisema membuat penderita sulit bernafas. Penderita mengalami batuk kronis dan

sesak napas. Penyebab paling umum adalah merokok.

Emfisema disebabkan karena hilangnya elastisitas alveolus. Alveolus sendiri adalah

gelembung-gelembung yang terdapat dalam paru-paru. Pada penderita emfisema, volume paru-

paru lebih besar dibandingkan dengan orang yang sehat karena karbondioksida yang seharusnya

dikeluarkan dari paru-paru terperangkap didalamnya. Asap rokok dan kekurangan enzim alfa-1-

antitripsin adalah penyebab kehilangan elastisitas pada paru-paru ini

Terdapat 3 (tiga) jenis emfisema utama, yang diklasifikasikan berdasarkan perubahan yang terjadi dalam paru-paru :

1. PLE (Panlobular Emphysema/panacinar)

Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan umumnya juga merusak paru-paru bagian

bawah. Terjadi kerusakan bronkus pernapasan, duktus alveolar, dan alveoli. Merupakan bentuk

morfologik yang lebih jarang, dimana alveolus yang terletak distal dari bronkhiolus terminalis

mengalami pembesaran serta kerusakan secara merata. PLE ini mempunyai gambaran khas yaitu

tersebar merata diseluruh paru-paru. PLE juga ditemukan pada sekelompok kecil penderita

emfisema primer, Tetapi dapat juga dikaitkan dengan emfisema akibat usia tua dan bronchitis

kronik.

Penyebab emfisema primer ini tidak diketahui, tetapi telah diketahui adanya devisiensi

enzim alfa 1-antitripsin.Alfa-antitripsin adalah anti protease. Diperkirakan alfa-antitripsin sangat

penting untuk perlindungan terhadap protease yang terbentuk secara alami (Cherniack dan

cherniack, 1983). Semua ruang udara di dalam lobus sedikit banyak membesar, dengan sedikit

penyakit inflamasi. Ciri khasnya yaitu memiliki dada yang hiperinflasi dan ditandai oleh dispnea

saat aktivitas, dan penurunan berat badan. Tipe ini sering disebut centriacinar emfisema, sering

kali timbul pada perokok.

2. CLE (Sentrilobular Emphysema/sentroacinar)

Perubahan patologi terutama terjadi pada pusat lobus sekunder, dan perifer dari asinus

tetap baik. Merupakan tipe yang sering muncul dan memperlihatkan kerusakan bronkhiolus,

biasanya pada daerah paru-paru atas. Inflamasi merambah sampai bronkhiolus tetapi biasanya

kantung alveolus tetap bersisa. CLE ini secara selektif hanya menyerang bagian bronkhiolus

respiratorius. Dinding-dinding mulai berlubang, membesar, bergabung dan akhirnya cenderung

menjadi satu ruang.

Penyakit ini sering kali lebih berat menyerang bagian atas paru-paru, tapi cenderung

menyebar tidak merata. Seringkali terjadi kekacauan rasio perfusi-ventilasi, yang menimbulkan

hipoksia, hiperkapnia (peningkatan CO2 dalam darah arteri), polisitemia, dan episode gagal

jantung sebelah kanan. Kondisi mengarah pada sianosis, edema perifer, dan gagal napas. CLE

lebih banyak ditemukan pada pria, dan jarang ditemukan pada mereka yang tidak merokok

(Sylvia A. Price 1995).

3. Emfisema Paraseptal

Merusak alveoli lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi blebs (udara dalam

alveoli) sepanjang perifer paru-paru. Paraseptal emfisema dipercaya sebagai sebab dari

pneumotorak spontan.

PLE dan CLE sering kali ditandai dengan adanya bula tetapi dapat juga tidak. Biasanya

bula timbul akibat adanya penyumbatan katup pengatur bronkiolus. Pada waktu inspirasi lumen

bronkiolus melebar sehingga udara dapat melewati penyumbatan akibat penebalan mukosa dan

banyaknya mukus. Tetapi sewaktu ekspirasi, lumen bronkiolus tersebut kembali menyempit,

sehingga sumbatan dapat menghalangi keluarnya udara.

2.2 Etiologi

1. Faktor Genetik

Faktor genetik mempunyai peran pada penyakit emfisema. Faktor genetik diataranya

adalah atopi yang ditandai dengan adanya eosinifilia atau peningkatan kadar imonoglobulin E

(IgE) serum, adanya hiper responsive bronkus, riwayat penyakit obstruksi paru pada keluarga,

dan defisiensi protein alfa – 1 anti tripsin.

2. Hipotesis Elastase-Anti Elastase

Didalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan anti elastase

supaya tidak terjadi kerusakan jaringan.Perubahan keseimbangan menimbulkan jaringan elastik

paru rusak. Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema.

3. Rokok

Rokok adalah penyebab utama timbulnya emfisema paru. Rokok secara patologis dapat

menyebabkan gangguan pergerakan silia pada jalan nafas, menghambat fungsi makrofag

alveolar, menyebabkan hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus bronkus dan metaplasia epitel

skuamus saluran pernapasan.

4. Infeksi

Infeksi saluran nafas akan menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejalanya

lebih berat. Penyakit infeksi saluran nafas seperti pneumonia, bronkiolitis akut dan asma

bronkiale, dapat mengarah pada obstruksi jalan nafas, yang pada akhirnya dapat menyebabkan

terjadinya emfisema. Infeksi pernapasan bagian atas pasien bronkitis kronik selalu menyebabkan

infeksi paru bagian dalam, serta menyebabkan kerusakan paru bertambah. Bakteri yang di isolasi

paling banyak adalah haemophilus influenzae dan streptococcus pneumoniae.

5. Polusi

Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan emfisema. Insiden dan angka

kematian emfisema bisa dikatakan selalu lebih tinggi di daerah yang padat industrialisasi, polusi

udara seperti halnya asap tembakau, dapat menyebabkan gangguan pada silia menghambat

fungsi makrofag alveolar. Sebagai faktor penyebab penyakit, polusi tidak begitu besar

pengaruhnya tetapi bila ditambah merokok resiko akan lebih tinggi.

6. Faktor Sosial Ekonomi

Emfisema lebih banyak didapat pada golongan sosial ekonomi rendah, mungkin kerena

perbedaan pola merokok, selain itu mungkin disebabkan faktor lingkungan dan ekonomi yang

lebih jelek.

7. Pengaruh usia

2.3 Patofisiologi

Emfisema merupakan kelainan di mana terjadi kerusakan pada dinding alveolus yang

akan menyebebkan overdistensi permanen ruang udara. Perjalanan udara akan tergangu akibat

dari perubahan ini. Kerja nafas meningkat dikarenakan terjadinya kekurangan fungsi jaringan

paru-paru untuk melakukan pertukaran O2 dan CO2. Kesulitan selama ekspirasi pada emfisema

merupakan akibat dari adanya destruksi dinding (septum) di antara alveoli, jalan nafas kolaps

sebagian, dan kehilangan elastisitas untuk mengerut atau recoil. Pada saat alveoli dan septum

kolaps, udara akan tertahan di antara ruang alveolus yang disebut blebs dan di antara parenkim

paru-paru yang disebut bullae. Proses ini akan menyebabkan peningkatan ventilatory pada ‘dead

space’ atau area yang tidak mengalami pertukaran gas atau darah. Emfisema juga menyebabkan

destruksi kapiler paru-paru, selanjutnya terjadi penurunan perfusi O2 dan penurunan ventilasi.

Emfisema masih dianggap normal jika sesuai dengan usia, tetapi jika hal ini timbul pada pasien

yang berusia muda biasanya berhubungan dengan bronkhitis dan merokok.

Penyempitan saluran nafas terjadi pada emfisema paru. Yaitu penyempitan saluran nafas

ini disebabkan elastisitas paru yang berkurang. Penyebab dari elastisitas yang berkurang yaitu

defiensi Alfa 1-anti tripsin. Dimana AAT merupakan suatu protein yang menetralkan enzim

proteolitik yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan paru. Dengan

demikian AAT dapat melindungi paru dari kerusakan jaringan pada enzim proteolitik. Didalam

paru terdapat keseimbangan paru antara enzim proteolitik elastase dan anti elastase supaya tidak

terjadi kerusakan. Perubahan keseimbangan menimbulkan kerusakan jaringan elastic paru.

Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema. Sumber elastase yang penting adalah

pankreas. Asap rokok, polusi, dan infeksi ini menyebabkan elastase bertambah banyak. Sedang

aktifitas system anti elastase menurun yaitu system alfa- 1 protease inhibator terutama enzim alfa

-1 anti tripsin (alfa -1 globulin). Akibatnya tidak ada lagi keseimbangan antara elastase dan anti

elastase dan akan terjadi kerusakan jaringan elastin paru dan menimbulkan emfisema. Sedangkan

pada paru-paru normal terjadi keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan paru keluar

yaitu yang disebabkan tekanan intra pleural dan otot-otot dinding dada dengan tekanan yang

menarik jaringan paru ke dalam yaitu elastisitas paru.

Pada orang normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan

paru akan berkurang sehingga saluran nafas bagian bawah paru akan tertutup. Pada pasien

emfisema saluran nafas tersebut akan lebih cepat dan lebih banyak yang tertutup. Cepatnya

saluran nafas menutup serta dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi

yang tidak seimbang. Tergantung pada kerusakannya dapat terjadi alveoli dengan ventilasi

kurang/tidak ada akan tetapi perfusi baik sehingga penyebaran udara pernafasan maupun aliran

darah ke alveoli tidak sama dan merata. Sehingga timbul hipoksia dan sesak nafas.

Emfisema paru merupakan suatu pengembangan paru disertai perobekan alveolus-

alveolus yang tidak dapat pulih, dapat bersifat menyeluruh atau terlokalisasi, mengenai sebagian

atau seluruh paru. Pengisian udara berlebihan dengan obstruksi terjadi akibat dari obstrusi

sebagian yang mengenai suatu bronkus atau bronkiolus dimana pengeluaran udara dari dalam

alveolus menjadi lebih sukar dari pemasukannya. Dalam keadaan demikian terjadi penimbunan

udara yang bertambah di sebelah distal dari alveolus.

2.4. Penyimpangan KDM

2.5 Komplikasi

Sering mengalami infeksi pada saluran pernafasan

Daya tahan tubuh kurang sempurna

Tingkat kerusakan paru semakin parah

Proses peradangan yang kronis pada saluran nafas

Pneumonia

Atelaktasis

Pneumothoraks

Meningkatkan resiko gagal nafas pada pasien.

Sering mengalami infeksi ulang pada saluran pernapasan

2.6 Manifestasi Klinis

Emfisema paru adalah suatu penyakit menahun, terjadi sedikit demi sedikit bertahun-

bertahun. Biasanya mulai pada pasien perokok berumur 15-25 tahun. Pada umur 25-35 tahun

mulai timbul perubahan pada saluran nafas kecil dan fungsi paru.Umur 35-45 tahun timbul batuk

yang produktif. Pada umur 45-55 tahun terjadi sesak nafas, hipoksemia dan perubahan

spirometri. Pada umur 55-60 tahun sudah ada kor-pulmonal, yang dapat menyebabkan kegagalan

nafas dan meninggal dunia.

2.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan emfisema paru terbagi atas:

1. Penyuluhan, Menerangkan pada para pasien hal-hal yang dapat memperberat penyakit, hal-hal

yang harus dihindarkan dan bagaimana cara pengobatan dengan baik.

2. Pencegahan

a. Rokok, merokok harus dihentikan meskipun sukar.Penyuluhan dan usaha yang optimal

harus dilakukan

b. Menghindari lingkungan polusi, sebaiknya dilakukan penyuluhan secara berkala pada

pekerja pabrik, terutama pada pabrik-pabrik yang mengeluarkan zat-zat polutan yang

berbahaya terhadap saluran nafas.

c. Vaksin, dianjurkan vaksinasi untuk mencegah eksaserbasi, terutama terhadap influenza

dan infeksi pneumokokus.

3.Terapi Farmakologi, tujuan utama adalah untuk mengurangi obstruksi jalan nafas yang masih

mempunyai komponen reversible meskipun sedikit. Hal ini dapat dilakukan dengan:

a. Pemberian Bronkodilator,

Golongan teofilin, biasanya diberikan dengan dosis 10-15 mg/kg BB per oral dengan

memperhatikan kadar teofilin dalam darah. Konsentrasi dalam darah yang baik antara 10-

15mg/L.

Golongan agonis B2, biasanya diberikan secara aerosol/nebuliser. Efek samping utama

adalah tremor,tetapi menghilang dengan pemberian agak lama.

b.Pemberian Kortikosteroid, pada beberapa pasien, pemberian kortikosteroid akan

berhasil mengurangi obstruksi saluran nafas. Hinshaw dan Murry menganjurkan untuk mencoba

pemberian kortikosteroid selama 3-4 minggu. Kalau tidak ada respon baru dihentikan.

c. Mengurangi sekresi mukus

Minum cukup, supaya tidak dehidrasi dan mukus lebih encer sehingga urine tetap kuning

pucat. Ekspektoran, yang sering digunakan ialah gliseril guaiakolat, kalium yodida, dan

amonium klorida. Nebulisasi dan humidifikasi dengan uap air menurunkan viskositas dan

mengencerkan sputum. Mukolitik dapat digunakan asetilsistein atau bromheksin.

4. Fisioterapi dan Rehabilitasi, tujuan fisioterapi dan rehabilitasi adalah meningkatkan kapasitas

fungsional dan kualitas hidup dan memenuhi kebutuhan pasien dari segi social, emosional dan

vokasional. Program fisioterapi yang dilaksanakan berguna untuk :

a. Mengeluarkan mukus dari saluran nafas.

b. Memperbaiki efisiensi ventilasi.

c. Memperbaiki dan meningkatkan kekuatan fisis

5.Pemberian O2 dalam jangka panjang, akan memperbaiki emfisema disertai kenaikan toleransi

latihan. Biasanya diberikan pada pasien hipoksia yang timbul pada waktu tidur atau waktu

latihan. Menurut Make, pemberian O2 selama 19 jam/hari akan mempunyai hasil lebih baik dari

pada pemberian 12 jam/hari.

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksan radiologis, pemeriksaan foto dada sangat membantu dalam menegakkan diagnosis

dan menyingkirkan penyakit-penyakit lain. Foto dada pada emfisema paru terdapat dua bentuk

kelainan, yaitu:

a. Gambaran defisiensi arter

Overinflasi, terlihat diafragma yang rendah dan datar,kadang-kadang terlihat konkaf.

Oligoemia, penyempitan pembuluh darah pulmonal dan penambahan corakan kedistal.

b. Corakan paru yang bertambah, sering terdapat pada kor pulmonal, emfisema

sentrilobular dan blue bloaters. Overinflasi tidak begitu hebat.

2. Pemeriksaan fungsi paru, pada emfisema paru kapasitas difusi menurun karena permukaan

alveoli untuk difusi berkurang.

3. Analisis Gas DarahVentilasi, yang hampir adekuat masih sering dapat dipertahankan oleh

pasien emvisema paru. Sehingga PaCO2 rendah atau normal.Saturasi hemoglobin pasien hampir

mencukupi.

4. Pemeriksaan EKG, Kelainan EKG yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila

sudah terdapat kor pulmonal terdapat defiasi aksis ke kanan dan P-pulmonal pada hantaran II, III,

dan aVF.Voltase QRS rendah.Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan di V6 rasio R/S kurang dari 1.

a) Sinar x dada: dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru; mendatarnya diafragma;

peningkatan area udara retrosternal; penurunan tanda vaskularisasi/bula (emfisema); peningkatan

tanda bronkovaskuler (bronkitis), hasil normal selama periode remisi (asma).

b) Tes fungsi paru: dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea, untuk menentukan

apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat disfungsi

dan untuk mengevaluasi efek terapi, misalnya bronkodilator.

c) TLC: peningkatan pada luasnya bronkitis dan kadang-kadang pada asma; penurunan

emfisema.

d) Kapasitas inspirasi: menurun pada emfisema.

e) Volume residu: meningkat pada emfisema, bronkitis kronis, dan asma.

f) FEV1/FVC: rasio volume ekspirasi kuat dengan kapasitas vital kuat menurun pada

bronkitis dan asma.

g) GDA: memperkirakan progresi proses penyakit kronis. Bronkogram: dapat

menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, kollaps bronkial pada ekspirasi kuat

(emfisema); pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada bronchitis.

h) JDL dan diferensial: hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan eosinofil (asma).

i) Kimia darah: Alfa 1-antitripsin dilakukan untuk meyakinkan defisiensi dan diagnosa emfisema primer.

j)Sputum: kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen;

pemeriksaan sitolitik untuk mengetahui keganasan atau gangguan alergi.

k) EKG: deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma berat); disritmia atrial (bronkitis),

peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF (bronkitis, emfisema); aksis vertikal QRS

(emfisema).

l) EKG latihan, tes stres: membantu dalam mengkaji derajat disfungsi paru, mengevaluasi

keefektifan terapi bronkodilator, perencanaan/evaluasi program latihan.

BAB III

KONSEP ASKEP

3.1.Pengkajian

1. Aktivitas/Istirahat

Gejala :

Keletihan, kelelahan, malaise

Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit bernapas

Ketidakmampuan untuk tidur, perlu tidur dalam posisi duduk tinggi

Dispnea pada saat istirahat atau respons terhadap aktivitas atau latihan

Tanda :

Keletihan, gelisah, insomnia

Kelemahan umum/kehilangan massa otot

Sirkulasi

Gejala :

pembengkakan pada ekstremitas bawah

Tanda :

Peningkatan tekanan darah, peningkatan frekuensi jantung/takikardia berat, disritmia,

distensi vena leher

Edema dependen, tidak berhubungan dengan penyakit jantung

Bunyi jantung redup (yang berhubungan dengan peningkatan diameter AP dada)

Warna kulit/membran mukosa: normal atau abu-abu/sianosis

Pucat dapat menunjukkan anemia

3. Makanan/Cairan

Gejala :

Mual/muntah, nafsu makan buruk/anoreksia (emfisema)

Ketidakmampuan untuk makan karena distres pernapasan

Penurunan berat badan menetap (emfisema), peningkatan berat badan menunjukkan

edema (bronkitis)

Tanda :

Turgor kulit buruk, edema dependen

Berkeringat, penuruna berat badan, penurunan massa otot/lemak subkutan (emfisema)

Palpitasi abdominal dapat menyebabkan hepatomegali (bronkitis)

4.Hygiene

Gejala :

Penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuan melakukan aktivitas sehari-hari

Tanda :

Kebersihan, buruk, bau badan

5. Pernafasan

Gejala :

Nafas pendek (timbulnya tersembunyi dengan dispnea sebagai gejala menonjol pada

emfisema) khususnya pada kerja, cuaca atau episode berulangnya sulit nafas (asma), rasa

dada tertekan, ketidakmampuan untuk bernafas (asma)

“Lapar udara” kronis

Bentuk menetap dengan produksi sputum setiap hari (terutama pada saat bangun) selama

minimum 3 bulan berturut-turut tiap tahun sedikitnya 2 tahun. Produksi sputum (hijau,

putih dan kuning) dapat banyak sekali (bronkitis kronis)

Episode batuk hilang timbul biasanya tidak produktif pada tahap dini meskipun dapat

terjadi produktif (emfisema)

Riwayat pneumonia berulang: terpajan pada polusi kimia/iritan pernafasan dalam jangka

panjang (mis., rokok sigaret) atau debu/asap (mis., abses, debu atau batu bara, serbuk

gergaji)

Faktor keluarga dan keturunan, mis., defisiensi alfa-anti tripsin (emfisema)

Penggunaan oksigen pada malam hari atau terus menerus

Tanda :

Pernafasan: biasanya cepat, dapat lambat, penggunaan otot bantu pernapasan

Dada: hiperinflasi dengan peninggian diameter AP, gerakan diafragma minimal

Bunyi nafas: mungkin redup dengan ekspirasi mengi (emfisema); menyebar, lembut atau

krekels, ronki, mengi sepanjang area paru.

Perkusi: hiperesonan pada area paru

Warna: pucat dengan sianosis bibir dan dasar kuku.

6. Keamanan

Gejala :

Riwayat reaksi alergi atau sensitif terhadap zat/faktor lingkungan

Adanya/berulangnya infeksi

Kemerahan/berkeringat (asma)

7. Seksualitas

Gejala :

Penurunan libido

9. Interaksi sosial

Gejala :

Hubungan ketergantungan, kurang sistem pendukung, ketidak mampuan

membaik/penyakit lama

Tanda :

Ketidakmampuan untuk/membuat mempertahankan suara pernafasan

Keterbatasan mobilitas fisik, kelainan dengan anggota keluarga lalu.

9. Penyuluhan/Pembelajaran

Gejala :

Penggunaan/penyalahgunaan obat pernapasan, kesulitan menghentikan merokok,

penggunaan alkohol secara teratur, kegagalan untuk membaik.

3.2. Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan abnormalitas ventilasi-perfusi sekunder

terhadap hipoventilasi

2. Kelebihan volume cairan berhubungan edema pulmo

3.3. Intervensi

1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan abnormalitas ventilasi-perfusi sekunder

terhadap hipoventilasi

Tujuan :

Setelah diberikan tindakan keperawatan pasien dapat mempertahankan pertukaran gas

yang adekuat

Kriteria Hasil :

Pasien mampu menunjukkan :

Bunyi paru bersih

Warna kulit normal

Gas-gas darah dalam batas normal untuk usia yang diperkirakan

Intervensi :

Kaji terhadap tanda dan gejala hipoksia dan hiperkapnia

Pantau dan catat pemeriksaan gas darah, kaji adanya kecenderungan kenaikan

dalam PaCO2 atau penurunan dalam PaO2

Bantu dengan pemberian ventilasi mekanik sesuai indikasi, kaji perlunya CPAP

atau PEEP.

Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi nafas setiap jam

Tinjau kembali pemeriksaan sinar X dada harian, perhatikan peningkatan atau

penyimpangan

Pantau irama jantung

Berikan cairan parenteral sesuai pesanan

Berikan obat-obatan sesuai pesanan : bronkodilator, antibiotik, steroid.

Evaluasi AKS dalam hubungannya dengan penurunan kebutuhan oksigen.

2. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan edema pulmo

Tujuan :

Setelah diberikan tindakan perawatan pasien tidak terjadi kelebihan volume cairan

Kriteria Hasil :

Pasien mampu menunjukkan :

TTV normal

Balance cairan dalam batas normal

Tidak terjadi edema

Intervensi :

Timbang BB tiap hari

Monitor input dan output pasien tiap 1 jam

Kaji tanda dan gejala penurunan curah jantung

Kaji tanda-tanda kelebihan volume : edema, BB , CVP

Monitor parameter hemodinamik

Kolaburasi untuk pemberian cairandan elektrolit

BAB IV

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat kami ambil dari penjelasan isi makalah diatas adalah sebagai berikut :

Emphysema (emfisema) adalah penyakit paru kronis yang dicirikan oleh kerusakan pada

jaringan paru, sehingga paru kehilangan keelastisannya. Gejala utamanya adalah penyempitan

(obstruksi) saluran napas, karena kantung udara di paru menggelembung secara berlebihan dan

mengalami kerusakan yang luas.

Terdapat 3 (tiga) jenis emfisema utama, yang diklasifikasikan berdasarkan perubahan

yang terjadi dalam paru-paru : PLE (Panlobular Emphysema/panacinar), CLE (Sentrilobular

Emphysema/sentroacinar), Emfisema Paraseptal.

Asuhan keperawatan pada penderita emfisema secara garis besar adalah membantu menjaga keseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen klien.

3.2 Saran

Sebagai perawat diharapkan mampu untuk melakukan asuhan keperawatan terhadap

penderita emfisema. Perawat juga harus mampu berperan sebagai pendidik. Dalam hal ini

melakukan penyuluhan mengenai pentingnya hal-hal yang dapat memperberat penyakit, hal-hal

yang harus dihindarkan dan bagaimana cara pengobatan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

http://nuzulul-fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-35528-Kep%20Respirasi-Askep%20Emfisema.html

http://faisalnyaanna.blogspot.com/2010/07/askep-emfisema.html