obstructive sleep apnea pada lansia

16
1 OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA PADA LANSIA Oleh dr. IGN. Budiarsa, Sp.S Bag/SMF. Neurologi FK UNUD/RSUP. Sanglah Denpasar PENDAHULUAN Indonesia sebagai salah satu negara berkembang juga akan mengalami ledakan jumlah penduduk lansia. Berdasarkan sensus penduduk pada tahun 2010, jumlah lanjut usia di Indonesia yaitu 18,1 juta jiwa (7,6% dari total penduduk). Pada tahun 2014, jumlah penduduk lanjut usia di Indonesia menjadi 18,781 juta jiwa dan diperkirakan pada tahun 2025, jumlahnya akan mencapai 36 juta jiwa (Kemenkes, 2015). Berbagai kondisi gangguan tidur dapat terjadi pada lansia, seperti insomnia, dyssomnia, dan gangguan tidur yang terkait pernafasan (Lumbantobing, 2001). Tidur yang tidak adekuat dan kualitas tidur buruk dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan fisiologi dan psikologi. Dampak fisiologi meliputi penurunan aktivitas sehari-hari, rasa capai, lemah, koordinasi neuromuskular buruk, proses penyembuhan lambat, daya tahan tubuh menurun, dan ketidakstabilan tanda vital, sedangkan dampak psikologi meliputi depresi, cemas, tidak konsentrasi (Ringdhal et al., 2004). Gangguan tidur lebih sering terjadi pada lansia dengan penyebab yang beragam. Sering kali terjadinya gangguan tidur pada lansia, termasuk obstructive sleep apnea (OSA) tidak terdeteksi. Evaluasi gangguan tidur pada lansia memerlukan perhatian khusus dan mempertimbangkan penyebab lainnya (Neubauer, 1999). DEFINISI Obstructive sleep apnea (OSA) didefinisikan sebagai gangguan tidur yang berkaitan dengan pernapasan berupa penyempitan (berkurang atau komplit) saluran napas bagian atas pada keadaan tidur (American Academy of Sleep Medicine). Pada OSA, seseorang akan

Upload: others

Post on 26-Oct-2021

17 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA PADA LANSIA

1

OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA PADA LANSIA

Oleh

dr. IGN. Budiarsa, Sp.S

Bag/SMF. Neurologi FK UNUD/RSUP. Sanglah Denpasar

PENDAHULUAN

Indonesia sebagai salah satu negara berkembang juga akan mengalami ledakan

jumlah penduduk lansia. Berdasarkan sensus penduduk pada tahun 2010, jumlah lanjut usia

di Indonesia yaitu 18,1 juta jiwa (7,6% dari total penduduk). Pada tahun 2014, jumlah

penduduk lanjut usia di Indonesia menjadi 18,781 juta jiwa dan diperkirakan pada tahun

2025, jumlahnya akan mencapai 36 juta jiwa (Kemenkes, 2015).

Berbagai kondisi gangguan tidur dapat terjadi pada lansia, seperti insomnia,

dyssomnia, dan gangguan tidur yang terkait pernafasan (Lumbantobing, 2001). Tidur yang

tidak adekuat dan kualitas tidur buruk dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan

fisiologi dan psikologi. Dampak fisiologi meliputi penurunan aktivitas sehari-hari, rasa capai,

lemah, koordinasi neuromuskular buruk, proses penyembuhan lambat, daya tahan tubuh

menurun, dan ketidakstabilan tanda vital, sedangkan dampak psikologi meliputi depresi,

cemas, tidak konsentrasi (Ringdhal et al., 2004). Gangguan tidur lebih sering terjadi pada

lansia dengan penyebab yang beragam. Sering kali terjadinya gangguan tidur pada lansia,

termasuk obstructive sleep apnea (OSA) tidak terdeteksi. Evaluasi gangguan tidur pada

lansia memerlukan perhatian khusus dan mempertimbangkan penyebab lainnya (Neubauer,

1999).

DEFINISI

Obstructive sleep apnea (OSA) didefinisikan sebagai gangguan tidur yang berkaitan

dengan pernapasan berupa penyempitan (berkurang atau komplit) saluran napas bagian atas

pada keadaan tidur (American Academy of Sleep Medicine). Pada OSA, seseorang akan

Page 2: OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA PADA LANSIA

2

berhenti bernapas pada saat tidurnya akibat tertutupnya saluran napas atas yang disebabkan

oleh tidak adekuatnya tonus otot pada lidah dan/atau otot dilator.

EPIDEMIOLOGI

OSA merupakan gangguan pernapasan saat tidur yang berimplikasi pada

terganggunya kualitas tidur. Kejadian OSA meningkat dengan adanya factor risiko seperti

sakit jantung, kelainan neurologis dan riwayat tindakan operatif (Jhon Park et al, 2011).

Penyakit ini sering tidak terdiagnosis sehingga memerlukan perhatian khusus untuk melihat

adanya tanda dan gejala yang konsisten. OSA juga merupakan tipe gangguan tidur yang

paling sering terjadi pada pasien stroke. Dilihat dari pengertian OSA sesuai dengan apnea-

hypopnea index (AHI), yaitu disebut sebagai sindrom OSA bila AHI ≥ 5 dengan adanya

gejala terkait atau AHI ≥15 tanpa adanya gejala terkait (Jhon Park et al, 2011). Di Amerika

Serikat, prevalensi OSA (AHI ≥ 5) pada orang dewasa kulit putih dengan usia 30 – 60 tahun

sekitar 24% laki-laki dan 9% perempuan, sedangkan AHI ≥ 15 sekitar 9% laki-laki dan 4%

perempuan. Di Eropa, usia 30 - 70 tahun dengan AHI ≥ 5 didapatkan 26% laki-laki dan 28%

perempuan, sedangkan AHI ≥ 15 sekitar 14% laki-laki dan 7% perempuan. Di Hongkong,

prevalensi usia 30 - 60 tahun dengan AHI ≥ 5 sebesar 9% dan 4%, serta AHI ≥ 15 sebesar

5% dan 3% (Bradley et al., 2009).

Dilihat dari adanya penyakit primer, menurut data internasional of sleep disorder,

prevalensi penyebab-penyebab gangguan tidur adalah sebagai berikut: Penyakit asma (61-

74%), gangguan pusat pernafasan (40-50%), kram kaki malam hari (16%),

psychophysiological (15%), sindroma kaki gelisah (5-15%), ketergantungan alkohol (10%),

sindroma terlambat tidur (5-10%), depresi (65). Demensia (5%), gangguan perubahan jadwal

kerja (2- 5%), gangguan obstruksi sesak saluran nafas (1-2%), penyakit ulkus peptikus

(<1%), narcolepsy (mendadak tidur) (0,03%-0,16%) (Sacchetti et al., 2004).

PATOFISIOLOGI

Page 3: OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA PADA LANSIA

3

OSA merupakan hasil dari proses dinamik akibat penyempitan atau kelumpuhan

(collaps) saluran napas atas selama tidur. Pada manusia, jalur udara di daerah orofaring dan

hipofaring hampir tidak memiliki dukungan tulang yang kaku sehingga jalur udara

dipertahankan tetap ada dengan adanya fungsi otot dilator faring. Otot-otot utama tersebut

adalah otot genioglosus dan tensor palatina (Purwowiyoto, 2011).

Pasien dengan OSA memiliki penyempitan jalur nafas bagian atas. Ada tiga faktor

yang berperan pada patogenesis OSA antara lain:

1. Obstruksi saluran napas daerah faring akibat pendorongan lidah dan palatum ke

belakang yang dapat menyebabkan oklusi nasofaring dan orofaring, yang

menyebabkan terhentinya aliran udara, meskipun pernapasan masih berlangsung pada

saat tidur. Hal ini menyebabkan apnea, asfiksia sampai periode arousal.

2. Ukuran lumen faring yang dibentuk oleh otot dilator faring (m. pterigoid medial, m.

tensorveli palatini, m. genioglosus, m. geniohiod, dan m. sternohioid) yang berfungsi

menjaga keseimbangan tekanan faring pada saat terjadinya tekanan negatif intra

torakal akibat kontraksi diafragma. Kelainan fungsi control neuromuskular pada otot

dilator faring berperan terhadap kolapsnya saluran napas. Defek kontrol ventilasi di

otak menyebabkan kegagalan atau terlambatnya refleks otot dilator faring, saat pasien

mengalami periode apnea-hipopnea.

3. Kelainan kraniofasial mulai dari hidung sampai hipofaring yangdapat menyebabkan

penyempitan pada saluran napas atas. Kelainan daerah ini dapat menghasilkan

tahanan yang tinggi. Tahanan ini juga merupakan predisposisi kolapsnya saluran

napas atas. Kolaps nasofaring ditemukan pada 81% dari 64 pasien OSA dan 75% di

antaranya memiliki lebih dari satu penyempitan saluran napas atas.

Periode apnea adalah terjadinya henti napas selama 10 detik atau lebih. Periode hipopnea

adalah terjadinya keadaan reduksi aliran udara sebanyak lebih-kurang 30% selama10 detik

yang berhubungan dengan penurunan saturasi oksigen darah sebesar 4%. Apnea terjadi

karena kolapsnya saluran napas atas secara total, sedangkan hipopnea kolapsnya sebagian,

namun jika terjadi secara terus menerus dapat menyebabkan apnea.

Efek penuaan terhadap patofisiologi OSA

Page 4: OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA PADA LANSIA

4

Penuaan diketahui merupakan faktor terbesar yang berkontribusi terhadap resiko

OSA, dengan peningkatan usia dihubungkan dengan prevalensi apneu. Sleep Heart Health

Study menemukan peningkatan prevalensi Sleep-disordered breathing (SDB) pada usia

lanjut (Edwards, 2010).

Mekanisme pasti dimana penuaan meningkatkan resiko OSA belum sepenuhnya

diketahui. Data terbanyak menunjukkan bahwa kemampuan untuk menjaga jalan napas yang

paten adalah keseimbangan antara jumlah jaringan lunak yang berada pada kompartemen

tulang yang dibentuk oleh mandibula dan kolum spinal dan kemampuan atau kekuatan otot

dilator faring berkontraksi. Pasien OSA memiliki penurunan lumen saluran nafas akibat

peningkatan jaringan lunak dan perubahan anatomi faring. Disamping dari anatomi saluran

nafas atas, beberapa fenotipe yang penting anatomi jalan napas faring yang kecil merupakan

faktor utama dalam perkembangan obstruksi saluran nafas atas dengan otot dilator faring

kompensasi kekurangan anatomi selama terjaga, tetapi tidak terjadi selama tidur. yaitu:

kemampuan respon otot dilator faring terhadap stimuli kimia maupun mekanik selama tidur,

menyebabkan terbangun dari tidur akibat upaya pernafasan yang terhalang, perubahan pada

volume paru dan daya kembang dan efek stabilitas kontrol ventilasi. Kemungkinan penuaan

dapat dihubungkan dengan perubahan penting pada satu atau kombinasi faktor-faktor yang

dapat berkontribusi terhadap OSA (Edwards, 2010).

FAKTOR RESIKO TERJADINYA OSA

Berbagai hal menjadi faktor risiko terjadinya OSA:

1. Faktor Resiko Primer : Obesitas

Penumpukan lemak pada jalan nafas atas akan menyebabkan penyempitan dan

cenderung menutup otot – otot kendor, terutama pada fase tidur REM

2. Umur

Hilangnya masa otot adalah akibat dari proses penuaan. Bila masa otot menurun

pada saluran nafas akan digantikan oleh lemak dan menyebabkan jalan nafas

menyempit

3. Jenis kelamin

Page 5: OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA PADA LANSIA

5

Hormon pada laki – laki akan dapat menyebabkan perubahan struktur pada jalan

nafas atas.

4. Kelainan Anatomi seperti rahang bawah dan dagu yang kebelakang

5. Pembesaran tonsil dan adenoid

6. Riwayat keluarga OSA

7. Penggunaan alcohol dan obat sedative yang menyebabkan mengendornya otot-

otot jalan nafas atas.

8. Merokok yang meyebabkan inflamasi, pembengkaan dan penyempitan jalan

nafas atas

9. Hypothyroidism, acromegaly, amyloidosis, vocal cord paralysis, post polio

syndrome, neuromuscular disorder, Marfan’s syndrome dan Down Syndtome

10. Kongestif nasal

GEJALA KLINIS OSA

OSA sering tidak terdeteksi karena terjadi saat pasien tidur. Gejala OSA

dikelompokkan menjadi gejala malam dan gejala siang hari. Gejala utama OSA adalah day

time hypersomnolence. Gejala ini tidak dapat dinilai secara kuantitatif karena pasien sering

sulit membedakan rasa mengantuk dengan kelelahan (Edwards, 2010).

Epworth sleepiness scale (ESS) dan Standford sleepiness scale (SSS) adalah kuisioner

yang mudah dan cepat untuk menilai gejala rasa mengantuk. Skala ini tidak berhubungan

secara langsung dengan indeks apnea-hipopnea. Penyebab daytimehypersomnolence adalah

karena adanya tidur yang terputus-putus, berhubungan dengan respons saraf pusat yang

berulang karena adanya gangguan pernapasan saat tidur.

Dilaporkan 50% penderita OSA mempunyai tekanan darah di atas normal, meskipun

tidak diketahui apakah hal tersebut merupakan penyebab atau sebagai akibat apnea tidur.

Risiko serangan jantung dan stroke juga dilaporkan meningkat pada penderita OSA.

Page 6: OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA PADA LANSIA

6

Gambar 1 Gejala klinis

KLASIFIKASI OSA

Derajat beratnya OSA dinilai berdasarkan nilai apnea-hypopnea index (AHI)

menggunakan polisomnografi. AHI (Apnea-Hypopnea Index) ialah rerata kejadian apnea dan

hypopnea selama satu jam tidur, hal ini menjadi salah satu acuan tingkat keparahan OSA.

Berikut adalah pembagian OSA menurut American Academy of Sleep Medicine:

PENEGAKAN DIAGNOSIS

Perangkat diagnostik yang sederhana adalah Kuesioner Berlin. Kuesioner Berlin

adalah instrumen yang sudah tervalidasi untuk menentukan adanya faktor risiko OSA, yaitu

kebiasaan mendengkur, apnea, rasa mengantuk yang berlebihan sepanjang hari, kelelahan,

obesitas dan hipertensi. Kuesioner Berlin menilai frekuensi mendengkur dan kelelahan siang

hari.

Page 7: OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA PADA LANSIA

7

Alat untuk mendiagnosis sleep apnea secara baku adalah polisomnografi.

Polisomnografi dilakukan di laboratorium tidur dengan memonitor tidur pasien sepanjang

malam. Total waktu tidur yang dicatat paling sedikit 4 jam. Komponen polisomnogram

adalah electroencephalogram (EEG), electrooculogram (EOG), electromyogram (EMG) dan

electrocardiogram (ECG). Tahapan dan pola tidur ditentukan oleh gambaran EEG, EOG,

dan EMG. Kardiak disritmia yang berpotensi mematikan dapat dideteksi dengan ECG.

Penurunan 5% atau lebih saturasi oksigen arteri dari nilai normal adalah signifikan selama

episode apnea ataupun hipopnea. Usaha respirasi dan pola pernafasan diukur dengan

respiratory inductive plethysmography ataupun dengan pengukuran perubahan tekanan

intrathoraks dengan balon kateter esofagus.

Gambar 2. Polisomnografi

Seseorang dikatakan menderita OSA jika terdapat :

1. Keadaan mengantuk berat sepanjang hari yang tidak dapat dijelaskan karena sebab

lain.

Page 8: OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA PADA LANSIA

8

2. Dua atau lebih keadaan seperti tersedak sewaktu tidur, terbangun beberapa kali ketika

tidur, tidur yang tidak menyebabkan rasa segar, perasaan lelah sepanjang hari dan

gangguan konsentrasi.

3. Hasil PSG menunjukkan AHI ≥ 5 (jumlah total apnea ditambah terjadi hipopnea

perjam selama tidur).

4. Hasil PSG negatif untuk gangguan tidur lainnya.

KOMPLIKASI

OSA dapat menimbulkan dampak pada banyak sistem dari tubuh manusia, di

antaranya:

1. Neuropsikologis: kantuk berlebihan pada siang hari, kurang konsentrasi dan daya ingat,

sakit kepala, depresi, epilepsi nokturnal.

2. Vaskuler: takikardi, hipertensi, aritmia, blokade jantung, angina, penyakit jantung

iskemik, gagal jantung kongestif, stroke

3. Respirasi: hipertensi pulmonum, cor pulmunale.

4. Metabolik: diabetes, obesitas.

5. Genito-urinari: nokturia, enuresis, impotensi.

6. Hematologis: polisitemia.

Dari penelitian epidemiologis diketahui adanya hubungan antara OSA dengan

hipertensi, stroke dan penyakit jantung iskemik. Timbulnya penyakit gangguan vaskular pada

penderita OSA diduga sebagai akibat stimulasi simpatis yang berulang-ulang yang terjadi

pada setiap akhir fase obstruktif. Pada penderita OSA juga terjadi pelepasan faktor-faktor

protrombin dan proinflamasi yang berperan penting pada terjadinya aterosklerosis.

Page 9: OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA PADA LANSIA

9

Gambar 3 Patofisiologi OSA terhadap CVD.

PNA = Parasympathetic Nervous System Activity. PO2 = Partial Pressure of Oxygen.

PCO2 = Partial Pressure of Carbon Dioxide. SNA = Sympathetic Nervous System Activity.

HR = Heart Rate. BP = Blood Pressure. LV = Left Ventricular

Terjadinya gangguan vaskuler pada penderita OSA diperkirakan melalui dua

komponen:

1. Efek mekanis dari henti nafas terhadap tekanan intratorakal dan fungsi jantung.

2. Hipoksemia yang terjadi berulang-ulang mengakibatkan perangsangan simpatis yang

berlebihan dan disfungsi sel-sel endotel.

OSA berperan penting dalam patogenesis hipertensi. Deteksi dan terapi OSA perlu

dilakukan dalam manajemen hipertensi untuk mencapai hasil yang optimal. OSA diduga

merupakan faktor risiko independen untuk terjadinya penyakit aterosklerosis pada pembuluh

darah arteri. Banyak peneliti mengemukakan beberapa kemungkinan mekanisme efek

aterosklerotik dari OSA, di antaranya:

Page 10: OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA PADA LANSIA

10

1. Peningkatan tekanan darah yang berulang akibat hiperaktivitas simpatis dan stres

oksidatif.

2. Disfungsi sel endotel yang mengakibatkan peningkatan kadar endotelin-I dalam plasma,

penurunan produksi nitrit-oksida, dan peningkatan respons peradangan terbukti dengan

meningkatnya kadar C-reactive protein dan interleukin-6.

Peninggian kadar plasma dari molekul-molekul adhesi dan peningkatan ekspresi

molekul-molekul adhesi pada lekosit dan perlekatannya pada selsel endotel diduga berperan

pada terjadinya disfungsi sel endotel, pembentukan aterosklerosis dan bekuan darah.

Insidensi OSA yang tinggi (45-90%) ditemukan pada penderita stroke. Kemungkinan

peran OSA dalam patogenesis stroke di antaranya melalui proses aterosklerosis, hipertensi,

berkurangnya perfusi serebral akibat penebalan dinding arteri karotis, output jantung yang

rendah, peninggian tekanan intrakranial, peningkatan koagulopati dan peningkatan risiko

terbentuknya bekuan darah akibat aritmia. Karena tingginya insidensi OSA dan potensi

efeknya terhadap morbiditas dan mortalitas, pemeriksaan untuk mendiagnosis dan terapi

OSA dianjurkan dilakukan pada penderita stroke. Aritmia dapat terjadi pada penderita OSA

terutama berupa sinus bradikardi, sinus arrest, dan blokade jantung komplet. Risiko untuk

terjadinya aritmia berhubungan dengan beratnya OSA. Mekanisme terjadinya aritmia pada

penderita OSA kemungkinan melalui peningkatan tonus vagus yang dimediasi oleh

kemoreseptor akibat apnea dan hipoksemia.

PENATALAKSANAAN OSA

Page 11: OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA PADA LANSIA

11

Penatalaksanaan OSA pada lansia dikaitkan dengan penyebab yang mendasari

terjadinya OSA pada lansia. Perubahan anatomi dan fungsional saluran pernapasan

merupakan hal penting yang terjadi pada lansia (Ganga et al., 2009). Manajemen OSA dapat

dilakukan melalui terapi non bedah dan bedah.

Gambar 4. Assesment dan management obstruksi sleep apnea

Terapi non bedah merupakan terapi yang lebih diutamakan dalam penanganan OSA

melihat efek samping yang lebih minimal. Menurut penelitian Qaseem et al (2013) yang

meneliti guideline penanganan OSA, didapatkan beberapa rekomendasi dalam manajemen

OSA non bedah, yaitu:

1. Rekomendasi 1: penurunan berat badan, terutama pada pasien yang mengalami

overweight dan obese. (Grade:strong recommendation; low-quality evidence).

Dengan menurunkan berat badan, penderita OSA dengan obesitas dapat meningkatkan

volume dan fungsi saluran napas atas (Qaseem et al, 2013). Menghindari konsumsi

minuman beralkohol, obat penenang, nikotin dan kafein pada malam hari dapat

memperbaiki tonus otot saluran napas atas dan mekanisme pernapasan sentral.

Menghindari posisi tidur supinasi juga dapat membantu mengurangi obstruksi saluran

napas saat tidur (Hukins, 2006). Preparat efedrin, walaupun tidak memberikan efek

Page 12: OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA PADA LANSIA

12

jangka panjang, dilaporkan membantu memperbaiki aliran udara pada saluran napas

atas.

2. Rekomendasi 2: penggunaan CPAP (continuous positive airway pressure), terutama

untuk terapi awal pada pasien yang ditemukan dengan OSA. (Grade: strong

recommendation; moderate-quality evidence).

Memberikan terapi CPAP selama satu bulan pada pasien OSA dengan stroke, didapatkan

penurunan aktivitas saraf simpatis, tekanan darah dan denyut jantung. Terapi positive

airway pressure (PAP) efektif mengatasi obstruksi jalan nafas, mencegah kolaps dan

apnea. Dapat diaplikasikan melalui masker naso-oral, nasal, maupun nasal pillow.

Gambar 5. Continous Positive Airway Pressure (CPAP)

Keuntungan terapi ini yaitu hilangnya keadaan hipoksemia nokturnal, penurunan

aktivitas simpatis, penurunan signifikan tekanan darah selama tidur, mengurangi

kejadianiskemik miokard nokturnal atau angina,perbaikan fungsi sistolik ventrikel kiri,

peningkatan fraksi ejeksi ventrikel kiri dengan hasilakhir perbaikan status fungsional,

serta mengurangi risiko stroke dan kematian. Kelemahan CPAP adalah adanya rasa tidak

nyaman pada saat penggunaannya, adanya rasa claustrophobia, sakit kepala, rinitis,

iritasi wajah dan hidung serta aerofagia.

Page 13: OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA PADA LANSIA

13

3. Rekomendasi 3: mandibular advancement devices, direkomendasikan pada pasien yang

memiliki efek samping terhadap penggunaan CPAP atau menolak menggunakan CPAP

(Grade: weak recommendation; low-quality evidence).

Gambar 6. Mandibular Advancement Devices (Hukins, 2006)

Terapi bedah pada OSA dilakukan apabila tidak terdapat perbaikan dengan terapi non

bedah. Tujuan terapi bedah pada OSA adalah untuk memperbaiki volume dan bentuk saluran

napas atas (Hukins, 2006). Indikasi harus jelas dan dipersiapkan dengan baik. Indikasi

pembedahan OSA adalah AHI 20x/jam, saturasi O2 <90%, tekanan esofagus di bawah -10

cmH2O, adanya gangguan kardiovaskuler (seperti aritmia dan hipertensi), gejala

neuropsikiatri, gagal dengan terapi non-bedah dan adanya kelainan anatomi yang

menyebabkan obstruksi jalan napas. Tidak ada satu teknik yang benar-benar baik untuk OSA

(Walker, 2006).

Terapi bedah dapat dilakukan pada regio anatomi tertentu yang menyebabkan

obstruksi saluran nafas sesuai dengan hasil pemeriksaan sleep endoscopy. Beberapa prosedur

operasi dapat dilakukan:

1. Tonsilektomi dan adenoidektomi. Pada penderita OSA dengan tonsil yang besar,

tonsilektomi dapat menghilangkan gejala secara komplet dan tidak memerlukan

terapi CPAP.

2. Uvulopalatofaringoplasti (UPPP) dan uvulopalatoplasti. Hasilnya tidak sebaik

CPAP pada penderita OSA yang berat. Angka keberhasilan dengan teknik ini

mencapai 10-15% (Gibson, 2005).

Page 14: OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA PADA LANSIA

14

3. Pembedahan pada daerah hidung seperti septoplasti, bedah sinus endoskopik

fungsional dan konkotomi bisa menjadi terapi yang efektif bila sumbatan terjadi

di hidung. Kelainan hidung harus dicari pada penderita yang mengalami gejala

hidung pada pengobatan dengan CPAP.

4. Tindakan bedah pada mandibula atau maksila (maxillomandibular osteotomy dan

advancement).

5. Lidah: lingual tonsillectomy, laser midline glossectomy, lingualplasti dan ablasi

massa lidah dengan teknik radiofrekuensi.

6. Teknik terbaru menggunakan alat somnoplasty dengan radiofrekuensi Celon®

atau Coblation®, dan pemasangan implan Pillar® pada palatum. Teknik

radiofrekuensi menghasilkan perubahan ionik pada jaringan, menginduksi

nekrosis jaringan sehingga menyebabkan reduksi volume palatum tanpa

kerusakan pada mukosa dan menghilangkan vibrasi (kaku).

Gambar.7 a. Teknik Radiofrekuensi (Celon atau Coblation), b. Implan Pillar®

`Implan Pillar® atau implan palatal merupakan teknik yang relative baru, merupakan

modalitas dengan invasi minimal. Digunakan untuk penderita dengan habitual

a b

Page 15: OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA PADA LANSIA

15

snoring dan OSA ringan sampai sedang. Prosedur ini bertujuan untuk memberi

kekakuan pada palatum mole. Tiga buah batang kecil diinsersikan ke palatum mole

untuk membantu mengurangi getaran yang menyebabkan snoring.

PENUTUP

Obstructive Sleep Apnea (OSA) adalah salah satu gangguan tidur yang dapat terjadi

pada lansia. OSA diakibatkan oleh penyempitan (berkurang atau komplit) saluran napas

bagian atas pada keadaan tidur. Seseorang akan mengalami henti bernapas pada saat tidurnya

akibat tertutupnya saluran napas atas yang disebabkan oleh tidak adekuatnya tonus otot pada

lidah dan/atau otot dilator. Factor risiko terjadinya OSA, meliputi obesitas, ukuran lingkar

leher, umur, jenis kelamin, hormon, dan kelainan anatomi saluran napas. Pada lansia, terjadi

perubahan anatomi jalan napas faring yang mengecil dan penurunan lumen saluran nafas

akibat peningkatan jaringan lunak sehingga terjadi obstruksi saluran nafas atas. Berdasarkan

apnea-hypopnea index (AHI), disebut sebagai sindrom OSA bila AHI ≥ 5 dengan adanya

gejala terkait atau AHI ≥15 tanpa adanya gejala terkait. Alat untuk mendiagnosis sleep apnea

adalah polisomnografi. Polisomnografi merupakan alat diagnosa yang penting untuk

mendiagnosa sleep apnea, melihat keparahan sleep apnea dan menentukan kesuksesan

perawatan. Klasifikasi OSA dibedakan menjadi mild, moderate dan severe. Manajemen OSA

mencakup terapi non-bedah dan terapi bedah. Terapi non bedah mencakup konservatif,

penggunaan continuous positive pressure (CPAP), dan Mandibular advancement devices.

Terapi bedah mencakup Uvulopalatopharyngoplasty (UPPP), teknik maksila-mandibular

osteotomi, Laser-assisted uvuloplasty (LAUP), dan Radiofrequency ablation (RA) palatum.

Page 16: OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA PADA LANSIA

16

DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Sleep Medicine. Obstructive Sleep Apnea. Available at:

www.aasmnet.org/resources/.../sleepapnea.pdf. diunduh: 9 Mei 2016

Bradley, T.D dan Floras JS. 2009. Obstructive Sleep Apnoea and its Cardiovascular

Consequences. Lancet.373. P. 82–93.

Edwards, BA, et al. 2010. Aging and Sleep: Physiology and Pathophysiology.Seminars in

Respiratory and Critical Care Medicine.USA. pg 618-633.

European Respiratory Task Force, 2002. Public health and medicolegal implications of sleep

apnoea. Eur Respir J; 20: 1594-609

Gibson GJ, 2005. Obstructive sleep apnoea syndrome: underestimated and undertreated.

Brit Med Bulletin; 72: 49-64.

Japardi, I. 2002. Gangguan Tidur. Sumatera Utara: USU digital library.Jordan, A.S, et al.

2003. Recent advances in understanding the pathogenesis of obstructive sleep apnea.

Current opinion pulmonary medicine. p.1-3.

Hukins Craig A. 2006. Obstructive sleep apnea – management update. Neuropsychiatric

Disease and Treatment 2006:2(3) 309–326.

Madani M. 2007. Snoring and obstructive sleep Apnea. Arch of Iranian Med. 10. P.215-226.

Meoli AL, Casey KR, Clark RW. 2001, Clinical Practice Review Committee et al. Hypopnoe

in sleep-disordered breathing in adults. Sleep;24:469-70

Neubauer D N. 1999. Sleep Problems in the Elderly. Johns Hopkins Sleep Disorders Center,

Baltimore, Maryland. Am Fam Physician. 1999 May 1;59(9):2551-2558.

Paul W. Flint, Bruce H. Haughey, Valerie J. Lund, John K. Niparko, Mark A.

Richardson, K. Thomas Robbins, J. Regan Thomas, 2001. Cummings

Otolaryngology Head and Neck Surgery 5 th Edition, Chapter 18: Sleep Apnea

and Sleep Disorders ; 250-261

Purwowiyoto, S.L. 2011. Obstructive Sleep Apnea dan Penyakit Kardiovaskuler. CDK

184/Vol.38.

Purnomo, H dan Islamiyah, W.R. 2014. Panduan Tatalaksana Gangguan Tidur. Edisi 1.

Surabaya: Kelompok Studi Gangguan Tidur.

Qaseem A, Jon-Erik C, Douglas K, Paul Dallas, Melissa Starkey, and Paul Shekelle. 2013.

Management of Obstructive Sleep Apnea in Adults: A Clinical Practice Guideline From

the American College of Physicians. Ann Intern Med. 2013; 159:471–483.

Ringdahl E, Susan L, John E. 2004. Treatment of Primary Insomnia. JABFP Vol. 17 No. 3

May-June 2004.

Walker, R.P. 2006. Snoring and obstructive sleep apnea. Head & neck surgery-

otolaryngology. 4th ed. Philadelphia. p.645-664.