ikterus obstructive

23
IKTERUS OBSTRUKTIF I. PENDAHULUAN Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya(membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat konsentrasinya dalam sirkulasi darah. Bilirubin dibentuk sebagai akibat pemecahan cincin heme pada metabolisme sel darah merah. 1 Keadaan ini merupakan tanda penting penyakit hati atau kelainan fungsi hati, saluran empedu dan penyakit darah (khususnya kelainan sel darah merah). Kadar normal bilirubin dalam serum berkisar antara 0,3 – 1,0 mg/dl dan dipertahankan dalam batasan ini oleh keseimbangan antara produksi bilirubin dengan penyerapan oleh hepar, konyugasi dan ekskresi empedu. Bila kadar bilirubin sudah mencapai 2 – 2,5 mg/dl maka sudah telihat warna kuning pada sklera dan mukosa sedangkan bila sudah mencapai > 5 mg/dl maka kulit tampak berwarna kuning. Ikterus terjadi karena peningkatan kadara bilirubin direk (conjugated bilirubin) dan atau kadar bilirubin indirek (unconjugated bilirubin). 4 Kata ikterus (jaundice) berasal dari bahasa Perancis jaune yang berarti kuning. Ikterus sebaiknya 1

Upload: faisal-budisasmita

Post on 02-Aug-2015

738 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

IKTERUS OBSTRUKTIFI.PENDAHULUANIkterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya(membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat konsentrasinya dalam sirkulasi darah. Bilirubin dibentuk sebagai akibat pemecahan cincin heme pada metabolisme sel darah merah.1 Keadaan ini merupakan tanda penting penyakit hati atau kelainan fungsi hati, saluran empedu dan penyakit darah (khususnya kelainan sel darah merah). Kadar normal bilirubin dalam s

TRANSCRIPT

Page 1: Ikterus Obstructive

IKTERUS OBSTRUKTIF

I. PENDAHULUAN

Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan

lainnya(membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh

bilirubin yang meningkat konsentrasinya dalam sirkulasi darah. Bilirubin

dibentuk sebagai akibat pemecahan cincin heme pada metabolisme sel darah

merah.1 Keadaan ini merupakan tanda penting penyakit hati atau kelainan fungsi

hati, saluran empedu dan penyakit darah (khususnya kelainan sel darah merah).

Kadar normal bilirubin dalam serum berkisar antara 0,3 – 1,0 mg/dl dan

dipertahankan dalam batasan ini oleh keseimbangan antara produksi bilirubin

dengan penyerapan oleh hepar, konyugasi dan ekskresi empedu. Bila kadar

bilirubin sudah mencapai 2 – 2,5 mg/dl maka sudah telihat warna kuning pada

sklera dan mukosa sedangkan bila sudah mencapai > 5 mg/dl maka kulit tampak

berwarna kuning. Ikterus terjadi karena peningkatan kadara bilirubin direk

(conjugated bilirubin) dan atau kadar bilirubin indirek (unconjugated bilirubin).4

Kata ikterus (jaundice) berasal dari bahasa Perancis jaune yang berarti

kuning. Ikterus sebaiknya diperiksa di bawah cahaya terang siang hari,

dengan melihat sklera mata.1,2

Ada 3 tipe ikterus yaitu ikterus pre hepatika (hemolitik), ikterus hepatika

(parenkimatosa) dan ikterus post hepatika (obstruksi).

Ikterus obstruksi (post hepatika) adalah ikterus yang disebabkan oleh

gangguan aliran empedu antara hati dan duodenum yang terjadi akibat adanya

sumbatan (obstruksi) pada saluran empedu. Ikterus obstruksi disebut juga ikterus

kolestasis dimana terjadi stasis sebagian atau seluruh cairan empedu dan bilirubin

ke dalam duodenum.4 Pada ikterus obstruktif, kecepatan pembentukan bilirubin

adalah normal, tapi bilirubin yang dibentuk tidak dapat lewat dari darah ke dalam

usus akibat adanya suatu obstruksi.2

1

Page 2: Ikterus Obstructive

Ada 2 bentuk ikterus obstruksi yaitu obstruksi intra hepatal dan ekstra

hepatal. Pada ikterus obstruksi intra hepatal terjadi kelainan di dalam parenkim

hati, kanalikuli atau kolangiola yang menyebabkan tanda-tanda stasis empedu,

sedangkan sedangkan ikterus obstruksi ekstra hepatal terjadi kelainan di luar

parenkim hati (saluran empedu di luar hati) yang juga menyebabkan tanda-tanda

stasis empedu.3

II. ETIOLOGI

Aliran empedu dapat terganggu pada tingkat mana saja dari mulai sel hati

(kanalikulus), sampai ampula vateri, sehoingga ikterus obstruktif berdasarkan

lokasi obstruksinya dibedakan atas ikterus obstruksi ekstrahepatik dan

intrahepatik. Adapaun penyebab ikterus ekstrahepatik antara lain :

Atresia biliaris

Stenosis duktus biliaris

Hipoplasia biliaris

Massa (batu, neoplasma)

Perforasi spontan duktus biliaris

Penyebab ikterus obstruktif intrahepatik :

Idiopatik :

Hepatitis neonatal idiopatik. Kelianan ini ditandai oleh

peningkatan kadar bilirubin direct dan bilirubin indirect

yang dihubungkan dengan adanya giant cell transformation

dalam parenkim hati.11

Kolestasis intrahepatik persisten

Kelainan anatomis struktur intrahepatik

Defisiensi alfa-1 antitripsin

Hepatitis. Peradangan intrahepatik pada hepatitis mengganggu

transport bilirubin terkonyugasi dan menyebabkan ikterus.

Defisiensi alfa-1 antitripsin

Gangguan genetik & kromosom

2

Page 3: Ikterus Obstructive

III. INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGI

Ikterus obstruksi dapat ditemukan pada semua kelompok umur, tetapi bayi

baru lahir dan anak-anak lebih rentan mengalami ikterus obstruksi karena struktur

hepar yang masih immatur.8

Bayi-bayi yang lahir prematur, BBLR, dan riwayat sepsis,serta riwayat

mendapat nutrisi parenteral dalam waktu lama meningkatkan risiko terjadinya

ikterus obstruksi.8

Adapun Angka kejadian ikterus obstruksi kausa Atresia Bilier (AB) di

USA sekitar 1:15.000 kelahiran, dan didominasi oleh pasien berjenis kelamin

wanita.6 Dan didunia angka kejadian Atresia Bilier tertinggi di Asia, dengan

perbandingan bayi-bayi di negara Cina lebih banyak dibandingkan Bayi di Negara

Jepang.5

Dari segi gender, Atresia Bilier lebih sering ditemukan pada anak

perempuan. Dan dari segi usia, lebih sering ditemukan pada bayi-bayi baru lahir

dengan rentang usia kurang dari 8 minggu5. Insidens tinggi juga ditemukan pada

pasien dengan ras kulit hitam yang dapat mencapai 2 kali lipat insidens bayi ras

kulit putih.5,11

Di Kings College Hospital England antara tahun 1970-1990, atresia bilier

377 (34,7%), hepatitis neonatal 331 (30,5%), α-1 antitripsin defisiensi 189

(17,4%), hepatitis lain 94 (8,7%), sindroma Alagille 61 (5,6%), kista duktus

koledokus 34 (3,1%).9

Di Instalasi Rawat Inap Anak RSU Dr. Sutomo Surabaya antara tahun

1999-2004 dari 19270 penderita rawat inap, didapat 96 penderita dengan neonatal

kolestasis. Neonatal hepatitis 68 (70,8%), atresia bilier 9 (9,4%), kista duktus

koledukus 5 (5,2%), kista hati 1 (1,04%), dan sindroma inspissated-bile 1

(1,04%).9

3

Page 4: Ikterus Obstructive

IV. PATOGENESIS

Metabolisme Bilirubin

Bilirubiin merupakan pigmen tetrapirol yang larut dalam lemak yang

berasal dari pemecahan sel-sel eritrosit tua dalam sistem monosit makrofag dari

sistem retikulo-endotelial terutama dalam lien.. Masa hidup rata-rata eritrosit

adalah 120 hari. Setiap hari sekitar 50 cc darah dihancurkan menghasilkan 200 –

250 mg bilirubin. Kini diketahui juga bahwa pigmen empedu sebagian juga

berasal dari destruksi eritrosit matang dalam sumsum tulang dan dari hemoprotein

lain.3,4

Pada proses penghancuran eritrosit di organ RES, cincin hem setelah

dibebaskan dari Fe dan globin diubah menjadi biliverdin yang berwarna hijau oleh

enzim heme oksigenase. Enzim reduktase akan merubah biliverdin menjadi

bilirubin yang berwarna kuning. Bilirubin ini akan berikatan dengan protein

sitosolik spesifik membentuk kompleks protein-pigmen dan ditransportasikan

melalui darah ke dalam sel hati. Pada saat transportasi menuju hati, bilirubin ini

berikatan dengan albumin. Bilirubin ini dikenal sebagai bilirubin yang belum

dikonjugasi (bilirubin I) atau bilirubin indirek berdasarkan reaksi diazo Van den

Berg. Bilirubin indirek ini tidak larut dalam air dan tidak diekskresi melalui urine. 3

Saat tiba di hati, albumin dipisahkan dan bilirubin indirect terikat pada

protein akseptor sitoplasmik Y dan Z hepatosit. Di dalam hepatosit, bilirubin

indirect akan diikat oleh asam glukoronat dengan bantuan enzim glukoronil

transferase. Hasil gabungan ini disebut bilirubin direct (memberikan reaksi

langsung dengan diazo Van den Berg) atau bilirubin terikat (conjugated bilirubin),

dan bersifat larut dalam air. Selanjutnya bilirubin direct akan dikeluarkan ke

saluran empedu.. Didalam hati kira-kira 80% bilirubin terdapat dalam bentuk

bilirubin direk (terkonjugasi atau bilirubin II).3,4,15

Melalui saluran empedu, bilirubin direk akan masuk ke usus halus sampai

ke kolon. Oleh aktivitas enzim-enzim bakteri dalam kolon, glukoronid akan

pecah dan bilirubin dirubah menjadi mesobilirubinogen, stercobilinogen dan

urobilinogen yang sebagian besar diekskresikan ke dalam feses. Urobilinogen

4

Page 5: Ikterus Obstructive

akan dioksidasi menjadi urobilin yang memberi warna feses. Bila terjadi obstruksi

total saluran empedu maka tidak akan terjadi pembentukan urobilinogen dalam

kolon sehingga warna feses seperti dempul (alkoholik). Urobilinogen yang

terbentuk akan direabsorbsi dari usus , dikembalikan ke hepar yang kemudian

langsung diekskresikan ke dalam empedu (sirkulasi enterohepatik). Sejumlah

kecil lainnya diserap oleh usus dan masuk ke aliran darah, mencapai ginjal dan

diekskresi melalui urine.3,4,15

Gambar 1. Metabolisme Bilirubin (dikutip dari kepustakaan 3)

5

Page 6: Ikterus Obstructive

Patofisiologi Ikterus Obstruktif

Patofisiologi ikterus obstruktif juga belum diketahui dengan pasti.

Berdasarkan gambaran histopatologik, diketahui bahwa karena proses inflamasi

berkepanjangan yang menyebabkan duktus bilier ekstrahepatik mengalami

kerusakan secara progresif. Pada keadaan lanjut proses inflamasi menyebar ke

duktus bilier intrahepatik, sehingga akan mengalami kerusakan yang progresif

pula.6

Hasil penelitian terbaru telah mempostulasikan malformasi kongenital pada

sistem ductus bilier sebagai penyebabnya. Tapi bagaimana pun juga kebanyakan

bayi baru lahir dengan Atresia Bilier, ditemukan lesi inflamasi progresif yang

menandakan telah terjadi suatu infeksi dan/atau gangguan agen toksik yang

mengakibatkan terputusnya duktus biliaris.5

Pada atresia bilier tipe III, varian histopatologis yang sering ditemukan,

sisa jaringan fibrosis mengakibatkan sumbatan total pada sekurang-kurangnya

satu bagian sistem bilier ekstrahepatik. Duktus intrahepatik, yang memanjang

hingga ke porta hepatis, pada awalnya paten hingga beberapa minggu pertama

kehidupan tetapi dapat rusak secara progresif oleh karena serangan agen yang

sama dengan yang merusak ductus ekstrahepatik maupun akibat efek racun

empedu yang tertahan lama dalam ductus ekstrahepatik.5

Peradangan aktif dan progresif yang terjadi pada pengrusakan sistem bilier

dalam penyakit Atresia Bilier merupakan suatu lesi dapatan yang tidak melibatkan

satu faktor etiologik saja. Namun agen infeksius dianggap lebih memungkinkan

menjadi penyebab utamanya, terutama pada kelainan atresia yang terisolasi.

Beberapa penelitian terbaru telah mengidentifikasi peningkatan titer antibodi

terhadap retrovirus tipe 3 pada pasien - pasien yang mengalami atresia.

Peningkatan itu terjadi pula pada rotavirus dan sitomegalovirus.5,12

6

Page 7: Ikterus Obstructive

Gambar 3. Kolestasis intrahepatal (atas) dan kolestasis ekstrahepatal (bawah)

(dikutip dari kepustakaan 3)

Efek patofisiologis yang nyata terlihat pada ikterus obstruktif adalah tidak

adanya komponen garam empedu dan bilirubin dalam usus. Tidak adanya

bilirubin dalam usus menyebabkan tinja pasien dengan ikterus obstruksi berwarna

pucat. Tidak adanya garam empedu menimbulkan malabsorbsi lemak, sehingga

timbul gejala steatorea dan defisiensi vitamin larut lemak seperti vitamin A, K,

dan D. Defisisensi vitamin K akan mengurangi kadar protrombin, sehingga

menimbulkan gangguan pembekuan darah. Pada ikterus obstruktif yang

berkepanjangan, yang disertai malabsorbsi vitamin D dan Ca, dapat menyebabkan

terjadinya osteoporosis atau osteomalacia. Kadang-kadang pruritus timbul sebagai

gejala awal, hal ini berkaitan dengan peningkatan kadar asam empedu dalam

plasma dan pengendapannya di jaringan perifer terutama kulit. Kadang-kadang

7

Page 8: Ikterus Obstructive

terbentuk xantoma kulit (penimbunan fokal kolesterol) akibat hiperlipidemia dan

gangguan eksresi kolesterol.3,7

Temuan laboratorium yan karakteristik adalah peningkatan kadar akali

fosfatase serum, suatu enzim yang terdapat di epitel duktus empedu dan

membrane kanalikulus hepatosit. Terdapat isozim yang secara normal ditemukan

dalam banyk jaringan lain seperti tulang, sehingga kadar yang meningkat tersebut

perlu dipastikan berasal dari hati.3

V. MANIFESTASI KLINIS

Pasien yang mengalami ikterus obstruktif umumnya datang dengan

keluhan mata dan kulit berwarna kuning, urin berwarna gelap dan feses yang

pucat. Sering pula pasien datang dengan keluhan gatal-gatal pada kulit. Bayi yang

yang disertai infeksi biasanya terlihat lesu dan nafsu makan menurun. Riwayat

demam, kolik bilier serta ikterus yang intermitten mengarahkan kita pada

diagnosis cholangitis dan choledocholithiasis.7, 15

VI. DIAGNOSIS

A. Gambaran Klinis

Anamnesis

Ikterus neonatorum yang timbul pada bayi umur 2-3 hari biasanya

akan menghilang pada umur 2-3 minggu. Bila ikterus menetap

setelah 2-3 minggu sebaiknya dipikirkan kelainan patologis.4

Kecurigaan adanya obstruksi pada ikterus yang memanjang (lebih

dari 2 minggu) disertai dengan terlihatnya tinja yang akolis dan

urin yang menyerupai teh pekat. Pada kebanyakan kasus, feses

akolik tidak ditemukan pada minggu pertama kehidupan. Tapi

beberapa minggu setelahnya. Nafsu makan, pertumbuhan dan

pertambahan berat badan biasanya normal. Selanjutnya, perlu

dipikirkan apakah kasus ini termasuk kausa hepatitis atau atresia.4

Pada anamnesis sebaiknya ditanyakan apakah ada gejala ikterus

memanjang pada saudara kandung lainnya dan bagaimana

8

Page 9: Ikterus Obstructive

perjalanan penyakitnya. Pertanyaan ini menjadi penting karena

ikterus kausa hepatitis bisa ditemukan pada penderita dan

saudaranya. Selain itu perlu pula ditanyakan tentang riwayat

kelahiran bayi, karena umumnya atresia bilier ditemukan pada bayi

yang aterm, meskipun insidens yang lebih tinggi lagi ditemukan

pada yang BBLR (bayi berat lahir rendah).4,5

Pemeriksaan Fisis

Pada pemeriksaan fisis ikterus mudah dilihat, hati membesar dan

bila teraba tumpul dan keras lebih condong disebabkan oleh atresia,

sedangkan pembesaran yang rata dan lunak lebih ke arah hepatitis.

Adanya hepatosplenomegali mengarah kepada kemungkinan

adanya hipetensi portal. Ditemukannya asites, edema dan pucat

menunjukkan adanya kemundurang fungsi hati lanjut.4

Jika pada palpasi teraba pembesaran kandung empedu dapat

dicurigai terjadinya keganasan extrahepatik (Couvoissier’s Law).7

B. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium

Hiperbilirubinemia terkonjugasi, didefinisikan sebagai peningkatan

bilirubin terkonjugasi lebih dari 2 mg/dL atau lebih dari 20% total

bilirubin.5,13

Bayi dengan Atresia Bilier menunjukkan peningkatan moderat

pada bilirubin total, yang biasanya antara 6-12 mg/dl, dengan fraksi

terkonjugasi mencapai 50-60% dari total bilirubin serum.5

Memeriksa kadar alkaline phosphatase (AP), 5' nucleotidase,

gamma-glutamyl transpeptidase (GGTP), serum aminotransferases

dan serum asam empedu.5

Pada semua tes ini, terjadi peningkatan baik dalam hal sensitivitas

maupun spesifitas. Sayangnya, tidak ada satu pun pemeriksaan

9

Page 10: Ikterus Obstructive

biokimia yang dapat membedakan secara akurat antara Atresia

Bilier dengan penyebab kolestasis lain pada neonatus.5

Sebagai tambahan terhadap hiperbilirubinemia terkonjugasi

(temuan universal terhadap semua bentuk kolestasis neonatus),

abnormalitas pemeriksaan enzim termasuk peningkatan level AP.

Pada bebrapa kasus, peningkatan AP akibat sumber skeletal dapat

dibedakan dengan yang berasal dari hepar dengan menghitung

fraksi spesifik hati, 5` nucleotidase.5

GGTP merupakan protein membrane integral pada kanalikuli bilier

dan mengalami peningkatan pada kondisi kolestasis. Kadar GGTP

berhubungan erat dengan kadar AP dan mengalami peningkatan

pada semua kondisi yang berkaitan dengan obstruksi bilier. Tapi

bagaimana pun juga terkadang kadar GGTP normal pada beberapa

bentuk kolestasis akibat kerusakan hepatoseluler.5

Kadar aminotransferase tidak terlalu menolong dalam menegakkan

diagnosis secara khusus, meskipun peningkatan kadar alanine

transferase (>800 IU/L) mengindikasikan kerusakan hepatoseluler

yang signifikan dan lebih konsisten pada kondisi sindrom hepatitis

neonatus.5

Pemeriksaan Radiologis

1. Ultrasonography / Color Doppler Ultrasonography

Sindrom kolestasis neonatus dapat dibedakan dengan anomali

sistem bilier ekstrahepatik dengan menggunakan US, terutama kista

koledokal. Saat ini, diagnosis kista koledokal harus dibuat dengan

menggunakan US fetal in utero.5,13

2. Hepatobiliary scintiscanning (HSS)

Hepatobiliary scintigraphy selama beberapa tahun digunakan

sebagai modalitas untuk mendiagnosis atresia bilier.14

10

Page 11: Ikterus Obstructive

Sensitivitas dari scintigraphy untuk mendiagnosis Atresia bilier

terlihat cukup tinggi dati 2 retrospektif (83% sampai 100%), dengan

secara nyata pasien yang terkena tidak menunjukkan eksresi. Akan tetapi

spesifitas dari modalitas in sedikit berkurang yakni sekitar 33% sampai

80%.13

Jika ekskresi dari radiotracer terlihat/keluar dari, diagnosis atresia

bilier dapat dikeluarkan. Namun jika radiotracer tidak terlihat dalam 24

jam ataupun setelahnya (seperti gambar dibawah ini), dapat dicurigai

atresia bilier.14

3. Cholangiography Intraoperatif

Pemeriksaan ini secara definitif dapat menunjukan kelainan

anatomis traktus biliaris. Kolangiografi intraoperatif dilakukan ketika

biopsi hati menunjukkan adanya etiologi obstruktif. Pemeriksaan ini

dilakukan dengan metode memasukkan kontras ke dalam saluran

empedu lalu kemudian difoto X-Ray ketika laparotomi eksploratif

dilaksanakan. Pemeriksaan ini dilakukan ketika pemeriksaan biopsi dan

scintiscan gagal menunjukkan hasil yang adekuat.5,13

VII. DIAGNOSIS BANDING

Sindrom Crigler-Najjar tipe I dan tipe II. Sindrom Crigler-Najjar tipe I

merupakan penyakit resesif autosomal yang jarang, pada penyakit tersebut,

enzim yang berperan dalam konjugasi asam glukoronida ke bilirubin sama

sekali tidak terdapat. Akibatnya terjadi peningkatan kadar bilirubin

indireck dalam darah. Sindrom ini biasanya fatal dan menyebabkan

kematian dalam 18 bulan setelah lahir akibat kerusakan otak (kernikerus).

Sedangkan Sindrom Crigler-Najjar tipe II merupakan penyakit resesif

autosomal yang lebih ringan dan nonfatal yang defek enzim konjugasinya

hanya bersifat parsial. Konsekuensi utama adalah kulit yang sangat

kuning.3

11

Page 12: Ikterus Obstructive

Sindrom Dubin-Johnson terjadi akibat defek resesif autosomal protein

pengangkut yang berperan dalam ekskresi hepatoseluler bilirubin

glukoronida melewati membrane kanalikulus. Pada pasien dengan

sindroma ini, memperlihatkan hiperilirubinemia terkonjugasi. Selain

memiliki hati yang berwarna gelap (akibat metabolit epinefrin polimer,

bukan bilirubin) dan hepatomegali, pada pasien ini tidak ditemukan

kelainan fungsi.3

VIII. PENATALAKSANAAN

Penanganan kasus ikterus obstruksi bertujuan menjamin kelancaran aliran

empedu ke duodenum dengan menghilangkan sumbatan dengan cara pembedahan

seperti, pengangkatan batu, reseksi tumor, atau tindakan endoskop laparoskopi

atau laparoskopi eksplorasi terutama pada kasus yang dicurigai sebagai biliary

atresia. Bila penyebab sumbatan tidak dapat diatasi maka aliran empedu dapat

dialihkan dengan drainase eksterna atau drainase interna dapat dilakukan dengan

jalan membuat pintasan biliodigestive atau bypass, misalnya kholesisto-

jejunostomi, kholedoko-jejunostomi, hepatiko- jejunostomi. Pada kasus ikterus

obstruktif kausa hepatitis, sebaiknya diobati secara konservatif dan berupaya agar

kerusakan sel hati masih bersifat reversible.4

IX. PROGNOSIS

Jika ikterus obstruktif disebabkan oleh hepatitis neonatorum tipe giant cell

transformation, maka prognosis umumnya buruk. Mortalitas kira-kira 30-40%.

Prognosis ini berhubungan dengan lengkap atau tidaknya “giant cell

transformation” itu. Pada penderita dengan “giant cell transformation” lengkap,

pada hepar akan terjadi kolaps pasca nekrotik dan fibrosis yang merata tanpa

tonjolan yang regeneratif. Hal ini disebbaka oleh sifat sel raksasa hati yang tidak

dapat bereproduksi. Biasanya penderita meninggal dengan ikterus yang berat dan

beberapa gejala yang mirip dengan gejala yang disebabkan atresia bilier.

12

Page 13: Ikterus Obstructive

Prognosis “giant cell transformation” yang tidak lengkap sebaliknya tidak terlalu

buruk, kecuali bila disertai atresia bilier atau infeksi rekuren. Sebabnya ialah

karena bagian parenkim yang masih normal dan mengandung kanal

empedulambat laun dapat beregenerasi menggantikan sel raksasa hati yang

degenerative dan berjangka hidup terbatas, sehingga kadang-kadang dapat

mencapai keadaan hamper normal, baik struktur maupun fungsionalnya.4

Sedangkan ikterus obstruksi kausa atresi bilier memiliki prognosis lebih

baik jika mendapat operasi yang tepat dan cepat. Sebelum ditemukan transplantasi

hati sebagai terapi pilihan pada anak dengan penyakit hati stadium akhir, angka

kelangsungan hidup jangka panjang pada anak penderita Atresia Bilier yang telah

mengalami portoenterostomy adalah 47-60% dalam 5 tahun dan 25-35% dalam

10 tahun. Sepertiga dari semua pasien ini , mengalami gangguan aliran empedu

setelah mendapat terapi bedah,sehingga anak-anak ini terpaksa menderita

komplikasi sirosis hepatis pada beberapa tahun pertama kehidupan mereka

meskipun transplantasi hati sudah dilakukan. Komplikasi yang dapat terjadi

setelah portoenterostomi antara lain kolangitis (50%) dan hipertensi portal

(>60%).5

X. PENCEGAHAN

Belum ada upaya pencegahan yang tepat untuk kasus ikterus obstruksi.

Salah satu yang diupayakan adalah ibu hamil sebaiknya tidak mengonsumsi

sembarang obat selama kehamilan untuk mencegah gangguan organogenesis

janinnya.7 Salah satu faktor risiko terjadinya ikterus adalah infeksi, oleh karena itu

meghindari paparan infeksi selama kehamilan dapat diupayakan untuk mencegah

ikterus obstruktif. 15

13

Page 14: Ikterus Obstructive

DAFTAR PUSTAKA

 

1. Sulaiman, Ali. 2007. Pendekatan Klinis pada Pasien Ikterus. Dalam : Aru

W Sudoyo et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta :

Penerbitan IPD FKUI.  h. 420-423

2. Guyton, Arthur C dan John E hall. 1997. Fisiologi Gastrointestinal. Dalam

: Irawati Setiawan (Editor Bahasa Indonesia) Buku Ajar Fisiologi

Kedokteran Edisi 9. Jakarta: EGC. h. 1108-1109

3. Robbins, Stanley L dan Vinay Kumar. 2007. Buku Ajar Patologi volume 2

edisi 7. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

4. Abdoerrachman, M.H. et al. 2007. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak

Jilid 2. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia.

5. Schwarz SM. Pediatric biliary atresia. [online]. Updated Juni 2011. [cited

September 2011]. Available from URL:

http://emedicine.medscape.com/article/927029-overview

6. Ringoringo, Parlin dr. Atresia Bilier dalam Cermin Dunia Kedokteran No.

86, 1993. Jakarta: 1990. Jurnal diunduh dari

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/cdk_086_masalah_anak.pdf

7. Kadumbo, UN dr. Diagnosis and Management of Malignant Obstructive

Jaundice. Junior Registrar in General Surgery Institute of Continued

Health Education University of Zimbabwe.

8. Hisham Nazer, MB, BCh, FRCP, DCh, DTM&H. Cholestasis. [online].

Available from URL: http://emedicine.medscape.com/article/927624-

overview#a0199

9. Arief, Sjamsul. Deteksi Dini Kolestasis Neonatal. Surabaya; FK UNAIR/

RSU Dr Soetomo. Diunduh dari http://www.pediatrik.com/pkb/20060220-

ena504-pkb.pdf diakses 2 okt 2011

10. JOHN LOUGH, M.D., F.R.C.P. [C] and JULIUS D. METRAKOS, Ph.D.

Idiopathic Neonatal Jaundice Discordance in Monozygotic Twins. Canad.

Med. Ass. J. May 6, 1967, vol. 96

14

Page 15: Ikterus Obstructive

11. Yoon PW, Bresee JS, Olney RS, James LM, Khoury MJ. Epidemiology

of biliary atresia: a population-based study. In: Pediatrics Journal Vol. 99.

Ilinois; 1997. p. 376-382

12. Lugo-Vicente, Humberto L. Biliary Atresia: An overview. Puerto Rico:

Boletín Asociación Médica de Puerto Rico; 1995. Vol 87 (7-8-9): 147-153

13. Benchimol EI, Walsh CM, Ling SC. Early diagnosis of neonatal

cholestatic jaundice: test at 2 weeks. In: Clinical Review Canadian Family

Physician Vol. 55. Canada; 2009. p.1185-1189

14. Zukotynski K, Babin PS. Biliary atresia imaging. [online].

June 2011. [cited October 2011]. Available from URL:

http://emedicine.medscape.com/article/406335-overview#showall

15. Kader H, Balesteri W. Jaundice and Hyperbilirubinemia in the Newborn.

In: Kliegman RM, Behrman RM, Jenson HB, Stanton BF, Eds. Nelson

Textbook of Pediatrics. 17th Ed. Philadelphia: Elsevier Churchill

Livingstone; 2003.

15