obstructive sleep apnea pada lansia
TRANSCRIPT
1
OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA PADA LANSIA
Oleh
dr. IGN. Budiarsa, Sp.S
Bag/SMF. Neurologi FK UNUD/RSUP. Sanglah Denpasar
PENDAHULUAN
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang juga akan mengalami ledakan
jumlah penduduk lansia. Berdasarkan sensus penduduk pada tahun 2010, jumlah lanjut usia
di Indonesia yaitu 18,1 juta jiwa (7,6% dari total penduduk). Pada tahun 2014, jumlah
penduduk lanjut usia di Indonesia menjadi 18,781 juta jiwa dan diperkirakan pada tahun
2025, jumlahnya akan mencapai 36 juta jiwa (Kemenkes, 2015).
Berbagai kondisi gangguan tidur dapat terjadi pada lansia, seperti insomnia,
dyssomnia, dan gangguan tidur yang terkait pernafasan (Lumbantobing, 2001). Tidur yang
tidak adekuat dan kualitas tidur buruk dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan
fisiologi dan psikologi. Dampak fisiologi meliputi penurunan aktivitas sehari-hari, rasa capai,
lemah, koordinasi neuromuskular buruk, proses penyembuhan lambat, daya tahan tubuh
menurun, dan ketidakstabilan tanda vital, sedangkan dampak psikologi meliputi depresi,
cemas, tidak konsentrasi (Ringdhal et al., 2004). Gangguan tidur lebih sering terjadi pada
lansia dengan penyebab yang beragam. Sering kali terjadinya gangguan tidur pada lansia,
termasuk obstructive sleep apnea (OSA) tidak terdeteksi. Evaluasi gangguan tidur pada
lansia memerlukan perhatian khusus dan mempertimbangkan penyebab lainnya (Neubauer,
1999).
DEFINISI
Obstructive sleep apnea (OSA) didefinisikan sebagai gangguan tidur yang berkaitan
dengan pernapasan berupa penyempitan (berkurang atau komplit) saluran napas bagian atas
pada keadaan tidur (American Academy of Sleep Medicine). Pada OSA, seseorang akan
2
berhenti bernapas pada saat tidurnya akibat tertutupnya saluran napas atas yang disebabkan
oleh tidak adekuatnya tonus otot pada lidah dan/atau otot dilator.
EPIDEMIOLOGI
OSA merupakan gangguan pernapasan saat tidur yang berimplikasi pada
terganggunya kualitas tidur. Kejadian OSA meningkat dengan adanya factor risiko seperti
sakit jantung, kelainan neurologis dan riwayat tindakan operatif (Jhon Park et al, 2011).
Penyakit ini sering tidak terdiagnosis sehingga memerlukan perhatian khusus untuk melihat
adanya tanda dan gejala yang konsisten. OSA juga merupakan tipe gangguan tidur yang
paling sering terjadi pada pasien stroke. Dilihat dari pengertian OSA sesuai dengan apnea-
hypopnea index (AHI), yaitu disebut sebagai sindrom OSA bila AHI ≥ 5 dengan adanya
gejala terkait atau AHI ≥15 tanpa adanya gejala terkait (Jhon Park et al, 2011). Di Amerika
Serikat, prevalensi OSA (AHI ≥ 5) pada orang dewasa kulit putih dengan usia 30 – 60 tahun
sekitar 24% laki-laki dan 9% perempuan, sedangkan AHI ≥ 15 sekitar 9% laki-laki dan 4%
perempuan. Di Eropa, usia 30 - 70 tahun dengan AHI ≥ 5 didapatkan 26% laki-laki dan 28%
perempuan, sedangkan AHI ≥ 15 sekitar 14% laki-laki dan 7% perempuan. Di Hongkong,
prevalensi usia 30 - 60 tahun dengan AHI ≥ 5 sebesar 9% dan 4%, serta AHI ≥ 15 sebesar
5% dan 3% (Bradley et al., 2009).
Dilihat dari adanya penyakit primer, menurut data internasional of sleep disorder,
prevalensi penyebab-penyebab gangguan tidur adalah sebagai berikut: Penyakit asma (61-
74%), gangguan pusat pernafasan (40-50%), kram kaki malam hari (16%),
psychophysiological (15%), sindroma kaki gelisah (5-15%), ketergantungan alkohol (10%),
sindroma terlambat tidur (5-10%), depresi (65). Demensia (5%), gangguan perubahan jadwal
kerja (2- 5%), gangguan obstruksi sesak saluran nafas (1-2%), penyakit ulkus peptikus
(<1%), narcolepsy (mendadak tidur) (0,03%-0,16%) (Sacchetti et al., 2004).
PATOFISIOLOGI
3
OSA merupakan hasil dari proses dinamik akibat penyempitan atau kelumpuhan
(collaps) saluran napas atas selama tidur. Pada manusia, jalur udara di daerah orofaring dan
hipofaring hampir tidak memiliki dukungan tulang yang kaku sehingga jalur udara
dipertahankan tetap ada dengan adanya fungsi otot dilator faring. Otot-otot utama tersebut
adalah otot genioglosus dan tensor palatina (Purwowiyoto, 2011).
Pasien dengan OSA memiliki penyempitan jalur nafas bagian atas. Ada tiga faktor
yang berperan pada patogenesis OSA antara lain:
1. Obstruksi saluran napas daerah faring akibat pendorongan lidah dan palatum ke
belakang yang dapat menyebabkan oklusi nasofaring dan orofaring, yang
menyebabkan terhentinya aliran udara, meskipun pernapasan masih berlangsung pada
saat tidur. Hal ini menyebabkan apnea, asfiksia sampai periode arousal.
2. Ukuran lumen faring yang dibentuk oleh otot dilator faring (m. pterigoid medial, m.
tensorveli palatini, m. genioglosus, m. geniohiod, dan m. sternohioid) yang berfungsi
menjaga keseimbangan tekanan faring pada saat terjadinya tekanan negatif intra
torakal akibat kontraksi diafragma. Kelainan fungsi control neuromuskular pada otot
dilator faring berperan terhadap kolapsnya saluran napas. Defek kontrol ventilasi di
otak menyebabkan kegagalan atau terlambatnya refleks otot dilator faring, saat pasien
mengalami periode apnea-hipopnea.
3. Kelainan kraniofasial mulai dari hidung sampai hipofaring yangdapat menyebabkan
penyempitan pada saluran napas atas. Kelainan daerah ini dapat menghasilkan
tahanan yang tinggi. Tahanan ini juga merupakan predisposisi kolapsnya saluran
napas atas. Kolaps nasofaring ditemukan pada 81% dari 64 pasien OSA dan 75% di
antaranya memiliki lebih dari satu penyempitan saluran napas atas.
Periode apnea adalah terjadinya henti napas selama 10 detik atau lebih. Periode hipopnea
adalah terjadinya keadaan reduksi aliran udara sebanyak lebih-kurang 30% selama10 detik
yang berhubungan dengan penurunan saturasi oksigen darah sebesar 4%. Apnea terjadi
karena kolapsnya saluran napas atas secara total, sedangkan hipopnea kolapsnya sebagian,
namun jika terjadi secara terus menerus dapat menyebabkan apnea.
Efek penuaan terhadap patofisiologi OSA
4
Penuaan diketahui merupakan faktor terbesar yang berkontribusi terhadap resiko
OSA, dengan peningkatan usia dihubungkan dengan prevalensi apneu. Sleep Heart Health
Study menemukan peningkatan prevalensi Sleep-disordered breathing (SDB) pada usia
lanjut (Edwards, 2010).
Mekanisme pasti dimana penuaan meningkatkan resiko OSA belum sepenuhnya
diketahui. Data terbanyak menunjukkan bahwa kemampuan untuk menjaga jalan napas yang
paten adalah keseimbangan antara jumlah jaringan lunak yang berada pada kompartemen
tulang yang dibentuk oleh mandibula dan kolum spinal dan kemampuan atau kekuatan otot
dilator faring berkontraksi. Pasien OSA memiliki penurunan lumen saluran nafas akibat
peningkatan jaringan lunak dan perubahan anatomi faring. Disamping dari anatomi saluran
nafas atas, beberapa fenotipe yang penting anatomi jalan napas faring yang kecil merupakan
faktor utama dalam perkembangan obstruksi saluran nafas atas dengan otot dilator faring
kompensasi kekurangan anatomi selama terjaga, tetapi tidak terjadi selama tidur. yaitu:
kemampuan respon otot dilator faring terhadap stimuli kimia maupun mekanik selama tidur,
menyebabkan terbangun dari tidur akibat upaya pernafasan yang terhalang, perubahan pada
volume paru dan daya kembang dan efek stabilitas kontrol ventilasi. Kemungkinan penuaan
dapat dihubungkan dengan perubahan penting pada satu atau kombinasi faktor-faktor yang
dapat berkontribusi terhadap OSA (Edwards, 2010).
FAKTOR RESIKO TERJADINYA OSA
Berbagai hal menjadi faktor risiko terjadinya OSA:
1. Faktor Resiko Primer : Obesitas
Penumpukan lemak pada jalan nafas atas akan menyebabkan penyempitan dan
cenderung menutup otot – otot kendor, terutama pada fase tidur REM
2. Umur
Hilangnya masa otot adalah akibat dari proses penuaan. Bila masa otot menurun
pada saluran nafas akan digantikan oleh lemak dan menyebabkan jalan nafas
menyempit
3. Jenis kelamin
5
Hormon pada laki – laki akan dapat menyebabkan perubahan struktur pada jalan
nafas atas.
4. Kelainan Anatomi seperti rahang bawah dan dagu yang kebelakang
5. Pembesaran tonsil dan adenoid
6. Riwayat keluarga OSA
7. Penggunaan alcohol dan obat sedative yang menyebabkan mengendornya otot-
otot jalan nafas atas.
8. Merokok yang meyebabkan inflamasi, pembengkaan dan penyempitan jalan
nafas atas
9. Hypothyroidism, acromegaly, amyloidosis, vocal cord paralysis, post polio
syndrome, neuromuscular disorder, Marfan’s syndrome dan Down Syndtome
10. Kongestif nasal
GEJALA KLINIS OSA
OSA sering tidak terdeteksi karena terjadi saat pasien tidur. Gejala OSA
dikelompokkan menjadi gejala malam dan gejala siang hari. Gejala utama OSA adalah day
time hypersomnolence. Gejala ini tidak dapat dinilai secara kuantitatif karena pasien sering
sulit membedakan rasa mengantuk dengan kelelahan (Edwards, 2010).
Epworth sleepiness scale (ESS) dan Standford sleepiness scale (SSS) adalah kuisioner
yang mudah dan cepat untuk menilai gejala rasa mengantuk. Skala ini tidak berhubungan
secara langsung dengan indeks apnea-hipopnea. Penyebab daytimehypersomnolence adalah
karena adanya tidur yang terputus-putus, berhubungan dengan respons saraf pusat yang
berulang karena adanya gangguan pernapasan saat tidur.
Dilaporkan 50% penderita OSA mempunyai tekanan darah di atas normal, meskipun
tidak diketahui apakah hal tersebut merupakan penyebab atau sebagai akibat apnea tidur.
Risiko serangan jantung dan stroke juga dilaporkan meningkat pada penderita OSA.
6
Gambar 1 Gejala klinis
KLASIFIKASI OSA
Derajat beratnya OSA dinilai berdasarkan nilai apnea-hypopnea index (AHI)
menggunakan polisomnografi. AHI (Apnea-Hypopnea Index) ialah rerata kejadian apnea dan
hypopnea selama satu jam tidur, hal ini menjadi salah satu acuan tingkat keparahan OSA.
Berikut adalah pembagian OSA menurut American Academy of Sleep Medicine:
PENEGAKAN DIAGNOSIS
Perangkat diagnostik yang sederhana adalah Kuesioner Berlin. Kuesioner Berlin
adalah instrumen yang sudah tervalidasi untuk menentukan adanya faktor risiko OSA, yaitu
kebiasaan mendengkur, apnea, rasa mengantuk yang berlebihan sepanjang hari, kelelahan,
obesitas dan hipertensi. Kuesioner Berlin menilai frekuensi mendengkur dan kelelahan siang
hari.
7
Alat untuk mendiagnosis sleep apnea secara baku adalah polisomnografi.
Polisomnografi dilakukan di laboratorium tidur dengan memonitor tidur pasien sepanjang
malam. Total waktu tidur yang dicatat paling sedikit 4 jam. Komponen polisomnogram
adalah electroencephalogram (EEG), electrooculogram (EOG), electromyogram (EMG) dan
electrocardiogram (ECG). Tahapan dan pola tidur ditentukan oleh gambaran EEG, EOG,
dan EMG. Kardiak disritmia yang berpotensi mematikan dapat dideteksi dengan ECG.
Penurunan 5% atau lebih saturasi oksigen arteri dari nilai normal adalah signifikan selama
episode apnea ataupun hipopnea. Usaha respirasi dan pola pernafasan diukur dengan
respiratory inductive plethysmography ataupun dengan pengukuran perubahan tekanan
intrathoraks dengan balon kateter esofagus.
Gambar 2. Polisomnografi
Seseorang dikatakan menderita OSA jika terdapat :
1. Keadaan mengantuk berat sepanjang hari yang tidak dapat dijelaskan karena sebab
lain.
8
2. Dua atau lebih keadaan seperti tersedak sewaktu tidur, terbangun beberapa kali ketika
tidur, tidur yang tidak menyebabkan rasa segar, perasaan lelah sepanjang hari dan
gangguan konsentrasi.
3. Hasil PSG menunjukkan AHI ≥ 5 (jumlah total apnea ditambah terjadi hipopnea
perjam selama tidur).
4. Hasil PSG negatif untuk gangguan tidur lainnya.
KOMPLIKASI
OSA dapat menimbulkan dampak pada banyak sistem dari tubuh manusia, di
antaranya:
1. Neuropsikologis: kantuk berlebihan pada siang hari, kurang konsentrasi dan daya ingat,
sakit kepala, depresi, epilepsi nokturnal.
2. Vaskuler: takikardi, hipertensi, aritmia, blokade jantung, angina, penyakit jantung
iskemik, gagal jantung kongestif, stroke
3. Respirasi: hipertensi pulmonum, cor pulmunale.
4. Metabolik: diabetes, obesitas.
5. Genito-urinari: nokturia, enuresis, impotensi.
6. Hematologis: polisitemia.
Dari penelitian epidemiologis diketahui adanya hubungan antara OSA dengan
hipertensi, stroke dan penyakit jantung iskemik. Timbulnya penyakit gangguan vaskular pada
penderita OSA diduga sebagai akibat stimulasi simpatis yang berulang-ulang yang terjadi
pada setiap akhir fase obstruktif. Pada penderita OSA juga terjadi pelepasan faktor-faktor
protrombin dan proinflamasi yang berperan penting pada terjadinya aterosklerosis.
9
Gambar 3 Patofisiologi OSA terhadap CVD.
PNA = Parasympathetic Nervous System Activity. PO2 = Partial Pressure of Oxygen.
PCO2 = Partial Pressure of Carbon Dioxide. SNA = Sympathetic Nervous System Activity.
HR = Heart Rate. BP = Blood Pressure. LV = Left Ventricular
Terjadinya gangguan vaskuler pada penderita OSA diperkirakan melalui dua
komponen:
1. Efek mekanis dari henti nafas terhadap tekanan intratorakal dan fungsi jantung.
2. Hipoksemia yang terjadi berulang-ulang mengakibatkan perangsangan simpatis yang
berlebihan dan disfungsi sel-sel endotel.
OSA berperan penting dalam patogenesis hipertensi. Deteksi dan terapi OSA perlu
dilakukan dalam manajemen hipertensi untuk mencapai hasil yang optimal. OSA diduga
merupakan faktor risiko independen untuk terjadinya penyakit aterosklerosis pada pembuluh
darah arteri. Banyak peneliti mengemukakan beberapa kemungkinan mekanisme efek
aterosklerotik dari OSA, di antaranya:
10
1. Peningkatan tekanan darah yang berulang akibat hiperaktivitas simpatis dan stres
oksidatif.
2. Disfungsi sel endotel yang mengakibatkan peningkatan kadar endotelin-I dalam plasma,
penurunan produksi nitrit-oksida, dan peningkatan respons peradangan terbukti dengan
meningkatnya kadar C-reactive protein dan interleukin-6.
Peninggian kadar plasma dari molekul-molekul adhesi dan peningkatan ekspresi
molekul-molekul adhesi pada lekosit dan perlekatannya pada selsel endotel diduga berperan
pada terjadinya disfungsi sel endotel, pembentukan aterosklerosis dan bekuan darah.
Insidensi OSA yang tinggi (45-90%) ditemukan pada penderita stroke. Kemungkinan
peran OSA dalam patogenesis stroke di antaranya melalui proses aterosklerosis, hipertensi,
berkurangnya perfusi serebral akibat penebalan dinding arteri karotis, output jantung yang
rendah, peninggian tekanan intrakranial, peningkatan koagulopati dan peningkatan risiko
terbentuknya bekuan darah akibat aritmia. Karena tingginya insidensi OSA dan potensi
efeknya terhadap morbiditas dan mortalitas, pemeriksaan untuk mendiagnosis dan terapi
OSA dianjurkan dilakukan pada penderita stroke. Aritmia dapat terjadi pada penderita OSA
terutama berupa sinus bradikardi, sinus arrest, dan blokade jantung komplet. Risiko untuk
terjadinya aritmia berhubungan dengan beratnya OSA. Mekanisme terjadinya aritmia pada
penderita OSA kemungkinan melalui peningkatan tonus vagus yang dimediasi oleh
kemoreseptor akibat apnea dan hipoksemia.
PENATALAKSANAAN OSA
11
Penatalaksanaan OSA pada lansia dikaitkan dengan penyebab yang mendasari
terjadinya OSA pada lansia. Perubahan anatomi dan fungsional saluran pernapasan
merupakan hal penting yang terjadi pada lansia (Ganga et al., 2009). Manajemen OSA dapat
dilakukan melalui terapi non bedah dan bedah.
Gambar 4. Assesment dan management obstruksi sleep apnea
Terapi non bedah merupakan terapi yang lebih diutamakan dalam penanganan OSA
melihat efek samping yang lebih minimal. Menurut penelitian Qaseem et al (2013) yang
meneliti guideline penanganan OSA, didapatkan beberapa rekomendasi dalam manajemen
OSA non bedah, yaitu:
1. Rekomendasi 1: penurunan berat badan, terutama pada pasien yang mengalami
overweight dan obese. (Grade:strong recommendation; low-quality evidence).
Dengan menurunkan berat badan, penderita OSA dengan obesitas dapat meningkatkan
volume dan fungsi saluran napas atas (Qaseem et al, 2013). Menghindari konsumsi
minuman beralkohol, obat penenang, nikotin dan kafein pada malam hari dapat
memperbaiki tonus otot saluran napas atas dan mekanisme pernapasan sentral.
Menghindari posisi tidur supinasi juga dapat membantu mengurangi obstruksi saluran
napas saat tidur (Hukins, 2006). Preparat efedrin, walaupun tidak memberikan efek
12
jangka panjang, dilaporkan membantu memperbaiki aliran udara pada saluran napas
atas.
2. Rekomendasi 2: penggunaan CPAP (continuous positive airway pressure), terutama
untuk terapi awal pada pasien yang ditemukan dengan OSA. (Grade: strong
recommendation; moderate-quality evidence).
Memberikan terapi CPAP selama satu bulan pada pasien OSA dengan stroke, didapatkan
penurunan aktivitas saraf simpatis, tekanan darah dan denyut jantung. Terapi positive
airway pressure (PAP) efektif mengatasi obstruksi jalan nafas, mencegah kolaps dan
apnea. Dapat diaplikasikan melalui masker naso-oral, nasal, maupun nasal pillow.
Gambar 5. Continous Positive Airway Pressure (CPAP)
Keuntungan terapi ini yaitu hilangnya keadaan hipoksemia nokturnal, penurunan
aktivitas simpatis, penurunan signifikan tekanan darah selama tidur, mengurangi
kejadianiskemik miokard nokturnal atau angina,perbaikan fungsi sistolik ventrikel kiri,
peningkatan fraksi ejeksi ventrikel kiri dengan hasilakhir perbaikan status fungsional,
serta mengurangi risiko stroke dan kematian. Kelemahan CPAP adalah adanya rasa tidak
nyaman pada saat penggunaannya, adanya rasa claustrophobia, sakit kepala, rinitis,
iritasi wajah dan hidung serta aerofagia.
13
3. Rekomendasi 3: mandibular advancement devices, direkomendasikan pada pasien yang
memiliki efek samping terhadap penggunaan CPAP atau menolak menggunakan CPAP
(Grade: weak recommendation; low-quality evidence).
Gambar 6. Mandibular Advancement Devices (Hukins, 2006)
Terapi bedah pada OSA dilakukan apabila tidak terdapat perbaikan dengan terapi non
bedah. Tujuan terapi bedah pada OSA adalah untuk memperbaiki volume dan bentuk saluran
napas atas (Hukins, 2006). Indikasi harus jelas dan dipersiapkan dengan baik. Indikasi
pembedahan OSA adalah AHI 20x/jam, saturasi O2 <90%, tekanan esofagus di bawah -10
cmH2O, adanya gangguan kardiovaskuler (seperti aritmia dan hipertensi), gejala
neuropsikiatri, gagal dengan terapi non-bedah dan adanya kelainan anatomi yang
menyebabkan obstruksi jalan napas. Tidak ada satu teknik yang benar-benar baik untuk OSA
(Walker, 2006).
Terapi bedah dapat dilakukan pada regio anatomi tertentu yang menyebabkan
obstruksi saluran nafas sesuai dengan hasil pemeriksaan sleep endoscopy. Beberapa prosedur
operasi dapat dilakukan:
1. Tonsilektomi dan adenoidektomi. Pada penderita OSA dengan tonsil yang besar,
tonsilektomi dapat menghilangkan gejala secara komplet dan tidak memerlukan
terapi CPAP.
2. Uvulopalatofaringoplasti (UPPP) dan uvulopalatoplasti. Hasilnya tidak sebaik
CPAP pada penderita OSA yang berat. Angka keberhasilan dengan teknik ini
mencapai 10-15% (Gibson, 2005).
14
3. Pembedahan pada daerah hidung seperti septoplasti, bedah sinus endoskopik
fungsional dan konkotomi bisa menjadi terapi yang efektif bila sumbatan terjadi
di hidung. Kelainan hidung harus dicari pada penderita yang mengalami gejala
hidung pada pengobatan dengan CPAP.
4. Tindakan bedah pada mandibula atau maksila (maxillomandibular osteotomy dan
advancement).
5. Lidah: lingual tonsillectomy, laser midline glossectomy, lingualplasti dan ablasi
massa lidah dengan teknik radiofrekuensi.
6. Teknik terbaru menggunakan alat somnoplasty dengan radiofrekuensi Celon®
atau Coblation®, dan pemasangan implan Pillar® pada palatum. Teknik
radiofrekuensi menghasilkan perubahan ionik pada jaringan, menginduksi
nekrosis jaringan sehingga menyebabkan reduksi volume palatum tanpa
kerusakan pada mukosa dan menghilangkan vibrasi (kaku).
Gambar.7 a. Teknik Radiofrekuensi (Celon atau Coblation), b. Implan Pillar®
`Implan Pillar® atau implan palatal merupakan teknik yang relative baru, merupakan
modalitas dengan invasi minimal. Digunakan untuk penderita dengan habitual
a b
15
snoring dan OSA ringan sampai sedang. Prosedur ini bertujuan untuk memberi
kekakuan pada palatum mole. Tiga buah batang kecil diinsersikan ke palatum mole
untuk membantu mengurangi getaran yang menyebabkan snoring.
PENUTUP
Obstructive Sleep Apnea (OSA) adalah salah satu gangguan tidur yang dapat terjadi
pada lansia. OSA diakibatkan oleh penyempitan (berkurang atau komplit) saluran napas
bagian atas pada keadaan tidur. Seseorang akan mengalami henti bernapas pada saat tidurnya
akibat tertutupnya saluran napas atas yang disebabkan oleh tidak adekuatnya tonus otot pada
lidah dan/atau otot dilator. Factor risiko terjadinya OSA, meliputi obesitas, ukuran lingkar
leher, umur, jenis kelamin, hormon, dan kelainan anatomi saluran napas. Pada lansia, terjadi
perubahan anatomi jalan napas faring yang mengecil dan penurunan lumen saluran nafas
akibat peningkatan jaringan lunak sehingga terjadi obstruksi saluran nafas atas. Berdasarkan
apnea-hypopnea index (AHI), disebut sebagai sindrom OSA bila AHI ≥ 5 dengan adanya
gejala terkait atau AHI ≥15 tanpa adanya gejala terkait. Alat untuk mendiagnosis sleep apnea
adalah polisomnografi. Polisomnografi merupakan alat diagnosa yang penting untuk
mendiagnosa sleep apnea, melihat keparahan sleep apnea dan menentukan kesuksesan
perawatan. Klasifikasi OSA dibedakan menjadi mild, moderate dan severe. Manajemen OSA
mencakup terapi non-bedah dan terapi bedah. Terapi non bedah mencakup konservatif,
penggunaan continuous positive pressure (CPAP), dan Mandibular advancement devices.
Terapi bedah mencakup Uvulopalatopharyngoplasty (UPPP), teknik maksila-mandibular
osteotomi, Laser-assisted uvuloplasty (LAUP), dan Radiofrequency ablation (RA) palatum.
16
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Sleep Medicine. Obstructive Sleep Apnea. Available at:
www.aasmnet.org/resources/.../sleepapnea.pdf. diunduh: 9 Mei 2016
Bradley, T.D dan Floras JS. 2009. Obstructive Sleep Apnoea and its Cardiovascular
Consequences. Lancet.373. P. 82–93.
Edwards, BA, et al. 2010. Aging and Sleep: Physiology and Pathophysiology.Seminars in
Respiratory and Critical Care Medicine.USA. pg 618-633.
European Respiratory Task Force, 2002. Public health and medicolegal implications of sleep
apnoea. Eur Respir J; 20: 1594-609
Gibson GJ, 2005. Obstructive sleep apnoea syndrome: underestimated and undertreated.
Brit Med Bulletin; 72: 49-64.
Japardi, I. 2002. Gangguan Tidur. Sumatera Utara: USU digital library.Jordan, A.S, et al.
2003. Recent advances in understanding the pathogenesis of obstructive sleep apnea.
Current opinion pulmonary medicine. p.1-3.
Hukins Craig A. 2006. Obstructive sleep apnea – management update. Neuropsychiatric
Disease and Treatment 2006:2(3) 309–326.
Madani M. 2007. Snoring and obstructive sleep Apnea. Arch of Iranian Med. 10. P.215-226.
Meoli AL, Casey KR, Clark RW. 2001, Clinical Practice Review Committee et al. Hypopnoe
in sleep-disordered breathing in adults. Sleep;24:469-70
Neubauer D N. 1999. Sleep Problems in the Elderly. Johns Hopkins Sleep Disorders Center,
Baltimore, Maryland. Am Fam Physician. 1999 May 1;59(9):2551-2558.
Paul W. Flint, Bruce H. Haughey, Valerie J. Lund, John K. Niparko, Mark A.
Richardson, K. Thomas Robbins, J. Regan Thomas, 2001. Cummings
Otolaryngology Head and Neck Surgery 5 th Edition, Chapter 18: Sleep Apnea
and Sleep Disorders ; 250-261
Purwowiyoto, S.L. 2011. Obstructive Sleep Apnea dan Penyakit Kardiovaskuler. CDK
184/Vol.38.
Purnomo, H dan Islamiyah, W.R. 2014. Panduan Tatalaksana Gangguan Tidur. Edisi 1.
Surabaya: Kelompok Studi Gangguan Tidur.
Qaseem A, Jon-Erik C, Douglas K, Paul Dallas, Melissa Starkey, and Paul Shekelle. 2013.
Management of Obstructive Sleep Apnea in Adults: A Clinical Practice Guideline From
the American College of Physicians. Ann Intern Med. 2013; 159:471–483.
Ringdahl E, Susan L, John E. 2004. Treatment of Primary Insomnia. JABFP Vol. 17 No. 3
May-June 2004.
Walker, R.P. 2006. Snoring and obstructive sleep apnea. Head & neck surgery-
otolaryngology. 4th ed. Philadelphia. p.645-664.