bab ii tinjauan kepustakaan 2.1

16
10 BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Terapi relaksasi otot progresif 2.1.1. Pengertian relaksasi otot progresif. Relaksasi otot progresif (ROP) adalah gerakan mengencangkan dan melemaskan otot-otot pada satu bagian tubuh pada satu waktu untuk memberikan perasaan relaksasi secara fisik. Gerakan mengencangkan dan melemaskan otot ini dilakukan secara berturut-turut (Synder danLinquisr, 2009 dalam Sari 2014). Teknik relaksasi otot progresif adalah teknik relaksasi otot dalam yang tidak memerlukan imajinasi, ketekunan, atau sugesti, dan teknik ini memusatkan perhatian pada suatu aktivitas otot dengan mengidentifikasi otot yang tegang kemudian menurunkan ketegangan dengan melakukan teknik relaksasi untuk mendapatkan perasaan relaks (Herodes 2010, dalam Setyoadi dan Kushariyadi 2011). 2.1.2. Tujuan relaksasi otot progresif. Menurut Herodes (2010), Alim (2009), dan Potter (2005) dalam Setyoadi dan Kushariyadi(2011) tujuan dari teknik relaksasi otot progresif adalah sebagai berikut :

Upload: others

Post on 04-Oct-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

10

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Terapi relaksasi otot progresif

2.1.1. Pengertian relaksasi otot progresif.

Relaksasi otot progresif (ROP) adalah gerakan mengencangkan dan

melemaskan otot-otot pada satu bagian tubuh pada satu waktu untuk

memberikan perasaan relaksasi secara fisik. Gerakan mengencangkan dan

melemaskan otot ini dilakukan secara berturut-turut (Synder danLinquisr,

2009 dalam Sari 2014). Teknik relaksasi otot progresif adalah teknik

relaksasi otot dalam yang tidak memerlukan imajinasi, ketekunan, atau

sugesti, dan teknik ini memusatkan perhatian pada suatu aktivitas otot

dengan mengidentifikasi otot yang tegang kemudian menurunkan

ketegangan dengan melakukan teknik relaksasi untuk mendapatkan

perasaan relaks (Herodes 2010, dalam Setyoadi dan Kushariyadi 2011).

2.1.2. Tujuan relaksasi otot progresif.

Menurut Herodes (2010), Alim (2009), dan Potter (2005) dalam Setyoadi

dan Kushariyadi(2011) tujuan dari teknik relaksasi otot progresif adalah

sebagai berikut :

11

2.1.2.1. Menurunkan ketegangan otot, kecemasan, nyeri leher dan punggung,

tekanan darah tinggi, frekuensi jantung, laju metabolikMengurangi

disritmia jantung, kebutuhan oksigen

2.1.2.2. Meningkatkan gelombang alfa otak yang terjadi ketika klien sadar dan

tidak memfokuskan perhatian serta relaks

2.1.2.3. Meningkatkan rasa kebugaran dan konsentrasi

2.1.2.4. Memperbaiki kemampuan untuk mengatasi stress

2.1.2.5. Mengatasi insomnia, depresi, kelelahan, iritabilitas, spasme otot, fobia

ringan, gagap ringan

2.1.2.6. Membangun emosi positif dari emosi negatif

Menurut Allenidekania, Nurahmah, Rustina & Eryando (2017) relaksasi otot

progresif pada anak bertujuan agar anak dapat membuat kontraksi otot di bagian

tubuh yang berbeda-beda sehingga anak terbantu melakukan gerakan pada bagian

tubuh yang tidak nyaman, gerakan ini bermanfaat untuk membuat tubuh anak

menjadi relaks dan tenang sehingga diharapakan kecemasan anak dapat di

turunkan.

2.1.3. Kontra indikasi.

Relaksasi otot progresif tidak dapat dilakukan apabila anak sering mengalami

kejang otot, punya masalah punggung serta cedera lainnya di otot.

12

2.1.4. Persiapan pelaksanaan relaksasi otot progresif.

2.1.4.1. Persiapan pada pasien.

Sebelum melakukan tindakan terlebih dahulu kita melakukan persiapan

pada klien dengan menjelaskan tujuan manfaat dan prosedur

pelaksanaan relaksasi otot progresif. Kemudian longgarkan pakaian dan

lepaskan alas kaki klien, atur posisi duduk yang nyaman, tidak

membungkuk, atau merosot, lakukan teknik nafas dalam tiga kali, saat

sudah relaks , gerakan dapat dimulai (Allenidekania, Nurahmah, Rustina

& Eryando, 2017).

2.1.4.2. Alat – alat yang dibutuhkan.

Kegiatan relaksasi otot progresif ini dapat dilakukan anak di tempat tidut

maupun di kursi dengan sandaran.

2.1.5. Langkah – langkah teknik relaksasi otot progresif.

Menurut Allenidekania, Nurahmah, Rustina & Eryando (2017) dan setyoadi dan

Kushariyadi (2011) langkah-langkah dalam pelaksanaan relaksasi otot progresif

adalah sebagai berikut : Tahapan pada setiap otot yaitu tegangkan otot, tahan 5

hitungan, kemudian lemaskan, lakukan nafas dalam 3 kali dan ulangi gerakan

sebanyak 3 kali.

2.1.5.1. Gerakan satu pada pundak : ditujukan untuk melatih otot bahu supaya

mengendur dengan mengakat kedua bahu setinggi-tingginya seakan-

akan hingga menyentuh kedua telinga.

13

2.1.5.2. Gerakan dua pada mata : tutup keras- keras mata sehingga dapat

dirasakan ketegangan disekitar mata dan otot-otot yang mengendalikan

gerakan mata.

2.1.5.3. Gerakan ketiga wajah: untuk mengendurkan otot otot sekitar mulut dan

wajah dengan cara katupkan gigi dan nyengir

2.1.5.4. Gerakan keempat tangan kanan dan kiri : dengan cara merentangkan

tangan kedepan dengan telapak tangan menghadap kedepan kemudian

dorong sekuatnya kemudian relaksasikan, kemudian kepalkan tangan dan

lepas kepalan.

2.1.5.5. Gerakan ke lima : dengan cara meluruskan kedua telapak kaki sehingga

otot paha terasa tegang.

Kegiatan relaksasi otot progresif pada pasien anak dengan kemoterapi kanker

dapat dilakukan minimal 10 menit dan maksimal 20 menit per hari dapat

menurunkan kecemasan (Allenidekania, Nurahmah, Rustina & Eryando, 2017).

Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Nova (2016), relaksai otot

progresif dilakukan selama 3 hari pada pasien kanker payudara di RSUP Haji

Adam Malik Medan yang mengalami cemas, hal ini dapat menurunkan

kecemasan.

2.2. Kemoterapi kanker pada keganasan pediatrik

Kanker adalah pertumbuhan dan penyebaran sel yang tidak terkontrol yang bisa

mempengaruhi hampir semua bagian tubuh. Word Health Organisation (2014).

Keganasan pada anak yang sering terjadi seperti leukimia, tumor otak dan sistem saraf,

14

limfoma, neuroblastoma, rabdomiosarcoma, osteo sarcoma, tumor wilms, retinoblastoma.

Upaya pengobatan keganasan tersebut adalah dengan pembedahan, radioterapi, bioterapi,

transplantasi sumsum tulang dan kemoterapi. Kemoterapi kanker merupakan salah satu

dari sedikit bidang ilmu kedokteran yang sekarang ini menggunakan kombinasi obat

lebih berhasil daripada agen tunggal, kemoterapi adalah pemberian agen kima atau anti

neoplastik yang bertujuan untuk mengobati penyakit melalui penekanan pertumbuhan

organ penyebab dan tidak membahayakan bagi pasien (Faizi dan Irwanto 2016)

Data dari UNICEF yang menyebutkan bahwa jumlah penderita kanker di dunia pada

anak umur 5-9 tahun adalah 196 ribu (56,6 %) berjenis kelamin laki-laki dan 150 ribu

(43,3%) berjenis kelamin perempuan (UNICEF 2015). Demikian pula pada penelitian

yang dilakukan oleh Novrianda (2016) dalam penelitian disebutkan bahwa anak dengan

leukima limpoblastik akut terbanyak adalah anak dengan jenis kelamin laki-laki yaitu

68% sedangkan anak yang memiliki jenis kelamin perempuan 32 %. Tidak berbeda jauh

dengan penelitian yang dilakukan oleh Pinontoan (2013) dimana dikatakan bahwa 61 %

anak penderita akut limpositik leukimia adalah berjenis kelamin laki-laki dan sisanya 39

% anak berjenis kelamin perempuan.

Setiap satu juta anak terdapat 120 anak yang mengidap kanker dan 60 % diantaranya

disebabkan oleh leukimia dimana 82% anak menderita leukima limpoblastik akut dan

hanya 18% anak dengan leukima mieloblastik (Akut International Cancer Parent

Organization 2011 dalam Pinontoan 2013). Demikian pula dengan penelitian yang

pernah dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo yang menyebutkan bahwa jenis

15

kanker yang paling banyak diderita anak berumur dibawah 15 tahun adalah leukimia (30-

4%) disusul tumor Otak (10-15%) dan Tumor Mata (10-12%) serta sisanya adalah dari

jenis tumor lain (Simanjorang 2013).

Obat kemoterapi kanker yang sering digunakan pada anak-anak yaitu siklofospamide,

vincristin, aktinomisin D, asparginase-L, cisplatin, carboplatinum, metrotreksat, 6-

merkaptopurin, arabinoside sitosin, vinblastin, dan etoposide. Pengobatan menggunakan

kemoterapi, sering di jumpai efek samping baik secara fisik maupun secara psikologis.

Adapun efek samping pada fisik anak yang mendapatkan kemoterapi yaitu anak dapat

mengalami infeksi karena leukopenia, perdarahan karena trombositopenia, anemia, mual,

muntah, gangguan nutrisi, ulserasi mukosa atau stomatitis, alopesia, diare atau konstipasi,

demam, neuropati, ruam pada kulit, gangguan elektrolit serta kardiotoksitis, sedangkan

dampak psikologis efek samping psikologis yang terjadi pada anak adalah kelelahan,

khawatir, cemas, takut akan ancaman kematian serta perubahan emosi (Setiawan 2015).

Efek samping secara fisik yang dialami oleh anak dengan kemoterapi seperti anemia,

mual muntah, penurunan nafsu makan membuat anak menjadi merasa lemas, tidak

bersemangat, kehilangan tenaga dan mudah merasa mengantuk serta kosentrasi menjadi

menurun. Dimana kita mengetahui bahwa anak usia sekolah ini menurut erikson dalam

wong (2009) berada dalam tahap industri yaitu anak tertarik untuk melakukan banyak

hal dan mengetahui serta mempelajari hal-hal yang baru, anak usia sekolah juga sudah

memiliki keinginan untuk bersaing serta memiliki interaksi yang sangat besar dengan

teman sebaya, dengan kondisinya yang lemah menyebabkan anak tidak dapat melakukan

16

hal-hal yang biasa dilakukannya seperti kegemaran atau hobinya sebelum anak

mengalami kemoterapi di Rumah Sakit serta kegiatan-kegiatan lain yang pada umumnya

dilakukan oleh anak seusianya. Hal ini menimbulkan perasaan cemas, khawatir dan takut

pada anak bahwa dirinya akan tertinggal dan merasa menjadi berbeda dengan teman-

temannya.

Selain itu dampak fisik yang dialami oleh anak dengan kemoterapi juga berdampak pada

mendepresi sumsum tulang sehingga selain anak mengalami anemia, anak juga

mengalami trombositopenia dan leukositopenia yang membuat anak harus dirawat lebih

lama dirumah sakit karena perdarahan maupun infeksi lainnya. Pada anak usia sekolah

sudah mampu memahami hubungan sebab akibat dan anak mengetahui apabila

melakukan hal yang salah maka akan mendapatkan hukuman, serta anak mampu

menempatkan dirinya di posisi orang lain atau anak sudah mampu bersimpati maupun

empati. Jadi anak bisa memiliki persepsi bahwa penyakit yang dialaminya akibat ia

bersalah dan mendapat hukuman sehingga meningkatkan kecemasan, kekhawatiaran

dan ketakutan pada anak akan ancaman kematian dan berpisah dengan keluarganya serta

tidak dapat bergabung mengikuti kegiatan dengan teman sebayanya.

Gangguan fisik yang lainnya berupa alopesia dan ruam-ruam di kulit dapat menimbulkan

gangguan citra tubuh pada anak, anak merasa berbeda dengan teman sebayanya ini

menjadi salah satu penyebab meningkatnya kecemasan pada anak. Selain itu anak usia

sekolah juga merasa bahwa jika anak dan orang tua berbeda pendapat maka pendapat

orang tualah yang benar sehingga anak merasa tidak berdaya dan tidak mampu

mengungkapkan apa yang diinginkannya, misalnya dalam pengambilan keputusan

17

tentang pengobatan ataupun perawatannya. Anak juga merasa tidak mampu untuk

menolok yang diinginkannya terhadap prosedur perawatannya, karena ketidakberdayaan

tersebut anak dapat mengalami kecemasan.

Uraian diatas menunjukkan bahwa efek samping kemoterapi terhadap fisik maupun

psikologis memiliki saling keterkaitan satu dengan yang lain, dimana efek samping pada

fisik juga bisa menimbulakan efek secara psikologis. Usaha untuk meminimalisasikan

efek samping secara fisik maka anak diberikan terapi farmakologi oleh dokter seperti anti

emetik, anti nyeri, transfusi produk darah, anti fungi, anti piretik dan antibiotika serta

obat-obatan lainnya untuk memberikan rasa nyaman dan mengobati gejala-gejala yang

timbul, sementara itu terapi non Farmakologi diberikan oleh perawat seperti teknik

distraksi atau nafas dalam untuk mengurangi nyeri atau melakukan akupresure titik P6

untuk mengurangi mual dan muntah, tindakan-tindakan tersebut diharapkan mampu

mengurangi penyebab kecemasan pada anak ataupun efek samping secara psikologis

pada anak. Efek samping psikologis khususnya cemas dapat diatasi dengan beberapa

terapi relaksasi salah satunya adalah dengan relaksasi pogresif.

2.3. Kecemasan

2.3.1. Definisi cemas.

Kecemasan adalah suatu keadaan emosional yang tidak menyenangkan yang

ditandai oleh rasa ketakutan serta gejala fisik yang menegangkan serta tidak

diinginkan ( Davies 2009 dalam Rochmawaty 2014). Menurut Corner (1992)

dalam Videbeck (2008) cemas atau ansietas adalah perasaan takut yang tidak

18

jelas dan tidak di dukung oleh situasi. Ketika merasa cemas individu merasa tidak

nyaman atau takut atau memiliki firasat akan ditimpa malapetaka padahal ia tidak

mengerti mengapa emosi yang mengancam tersebut terjadi. Tidak ada objek yang

bisa diidentifikasi sebagai stimulus ansietas.

Menurut Stuart (2013) cemas dalah rasa takut yang tidak jelas disertai dengan

perasaan ketidakpastian, ketidakberdayaan, isolasi, dan ketidakamanan.

Seseorang merasa dirinya sedang terancam. Perasaan cemas dimulai pada masa

bayi dan berlanjut sepanjang hidup. Kecemasan adalah gangguan perasaan

(affective) yang ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang

mendalam dan berkelanjutan, tidak mengalami gangguan dalam menilai Reality

Testing Ability (RTA masih baik), kepribadian masih tetap utuh, perilaku dapat

terganggu tetapi dalam batas-batas normal (Hawari 2011 dalam Delvinasari 2015)

2.3.2. Tingkat kecemasan.

Peplau (1963) dalam Stuart ( 2016) mengidentifikasi empat tingkat ansietas

dengan penjelasan efeknya:

2.3.2.1. Ansietas ringan terjadi saat kegagalan hidup sehari-hari. Selama tahap ini

seseorang waspada dan lapang persepsi meningkat. Kemampuan

seseorang untuk melihat, mendengar, dan menangkap lebih dari

sebelumnya. Jenis ansietas ringan dapat memotivasi belajar dan

menghasilkan penumbuhan kreatifitas.

19

2.3.2.2. Ansietas sedang, dimana seseorang hanya berfokus pada hal yang

penting saja lapang persepsi menyempit, sehingga kurang melihat,

mendengar, dan menangkap. Seseorang memblokir area tertentu tetapi

masih mampu mengikuti perintah jika diarahkan untuk melakukannya.

2.3.2.3. Ansietas berat ditandai dengan penurunan yang signifikan dilapang

persepsi. Cenderung memfokuskan pada hal yang detail dan tidak

berfikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi

ansietas, dan banyak arahan yang dibutuhkan untuk fokus pada area

lainnya.

2.3.2.4. Panik dikaitkan dengan rasa takut dan teror, sebagian orang yang

mengalami kepanikan tidak dapat melakukan hal-hal bahkan dengan

arahan. Peningkatan aktivitas motorik, penurunan kemampuan untuk

berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyempit, dan

kehilangan pemikiran yang rasional.

2.3.3. Faktor predisposisi dan presipitasi kecemasan.

Faktor predisposisi dan presipitasi kecemasan menurut stuart dan sundeen (2013)

meliputi:

2.3.3.1. Faktor predisposisi.

Dalam pandangan psikoanalitik kecemasan, konflik emosional yang

terjadi antara dua elemen kepribadiaan (id dan superego), id mewakili

dorongan insting sedangkan superego mencerminkan hati nurani

seseorang dan dikendalikan oleh norma-norma budaya, ego memenuhi

20

tuntutan kedua elemen (mengingatkan adanya bahaya). Dalam

pandangan interpersonal kecemasan timbul dari perasaan takut terhadap

tidak adanya penerimaan dan penolakan interpersonal, kecemasan juga

berhubungan dengan perkembangan trauma seperti perpisahan dan

kehilangan yang menimbulkan kelemahan fisik. Dalam pandangan

perilaku kecemasan merupakan produk frustasi yaitu segala sesuatu yang

mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang

diinginkan.

2.3.3.2. Faktor presipitasi.

stressor pencetus kecemasan mungkin berasal dari sumber internal atau

sumber eksternal yang dapat di kelompokkan dalam dua kategori yaitu :

(1) Ancaman terhadap integritas seseorang : ketidakmampuan seseorang

meliputi ketidakmampuan fisiologis yang akan datang atau menurunnya

kapasitas untuk melakukan aktifitas hidup sehari-hari. (2) Ancaman

terhadap sistem diri seseorang : ancaman yang dapat membahayakan

identitas, harga diri, fungsi sosial yang terintegrasi seseorang.

2.3.4. Alat ukur kecemasan.

Untuk mengukur tingkat kecemasan pada anak dapat menggunakan The Revised

Children’s Manifest Anxiety Scale (RCMAS). RCMAS ini dikembangkan oleh

Reynolds dan Richmond (1978) untuk menilai tingkat dan kualitas kecemasan

yang dialami oleh anak-anak dan remaja yang merupakan revisi dari Children’s

21

Manifest Anxiety Scale (CMAS) yang pertama kali diperkenalkan oleh Castaneda,

Mc Candless dan Palermo (1956). RCMAS cocok digunakan untuk menilai

derajat dan kualitas kecemasan pada anak usia 6-19 tahun . Kuesioner RCMAS

“apa yang saya pikirkan dan apa yang saya rasakan” terdiri dari tiga faktor

kecemasan yang dinilai yaitu kecemasan fisiologis (10 item), khawatir/

oversensitivity (11 item), konsentrasi dan kepedulian sosial (7 item) dengan

jawaban “ya” skor 1 dan jawaban “tidak” skor 0. Jumlah skor butir pernyataan

pada kuesioner RCMAS yang diperoleh adalah 0-28 (han, 2009). Quesioner

RCMAS ini telah digunakan dan alih bahasakan serta di uji validitasnya oleh

prabowo (2015) dalam penelitiannya tentang pengaruh senam otak terhadap

tingkat kecemasan sosial pada anak usia sekolah kelas 1 di SD Negeri Tuguran

Gampng Sleman Yogyakarta. RCMAS juga telah digunakan dan dialih bahasakan

serta telah di uji validitas oleh Sun (2007) dalam Ahmadi 2014. RCMAS dapat

didisi oleh petugas kesehatan maupun diisi oleh responden sehingga kuesioner ini

dapat dengan mudah diterapkan dan hanya membutuhkan waktu kuranglebih 10

menit dalam pengisiannya (Drjenna 2013).

Selain itu untuk mengukur tingkat kecemasan dapat Menggunakan Hamilto

Rating Scale For Anxiety (HRS-A) Maranatha (2011). Alat ukur ini terdiri dari 14

kelompok gejala yang masing-masing kelompok gejala diberi penilaian angka

(skore) antara 0-4.

0 : tidak ada gejala

1 : ringan (tidak ada gejala sama sekali)

22

2 : sedang (satu gejala dari pilihan yang ada)

3 : berat (separuh dari gejala yang ada)

4 : berat (lebih dari separuh gejala yang ada)

5 : Berat sekali (semua gejala ada)

Alat ukur ini menggunakan teknik wawancara langsung. Masing-masing angka

dari ke 14 kelompok tersebut di jumlahkan dari hasil penjumlahan tersebut dapat

diketahui derajat kecemasan seseorang yaitu :

Skor <14 tidak ada kecemasan

14-20 kecemasan ringan

21-27 (kecemasan sedang)

28-41 (kecemasan berat)

42-56 (kecemasan berat sekali.)

2.4. Anak usia sekolah

2.4.1. Definisi.

Anak usia sekolah adalah antara usia 6-12 tahun, mengalami waktu pertumbuhan

fisik pogresif yang lambat, sedangkan kompleksitas pertumbuhan sosial dan

perkembangan mengalami percepatan dan meningkat. Fokus dunia mereka

berkembang dari keluarga ke guru, teman sebaya, dan pengaruh luar lainnya.

(Kyle & Carman 2012). Anak usia sekolah merupakan rentang kehidupan yang

dimulai dari usia 6 sampai 12 tahun, usia ini memliliki berbagai label yang

masing-masing menguraikan karakteristik penting dari periode tersebut (Wong

2009).

23

2.4.2. Tahap Perkembang anak usia sekolah.

Secara fisiologis, anak usia sekolah dimulai dengan tanggalnya gigi susu pertama

dan diakhiri pada usia pubertas dengan memperoleh gigi permanen terakhir

(kecuali gigi geraham terakhir). Tahap perkembangan menurut Teori Erikson

adalah industri vs inferior (pengembangan rasa industri), dijelaskan bawa pada

usia ini anak ingin melakukan atau mempelajari dan menghasilkan sesuatu yang

baru, sehingga penting bagi anak untuk mendapatkan pujian atas

keberhasilannya serta mendapatkan dukungan yang banyak ketika anak

mengalami kegagalan. Anak usia sekolah juga memiliki keterikatan yang besar

terhadap teman sebayanya, melakukan aktifitas belajar dan bermain bersama

teman sebaya menjadi hal yang sangat penting bagi anak (Erikson 1963 dalam

Kyle dan Carman 2012).

Hospitalisasi merupakan suatu proses dimana karena alasan tertentu atau darurat

mengharuskan anak untuk tinggal di Rumah Sakit, menjalani terapi perawatan

sampai pulangnya kembali ke rumah (Supartini 2004 dalam utami 2014). Saat

anak mengalami hospitalisasi dirumah sakit anak memiliki keterbatasan dalam

melakukan hal-hal yang dia inginkan dan melakukan kegemarannya, hal ini

membuat anak menjadi cemas bahwa dia akan berbeda dengan teman sebayanya

dan merasa tidak dapat melakukan apa-apa, serta muncul perasaan cemas apakah

ia dapat membuat orangtuanya bangga, sehingga anak membutuhkan dukungan

24

dari lingkungan sekitarnya, seperti orang tua, teman sebaya dan juga perawat

yang berada 24 jam bersama pasien selama anak mengalami hospitalisasi.

Pada anak usia sekolah anak sudah mampu mengenal benar dan salah , anak

memahami jika dirinya melakukan kesalahan maka dia akan mendapat hukuman.

Pada anak yang mengalami sakit anak dapat berfikir bahwa sakitnya adalah

merupakan hukuman karena kesalahannya, sehingga sering kali menimbulkan

kecemasan pada anak. Selain itu anak usia sekolah juga menganggap jika terjadi

perbedaan pendapat antara anak dan orang dewasa maka orang dewasa yang

benar, pada anak yang mengalami hospitalisasi anak terpaksa harus mengikuti

prosedur-prosedur untuk pengobatan dan perawatan yang menyebabkan anak

mengalami nyeri dan tidak nyaman sehingga anak cenderung tidak mau

mengikuti prosedur-prosedur tersebut, serta mengalami kecemasan sebelum

maupun saat prosedur berlangsung, anak juga merasa tidak mampu untuk

menolak prosedur perawatan hal ini akan meningkatkan kecemasan yang dialami

anak.

Menurut Freud dalam Wong (2009) anak usia sekolah berfokus pada aktifitas

yang mengembangkan keterampilan sosial dalam hubungan dengan teman sebaya

yang sejenis dan mengembangkan keterampilan kognitif. Saat anak mengalami

hospitalisasi dan mendapatkan kemoterapi, lingkungan anak terbatas, dan anak

mengalami efek kemoterapi seperti mual, muntah, diare, demam, perdarahan dan

yang lainnya sehingga anak mengalami kelemahan dan memaksa anak untuk tetap

25

tinggal di tempat tidurnya, hal ini menyebabkan anak kehilangan kesempatan

untuk bersosialisasi dengan tengan sebaya melakukan aktifitas- aktifitas seperti

belajar maupun bermain perasaan cemas akan timbul karena hal tersebut. Tidak

jarang anak yang mendapatkan kemoterapi harus mengalami isolasi dikarenakan

mengalami leukopenia, isolasi disini adalah anak ditempatkan di ruang tersendiri

dan dibatasi pengunjung. Anak akan merasa sendiri dan perasaan cemas akan

muncul karena merasa tidak mendapat dukungan terutama dari teman sebaya.

2.5. Penelitian terdahulu

Penelitian terdahulu tentang pengaruh relaksasi otot progresif terhadap tingkat

kecemasan adalah sebagai berikut:

2.5.1. Penelitian yang dilakukan oleh Praptini(2014) tentang Pengaruh Relaksasi Otot

Progresif Terhadap Tingkat Kecemasan Pasien Kemoterapi pada 22 Orang Pasieni

di Rumah Singgah Kanker Denpasar , di temukan bahwa relaksasi otot progressif

berpengaruh terhadap tingkat kecemasan dengan p value 0.002.

2.5.2. Penelitian yang dilakukan oleh Dogobercia (2012) yang juga meneliti perbedaan

tingkat kecemasan pada 30 orang pasien dewasa preoperasi dengan general anestesi

sebelum dan sesudah diberikan relaksasi otot progresif di RS Panti Wilasa Citarum

Semarang. Hasil penelitian adalah terdapat perbedaan yang signifikan antara

tingkat kecemasan sebelum dan sesudah diberikan relaksasi otot progresif.