bab ii tinjauan kepustakaan 2.1 pneumonia pada balita 2.1

24
13 BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Pneumonia pada Balita 2.1.1 Definisi Pneumonia Pneumonia adalah radang paru yang disebabkan oleh bakteri dengan gejala panas tinggi disertai batuk berdahak, napas cepat (frekuensi nafas >50 kali/menit), sesak, dan gejala lainnya (sakit kepala, gelisah dan nafsu makan berkurang) (Kemenkes, 2013). Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat (Dahlan, 2014). Menurut Muchtar (2013), Pneumonia adalah infeksi akut pada jaringan paru paru (alveoli), disebabkan karena mikroorganisme seperti virus, bakteri, jamur, dan parasit. Terjadinya pneumonia pada anak sering kali bersamaan dengan proses infeksi akut pada bronkus (broncuspneumonia). Umumnya penyakit pneumonia terjadi 2 atau 3 hari setelah infeksi saluran pernapasan atas. Menurut Sarlis dan Mutya (2018), pneumonia adalah infeksi jaringan paru-paru yang bersifat akut, penyebabnya adalah bakteri, virus, jamur, pajanan bahan kimia atau kerusakan fisik dari paru-paru. Pneumonia berulang (rekuren) adalah pneumonia dengan 2 episode atau lebih yang terjadi dalam periode satu tahun. Pneumonia rekuren terjadi pada 7,7- 9% anak yang mengalami pneumonia. Pneumonia berulang ini selain disebabkan

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

13

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Pneumonia pada Balita

2.1.1 Definisi Pneumonia

Pneumonia adalah radang paru yang disebabkan oleh bakteri dengan gejala

panas tinggi disertai batuk berdahak, napas cepat (frekuensi nafas >50 kali/menit),

sesak, dan gejala lainnya (sakit kepala, gelisah dan nafsu makan berkurang)

(Kemenkes, 2013). Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru,

distal dari bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi

jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat (Dahlan, 2014).

Menurut Muchtar (2013), Pneumonia adalah infeksi akut pada jaringan paru

– paru (alveoli), disebabkan karena mikroorganisme seperti virus, bakteri, jamur,

dan parasit. Terjadinya pneumonia pada anak sering kali bersamaan dengan proses

infeksi akut pada bronkus (broncuspneumonia). Umumnya penyakit pneumonia

terjadi 2 atau 3 hari setelah infeksi saluran pernapasan atas. Menurut Sarlis dan

Mutya (2018), pneumonia adalah infeksi jaringan paru-paru yang bersifat akut,

penyebabnya adalah bakteri, virus, jamur, pajanan bahan kimia atau kerusakan fisik

dari paru-paru.

Pneumonia berulang (rekuren) adalah pneumonia dengan 2 episode atau

lebih yang terjadi dalam periode satu tahun. Pneumonia rekuren terjadi pada 7,7-

9% anak yang mengalami pneumonia. Pneumonia berulang ini selain disebabkan

14

oleh mikroorganisme, juga dapat disebabkan oleh sistem imunitas atau kekebalan

tubuh balita yang lemah (Sari, 2014).

2.1.2 Epidemiologi Pneumonia

Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama

pada anak di negara berkembang. Penyakit pneumonia adalah penyebab utama

kematian balita baik di Indonesia maupun di dunia, namun tidak banyak perhatian

terhadap penyakit ini. Oleh karena itu penyakit ini sering disebut sebagai Pembunuh

Balita Yang Terlupakan (The Forgotten Killer of Children). Di negara berkembang,

penyakit pneumonia merupakan 25% penyumbang kematian pada anak, terutama

bayi berusia kurang dari 2 bulan. Insidens pneumonia di negara berkembang adalah

2-10 kali lebih banyak dari pada negara maju. Perbedaan tersebut berhubungan

dengan etiologi dan faktor resiko pneumonia di negara tersebut (Narsiti dkk, 2008

dalam Alfaqinisa, 2015).

Sebuah studi menyebutkan rata-rata kasus pneumonia dalam setahun

adalah 12 kasus setiap 1000 orang. Mortalitas pada penderita pneumonia komuniti

yang membutuhkan perawatan rumah sakit diperkirakan sekitar 7 - 14%, dan

meningkat pada populasi tertentu seperti pada penderita Comunity Acquired

Pneumonia (CAP) dengan bakterimia, dan penderita yang memerlukan perawatan di

Intensive Care Unit (ICU). Angka mortalitas juga lebih tinggi ditemukan pada negara

berkembang, pada usia muda, dan pada usia lanjut, bervariasi dari 10 – 40 orang

tiap 1000 penduduk di negara-negara barat (Marchelinus, 2013).

15

2.1.3 Etiologi Pneumonia

Pada Bayi baru lahir, pneumonia seringkali terjadi karena aspirasi, infeksi

virus Varicella-zoster dan infeksi berbagai bakteri gram negatif seperti bakteri Coli,

TORCH, Streptokokus dan Pneumokokus. Pada Bayi, pneumonia biasanya

disebabkan oleh berbagai virus, yaitu Adenovirus, Coxsackie, Parainfluenza,

Influenza A or B, Respiratory Syncytial Virus (RSV), dan bakteri yaitu B. streptococci,

E. coli, P. aeruginosa, Klebsiella, S. pneumoniae, S. aureus, Chlamydia. Pneumonia

pada batita dan anak pra-sekolah disebabkan oleh virus, yaitu: Adeno,

Parainfluenza, Influenza A or B, dan berbagai bakteri yaitu: S. pneumoniae,

Hemophilus influenzae, Streptococci A, Staphylococcus aureus, Chlamydia (Buletin,

2010).

Pneumonia disebabkan oleh bakteri: Streptococcus pneumoniae,

Haemophilus influenzae, Mycoplasma pneumonia dan Staphylococcus aureus, virus

: Respiratory syntical virus, Influenza A or B virus, Human rhinovirus, Human

merapneumovirus, Adenovirus, dan parainfluenza virus, fungi (mycoplasma),dan

aspirasi substansi asing (Seyawati dan Marwiati 2018).

Menurut Kemenkes RI (2010), pneumonia dapat disebabkan karena infeksi

berbagai bakteri, virus dan jamur. Namun, penyakit pneumonia yang disebabkan

karena jamur sangatlah jarang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 70% penyakit

pneumonia disebabkan oleh bakteria. Bakteri penyebab pneumonia tersering

adalah Streptococcus pneumoniae (50%) dan Haemophilus influenzae (20%).

Penyebab pneumonia adalah berbagai macam virus, bakteri atau jamur.

Bakteri penyebab pneumonia yang tersering adalah pneumokokus (Streptococcus

16

pneumonia), HiB (Haemophilus influenza type b) dan stafilokokus (Staphylococcus

aureus). Virus penyebab pneumonia sangat banyak, misalnya rhinovirus, respiratory

syncytial virus (RSV), virus influenza (IDAI, 2016).

2.1.4 Patogenesis Pneumonia

Proses patogenesis pneumonia terkait 3 faktor yaitu keadaan (imunitas)

inang, mikroorganisme yang menyerang pasien dan lingkungan yang berinteraksi

satu sama lain. Interaksi ini akan menentukan klasifikasi dan bentuk manifestasi

dari pneumonia, berat ringannya penyakit, diagnosis empirik, rencana terapi secara

empiris serta prognosis dari pasien.

Patogenesis dari pneumonia akibat dari bakteri pneumokokus merupakan

yang paling banyak diselidiki. Pneumokokus umumnya mencapai alveoli lewat

percikan mukus atau saliva. Lobus bagian bawah paru-paru paling sering terkena

karena efek gravitasi. Setelah mencapai alveoli, maka pneumokokus menimbulkan

respon yang khas terdiri dari empat tahap yang berurutan :

1. Kongesti (24 jam pertama) : Merupakan stadium pertama, eksudat yang

kaya protein keluar masuk ke dalam alveolar melalui pembuluh darah yang

berdilatasi dan bocor, disertai kongesti vena. Paru menjadi berat, edematosa

dan berwarna merah.

2. Hepatisasi merah (48 jam berikutnya) : Terjadi pada stadium kedua, yang

berakhir setelah beberapa hari. Ditemukan akumulasi yang masih dalam

ruang alveolar, bersama-sama dengan limfosit dan magkrofag. Banyak sel

darah merah juga dikeluarkan dari kapiler yang meregang. Pleura yang

menutupi diselimuti eksudat fibrinosa, paru-paru tampak berwarna

17

kemerahan, padat tanpa mengandung udara, disertai konsistensi mirip hati

yang masih segar dan bergranula (hepatisasi = seperti hepar).

3. Hepatisasi kelabu (3-8 hari) : Pada stadium ketiga menunjukkan akumulasi

fibrin yang berlanjut disertai penghancuran sel darah putih dan sel darah

merah. Paru-paru tampak kelabu coklat dan padat karena leukosit dan fibrin

mengalami konsolidasi di dalam alveoli yang terserang.

4. Resolusi (8-11 hari) : Pada stadium keempat ini, eksudat mengalami lisis dan

direabsorbsi oleh makrofag dan pencernaan kotoran inflamasi, dengan

mempertahankan arsitektur dinding alveolus di bawahnya, sehingga jaringan

kembali pada strukturnya semula (Dahlan, 2014).

2.1.5 Klasifikasi Pneumonia

Secara anatomi, pneumonia dapat dikenal sebagai berikut:

a. Pneumonia Lobaris, dimana yang terserang adalah seluruh atau segmen

yang besar dari satu atau lebih lobus pumonary. Apabila kedua paru yang

terkena, maka hal ini sering disebut sebagai bilateral atau “double”

pneumonia (pneumonia lobular).

b. Broncho pneumonia, yang dimulai pada terminal bronchiolus menjadi

tersumbat dengan eksudat muco purulent sampai membentuk gabungan

pada daerah dekat lobulus.

c. Interstitial pneumonia yang mana adanya suatu proses inflamasi yang lebih

atau hanya terbatas didalam dinding alveolar (interstitium) dan

peribronchial dan jaringan inter lobular (Maryunani, 2010).

18

Menurut Pamungkas (2012), pada balita klasifikasi penyakit pneumonia

dibedakan untuk golongan umur <2 bulan dan umur 2 bulan sampai 5 tahun, yaitu

sebagai berikut:

1. Untuk golongan umur <2 tahun, diklasifikasikan menjadi 2 yaitu:

a. Pneumonia berat, ditandai dengan adanya napas cepat, yaitu frekuensi

pernapasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih, adanya tarikan yang

kuat pada dinding dada bagian bawah ke dalam

b. Bukan pneumonia, batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tarikan kuat

dinding dada bagian bawah atau napas cepat.

2. Untuk golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun, diklasifikasikan menjadi 3

yaitu:

a. Pneumona berat, bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan dinding

dada bagian bawah ke dalam pada waktu anak menarik napas (pada saat

anak diperiksa anak harus dalam keadaan tenang tidak menangis atau

meronta).

b. Pneumonia, bila disertai napas cepat

c. Bukan pneumonia, mencakup kelompok penderita balita dengan batuk

yang tidak menunjukkan gejala peningkatan frekuensi napas (napas

cepat) dan tidak menunjukkan adanya tarikan dinding dada bawah ke

dalam.

19

2.1.6 Gejala Klinis Pneumonia

Menurut Kemenkes RI (2010), secara umum gambaran klinis pneumonia

diklasifikasi menjadi 2 kelompok yaitu :

1. Gejala Umum

misalnya demam, sakit kepala, maleise, nafsu makan kurang, gejala

gastrointestinal seperti mual, muntah dan diare.

2. Gejala Respiratorik

seperti batuk, napas cepat (tachypnoe/ fast breathing), napas sesak (retraksi

dada/chest indrawing), napas cuping hidung, air hunger dan sianosis.

Tanda atau gejala balita yang mengalami pneumonia adalah terjadi

peningkatan frekuensi napas yang membuat anak tampak sesak, selain itu pada

daerah dada tampak retraksi atau tarikan dinding dada bagian bawah setiap kali

anak menarik napas. Napas cepat disebut takipneu merupakan tanda pneumonia

pada anak yang penting, batasan frekuensi napas cepat pada bayi kurang dari 2

bulan adalah lebih/sama dengan 60 kali/menit, pada bayi 2-12 bulan adalah 50

kali/menit, sedangkan usia 1-5 tahun adalah 40 kali/menit, balita dengan

pneumonia mengalami perburukan gejala ditandai dengan gelisah, tidak mau

makan/minum, kejang atau sianosis (kebiruan pada bibir) bahkan penurunan

kesadaran (IDAI, 2016).

2.1.7 Penularan Pneumonia

Pneumonia termasuk ke dalam kategori Penyakit Menular yang menyerang

bayi dan balita. Cara penularan pneumonia melalui bakteri penyebab pneumonia

20

yaitu streptococcus pneumonia terjadi lewat udara atau droplet infection (Farida,

2015).

Sumber penularan pneumonia adalah penderita pneumonia yang

menyebarkan kuman dalam bentuk droplet ke udara pada saat batuk atau bersin.

Untuk selanjutnya, kuman penyebab pneumonia masuk ke saluran pernapasan

melalui proses inhalasi (udara yang dihirup), atau dengan cara penularan langsung,

yaitu percikan droplet yang dikeluarkan oleh penderita saat batuk, bersin, dan

berbicara langsung terhirup oleh orang di sekitar penderita, atau memegang dan

menggunakan benda yang telah terkena sekresi saluran pernapasan penderita

(Anwar dan Dharmayanti, 2014).

Penderita pneumonia merupakan sumber penularan penyakit ini, ketika

penderita yang sedang batuk atau bersin maka akan menyebarkan kuman ke udara

dalam bentuk droplet. Adapun cara lain penularan pneumonia seperti melalui

percikan droplet ketika sedang berbicara dengan penderita, menggunakan benda

yang telah terkena sekresi penderita dan melalui transfusi darah langsung dengan

penderita (WHO dalam Widayat, 2014).

2.1.8 Diagnosis Pneumonia

Diagnosis menurut WHO dalam Seyawati dan Marwiati (2018):

1. Pneumonia ringan, disamping mengalami batuk dan kesulitan bernapas,

anak hanya mengalami napas cepat dan tidak terdapat tanda-tanda

pneumonia berat:

a) Pada anak umur 2 bulan – 11 bulan : > 50 kali/menit

b) Pada anak umur 1 tahun – 5 tahun : > 40 kali/menit

21

2. Pneumonia berat, terdapat batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah

minimal salah satu dari tanda berikut :

a) Kepala terangguk-angguk

b) Pernapasan cuping hidung

c) Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam

d) Foto dada menunjukkan gambaran pneumonia (infiltrat luas, konsolidasi,

dll). Selain itu terdapat tanda lain yaitu napas cepat, suara merintih, pada

auskultasi terdengar suara ronki, suara napas menurun dan bronkial.

Menurut UNICEF dalam Amin (2015) mengatakan, X-ray rongga dada dan tes

laboratorium dapat digunakan untuk mengkonfirmasi adanya pneumonia, termasuk

luas dan lokasi infeksi beserta penyebabnya. Tapi tidak semua kasus dapat

didiagnosis dengan cara ini karena tidak semua pelayanan kesehatan memiliki X-ray

dan laboratorium. Kasus pneumonia dapat didiagnosis dengan cara lain, yaitu

dengan melihat gejala klinis mereka. Gejala klinis tersebut meliputi batuk, napas

cepat atau sulit bernapas.

2.1.9 Penatalaksanaan Pneumonia

Penatalaksanaan medis secara umum untuk pneumonia menurut WHO

(2010) :

1. Pneumonia Ringan

a) Anak di rawat jalan

b) Beri antibiotik: Kotrimoksasol (4 mg TMP/kg BB/kali) 2 kali sehari selama

3 hari atau Amoksisilin (25 mg/kg BB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari.

22

c) Tindak lanjut Anjurkan ibu untuk memberi makan anak. Nasihati ibu

untuk membawa kembali anaknya setelah 2 hari, atau lebih cepat kalau

keadaan anak memburuk atau tidak bisa minum atau menyusui. Ketika

anak kembali: Jika pernapasannya membaik (melambat), demam

berkurang, nafsu makan membaik, lanjutkan pengobatan sampai

seluruhnya 3 hari.

2. Pneumonia Berat

a) Anak dirawat di rumah sakit

b) Terapi Antibiotik

1) Beri ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6

jam), yang harus dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama.

Bila anak memberi respons yang baik maka diberikan selama 5 hari.

Selanjutnya terapi dilanjutkan di rumah atau di rumah sakit dengan

amoksisilin oral (15 mg/ kgBB/kali tiga kali sehari) untuk 5 hari

berikutnya.

2) Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat

keadaan yang berat (tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau

memuntahkan semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar, sianosis,

distres pernapasan berat) maka ditambahkan kloramfenikol (25

mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam).

3) Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat, segera berikan

oksigen dan pengobatan kombinasi ampilisin-kloramfenikol atau

23

ampisilin-gentamisin. Sebagai alternatif, beri seftriakson (80-100

mg/kgBB IM atau IV sekali sehari).

4) Bila anak tidak membaik dalam 48 jam, maka bila memungkinkan

buat foto dada.

5) Apabila diduga pneumonia stafilokokal (dijelaskan di bawah untuk

pneumonia stafilokokal), ganti antibiotik dengan gentamisin (7.5

mg/kg BB IM sekali sehari) dan kloksasilin (50 mg/kgBB IM atau IV

setiap 6 jam) atau klindamisin (15 mg/kgBB/hari –3 kali pemberian).

Bila keadaan anak membaik, lanjutkan kloksasilin (atau dikloksasilin)

secara oral 4 kali sehari sampai secara keseluruhan mencapai 3

minggu, atau klindamisin secara oral selama 2 minggu.

c) Terapi Oksigen

1) Beri oksigen pada semua anak dengan pneumonia berat

2) Bila tersedia pulse oximetry, gunakan sebagai panduan untuk terapi

oksigen (berikan pada anak dengan saturasi oksigen < 90%, bila

tersedia oksigen yang cukup). Lakukan periode uji coba tanpa

oksigen setiap harinya pada anak yang stabil. Hentikan pemberian

oksigen bila saturasi tetap stabil > 90%. Pemberian oksigen setelah

saat ini tidak berguna.

3) Gunakan nasal prongs, kateter nasal, atau kateter nasofaringeal.

Penggunaan nasal prongs adalah metode terbaik untuk

menghantarkan oksigen pada bayi muda. Masker wajah atau

24

masker kepala tidak direkomendasikan. Oksigen harus tersedia

secara terus-menerus setiap waktu.

4) Lanjutkan pemberian oksigen sampai tanda hipoksia (seperti

tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam yang berat atau

napas > 70/menit) tidak ditemukan lagi.

d) Pemantauan

Anak harus diperiksa oleh perawat paling sedikit setiap 3 jam dan

oleh dokter minimal 1 kali per hari. Jika tidak ada komplikasi, dalam 2

hari akan tampak perbaikan klinis (bernapas tidak cepat, tidak adanya

tarikan dinding dada, bebas demam dan anak dapat makan dan minum).

2.1.10 Penangganan Pneumonia Pada Balita

Menurut WHO dan UNICEF pada tahun 2009 membuat rencana aksi global

Global Action Plan For The Prevention (GAPP) untuk pencegahan dan pengendalian

pneumonia. Tujuannya adalah untuk mempercepat kontrol pneumonia dengan

kombinasi intervensi untuk melindungi, mencegah dan mengobati pneumonia pada

anak dengan tindakan yang meliputi :

1. Melindungi anak dari pneumonia termasuk mempromosikan pemberian ASI

Eksklusif dan mencuci tangan, mengurangi polusi udara didalam rumah,

2. Mencegah pneumonia dengan pemberian vaksinasi,

3. Mengobati pneumonia difokuskan pada upaya bahwa setiap anak sakit

memiliki akses ke perawatan yang tepat baik dari petugas kesehatan

berbasis masyarakat atau di fasilitas kesehatan jika penyakitnya bertambah

25

berat dan mendapatkan antibiotic serta oksigen yang mereka butuhkan

untuk kesembuhan.

Upaya pencegahan yang ditujukan untuk mengurangi kesakitan dan

kematian akibat pneumonia antara lain dengan:

1. Status imunisasi campak

Imunisasi campak untuk mencegah kematian pneumonia yang diakibatkan

oleh komplikasi penyakit campak. Penelitian di Amerika menunjukkan bahwa

imunisasi campak berperan dalam menurunkan kematian akibat pneumonia.

2. Perbaikan gizi keluarga untuk mengurangi malnutrisi sebagai salah satu

faktor risiko terjadinya pneumonia

3. Peningkatan kesehatan ibu dan bayi baru lahir dengan berat rendah melalui

upaya perbaikan kesehatan ibu dan anak

4. Perbaikan kualitas lingkungan terutama mengurangi polusi udara dalam

ruangan.

2.2 Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian Pneumonia pada Balita

2.2.1 Hubungan Pemberian Asi Ekslusif dengan Kejadian Pneumonia pada Balita

ASI (Air Susu Ibu) adalah suatu cairan yang terbentuk dari campuran dua zat

yaitu lemak dan air yang terdapat dalam larutan protein, laktosa dan garam-garam

anorganik yang dihasilkan oleh kelenjar payudara ibu, dan bermanfaat sebagai

makanan bayi (Maryunani, 2012).

Setelah bayi berumur lebih dari 6 bulan, bayi harus diperkenalkan dengan

makanan pendamping atau makanan padat dengan syarat ASI tetap diberikan

sampai bayi berumur 2 tahun atau lebih (Sary, 2017).

26

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Triana (2017) menunjukkan, bahwa

balita yang tidak memperoleh ASI ekslusif berisiko 4,033 kali lebih berisiko

menderita pneumonia (P = 0,005 (p<0,05) dan nilai OR: 4,033).

Penelitian yang dilakukan oleh Hidayani (2018) mengatakan hal sama,

dimana balita yang tidak mendapatkan ASI ekslusif 4,55 kali lebih berisiko terkena

penyakit pneumonia dibandingkan dengan balita yang mendapat ASI eksklusif (OR:

4,55 dan P=0,009). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Siregar dkk. (2018) juga

menunjukkan hasil yang sama dimana balita yang tidak diberikan ASI ekslusif

memilki peluang terjadi pneumonia 7,22 kali lebih besar dibandingkan dengan balita

yang diberikan ASI ekslusif (P=0,006 dan OR:7,22).

2.2.2 Hubungan Berat Badan Lahir dengan Kejadian Pneumonia pada Balita

Bayi dengan berat badan lahir rendah juga didapatkan kekurangan lain

seperti pusat pengaturan napas yang belum sempurna, kekurangan surfaktan (zat di

dalam paru dan yang diproduksi dalam paru serta melapisi bagian alveoli, sehingga

alveoli tidak kolaps pada saat ekspirasi), Lumen sistem pernafasan yang kecil dan

otot pernapasan yang lebih lemah dengan pusat pernapasan yang kurang

berkembang. Selain itu terdapat pula kekurangan lipoprotein paru-paru, yaitu

surfaktan yang berfungsi mencegah terjadinya kolaps paru pada saat respirasi

dengan cara menstabilkan alveoli yang kecil (Ibrahim, 2010).

Pada bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR), pembentukan zat anti

kekebalan kurang sempurna, berisiko terkena penyakit infeksi terutama pneumonia

sehingga risiko kemtian menjadi lebih besar dibanding dengan berat badan lahir

normal. Balita yang memiliki riwayat BBLR berisiko menderita pneumonia cukup

27

tinggi oleh karena adanya gangguan pertumbuhan dan imaturitas pada organ

saluran pernapasan (Hartati dkk, 2012).

Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian zonny (2012) di Puskesmas

Kelurahan Kembangan Utara yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan

bermakna antara berat badan lahir dengan pneumonia (p=0,02).

Penelitian Novianto di RSUP Soeradji Tirtonegoro Tahun 2012 juga

menyatakan hal yang sama bahwa BBLR merupakan faktor risiko 4,136 kali untuk

menderita pneumonia. Bayi yang mempunyai berat badan lahir rendah pada bulan

pertama kelahiran akan mudah terinfeksi penyakit infeksi pneumonia dan infeksi

pernapasan lainnya dikarenakan pembentukan zat aktif bagi kekebalan tubuh masih

kurang sempurna (WHO dalam Triana, 2017).

2.2.3 Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Pneumonia pada Balita

Status gizi dan infeksi saling berhubungan, karena infeksi dapat

menyebabkan status gizi kurang dan sebaliknya status gizi juga dapat menyebabkan

infeksi. Sumber energi didalam tubuh akan habis karena reaksi imunulogi yang

normal akan terhambat akibat infeksi (Sarlis dan Mutya, 2018). Status gizi kurang

merupakan faktor risiko yang paling penting untuk terjadinya kasus pneumonia

pada balita karena status gizi kurang akan menghambat pembentukan antibodi dan

juga akan mengganggu pertahanan paru (Efni dkk. 2016). Untuk menilai status gizi

balita (Gizi Buruk, Gizi Kurang, Gizi Baik dan Gizi Lebih) di lakukan dengan

pengukuran secara langsung yaitu antropometri dengan melihat indeks BB/U untuk

menggambarkan status gizi seseorang saat ini (current nutritional status) (Supariasa

28

dkk. 2014). Pengukuran status gizi bayi dan balita menggunakan rumus Z- Skor

sebagai berikut :

𝒁 𝑺𝒌𝒐𝒓 =𝐍𝐢𝐥𝐚𝐢 𝐈𝐧𝐝𝐢𝐯𝐢𝐝𝐮 𝐒𝐮𝐛𝐲𝐞𝐤− 𝐍𝐢𝐥𝐚𝐢 𝐌𝐞𝐝𝐢𝐚𝐧

𝐍𝐢𝐥𝐚𝐢 𝐒𝐢𝐦𝐩𝐚𝐧𝐠 𝐁𝐚𝐤𝐮

Tabel 2.1

Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks BB/U

Kategori Status Gizi Ambang Batas (Z-Score)

Gizi Buruk < - 3 SD

Gizi Kurang -3 SD sampai dengan < - 2 SD

Gizi Baik -2 SD sampai dengan 2 SD

Gizi Lebih > 3 SD

Sumber: Kemenkes RI, 2011

Status gizi yang baik pada balita mempengaruhi ketahanan tubuh balita,

sehingga dapat mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi, jika keadaan gizi

menjadi buruk maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun sehingga kemampuan

tubuh untuk mempertahankan diri dari serangan infeksi akan menurun (Pena dkk.

2016). Hasil penelitian dari Efni dkk, (2016) mengatakan hal yang sama, dimana

balita dengan status gizi kurang berisiko 9,1 kali lebih besar untuk menderita

pneumonia dibandingkan dengan balita yang status gizi nya baik.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hartati dkk, (2012) menyatakan, balita

yang memiliki status gizi kurang berpeluang 6,52 kali lebih tinggi untuk menderita

pneumonia dibandingkan balita dengan status gizi baik. Penelitian tahun terbaru

juga mengatakan hasil yang sedemikian rupa yakni balita dengan status gizi

buruk/kurang memiliki peluang 3,85 kali berisiko menderita pneumonia

dibandingkan balita dengan status gizi baik (OR: 3,85) (Frini dkk. 2018).

29

2.2.4 Hubungan Status Imunisasi dengan Kejadian Pneumonia pada Balita

Menurut Kemenkes RI (2015), imunisasi adalah suatu upaya untuk

meningkatkan kekebalan tubuh seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit,

sehingga apabila suatu saat terpajan dengan penyakit tertentu tidak akan sakit atau

hanya mengalami sakit yang ringan. Kelompok yang menjadi sasaran program

imunisasi yaitu bayi, dimana bayi wajib mendapatkan imunisasi dasar lengkap. Bayi

yang telah diberikan imunisasi akan terlindungi dari penyakit berbahaya yang dapat

menimbulkan kematian (Iswari dkk. 2017).

Status imunisasi mempengaruhi daya tahan tubuh atau imunitas seseorang.

Semakin lengkap imunisasi makaakan semakin bertambah daya tahan tubuhnya.

Imunisasi sangat mempengaruhi kondisi kesehatan bayi, karena imunisasi yang

diberikan secara lengkap akan bekerja lebih optimal dalam melindungi tubuh bayi

terhadap berbagai jenis penyakit infeksi. Namun sebaliknya, imunisasi yang tidak

lengkap cenderung hanya mendekatkan bayi dari penyakit tertentu saja (Imelda,

2017). Jenis, jumlah dan usia pemberian imunisasi pada anak sebagai berikut:

Tabel 2.2

Jenis, Jumlah, dan Usia Pemberian Imunisasi pada Anak

Jenis Imunisasi Usia Pemberian Jumlah Pemberian Interval Minimal

Hepatitis B 0 – 7 Hari 1 -

BCG 1 Bulan 1 -

Polio/IPV 1,2,3,4 Bulan 4 4 Minggu

DPT – HB – Hib 2,3,4 Bulan 3 4 Minggu

Campak 9 Bulan 1 -

Sumber: Kemenkes RI, 2015

30

Untuk menilai status imunisasi pada bayi biasanya dilihat dari cakupan

imunisasi campak, karena Imunisasi campak merupakan Imunisasi terakhir yang

diberikan pada bayi, dengan harapan imunisasi sebelumnya sudah diberikan dengan

lengkap. Pemberian imunisasi dasar lengkap pada bayi merupakan usaha yang baik

dalam penanggulangan penyakit Pneumonia (Depkes dalam Wiyaja dan Bahar,

2014). Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wijaya dan Bahar

(2014) menyatakan, balita yang tidak memiliki status imunisasi lengkap mempunyai

peluang 0,79 kali lebih besar menderita pneumonia dibandingkan balita dengan

status imunisasi lengkap (P.Value= 0,000 dan OR: 0,79).

Hasil penelitian yang dilakukan Adawiyah dan Duarsa (2016) menyatakan,

balita yang status imunisasinya tidak lengkap memiliki peluang 7,8 kali lebih berisiko

menderita pneumonia dibandingkan dengan balita dengan status imunisasi lengkap

(P = 0,006 dan OR: 7,8). Penelitian tahun terbaru juga menyatakan hal yang sama

dimana balita dengan status imunisasinya tidak lengkap berisiko 2 kali menderita

penyakit pneumonia dibandingkan balita dengan status imunisasinya lengkap

(P.Value = 0,034 dan OR: 1,93)(Oktaviani, 2017).

2.2.5 Hubungan Anggota Keluarga Perokok dengan Kejadian Pneumonia pada

Balita

Perokok pasif adalah orang yang menghirup asap rokok yang dihasilkan dari

rokok seorang perokok aktif. Asap rokok lebih berbahaya bagi perokok pasif

dibandingkan dengan perokok aktif. Asap rokok yang dihembuskan oleh perokok

aktif dan terhirup oleh perokok pasif lima kali lebih banyak mengandung gas karbon

31

monoksida (CO) dan empat kali lebih banyak mengandung tar dan nikotin

(Windriya, 2013).

Asap rokok dapat menurunkan kemampuan makrofag dalam membunuh

bakteri, makrofag memiliki kemampuan untuk mencari dan memakan bakteri, virus,

jamur, dan parasit. Gas berbahaya dalam asap rokok merangsang pembentukan

lendir dan debu sehingga bakteri yang tertumpuk tidak dapat dikeluarkan

(Dharmawati dkk, 2016). Anak-anak yang orangtuanya merokok lebih mudah

terkena penyakit saluran pernapasan seperti flu, asma, pneumonia dan penyakit

saluran pernapasan lainnya (Wardani dkk, 2015).

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Pramudiyani (2010), yang

menyimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok

dengan kejadian pneumonia pada anak balita. Sejalan dengan penelitian yang

dilakukan Supriyatin (2015) menyatakan, balita yang terpapar asap rokok berisiko

18,48 kali lebih besar menderita pnumonia.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ayu dkk (2016) menunjukkan nilai

p=0,003 dan OR=1,1. Nilai p<0,05 dapat di interpretasikan bahwa ada hubungan

antara keberadaan anggota keluarga merokok dengan insiden pneumonia pada

anak balita. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Sartika (2012), yang

menjelaskan bahwa anak balita yang tinggal di rumah dengan anggota keluarga

merokok dalam rumah memiliki peluang 6,0 kali mengalami pneumonia

dibandingkan anak balita yang tinggal di rumah yang tidak ada perokok di dalamnya

dan keberadaan anggota keluarga merokok dalam rumah meningkatkan risiko

menderita pneumonia 2,6 kali hingga 13,6 kali.

32

2.2.6 Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian Pneumonia pada Balita

Tempat tinggal yang sempit, penghuni yang banyak, kurang ventilasi, dapat

meningkatkan polusi udara didalam rumah, sehingga dapat mempengaruhi daya

tahan tubuh balita (Amin, 2015). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan rumah tinggal menyebutkan

bahwa kepadatan hunian harus memenuhi persyaratan luas ruang tidur minimal 8

m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang dalam satu ruang tidur,

kecuali anak di bawah umur 5 tahun. Balita yang tinggal di kepadatan hunian tinggi

mempunyai peluang mengalami pneumonia sebanyak 2,20 kali dibandingkan

dengan balita yang tidak tinggal di kepadatan hunian tinggi (Hartati, 2011).

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Sugihartono dan Nurjazuli pada

tahun (2012), yang menyimpulkan ada hubungan yang signifikan antara kepadatan

hunian dengan kejadian pneumonia pada anak ballita. Hasil penelitian tersebut

sejalan dengan penelitian yang dilakukan Wulandari dkk, (2016) menunjukan, balita

yang tinggal di kepadatan hunian tinggi memiliki risiko 4,4 kali lebih besar

menderita pneumonia (P.Value=0,005 dan OR: 4,4).

2.2.7 Hubungan Ventilasi Kamar dengan Kejadian Pneumonia pada Balita

Ruangan yang ventilasinya kecil mengakibatkan pertukaran udara tidak

dapat berlangsung dengan baik serta meningkatkan pajanan asap. Ventilasi yang

kurang baik juga mengakibatkan rumah menjadi lembab dan basah. Rumah yang

lembab dan basah karena banyak air yang terserap pada dinding tembok dan

matahari pagi sukar masuk dalam rumah. Terhalangnya proses pertukaran aliran

33

udara dan sinar matahari yang masuk ke dalam rumah mengakibatkan kuman yang

ada di dalam rumah tidak dapat keluar dan ikut terhisap Bersama udara pernafasan.

Hal ini juga mempermudah anak-anak untuk terserang pneumonia. Millatin, (2011).

Standar luas ventilasi rumah menurut Kepmenkes RI No 829 Tahun 1999

adalah minimal 10% dari luas lantai. Ruangan yang ventilasinya kurang baik akan

membahayakan kesehatan khususnya saluran pernafasan. Terdapatnya bakteri di

udara disebabkan adanya debu dan uap air. Jumlah bakteri udara akan bertambah

jika penghuninya ada yang menderita penyakit saluran pernafasan.

Dari hasil Penelitian yang telah dilakukan oleh Padmonobo, dkk (2012)

dengan hasil penelitian yaitu ada hubungan yang bermakna antara luas ventilasi

kamar tidur yang tidak memenuhi syarat (< 10% dari luas lantai) dengan kejadian

pneumonia pada balita. Penelitian yang telah dilakukan oleh Sari, dkk (2014)

dengan hasil penelitian yaitu ada hubungan yang bermakna antara luas ventilasi

yang tidak memenuhi syarat (< 10% dari luas lantai) dengan kejadian pneumonia

pada balita yang memperoleh nilai p = 0,003.

Penelitian ini didukung oleh Hartati (2011) yang meneliti tentang analisis

faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada anak balita di

RSUD Pasar Rebo, dengan hasil penelitian yaitu ada hubungan yang bermakna

antara luas ventilasi kamar tidur yang tidak memenuhi syarat dengan kejadian

pneumonia pada anak balita, yang memperoleh nilai p = 0,012.

2.2.8 Hubungan Jenis Lantai Rumah dengan Kejadian Pneumonia Pada Balita

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan rumah tinggal bahwa syarat lantai

34

yang baik adalah yang kedap air dan mudah dibersihkan, seperti lantai yang terbuat

dari keramik, ubin atau semen yang kedap dan kuat. Lantai rumah yang tidak kedap

air dan sulit untuk dibersihkan akan menjadi tempat perkembangan dan

pertumbuhan mikroorganisme di dalam rumah.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Padmonobo, dkk (2012) yaitu

ada hubungan yang bermakna antara kondisi lantai rumah yang tidak memenuhi

syarat dengan kejadian pneumonia pada balita, yang memperoleh nilai p = 0,008.

Penelitian yang sama telah dilakukan oleh Sugihartono dan Nurjazuli (2012) dengan

hasil penelitian yaitu ada hubungan yang bermakna antara kondisi lantai rumah

yang tidak memenuhi syarat dengan kejadian pneumonia pada balita, yang

memperoleh nilai p = 0,000.

2.2.9 Hubungan Jenis Dinding Rumah dengan Kejadian Pneumonia Pada Balita

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan rumah tinggal bahwa jenis dinding

tidak tembus pandang, terbuat dari bahan yang tahan terhadap cuaca, rata dan

dilengkapi dengan ventilasi untuk sirkulasi udara. Dinding rumah yang baik

menggunakan tembok, rumah yang berdinding tidak rapat seperti papan, kayu, dan

bambu dapat menyebabkan penyakit pernapasan.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Padmonobo, dkk (2012) yang

meneliti tentang faktor-faktor lingkungan fisik rumah dengan kejadian pneumonia

pada balita di wilayah kerja puskesmas Jatibarang Kabupaten Brebes, dengan hasil

penelitian yaitu ada hubungan yang bermakna antara kondisi dinding rumah balita

yang tidak memenuhin syarat dengan kejadian pneumonia pada balita yang

35

memperoleh nilai p = 0,003. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Sari, dkk (2014), dengan hasil penelitian yaitu ada hubungan yang

bermakna antara kondisi lingkungan fisik rumah dengan kejadian pneumonia pada

balita di wilayah kerja puskesmas Pati I Kabupaten Pati, yang memperoleh nilai p = <

0,05 dimana kondisi dinding rumah yang tidak memenuhi syarat berhubungan

dengan kejadian pneumonia pada balita.

36

2.3 Kerangka Teoritis

Berdasarkan teori – teori yang telah dibahas dalam tinjauan kepustakaan,

kerangka teori dalam penelitian ini dikembangkan oleh Zulmeliza Rasyid (2013),

Nana Aldriana (2014), Dinda dkk (2016) dan Triana (2017). Maka kerangka teoritis

dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.1

Kerangka Teoritis

Nana Aldriana (2014)

1. Pemberian ASI 2. Status Imunisasi 3. Berat Badan Lahir 4. Pendidikan Ibu

Triana (2017)

1. Status BBLR 2. Status ASI Ekslusif 3. Riwayat Penyakit Balita 4. Kepadatan Hunian Rumah 5. Ventilasi Rumah 6. Kebiasaan Merokok

Kejadian Pneumonia

pada Balita

Zulmeliza Rasyid (2013)

1. BBLR 2. Status Imunisasi Anak Balita 3. Pemberian ASI Ekslusif 4. Status Gizi Anak 5. Jenis Kelamin 6. Pendidikan Ibu

Dinda dkk. (2016)

1. Keberadaan Perokok

2. Penggunaan Obat Nyamuk

Bakar

3. Jenis Lantai Rumah

4. Jenis Dinding Rumah